Anda di halaman 1dari 28

1.

DEFINISI TEORI SOSIAL MENURUT PARA AHLI


a. Menurut Emile Durkheim
Teori sosial menurut Emile Durkheim adalah bahwa ketika kita ingin melihat
suatu kebudayaan, maka dapat dilihat pula institusi dan norma yang ada dalam
kebudayaan tersebut. Sebab masyarakat terbentuk dari institusi dan norma-norma
tersebut.

Norma dan dan institusi berawal dari masyarakat melalui kesepakatan bersama.
Namun, dalam perjalananya institusi dan norma tersebut tumbuh dengan sendirinya
secara mandiri. Hal ini yang disebut Emile Durkheim sebagai realitas suie generis,
dalam artian masyarakat memliliki eksistensnya sendiri.

Contoh dari teori sosial ini misalnya sebuah institusi yang terjadi di masyarakat ketika
terjadi kebobrokan, seperti halnya korupsi. Walaupun dari sudut pandang sosial bahwa
persoalan tersebut terjadi karena sistem atau faktor individu, tetapi menurut pandangan
sui generis bahwa sistem tidak lain sebagai makhluk yang terus menerus hidup dan
berkembang di luar realitas individu. Walaupun sistem itu awalnya dibentuk oleh
individu-individu, pada perkembangannya sistem itu bergerak menemukan pola sendiri
di luar yang digariska oleh kesepakatan individu.

b. Teori Sosial Menurut Max Weber

Menurut Max weber individu manusia dalam masyarakat merupakan aktor yang
kreatif dan realitas sosial bukan merupakan alat yang setatis dari pada paksaan fakta
sosial. Artinya, tindakan manusia tidak sepenuhnya di tentukan oleh norma,
kebiasaan,nilai, dan sebagainya yang mencakup di dalam konsep fakta sosial.
Walaupun pada akhirnya weber mengakui bahwa dalam masyarakat terdapat
setruktural sosisal dan pranata sosial. Dikatakan bahwa setruktur sosial dan pranta
sosial merupakan dua konsep yang saling berkaitan dalam membentuk tindakan sosial.
Tindakan sosial terjadi ketika individu melekatkan makna subjektif pada tindakan
mereka. Hubungan sosial menurut Weber yaitu suatu tindakan dimana beberapa aktor
yang berbeda-beda, sejauh tindakan itu mengandung makna dihubungkan serta
diarahkan kepada tindakan orang lain. Masing-masing individu berinteraksi dan saling
menanggapi
Weber juga membicarakan bentuk-bentuk empiris tindakan sosial dan antar-hubungan
sosial tersebut. Weber membedakan dua jenis dasar dari pemahaman yang bersifat
tafsiran dari arti, dari tiap jenis pemahaman ini bisa dibagi sesuai dengan masing-
masing pertaliannya, dengan menggunakan tindakan rasional ataupun emosional. Jenis
pertama adalah pemahaman langsung yaitu memahami suatu tindakan dengan
pengamatan langsung. Kedua, pemahaman bersifat penjelasan. Dalam tindakan ini
tindakan khusus aktor ditempatkan pada suatu urutan motivasi yang bisa dimengerti,
dan pemahamannya bisa dianggap sebagai suatu penjelasan dari kenyataan
berlangsungnya perilaku.
Max Weber dalam (J Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, 2006:18) mengklasifikasikan
empat jenis tindakan sosial yang mempengaruhi sistem dan struktur sosial masyarakat
yaitu;

1. Rasionalitas instrumental
Yaitu tindakan sosial yang dilakukan seseorang didasarkan atas pertimbangan dan
pilihan sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan ketersediaan alat yang
dipergunakan untuk mencapainya.
2. Rasionalitas yang berorientasi nilai
Alat-alat yang ada hanya merupakan pertimbangan dan perhitungan yang sadar,
sementara tujuan-tujuannya sudah ada didalam hubungannya dengan nilai-nilai
individu yang bersifat absolut.
3. Tindakan tradisional
Seseorang memperlihatkan perilaku tertentu karena kebiasaan yang diperoleh
dari nenek moyang, tanpa refleksi yang sadar atau perencanaan.
4. Tindakan afektif
Tindakan ini didominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau
perencanaan sadar. Tindakan afektif bersifat spontan, tidak rasional dan merupakan
refleksi emosional dari individu.
Dari keempat tindakan tersebut sulit diwujudkan dalam kenyataan, namun apapun
wujudnya hanya dapat dimengerti menurut arti subjektif dan pola-pola motivasional
yang berkaitan dengan itu. Sebuah interaksi sosial akan kacau bilamana antara pihak-
pihak yang berinteraksi tidak saling memahami motivasi dan makna tindakan sosial
yang mereka lakukan.
c. Teori Sosial Karl Marx

Teori Karl Marx menjelaskan tentang teori struktural fungsional. Menurut Karl
Marx, stratifikasi yang berbeda-beda itu mempunyai fungsi tersendiri. Karl Marx
melahirkan suatu aliran, yaitu aliran komunisme. Agama adalah candu yang terdapat
didalam masyarakat. Dalam prakteknya seperti orang katolik. Fungsi tersebut
didalamnya terdapat suatu konflik. Adanya pembagian masyarakat itu memicu
terjadinya suatu konflik. Mark juga menjelaskan tentang suatu revolusi karena
menurutnya kita sebagai masyarakat haruslah mengambil alih secara cepat dalam
berbagai bidang apapun. masyarakat juga tidak mempunyai stratifikasi kelas karena
memiliki suatu alat, dalam artian sama rata. Karl Marx mempunyai semboyan yang
sangat khas, yaitu “sama rata sama rasa”. Menurut Karl Marx, agama itu tidak boleh
karena menimbulkan suatu konflik. Tetapi jika agama dilarang, maka kita tidak akan
mempunyai suatu pedoman untuk hidup didalam dunia ini. Karl Marx juga menjelaskan
tentang konsep kapitalisme. Paradigma yang dianut oleh Karl Marx adalah paradigma
fakta sosial. Jadi semakin miskin seseorang sebagai rakyat maka semakin miskin juga
seseorang dalam hal apapun. Tetapi semakin kaya seseorang maka semakin kaya juga
seseorang tersebut dalam hal apapun. Marx juga berpendapat bahwa kolektifitas selalu
menimbulkan suatu perbedaan. Sedangkan yang mendorong adanya suatu kesadaran itu
adalah setiap materi-materi yang diberikan dan dipahami.

d. Teori Sosial A. Auguste Comte

Comte untuk menjelaskan kemajuan evolusioner umat manusia dari masa primitif
sampai ke peradaban Prancis abad kesembilan belas yang sangat maju. hukum ini
menyatakan bahwa masyarakat-masyarakat (umat manusia) berkembang melalui tiga
tahap utama. Tahap-tahap ini ditentukan menurut cara berpikir yang dominan: teologis,
metafisik dan positif. Comte menjelaskan hukum tiga tahap sebagai berikut:

