KAJIAN PUSTAKA
2.1 Paradigma Konstruktivisme
Apabila seorang peneliti melakukan penelitian, secara sadar atau tidak
dalam dirinya ada cara memandang hal atau peristiwa tertentu. Hal ini secara wajar
terjadi karena dalam diri peneliti sudah terbentuk suatu perangkat kepercayaan yang
didasarkan atas asumsi-asumsi tertentu yang dinamakan aksioma (pernyataan yang
dapat diterima sebagai kebenaran tanpa pembuktian) atau paradigma. Paradigma
merupakan pola atau model tentang bagaimana sesuatu distruktur atau bagaimana
bagian-bagian berfungsi.
Ritzer mengatakan dalam penelitian kualitatif “teori” lebih ditempatkan
pada garis yang digunakan dibidang sosiologi dan antropologi dan mirip dengan
istilah paradigma (dalam Bogdan & Biklen, 1982). Paradigma adalah kumpulan
tentang asumsi, konsep, atau proposisi yang secara logis dipakai peneliti (Alsa,
2010).
Istilah konstruksi sosial atas realitas (social construction of reality) pertama
sekali diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman melalui bukunya
yang berjudul “The Social Construction of Reality, a Treatise in The Sociological of
Knowledge”. Buku ini menjelaskan proses sosial melalui tindakan dan interaksi,
yang mana individu menciptakan secara terus menerus suatu realitas yang dimiliki
dan dialami bersama secara subjektif (Bungin, 2008: 189).
Asumsi dasar dalam pendekatan konstruktivis ini adalah realitas itu
dibentuk dan dikonstruksi dengan demikian, realitas yang sama bisa ditanggapi,
dimaknai dan dikonstruksi secara berbeda-beda oleh semua orang. Hal ini karena
setiap orang mempunyai pengalaman, prefrensi, pendidikan tertentu dan lingkungan
pergaulan atau sosial tertentu, dimana kesemua itu suatu saat akan digunakan untuk
menafsirkan realitas sosial yang ada disekelilingnya dengan konstruksinya masing-
masing.
Konstruktivisme adalah pendekatan secara teoritis untuk komunikasi yang
dikembangkan tahun 1970-an oleh Jesse Deli dan rekan-rekannya. Konstruktivisme
menyatakan bahwa individu melakukan interpretasi dan bertindak menurut berbagai
kategori konseptual yang ada dalam pikirannya. Menurut paradigma ini, realitas
10
11
tidak menunjukkan dirinya dalam bentuknya yang kasar, tetapi harus disaring
terlebih dahulu melalui bagaimana cara seseorang melihat sesuatu (Morissan, 2009:
107).
Paradigma konstruktivisme memandang realitas kehidupan sosial bukanlah
realitas yang natural, tetapi terbentuk dari hasil konstruksi karenanya, konsentrasi
analisis pada paradigma konstruktivisme adalah menemukan bagaimana peristiwa
atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. Kajian
paradigma konstruktivisme ini menempatkan posisi peneliti setara dan sebisa
mungkin masuk dengan subjeknya, berusaha memahami dan mengkonstruksikan
sesuatu yang menjadi pemahaman si subjek yang akan diteliti.
Konsep konstrusi realitas awalnya dikemukakan oleh Peter Berger & Thomas Luckman
yang mengajukan gagasan bahwa realitas sosial bukanlah sesuatu yang terjadi semata-
mata, melainkan hasil interpretasi atau pemaknaan manusia. Pemahaman
konstruktivisme menunjukkan realitas berwajah plural karena setiap orang bisa
mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas berdasarkan nilai-nilai,
pengalaman, preferensi, pendidikan, dan kondisi sosial tertentu yang mempengaruhi
pemahaman sesorang dalam menafsirkan realitas sosial tersebut. Menurut paradigma
konstruktivisme realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat
digeneralisasikan pada semua orang, seperti yang biasa dilakukan oleh kaum
positivis. Konsep kajian komunikasi melingkupi teori konstruksi sosial bisa disebut
berada diantara teori fakta sosial dan defenisi sosial (Eriyanto, 2004: 13).
Konstruksi sosial adalah pengembangan pola pikir masyarakat atau
khalayak melalui isi yang terdapat pada media. Pengertian dan pemahaman kita
terhadap sesuatu muncul akibat komunikasi dengan orang lain (Sendjaja, 2007: 83).
Ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain, secara sadar atau tidak disadari
keduanya akan saling bertukar nilai-nilai yang dianut. Hal ini juga yang akan
mempengaruhi atau bahkan merubah pola pikir individu setelah selesai melakukan
interaksi dengan orang lain.
