Anda di halaman 1dari 15

Realitas sosial, adalah kehidupan manusia yang terbentuk dalam proses yang

terus-menerus, yakni gejala sosial sehari-hari, yang dalam pengertian sehari-hari

dinamakan “pengalaman bermasyarakat”. Atau dengan kata lain, realitas sosial itu

tersirat dalam pergaulan sosial yang diungkapkan secara sosial melalui tindakan sosial

seperti komunikasi lewat bahasa, bekerjasama lewat organisasi-organisasi sosial.

“Pengalaman bermasyarakat” inilah sebenarnya esensi masyarakat itu. Realitas sosial

seperti ini ditemukan dalam pengalaman intersubjektif (intersubjektivitas), merujuk

pada struktur kesadaran umum ke kesadaran individual dalam kelompok yang saling

berinteraksi. Maka jika ingin mengetahui, mempelajari, menjelaskan dan memahami

esensi masyarakat, didapat melalui mempelajari “pengalaman bermasyarakat” atau

realitas sosial. Dan “pengalaman bermasyarakat”, yang merupakan agregasi

pengalaman-pengalaman individual yang membawa subjektivitasnya masing-masing,

mengandung unsur pengetahuan sosial, kesadaran, persepsi individual (sistem nilai,

dsb) dan memiliki dimensi subjektif dan objektif yang berbeda-beda sehingga berciri

paradoksal dan kompleks, membawa kompleksitas realitas sosial. Pengalaman

intersubjektivitas ini dapat dijelaskan, bahwa pada proses sosial, masing-masing

individu pada dimensi subjektif-nya menghadirkan kenyataan sosial dalam

konstruksinya dan ia memanifestasikannya melalui proses eksternalisasi (sebagai

kenyataan objektif, dimensi objektif) yang kemudian mempengaruhi kembali

manusianya melalui proses internalisasi (realitas subjektif).

Suatu realitas, sebenarnya adalah hasil konstruksi sosial atas ‘realitas’ itu.

Dalam mengonstruksi tersebut, terdapat anasir ‘subjektivitas’ yang melekat yakni

pengetahuan sosial, persepsi individual misalnya nilai dan kesadaran beserta

‘pengetahuan kecil yang tumbuh di masyarakat’. Inilah ‘sosiologi pengetahuan’.

Konstruksi sosial atas realitas adalah ‘pembentukan kenyataan oleh masyarakat’ dalam
proses tersebut. Maka, di sinilah bidang gerak teori sosial (sosiologi) dimaksud, sebuah

teori sosial yang relevan dengan konteksnya, memuat analisis sosiologis yang memadai

mengenai konteks-konteks itu. Konteksnya adalah berbasis pada berbagai kenyataan

yang dianggap sebagai “diketahui” oleh masyarakat, atau dengan kata lain, suatu

“sosiologi pengetahuan”, yang akan menjawab social construction of reality tadi itu.

Konsep sosiologi pengetahuan ini awal diciptakan oleh Max Scheler yang

kemudian diperbarui rumusannya oleh Karl Mannheim (dalam bukunya “Ideologi dan

Utopia”, -dan Berger juga menggunakannya-, menjelaskan bahwa masyarakat telah

memiliki pengetahuannya sendiri atau interpretasi tentang kehidupannya sendiri, yang

bersifat kompleks, maka dalam melihat realitas sosial harus memperhatikan

pengetahuan dalam struktur kesadaran masyarakat. Karena itulah, sosiologi

pengetahuan memfokuskan kajiannya pada hubungan antara pemikiran manusia dan

konteks sosial di mana pemikiran itu timbul, sehingga kesadaran manusia ditentukan

oleh keberadaan sosialnya. Rumusan Mannheim memberikan ruh pada sosiologi

pengetahuan, dengan konsep “relasionisme” sebagai perspektif epistemologis dari

sosiologi pengetahuannya, yakni pengetahuan yang senantiasa berelasi dalam

relativitas sosio-historisnya, sehingga pengetahuan itu selalu merupakan pengetahuan

dari segi suatu posisi tertentu.