Bahwa setiap konsepsi kita yang paling maju, setiap cabang pengetahuan kita,
berturut-turut melewati tiga kondisi teoretis yang berbeda: teologis atau fiktif; metafisik
atau abstrak; ilmiah atau positif. Dengan kata lain, pikiran manusia pada dasarnya
dalam perkembangannya, menggunakan tiga metode berfilsafat yang karakternya
sangat berbeda malah bertentangan. Yang pertama merupakan titik tolak yang harus
ada dalam pemahaman manusia; yang kedua hanya suatu keadaan peralihan; dan yang
ketiga adalah pemahaman keadaannya yang pasti dan tak tergoyahkan.

e. Pitirim Sorokin

Kalau Comte mengusulkan suatu model linear yang berkulminasi pada


munculnya masyarakat positivis, Sorokin mengembangkan model siklus perubahan
sosial, artinya dia yakin bahwa tahap-tahap sejarah cenderung berulang dalam
kaitannya dengan mentalitas budaya yang dominan, tanpa membayangkan suatu tahap
akhir yang final. Tetapi siklus-siklus ini tidak sekedar pelipat gandaan saja, sebaliknya
ada banyak variasi dalam bentuk-bentuknya yang khusus, dimana tema-tema budaya
yang luas dinyatakan.

Setiap tahap sejarah masyarakat memperlihatkan beberapa unsur yang kembali


berulang (artinya, pengulangan tahap yang terdahulu) dan ada beberapa daripadanya
yang unik. Sorokin mengacu pada pola-pola perubahan budaya jangka panjang yang
bersifat “berulang-berubah”. Penekanan Sorokin pada berulangnya tema-tema dasar
dimaksudkan untuk menolak gagasan bahwa perubahan sejarah dapat dilihat sebagai
suatu proses linear yang meliputi gerak dalam satu arah saja. Dalam hal ini Sorokin
berbeda dari Comte yang percaya akan kemajuan yang mantap dalam perkembangan
intelektual manusia.

f. Teori Sosial William F Ogburn

Perubahan sosial adalah perubahan yang mencakup unsur-unsur


kebudayaan baik material maupun immaterial yang menekankan adanya
pengaruh besar dari unsur-unsur kebudayaan material terhadap unsur-unsur
immateriil. Konsep ini mengacu pada kecenderungan dari kebiasaan-kebiasaan sosial
dan pola-pola organisasi sosial yang tertinggal di belakang (lag behind) perubahan
dalam kebudayaan materil. Akibatnya adalah bahwa perubahan sosial selalu ditandai
oleh ketegangan antara kebudayaan materil dan nonmateril.

Hal ini bertentangan dengan Comte dan Sorokin. Bagi Ogburn, segi yang paling
penting dari perubahan sosial adalah kemajuan dalam kebudayaan materil, termasuk
penemuan-penemuan dan perkembangan teknologi; sedangkan Comte dan Sorokin
menekankan perubahan dalam bentuk-bentuk pengetahuan atau pandangan dunia
sebagai rangsangan utama untuk perubahan sosial, di mana perubahan dalam
kebudayaan materil mencerminkan perubahan dalam aspek-aspek kebudayaan.

g. Charles horton coolay (1863-1947) : Teori sosial adalah cara memahami bagaimana
manusia membentuk diri mereka sendiri melalui interpretasi mereka terhadap situasi
sosial.

h. Talcott Parsons (1902-1979) : Teori sosial adalah sistem konseptual yang digunakan
untuk menjelaskan fenomena sosial.

i. Robert E. Park (1864-1944): Teori sosial adalah cara memahami bagaimana


masyarakat terbentuk dan berubah melalui interaksi sosial.

j. Erving Goffman (1922-1982): Teori sosial adalah cara memahami bagaimana


manusia membentuk diri mereka sendiri melalui interaksi sosial.

k. W.I. Thomas dan Florian Znaniecki (1863-1947): Teori sosial adalah cara
memahami bagaimana manusia membentuk diri mereka sendiri melalui interaksi sosial
dan pengalaman pribadi.

l. Herbert Spencer (1820-1903): Teori sosial adalah cara memahami masyarakat


sebagai sistem yang saling berhubungan.
m. Robert K. Merton (1910-2003): Teori sosial adalah seperangkat proposisi yang
menjelaskan hubungan antara variabel sosial.

n. Pierre Bourdieu (1930-2002): Teori sosial adalah cara memahami bagaimana struktur
sosial dan budaya membentuk tindakan sosial.

o. Anthony Giddens (1938-2017): Teori sosial adalah cara memahami bagaimana


struktur sosial dan agen saling mempengaruhi.

2. SEJARAH PERKEMBANGAN TEORI SOSIAL

Sejarah perkembangan teori sosial indonesia terbagi menjadi beberapa fase yaitu
ilmu sosial colonial(indologi), ilmu sosial developmentalis dan ilmu sosial kotemporer.
Perkembangan tersebut tidak hanya di pengaruhi oleh zamanya saja melainkan juga
pemikiran- pemikiranya juga. Perkembangan-perkembangan teori sosial indonesia
yaitu:

a. Ilmu Sosial Kolonial/Indilogi


Ilmu sosial awalnya merupakan corpus yang telah melembaga dimana di bentuk
di Leiden yang dimana di lembaga tersebut menyiapkan para pegawai administrasi yang
kemudian akan dikirim di Negara hindia belanda(sekarang Indonesia). Zeitgeist (iklim
intelektual) yang melatar belakangi ini ialah proses pasifikasi daerah jajahan di hindia
belanda (Nasiwan Y. S., 2016). Penjajah yang telah merebut daerah jajahanya mereka
juga membutuhkan ilmu pengetahui tentang masayarakat di daerah jajahan tersebut
untuk menguasai masyarakat tersebut sehingga mudah untuk di kendalikan. Untuk itu
didirikan nya Universitas Leiden dan dengan semangat orientalisme masuk ke
Indonesia melaui lembaga colonial di luar institusi. Pada tahun 1920-an didirikanlah
dua perguruan tinggi terkait ilmu sosial yaitu Sekolah Tinggi Hukum
(Rechsthogeschool, RHS) dan Fakultas Sastra dan Filsafat ( Fasulteit der Letteren en
Wijsbegeerte) yang dimana kedua lembaga perguruan tinggi tersebut berkembanglah
ilmu-ilmu sosial versi indilogie. Beberapa ciri umum dalam perkembangan Ilmu sosial
Kolonial/Indilogi:
➢ Rezim colonial belanda datang ke Indonesia tidak hanya membawa perangkat birokrasi
colonial, melainkan juga rezim ilmu sosial (Nasiwan Y. S., 2016, p. 20) berarti dalam
hal tersebut dapat kita ketahui bahwa colonial Belanda datang ke Indonesia membawa
ilmu-ilmu campuran. Ilmu campuran disitu ialah mereka bukan ahli dalam satu bidang
melainkan banyak bidang. Jadi kendati terdapat keahlian bidang-bidang keahlian dalam
akademi indilogie seperti geografi sosial, antropologi, sosiologi, etnologi, filosofi, studi
islam, hukum adat dan linguistic, pada masa nya seorang indolog menguasai banyak
bidang sedang mata kuliah sejarah masih bergabung dalam semua mata kuliah tersebut
sebelum mendirikan jurusan sejarah dan filsafat tahun 1940 (Nasiwan Y. S., 2016).
➢ Sesuai dengan sifatnya ilmu sosial versi indilogie knoeledge is power mana kala
kelompok disiplin ilmu itu kian identic dengan ilmu Negara yang mengabdikan dirinya
untuk kepentingan kekuasaan dan jika perlu harus masuk kedalam birokrasi pemerintah
colonial.
➢ Ilmu sosial Indonesia generasi pertama ini hampir terdiri dari para ilmuan sarjana
belanda yang ilmunya sampai saat ini masih berpengaruh seperti J.H Boeke ( teori
ekonomi ganda) Van Volenhoven (hukum teori adat) dan lain sebaginya.

