Anda di halaman 1dari 11

UPAYA UNTUK MENINGKATKAN PERAN MAJELIS RAKYAT PAPUA (MRP)

DALAM OTONOMI KHUSUS PAPUA

A. Latar Belakang Masalah

Bergulirnya reformasi memberikan kesempatan untuk menyelesaikan permasalahan-


permaslahan besar bangsa Indonesia. Untuk kasus Papua, Majelis Permusyarwaratan Rakyat
Republik Indonesia (MPR-RI) menetapkan perlunya memberikan status otonomi khusus kepada
provinsi Irian Jaya (Tanah Papua) sebagaimana yang diamatkan dalam Garis-garis Besar Haluan
Negara 1999 Bab IV huruf (g) poin 2. Lalu pada 21 November 2001, ditetapkan Undang-Undang
No.21 Tahun 2001 Otonomi Khusus. Lima tahun kemudian, Juli 2006 Presiden Susilo Bambang
Yudoyono membuat Instruksi Presiden Percepatan Pembangunan di Papua sebagai penjelasan
teknis UU Otsus.1

Adapun alasan desakan penetapan otonomi khusus pada Papua menurut Perviddya
Solossa: Pertama, penerapan desentralisasi pemerintahan. Kedua, perlindungan terhadap hak-hak
dasar penduduk asli Papua. Ketiga, demokrasi dan kedewasaan berdemokrasi. Keempat,
penghargaan terhadap etika dan moral. Kelima, penghormatan terhadap HAM. Keenam,
penegakan supremasi hukum. Ketujuh, penghargaan terhadap pluralisme. Kedelapan, persamaan
kedudukan, hak dan kewajiban sebagai warga Negara.2

Salah satu kewajiban Otsus adalah dibentuknya sistem bikameral parlemen di Provinsi,
selain peraturan daerah khusus tentang dana Otsus, perdasus yang harus diutamakan adalah
tentang Majelis Rakyat Papua (MRP). Tetapi Peraturan perundang-undangan dan Perdasus MPR
baru dibentuk hingga empat tahun kemudian, pada tahun 2005. Penundaan MRP sebenarnya
disebabkan oleh kekhawatiran Pemerintah Indonesia bahwa lembaga ini akan menjadi bumerang

1
Angela Maria Flassy, dkk, 2008, Luka Papua: HIV, Otonomi Khusus dan Perang Suku, Jakarta: Spasi dan HVR
Book, hlm. 94
2
Jacob Perviddya Solossa, 2006, Otonomi Khusu Papua: Mengangkat Martabat Rakyat Papua Di Dalam NKRI,
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

1
bagi pemerintah karena MRP akan dijadikan superbody untuk mempersiapkan kemerdekaan
Papua.3

Lembaga legislatif dalam pemerintahan Papua terdiri dari dua badan, yaitu Dewan
Perwakilan Rakyat Papua dan Majelis Rakyat Papua yang sama-sama berkedudukan hukum di
Jayapura. Namun perbedaanya adalah, anggota DPRP dipilih dari partai politik, sedangkan
pemilihan anggota MRP dilakukan oleh anggota kelompok adat, kelompok agama dan kelompok
perempuan. MRP beranggotan orang-orang Papua asli yang terdiri atas wakil-wakil adat, wakil-
wakil agama dan wakil-wakil perempuan, yang dimana jumlah masing-masing sepertiga dari
total anggota MRP, dengan masa jabatan lima tahun. Kemudian DPRP mempunyai fungsi
legislatif, pengawasan dan anggaran, MRP hanya memiliki fungsi pengawasan dan perwakilan.
MRP dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya hanya berkaitan dengan hak-hak orang asli
Papua.4 Berbeda dengan DPRP yang memiliki fungsi dan kewenangan menjalankan tugasnya
untuk masyarakat Papua secara keseluruhan.