2.1. Pengertian Konstruksi Sosial

Kontruksi sosial memiliki arti yang luas dalam ilmu sosial. Hal ini biasanya dihubungkan

pada pengaruh sosial dalam pengalaman hidup individu. Asumsi dasarnya pada “realitas adalah

kontruksi sosial” dari Berger dan Luckmann. Selanjutnya dikatakan bahwa kontruksi sosial

memiliki beberapa kekuatan. Pertama, peran sentral bahasa memberikan mekanisme konkret,

dimana budaya mempengaruhi pikiran dan tingkah laku individu. Kedua, kontruksi sosial dapat

mewakili kompleksitas dalam satu budaya tunggal, hal ini tidak mengasumsikan keseragaman.

Ketiga, hal ini bersifat konsisten dengan masyarakat dan waktu. Menurut DeLamater dan Hyde

juga bahwa konstruksi sosial menyatakan tidak ada kenyataan pokok (essences) yang benar,

realitas adalah kontruksi sosial oleh karena itu fenomena seperti homoseksual adalah kontruksi

sosial, hasil dari suatu budaya, bahasanya, dan juga institusi-institusi. Juga konstruksi sosial

mengfokuskan bukan pada pasangan seksualitas yang menarik tapi pada variasi-variasi budaya

dalam mempertimbangkan apakah yang menarik itu.

Kontruksi sosial merupakan sebuah pandangan kepada kita bahwa semua nilai,

ideologi, dan institusi sosial adalah buatan manusia. Diperlukan waktu untuk memahami dan

menghargai implikasi penuh dari pernyataan ini. Kontruksi sosial adalah sebuah pernyataan

keyakinan (a claim) dan juga sebuah sudut pandang (a viewpoint) bahwa kandungan dari

kesadaran, dan cara berhubungan dengan orang lain itu diajarkan oleh kebudayaan dan

masyarakat. Tercakup di dalamnya pandangan bahwa semua kuantitas metafisik riil dan abstrak

yang dianggap sebagai suatu kepastian itu dipelajari dari orang lain disekitar kita.

Konstruksi Sosial atas Realitas (Social Construction of Reality) didefinisikan sebagai

proses sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu atau sekelompok individu,

menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara

subjektif. Teori ini berakar pada paradigma konstruktivis yang melihat realitas sosial sebagai

konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu, yang merupakan manusia bebas. Individu

menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya, yang dalam
banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol struktur dan pranata

sosialnya. Dalam proses sosial, manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif

bebas di dalam dunia sosialnya.

Konstruksi sosial merupakan teori sosiologi kontemporer, dicetuskan oleh Peter L.

Berger dan Thomas Luckmann. Teori ini merupakan suatu kajian teoritis dan sistematis mengenai

sosiologi pengetahuan (penalaran teoritis yang sistematis), bukan merupakan suatu tinjauan

historis mengenai perkembangan disiplin ilmu. Pemikiran Berger dan Luckmann dipengaruhi

oleh pemikiran sosiologi lain, seperti Schutzian tentang fenomenologi, Weberian tentang makna-

makna subjektif, Durkhemian – Parsonian tentang struktur, pemikiran Marxian tentang

dialektika, serta pemikiran Herbert Mead tentang interaksi simbolik.

Asal usul kontruksi sosial dari filsafat Kontruktivisme, yang dimulai dari gagasan-

gagasan konstruktif kognitif. Dalam aliran filsasat, gagasan konstruktivisme telah muncul sejak

Socrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia, dan Plato menemukan akal budi. Gagasan

tersebut semakin konkret setelah Aristoteles mengenalkan istilah, informasi, relasi, individu,

subtansi, materi, esensi, dan sebagainya. Ia mengatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial,

setiap pernyataan harus dapat dibuktikan kebenarannya, serta kunci pengetahuan adalah fakta.

2.2. Pengertian Rekonstruksi Sosial

Pembaharuan atau rekonstruksi secara terminologi memiliki berbagai macam

pengertian, dalam perencanaan pembangunan nasional sering dikenal dengan istilah

rekonstruksi. Rekonstruksi memiliki arti bahwa “re” berarti pembaharuan sedangkan

„konstruksi‟ sebagaimana penjelasan diatas memiliki arti suatu system atau bentuk.

