dinamakan “pengalaman bermasyarakat”. Atau dengan kata lain, realitas sosial itu
tersirat dalam pergaulan sosial yang diungkapkan secara sosial melalui tindakan sosial
pada struktur kesadaran umum ke kesadaran individual dalam kelompok yang saling
dsb) dan memiliki dimensi subjektif dan objektif yang berbeda-beda sehingga berciri
Suatu realitas, sebenarnya adalah hasil konstruksi sosial atas ‘realitas’ itu.
Konstruksi sosial atas realitas adalah ‘pembentukan kenyataan oleh masyarakat’ dalam
proses tersebut. Maka, di sinilah bidang gerak teori sosial (sosiologi) dimaksud, sebuah
teori sosial yang relevan dengan konteksnya, memuat analisis sosiologis yang memadai
yang dianggap sebagai “diketahui” oleh masyarakat, atau dengan kata lain, suatu
“sosiologi pengetahuan”, yang akan menjawab social construction of reality tadi itu.
Konsep sosiologi pengetahuan ini awal diciptakan oleh Max Scheler yang
kemudian diperbarui rumusannya oleh Karl Mannheim (dalam bukunya “Ideologi dan
konteks sosial di mana pemikiran itu timbul, sehingga kesadaran manusia ditentukan
Kontruksi sosial memiliki arti yang luas dalam ilmu sosial. Hal ini biasanya dihubungkan
pada pengaruh sosial dalam pengalaman hidup individu. Asumsi dasarnya pada “realitas adalah
kontruksi sosial” dari Berger dan Luckmann. Selanjutnya dikatakan bahwa kontruksi sosial
memiliki beberapa kekuatan. Pertama, peran sentral bahasa memberikan mekanisme konkret,
dimana budaya mempengaruhi pikiran dan tingkah laku individu. Kedua, kontruksi sosial dapat
mewakili kompleksitas dalam satu budaya tunggal, hal ini tidak mengasumsikan keseragaman.
Ketiga, hal ini bersifat konsisten dengan masyarakat dan waktu. Menurut DeLamater dan Hyde
juga bahwa konstruksi sosial menyatakan tidak ada kenyataan pokok (essences) yang benar,
realitas adalah kontruksi sosial oleh karena itu fenomena seperti homoseksual adalah kontruksi
sosial, hasil dari suatu budaya, bahasanya, dan juga institusi-institusi. Juga konstruksi sosial
mengfokuskan bukan pada pasangan seksualitas yang menarik tapi pada variasi-variasi budaya
Kontruksi sosial merupakan sebuah pandangan kepada kita bahwa semua nilai,
ideologi, dan institusi sosial adalah buatan manusia. Diperlukan waktu untuk memahami dan
menghargai implikasi penuh dari pernyataan ini. Kontruksi sosial adalah sebuah pernyataan
keyakinan (a claim) dan juga sebuah sudut pandang (a viewpoint) bahwa kandungan dari
kesadaran, dan cara berhubungan dengan orang lain itu diajarkan oleh kebudayaan dan
masyarakat. Tercakup di dalamnya pandangan bahwa semua kuantitas metafisik riil dan abstrak
yang dianggap sebagai suatu kepastian itu dipelajari dari orang lain disekitar kita.
proses sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu atau sekelompok individu,
menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara
subjektif. Teori ini berakar pada paradigma konstruktivis yang melihat realitas sosial sebagai
konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu, yang merupakan manusia bebas. Individu
menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya, yang dalam
banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol struktur dan pranata
sosialnya. Dalam proses sosial, manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif
Berger dan Thomas Luckmann. Teori ini merupakan suatu kajian teoritis dan sistematis mengenai
sosiologi pengetahuan (penalaran teoritis yang sistematis), bukan merupakan suatu tinjauan
historis mengenai perkembangan disiplin ilmu. Pemikiran Berger dan Luckmann dipengaruhi
oleh pemikiran sosiologi lain, seperti Schutzian tentang fenomenologi, Weberian tentang makna-
Asal usul kontruksi sosial dari filsafat Kontruktivisme, yang dimulai dari gagasan-
gagasan konstruktif kognitif. Dalam aliran filsasat, gagasan konstruktivisme telah muncul sejak
Socrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia, dan Plato menemukan akal budi. Gagasan
tersebut semakin konkret setelah Aristoteles mengenalkan istilah, informasi, relasi, individu,
subtansi, materi, esensi, dan sebagainya. Ia mengatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial,
setiap pernyataan harus dapat dibuktikan kebenarannya, serta kunci pengetahuan adalah fakta.
