Norma dan dan institusi berawal dari masyarakat melalui kesepakatan bersama.
Namun, dalam perjalananya institusi dan norma tersebut tumbuh dengan sendirinya
secara mandiri. Hal ini yang disebut Emile Durkheim sebagai realitas suie generis,
dalam artian masyarakat memliliki eksistensnya sendiri.
Contoh dari teori sosial ini misalnya sebuah institusi yang terjadi di masyarakat ketika
terjadi kebobrokan, seperti halnya korupsi. Walaupun dari sudut pandang sosial bahwa
persoalan tersebut terjadi karena sistem atau faktor individu, tetapi menurut pandangan
sui generis bahwa sistem tidak lain sebagai makhluk yang terus menerus hidup dan
berkembang di luar realitas individu. Walaupun sistem itu awalnya dibentuk oleh
individu-individu, pada perkembangannya sistem itu bergerak menemukan pola sendiri
di luar yang digariska oleh kesepakatan individu.
Menurut Max weber individu manusia dalam masyarakat merupakan aktor yang
kreatif dan realitas sosial bukan merupakan alat yang setatis dari pada paksaan fakta
sosial. Artinya, tindakan manusia tidak sepenuhnya di tentukan oleh norma,
kebiasaan,nilai, dan sebagainya yang mencakup di dalam konsep fakta sosial.
Walaupun pada akhirnya weber mengakui bahwa dalam masyarakat terdapat
setruktural sosisal dan pranata sosial. Dikatakan bahwa setruktur sosial dan pranta
sosial merupakan dua konsep yang saling berkaitan dalam membentuk tindakan sosial.
Tindakan sosial terjadi ketika individu melekatkan makna subjektif pada tindakan
mereka. Hubungan sosial menurut Weber yaitu suatu tindakan dimana beberapa aktor
yang berbeda-beda, sejauh tindakan itu mengandung makna dihubungkan serta
diarahkan kepada tindakan orang lain. Masing-masing individu berinteraksi dan saling
menanggapi
Weber juga membicarakan bentuk-bentuk empiris tindakan sosial dan antar-hubungan
sosial tersebut. Weber membedakan dua jenis dasar dari pemahaman yang bersifat
tafsiran dari arti, dari tiap jenis pemahaman ini bisa dibagi sesuai dengan masing-
masing pertaliannya, dengan menggunakan tindakan rasional ataupun emosional. Jenis
pertama adalah pemahaman langsung yaitu memahami suatu tindakan dengan
pengamatan langsung. Kedua, pemahaman bersifat penjelasan. Dalam tindakan ini
tindakan khusus aktor ditempatkan pada suatu urutan motivasi yang bisa dimengerti,
dan pemahamannya bisa dianggap sebagai suatu penjelasan dari kenyataan
berlangsungnya perilaku.
Max Weber dalam (J Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, 2006:18) mengklasifikasikan
empat jenis tindakan sosial yang mempengaruhi sistem dan struktur sosial masyarakat
yaitu;
1. Rasionalitas instrumental
Yaitu tindakan sosial yang dilakukan seseorang didasarkan atas pertimbangan dan
pilihan sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan ketersediaan alat yang
dipergunakan untuk mencapainya.
2. Rasionalitas yang berorientasi nilai
Alat-alat yang ada hanya merupakan pertimbangan dan perhitungan yang sadar,
sementara tujuan-tujuannya sudah ada didalam hubungannya dengan nilai-nilai
individu yang bersifat absolut.
3. Tindakan tradisional
Seseorang memperlihatkan perilaku tertentu karena kebiasaan yang diperoleh
dari nenek moyang, tanpa refleksi yang sadar atau perencanaan.
4. Tindakan afektif
Tindakan ini didominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau
perencanaan sadar. Tindakan afektif bersifat spontan, tidak rasional dan merupakan
refleksi emosional dari individu.