Beberapa pakar mendifinisikan rekontruksi dalam berbagai interpretasi B.N Marbun

mendifinisikan secara sederhana penyusunan atau penggambaran kembali dari bahan-

bahan yang ada dan disusun kembali sebagaimana adanya atau kejadian semula,
sedangkan menurut James P. Chaplin Reconstruction merupakan penafsiran data

psikoanalitis sedemikian rupa, untuk menjelaskan perkembangan pribadi yang telah

terjadi, beserta makna materinya yang sekarang ada bagi individu yang bersangkutan.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat peneliti simpulkan maksud rekonstruksi dalam

penelitian ini adalah pembaharuan system atau bentuk.

2.3.Realitas-Realitas Sosial Dalam Konstruksi Sosial

Menurut Eriyanto dalam buku Analisis Framing, proses dialektis konstruksi

realitas sosial mempunyai tiga tahap, yaitu :

Pertama, eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam

dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Ini sudah menjadi sifat dasar dari

manusia, ia akan selalu mencurahkan diri ke tempat dimana ia berada. Manusia tidak

dapat tidak mengerti sebagai ketertutupan yang lepas dari dunia luarnya, manusia

menemukan dirinya sendiri dalam suatu dunia.

Kedua, objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari

kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu menghasilkan realitas objektif yang

bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada

diluar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Lewat proses objektivitas ini,

masyarakat menjadi suatu realitas sui generis. Hasil dari eksternalisasi ini misalnya yaitu

manusia menciptakan alat demi kemudahan hidupnya, atau kebudayaan non materiil

dalam bentuk bahasa. Baik alat tadi maupun bahasa adalah kegiatan adalah kegiatan

eksternalisasi manusia ketika berhadapan dengan dunia, ia adalah hasil dari kegiatan

manusia. Setelah dihasilkan, baik benda maupun bahasa sebagai produk eksternalisasi

tersebut menjadi realitas yang objektif.


Ketiga, internalisasi. Proses internalisasi lebih mrupakan penyerapan kembali dunia

objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi

oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan

tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas diluar kesadarannya. Melalui internalisasi,

manusia menjadi hasil.

2.4. Realitas Sosial Budaya di Indonesia


Menurut Tilaar tidak ada suatu masyarakat yang tidak berubah. Oleh sebab itu

telah lahir berbagai jenis teori mengenai perubahan sosial. Philip H. Phenix

menjelaskan social change can be analyzed in terms ofthe concepts of structure,

function and social needs.While no exact laws of social behavior have yet been

formulated, some insight may be gained into the basis for individual conformity and

deviation and for the transformation that take place in cultures, institutions,norms,

roles and rankings as a result of internal stresses,environmental factors, or external

pressures.

Tilaar mengemukakan bahwa perubahan yang terjadi di masyarakat disebabkan oleh

tiga faktor utama,yaitu; kebutuhan akan demokratisasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan

teknologi serta globalisasi.

Pertama, Demokratisasi menjadi sangat berpengaruh mengingat masyarakat dunia

menjadi masyarakat tanpa sekat yang harus saling berpengaruh dan saling

membutuhkan.

Kedua Kemajuan teknologi telah membawa pengaruh yang besar terhadap perubahan

suatu masyarakat. Kemajuan ini disebabkan oleh kebutuhan umat manusia untuk lebih
cepat dalam bertindak dan untuk memudahkan segala kebutuhan manusia yang ada

serta didasarkan pada keingintahuan manusia.

Ketiga , Globalisasi sangat berpengaruh bagi perubahan mengingat hubungan antar

manusia akan terasa lebih dekat dan saling bersaing.

Yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa terdapat kekuatan-kekuatan yang dapat

mempengaruhi adanya perubahan sosial di tengah masyarakat. Indonesia sebagai

bagian masyarakat dunia juga akan terkena dampaknya. Masyarakat Indonesia dewasa

ini sangat bergantung dan terpengaruh oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi

terutama teknologi informasi. Sebagaimana bisa disaksikan bahwa pengaruh teknologi

sudah merambah sampai kepelosok-pelosok desa yang dulu merupakan masyarakat

yang kurang mendapatkan akses keluar.

