Anda di halaman 1dari 73

Materi Mata Kuliah Difusi Inovasi

Proses Keputusan INOVASI


Diffusion of Innovations

Rogers, Everrett M. (1983) New York: Free Press. (3rd ed.

Diterjemah oleh Abdillah Hanafi

BAB 5

PROSES KEPUTUSAN INOVASI

Orang harus belajar dengan mengerjakan sesuatu, karena

walaupun anda merasa sudah kenal sesuatu itu, tetap

anda belum merasa pasti, sebelum anda mencobanya.

PROSES KEPUTUSAN INOVASI adalah proses yang dijalani


seseorang (atau unit pengambil keputusan lainnya) mulai dari kenal
suatu inovasi, kemudian menyikapinya lalu mengambil keputusan untuk
mengadopsi atau menolak-nya, melaksanakan keputusan, sampai
dengan pengukuhan keputusan tersebut. Proses ini terdiri dari
serangkaian tindakan dan pemilihan yang dilakukan seseorang atau
organisasi untuk menilai suatu gagasan baru dan memutuskan apakah
akan memasukkan ide baru itu ke dalam kegiatan yang sedang dan atau
sudah berlangsung. Tindakan ini berkenaan terutama dengan
ketidakpastian yang mau tak mau ada dalam pemutusan suatu
alternatif baru. Kebaruan yang terlihat pada inovasi ini dan
ketidakpastian yang melekat pada kebaruan itu, merupakan aspek
pembeda pembuatan kepastian inovasi (dibandingkan dengan tipe-tipe
keputusan lainnya).

Bab ini bermaksud menguraikan suatu model proses keputusan inovasi,


yang terdiri dari lima tahap, dan merangkum bukti-bukti bahwa tahap-
tahap ini ada. Perhatian utama kami di bagian ini adalah terhadap
keputusan inovasi opsional yang dibuat seseorang. Namun demikan
bahasan ini dapat dijadikan dasar pembahasan kita tentang proses
keputusan inovasi dalam organisasi.

SUATU MODEL PROSES KEPUTUSAN INOVASI

Parapakar difusi telah lama tahu bahwa keputusan seseorang tentang


sesuatu inovasi bukanlah merupakan tindakan yang terjadi seketika.
Melainkan, merupakan suatu proses yang terjadi dalam suatu rentang
waktu dan terdiri dari serangkaian tindakan. Bagaimanakah sebetulnya
urutan tahap-tahap proses pembuatan keputusan inovasi itu?

Model baru kami tentang keputusan-inovasi terpampang pada gambar


5-1. Pada model ini proses terdiri darilimatahap :

1. Pengenalan yang terjadi ketika seseorang (atau unit pembuat


keputusan lainnya) dihadapkan pada keberadaan suatu inovasi
dan memahami bagaimana inovasi itu berfungsi.
2. Persuasi terjadi ketika seseorang membentuk sikap suka atau
tidak terhadap inovasi.
3. Keputusan terjadi ketika seseorang terlibat dalam kegiatan
yang membawanya pada suatu penentuan untuk menerima
atau menolak inovasi.
4. Pelaksanaan yang terjadi ketika seseorang menggunakan
inovasi itu.
5. Konfirmasi yang terjadi ketika seseorang mencari penguat
terhadap keputusan inovasi yang telah dibuat sebelumnya,
tetapi bisa jadi ia merubah keputusannya apabila dihadapkan
pada pesan-pesan yang bertentangan.
Gambar 2.1. SUATU MODEL TAHAPAN DALAM PROSES
KEPUTUSAN INOVASI

Proses keputusan-inovasi adalah proses yang dijalani seseorang (atau


unit pembuat keputusan) mulai dari pengenalan terhadap suatu inovasi,
membentuk sikap, memutuskan untuk menggunakan atau menolak,
melaksanakan penggunaan ide baru itu, dan mengukuhkan keputusan
itu. Untuk sederhananya, kami tidak menampakkan akibat penggunaan
inovasi dalam paradigma ini.
Berikut ini kami paparkan lebih rinci perilaku yang terjadi pada masing-
masing dari kelima tahap proses keputusan-inovasi itu.

TAHAP PENGENALAN

Kami pandang proses keputusan-inovasi itu berangkat dari tahap


pengenalan yang bermula ketika orang (atau unit pengambil keputusan
lain) dihadapkan pada keberadaan inovasi dan mengerti bagaimana
inovasi itu.

Mana Datang Dulu, Kebutuhan atau Pengetahuan tentang inovasi?

Beberapa pengamat menyatakan bahwa seseorang berperan pasif keti-


ka sedang dihadapkan pada kesadaran-pengetahuan tentang inovasi.
Pandangan ini menyatakan bahwa orang tidak sengaja (kebetulan)
mengetahui inovasi, karena orang tidak dapat aktif mencari suatu
inovasi sebelum mengetahui bahwa inovasi itu ada. Misalnya, Coleman
et al (1966:59) menyimpulkan bahwa pengenalan awal tentang suatu
obat-obatan medis terjadi terutama melalui saluran komunikasi dan
pesan-pesan penjaja atau iklan yang tidak dicari oleh para dokter
(melainkan datang sendiri); pada tahap berikutnya dalam proses
keputusan-inovasi, para dokter itu menjadi pencari informasi yang aktif,
biasanya kepada teman-teman sejawatnya.

Parasarjana difusi yang lain karena merasa bahwa seseorang


memperoleh kesadaran-pengetahuan hanya melalui perilaku yang harus
diprakarsai, dan bahwa kesadaran itu bukanlah semata-mata aktifitas
yang pasif Predisposisi kita. kecenderungan ini disebut selective
exsposure.[1] Hassinger (1959) menyatakan bahwa seseorang jarang
membuka dirinya pada pesan-pesan tentang inovasi jika mereka tidak
merasa membutuhkannya, dan bahkan andaikata orang itu dihadapkan
pada pesan-pesan tersebut, tidak banyak dampaknya bila ia tidak
melihat relevansi inovasi itu dengan kebutuhannya dan tidak sejalan
dengan sikap dan kepercayaan yang ada padanya.[2]

Misalnya, seorang petani mungkin saja telah berpergian melewati


wilayah ladang jagung hibrida yang luasnya ratusan kilometer, dan ia
tidak melihat inovasi jagung yang unggul itu. Seorang warga kalifornia
mungkin telah berjalan di depan rumah-rumah yang memasang antena
parabola dan ia tidak mengetahui inovasi tersebut. Selective
exposure dan selective perception bertindak terutama sebagai kunci hati
kita dalam hal pesan-pesan inovasi, karena ide-ide itu baru. Kita tidak
mungkin punya sikap dan kepercayaan yang konsisten mengenai ide-
ide yang tidak pernah kita sebelumnya. Dengan demikian
gagasan selective exposure dan selective perception ini banyak
menopang pandangan Hasinger bahwa kebutuhan akan suatu inovasi
mestinya mendahului kesadaran-pengetahuan tentang inovasi.