Bagaimana pun perkembangan indilogie merupakan tonggak awal


perkembangan ilmu pengetahuan sosial yang membangun sebuah aspirasi, proposisi
dan pencarian legitimasi. Aspirasi yang di maksudkan adalah untuk mengatahui
kehidupan masyarakat indonesia khususnya ketika zaman penjajahan. Kemenangan
kemerdekaan indonesia sebernarnya bukan karena kemenangan di medan perang
melainkan juga karena perkembangan ilmu pengetahuan.

b. Ilmu sosial Developmentalis

Semenjak terjadinya perang dunia ke II peradaban ilmu indonesia yang berkiblat


indilogie menjadi berkiblat ke AS. Ketika indonesia setelah di jajah banyak sekali
perubahan khususnya di bidang politik. Salah satunya adanya penggusuran masyarakat
belanda dimana pihak- pihak belanda yang berada di indonesia di lakukan sterilisasi
dari pihak-pihak belanda tak lain masyarakat belanda yang bekerja di perguruan tinggi
di indonesia mereka melakukan pemberhentian. Terputusnya hubungan antara belanda
dengan indonesia membuat banyak terjadi peerubahan khususnya di bidang peradaban
ilmu. Peradaban ilmu saat itu menjadi berkiblat ke AS karena setelah perang dunia I AS
adalah Negara adidaya. Berkembangnya kawasan studi sebagai salah satu strategi
penting dalam perkembangan ilmu-ilmu sosial meskipuntak lain didalamnya juga
terdapat kepentingan- kepentingan ideologi global. Di indonesia sendiri karena
pengarug The Social Science Research Council yang di bentuk oleh AS setelah perang
dunia ke II membuka jalan kerjasama antara kedua Negara tersebut dengan melakukan
pertukaran mahasiswa.

➢ Studi di kawasan Asia Tenggara khusunya indonesia mendapat perhatian khusus


terhadap AS sebab tidak ada Negara di kawasan Asia Tenggara selain Indonesia yang
oleh AS banyak sekali menggelontorkan dana. Dana tersebut tidak hanya di gunakan
untuk pembangunan melainkan digunakan untuk pertukaran dibidang pendidikan
kemudian untuk tujuan riset. Dibidang pendidikan AS dengan Indonesia melakukan
pembiayaan mengenai bagi para doctoral yang kemudian membuat disertasi dan tidak
hanya sebatas itu saja melainkan juga nantinya menerbitkan buku yang di Indonesia
digunakan sebgai rujukan.
Dengan demikian ilmu sosial di indonesia secara lambat tahun tetapi pasti mulai
bergeser dari tradisi indilogie yang berorientasi eurosentrisme ke ilmu sosial
developmentalis ,yang berorientasi AS (Nasiwan Y. S., 2016, p. 23). Erat kaitannya
dengan butir di atas, studi kawasan (dalam hal ini Asia Tenggara, khususnya Indonesia)
merupakan unit kajian yang dapat ditarik ke dalam orbit akademik dan sekaligus
ideologi politik AS. Di situ ilmuwan sosial bekerja secara bersama-sama menangani
masalah-masalah pembangunan ekonomi secara komprehensif, terutama dengan
mengadopsi teori-teori modernisasi sebagai maisntreamnya. Konsep-konsep utama
dalam teori modernisasi mempertegas pembagian dua dunia. Kalau pra PD II hanya ada
dua dunia: penjajah dan rakyat jajahan, dikotomi baru berasal dari teori modernisasi
ialah: dunia tradisional-modern, yang berakar pada konsep-konsep klasik sosilogi
seperti gemeinschaft- geselschaft (Tonnies), solidaritas mekanis-solidaritas organik
(Durkheim), folk-urban (Redfield), agraris dan industrial, maju dan
terkebelakang(Gunder Frank)dan seterusnya (Zed, 2014). Konsepkonsep tersebut
menjadi alat analisis yang digemari, tetapi sekaligus juga mencerminkan titik perhatian
mereka terhadap masalah-masalah pembangunan‘ di negara Dunia Ketiga (Belakangan
citra hierarkhis dari “Dunia Ketiga diubah sedemikian rupa menjadi lebih egaliter: Tiga
Dunia”). Menurut Utrecht, 1973; Wertheim, 1984 dalam (Zed, 2014) Kalangan ilmu
sosial Marxist umumnya sudah lama mencurigai teori-teori modernisasi, termasuk yang
dikembangkan AS di Indonesia sebagai ilmu borjuis‘ dan ahistoris .
Pertengahan 1960-an, ilmu sosial yang ada di Indonesia tak lain ialah ilmu sosial
yang diperkenalkan oleh sarjana Amerika di universitas-universitas di negerinya dan
dibawa ke Indonesia dalam kerangka kerja sama riset dan pengembangan ilmu sosial
di Indonesia. Termasuk ke dalam jaringan ini antara lain ialah didirikannya pusat- pusat
pelatihan ilmu sosial di beberapa tempat di Jawa dan luar Jawa. Implikasi teoretis-
metodologis dari kecenderungan ini amatlah besar pengaruhnya terhadap
perkembangan selanjutnya. Pendidikan lanjutan yang mereka peroleh, seperti juga
pergaulan akademik internasional mereka pada periode yang lebih kemudian, membuat
watak indologie semakin menghilang, dan sejak itu digantikan oleh mainstream ilmu
sosial developmentalis yang mejadi pusat gravitasi baru dalam khazanah
pengembangan ilmu sosial Indonesia (Zed, 2014).
c. Ilmu sosial Kotemporer Indonesia

Penggunaan istilah kotemporer hanyalah di gunakan atau merujuk perkembangan


dan kemajuan ilmu sosial pada saat orde baru dan sesudahnya. Pada pertengahan
pertama 1960-an belum bisa berbicara tentang statistik perkembangan ilmu sosial
Indonesia, baik mengenai profesi ataupun komunitas ilmuwan sosialnya, maupun
lembaga penelitian dan pendidikan ilmu-ilmu sosial yang lebih profesional. Namun
sejak awal Orde Baru, memasuki tahun 1970an sejalan dengan pulangnya sejumlah
sarjana ilmu sosial yang menyelesaikan studi mereka di luar negeri, tampaknya hal-hal
penting. Menurut (Zed, 2014) perkembangan ilmu sosial pada tahun 1980-an yaitu:

Mengamati perkembangan ilmu sosial sampai tahun 1980-an, orang pada


umumnya berpendapat bahwa tingkat dukungan dan minat pemerintah terhadap ilmu
sosial di Indonesia melebihi negara mana pun di Asia Tenggara. Peluang ini dalam
satu dan lain haljelas merupakan buah yang telah disemaikan sejak tahun 1950- an,
ketika ilmu sosial developmentalis makin mengikis tradisi ilmu sosial kolonial alias
indologie.