Teknologi ini dapat kita lihat perkembangannya pada seluruh aspek kehidupan

masyarakat. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa bangsa Indonesia ke

masa transisi yang sangat sulit. Kehidupan politik, ekonomi dan sosial sangat

berbarengan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan ini perlu

dihadapi dengan sangat cepat dan tepat sehingga masyarakat kita tidak akan menjadi

sasaran negatif dari sebuah teknologi, akan tetapi dapat menjadi pemain untuk

mengarahkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada untuk dimanfaatkan menjadi

kekuatan yang dapat membangun masyarakat Indonesia yang lebih baik. Idealnya

untuk dapat memberikan arah yang jelaster hadap perubahan ini, pendidikan adalah

solusi yang terbaik. Pendidikan harus mampu menjadi penyaring antara kekuatan

positif dan negatif dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan

komunikasi dan teknologi informasi dewasa ini menyebabkan para siswa mendapatkan

semburan informasi yang amat deras, jauh lebih deras dari yang pernah dialami orang

tua mereka. Puluhan ribu halaman dicetak baik dalam wujud buku, majalah atau koran
beredar di masyarakat. Banyak TV dipancarkan masing-masing stasiun televisi dengan

jamtayang amat panjang. Di balik perubahan yang amat cepat dalam kehidupan

bermasyarakat, anehnya, pendidikan sendiri selama ini tidak mengalami perubahan

yang berarti. Sekolah dewasa ini sama dengan sekolah masa lampau. Bagaimana

keadaan sekolah dan kelas, bagaimana guru mengajar, bagaimana siswa belajar dan

bagaimana hubungan di antara warga sekolah sama dengan lima puluh tahun yang

lampau. Perubahan nilai sosial budaya juga bisa dirasakan ketika kita melihat maraknya

kekerasan, perkelahian antar peserta didik baik individual maupun kelompok sampai

meminta korban jiwa, menyontek sudah menjadihal yang wajar, penjiplakan karya tulis

berkembang, demo oleh guru bermunculan, sampai dengan penyalahgunaan narkoba

masuk dalam lembaga pendidikan.

Perubahan yang dapat kita lihat juga sebagai akibat dari perubahan sosial adalah

keinginan banyak pihak untuk membangun otonomi daerah yang terarah. Otonomi daerah ini

adalah akibat dari kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi perubahan sosial tadi. Pada

dasarnya tujuan dari adanya otonomi daerah sangat relevan dengan reformasi yang sedang

dibangun masyarakat sekarang ini, akan tetapi dampak negatif yang bisa timbul adalah

disintegrasi bangsa apabila tidak diarahkan dengan baik. Kebijakan otonomi daerah untuk

menjawab tuntutan lokal dan desakan kecenderungan arus global perlu diarahkan dan

dicermati dengan baik mengingat kondisi masyarakat dan daerah yang beragam dan sangat

rentan terhadap perpecahan bangsa. Perubahan sosial, politik dan pembangunan daerah dari

model sentralistis ke desentralisasi, bukanlah perkara yang mudah dalam prosesnya.

Perubahan ini memerlukan perubahan sikap dan mental yang baik dari seluruh aparat

di dalamnya.
2.5. Hubungan Konstruksi Sosial Budaya dengan Manusia

Manusia selalu hidup dalam ruang kebudayaan yang ia ciptakan sendiri.

Hubungan manusia dengan kebudayaan bersifat kausalitas, pada awalnya manusia

melahirkan kebudayaan dan selanjutnya kebudayaan melahirkan manusia yang

berbudaya. Manusia sebagai pencipta kebudayaan pada awalnya bebas dan tidak

terikat, tetapi ketika telah terbentuk kebudayaan ia menjadi tidak bebas namun terikat

oleh kebudayaan yang ia ciptakan sendiri. Manusia menciptakan ideologi untuk

dijadikan dasar dalam memandang segala sesuatu, menjadi referensi dalam tindakan

dan perilaku dalam hidup bermasyarakat. Maka dari itu, tidak akan ditemukan suatu

masyarakat yang hidup tanpa kebudayaan.

Kebudayaan pada hakikatnya merupakan hasil eksternalisasi manusia untuk

mengatasi setiap permasalahan yang dihadapi dalam rangka mempertahankan

kelangsungan hidupnya atau memperbaiki kualitas kehidupannya. Wujud dari

kebudayaan dapat berupa sistem nilai, ideologi, hukum, ilmu pengetahuan, politik,

ekonomi dan sebagainya.