Dengan proses seperti itu, MRP memiliki keunikan karena ia bukan merupakan
representasi dari partai politik atau kekuatan politik, melain representasi kultural, yaitu kelompok
adat, agama dan perempuan. Artinya MRP sebagai lembaga yang dibentuk berdasarkan
pemilihan umum (dipilih secara langsung) mandat MRP langsung datang dari komunitas adat,
lembaga keagamaan dan kelompok-kelompok perempuan. Dengan keunikannya itulah MRP
menjadi lembaga politik yang penting karena konsitituenya kongkrit dan nyata dalam kehidupan
sosial-politik sehari-hari di Papua. Sebagai merepresentasi kultural orang asli Papua dengan
kewenangan melindungi hak-hak asli orang Papua.

B. Permasalahan

3
Lihat: Mendagri Majelis Rakyat Papua Terlalu Superbody dalam.www.tempo.co.id 27 Agustus 2003
4
Menurut UU No.21/2001, pada Pasal 1 Huruf (t), yang dimaksud orang asli Papua adalah: “orang yang berasal dari
rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui
sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua”.

2
Pada 20 November 2017, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahyo Kumolo melantik
dan mengambil sumpah terhadap 51 MRP yang akan bertugas untuk periode 2017- 2022.5
Dengan komposisi 17 orang perwakilan dari kelompok agama, 16 orang dari perwakilan adat dan
16 orang dari perwakilan perempuan. Pelantikan ini menandakan harapan yang besar kepada
MRP untuk menyelenggarakan Otonomi Khusus dengan lebih baik, setelah 16 tahun Otonomi
Khusus berjalan,

Namun MRP periode ini dihadapkan dengan tugas-tugas yang besar, yaitu: Pertama,
MRP wajib mengawal proses Pilkada serentak 2018 yang dianggap sebagai Tahun Politik.
Kemenko Polhukam, telah memetakan Papua sebagai salah satu daerah yang rawan konflik
dalam proses Pilkada serentak 2018.6 Kedua, MRP juga perlu memainkan peran untuk
memberikan saran, pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana perjanjian kerjasama yang
dibuat oleh Pemerintah maupun Pemerintah Provinsi dengan pihak ketiga (baik dari dalam negeri
maupun luar negeri) yang berlaku di Provinsi Papua khusus yang menyangkut perlindungan hak-
hak orang asli Papua. Salah satu tugas yang terdekat adalah bagaimana sikap MRP periode 2017
- 2022 terhadap berakhirnya Kontrak Karya PT. Ketiga, tugas terpenting MRP periode 2017 -
2022 adalah merumuskan langkah-langkah di dalam menghadapi berakhirnya Dana Otonomi
Khusus di tahun 2021, sebagaimana amanat dari Pasal 34 perihal Keuangan. Terakhir MRP
Periode 2017-2022 bertugas untuk mengawal, menerjemahkan dan melaksanakan Visi Besar
Papua pada 2025, yakni “Papua yang Mandiri secara Sosial, Budaya, Ekonomi dan Politik”.

Disamping tugas lainnya adalah memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, pengaduan


masyarakat adat, umat beragama, kaum perempuan dan masyarakat pada umumnya yang
menyangkut hak-hak orang asli Papua, serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya.

C. Pertanyaan Penelitian

5
Lihat: Mendagri Lantik Anggota Majelis Rakyat Papua dalam
https://www.antaranews.com/berita/665881/mendagri-lantik-anggota-majelis-rakyat-papua
6
Lihat: Pemetaan Daerah Rawan Konflik Pada Pilkada 2018, Menko Polhukan: Kita Fokus di Papua dalam
https://news.okezone.com/read/2017/10/18/337/1797681/pemetaan-daerah-rawan-konflik-pada-pilkada-2018-
menko-polhukam-kita-fokus-di-papua

3
Berdasarkan latar belakang dan permasalah yang dijelaskan sebelumnya, maka
pertanyaan penelitian dalam makalah ini: bagaimanakah upaya untuk meningkatkan peran
Majelis Rakyat Papua (Papua) sebagai lembaga represenrasi kultural orang asli Papua yang
mewadahi aspirasi masyarakat Papua dalam otonomi khusus?