Tetapi bagaimana kebutuhan kita muncul? Kebutuhan adalah suatu


keadaan tak puas atau frustasi yang terjadi ketika keinginan lebih besar
daripada kenyataannya, ketika keinginan lebih besar daripada
perolehan. Mungkin saja, kebutuhan seseorang tumbuh ketika ia
mengetahui ada inovasi, begitu pula sebaliknya. Beberapa agen
pembaru menumbuhkan kebutuhan dikalangan para binaan dengan
cara menunjukkan adanya ide-ide baru yang mereka inginkan. Jadi
pengetahuan tentang keberadaan suatu inovasi dapat memunculkan
motivasi untuk pengapdosiannya.

Sama sekali tidak berarti bahwa kebutuhan atau masalah yang


dirasakan merupakan penjelas yang sangat sempurna tentang mengapa
seseoramg memulai proses keputusan inovasi. Hal ini sebagian
dikarenakan orang tidak melalui mengetahui kapan mereka punya
masalah dan juga kebutuhan seseorang tidak selalu sama dengan apa
yang diperkirakan oleh para ahli. Profesor Edgar Dale mengatakan Kita
mungkin ingin makanan tetapi tidak membutuhkannya., Dan mungkin
kita membutuhkan vitamin tetapi tidak menginginkannya.

Apa kesimpulannya? Apakah kebutuhan mendahului pengenalan suatu


ide baru ataukah pengenalan terhadap inovasi menciptakan kebutuhan
terhadap ide baru itu? Barangkali ini seperti pertanyaan : Mana lebih
dulu telur ataukah anak ayam? Penelitian yang ada tidak memberi
jawaban yang jelas terhadap pertanyaan Apakah pengenalan inovasi
ataukah kebutuhan terhadap ide baru yang muncul lebih dulu ini.
Kebutuhan terhadap inovasi tertentu, misalnya pestisida untuk
membasmi kutu loncat yang merusak tanaman, mungkin datang terlebih
dulu sebelum orang mengetahui inovasi tentang itu. tetapi banyak
inovasi lain yang mungkin justru menumbuhkan kebutuhan; misalnya
pada inovasi-inovasi konsumtif seperti mode pakaian.

Tipe-tipe Pengetahuan Inovasi

Seperti kami kemukakan pada Bab 1, proses keputusan-inovasi pada


intinya adalah suatu pencarian informasi dan kegiatan pemrosesan
informasi, di mana orang termotivasi untuk mengurangi ketidakpastian
mengenai kelebihan dan kekurangan inovasi di dalam memenuhi
kebutuhan mereka. Suatu inovasi biasanya
mengandung informasi mengenai perangkat lunak, yakni informasi
tentang inovasi itu sendiri yang dapat membantu mengurangi
ketidakpastian kita tentang sebab akibat yang berkait dengan
pencapaian suatu hasil yang diinginkan (yaitu pemenuhan kebutuhan
atau pemecahan masalah yang dihadapi). Pertanyaan seperti inovasi
apakah itu?, Bagaiman cara kerjanya? dan mengapa bisa
begitu? adalah yang biasanya dilontarkan orang begitu ia mengetahui
adanya suatu inovasi. Pengetahuan tentang adanya inovasi ini
mendorong orang mencari pengetahuan Bagaimana cara dan
pengetahuan prinsip-prinsip. Pencarian tipe-tipe informasi ini berada
pada tahap pengenalan dari proses keputusan-inovasi tetapi mungkin
juga terjadi pada tahap persuasi dan keputusan.

Pengetahuan bagaimana cara terdiri dari informasi yang diperlukan


untuk menggunakan suatu inovasi dengan tepat. Pengguna haruslah
memahami berapa banyak penggunaan inovasi itu agar aman,
bagaimana menggunakannya dengan tepat/benar, dan sebagainya.
Pada inovasi-inovasi yang relatif rumit, pengetahuan bagaimana cara
yang diperlukan untuk pengadopsian yang tepat lebih banyak daripada
inovasi-inovasi yang sederhana . dan bila tidak diperoleh pengetahuan
ini secara memadai sebelum percobaan dan pengadopsian,
kemungkinan besar terjadi penolakan atau diskontinuansi. Sampai
sekarang hanya sedikit penyelidikan mengenai pengetahuan ini.

Pengetahuan prinsip terdiri dari informasi berkenaan denagn prinsip-


prinsip yang mendasari bagaimana inovasi itu berfungsi. Contoh
pengetahuan prinsip adalah : teori kuman yang mendasari berfungsinya
vaksinasi dan jamban keluarga dalam kampanye sanitasi dan kesehatan
desa; dasar-dasar reproduksi manusia, yang membentuk dasar bagi
inovasi keluarga berencana; dan biologi pertumbuhan tanaman
mendasari inovasi pupu. Biasanya tanpa pengetahuan prinsip keilmuan
ini seseorang telah dapat mengadopsi inovasi, tetapi bahaya salah pakai
ide-ide baru akan lebih besar, dan mungkin terjadi diskontinuansi. Tentu
kemampuan seseorang untuk meramal masa depan inovasi dalam
jangka panjang akan mudah jika ia menguasai pengetahuan prinsip
inovasi itu.
Apakah peranan agen pembaru dalam penyampaian ketiga tipe
pengetahuan itu? Kebanyakan agen pembaru memusatkan usaha
mereka pada penciptaan pengetahuan-kesadaran (pengetahuan ttg
adanya inovasi), walaupun tujuan ini sebetulnya dapat dicapai dengan
lebih efisien melalui media masa. Agen pembaru mungkin dapat
memainkan peran yang penting dalam proses keputusan-inovasi bila
mereka memusatkan pada pengetahuan bagaimana cara , yang penting
bagi klien pada tahap percobaan dan keputusan. Kebanyakan agen
pembaru menganggap penciptaan pengetahuan prinsip di luar tanggung
jawab mereka dan lebih tepat sebagai tugas sekolah dan pendidikan
umum. Sangatlah sulit bila agen pembaru mengajar pemahaman
mengenai prinsip-prinsip ilmu yang mendasari inovasi. Tetapi bila
binaan tidak memahami ini, tugas jangka panjang agen pembaru tetap
sulit.