„konstruksi‟ sebagaimana penjelasan diatas memiliki arti suatu system atau bentuk.
bahan yang ada dan disusun kembali sebagaimana adanya atau kejadian semula,
sedangkan menurut James P. Chaplin Reconstruction merupakan penafsiran data
terjadi, beserta makna materinya yang sekarang ada bagi individu yang bersangkutan.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat peneliti simpulkan maksud rekonstruksi dalam
Pertama, eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam
dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Ini sudah menjadi sifat dasar dari
manusia, ia akan selalu mencurahkan diri ke tempat dimana ia berada. Manusia tidak
dapat tidak mengerti sebagai ketertutupan yang lepas dari dunia luarnya, manusia
Kedua, objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari
kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu menghasilkan realitas objektif yang
bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada
diluar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Lewat proses objektivitas ini,
masyarakat menjadi suatu realitas sui generis. Hasil dari eksternalisasi ini misalnya yaitu
manusia menciptakan alat demi kemudahan hidupnya, atau kebudayaan non materiil
dalam bentuk bahasa. Baik alat tadi maupun bahasa adalah kegiatan adalah kegiatan
eksternalisasi manusia ketika berhadapan dengan dunia, ia adalah hasil dari kegiatan
manusia. Setelah dihasilkan, baik benda maupun bahasa sebagai produk eksternalisasi
oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan
tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas diluar kesadarannya. Melalui internalisasi,
telah lahir berbagai jenis teori mengenai perubahan sosial. Philip H. Phenix
function and social needs.While no exact laws of social behavior have yet been
formulated, some insight may be gained into the basis for individual conformity and
deviation and for the transformation that take place in cultures, institutions,norms,
pressures.
tiga faktor utama,yaitu; kebutuhan akan demokratisasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan
menjadi masyarakat tanpa sekat yang harus saling berpengaruh dan saling
membutuhkan.
Kedua Kemajuan teknologi telah membawa pengaruh yang besar terhadap perubahan
suatu masyarakat. Kemajuan ini disebabkan oleh kebutuhan umat manusia untuk lebih
cepat dalam bertindak dan untuk memudahkan segala kebutuhan manusia yang ada
bagian masyarakat dunia juga akan terkena dampaknya. Masyarakat Indonesia dewasa
ini sangat bergantung dan terpengaruh oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
Teknologi ini dapat kita lihat perkembangannya pada seluruh aspek kehidupan
masa transisi yang sangat sulit. Kehidupan politik, ekonomi dan sosial sangat
berbarengan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan ini perlu
dihadapi dengan sangat cepat dan tepat sehingga masyarakat kita tidak akan menjadi
sasaran negatif dari sebuah teknologi, akan tetapi dapat menjadi pemain untuk
mengarahkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada untuk dimanfaatkan menjadi
kekuatan yang dapat membangun masyarakat Indonesia yang lebih baik. Idealnya
untuk dapat memberikan arah yang jelaster hadap perubahan ini, pendidikan adalah
solusi yang terbaik. Pendidikan harus mampu menjadi penyaring antara kekuatan
positif dan negatif dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan
komunikasi dan teknologi informasi dewasa ini menyebabkan para siswa mendapatkan
semburan informasi yang amat deras, jauh lebih deras dari yang pernah dialami orang
tua mereka. Puluhan ribu halaman dicetak baik dalam wujud buku, majalah atau koran
beredar di masyarakat. Banyak TV dipancarkan masing-masing stasiun televisi dengan
jamtayang amat panjang. Di balik perubahan yang amat cepat dalam kehidupan
yang berarti. Sekolah dewasa ini sama dengan sekolah masa lampau. Bagaimana
keadaan sekolah dan kelas, bagaimana guru mengajar, bagaimana siswa belajar dan
bagaimana hubungan di antara warga sekolah sama dengan lima puluh tahun yang
lampau. Perubahan nilai sosial budaya juga bisa dirasakan ketika kita melihat maraknya
kekerasan, perkelahian antar peserta didik baik individual maupun kelompok sampai
meminta korban jiwa, menyontek sudah menjadihal yang wajar, penjiplakan karya tulis
Perubahan yang dapat kita lihat juga sebagai akibat dari perubahan sosial adalah
keinginan banyak pihak untuk membangun otonomi daerah yang terarah. Otonomi daerah ini
adalah akibat dari kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi perubahan sosial tadi. Pada
dasarnya tujuan dari adanya otonomi daerah sangat relevan dengan reformasi yang sedang
dibangun masyarakat sekarang ini, akan tetapi dampak negatif yang bisa timbul adalah
disintegrasi bangsa apabila tidak diarahkan dengan baik. Kebijakan otonomi daerah untuk
menjawab tuntutan lokal dan desakan kecenderungan arus global perlu diarahkan dan
dicermati dengan baik mengingat kondisi masyarakat dan daerah yang beragam dan sangat
rentan terhadap perpecahan bangsa. Perubahan sosial, politik dan pembangunan daerah dari
Perubahan ini memerlukan perubahan sikap dan mental yang baik dari seluruh aparat
di dalamnya.