D. Landasan Teoritis

Dalam makalah ini, penulis menggunakan teori:

1. Otonomi Khusus

Menurut Agus Samule7 istilah “otonomi” dalam otonomi khusus haruslah


diartikan sebagai kebebasan bagi rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri,
sekaligus pula berarti kebebasan untuk berpemerintahan sendiri dan mengatur
pemanfaatan kekayaan alam Papua sebesar-besarnya untuk rakyat Papua, dengan tidak
meninggalkan tanggung jawab untuk ikut serta mendukung penyelenggara pemerintahan
pusat dan daerah-daerah lain di Indonesia yang memang berkekurangan.

Hal yang tidak kalah penting adalah kebebasan untuk menentukan strategi
pembangunan sosial, budaya, ekonomi dan politik yang sesuai dengan karakteristik dan
kekhasan sumberdaya manusia serta kondisi alam dan kebudayaan orang Papua. Hal ini
penting sebaga bagian dari pengembangan jati diri orang Papua yang seutuhnya yang
ditunjukkan dengan penegasan identitas dan harga dirinya, termasuk dengan dimilikinya
simbol-simbol daerah seperti lagu, bendera dan lambang.

Sedangkan istilah “khusus” hendaknya diartikan sebagai perlakuan berbeda yang


diberikan kepada Papua karena kekhususan8 yang dimilikinya. Kekhususan tersebut
termasuk mencakup hal-hal seperti tingkat sosial ekonomi masyarakat, kebudayaan dan
sejarah politik. Dalam pengertian praktisnya, kekhususan otonomi Papua berarti bahwa

7
Agus Samule, 2003, Mencari Jalan Tengah: Otonomi Khusus Provinsi Papua, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, hlm. 49-50
8
Kekhususan dalam aspek: (1) geografis: luas daerah Papua tiga kali setengah Pulau Jawa (421.981km 2), dengan
topografi yang bervariasi, (2) fisiologi: bahwa orang Papua berasal dari ras Melanesia, (3) politik: Papua bagian dari
NKRI melalui proses tersendiri, yang dilegitimasi melalui kesepakatan New York dan Pepera. (4) sosial dan budaya:
kondisi sosial penduduk Papua yang masih terbatas (kuantitas dan kualitas), sekitar 75% penduduk tidak
mendapatkan pendidikan yang layak, gizi yang rendah dan pelayanan kesehatan yang terbatas, memiliki
keberagaman budaya yang unik (254 suku dan bahasa)

4
ada hal-hal mendasar yang hanya berlaku di Papua dan mungkin tidak berlaku didaerah
lain di Indonesia dan ada hal-hal yang berlaku di daerah lain di Indonesia, tetapi tidak
diterapkan di Papua.

Sedangkan upaya agar otonomi khusus berjalan dengan baik, menurut Heintz
(2003): (a.) Pemerintah otonomi khusus harus berkomitmen dan menunjukkan dengan
bukti-bukti nyata perlindungan HAM dan hak-hak kaum minoritas, (b) Pemerintah
otonomi khusus harus menjamin keselamatan seluruh warga dan membentuk mekanisme
agar hak-hak politik warga tersebut dapat disalurkan dan terpresentasikan dengan baik
dan benar.

2. Desentralisasi Asimetris

Desentralisasi asimetris (asymmetric decentralization) atau juga yang dikenal


dengan istilah otonomi asimetris (asymmetric authonomy) adalah konsep yang digunakan
terhadap pemberlakuan kewenangan khusus pada wilayah-wilayah tertentu dalam suatu
negara. Pemberian status khusus pada wilayah tertentu dalam suatu negara biasanya
didasarkan atas pertimbangan historis, politik, keberagaman etnik dan budaya, akselerasi
pembangunan dan sebagainya (Van Houten, 2004).

Desentralisasi asimetris (asymmetric decentralization) atau otonomi asimetris


(asyimmetric authonomy), sebagai suatu konsep yang oleh beberapa pihak dianggap
sebagai alternatif untuk menyelesaikan berbagai permasalahan hubungan pusat dan
daerah dalam suatu negara.