Orang Yang Tahu Inovasi Lebih Awal dan Lebih


Akhir

Beberapa rampatan berikut ini merangkum hasil-hasil


temuan penelitian berkenaan awal akhirnya mengetahui
inovasi:

Rampatan 5-1: Orang yang lebih awal mengetahui inovasi,


pendidikannya lebih tinggi daripada yang tahu belakangan.
Rampatan 5.2 : Orang yang lebih awal mengetahui inovasi, status
sosialnya lebih tinggi daripada yang tahu belakangan.

Rampatan 5.3: orang yang lebih awal mengetahui inovasi, lebih banyak
beterpa media massa daripad ayang tahu belakangan .

Rampatan 5.4: Orang yang lebih awal mengetahui inovasi, lebih banyak
terkait pada saluran komunikasi antar pribadi daripada yang tahu
belakangan.

Rampatan 5.5: Orang yang lebih awal mengetahui inovasi, lebih sering
kontak dengan agen pembaru daripada yang tahu belakangan.

Rampatan 5.6: Orang yang lebih awal mengetahui inovasi, lebih tinggi
partisipasi sosialnya daripada yang tahu belakangan.

Rampatan 5.7: Orang yang awal tahu suatu inovasi lebih kosmopolit dari
pada yang belakangan tahu.

Ciri-ciri orang yang lebih awal tahu suatu inovasi


sama dengan ciri-ciri inovator: lebih tinggi pendidikannya, lebih tinggi
status sosialnya, dsb. Tetapi tentu saja saja ini tidak berarti bahwa orang
yang lebih dulu tahu inovasi pasti inovator.

Mengetahui suatu inovasi seringkali tidak otomatis menggunakannya.


Kebanyakan orang tahu banyak tentang inovasi tetapi tidak
mengadopsinya. Mengapa? Salah satu alasan. Mungkin orang itu
mengenal suatu ide baru tetapi menganggapnya tidak relevan dengan
situasi dirinya, atau tidak menganggapnya sebagai suatu yang
bermanfaat. Karena itu sikap terhadap inovasi seringkali mengantarai
tahap pengetahuan dan keputusan. Dengan kata lain, sikap atau
kepercayaan seseorang tentang inovasi dapat dikatakan sebagai
jembatan menuju keputusan.

TAHAP PERSUASI

Pada tahap persuasi[3] dari proses keputusan inovasi seorang


membentuk sikap[4] berkenan atau tidak berkenan terhadap inovasi.
Apabila kegiatan mental pada tahap pengetahuan yang terutama adalah
kognitif (untuk mengetahui), pada persuasi adalah efektif (perasaan,
kepercayaan). Sebelum seseorang mengetahui suatu ide baru tentu
saja ia tidak dapat menyikapinya.

Pada tahap persuasi orang lebih terlibat secara psikologis dengan


inovasi; ia aktif mencari informasi mengenai ide baru. Menjadi penting
pada tahap ini adalah di mana ia mencari informasi, pesan apa yang ia
terima, dan bagaimana ia menafsir informasi yang ia terima
itu. Selective perception penting dalam menentukan perilaku seseorang
pada tahap persuasi, karena pada tahap inilah orang mengembangkan
pandangan umumnya tentang inovasi, terutama keuntungan relatif,
kesesuaian dan kerumpilannya, sangat penting dalam tahap ini (gambar
5-1).

Dalam mengembangkan sikap berkenan atau tidak berkenan terhadap


inovasi secara mental orang menerapkan ide baru itu ke dalam situasi
diri-nya sekarang, atau masa mendatang, sebelum menentukan apakah
ia akan mencobanya atau tidak. Kemampuan berpikir hipotetik dan
bukan faktual semata, dan kemampuan memproyeksi masa depan,
termasuk perencanaan, merupakan kemampuan mental yang penting
dalam tahap persuasi.

Semua inovasi menimbulkan ketakpastian bagi seseorang, yang


umumnya tidak percaya hasil-hasil ide baru itu. Karena itu ia
membutuhkan penguat sosial bagi sikapnya terhadap ide baru itu.
Orang ingin tahu bahwa pemikirannya sejalan dengan pandangan
teman-temannya. Pesan-pesan mediamassaterlalu umum untuk
memberi penguatan khusus yang diperlukan orang dalam upaya
pengukuhan kepercayaannya terhadap inovasi.

Pada tahap persuasi, terutama pada tahap keputusan nanti, orang


biasanya akan mencari informasi penilaian-inovasi , yang dapat
mengurangi ketidakpastian akan akibat/hasil yang diharapkan dari suatu
inovasi. Di sini biasanya orang ingin memperoleh jawab atas
pertanyaan-pertanyaan seperti Apakah hasil/akibat penggunaan inovasi
ini? dan Apakah kemanfaatan dan kemudorotan inovasi ini bagi saya,
kalau saya menggunakannya? . Untuk jenis ini informasi seperti ini,
walaupun seringkali mudah diperoleh dari penilaian ilmiah tentang
inovasi, yang biasanya dicari orang adalah informasi-informasi dari
teman-teman mereka yang punya pandangan subyektif mengenai
inovasi (berdasar pengalaman pribadi dalam pengadopsian inovasi);
informasi ini lebih menyakinkan mereka. Seringkali kita terdorong untuk
mengadopsi inovasi ketika orang yang senasib dengan kita
mengemukakan penilaian mereka yang positif tentang ide baru itu.

Hasil pokok tahap persuasi adalah sikap yang berkenan atau tidak
berkenan terhadap suatu inovasi. Diperkirakan persuasi ini
menimbulkan perubahan perilaku nyata berikutnya (yakni pengadopsian
atau penolakan inovasi) sejalan dengan sikap yang telah terbentuk.
Tetapi kita tahu bahwa banyak kasus di mana sikap tidak sejalan
dengan tindakan.

Kesenjangan antara sikap berkenaan dengan pengadopsian inovasi


banyak dikemukan terhadap pada ide-ide kontrasepsi di negara-negara
yang sedang berkembang. Misalnya, 80% atau lebih orang tua balita di
negara seperti India dan Pakistan yang disigi mengatakan mengetahui
cara-cara KB dan berkenan (setuju) menggunakannya. Tetapi hanya 15-
20% dari mereka yang betul-betul mengadopsinya (Roger, 1973:228).
Perbedaan sikap dan penggunakan ini disebut kesenjangan
KAP (singkatan dari Knowledge-Attitude-Practice) dalam bidang
keluarga berencana. Barangkali kesenjangan ini terjadi karena (1) alat
kontrasepsi tidak siap diterima, dan atau (2) dalam pikiran para calon
akseptor KB, cara-cara KB yang ada sangat tidak cocok untuk para
orang tua karena beberapa efek samping tertentu yang tidak diinginkan
dari alat-alat kontrasepsi itu.
Mungkin yang penting dicatat di sini adalah bahwa terbentuk sikap
berkenan atau tak berkenan terhadap suatu inovasi langsung dan
segera membawa orang pada pengambilan keputusan untuk
mengadopsi atau menolaknya. Namun demikian ada kecenderungan
bahwa antara sikap dan perilaku itu lebih sejalan.