Dari keempat tindakan tersebut sulit diwujudkan dalam kenyataan, namun apapun
wujudnya hanya dapat dimengerti menurut arti subjektif dan pola-pola motivasional
yang berkaitan dengan itu. Sebuah interaksi sosial akan kacau bilamana antara pihak-
pihak yang berinteraksi tidak saling memahami motivasi dan makna tindakan sosial
yang mereka lakukan.
c. Teori Sosial Karl Marx
Teori Karl Marx menjelaskan tentang teori struktural fungsional. Menurut Karl
Marx, stratifikasi yang berbeda-beda itu mempunyai fungsi tersendiri. Karl Marx
melahirkan suatu aliran, yaitu aliran komunisme. Agama adalah candu yang terdapat
didalam masyarakat. Dalam prakteknya seperti orang katolik. Fungsi tersebut
didalamnya terdapat suatu konflik. Adanya pembagian masyarakat itu memicu
terjadinya suatu konflik. Mark juga menjelaskan tentang suatu revolusi karena
menurutnya kita sebagai masyarakat haruslah mengambil alih secara cepat dalam
berbagai bidang apapun. masyarakat juga tidak mempunyai stratifikasi kelas karena
memiliki suatu alat, dalam artian sama rata. Karl Marx mempunyai semboyan yang
sangat khas, yaitu “sama rata sama rasa”. Menurut Karl Marx, agama itu tidak boleh
karena menimbulkan suatu konflik. Tetapi jika agama dilarang, maka kita tidak akan
mempunyai suatu pedoman untuk hidup didalam dunia ini. Karl Marx juga menjelaskan
tentang konsep kapitalisme. Paradigma yang dianut oleh Karl Marx adalah paradigma
fakta sosial. Jadi semakin miskin seseorang sebagai rakyat maka semakin miskin juga
seseorang dalam hal apapun. Tetapi semakin kaya seseorang maka semakin kaya juga
seseorang tersebut dalam hal apapun. Marx juga berpendapat bahwa kolektifitas selalu
menimbulkan suatu perbedaan. Sedangkan yang mendorong adanya suatu kesadaran itu
adalah setiap materi-materi yang diberikan dan dipahami.
Comte untuk menjelaskan kemajuan evolusioner umat manusia dari masa primitif
sampai ke peradaban Prancis abad kesembilan belas yang sangat maju. hukum ini
menyatakan bahwa masyarakat-masyarakat (umat manusia) berkembang melalui tiga
tahap utama. Tahap-tahap ini ditentukan menurut cara berpikir yang dominan: teologis,
metafisik dan positif. Comte menjelaskan hukum tiga tahap sebagai berikut:
Bahwa setiap konsepsi kita yang paling maju, setiap cabang pengetahuan kita,
berturut-turut melewati tiga kondisi teoretis yang berbeda: teologis atau fiktif; metafisik
atau abstrak; ilmiah atau positif. Dengan kata lain, pikiran manusia pada dasarnya
dalam perkembangannya, menggunakan tiga metode berfilsafat yang karakternya
sangat berbeda malah bertentangan. Yang pertama merupakan titik tolak yang harus
ada dalam pemahaman manusia; yang kedua hanya suatu keadaan peralihan; dan yang
ketiga adalah pemahaman keadaannya yang pasti dan tak tergoyahkan.
e. Pitirim Sorokin
Hal ini bertentangan dengan Comte dan Sorokin. Bagi Ogburn, segi yang paling
penting dari perubahan sosial adalah kemajuan dalam kebudayaan materil, termasuk
penemuan-penemuan dan perkembangan teknologi; sedangkan Comte dan Sorokin
menekankan perubahan dalam bentuk-bentuk pengetahuan atau pandangan dunia
sebagai rangsangan utama untuk perubahan sosial, di mana perubahan dalam
kebudayaan materil mencerminkan perubahan dalam aspek-aspek kebudayaan.
g. Charles horton coolay (1863-1947) : Teori sosial adalah cara memahami bagaimana
manusia membentuk diri mereka sendiri melalui interpretasi mereka terhadap situasi
sosial.
h. Talcott Parsons (1902-1979) : Teori sosial adalah sistem konseptual yang digunakan
untuk menjelaskan fenomena sosial.
k. W.I. Thomas dan Florian Znaniecki (1863-1947): Teori sosial adalah cara
memahami bagaimana manusia membentuk diri mereka sendiri melalui interaksi sosial
dan pengalaman pribadi.
n. Pierre Bourdieu (1930-2002): Teori sosial adalah cara memahami bagaimana struktur
sosial dan budaya membentuk tindakan sosial.
Sejarah perkembangan teori sosial indonesia terbagi menjadi beberapa fase yaitu
ilmu sosial colonial(indologi), ilmu sosial developmentalis dan ilmu sosial kotemporer.