2.5. Hubungan Konstruksi Sosial Budaya dengan Manusia
berbudaya. Manusia sebagai pencipta kebudayaan pada awalnya bebas dan tidak
terikat, tetapi ketika telah terbentuk kebudayaan ia menjadi tidak bebas namun terikat
dijadikan dasar dalam memandang segala sesuatu, menjadi referensi dalam tindakan
dan perilaku dalam hidup bermasyarakat. Maka dari itu, tidak akan ditemukan suatu
kebudayaan dapat berupa sistem nilai, ideologi, hukum, ilmu pengetahuan, politik,
nasional yang berakar dari nilai-nilai luhur yang mencerminkan falsafah hidup bangsa
sebagai cita-cita moral dan ideologi negara merupakan landasan ideal yang menjiwai
kebudayaan bangsa. Maka dari itu, setiap kebudayaan baik sebagai produk, sistem nilai
maupun proses tidak boleh bertentangan dengan Pancasila. Namun dalam proses dan
sesuai dengan sifat keterbukaaannya dan diperkuat oleh kuatnya gelombang globalisasi,
budaya asing.
Secara historis selama bertahun-tahun bangsa kita pernah dijajah oleh bangsa
Eropa dan Jepang. Secara langsung atau tidak langsung penjajahan memberikan
pengaruh terhadap budaya bangsa kita. Budayawan Ajip Rosidi pernah mengemukakan
bahwa budaya kita adalah budaya bawahan yang menganggap budaya bangsa penjajah
sebagai budaya unggulan. Mentalitas bangsa jajahan adalah mentalitas yang selalu
merasa rendah diri berhadapan dengan penguasa / penjajah. Mentalitas rendah diri
bahkan merupakan kelompok mayoritas bangsa kita. Ironisnya rezim yang berkuasa
pada masa orde lama dan kemudian diperkokoh oleh orde baru, tidak memberi ruang
gerak kepada masyarakat untuk bisa keluar dari situasi mental rendah diri, tetapi justru
Selain rendah diri, masyarakat kita dikenal sebagai masyarakat yang memiliki
mentalitas hipokrit, suka menempuh jalan pintas, tidak disiplin dan sebagainya.
Konstruksi hubungan sosial antar individu maupun kelompok selama ini sering bersifat
artifisial penuh dengan pura-pura karena fenomena yang muncul berbeda dengan
realitas yang sesungguhnya. Jika secara lahir seseorang menyatakan setuju atas suatu
keputusan maka batinnya bisa berkata tidak dan begitu pula sebaliknya. Sikap mental
ini akan melahirkan rasa saling tidak percaya, saling mencurigai dan pada akhirnya
berpeluang memunculkan konflik horisontal dan vertikal. Sementara itu, sikap mental
suka menerabas menunjukkan kepribadian yang lemah yaitu tidak memiliki kemauan
untuk berusaha, untuk bekerja keras dan mau berjuang demi mendapatkan hasil seperti
yang berlaku. Berbagai penyimpangan yang terjadi di negara kita seperti banyaknya
kasus korupsi, kolusi, jual beli sertifikat / ijazah dan lain-lain sesungguhnya merupakan
representasi dari adanya mentalitas suka menerabas. Akibatnya hukum dan keadilan
Rendahnya kedisiplinan ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari seperti tingginya
angka pelanggaran lalu lintas di jalan raya, adanya pelanggaran jam kerja oleh sebagian
peruntukkannya, banyaknya siswa yang membolos sekolah, kredit macet dari para
kreditor dan sebagainya. Bahkan menurut Piliang seperti dikutip oleh H.A.R. Tilaar,
manusia Indonesia telah mengalami proses dehumanisasi. Masa Orde Lama telah
didominasi oleh ideologi. Masa Orde baru telah melahirkan “manusia-manusia mesin”
yaitu manusia diposisikan sebagai bagian dari mesin politik, ekonomi dan lain-lain.