Inovasi preventif adalah ide baru yang diterima seseorang dalam


rangka menghindari terjadinya peristiwa yang tidak diinginkan di masa
mendatang. Peristiwa yang tak diinginkan itu bisa terjadi (atau tidak) bila
inovasi itu tidak diadopsi. Dengan demikian akibat (hasil) yang
diharapkan dari inovasi preventif itu tidak pasti. Dalam demikian akibat
(hasil) yang diharapkan dari inovasi preventif itu tidak pasti. Dalam
situasi seperti itu motivasi orang untuk mengadopsi menjadi agak lemah.
Contoh inovasi preventif adalah penggunaan alat-alat kontrasepsi,
penggunaan sabuk pengaman mobil, asuransi, membuat persiapan
menghadapi bencana alam, dsb. Walaupun orang merasakan
kebutuhan terhadap inovasi semacam itu, dan terjangkau, sering ia tidak
mengadopsinya. Karena itu biasanya tingkat adopsi inovasi-inovasi
preventif biasanya sangat rendah.

Ketidak-ajekan persuasi-adopsi pada inovasi preventif kadang-kadang


dapat ditutupi dengan suatu isyarat bertindak, yakni suatu peristiwa
pada saat mengkristalnya sikap berkenan berubah menjadi tingkah laku
nyata. Beberapa isyarat bertindak itu terjadi secara alami; misalnya,
banyak wanita mengadopsi kontrasepsi ketika mereka mengalami
ketakutan untuk kehamilan atau keguguran (Rogers, 1973: 295-296).
Pada kasus lain, kadang-kadang isyarat-bertindakdapat diciptakan oleh
agen pembaru; misalnya beberapa program keluarga berencana
nasional memberi inseptif sebagai isyarat bertindak bagi calon akseptor.

TAHAP KEPUTUSAN

Tahap keputusan dalam proses keputusan inovasi terjadi ketika


seseorang terlibat dalam kegiatan yang membawanya pada penentuan
untuk menerima atau menolak inovasi. Adopsi adalah keputusan untuk
menggunakan sepenuhnya suatu inovasi sebagai suatu cara tindakan
terbaik yang ada. Penolakan adalah keputusan untuk tidak
menggunakan suatu inovasi.

Bagi kebanyakan orang, salah satu cara mengatasi ketidak-pastian


konsekensi suatu inovasi adalah dengan mencoba sebagian ide baru
itu. Sebetulnya, kebanyakan orang tidak akan mengadopsi suatu inovasi
tanpa mencobanya terlebih dulu untuk memastikan kemanfaatan inovasi
itu bagi situasi dirinya sendiri. Percobaan dalam skala kecil sering
menjadi bagian dari keputusan untuk mengadopsi, dan penting sebagai
cara untuk mengurangi ketidakpastian yang dirasakan pengguna
mengenai inovasi. Dalam-dalam kasus tertentu, ada inovasi yang tidak
dapat dicoba, sehingga harus begitu saja diadopsi. Kebanyakan orang
mencoba suatu inovasi kemudian bergerak ke suatu keputusan adopsi,
bila setidak-tidaknya inovasi itu punya suatu tingkat keuntungan relatif
tertentu. Cara-cara untuk memudahkan pencobaan inovasi dapat
ditempuh misalnya dengan jalan membagikan sampel (contoh) inovasi
secara gratis kepada para calon pengguna. Bukti mengenai hal ini
diketemukan dari esperimen kancah dikalangan petani lowa,
bahwa gratisan (pemberian cuma-cuma) contoh obat pembasmi rumput
baru telah mempercepat periode keputusan inovasi sekitar satu tahun
(Klonglan, 1962, 1963; Klonglan et al, 1960a, 1963).

Untuk orang-orang tertentu dan pada inovasi-inovasi tertentu,


percobaan yang dilakukan oleh orang lain yang mirip dengan dirinya
telah dianggap cukup sebagai pengganti. Agen pembaru sering
berusaha mempercepat proses keputusan-inovasi seseorang dengan
mengadakan peragaan suatu ide baru di dalam suatu sistem sosial.Ada
bukti bahwa strategi peragaan itu sangat efektif, terutama bila
peraganya pemuka masyarakat (Magill dan Rogers, 1981).

Perlu diingat proses keputusan inovasi menurut logika biasa mengarah


pada penolakan di samping menuju adopsi . Sebetulnya, setiap, tahap
dalam proses itu . Misalnya, bisa saja orang menolak suatu inovasi pada
tahap pengetahuan dengan jalan begitu saja melupakan setelah
mengenal suatu inovasi. Dan tentu saja penolakan dapat pula terjadi
walaupun sebelumnya orang telah memutuskan untuk menerima.
Inilah Penghentian (discontinuation), yang terjadi pada tahap
pengukuhan.

Penolakan inovasi dapat dibedakan menjadi dua macam :

1. Penolakan aktif, yaitu penolakan yang dilakukan seseorang


setelah ia mempertimbangkan untuk mengadopsinya (bahkan
mungkin sudah pernah mencoba) tetapi kemudian akhirnya
memutuskan untuk tidak mengadopsinya.
2. Penolakan Pasif (disebut juga non-adopsi), yakni orang yang
tidak pernah bersungguh-sungguh mempertimbangkan
penggunaan inovasi.

Jelas kedua tipe penolakan ini berbeda. Sayangnya dalam penelitian


difusi keduanya sering belum dibedakan. Mungkin karena adanya
prasangka (bias) dalam kebanyakan kajian difusi, tindak penolakan
inovasi belum banyak mendapat perhatian ilmiah.