Perkembangan tersebut tidak hanya di pengaruhi oleh zamanya saja melainkan juga
pemikiran- pemikiranya juga. Perkembangan-perkembangan teori sosial indonesia
yaitu:
Berikut beberapa hal menarik pada masa perkembangan ilmu sosial kotemporer:
➢ Semakin banyaknya minat sarjarana luar negeri yang semakin tertarik mempelajari
indonesia. Pertama di awali oleh AS, Australia, Ingris, Prancis, jerman dan belakangan
ini juga di Swedia dan Jepang.
Bersamaan dengan kecenderungan di atas, ada dua gejala unik yang perlu dicatat:
pertama masuknya kembali generasi baru peneliti Belanda yang sudah tercerahkan‘
dalam paradigma baru dalam werkgroep Indonesich studies dengan sejumlah bidang
studi (vakgroep) di berbagai universitas Belanda, menggantikan mantel lama, indologie
(Zed, 2014) Dengan hal tersebut tercipntanya hubungangan antara kawasan Asia
Tenggara karena pada satat sebelum PD II belum mengenal kerjasama tersebut.
➢ Tingginya kadar ‘parokhial’ antardisiplin ilmu yang terorgaisasi dalam lmbaga atau
rumpun ilmu sosial, baik ke luar mau ke dalam. Ke luar, maksudnya klaim keabsahan
pembagian ilmu pengetahuan modern ke dalam tiga locus yang secara instrinsik
dianggap berbeda: rumpun ilmu alam, ilmu sosial dan ilmu kemanusiaan (humaniora).
Di lembaga pendidikan tinggi, masing-masing cenderung melihat diri mereka sebagai
berbeda dan membuat sekat-sekat yang tinggi satu sama lain (Zed, 2014).
Ke dalam maksudnya perbedaan di antara rumpun displin ilmu-ilmu sosial (dalam
bentuk jamak). Keduaduanya sama parahnya karena masing-masing saling
mengabaikan dan bahkan melecehkan satu sama lain, sehingga terjadi apa yang
digambarkan oleh Burke (2005) sebagai dialog ‘si tuli’, suatu fenomena klasik yang
rupanya juga terjadi Barat. Lebih celaka lagi, kelompok yang satu cenderung
memandang rendah yang lain, atau kalau bukan demikian, yang satu merasa lebih hebat
dari yang lain. Ahli sejarah atau mahasiswa sejarah, misalnya, seringkali dilecehkan
dengan mengaggap pekerjaan mereka hanyalah sebagai tukang kumpul fakta-fakta
(facts-collector), mengurus manusia yang telah mati; pekerja ilmu amatiran yang rabun,
karena tidak mempunyai teori. Ini mengingatkan kita pada ejekan Herbert Spencer yang
mengatakan bahwa sejarawan hanyalah tukang angkat batu (fakta) yang akan
digunakan sosiologiwan untuk membuat bangunan. Sebaliknya banyak sejarawan yang
memandang ilmuwan sosial sebagai orang yang suka menggunakan jargon-jargon yang
kabur untuk menyatakan hal-hal yang sudah jelas; tidak memiliki sense waktu dan
tempat, membenamkan individu ke dalam kategori-kategori umum yang kaku. Maka
untuk menutup semua ini, mereka menyebut kegiatan mereka sebagai hal yang ‘ilmiah’.
Dibeberapa tempat di Indonesia, para dosen dan mahasiswa fakultas tertentu
ramairamai ikut mendesak agar pindah ke atau bergabung dengan fakultas lain karena
beberapa alasan praktis, tiak nayaman di rumah yang lama, antara lain merasa ijazah
cap fakultas mereka yang lama kurang ‘bonafide’ atau kurang dihargai oleh pemerintah
atau biro pelayanan tenaga kerja. Jadi berkaitan dengan masalah praktis dari segi
kelembagaan atau organisasi ilmu pengetahuan (Nasiwan Y. S., 2016).
➢ Erat kaitannya dengan butir di atas, ialah kecenderungan ahistoris ilmuwan sosial
Indonesia kontemporer seperti yang disinyalir oleh Arif Budiman beberapa tahun lalu.1
Ciri ini jelas merupakan penyimpangan atau bahkan kemersotan dua tipologi ilmu
sosial sebelumnya, baik indologi maupun ilmu sosial developmentalis sejak semula
sangat kuat dalam apresiasi sejarah mereka. Ini tidak hanya berlaku di kalangan para
perintis seperti Geerzts dan Ben Anderson dan lain-lain, tetapi juga di kalangan generasi
pertama ilmuwan sosial Indonesia sendiri seperti Selo Soemardjan dan juniornya Harsja
Bachtiar (sosiologi), Sayogyo (sosiologi pertanian), Kuntjaraningrat (antropologi),
Sumitro Djojohadikusumo (ekonomi), dan tentu saja juga Soekmono (arkeologi) untuk
menyebut beberapa di antaranya (Zed, 2014).