Pencermatan terhadap ungkapan Van Houten tersebut setidaknya mencakup dua


aspek. Pertama, dalam konteks kewilayahan, konsepsi otonomi dapat diklasifikasikan
sebagai otonomi wilayah (territorial authonomy) dan otonomi non wilayah (non territorial
authonomy). Kedua, dalam konteks fungsional, konsepsi otonomi dapat diklasifikasi:
otonomi asimetris dan otonomi umum.

Hannum mensinyalir, setidaknya ada dua manfaat yang dapat diperoleh dari
pemberlakuan desentralisasi asimetris (asymmetric decentralization) atau otonomi
asimetris (asyimmetric authonomy). Pertama, sebagai solusi terhadap kemungkinan

5
terjadinya konflik etnis atau konflik-konflik fisik lainnya. Dalam konteks ini dicontohkan
seperti hubungan Hongkong dengan Cina, Hongkong merupakan bagian dari wilayah
kedaulatan Cina, akan tetapi Hongkong diberikan sejumlah kewenangan tertentu yang
urgen dalam aspek politik, hukum dan ekonomi. Kedua, sebagai respon demokratis dan
damai terhadap keluhan atau masalah yang dihadapi kelompok kaum minoritas yang hak-
haknya selama ini cenderung dilanggar atau kurang diperhatikan (Djojosoekarto dkk.,
2008).

E. Temuan dan Analisis

Hal yang menonjol dalam otonomi khusus adalah diakomodasikannya lembaga Majelis
Rakyat Papua. Pembentukan lembaga ini dilatarbelakangi oleh beberapa hal yakni: 1) hak-hak
politik orang asli papua dan kaum perempuan yang cenderung diabaikan; 2) representasi politik
orang asli papua dan kaum perempuan di lembaga legislatif daerah dan partai politik tidak
signifikan; 3) aspirasi orang asli Papua dan kaum perempuan di lembaga cenderung tidak
diakomodasi; 4) partisipasi politik orang asli papua dan kaum perempuan relatif rendah; 5)
komitmen untuk menghormati adat dan budaya, memperdayakan kaum perempuan dan
memantapkan kerukunan hidup beragama; serta 6) komitmen untuk melakukan rekonsiliasi
antara sesama orang asli papua, maupun orang asli papua dengan sesama penduduk Provinsi
Papua.

Landasan hukum pembentukan MRP adalah UU Nomor 21 tahun 2001 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004. Sebagaimana dijelaskan dalam peraturan tersebut bahwa
pembentukan lembaga ini merupakan representasi kultural orang asli Papua yang terdiri dari
kelompok adat, perempuan dan agama. Peraturan tersebut menempatkan orang asli Papua
sebagai subyek utama dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dan menekankan
perlunya pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak dasar orang asli Papua. Dan juga
sebagai wadah rekonsiliasi untuk menjembatani perbedaan politik antara pemerintah dan rakyat
Papua terhadap status politik Papua

Tugas dan wewenang MRP sebagaimana telah dijelaskan dalam Undang-Undang


otonomi Khusus adalah: 1) memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakat calon
Gubernur dan wakil Gubernur yang diusulkan oleh DPRP. 2) memberi pertimbangan dan

6
persetujuan terhadap anggota MPR RI urusan daerah Provinsi Papua yang diusulkan oleh DPR;
3) memberikan pertimbangan dan persetujuan rerhadap rancangan Perdasus yang diajukan oleh
DPRP bersama-sama dengan gubernur; 4) memberi saran, pertimbangan dan persetujuan
terhadap rencana perjanjian kerjasama yang dibuat oleh pemerintah maupun pemerintah provinsi
dengan pihak ketiga yang beriaku di Provinsi Papua khususnya yang menyangkut perlindungan
hak-hak orang asli papua. 5) memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, pengaduan masyarakat
adat, umat beragama, kaum perempuan, masyarakat pada umumnya yang menyangkut hak-hak
orang asli Papua, serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya. 6) memberi pertimbangan
kepada DPRP, Gubernur, DPR Kabupaten/Kota dan Bupati/Walikota mengenai hal-hal yang
terkaitan dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua.