Di samping itu, biasanya dalam-dalam kajian difusi tertentu ada asumsi


tersirat tentang urutan lurus (linear) ketiga tahapan pertama proses
keputusan inovasi; pengetahuan persuasi keputusan. Dalam beberapa
kasus, urutan yang terjadi mungkin pengetahuan-keputusan-persuasi.
Misalnya, di suatu desa di Korea yang pernah saya teliti, para ibu yang
sudah menikah dikumpulkan pada suatu tempat. Setelah petugas
pemerintah memberi ceramah tentang IUD (suatu alat kontrasepsi), para
ibu yang ingin mengadopsi diminta mengacungkan tangan (Rogers dan
Kincaid, 1981:15). Delapan belas ibu mengacungkan tangan secara
sukarela (mungkin sudah disiapkan), dan segera berbondong-bondong
menuju klinik untuk pasang IUD. Dalam kasus ini, suatu keputusan
inovasi yang mestinya opsional hampir menjadi keputusan-inovasi
kolektif sebagai akibat adanya tekanan kelompok yang kuat. Strategi
beracu-kelompok untuk keluarga berencana yang mirip ini juga terjadi di
kelompok perencanaan kelahiran di RRC dan dalam
pendekatan banjardi Bali,Indonesia (Rogers dan Chen, 1980). Di kedua
tempat itu masyarakat menentukan siapa yang menginginkan anak,
maka orangtuanya dianjurkan untuk masuk ke dalam kelompok
perencanaan kelahiran ini. Tekanan kelompok yang begitu kuat untuk
mengadopsi inovasi mungkin dipandang rendah (menjijikkan) bagi nilai-
nilai kebebasan pada budaya-budaya tertentu, tetapi tidak
diKorea,Cina,Indonesia. Dengan demikian, urutan pengetahuan-
persuasi-keputusan seperti yang dikemukakan pada model kami
(gambar 5-1) mungkin terkait budaya. Dalam beberapa setting budaya,
tahap pengetahuan-pesuasi-keputusan mungkin berlangsung dalam
satu urutan, setidak-tidaknya untuk inivasi-inovasi tertentu.

TAHAP PELAKSANAAN

Tahap Pelaksanaan terjadi ketika seseorang menggunakan inovasi itu.


Sebelum tahap ini, proses keputusan-inovasi lebih banyak berupa
tindakan mental. Namun tahap pelaksanaan melibatkan perilaku
tampak, karena ide baru itu betul-betul dipraktekan. Konseptualisasi
proses keputusan-inovasi dulu umumnya belum menyadari pentingnya,
bahkan adanya tahap pelaksanaan (Misalnya Rogers dan Shoemaker,
1971:98-133). Sering orang telah memutuskan untuk mengadopsi suatu
gagasan baru, tetapi tidak melaksanakannya. Masalah-masalah
bagaimana cara tepat menggunakan inovasi mungkin muncul pada
tahap pelaksanaan. Pelaksanaan biasanya merupakan kelanjutan
langsung tahap tahap keputusan jika tidak di hambat beberapa masalah
logistik, misalnya kadang-kadang inovasi yang dimaksud tidak tersedia.

Pada tahap pelaksanaan tetap ada ketakpastian dalam kadar tertentu


tentang konsekuensi yang diharapkan seseorang, walaupun orang itu
telah mengambil keputusan untuk mengadopsinya. Pada saat
pelaksanaan tiba, orang terutama ingin memperoleh jawaban atas
pertanyaan Di mana aku bisa memperoleh inovasi? , bagaimana aku
harus menggunakannya?dan masalah-masalah teknis apakah yang
akan aku hadapi, dan dapatkah aku mengatasinya? . Karena itu pada
tahap ini berlangsung usaha aktif untuk mencari informasi. Di sini
peranan utama agen pembaru adalah memberi bantuan teknis kepada
binaan begitu mereka mulai menjalankan inovasi itu.

Masalah-masalh pelaksanaan mungkin lebih serius bila pengguna


inovasi adalah organisasi. Dalam suatu organisasi, biasanya hanya
beberapa orang yang terlibat dalam pengambilan keputusanan
pelaksanaannya mungkin orang lain. Di samping itu, struktur organisasi
yang menjaga kestabilan dan kelangsungan suatu organisasi, bisa
menjadi kekuatan perintang pelaksanaan suatu inovasi. Pentingnya
tahap pelaksanaan belum sepenuhnya disadari sampai saat para
sarjana mulai mengkaji proses keputusan-inovasi dalam organisasi.
Kami masih kekurangan kajian-kajian yang memadai tentang tahap
pelaksanaan untuk keputusan-inovasi individual/opsional.
Akhir Pelaksanaan

Kapankah tahap pelaksanaan berakhir? Pelaksanaan itu biasa


berlangsung dalam jangka yang panjang, tergantung pada sifat
inovasinya. Tetap akhirnya toh pasti sampai pada suatu titik di mana
ide-ide baru itu menjadi bagian yang melembaga dan menjadi cara rutin
pekerjaan penggunanya. Inovasi itu akhirnya kehilangan kualitas
pembedanya begitu penanda pemisah suatu ide baru (yakni kebaruan)
itu menghilang. Titik ini biasanya dianggap sebagai akhir tahap
pelaksanaan dan sering dipandang sebagai perutinan dan
pelembagaan.

Mungkin juga ada terminasi dalam proses keputusan-inovasi, setidak-


tidaknya pada sebagian orang. Tetapi sebagian yang lain mungkin
melaksanakan proses keputusan-inovasi sampai tahap kelima, yakni
pengukuhan, sebagaimana kami jelaskan pada bagian berikutnya nanti.
Sekarang terlebih dulu kita akan membahas konsep reinvensi, yang
sering merupakan bagian penting tahap pelaksanaan.

REINVENSI

Sampai pada tahun-tahun terakhir ini kita berasumsi bahwa peng-


adopsian suatu inovasi itu semata-mata menyalin atau meniru persis
inovasi itu sebagaimana telah dipergunakan sebelumnya pada latar
yang berbeda. Kadang-kadang pengadopsian suatu inovasi memang
menunjukkan tindakan yang identik; misalnya, the California Fair Trade
Law of 1931 (Undang-undang perdagangan Kalifornia 1931), undang-
undang yang pertama untuk jenis ini, diadopsi oleh sepuluh negara
bagian lain komplit dengan tiga kesalahan cetak yang ada pada undang-
undang itu (Walker, 1971). Betapapun, pada banyak kasus suatu inovasi
berubah dalam proses penyebarannya.

Apakah Reinvensi Itu?