➢ Perangkap ideologi dalam kajian ilmu sosial kontemporer. Para ilmuwan sosial di
negara-negara Dunia Ketiga, yang notabene adalah bekas negeri jajahan seperti
Indonesia lambat laun mulai sadar dan merasa malu bahwa mereka terlalu lama hidup
sebagai sarjana imitasi‘ (Ignas, 1987).
Ilmu sosial diajarkan di perguruan tinggi maupun di sekolah dasar dan sekolah
menengah. Pada perguruan tinggi ilmu sosial dikenal dengan Ilmu Sosial Dasar (ISD)
dan pada jenjang sekolah dikenal dengan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Di perguruan
tinggi, ruang lingkup ilmu sosial berfokus pada 2 masalah utama yaitu:
1) Adanya berbagai aspek yang merupakan satu masalah sosial yang dapat ditanggapi
dengan pendekatan sendiri/ menurut keahlian yang berbeda-beda, maupun sebagai
gabungan pendekatan gabungan antar bidang.
2) Adanya keragaman golongan dan kesatuan sosial lain dalam masyarakat, yang
maisng-masing mempunyai kepentingan kebutuhan serta pola-pola pemikiran dan pola
tingkah laku sendiri, tetapi juga amat banyak kesamaan kepentingan kebutuhan serta
persamaan dalam pola-pola pemikiran da tingkah laku yang menyebabkan pertentangan
maupun hubungan setia kawan dan kerjasama dalam masyarakat kita.
Dari 2 masalah utama tersebut, bisa kita kerucutkan kembali menjadi beberapa sub-bab
atau sub-pokok sebagai berikut:
1) Mempelajari dan menyadari adanya berbagai masalah kependudukan dan
hubungannnya dengan perkembangan masyarakat dan kebudayaan.
2) Mempelajari dan menyadari adanya masalah-masalah individu, keluarga dan
masyarakat.
3) Mempelajari masalah-masalah kependudukan dan sosialisasi serta menyadari
identitasnya sebagai mahasiswa.
4) Mempelajari hubungan antara warga negara dan negara.
5) Mempelajari masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat perkotaan dan
pedesaan.
6) Mempelajari hubungan antara pelapisn sosial dan persamaan derajat
7) Mempelajari dan menyadari adanya pertentangan-pertentangan sosial bersamaan
dengan adanya integrasi masyarakat
8) Mempelajari usaha pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi oleh manusia
untuk memanfaatkan kemakmuran dan pengurangan kemiskinan.
Menurut Tasrif, ruang lingkup pembelajaran IPS pada jenjang sekolah dasar dan
menengah meliputi beberapa aspek sebagai berikut:
1) Ditinjau dari ruang lingkup hubungan mencakup hubungan sosial, hubungan
ekonomi, hubungan psikologi, hubungan budaya, hubungan sejarah, hubungan
geografi, dan hubungan politik.
2) Ditinjau dari segi kelompoknya adalah dapat berupa keluarga, rukun tetangga,
kampung, warga desa, organisasi masyarakat dan bangsa.
3) Ditinjau dari tingkatannya meliputi tingkat lokal, regional dan global.
4) Ditinjau dari lingkup interaksi dapat berupa kebudayaan, politik dan ekonomi.
Berdasarkan Permendiknas 2006 tentang Standar Isi, menjelaskan bahwa ruang lingkup
mata pelajaran IPS meliputi:
1) Manusia, tempat, dan lingkungan.
2) Waktu, keberlanjutan, dan perubahan.
3) Sistem sosial dan budaya.
4) Perilaku ekonomi dan kesejahteraan.
Pendekatan teori-teori sosial adalah suatu cara untuk memahami kenyataan atau
fenomena sosial. Dalam sosiologi, teori merupakan alat untuk melakukan analisis dan
bukan merupakan tujuan analisis, tetapi hanya untuk memahami kenyataan atau
fenomena
➢ Setiap Masyarakat Terdiri Dari Berbagai Elemen Yang Terstruktur Secara Relatif
Mantap Dan Stabil.
Misalnya adalah aktivitas sehari-hari, mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi
(setiap masyarakat mempunyai aktifitas yang relatif stabil setiap harinya).