Sedang era reformasi telah menghasilkan manusia ”selfish” dan manusia “komoditi”
yang bersedia dibayar untuk demonstrasi dan pawai unjuk rasa. Sikap tidak disiplin dari
yang terus menerus berubah. Dengan kata lain, kebudayaan selalu di dalam proses
rekonstruksi yaitu membangun dan memperbaiki kebudayaan yang sudah ada. Dengan
interaktif, kreatif dan kritis. Tenaga pengajar memposisikan diri bukan sebagai orang
yang serba tahu, memandang anak sebagai obyek, tetapi menjalankan peran sebagai
terhadap lingkungan atau dunia kehidupan. Selama ini apa yang dipahami dan
dimengerti anak didik tentang dunia kehidupan, realitas sosial adalah arti yang
diberikan oleh pendidik/guru. Pendidik atau gurulah yang memaksakan arti tentang
kehidupan dan realitas kepada peserta didik. Oleh sebab itu, harus dihindari proses
pendidikan yang distruktur melalui kurikulum secara baku, metodologi baku, struktur
sosial baku, aturan-aturan yang baku sehingga anak didik hanya mementingkan ingatan
dan hafalan. Proses pendidikan yang hanya mementingkan ingatan dan hafalan tidak
akan mengubah anak didik menjadi pribadi yang kritis dan kreatif. Pendidikan dapat
berfungsi sebagai agen rekonstruksi kebudayaan apabila anak didik dipandang sebagai
3.1. Kesimpulan
Dalam memahami teori konstruksi sosial, ada tiga momen penting yang harus dipahami
secara simultan. Ketiga momen itu adalah eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi, yang
memiliki hubungan dasar dan dipahami sebagai satu proses yang berdialektika (interplay) satu
sama lain. Masing-masing dari ketiga momen itu berkesesuaian dengan suatu karakterisasi yang
esensial dari dunia sosial. Melalui eksternalisasi, masyarakat merupakan produk manusia;
melalui objektivasi, masyarakat menjadi realitas sui generis, unik; dan melalui internalisasi,
manusia merupakan produk masyarakat. Ada proses menarik keluar (eksternalisasi) sehingga
seakan-akan hal itu berada di luar (objektivasi), dan lebih lanjut ada proses penarikan kembali
ke dalam (internalisasi) sehingga yang berada di luar seakan-akan berada di dalam diri.
Hubungan antara manusia (sebagai produsen) dan dunia sosial (sebagai produknya), tetap
merupakan hubungan yang dialektis. Manusia dan dunia sosialnya berinteraksi satu sama lain,
merupakan momen dalam suatu proses dialektis yang berlangsung terus menerus. Masyarakat
adalah produk manusia (society is a human product); masyarakat adalah kenyataan objektif
(man is an objective reality); dan manusia adalah produk sosial (man is a social product). Jika
dalam proses ini ada satu momen diabaikan maka mengakibatkan terjadinya distorsi.
yang terletak di bagian tengah pulau Jawa dan merupakan salah satu gunung
sisi barat, Kabupaten Boyolali di sisi utara dan timur, serta Kabupaten
tetap tinggal di daerah rawan bencana letusan tersebut menjadi suatu yang
Keberanian mereka untuk tetap tinggal di daerah yang sangat rawan terjadi
bahaya letusan itu juga bukan hanya karena kenekatan semata. Dari generasi
lokal itu kemudian dikenal dengan istilah kearifan lokal atau local wisdom.
kepada komunitas itu daya tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah di
mana komunitas itu berada, atau dengan kata lain, kearifan lokal adalah
C. Rekonstruksi Budaya
Para reconstructionists yakin bahwa masyarakat modern dan kelangsungan hidup manusia modern
sangat terkait erat. Untuk menjamin kelangsungan hidup manusia dan untuk menciptakan peradaban
korporat yang lebih memuaskan, manusia harus menjadi ahli teknik sosial yang mampu merencanakan
jalannya perubahan dan mengarahkan instrumen dinamis ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
mencapai tujuan yang diinginkan. Sebuah pendidikan rekonstruksionis adalah salah satu memupuk (1)
rasa kesadaran descrimination dalam pengkajian warisan budaya, (2) komitmen bekerja untuk reformasi
sosial secara sengaja, (3) keinginan untuk mengembangkan mentalitas perencanaan yang mampu
merencanakan jalannya revisi budaya, (4) pengujian terhadap rencana budaya dengan memberlakukan
Reconstructionists yakin bahwa semua reformasi sosial muncul dalam kondisi kehidupan yang ada.
Mahasiswa diharapkan untuk menentukan masalah utama yang dihadapi umat manusia. Rasa kesadaran
diskriminasi yang berarti bahwa mahasiswa mampu mengenali kekuatan dinamis saat ini. Ini juga
berarti dia sama mampunya dengan mendeteksi keyakinan, adat istiadat, dan lembaga yang
menghambat pembaharuan budaya. Nilai-nilai yang mendominasi hanya karena kebiasaan mereka
harus dibuang. Budaya moral dan ideologis jenuh dengan nilai-nilai yang tersisa dari masa pra-ilmiah
dan pretechnological. Kefanatikan, kebencian, takhayul, dan kebodohan harus diidentifikasi dan
dibuang.
Meskipun reconstructionists belum didefinisikan dengan tepat dalam hal keinginan mereka
menciptakan tatanan masyarakat baru, beberapa dimensi yang bisa menyebutkan. Hal ini mungkin
menjadi salah satu yang akan digunakan sebagai instrumen manusiawi; kemungkinan menjadi salah
satu yang korporat dan di mana semua orang bersama-sama berbagi hal-hal baik dalam hidup,