Berikut beberapa hal menarik pada masa perkembangan ilmu sosial kotemporer:

➢ Semakin banyaknya minat sarjarana luar negeri yang semakin tertarik mempelajari
indonesia. Pertama di awali oleh AS, Australia, Ingris, Prancis, jerman dan belakangan
ini juga di Swedia dan Jepang.

Bersamaan dengan kecenderungan di atas, ada dua gejala unik yang perlu dicatat:
pertama masuknya kembali generasi baru peneliti Belanda yang sudah tercerahkan‘
dalam paradigma baru dalam werkgroep Indonesich studies dengan sejumlah bidang
studi (vakgroep) di berbagai universitas Belanda, menggantikan mantel lama, indologie
(Zed, 2014) Dengan hal tersebut tercipntanya hubungangan antara kawasan Asia
Tenggara karena pada satat sebelum PD II belum mengenal kerjasama tersebut.

➢ Tingginya kadar ‘parokhial’ antardisiplin ilmu yang terorgaisasi dalam lmbaga atau
rumpun ilmu sosial, baik ke luar mau ke dalam. Ke luar, maksudnya klaim keabsahan
pembagian ilmu pengetahuan modern ke dalam tiga locus yang secara instrinsik
dianggap berbeda: rumpun ilmu alam, ilmu sosial dan ilmu kemanusiaan (humaniora).
Di lembaga pendidikan tinggi, masing-masing cenderung melihat diri mereka sebagai
berbeda dan membuat sekat-sekat yang tinggi satu sama lain (Zed, 2014).
Ke dalam maksudnya perbedaan di antara rumpun displin ilmu-ilmu sosial (dalam
bentuk jamak). Keduaduanya sama parahnya karena masing-masing saling
mengabaikan dan bahkan melecehkan satu sama lain, sehingga terjadi apa yang
digambarkan oleh Burke (2005) sebagai dialog ‘si tuli’, suatu fenomena klasik yang
rupanya juga terjadi Barat. Lebih celaka lagi, kelompok yang satu cenderung
memandang rendah yang lain, atau kalau bukan demikian, yang satu merasa lebih hebat
dari yang lain. Ahli sejarah atau mahasiswa sejarah, misalnya, seringkali dilecehkan
dengan mengaggap pekerjaan mereka hanyalah sebagai tukang kumpul fakta-fakta
(facts-collector), mengurus manusia yang telah mati; pekerja ilmu amatiran yang rabun,
karena tidak mempunyai teori. Ini mengingatkan kita pada ejekan Herbert Spencer yang
mengatakan bahwa sejarawan hanyalah tukang angkat batu (fakta) yang akan
digunakan sosiologiwan untuk membuat bangunan. Sebaliknya banyak sejarawan yang
memandang ilmuwan sosial sebagai orang yang suka menggunakan jargon-jargon yang
kabur untuk menyatakan hal-hal yang sudah jelas; tidak memiliki sense waktu dan
tempat, membenamkan individu ke dalam kategori-kategori umum yang kaku. Maka
untuk menutup semua ini, mereka menyebut kegiatan mereka sebagai hal yang ‘ilmiah’.
Dibeberapa tempat di Indonesia, para dosen dan mahasiswa fakultas tertentu
ramairamai ikut mendesak agar pindah ke atau bergabung dengan fakultas lain karena
beberapa alasan praktis, tiak nayaman di rumah yang lama, antara lain merasa ijazah
cap fakultas mereka yang lama kurang ‘bonafide’ atau kurang dihargai oleh pemerintah
atau biro pelayanan tenaga kerja. Jadi berkaitan dengan masalah praktis dari segi
kelembagaan atau organisasi ilmu pengetahuan (Nasiwan Y. S., 2016).
➢ Erat kaitannya dengan butir di atas, ialah kecenderungan ahistoris ilmuwan sosial
Indonesia kontemporer seperti yang disinyalir oleh Arif Budiman beberapa tahun lalu.1
Ciri ini jelas merupakan penyimpangan atau bahkan kemersotan dua tipologi ilmu
sosial sebelumnya, baik indologi maupun ilmu sosial developmentalis sejak semula
sangat kuat dalam apresiasi sejarah mereka. Ini tidak hanya berlaku di kalangan para
perintis seperti Geerzts dan Ben Anderson dan lain-lain, tetapi juga di kalangan generasi
pertama ilmuwan sosial Indonesia sendiri seperti Selo Soemardjan dan juniornya Harsja
Bachtiar (sosiologi), Sayogyo (sosiologi pertanian), Kuntjaraningrat (antropologi),
Sumitro Djojohadikusumo (ekonomi), dan tentu saja juga Soekmono (arkeologi) untuk
menyebut beberapa di antaranya (Zed, 2014).

➢ Perangkap ideologi dalam kajian ilmu sosial kontemporer. Para ilmuwan sosial di
negara-negara Dunia Ketiga, yang notabene adalah bekas negeri jajahan seperti
Indonesia lambat laun mulai sadar dan merasa malu bahwa mereka terlalu lama hidup
sebagai sarjana imitasi‘ (Ignas, 1987).

Dengan demikian, pengalaman-pengalaman baru dalam pembangunan


(modernisasi) dan praktek ilmu sosial developmentalis, menimbulkan ketidakpuasan
intelektual yang baru pula. Dalam situasi yang paradoks seperti itu, di manakah
sesungguhnya tempat ilmuilmu sosial (dalam bentuk jamak) Indonesia, khsususnya di
tengah perkisaran sejarah bangsa yang dilanda krisis multidimensi berkepanjangan
dewasa ini, yang notabene berada pada pergantian zaman: pergantian abad, pergantian
melinium, pergantian rejim, pergantian paradigma dan seterusnya. Atas dasar itu, maka
kiranya tidak mudah untuk mengidentifikasi gambaran monolitik tentang ilmu sosial
Indonesia hari ini, yang masih sedang berlangsung dan tengah mencari legitimasi-
legitimasi baru, seperti yang tampak dari wacana ‘indigenisasi’ ilmu sosial Indonesia
akhir-akhir ini (Zed, 2014).

3. RUANG LINGKUP TEORI SOSIAL

Ilmu sosial diajarkan di perguruan tinggi maupun di sekolah dasar dan sekolah
menengah. Pada perguruan tinggi ilmu sosial dikenal dengan Ilmu Sosial Dasar (ISD)
dan pada jenjang sekolah dikenal dengan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Di perguruan
tinggi, ruang lingkup ilmu sosial berfokus pada 2 masalah utama yaitu:
1) Adanya berbagai aspek yang merupakan satu masalah sosial yang dapat ditanggapi
dengan pendekatan sendiri/ menurut keahlian yang berbeda-beda, maupun sebagai
gabungan pendekatan gabungan antar bidang.