Ada dua karakteristik penting dari pendekatan konstruksionis (Eriyanto,
2002: 40-41):
1. Pendekatan konstruksionis menekankan pada politik pemaknaan dan
proses bagaimana seseorang membuat gambaran tentang realitas. Makna
bukanlah suatu yang absolut, konsep statik yang ditemukan dalam suatu
pesan. Makna adalah suatu proses aktif yang ditafsirkan seseorang dalam
suatu pesan.
2. Pendekatan konstruksionis memandang kegiatan komunikasi sebagai
proses yang dinamis. Pendekatan konstruksionis memeriksa bagaimana
pembentukan pesan dari isi komunikator dan dalam sisi penerima ia
memeriksa bagaimana pembentukan pesan dari isi komunikator dan
dalam sisi penerima ia memeriksa bagaimana konstruksi makna individu
ketika menerima pesan.
manusia dapat mengungkapkan apa saja yang dilihat, dirasakan, dan sebagainya yang
merupakan pengantar bagaimana manusia dapat mengetahui individu lainnya dan
bisa melakukan komunikasi.
Sedangkan Emery dan Cooper mengatakan bahwa teori merupakan suatu
kumpulan konsep, defenisi, proposisi, dan variabel yang berkaitan satu sama lain
secara sistematis dan telah digeneralisasikan sehingga dapat menjelaskan suatu
fenomena tertentu (Umar, 2002: 55). Teori pada dasarnya dibentuk agar setiap
individu dapat menggunakannya untuk mengungkapkan suatu kebenaran yang ada,
untuk itu teori bersifat universal, artinya setiap orang yang mempelajarinya
memahami pesan yang ingin disampaikan melalui teori tersebut.
Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir
dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Uraian di dalam kerangka teori
merupakan hasil berpikir rasional yang dituangkan secara tertulis meliputi aspek-
aspek yang terdapat didalam masalah ataupun sub-sub masalah (Nawawi, 2002: 39-
40). Jadi, didalam bab ini peneliti menjelaskan berbagai teori yang merupakan
kutipan dari berbagai literatur terpercaya yang dikaitkan dengan permasalahan yang
diteliti.
Miles (2001: 20) menyebutkan terdapat hal terpenting dalam teori, yaitu
teori harus mencakup:
1. Menjelaskan fenomena yang ada dalam kehidupan sosial
2. Adanya hubungan yang terjalin diantara fenomena-fenomena tersebut.
Terkadang ini merupakan bentukan dari kaidah yang semula merupakan
dalil.
3. Merupakan mata rantai diantara riwayat kehidupan dan fenomena yang
diamati serta hubungannya. Terkadang disebut sesuai dengan kaidah atau
jembatan dari prinsip-prinsip yang kuat (Philips, 1992: 130).
7. Pengetahuan
Tingkat pengetahuan akan mempengaruhi komunikasi yang dilakukan.
Seseorang yang tingkat pengetahuannya rendah akan sulit merespon
pertanyaan yang mengandung bahasa verbal dibanding dengan tingkat
pengetahuan tinggi. Pelayan kesehatan perlu mengetahui tingkat
pengetahuan pasien atau keluarga pasien sehingga pelayan kesehatan dapat
berinteraksi dengan baik dan akhirnya dapat memberikan asuhan
keperawatan yang tepat kepada pasien.
8. Peran dan hubungan
Gaya komunikasi sesuai dengan peran dan hubungan antara orang yang
berkomunikasi. Cara berkomunikasi seorang pelayan kesehatan dengan
koleganya dengan cara berkomunikasi seorang pelayan kesehatan pada
pasien akan tergantung pada perannya.
9. Lingkungan
Lingkungan interaksi akan memperngaruhi komunikasi yang efektif.
Suasana bising, tidak ada ruang privacy yang tepat akan menimbulkan
kerancuan, ketegangan, dan ketidaknyamanan.
10. Jarak
Jarak tertentu menyediakan rasa aman dan control. Hal ini terjadi ketika
pasien pertama kali berinteraksi dengan pelayan kesehatan.
yang mau diungkapkan karena spontan (Hardjana, 2003: 26). Menurut Hunaker
sebesar 90% dari arti komunikasi berasal dari komunikasi nonverbal (Musliha,
2010).
Deddy Mulyana (2005) mengelompokkan komunikasi nonverbal secara
umum, terdiri dari:
a. Kinesics
Kinesics merupakan komunikasi yang dilakukan melalui pergerakan tubuh,
terdiri dari ekspresi muka, gesture (gerak, isyarat, sikap), gerakan tubuh dan postur,
serta gerak mata atau kontak mata. Bidang kesehatan, komunikasi nonverbal kinesics
tampak jelas ketika seorang pasien mengerutkan wajah, kening, mulut sambil
memejamkan mata menunjukkan pasien tersebut sedang menahankan rasa sakitnya.