Seperti kami kemukakan pada Bab 1, para sarjana difusi sekarang


mengenal konsep reinvensi, yang didefinisikan sebagai seberapa jauh
suatu inovasi diubah oleh pengguna dalam proses pengadopsiannya.
Sampai sekitar pertengahan tahun 1970an, reinvensi dianggap tidak
ada, atau jarang terjadi. Bila responden dalam suatu sigi difusi
mengatakan tentang reinvensi yang ia lakukan terhadap suatu ide baru,
ini dianggap sebagai tindakan yang tidak lazim, dan diperlakukan
sebagai gangguan dalam penelitian difusi.Para pengguna dianggap
sebagai penerima pasif suatu inovasi, bukannya pengubah dan
pengadopsi aktif suatu ide baru. Begitu para pakar difusi berubah
anggapan bahwa reinvensi itu bisa terjadi, mereka mulai menemukan
bahwa hal itu sangat sering terjadi, setidak-tidaknya pada inovasi-
inovasi tertentu. Normalnya reinvensi tidak dapat diselidiki sebelum para
peneliti difusi menggali data pelaksanaan adopsi, karena kebanyakan
reinvensi terjadi pada tahap ini. Nyatanya penelitian akhir-akhir ini
banyak menemukan terjadinya reinvensi pada inovasi-inovasi tertentu.
Ini menunjukkan bahwa pada penelitian difusi yang lalu, karen
mengukur adopsi sebagai suatu pernyataan maksud untuk mengadopsi
(pad atahap keputusan), mungkin dalam beberapa kasus telah terkecoh
penyataan seseorang yang menyatakan mengadopsi padahal
sebetulnya ia tidak dilaksanakan, atau dianggap tidak mengadopsi
padahal cara mengadopsinya berbeda (tidak seperti lazimnya atau yang
diharapkan). Kenyataan bahwa reinvensi bisa terjadi merupakan alasan
kuat agar peneliti mengukur pengadopsian pada tahap pelaksanaan
sebagaimana adanya: tindakan yang betul-betul dilakukan, bukan yang
dimaksud akan dilakukan.

Kebanyakan sarjan di masa lalu membedakan invensi dengan adopsi


inovasi. Invensi adalah proses penemuan atau penciptaan suatu ide
baru, sedangkan adopsi adalah keputusan untuk menggunakan
sepenuhnya inovasi sebagai cara bertindak yang terbaik. Jadi, adopsi
proses penerimaan dan penggunaan gagasan yang ada. Namun
perbedaan antara invensi dan adopsi tidak begitu tegas bila kita
mengakui bahwa suatu inovasi belum tentu merupakan suatu
yang fix (pasti, tidak bisa dirubah) begitu ia menyebar ke dalam suatu
sistem sosial. Dengan alasan inilah agaknya reinvensi merupakan istilah
yang lebih tepat untuk menggambarkan pengubahan inovasi oleh
pengguna dalam proses pengadopsiannya.

Apakah Reinvensi Ada?

Perhatian pada reinvensi akhir-akhir ini muncul karena lontaran gagasan


oleh Charters dan Pellegrin (1972), yang merupakan sarjana pertama
yang mengenali adanya reinvensi (walaupun mereka tidak
menggunakan istilah ini). Kedua peniliti menjejaki pengadopsian dan
pelaksanaan inovasi kependidikan differentiated staffing di empat
sekolah selama satu periode tahunan. Mereka menyimpulkan
bahwa differentiated staffing itu bagi kebanyakan guru dan administrator
sekolah tak lebih sekedar istilah, tidak ada ukuran kongkrit tentang
perbedaan penampilan peran mereka Istilah itu dapat (dan sungguh)
berarti hal-hal yng betul-betul berbeda bagi staf tertentu, tetapi tidak
berarti apa-apa bagi yang lain Inovasi itu dienvansi di dalam, tidak
dilaksanakan dari luar. Kedua sarjana ini mencatat sejauh mana
perbedaan pembentukan inovasi itu pada keempat sekolah yang
mereka kaji[5].

Bila penyeledikan dirancang dengan konsep reinvensi di kepala,


biasanya ditemukan reinvensi dalam kadar tertentu. Misalnya, penelitian
terdahulu tentang inovasi di organisasi telah didasari asumsi bahwa
suatu gagasan teknologis masuk suatu sistem dari sumber-sumber luar
dan kemudian diadopsi (dengan relatif sedikit adaptasi) dan
dilaksanakan sebagai bagian kegiatan yang berjalan dari organisasi itu.
Asumsinya adalah bahwa pengadopsian inovasi yang sama oleh orang
atau organisasi A akan sama dengan pengadopsian inovasi yang sama
oleh oleh orang atau organisasi B. penyeledikan akhir-akhir ini dengan
serius mempertanyakan asumsi ini. Misalnya:

q Suatu sigi nasional tentang sekolah-sekolah yang mengadopsi


inovasi-inovasi yang dipromosikan oleh jaringan Difusi Nasional, suatu
sistem difusi terdesentralisasi, menemukan bahwa 56% pengguna
hanya melaksanakan aspek-aspek tertentu yang dipilih) dari suatu
inovasi; banyak reinvensi seperti dianggap relatif kecil, padahal 20%
saja dari pengadopsian sama dengan perubahan besar pada inovasi itu
(Emrick et al, 1977:116-119).

q Suatu penyelidikan tentang 111 inovasi dalam bidang instrumen


ilmiah oleh von Hippel (1976) menemukan bahwa pada sekitar 80%
kasus, proses inovasi dipengaruhi oleh pengguna (yakni, pelanggan).
Bahkan pengguna membangun suatu prototipa produk baru itu,
kemudian menyerahkannya ke pabrik. Maka pengguna memainkan
peran yang sangat penting dalam merancang dan merancang-ulang
inovasi-inovasi indusri ini.

q Dari 104 pengadopsian inovasi oleh lembaga-lembaga kesehatan


mental yang dikaji di Kalifornia, reinvensi terjadi agak lebih sering (55
kasus) dari pada peng-adopsian yang tidak mengubah (49) kasus.

q Suatu kajian tentang pengadopsian suatu alat perencanaan dengan


komputer (yang disebut GBF/DIME) oleh 53 badan pemerintah lokal,
yang dipromosikan kepada mereka oleh badan federal, diketemukan
adanya reinvensi pada sekitar separoh pengadopsian, walaupun
perubahannya sedikit (Eveland et al, 1977; Rogers et al, 1977a).