Tapi dalam pelaksanaannya sejak pelantikan MRP pada tahun pertama (2001) sampai
tahun ke 4 (2005) pemerintah belum mengatur dalam bentuk perdasus tugas dan wewenang MRP
sebagai representasi kultural bagi orang asli Papua. Sehingga MRP belum bisa melaksanakan
tugas-tugas sesuai dengan tupoksi MRP sebagai representasi kultural Orang Asli Papua.9
Terlihat bahwa MRP dibiarkan berjalan sendiri tanpa tahu harus melakukan apa, karena landasan
hukum untuk melakukan sesuatu belum disediakan. Namun, untuk tetap dapat berfungsi, MRP
mengeluarkan tiga Keputusan Kultural, yang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena
tidak berada di dalam lingkup peraturan di tingkat provinsi.

Seharusnya pemerintah pusat melihat desentralisasi asimetrik bukanlah sebagai


pelimpahan kewenangan biasa10. Budaya, etik,ras dan agama selalu membentuk deviasi sosial
dan suatu daerah yang bersifat khusus, berdasarkan sejarah yang terbentuk dengan elemen-
elemen yang membedakannya dari komunitas lain. Mengabaikan karakteristik yang khas itu
dapat menganggu stabilitas pemerintahan dan menimbukan disintegrasi bangsa.11

Namun MPR selama periode 2005-2010 yang dipimpin oleh Agus Alua sebagai Ketua
MRP, Frans Wospakrik sebagai Wakil Ketua I dan Hana Hikoyabi menjabat sebagai Wakil
Ketua II, MRP telah membuat rancangan-rancangan perdasus dan perdasi dan rekomendasi-
rekomendasi penguatan terhadap keberadaan orang asli Papua. Puluhan rekomendasi dan

9
Pidato Ketua MRP Agus A. Alua pada tahun 2005
10
Djoherman Djohan, 2009, Pemerintahan Daerah di Indonesia: Politik Desentralisasi dan Desentralisasi
Asimetrik, Jakarta: Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, hlm. 82
11
Ibid, hlm.82

7
keputusan penting telah dihasilkan oleh MRP. Ada beberapa rekomendasi dan keputusan MRP
periode 2005-2010 yang mendapat perhatian serius dari pemerintah pusat. Seperti kasus
keputusan MRP nomor: 05 /MRP/2005 tentang penetapan kriteria calon gubernur Papua dan
nomor 14 / MRP/ 2009. Kedua keputusan MRP ini mengharuskan gubernur dan wakil gubernur
di tanah Papua dan bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota se tanah Papua harus Orang
asli Papua: yaitu orang yang lahir dari Bapak dan mama asli Papua rumpun ras Melanesia, yang
mengikuti garis keturunan ayahnya (sistem patrilineal). Dan mempunyai basis kultur dalam adat
masyarakat asli Papua. Keputusan tentang gubernur dan gubernur Papua sempat mendapat reaksi
sekelompok masyarakat. Begitu juga keputusan tentang syarat bupati/walikota dan wakil
bupati/walikota. Karena keputusan ini menutup peluang kandidat dari etnis non Papua.

Pemerintah pusat dan TNI juga khawatir saat Majelis Rakyat Papua mengeluarkan Surat
Keputusan bernomor 03/PIM-MRP/2008 tentang Posisi Bendera Bintang Kejora Dalam Tata
Hukum Indonesia. Padahal dalam UU No 21 tahun 21 tentang Otonomi Khusus Papua, telah
disebutkan bahwa Papua berhak mempunyai Bendera, lagu dan lambang daerah. Seperti yang
dikatakan Agus Samule, Hal ini penting sebagai bagian dari pengembangan jati diri orang Papua
yang seutuhnya yang ditunjukkan dengan penegasan identitas dan harga dirinya, termasuk
dengan dimilikinya simbol-simbol daerah seperti lagu, bendera dan lambang.