2) Adanya keragaman golongan dan kesatuan sosial lain dalam masyarakat, yang
maisng-masing mempunyai kepentingan kebutuhan serta pola-pola pemikiran dan pola
tingkah laku sendiri, tetapi juga amat banyak kesamaan kepentingan kebutuhan serta
persamaan dalam pola-pola pemikiran da tingkah laku yang menyebabkan pertentangan
maupun hubungan setia kawan dan kerjasama dalam masyarakat kita.

Dari 2 masalah utama tersebut, bisa kita kerucutkan kembali menjadi beberapa sub-bab
atau sub-pokok sebagai berikut:
1) Mempelajari dan menyadari adanya berbagai masalah kependudukan dan
hubungannnya dengan perkembangan masyarakat dan kebudayaan.
2) Mempelajari dan menyadari adanya masalah-masalah individu, keluarga dan
masyarakat.
3) Mempelajari masalah-masalah kependudukan dan sosialisasi serta menyadari
identitasnya sebagai mahasiswa.
4) Mempelajari hubungan antara warga negara dan negara.
5) Mempelajari masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat perkotaan dan
pedesaan.
6) Mempelajari hubungan antara pelapisn sosial dan persamaan derajat
7) Mempelajari dan menyadari adanya pertentangan-pertentangan sosial bersamaan
dengan adanya integrasi masyarakat
8) Mempelajari usaha pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi oleh manusia
untuk memanfaatkan kemakmuran dan pengurangan kemiskinan.

Menurut Tasrif, ruang lingkup pembelajaran IPS pada jenjang sekolah dasar dan
menengah meliputi beberapa aspek sebagai berikut:
1) Ditinjau dari ruang lingkup hubungan mencakup hubungan sosial, hubungan
ekonomi, hubungan psikologi, hubungan budaya, hubungan sejarah, hubungan
geografi, dan hubungan politik.
2) Ditinjau dari segi kelompoknya adalah dapat berupa keluarga, rukun tetangga,
kampung, warga desa, organisasi masyarakat dan bangsa.
3) Ditinjau dari tingkatannya meliputi tingkat lokal, regional dan global.
4) Ditinjau dari lingkup interaksi dapat berupa kebudayaan, politik dan ekonomi.

Berdasarkan Permendiknas 2006 tentang Standar Isi, menjelaskan bahwa ruang lingkup
mata pelajaran IPS meliputi:
1) Manusia, tempat, dan lingkungan.
2) Waktu, keberlanjutan, dan perubahan.
3) Sistem sosial dan budaya.
4) Perilaku ekonomi dan kesejahteraan.

4. PENDEKATAN TEORI TEORI SOSIAL

Pendekatan teori-teori sosial adalah suatu cara untuk memahami kenyataan atau
fenomena sosial. Dalam sosiologi, teori merupakan alat untuk melakukan analisis dan
bukan merupakan tujuan analisis, tetapi hanya untuk memahami kenyataan atau
fenomena

Terdapat beberapa teori sosial yang dapat digunakan sebagai pendekatan,


diantaranya adalah:

1. Teori Struktural Fungsional

Teori Struktural Fungsional menjelaskan bagaimana berfungsinya suatu struktur.


Setiap Struktur (mikro, meso dan makro) akan tetap ada sepanjang ia memiliki fungsi.
Terdapat beberapa asumsi teori struktural fungsional menurut Ralp Dahrendorf
(1986:196) yaitu:

➢ Setiap Masyarakat Terdiri Dari Berbagai Elemen Yang Terstruktur Secara Relatif
Mantap Dan Stabil.

Misalnya adalah aktivitas sehari-hari, mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi
(setiap masyarakat mempunyai aktifitas yang relatif stabil setiap harinya).

➢ Elemen-Elemen Tersebut Terintegrasi dengan Baik.


Elemen yang membentuk struktur memiliki kaitan dan jalinan yang bersifat
mendukung dan saling ketergantungan (eleman masyarakat tersebut terintegrasi satu
sama lainnya dengan baik dan saling ketergantungan satu sam lainnya).

➢ Setiap Elemen dalam Struktur memiliki Fungsi, yaitu Memberikan Sumbangan pada
Bertahannya Struktur itu sebagai Suatu Sistem.

Setiap orang atau elemen masyarakat memiliki fungsi. Misalnya pekerjaan polisi
memiliki fungsi untuk memberikan rasa nyaman bagi masyarakat lain.

➢ Setiap Struktur yang Fungsional Dilandaskan pada Suatu Konsensus nilai di antara Para
Anggotanya.

Misalnya adalah fungsi dalam keluarga (ayah, ibu, anak). siapa yang menetapkan
fungsi ayah sebagai kepala rumah tangga dan memberikan nafkah? Siapa yang
menetapkan fungsi ibu sebagai pendidik utama anak-anak dan mengatur aktifitas rumah
tangga? Hal ini adalah sebagai konsensus nilai dalam masyarakat.

2. Teori Struktural konflik

Teori Struktural Konflik menjelaskan bagaimana struktur memiliki konflik.


Setiap Struktur memiliki elemen yang berbeda. Setiap elemen memiliki motif, maksud,
dan kepentingan yang berbeda-beda. Terdapat beberapa Asumsi Teori Struktural
Konflik menurut Ralp Dahrendorf (1986:197-198) yaitu:

➢ Setiap Masyarakat dalam Setiap Hal Tunduk Pada Proses Perubahan; Perubahan Sosial
Terdapat di Mana-Mana.

Saling memperjuangkan motif, dan kepentingannya masing-masing yang


akhrinya menimbulkan perubahan (pribadi)

➢ Setiap Masyarakat dalam Setiap Hal, Memperlihatkan Pertikaian dan Konflik, Konflik
Sosial Terdapat di Mana-Mana.

Perbedaan motif, maksud dan kepentingan yang berbeda menjadi sumber


terjadinya pertikaian dan konflik diantara berbagai struktur sosial.
➢ Setiap Elemen dalam Suatu Masyarakat Menyumbang Disintegrasi dan Perubahan.

Setiap perubahan seseorang mampu menyumbang perubahan pada struktur sosial.

➢ Setiap Masyarakat Didasarkan Pada Paksaan Beberapa Anggota Atas Orang Lain.

Keteratraturan, keharmonisan dan kenormalan dipandang oleh teori konflik


sebagai paksaan sebagian anggota atas anggota lain.

3. Teori Interaksionisme Simbolis

Teori Interaksionisme Simbolis memahami realitas sebagai suatu interaksi yang


dipenuhi berbagai simbol. Kenyataan merupakan interaksi interpersonal yang
menggunakan simbol-simbol. Terdapat beberapa asumsi teori interaksionisme simbolis
menurut Turner (1978:327-330) yaitu:

➢ Manusia adalah Makhluk yang Mampu Menciptakan dan Menggunakan Simbol.

Pemaknaan terhadap simbol seperti sarung, baju koko, mobil dll. Ketika ada
orang yang memakai sarung dan baju koko dianggap sebagai ahli ibadah atau pa haji,
atau ketika ada orang yang punya mobil kita menganggap bahwa dia orang kaya padahal
kenyataanya belum tentu juga.