➢ Setiap Elemen dalam Struktur memiliki Fungsi, yaitu Memberikan Sumbangan pada
Bertahannya Struktur itu sebagai Suatu Sistem.
Setiap orang atau elemen masyarakat memiliki fungsi. Misalnya pekerjaan polisi
memiliki fungsi untuk memberikan rasa nyaman bagi masyarakat lain.
➢ Setiap Struktur yang Fungsional Dilandaskan pada Suatu Konsensus nilai di antara Para
Anggotanya.
Misalnya adalah fungsi dalam keluarga (ayah, ibu, anak). siapa yang menetapkan
fungsi ayah sebagai kepala rumah tangga dan memberikan nafkah? Siapa yang
menetapkan fungsi ibu sebagai pendidik utama anak-anak dan mengatur aktifitas rumah
tangga? Hal ini adalah sebagai konsensus nilai dalam masyarakat.
➢ Setiap Masyarakat dalam Setiap Hal Tunduk Pada Proses Perubahan; Perubahan Sosial
Terdapat di Mana-Mana.
➢ Setiap Masyarakat dalam Setiap Hal, Memperlihatkan Pertikaian dan Konflik, Konflik
Sosial Terdapat di Mana-Mana.
➢ Setiap Masyarakat Didasarkan Pada Paksaan Beberapa Anggota Atas Orang Lain.
Pemaknaan terhadap simbol seperti sarung, baju koko, mobil dll. Ketika ada
orang yang memakai sarung dan baju koko dianggap sebagai ahli ibadah atau pa haji,
atau ketika ada orang yang punya mobil kita menganggap bahwa dia orang kaya padahal
kenyataanya belum tentu juga.
Contoh: Dosen, Suami/ayah, Anak. Pola komunikasi sesuai dengan peran yang
diambil pada saat terjadinya komunikasi. Ketika di kampus dia sebagai dosen, maka
pola komunikasi harus sebagai dosen. Ketika di rumah sebagai suami/ayah maka pola
komunikasi harus sebagai suami/ayah. Dan ketika di rumah orang tua kita sebagai anak,
maka pola komunikasi harus sebagai anak meskipun kita di kampus punya peran
sebagai dosen (menyesuaikan posisi).
➢ Setiap Masyarakat terbentuk, Bertahan, dan Berubah Berdasarkan Kemampuannya
untuk Berfikir, Mendefinisikan, Melakukan Refleksi Diri dan Melakukan Evaluasi.
4. Teori Pertukaran
Teori Pertukaran melihat dunia sebagai arena pertukaran, bertukar ganjaran/hadiah. Semua
perilaku sosial berawal dari pertukaran seperti persahabatan, perkawinan, mitra dan lain-lain.
Asumsi Teori Pertukaran menurut George C. Homas, Peter M. Blau, Richadr Emerson, Jhon
Thibout dan Harol H. Kelly (1986:197-198) sebagai berikut:
➢ Manusia Adalah Makhluk yang Rasional, Dia memperhitungkan Untung dan Rugi.
➢ Perilaku Pertukaran Sosial Terjadi Apabila :
➢ Perilaku Tersebut Harus Berorientasi pada Tujuan-Tujuan yang Hanya dicapai Melalui
Interaksi dengan Orang Lain
➢ Perilaku Harus Bertujuan untuk Memperoleh Sarana Bagi Pencapaian Tujuan Tersebut.
➢ Transaksi-Transaksi Pertukaran Terjadi hanya Apabila Pihak yang Terlibat
memperoleh Keuntungan dari Pertukaran Tersebut.