Ada seperti ketakutan sendiri dari pemerintah pusat terhadap perdasus yang
direkomendasikan oleh MRP. McGibbons melihat bahwa konsesi-konsesi yang ditawarkan oleh
UU No.21 tahun 2001 telah memprovokasi elit-elit kekuasaan di Jakarta yang memiliki
kepentingan bahwa otonomi khusus akan mendorong tuntutan kemerdekaan, sebagaimana
ketakutan Mendagri saat itu yakni Hari Sabarno. Selain itu Gibbons juga mendasarkan
analisanya pada kemungkinan-kemungkinan adanya kompetisi di tingkat elit lokal Papua
terhadap sumber-sumber kekuasaan dan ekonomi, yang ini dimanfaatkan oleh para elit Jakarta,
yang mengeksploitasi terjadinya konflik kepentingan di kalangan elit Papua, baik soal-soal
personal, regional maupun pemilihan kesukuan di dalam masyarakat Papua.12

12
Rodd McGibbon, 2006, Pitfalls of Papua: Understanding the Conflict and Its Olace in Australia-Indonesia Relations,
New South Wales: Lowy Institute, hlm. 41.

8
Maka untuk itu menurut Agus Samule (2003: 82-84) selain upaya yuridis, anggota MRP
tidak cukup hanya berbekal status sebagai wakil masyarakat asli Papua saja, tetapi harus
memiliki kemampuan-kemampuan sebagai berikut:

1. Memahami dengan baik masalah, tantangan dan peluang pembangunan orang-orang asli
Papua dalam kaitannya dengan konteks sosial-politik lokal, nasional dan global. Sehingga
mampu dengan seksama menguji rancangan-rangangan Perdasus yang dimasukkan oleh
DPRP dan Gubernur. Dengan demikian MPR bisa dengan tepat dan taktis menerima,
menolak atau meminta Rancangan Perdasus yang dimasukkan itu diperbaiki.
2. Memiliki kemampuan berdiplomasi dan berintegrasi,terutama ketika harus membahas
hal-hal sensitif, seperti lambang-lambang Provisnsi Papua (bendera dan lagu),
penyelesaian kasus pelanggaran HAM, klarifikasi sejarah Papua dalam NKRI,
perlindungan dan penghargaan terhadap hak-hak masyarakat adat, perlindungan HAM,
pelaksanaan kewenangan-kewenangan pemerintah pusat di Paua dengan kehususan dan
sebagainya. Hal ini juga disampaikan oleh Heintz (2003), bahkan menurutnya pemerintah
otonomi khusus harus berkomitmen dan menunjukkan dengan bukti-bukti nyata
perlindungan HAM dan hak-hak kaum minoritas,
3. Mampu untuk memahami arti dan implikasi angka-angka yang tertera dalam rancangan
anggaran yang diajukan oleh DPRP dan Gubernur, terutama untuk memastikan bahwa
rancangan anggaran tersebut benar-benar sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2001, antara lain adalah untuk memberdayakan status sosial-ekonomi dan
menetapkan kebudayan orang-orang asli Papua, serta penyelesaian berbagai masalah di
waktu lalu.
4. Mampu untuk mendengarkan, menampung dan mengolah masukan, saran, keluhan,
bahkan protes yang disampaikan oleh konstituen untuk diteruskan ke pihak-pihak yang
berkompeten dan memastikan bahwa hal-hal tersebut benar-benar ditinjaklanjuti. Selain
itu, setiap anggota MRP harus mampu pula untuk menjelaskan dengan baik dan benar
setiap keputusan yang diambil, sehingga rakyat sungguh-sungguh merasa bahwa aspirasi
mereka telah didengar dan bahwa mereka secara subtansional dilibatkan dalam setiap
proses pengambilan keputusan yang berdampak bagi kehidupan mereka.

9
5. Selain persyaratan representasi dan kapabilitas, maka kualifikasi terakhir yang harus
dimiliki oleh setiap anggota MRP adalah integritas diri yang kokoh. Rakyat Papua
menginginkan para anggota MRP yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

Penulis sepakat dengan upaya peningkatan peran MRP melalui peningkatan kualitas
anggota MRP seperti yang dijelaskan oleh Agus Samule, tapi yang perlu diperhatikan juga
adalah pengawasan dari lembaga lain seperti DPRP dan dari masyarakat terhadap kinerja Majelis
Rakyat Papua agar dapat meningkatkan peran MRP dalam Otonomi Khusus Papua.