➢ Manusia Menggunakan Simbol untuk Saling Berkomunikasi.

Manusia menciptakan simbol melalui pemberian nilai atau pemaknaan terhadap


sesuatu (bunyi, kata, gerak tubuh, benda atau hal lainnya) untuk saling berkomunikasi.

➢ Manusia Berkomunikasi Melalui Pengambilan Peran (Role Taking).

Contoh: Dosen, Suami/ayah, Anak. Pola komunikasi sesuai dengan peran yang
diambil pada saat terjadinya komunikasi. Ketika di kampus dia sebagai dosen, maka
pola komunikasi harus sebagai dosen. Ketika di rumah sebagai suami/ayah maka pola
komunikasi harus sebagai suami/ayah. Dan ketika di rumah orang tua kita sebagai anak,
maka pola komunikasi harus sebagai anak meskipun kita di kampus punya peran
sebagai dosen (menyesuaikan posisi).
➢ Setiap Masyarakat terbentuk, Bertahan, dan Berubah Berdasarkan Kemampuannya
untuk Berfikir, Mendefinisikan, Melakukan Refleksi Diri dan Melakukan Evaluasi.

Proses interaksi sosial sangat penting dalam mengembangkan kemampuan


manusia. Karena dalam interaksi sosial yang dilakukan antar individu maupun
masyarakat bisa saling mempengaruhi nilai, cara berfikir dan bertindak serta cara
melakukan refleksi diri.

4. Teori Pertukaran

Teori Pertukaran melihat dunia sebagai arena pertukaran, bertukar ganjaran/hadiah. Semua
perilaku sosial berawal dari pertukaran seperti persahabatan, perkawinan, mitra dan lain-lain.
Asumsi Teori Pertukaran menurut George C. Homas, Peter M. Blau, Richadr Emerson, Jhon
Thibout dan Harol H. Kelly (1986:197-198) sebagai berikut:

➢ Manusia Adalah Makhluk yang Rasional, Dia memperhitungkan Untung dan Rugi.
➢ Perilaku Pertukaran Sosial Terjadi Apabila :
➢ Perilaku Tersebut Harus Berorientasi pada Tujuan-Tujuan yang Hanya dicapai Melalui
Interaksi dengan Orang Lain
➢ Perilaku Harus Bertujuan untuk Memperoleh Sarana Bagi Pencapaian Tujuan Tersebut.
➢ Transaksi-Transaksi Pertukaran Terjadi hanya Apabila Pihak yang Terlibat
memperoleh Keuntungan dari Pertukaran Tersebut.

5. KLASIFIKASI TEORI SOSIAL



6. ASPEK ASPEK TEORI SOSIAL

1. Fokus Teoritis

Neuman (2014) memaparkan terdapat dua jenis fokus teoritis, yaitu: (1) Teori
Substantif, yang fokus pada kandungan partlar atau topik area pada realitas al eis,
misalnya: hubungan keluarga, perilaku kenakalan remaja, hubungan ras-etnis, dalb; (2)
Teori Formal, yang fokus pada sesuatu hal yang bersifat umum dan abstrak, khususnya
proses proses umum atau struktur yang dapat diterapkan antar ranah topik penelitian,
misalnya pebentukan suatu Identitas sosial keterlibatan dalam konflik, penggunaan
kekuasaan Secara spesifik pada penelitian deduktif, penentuan Leon yang akan
dibuktikan secara emps ini menjadi sakral. Hal ini dikarenakan penelitian deduktif
selalu bertolak dari tean atau proposial yang udali mapin seara apriori dan ingin
dibuktikan secara empiris. Sedangkan pada penelitian induktif, teori sendiri akan digali
melatu proses penteoriam mendasar melalui pengamatan dan pengalaman langsung
empiris Fokus teontianya adalah, selalu menuntur posisi peneliti untuk menentukan
mekanisme mediast logisti antara bingkal

Apabila dilihat dari gambar di atas, bahwa fokus teoritis dan tingkat analisa juga
sangat dipengaruhi oleh arah penteorian. Pada arah deduktif, keberhasilan peneliti
dalam menghipotesakan suatu uji menuntut kecermatannya dalam mendeduksikan
argumentasi-argumentasi yang berada pada bingkai teoritis tertentu, menjadi suatu
bentuk formal. Hal ini menjadi sangat khas ketika Anda sedang menyusun karya ilmiah,
Anda akan menghadapi berbagai literatur literatur pendukung untuk Anda sarikan
menjadi bentuk sintesis yang terfokus pada teori yang ingin Anda uji, dari bentuk
formal Anda sesuaikan dengan konteks pengujian empiris yang bersifat substantif.
Sebagai contoh: teori keuangan hipotesis pasar yang efisien merupakan bentuk abstrak
dari fenomena transaksi pasar bentuk formalnya adalah pembuktian matematis, namun
ketika hendak diujikan model matematis tersebut diterapkan secara substantif dengan
data di suatu pasar modal Indonesia

Di sisi lain, pada arah induktif, peneliti tidak dapat serta merta langsung
membingkai fenomena sosial, peneliti harus memiliki sikap keterbukaan terhadap gala
realitas yang menarik perhatiaannya. Peneliti secara bijak dan rendah hati harus
menangguhkan pengetahuan apapun yang dimilikinya, agar tidak secara cepat-cepat
memaknai fenomena empiris yang ditangkapnya. Peneliti melihat lebih dahulu secara
lengkap fenomenanya, kemudian baru menarik benang merah seraya menyusun formasi
formasi konsep dari apa yang ditemukannya, baru kemudian la mencari pendasaran
pada disiplin ilmu tertentu (biasanya menggunakan disiplin ilmu filsafat). Setelah la
berhasil merelasikan berbagai konsep dan asumai pada tatanan empiris, maka ia akan
mengupayakan bentuk formal dari apa yang menjadi temuannya. Misalnya seorang
peneliti hendak mengeksplorasi apa yang terjadi dengan fenomena perselingkuhan. la
tidak hanya dituntut untuk mengetahui bahwa si A dan si B berselingkuh karena si B
telah memiliki pasangon Ceneliti harus memahami benar mengapa si A dan si B
berselingkuh, mungkin juga dalam hal ini peneliti tersebut juga perlu mengalami dan
sekaligus menghayati apa dan bagaimana selingkuh itu. Pemahaman dan penghayatan
menuntut kedalaman suatu perasaan si subjek agar tercapainya suatu kelengkapan data
atas hubungan perselingkuhan itu. Data dan fakta yang diperolehnya kemudian
dijangkarkannya pada teori dasar (misalnya teori libido Freudian), setelah itu secara
rekursif (bola-balik) ia menyusun teori formalnya. Teori dasar ini menjadi titik tolak
ketika peneliti tersebut berargumentasi dan membentuk proposisi sebagai penjelasan
yang kuat.