Berdasar penyelidikan-penyelidikan ini dan beberapa kajian reinvensi


lainnya akhir-akhir ini[6]kami mengemukakan rampatan 5-8: Reinvensi
terjadi pada tahap pelaksanaan untuk inovasi-inovasi tertentu dan pada
para pengguna tertentu.
Reinvensi Belum Tentu Jelek

Apakah reinvensi itu baik atau buruk tergantung pada pandangan


seseorang. Reinvensi umumnya tidak mendapat banyak perhatian
positif dari lembaga-lembaga litbang, yang mungkin menganggap
reinvensi sebagai perusakan terhadap produk penelitian asli mereka.
Memang, beberapa perancang membuat inovasi sedemikian rupa
sehingga sulit direinvansi; mereka merasa bahwa anti re-invensi
merupakan cara yang baik untuk menjaga kualitas inovasi mereka.
Lembaga-lembaga difusi mungkin juga tidak suka reinvensi karena
merasa bahwa mereka mengetahui bentuk inovasi terbaik yang harus
diadopsi pengguna. Juga, para agen pembaru sering mengalami
kesulitan mengukur penampilan (hasil kerja) mereka bila sesuatu inovasi
berubah. Ukuran yang biasa mereka pakai-kecepatan adopsi suatu
inovasi dapat menjadi kacau jika tingkat reinvensinya tinggi.

Di lain pihak para para pengguna umumnya beranggapan bahwa


reinvensi itu baik. Mereka cenderung menekankan bahkan terlalu
menekankan banyaknya reinvensi yang telah mereka lakukan (Rice and
Rogers, 1980). Pilihan-pilihan yang tersedia bagi calon pengguna tidak
hanya sekedar mengadopsi atau menolak, melainkan juga pilihan untuk
mengubah atau menolak secara selektif beberapa komponen inovasi.
Beberapa masalah pelaksanaan adopsi yang dihadapi seseorang atau
organisasi tidak dapat diperkirakan sifatnya, sehingga perubahan-
perubahan tadinya dirancang sebagai akibat inovasi seringkali tidak
terjadi.
Reinvansi dapat menguntungkan pengguna suatu inovasi. Keluwesan
proses pengadopsian suatu inovasi dapat mengurangi kesalahan, dan
mendorong pembiasaan inovasi itu sehingga cocok dengan kondisi-
kondisi setempat dan atau kondisi yang berubah. Sebagai akibat
reinvensi, suatu inovasi bisa lebih tepat untuk mengatasi masalah-
masalah baru yang muncul selama proses keputusan inovasi. Tidaklah
mengherankan, suatu sigi tentang inovasi di sekolah-sekolah negeri
menemukan bahwa ketika suatu inovasi kependididkan direinvensi oleh
suatu sekolah, pengadopsiannya cenderung lebih langgeng (Berman
and Pauly, 1975). Penghentian (diskontinuansi) jarang terjadi karena
inovasi-inovasi yang direinvensi lebih cocok dengan situasi sekolah.
Penyeledikan ini mengungkap bahwa terjadi suatu tingkat reinvensi
yang agak tinggi; inovasi-inovasi dan sekolah terikat dalam suatu bentuk
interaksi yang saling berpengaruh, karena ide baru itu dan sekolah
beradaptasi satu sama lain (Berman dan McLaughlin, 1974, 1975, 1978;
Berman et al, 1975,1977). Biasanya sekolah tidak banyak berubah, dan
inovasi sangat banyak berubah[7].

Orang-orang dan organisasi menjalani proses keputusan-inovasi


mengenai inovasi yang sama, mempunyai kebutuhan, masalah dan
situasi yang sangat berbeda. Perbedaan-perbedan ini membentuk
inovasi yang dilaksanakan secara nyata, walaupun masih disebut
dengan nama induk nya. Kenya-taannya, banyak unsur inovasi induk itu
yang diadopsi banyak orang, sementara dalam beberapa hal yang
penting berangkat dari model aslinya[8].
Mengapa Terjadi Reinvensi?

Terjadinya reinvensi sebagian karena alasan-alasan yang ada pada


inovasi sendiri, dan sebagian lagi karena alasan yang bersumber pada
orang-orang atau organisasi atau organisasi penggunanya.

1. Inovasi-inovasi yang relatif lebih rumit dan sulit dipahami lebih


cenderung direinvensi (Larsen dan Agarwala Rogers, 1977a,
1977b).
2. Reinvensi dapat terjadi karena pengguna kekurangan
pengetahuan rinci mengenai inovasi, misalnya ketika relatif
hanya ada sedikit kontak antara orang itu dengan agen
pembaru atau para pengguna yang lebih dulu (Rogers et al,
19771;Eveland et al, 1977; Larsen dan Argawal Rogers,
1977a:38).
3. Inovasi yang berupa konsep umum atau yang berupa alat
(misalnya komputer) yang banyak kemungkinan aplikasinya,
lebih cenderung direinvensi (Rogers, 1978). Unsur-unsur yang
membentuk suatu inovasi bisa berupa unsur-unsur yang
membentuk suatu inovasi biasa terikat dalam bundel / paket
ketat atau longar {koontz, 1976). Inovasi bundel-bundel ketat
terdiri dari kumpulan komponen yang sangat saling bergantung;
sulit mengadopsi satu unsurnya saling mengadopsi unsur-
unsur yang lain. Sedang inovasi bundel terdiri dari unsur-unsur
yang tidak saling berkaitan ;inovasi seperti ini oleh pengguna
dapat dengan luwes di cocokan dengan kondisi mereka.
Dengan demikian perancang atau pembuat inovasi dapat
mempengaruhi tingkat reinvensi dengan memudahkan atau
menyulitkan reinvesinya(von Hippel dan Finkelkestein, 1979).
4. Kemungkinan terjadi reinvensi lebih besar bila suatu inovasi
dipakai untuk memecahkan suatu masalah pengguna yang
berentang luas. Salah satu alasan pokok tindakan reinvensi
adalah karena seseorang atau organisasi mencocokkan inovasi
itu dengan masalah yang berbeda satu sama lain. Masalah
yang tadinya mendorong seseorang mencari suatu inovasi ikut
menentukan bagaimana inovasi itu akan dipergunakan. Dapat
diharap tingkat kecenderungan reinvensi suatu inovasi lebih
besar apabila masalah individu atau organisasi yang
dipecahkan dengan inovasi itu sangat beragam.
5. Kebanggaan lokal terhadap pemilikan suatu inovasi bisa juga
merupakan penyebab terjadinya reinvensi. Di sini inovasi
diubah sedikit, mungkin sekedar dipulas sehingga tampaknya
merupakan keluaran lokal. Dalam beberapa kasus reinvensi
semu macam in, bisa jadi inovasi hanya diberi nama baru,
tanpa ada perubahan penting. Penokalan inovasi seperti itu
mungkin sebagai penyesuainya terdorong oleh suatu keinginan
untuk mendapat status, atau keinginan agar inovasi itu lebih
dapat diterima oleh sistem setempat. Sering, ketika ditanya
mereka menjawab: ini buat-an orang setempat (lokal) , seperti
ditemukan Haverlock (1974) dalam suatu sigi terhadap 353
penilik sekolah di AS. Barangkali, seperti dikemukakan Prof.
Nathan Calan dari UniversiatsMichigan, inovasi mirip dengan
sikat gigi; orang tidak mau meminjam kepunyaan orang lain.
Mereka ingin punya kepunyaan sendiri. Atau setidak-tidaknya
mereka ingin memberi cap mereka pada inovasi dasar,
sehingga tampak berbeda dengan pengadopsian orang inovasi
itu oleh orang lain. Dari sini tampak dua kebutuhan psikologis
yang kuat untuk melakukan reinvensi. Suatu ilustrasi dapat
diambil dari difusi komputer pada pemerintah lokal di Amerika
serikat. Selama tahun 1970an ada perluasan besar-besaran
penggunaan komputer untuk pemrosesan data oleh
pemerintahkotadan kecamatan. Lembaga-lembaga pemerintah
segera membelanjakan lebih sejuta dolar pertahun untuk
peralatan komputer dan program-program-nya untuk
mengerjakan tugas pengolahan data seperti menghitung,
menyimpan data dsb. Suatu penyelidikan oleh Danziger (1977)
tentang bagaimana dua belaskotadan kecamatan mengadopsi
inovasi pengolah data dengan komputer itu menemukan tingkat
re-invensi yang sangat mengejutkan. Salah satu alasan
reinvensi itu adalah bahwa para pemrogram komputer yang
bekerja di pemerintah lokal memandang perubahan inovasi
yang terpaket seperti itu sebagai pekerjaan yang menantang
dan kreatif. Lebih senang mereinvensi suatu program komputer
hanya daripada sekedar menyalin dari pemerintah lokal lainnya
atau membelinya dari penyalur komersil, yang dipandang
sebagai tidak merangsang dan sangat membosankan. Lebih
jauh, danziger menemukan bahwa pegawai pemerintah
menganggap penting reinvensi itu untuk menunjukkan keunikan
mereka dalam pengadopsian inovasi. Kebanggaan mereka
untuk bereinvensi ini merupakan contoh oleh Freud disebut:
kecintaan diri sendiri untuk berbeda dengan orang lain . Relatif
kecilnya cap yang mereka tempel, sebagai bentuk reinvensi,
bagi mereka tampak sebagai kemajuan besar.
6. Akhirnya, reinvensi bisa terjadi karena lembaga pembaruan
mempengaruhi binaannya untuk mengubah atau menyesuaikan
suatu inovasi. Seperti kita bahas sebelumnya, lembaga
pembaruan umumnya menentang reinvensi. Namun lembaga-
lembaga pembaruan yang terdesentralisasi mungkin justru
mendorong binaannya agar reinvensi ide-ide baru.