Ketika hal ini terjadi, dokter ataupun bidan yang sedang menanganinya akan
tersenyum dalam arti memberi support (dukungan) bagi si pasien. Penggegas studi
mengenai kinesik adalah Ray Birdwhistel, yang menggunakan linguistik sebagai
model bagi studi kinesik (Musliha, 2010).
Paul Ekman dan Wallace Friesen (dalam Musliha, 2010) melakukan riset atas
teori yang dikembangkan Birdwhistel sebelumnya sehingga menghasilkan model
umum perilaku kinestik yang sangat bagus dengan memberikan fokus perhatian pada
wajah dan tangan. Hasil suatu penelitian menunjukkan enam keadaan emosi utama
yang tampak melalui ekspresi wajah: terkejut, takut, marah, jijik, bahagia, dan sedih.
Ekspresi wajah sering digunakan sebagai dasar penting dalam menentukan
pendapat interpesonal. Kontak mata sangat penting dalam komunikasi interpersonal.
Orang yang mempertahankan kontak mata selama pembicaraan diekspresikan
sebagai orang yang dapat dipercaya dan memungkinkan untuk menjadi pengamat
yang baik. Tenaga medis sebaiknya tidak memandang ke bawah ketika sedang
berbicara dengan pasien, oleh karena itu ketika berbicara sebaiknya duduk sehingga
tenaga medis tidak tampak dominan jika kontak mata dengan pasien dilakukan dalam
keadaan sejajar.
b. Paralanguage
Paralanguage menunjukkan pada bahasa itu sendiri. Vokal dapat
membedakan emosi yang dirasakan oleh seseorang. Misalnya, ketika seseorang
sedang marah ia berbicara dengan volume yang kuat. Untuk beberapa orang bahkan
menit pertama. 84% dari kesan terhadap seserang berdasarkan penampilannya (Potter
dan Perry, 1993). Bentuk fisik, cara berpakaian dan berhias menunjukkan
kepribadian, status sosial, pekerjaan, agama, budaya dan konsep diri. Tenaga medis
yang memperhatikan penampilan dirinya dapat menimbulkan citra diri dan
profesional yang positif. Penampilan fisik tenaga medis mempengaruhi persepsi
pasien terhadap pelayanan atau asuhan keperawatan yang diterima, karena tiap
pasien mempunyai citra bagaimana seharusnya penampilan seorang tenaga medis.
Walaupun penampilan tidak sepenuhnya mencerminkan kemampuan tenaga medis,
tetapi mungkin akan lebih sulit bagi tenaga medis untuk membina rasa percaya
terhadap pasien jika tenaga medis tidak memenuhi citra pasien.
f. Bau-bauan
Bau tubuh seseorang juga akan mempengaruhi penilaian ataupun
keberlangsungan komunikasi antarpribadi. Ketika seorang individu ingin menemui
kekasihnya tentu penampilan bukan satu-satunya hal yang diperhatikan, minyak
wangi juga akan dipakainya untuk menambah kesan dan nilai pada kerapiannya.
Kondisi rumah sakit yang cenderung tidak sebersih rumah kita akan mengurangi
kenyamanan setiap orang yang berada di rumah sakit tersebut, untuk itu dengan bau
tubuh yang wangi dari orang-orang di rumah sakit baik tenaga medis maupun pasien
atau keluarga pasien akan memberi pengaruh positif bagi kelancaran komunikasi
yang terjalin.
g. Konsep waktu (chronemics)
Waktu menentukan hubungan antarmanusia. Kronemika adalah studi dan
interpretasi atas waktu sebagai pesan. Bagaimana kita memersepsi dan
memperlakukan waktu secara simbolik dapat menunjukkan sebagian dari jati diri
kita: siapa diri kita dan bagaiman kesadaran kita akan lingkungan kita.
h. Diam
Ruang dan waktu adalah bagian dari lingkungan kita yang juga dapat
diberikan makna. John Cage (dalam Mulyana, 2005: 373) mengatakan, tidak ada
sesuatu yang disebut ruang atau waktu yang kosong. Selalu ada sesuatu untuk dilihat,
sesuatu untuk didengar. Penulis dan filosof Amerika Henry David Thoreau (dalam
Mulyana, 2005: 374) menuliskan “Dalam hubungan manusia, tragedi dimulai bukan
ketika ada kesalahpahaman mengenai makna kata-kata, namun ketika diam tidak
dipahami”.