Sedangkan untuk teori desentralisasi asimetrik dari Van Houten hanya menjelaskan aspek
penting dan dua bentuk otonomi, yaitu otonomi wilayah dan otonomi non-wilayah, tanpa
menjelaskan lebih lanjut bagaimana upaya terlaksananya desentralisasi asimetrik itu dengan
baik, seperi peran dari lembaga pemerintahan sendiri.

F. Kesimpulan

Pemerintah pusat memang telah menaruh perhatian khusus terhadap permasalahan di


Papua dengan adanya otonomi khusus, yaitu memperhatikan atas pertimbangan historis, politik,
keberagaman etnik dan budaya, akselerasi pembangunan dan sebagainya (Van Houten, 2004).
Namun dalam pelaksanaanya, pemerintahan pusat tidak melakukan pendampingan terhadap
jalannya otonomi khusus tersebut. MRP juga menempatkan dirinya sebagai lembaga yang
merespon setiap kebijakan politik pusat, mulai dari masalah pemekaran sampai masalah lambang
dan bendera. MRP lebih banyak fokus untuk melayani kebijakan politik dari pusat, daripada
fokus terhadap permasalahan yang dialami masyarakat Papua.

MRP harus bisa menghimpun dukungan dari seluruh kelompok adat, agama dan
perempuan dengan lebih banyak membuka dialog publik terbuka, mulai dari kampung sampai ke
provinsi. MRP bisa berdiskusi dengan lembaga-lembaga adat serta dewan adat-dewan adat di
seluruh wilayah. Kelompok-kelompok gereja dan mesjid di seluruh tanah Papua dan kelompok-
kelompok perempuan. Kelompok-kelompok Pemuda dan Mahasiswa di di berbagai Universitas
atau perguruan tinggi di seluruh Papua. Aspirasi, ide dan kehendak dari kelompok-kelopok
strategis dan khalayak ramai orang asli Papua ini lah yang akan menjadi dasar sikap dan tindakan
MRP. Jika demikian, MRP dapat menjadi lembaga dampak kehadirannya terhadap perbaikan

10
kondisi kesehatan, pendidikan dan ekonomi serta kemandiran MRP dari intervensi pemerintah
pusat

Daftar Pustaka

Buku

Angela Maria Flassy, dkk, 2008, Luka Papua: HIV, Otonomi Khusus dan Perang Suku, Jakarta:
Spasi dan HVR Book
Jacob Perviddya Solossa, 2006, Otonomi Khusu Papua: Mengangkat Martabat Rakyat Papua Di
Dalam NKRI, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Agus Samule, 2003, Mencari Jalan Tengah: Otonomi Khusus Provinsi Papua, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama

Djoherman Djohan, 2009, Pemerintahan Daerah di Indonesia: Politik Desentralisasi dan


Desentralisasi Asimetrik, Jakarta: Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia

Rodd McGibbon, 2006, Pitfalls of Papua: Understanding the Conflict and Its Olace in
Australia-Indonesia Relations, New South Wales: Lowy Institute

Jurnal LIPI, Pembangunan Papua Dalam Pusaran Politik, Vol.9,No.1 Tahun 2012, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia

Internet

Mendagri Majelis Rakyat Papua Terlalu Superbody dalam www.tempo.co.id

Mendagri Lantik Anggota Majelis Rakyat Papua dalam


https://www.antaranews.com/berita/665881/mendagri-lantik-anggota-majelis-rakyat-papua

Pemetaan Daerah Rawan Konflik Pada Pilkada 2018, Menko Polhukan: Kita Fokus di Papua
dalam https://news.okezone.com/read/2017/10/18/337/1797681/pemetaan-daerah-rawan-konflik-
pada-pilkada-2018-menko-polhukam-kita-fokus-di-papua

11

Anda mungkin juga menyukai