2. Tingkat Analisa

Setelah kita mengetahui mengenal fokus teoritis, mari kita bertolak menuju
tingkat analisa. Sebelum penulis memaparkan apa at malisa, penulis ingin mengajak
pembaca membayangkan bahwa kenyataannya itu berlapis lapis seperti bawang merah.
Hal ini penting dilakukan, bahwa peneliti perlu mengimajinasikan kenyataan yang ingin
ia kaji, Sebagai contoh pada ilmu manajemen, suatu organisasi tidak dapat dipandang
begitu saja seperti rangkatan gigi roda atau hanya berupa Struktur organisasi yang kaku
dan serba pasti seperti mesin. Di dalam organisasi akan selalu terdapat individu individu
kelompok-kelompok kerja tertentu, kelompok-kelompok kerja divisi/departemen,
serikat buruh dan lain sebagainya yang mereka tidak saling asing berdiri dan bekerja
sendiri-sendin, namun mereka merupakan otonom otonom yang mampu memisahkan
diri dan meleburkan diri tergantung konteks pekerjaannya. Secara sederhana, ide
bawang ini dapat digambarkan sepers bagan dibawan ini (penampang bawang yang
dibelah)
Dalam hal tingkat analisa, Neuman (2014) mentautkan dua sisi teori ekstrim
berdasarkan cakupannya, periodenya, dan fokusnya. Ia mengandaikan tingkatan teori
seperti bidang datar dengan berbagai kajian keliling Dalam hal ini, penulis hendak
menambahkan konsep dasar filsafat dalam menjelaskan yaitu hubungan yang universal
dan partikular sebagai dimensi ketiga dari bidang datar Neuman ini Hal ini dirasakan
perlu, karena pada hakikatnya proyeksi keruangan dalam pikiran ini dapat memberikan
tafsir yang berbeda apabila kita tidak mempertimbangkannya secara lengkap. Sebagai
contoh dalam rangka menjelaskan fenomena sosial secara makro, apakah sesuatu yang
makro ini merupakan susunan atas fenomena yang mikro Tentu saja tidak begitu
sederhana. Sebagai contoh pada argumentasi sosiologis, seorang yang percaya agama
maka akan bertindak sesuai anjuran moralnya, ketika ia percaya bahwa agama yang ia
anut merupakan wahyu terang dari Tuhan yang bersifat universal Akan tetapi, dalam
konteks ateisme, hal-hal yang bersifat eksistensial (partikular tingkatan mikroj; atau
dalam hal ini perilaku individu dengan individu yang liyan mengatakan perilaku kaum
agamis, juga menentukan suatu bentuk forma idealnya (Tingkatan makro) dalam bentuk
norma-norma moral yang secara turun temurun dan menyejarah disebarkan oleh
individu-individu yang dipercaya memberikan pencerahan jalan hidup Padahal,
individu individu semacam ini bukan hanya pribadi yang memiliki kecerdasan unggul
dan lebih peka terhadap gejala-gejala empiris, dan sehingga mereka mampu
mensintesakan suatu bingkai teoritis (melalui arah indulatif) yang Kemudian juga
disebut sebagal argumentasi teologis: Bukankah mekanisme ini justru menghasilkan
teori teori substansi moral (relatif secara budaya setempat) dalam konsepat
ketuhanannya.

7. DINAMIKA TEORI SOSIAL


1. Teori evolusi (Evolusionary Theory)

Teori evolusi diilhami oleh pemikir-pemikiran Darwin, Herbert Spencer, Emile


Durkheim dan Ferdinand Tonnies. Teori evolu menyatakan bahwa:

1. Masyarakat berubah dari tingkat peradaban sederhana ke tingkat peradaban yang lebih
kompleks.
2. Pembagian kerja didasarkan pada aspek senioritas bukan pada aspek kompetensi
personal
3. Tonnies berasumsi bahwa perubahan selalu linier dalam arti perubahan pasti berjalan
mengarah pada pola-pola kehidupan yang lebih ideal.
2. Teory Konflik (conflict theory)

Teori konflik antar kelas sosial merupakan konflik yang terjadi akibat adanya
ketidaksetaraan kelas dalam sistem kapitalisme, yaitu adanya kelas para pemilik faktor
produksi dan kaum buruh. Teori ini banyak diilhami oleh pandangan-pandangan Karl
Max, Frederict Engle dan Ralf Dahrendorft. Menurut teori konflik:

1. Sumber perubahan adalah dualisme kelas sosial Borjuis dan Proletar yang selalu
bertentangan karena ketidakadilan dalam pembagian keuntungan, dimana kelompok
proletar selalu berada dalam pihak yang menderita, sebab eksploitasi kaum Borjuis.
2. Gejala ini menjadi pemicu klonflik sosial dalam wujud revolusi sosial yang akhir dari
perubahan adalah kehidupan sosial tanpa kelas, dengan pola-pola pembagian yang
sama rata, dimana peran negara sudah tidak diperlukan lagi.
3. Teory fungsionalis (functionalist theory)

Perubahan sosial merupakan dampak ketidakpuasan masyarakat karena kondisi


sosial yang berlaku dapat mempengaruhi pribadi masyarakat. Menurut William Ogburn
penyebab dari perubahan adalah adanya ketidakpuasan masyarakat karena kondisi
sosial yang berlaku pada masa tersebut yang mempengaruhi pribadi mereka.

Meskipun unsur-unsur sosial satu sama lain terdapat hubungan yang


berkesinambungan, namun dalam perubahan ternyata masih ada sebagian yang
mengalami perubahan tetapi sebagian yang lain masih dalam keadaan tetap (statis).

Setiap perubahan tidak selalu membawa perubahan pada semua unsur sosial,
sebab masih ada sebagian yang tidak ikut berubah. Perubahan tehnologi akan berjalan
lebih cepat dibanding dengan perubahan pada perubahan budaya, pemikiran,
kepercayaan, nilai-nilai, norma-norma yang menjadi alat untuk mengaru kehidupan
manusia.

4. Teori siklus (cyclical theory)


Perubahan sosial bagaikan roda yang sedang berputar, yang artinya perputaran
jaman merupakan sesuatu hal yang tidak dapat dielak oleh siapapun dan tidak dapat
dikendalikan oleh siapapun.

Arnold Toynbee dan Ibnu Khaldun mengungkapkan bahwa kebangkitan dan


kemunduran peradaban suatu bangsa memiliki hubungan korelasional antara satu
dengan lainnya, yaitu tantangan dan tanggapan (challenge and response).

Jika kehidupan masyarakat mampu merespon tentang kehidupan, maka ia akan


mengalami perkembangan dan kemajuan, tetapi jika ia tidak memiliki kemampuan
merespon tantangan maka ia akan mengalami kemunduran.Oswald Spengler
berpendapat bahwa setiap masyarakat akan senantian berkembang melalui empat
tahapan, yaitu: masa kanak-kanak, remaja, dewasa, dan masa tua.

8. PERANAN TEORI SOSIAL

1. Pengertian Peran Sosial

Peranan (role) merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Ketika seseorang


melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka orang
tersebut telah menjalankan suatu peranan. Peranan dan kedudukan saling tergantung
satu sama lain. Tidak ada peranan tanpa kedudukan, begitu pula tidak ada kedudukan
tanpa peranan.

Kata peran dalam Bahasa Inggris disebut dengan role, adalah istilah yang
diadopsi dari dunia teater Shakespeare. Role atau peran adalah aktivitas yang dimainkan
oleh aktor panggung. Dalam sosiologis, peran juga selalu dimainkan oleh aktor sosial
dalam kehidupan sehari-hari. Peran ada waktu dimulainya, dan ada pula waktu
berakhirnya, sebagaimana drama teater.