1. Fokus Teoritis
Neuman (2014) memaparkan terdapat dua jenis fokus teoritis, yaitu: (1) Teori
Substantif, yang fokus pada kandungan partlar atau topik area pada realitas al eis,
misalnya: hubungan keluarga, perilaku kenakalan remaja, hubungan ras-etnis, dalb; (2)
Teori Formal, yang fokus pada sesuatu hal yang bersifat umum dan abstrak, khususnya
proses proses umum atau struktur yang dapat diterapkan antar ranah topik penelitian,
misalnya pebentukan suatu Identitas sosial keterlibatan dalam konflik, penggunaan
kekuasaan Secara spesifik pada penelitian deduktif, penentuan Leon yang akan
dibuktikan secara emps ini menjadi sakral. Hal ini dikarenakan penelitian deduktif
selalu bertolak dari tean atau proposial yang udali mapin seara apriori dan ingin
dibuktikan secara empiris. Sedangkan pada penelitian induktif, teori sendiri akan digali
melatu proses penteoriam mendasar melalui pengamatan dan pengalaman langsung
empiris Fokus teontianya adalah, selalu menuntur posisi peneliti untuk menentukan
mekanisme mediast logisti antara bingkal
Apabila dilihat dari gambar di atas, bahwa fokus teoritis dan tingkat analisa juga
sangat dipengaruhi oleh arah penteorian. Pada arah deduktif, keberhasilan peneliti
dalam menghipotesakan suatu uji menuntut kecermatannya dalam mendeduksikan
argumentasi-argumentasi yang berada pada bingkai teoritis tertentu, menjadi suatu
bentuk formal. Hal ini menjadi sangat khas ketika Anda sedang menyusun karya ilmiah,
Anda akan menghadapi berbagai literatur literatur pendukung untuk Anda sarikan
menjadi bentuk sintesis yang terfokus pada teori yang ingin Anda uji, dari bentuk
formal Anda sesuaikan dengan konteks pengujian empiris yang bersifat substantif.
Sebagai contoh: teori keuangan hipotesis pasar yang efisien merupakan bentuk abstrak
dari fenomena transaksi pasar bentuk formalnya adalah pembuktian matematis, namun
ketika hendak diujikan model matematis tersebut diterapkan secara substantif dengan
data di suatu pasar modal Indonesia
Di sisi lain, pada arah induktif, peneliti tidak dapat serta merta langsung
membingkai fenomena sosial, peneliti harus memiliki sikap keterbukaan terhadap gala
realitas yang menarik perhatiaannya. Peneliti secara bijak dan rendah hati harus
menangguhkan pengetahuan apapun yang dimilikinya, agar tidak secara cepat-cepat
memaknai fenomena empiris yang ditangkapnya. Peneliti melihat lebih dahulu secara
lengkap fenomenanya, kemudian baru menarik benang merah seraya menyusun formasi
formasi konsep dari apa yang ditemukannya, baru kemudian la mencari pendasaran
pada disiplin ilmu tertentu (biasanya menggunakan disiplin ilmu filsafat). Setelah la
berhasil merelasikan berbagai konsep dan asumai pada tatanan empiris, maka ia akan
mengupayakan bentuk formal dari apa yang menjadi temuannya. Misalnya seorang
peneliti hendak mengeksplorasi apa yang terjadi dengan fenomena perselingkuhan. la
tidak hanya dituntut untuk mengetahui bahwa si A dan si B berselingkuh karena si B
telah memiliki pasangon Ceneliti harus memahami benar mengapa si A dan si B
berselingkuh, mungkin juga dalam hal ini peneliti tersebut juga perlu mengalami dan
sekaligus menghayati apa dan bagaimana selingkuh itu. Pemahaman dan penghayatan
menuntut kedalaman suatu perasaan si subjek agar tercapainya suatu kelengkapan data
atas hubungan perselingkuhan itu. Data dan fakta yang diperolehnya kemudian
dijangkarkannya pada teori dasar (misalnya teori libido Freudian), setelah itu secara
rekursif (bola-balik) ia menyusun teori formalnya. Teori dasar ini menjadi titik tolak
ketika peneliti tersebut berargumentasi dan membentuk proposisi sebagai penjelasan
yang kuat.
2. Tingkat Analisa
Setelah kita mengetahui mengenal fokus teoritis, mari kita bertolak menuju
tingkat analisa. Sebelum penulis memaparkan apa at malisa, penulis ingin mengajak
pembaca membayangkan bahwa kenyataannya itu berlapis lapis seperti bawang merah.