Sebagai bangsa yang merdeka, secara normatif kita memiliki kebudayaan

nasional yang berakar dari nilai-nilai luhur yang mencerminkan falsafah hidup bangsa

yakni Pancasila. Pancasila merupakan “Gentleman Agreement” telah disepakati

sebagai cita-cita moral dan ideologi negara merupakan landasan ideal yang menjiwai

kebudayaan bangsa. Maka dari itu, setiap kebudayaan baik sebagai produk, sistem nilai

maupun proses tidak boleh bertentangan dengan Pancasila. Namun dalam proses dan

perkembangannya kebudayaan nasional sering tidak sejalan dengan Pancasila. Karena

sesuai dengan sifat keterbukaaannya dan diperkuat oleh kuatnya gelombang globalisasi,

kebudayaan nampaknya sulit untuk menghindarkan diri dari pengaruh unsur-unsur

budaya asing.
Secara historis selama bertahun-tahun bangsa kita pernah dijajah oleh bangsa

Eropa dan Jepang. Secara langsung atau tidak langsung penjajahan memberikan

pengaruh terhadap budaya bangsa kita. Budayawan Ajip Rosidi pernah mengemukakan

bahwa budaya kita adalah budaya bawahan yang menganggap budaya bangsa penjajah

sebagai budaya unggulan. Mentalitas bangsa jajahan adalah mentalitas yang selalu

merasa rendah diri berhadapan dengan penguasa / penjajah. Mentalitas rendah diri

sebagai akibat penjajahan ini ternyata telah ”membudaya” di kalangan masyarakat

bahkan merupakan kelompok mayoritas bangsa kita. Ironisnya rezim yang berkuasa

pada masa orde lama dan kemudian diperkokoh oleh orde baru, tidak memberi ruang

gerak kepada masyarakat untuk bisa keluar dari situasi mental rendah diri, tetapi justru

melestarikannya dengan kebijakan-kebijakan politik yang justru menekan kepada

rakyat yang kritis dan berbeda pandangan dengan penguasa.

Selain rendah diri, masyarakat kita dikenal sebagai masyarakat yang memiliki

mentalitas hipokrit, suka menempuh jalan pintas, tidak disiplin dan sebagainya.

Konstruksi hubungan sosial antar individu maupun kelompok selama ini sering bersifat

artifisial penuh dengan pura-pura karena fenomena yang muncul berbeda dengan

realitas yang sesungguhnya. Jika secara lahir seseorang menyatakan setuju atas suatu

keputusan maka batinnya bisa berkata tidak dan begitu pula sebaliknya. Sikap mental

ini akan melahirkan rasa saling tidak percaya, saling mencurigai dan pada akhirnya

berpeluang memunculkan konflik horisontal dan vertikal. Sementara itu, sikap mental

suka menerabas menunjukkan kepribadian yang lemah yaitu tidak memiliki kemauan

untuk berusaha, untuk bekerja keras dan mau berjuang demi mendapatkan hasil seperti

yang diharapkan tanpa melawan ketentuan hukum dan peraturan perundangundangan

yang berlaku. Berbagai penyimpangan yang terjadi di negara kita seperti banyaknya

kasus korupsi, kolusi, jual beli sertifikat / ijazah dan lain-lain sesungguhnya merupakan
representasi dari adanya mentalitas suka menerabas. Akibatnya hukum dan keadilan

tidak dapat ditegakkan.

Dari segi kedisiplinan, masyarakat kita belum memiliki budaya disiplin.

Rendahnya kedisiplinan ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari seperti tingginya

angka pelanggaran lalu lintas di jalan raya, adanya pelanggaran jam kerja oleh sebagian

pegawai / karyawan di kantor-kantor, penggunaan anggaran yang tidak sesuai dengan

peruntukkannya, banyaknya siswa yang membolos sekolah, kredit macet dari para

kreditor dan sebagainya. Bahkan menurut Piliang seperti dikutip oleh H.A.R. Tilaar,

manusia Indonesia telah mengalami proses dehumanisasi. Masa Orde Lama telah

melahirkan “ manusia ideologi ” yakni manusia yang pemikiran dan perilakunya

didominasi oleh ideologi. Masa Orde baru telah melahirkan “manusia-manusia mesin”

yaitu manusia diposisikan sebagai bagian dari mesin politik, ekonomi dan lain-lain.