Peran dalam objek kajian sosiologis, merupakan perilaku yang diharapkan dari
seseorang yang menduduki status sosial tertentu dalam masyarakat. Peran sosial
seseorang dalam masyarakat sangat ditentukan oleh status sosial yang dimilikinya. Jika
status sosial seseorang tinggi, maka akan semakin tinggi pula peran sosialnya dalam
masyarakat, atau sebaliknya. Peran sosial dianggap sangat penting karena mengatur
perilaku seseorang dalam masyarakat berdasarkan norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat tersebut.

Pengertian Peran Sosial Menurut Para Ahli

a) Abu Ahmadi (1982), Pengertian peran adalah sebagai suatu pengharapan kompleks
manusia terhadap bagaimana individu harus bertindak dan bertindak dalam situasi
tertentu yang berdasarkan status dan fungsi sosialnya.
b) Soerjono Soekanto (2002:243), Definisi peran adalah aspek dinamis kedudukan
(status), apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan
kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peran.

2. Ruang Lingkup Peran Sosial

Peranan dapat mencakup 3 (tiga) hal di antaranya,

a) Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang
dalam masyarakat
b) Peranan merupakan suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam
masyarakat sebagai organisasi
c) Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur
sosial masyarakat

3. Macam Peran Sosial

a) Peran ideal, yaitu peran yang sesuai dengan status sosial. Biasanya peran ideal juga
sesuai dengan ekspektasi masyarakat pada umumnya. Sebagai contoh, peran ideal
seorang siswa dan siswa adalah belajar.
b) Peran yang diinginkan, yaitu peran yang dimainkan oleh seseorang karena
keinginannya sendiri. Misalnya, seorang ayah yang memainkan peran sebagai seorang
kakak pada anaknya yang beranjak remaja. Atau seorang bos yang berperan sebagai
mentor pada karyawannya. Peran ini dimainkan karena kehendak pribadi tanpa
mempertimbangkan sosialnya.
c) Peran yang dikerjakan, yaitu peran ideal yang dikerjakan atau dieksekusi. Misalnya
seorang presiden di Indonesia yang juga sekaligus seorang panglima tertinggi dan
kepala pemerintahan. Ia mengambil keputusan untuk menarik atau tidak menjadi
panglima tertinggi. la juga membuat regulasi sebagai kepala pemerintahan.

4. Kategori Peran Sosial

a) Peran Budaya, budaya adalah salah satu atribut utama masyarakat. Orang sering terlibat
dengan berbagai aspek budaya. Seseorang yang masuk dalam wilayah budaya harus
memenuhi harapan masyarakat yang melekat padanya. Misalnya, seorang imam harus
memenuhi tugas-tugas seperti melakukan ritual dan upacara.
b) Diferensiasi Sosial, diferensiasi sosial pada dasarnya mengacu pada perubahan peran
sosial dengan profesi dan hubungan. Individu yang menanamkan berbagai profesi,
seperti mengajar, memasak, dan memasang pipa memiliki peran yang berbeda untuk
dipenuhi.
c) Situasi-Peran khusus, orang mengambil peran yang berbeda, sesuai dengan situasi.
Kadang-kadang, seseorang ternyata menjadi korban kecelakaan, atau saksi mata karena
situasi yang tidak terduga.

9. APLIKASI TEORI SOSIAL

Penerapan Teori Sosial dalam Berbagai Aspek Kehidupan

1. Pendidikan

Manjelaskan bagaimana Teor Sosial dapat diterapkan dalam konteks pendidikan,


mempengaruhil interaksi antara guru dan siswa serta pembentukan lingkungan belajar
yang inklusif.

2. Organisasi

Menggambarkan penerapan Teori Sosial dalam konteks organisasi, mengupas


hubungan antar rekan kerja, pembentukan budaya perusahaan, dan pemberdayaan tim.

3. Kesehatan Masyarakat
Menjelaskan bagaimana Teori Sosial dapat digunakan dalam memahami perilaku
kesehatan masyarakat, seperti kampanye penyuluhan dan promosi kesehatan.

Contoh Penerapan Teori Sosial dalam Masyarakat

1. Pencegahan Kekerasan dalam Rumah Tangga

Menerapkan Teori Sosial dalam melakukan intervensi, membangun dukungan


sosial dan memperkuat relasi penting dalam masyarakat untuk mengurangi kekerasan
dalam rumah tangga.

2. Penanggulangan Kemiskinan

Menerapkan Teori Sosial dalam memahami faktor- faktor sosial yang


mempengaruhi kemiskinan dan mengembangkan strategi untuk mengatasi masalah
tersebut melalu program pemberdayaan.

3. Upaya Perlindungan Lingkungan

Menerapkan Teori Sosial dalam memahami perilaku manusia yang berkontribusi


terhadap kerusakan lingkungan dan mengembangkan program: yang mendorong
keberlanjutan dan kesadaran lingkungan.

Kelebihan dan Kekurangan Aplikasi Teori Sosial

1. Kelebihan

Mengungkap beberapa kelebihan penerapan Teon Sosial, seperti menghasilkan


pemahaman yang lebih baik tentang perilaku manusia dalam konteks sosial serta
menyediakan kerangka kerja untuk solusi sosial yang efektif.

2. Kekurangan

Mengidentifikasi beberapa kekurangan penerapan Teori Sosial, seperti tantangan


mengenai perbedaan individu, konteks tertentu, dan pemahaman yang luas tentang
aspek sosial yang kompleks.
REFERENSI

Achwan, Rochman. (2010). Ilmu Sosial Di Indonesia: Peluang, Persoalan, Dan Tantangan.
Jurnal Masyarakat dan Budaya. 12(3), 189-206. Darsono & Widya Karmilasari. 2017.
Sumber Belajar Penunjang PLPG 2017 Kompetensi Profesional Sub Unit Ilmu
Pengetahuan Sosial.

Sudiono, Lue & Yulia Palupi. 2016. Ilmu Sosial Dasar.


Yogyakarta: Kaliwangi Offset.

Supardan, Dadang. 2017. Pengantar Ilmu Sosial - Sebuah

Kajian Pendekatan Struktural. Jakarta: Bumi aksara

Neuman, WL (2014). Metode Penelitian Sosir Pendekatan kualitatif dan kuantitatif (Edisi ke-
7). Harlow: Pearson Pendidikan Ltd. Sinnott-Armstrong, W., & Fogelin, R. (2015).
Memahami Argumen: Pengantar logika informal. Stamford: Pembelajaran Cengage.
Sudarminta, J. (2002). Epistemologi Dasar: Pengantar filsafat pengetahuan.
Yogyakarta: Kanisius. Watloly, A. (2013). Sosio-Epistemologi: Membangun
pengetahuan sosial. Yogyakarta: Kanisius.
TEORI SOSIAL

DISUSUN OLEH :

ISMITA APRILIA

S1A122145
KELAS D

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS HALUOLEO

2023

Anda mungkin juga menyukai