Hal ini penting dilakukan, bahwa peneliti perlu mengimajinasikan kenyataan yang ingin
ia kaji, Sebagai contoh pada ilmu manajemen, suatu organisasi tidak dapat dipandang
begitu saja seperti rangkatan gigi roda atau hanya berupa Struktur organisasi yang kaku
dan serba pasti seperti mesin. Di dalam organisasi akan selalu terdapat individu individu
kelompok-kelompok kerja tertentu, kelompok-kelompok kerja divisi/departemen,
serikat buruh dan lain sebagainya yang mereka tidak saling asing berdiri dan bekerja
sendiri-sendin, namun mereka merupakan otonom otonom yang mampu memisahkan
diri dan meleburkan diri tergantung konteks pekerjaannya. Secara sederhana, ide
bawang ini dapat digambarkan sepers bagan dibawan ini (penampang bawang yang
dibelah)
Dalam hal tingkat analisa, Neuman (2014) mentautkan dua sisi teori ekstrim
berdasarkan cakupannya, periodenya, dan fokusnya. Ia mengandaikan tingkatan teori
seperti bidang datar dengan berbagai kajian keliling Dalam hal ini, penulis hendak
menambahkan konsep dasar filsafat dalam menjelaskan yaitu hubungan yang universal
dan partikular sebagai dimensi ketiga dari bidang datar Neuman ini Hal ini dirasakan
perlu, karena pada hakikatnya proyeksi keruangan dalam pikiran ini dapat memberikan
tafsir yang berbeda apabila kita tidak mempertimbangkannya secara lengkap. Sebagai
contoh dalam rangka menjelaskan fenomena sosial secara makro, apakah sesuatu yang
makro ini merupakan susunan atas fenomena yang mikro Tentu saja tidak begitu
sederhana. Sebagai contoh pada argumentasi sosiologis, seorang yang percaya agama
maka akan bertindak sesuai anjuran moralnya, ketika ia percaya bahwa agama yang ia
anut merupakan wahyu terang dari Tuhan yang bersifat universal Akan tetapi, dalam
konteks ateisme, hal-hal yang bersifat eksistensial (partikular tingkatan mikroj; atau
dalam hal ini perilaku individu dengan individu yang liyan mengatakan perilaku kaum
agamis, juga menentukan suatu bentuk forma idealnya (Tingkatan makro) dalam bentuk
norma-norma moral yang secara turun temurun dan menyejarah disebarkan oleh
individu-individu yang dipercaya memberikan pencerahan jalan hidup Padahal,
individu individu semacam ini bukan hanya pribadi yang memiliki kecerdasan unggul
dan lebih peka terhadap gejala-gejala empiris, dan sehingga mereka mampu
mensintesakan suatu bingkai teoritis (melalui arah indulatif) yang Kemudian juga
disebut sebagal argumentasi teologis: Bukankah mekanisme ini justru menghasilkan
teori teori substansi moral (relatif secara budaya setempat) dalam konsepat
ketuhanannya.
1. Masyarakat berubah dari tingkat peradaban sederhana ke tingkat peradaban yang lebih
kompleks.
2. Pembagian kerja didasarkan pada aspek senioritas bukan pada aspek kompetensi
personal
3. Tonnies berasumsi bahwa perubahan selalu linier dalam arti perubahan pasti berjalan
mengarah pada pola-pola kehidupan yang lebih ideal.
2. Teory Konflik (conflict theory)
Teori konflik antar kelas sosial merupakan konflik yang terjadi akibat adanya
ketidaksetaraan kelas dalam sistem kapitalisme, yaitu adanya kelas para pemilik faktor
produksi dan kaum buruh. Teori ini banyak diilhami oleh pandangan-pandangan Karl
Max, Frederict Engle dan Ralf Dahrendorft. Menurut teori konflik:
1. Sumber perubahan adalah dualisme kelas sosial Borjuis dan Proletar yang selalu
bertentangan karena ketidakadilan dalam pembagian keuntungan, dimana kelompok
proletar selalu berada dalam pihak yang menderita, sebab eksploitasi kaum Borjuis.
2. Gejala ini menjadi pemicu klonflik sosial dalam wujud revolusi sosial yang akhir dari
perubahan adalah kehidupan sosial tanpa kelas, dengan pola-pola pembagian yang
sama rata, dimana peran negara sudah tidak diperlukan lagi.
3. Teory fungsionalis (functionalist theory)
Setiap perubahan tidak selalu membawa perubahan pada semua unsur sosial,
sebab masih ada sebagian yang tidak ikut berubah. Perubahan tehnologi akan berjalan
lebih cepat dibanding dengan perubahan pada perubahan budaya, pemikiran,
kepercayaan, nilai-nilai, norma-norma yang menjadi alat untuk mengaru kehidupan
manusia.
Kata peran dalam Bahasa Inggris disebut dengan role, adalah istilah yang
diadopsi dari dunia teater Shakespeare. Role atau peran adalah aktivitas yang dimainkan
oleh aktor panggung. Dalam sosiologis, peran juga selalu dimainkan oleh aktor sosial
dalam kehidupan sehari-hari. Peran ada waktu dimulainya, dan ada pula waktu
berakhirnya, sebagaimana drama teater.