Sedang era reformasi telah menghasilkan manusia ”selfish” dan manusia “komoditi”

yang bersedia dibayar untuk demonstrasi dan pawai unjuk rasa. Sikap tidak disiplin dari

sebagian anggota masyarakat telah menimbulkan banyak kerugian materiil dan

nonmateriil bagi masyarakat maupun bangsa Indonesia.

Kebudayaan dalam pemikiran filsafat pragmatis merupakan sebuah realitas

yang terus menerus berubah. Dengan kata lain, kebudayaan selalu di dalam proses

rekonstruksi yaitu membangun dan memperbaiki kebudayaan yang sudah ada. Dengan

demikian kebudayaan bersifat dinamis, tumbuh dan berkembang sesuai dengan

tuntutan perkembangan jaman. Dalam konteks pendidikan, aliran pemikiran pendidikan

yang berorientasi pada perubahan kebudayaan sering disebut rekonstruksionisme.

Menurut aliran ini pendidikan dilaksanakan dengan tujuan melakukan rekonstruksi

kebudayaan. Dalam tataran praksis, pendidikan di sekolahsekolah atau perguruan tinggi

dituntut memberikan peluang kepada peserta didik untuk memahami dan


merekonstruksi kebudayaannya. Konsekuensinya proses belajar dilaksanakan secara

interaktif, kreatif dan kritis. Tenaga pengajar memposisikan diri bukan sebagai orang

yang serba tahu, memandang anak sebagai obyek, tetapi menjalankan peran sebagai

fasilitator dan motivator.

Proses pendidikan yang berfungsi merekonstruksi kebudayaan adalah proses

pendidikan yang memungkinkan peserta didik mampu memberi makna (meaning)

terhadap lingkungan atau dunia kehidupan. Selama ini apa yang dipahami dan

dimengerti anak didik tentang dunia kehidupan, realitas sosial adalah arti yang

diberikan oleh pendidik/guru. Pendidik atau gurulah yang memaksakan arti tentang

kehidupan dan realitas kepada peserta didik. Oleh sebab itu, harus dihindari proses

pendidikan yang distruktur melalui kurikulum secara baku, metodologi baku, struktur

sosial baku, aturan-aturan yang baku sehingga anak didik hanya mementingkan ingatan

dan hafalan. Proses pendidikan yang hanya mementingkan ingatan dan hafalan tidak

akan mengubah anak didik menjadi pribadi yang kritis dan kreatif. Pendidikan dapat

berfungsi sebagai agen rekonstruksi kebudayaan apabila anak didik dipandang sebagai

pribadi yang utuh secara jasmani dan rokhani. (Djamal.M : 2018)

3.1. Kesimpulan

Dalam memahami teori konstruksi sosial, ada tiga momen penting yang harus dipahami

secara simultan. Ketiga momen itu adalah eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi, yang

memiliki hubungan dasar dan dipahami sebagai satu proses yang berdialektika (interplay) satu

sama lain. Masing-masing dari ketiga momen itu berkesesuaian dengan suatu karakterisasi yang

esensial dari dunia sosial. Melalui eksternalisasi, masyarakat merupakan produk manusia;

melalui objektivasi, masyarakat menjadi realitas sui generis, unik; dan melalui internalisasi,

manusia merupakan produk masyarakat. Ada proses menarik keluar (eksternalisasi) sehingga
seakan-akan hal itu berada di luar (objektivasi), dan lebih lanjut ada proses penarikan kembali

ke dalam (internalisasi) sehingga yang berada di luar seakan-akan berada di dalam diri.

Hubungan antara manusia (sebagai produsen) dan dunia sosial (sebagai produknya), tetap

merupakan hubungan yang dialektis. Manusia dan dunia sosialnya berinteraksi satu sama lain,

dan produk berbalik memengaruhi produsennya. Eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi

merupakan momen dalam suatu proses dialektis yang berlangsung terus menerus. Masyarakat

adalah produk manusia (society is a human product); masyarakat adalah kenyataan objektif

(man is an objective reality); dan manusia adalah produk sosial (man is a social product). Jika

dalam proses ini ada satu momen diabaikan maka mengakibatkan terjadinya distorsi.

Gunung Merapi dengan ketinggian 2.968 m dpl merupakan gunung berapi

yang terletak di bagian tengah pulau Jawa dan merupakan salah satu gunung

api teraktif di Indonesia. Secara administratif Gunung Merapi terletak di

wilayah Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sisanya

berada dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Magelang di

sisi barat, Kabupaten Boyolali di sisi utara dan timur, serta Kabupaten

Klaten di sisi tenggara.