i. Warna
Kita sering menggunakan warna untuk menunjukkan suasan emosional, cita
rasa, afiliasi politik, dan bahkan mungkin keyakinan. Devito menyebutkan hingga
derajat tertentu, ada hubungan antara warna yang digunakan seseorang dengan
kondisi fisiologis dan psikologisnya, misalnya frekuensi kedipan mata seseorang
akan bertambah ketika dihadapkan pada cahaya merah dan berkurang ketika
dihadapkan pada cahaya biru. Hal ini menunjukkan kekonsistenan pada perasaan
naluriah manusia akan warna biru yang lebih menyejukkan dan warna merah lebih
bersifat aktif (dalam Mulyana, 2005: 379).
j. Artefak
Artefak adalah benda apa saja yang dohasilkan kecerdasan manusia. Aspek
ini merupakan penjelasan lebih jauh dari pakaian dan penampilan. Benda-benda yang
digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dan dalam interaksi manusia
sering mengandung makna-makna tertentu.
Hal menarik dari komunikasi nonverbal ialah studi Albert Mahrabian (1971)
yang menyimpulkan bahwa tingkat kepercayaan dari pembicaraan orang hanya 7%
berasal dari bahasa verbal, 38% dari vocal suara, dan 55% dari ekspresi muka. Ia
juga menambahkan bahwa jika terjadi pertentangan antara apa yang diucapkan
seseorang dengan perbuatannya, orang lain cenderung mempercayai hal-hal yang
bersifat nonverbal (http://changingminds.org/explanations/behaviors/body_language/
mehrabian.htm)
Stuart dan Sundeen menyebutkan tujuan dari komunikasi nonverbal (dalam
Musliha, 2010), yaitu mengekspresikan emosi; mengekspresikan tingkah laku
interpersonal; membangun, mengembangkan, dan memelihara interaksi sosial;
menunjukkan diri; terlibat dalam ritual; dan mendukung komunikasi verbal.
orang lain akan mengatur orang tersebut untuk itu, setiap orang sengaja
menampilkan diri (self-presentation) seperti yang dikehendaki.
Menurut Erving Goffman yang dikutip oleh Jalaludin Rakhmat dalam buku
Psikologi Komunikasi mengatakan bahwa impression management (pengelolaan
kesan) sebagai kecermatan persepsi interpersonal dimudahkan oleh petunjuk-
petunjuk verbal dan nonverbal, dan dipersulit oleh faktor-faktor personal penanggap.
Kesulitan persepsi juga timbul karena personal stimuli berusaha menampilkan
petunjuk-petunjuk tertentu untuk menimbulkan kesan tertentu pada diri penanggap
(Rakhmat, 2005: 96)
Berdasarkan penejelasan sebelumnya, gagasan pengelolaan kesan juga
mengarah pada praktek dalam komunikasi profesional, di mana istilah ini digunakan
untuk menggambarkan proses pembentukan citra publik perusahaan atau organisasi.
Hal ini biasanya digunakan bersamaan dengan ketika seseorang mempresentasikan
dirinya dikarenakan individu tersebut mencoba untuk memengaruhi persepsi
mengenai citra dirinya. Pengelolaan kesan juga mengacu pada prakteknya ketika
seseorang berada pada kegiatan profesinya. Misalnya, ketika seorang dokter ingin
membentuk kesan baik terhadap pelayanan di Rumah Sakit X pada pasien yang
sedang ia tangani.
1. Konsep diri (self concept)
Konsep diri (self concept) merupakan suatu bagian yang penting dalam
setiap pembicaraan tentang kepribadian manusia. Konsep diri merupakan sifat yang
unik pada manusia, sehingga dapat digunakan untuk membedakan manusia dari
makhluk hidup lainnya. Konsep diri seseorang dinyatakan melalui sikap dirinya yang
merupakan aktualisasi orang tersebut. Konsep diri yang paling dini umumnya
dipengaruhi oleh keluarga dan orang-orang dekat lainnya disekitar individu tersebut,
termasuk kerabat (Mulyana, 2005). Manusia sebagai organisme yang memiliki
dorongan untuk berkembang yang pada akhirnya menyebabkan ia sadar akan
keberadaan dirinya. Perkembangan yang berlangsung tersebut kemudian membantu
pembentukan konsep diri individu yang bersangkutan. Bech, William dan Rawlin
lebih menjelaskan bahwa konsep diri adalah cara individu memandang dirinya secara
utuh, fisik, emosional, intelektual, sosial, dan spiritual (Dalami, 2009: 3).
Impression
Management
Pelayan Kesehatan
Komunikasi Komunikasi
Verbal Nonverbal
Komunikasi
Terapeutik
Pasien