Peran dalam objek kajian sosiologis, merupakan perilaku yang diharapkan dari
seseorang yang menduduki status sosial tertentu dalam masyarakat. Peran sosial
seseorang dalam masyarakat sangat ditentukan oleh status sosial yang dimilikinya. Jika
status sosial seseorang tinggi, maka akan semakin tinggi pula peran sosialnya dalam
masyarakat, atau sebaliknya. Peran sosial dianggap sangat penting karena mengatur
perilaku seseorang dalam masyarakat berdasarkan norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat tersebut.
a) Abu Ahmadi (1982), Pengertian peran adalah sebagai suatu pengharapan kompleks
manusia terhadap bagaimana individu harus bertindak dan bertindak dalam situasi
tertentu yang berdasarkan status dan fungsi sosialnya.
b) Soerjono Soekanto (2002:243), Definisi peran adalah aspek dinamis kedudukan
(status), apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan
kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peran.
a) Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang
dalam masyarakat
b) Peranan merupakan suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam
masyarakat sebagai organisasi
c) Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur
sosial masyarakat
a) Peran ideal, yaitu peran yang sesuai dengan status sosial. Biasanya peran ideal juga
sesuai dengan ekspektasi masyarakat pada umumnya. Sebagai contoh, peran ideal
seorang siswa dan siswa adalah belajar.
b) Peran yang diinginkan, yaitu peran yang dimainkan oleh seseorang karena
keinginannya sendiri. Misalnya, seorang ayah yang memainkan peran sebagai seorang
kakak pada anaknya yang beranjak remaja. Atau seorang bos yang berperan sebagai
mentor pada karyawannya. Peran ini dimainkan karena kehendak pribadi tanpa
mempertimbangkan sosialnya.
c) Peran yang dikerjakan, yaitu peran ideal yang dikerjakan atau dieksekusi. Misalnya
seorang presiden di Indonesia yang juga sekaligus seorang panglima tertinggi dan
kepala pemerintahan. Ia mengambil keputusan untuk menarik atau tidak menjadi
panglima tertinggi. la juga membuat regulasi sebagai kepala pemerintahan.
a) Peran Budaya, budaya adalah salah satu atribut utama masyarakat. Orang sering terlibat
dengan berbagai aspek budaya. Seseorang yang masuk dalam wilayah budaya harus
memenuhi harapan masyarakat yang melekat padanya. Misalnya, seorang imam harus
memenuhi tugas-tugas seperti melakukan ritual dan upacara.
b) Diferensiasi Sosial, diferensiasi sosial pada dasarnya mengacu pada perubahan peran
sosial dengan profesi dan hubungan. Individu yang menanamkan berbagai profesi,
seperti mengajar, memasak, dan memasang pipa memiliki peran yang berbeda untuk
dipenuhi.
c) Situasi-Peran khusus, orang mengambil peran yang berbeda, sesuai dengan situasi.
Kadang-kadang, seseorang ternyata menjadi korban kecelakaan, atau saksi mata karena
situasi yang tidak terduga.
1. Pendidikan
2. Organisasi
3. Kesehatan Masyarakat
Menjelaskan bagaimana Teori Sosial dapat digunakan dalam memahami perilaku
kesehatan masyarakat, seperti kampanye penyuluhan dan promosi kesehatan.
2. Penanggulangan Kemiskinan
1. Kelebihan
2. Kekurangan
Achwan, Rochman. (2010). Ilmu Sosial Di Indonesia: Peluang, Persoalan, Dan Tantangan.
Jurnal Masyarakat dan Budaya. 12(3), 189-206. Darsono & Widya Karmilasari. 2017.
Sumber Belajar Penunjang PLPG 2017 Kompetensi Profesional Sub Unit Ilmu
Pengetahuan Sosial.
Neuman, WL (2014). Metode Penelitian Sosir Pendekatan kualitatif dan kuantitatif (Edisi ke-
7). Harlow: Pearson Pendidikan Ltd. Sinnott-Armstrong, W., & Fogelin, R. (2015).
Memahami Argumen: Pengantar logika informal. Stamford: Pembelajaran Cengage.
Sudarminta, J. (2002). Epistemologi Dasar: Pengantar filsafat pengetahuan.
Yogyakarta: Kanisius. Watloly, A. (2013). Sosio-Epistemologi: Membangun
pengetahuan sosial. Yogyakarta: Kanisius.
TEORI SOSIAL
DISUSUN OLEH :
ISMITA APRILIA
S1A122145
KELAS D
UNIVERSITAS HALUOLEO
2023