Sebagai gunung berapi yang masih aktif, Merapi merupakan pesona

tersendiri bagi penduduk yang tinggal di lereng-lerengnya. Bagi penduduk

di sekitar Merapi setidaknya ada dua potensi yang berkaitan dengan

keberadaan gunung berapi tersebut, yaitu potensi kesuburan tanah dan

potensi bahaya letusan atau erupsi. Potensi kesuburan tanah di sekitar


Merapi ternyata sangat dipengaruhi oleh siklus erupsi yang terjadi. Adanya

hujan abu ketika terjadi erupsi banyak memberikan andil terhadap

ketersediaan zat hara yang dibutuhkan oleh tanaman. Maka tidak

mengherankan walaupun potensi terjadinya letusan atau erupsi sangat besar

dan membahayakan, penduduk di sekitar Merapi tetap menunjukkan

loyalitas tinggi untuk tetap bermukim di sekitar Merapi. Loyalitas untuk

tetap tinggal di daerah rawan bencana letusan tersebut menjadi suatu yang

menarik untuk dikaji lebih lanjut.

Keberanian mereka untuk tetap tinggal di daerah yang sangat rawan terjadi

bahaya letusan itu juga bukan hanya karena kenekatan semata. Dari generasi

ke generasi mereka tinggal di sekitar Merapi, mereka belajar, bersahabat,

dan hidup berdampingan dengan alam, yang kemudian memunculkan

berbagai pengetahuan lokal sebagai salah satu solusi untuk hidup

berdampingan dengan alam yang memiliki potensi bahaya. Pengetahuan

lokal itu kemudian dikenal dengan istilah kearifan lokal atau local wisdom.

Kearifan lokal adalah sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas di

dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang memberikan

kepada komunitas itu daya tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah di

mana komunitas itu berada, atau dengan kata lain, kearifan lokal adalah
C. Rekonstruksi Budaya

Para reconstructionists yakin bahwa masyarakat modern dan kelangsungan hidup manusia modern

sangat terkait erat. Untuk menjamin kelangsungan hidup manusia dan untuk menciptakan peradaban

korporat yang lebih memuaskan, manusia harus menjadi ahli teknik sosial yang mampu merencanakan

jalannya perubahan dan mengarahkan instrumen dinamis ilmu pengetahuan dan teknologi untuk

mencapai tujuan yang diinginkan. Sebuah pendidikan rekonstruksionis adalah salah satu memupuk (1)

rasa kesadaran descrimination dalam pengkajian warisan budaya, (2) komitmen bekerja untuk reformasi

sosial secara sengaja, (3) keinginan untuk mengembangkan mentalitas perencanaan yang mampu

merencanakan jalannya revisi budaya, (4) pengujian terhadap rencana budaya dengan memberlakukan

program reformasi sosial secara sengaja.

Reconstructionists yakin bahwa semua reformasi sosial muncul dalam kondisi kehidupan yang ada.

Mahasiswa diharapkan untuk menentukan masalah utama yang dihadapi umat manusia. Rasa kesadaran

diskriminasi yang berarti bahwa mahasiswa mampu mengenali kekuatan dinamis saat ini. Ini juga

berarti dia sama mampunya dengan mendeteksi keyakinan, adat istiadat, dan lembaga yang

menghambat pembaharuan budaya. Nilai-nilai yang mendominasi hanya karena kebiasaan mereka

harus dibuang. Budaya moral dan ideologis jenuh dengan nilai-nilai yang tersisa dari masa pra-ilmiah

dan pretechnological. Kefanatikan, kebencian, takhayul, dan kebodohan harus diidentifikasi dan

dibuang.

Meskipun reconstructionists belum didefinisikan dengan tepat dalam hal keinginan mereka

menciptakan tatanan masyarakat baru, beberapa dimensi yang bisa menyebutkan. Hal ini mungkin

menjadi salah satu yang akan digunakan sebagai instrumen manusiawi; kemungkinan menjadi salah

satu yang korporat dan di mana semua orang bersama-sama berbagi hal-hal baik dalam hidup,

kemungkinan untuk menjadi salah satu dalam lingkup internasional.

Anda mungkin juga menyukai