Pengenalan adanya reinvensi mengarahkan pada pandangan yang


berbeda tentang perilaku adopsi; disamping sekedar penerimaan atau
penolakan, calon pengguna bisa merupakan partisipan aktif dalam
proses pengadopsian dan penyebarannya, berjuang memberi makna
pada informasi baru itu begitu inovasi itu diterapkan pada konteks
mereka sendiri. Konsepsi perilaku adopsi seperti ini, termasuk
didalamnya reinvensi, lebih sejalan dengan apa yang sebagian
responden telah pernah disampaikan kepada para peneliti pada
penelitian difusi beberapa tahun yang lalu, tetapi kurang mendapat
perhatian.

PEMBAJAKAN KAPAL UDARA : REINVENSI DI ANGKASA [9]


Pembajakan pesawat udara merupakan kasus yang luar biasa dan
menarik tentang reinvensi yang berkelanjutan. Pembajakan udara yang
pertama terjadi diPerupada 1930 ; inilah invensi asli. Tetapi pembajakan
pesawat udara betul-betul mulai menyebar pada awal 1968, dengan
banjir pembajakan ke Kuba (Gambar 5-2). Selama putaran pertama
pembajakan selama dua setengah tahun
berikutnya.mediamassamenguraikan setiap peristiwa serinci-rincinya,
sehingga memungkinkan para pembajak berikutnya memperoleh
pelajaran yang berharga dari nilai sebelumnya. Sekitar 80% dari 70
pembajakan (terdiri antara tahun 1968-1970) telah berhasil, walaupun
lembaga penerbangan federal (federal Aviation Agency= FAA)
melakukan tindak balasan untuk mencegah pembajakan dengan cara :
memeriksa semua penumpang sebelum mereka masuk pesawat,
membuat dan menyebar profil pembajak, memberi hukuman berat
pembajak, dsb. Antar pembajak tidak mungkin ada komunikasi
langsung, namun mereka berterima kasih kepada mediamassayang
memuat setiap peristiwa pembajakan, sehingga mereka bisa
mempelajari teknik pembajakan yang gagal dan yang berhasil. Dan
begitu suatu tindak balasan FAA berhasil merintangi suatu teknik
pembajakan, teknik baru direinvensi.

Mula pembajakan di AS kebanyakan menerbangkan pesawat ke


Kuba,yang pada saat itu menjadi surga bagi kaum sosialis, dan bagi
para pembajak di sebut pahlawanHavana. Namun era pertama
pembajakan bermotif politik ini berakhir, dengan kembalinya secara
suka rela enam pembajak dari pembajak untuk menerima hukuman
penjara di AS (pitcher et al 1978). Mereka mengeluh pembedaan rasial
dan perlakuan tak layak lainnya di Kuba.
Mulai pertengahan tahun 1970an putaran kedua pembajakan
berlangsung di mana para pembajak menuntut uang tebusan untuk
keselamatan penumpang . Usaha meminta uang tebusan yang pertama
sangat berhasil ,

Dan si pembajak D.B. Coope, yang diterjun payungkan dengan uang


tebusan $200.000 ke daerah terpencil menjadi terkenal. Peristiwa
pemerasan ini mendorong FAA dan industri penerbangan memulai
tindakan balasan baru, sehingga pembajakan semakin sulit berhasi, dan
selama putaran kedua tingkat ini tingkat keberhasilan pembajakan turun
sampai 66% (Gambar 5-2).PemerintahASmempelajari berbagai cara
pembekukan pembajak.

Peranan mediamassadalam membantu para pembajak belajar dari


perompak udara sebelumnya barangkali diperlihatkan dengan baik oleh
acara televisi, Doomsday light. Drama ini menggambarkan seorang
pembajak yang mengacam petugas penerbangan bahwa sebuah bom
peka tenanan akan meleedak begitu pesawat turun sampi tingkat
ketinggian tertentu pada waktu mendarat. Setelah acara ini disiarkan,
ancaman-ancaman lewat telepon mempola, begitu pula setelah acara ini
disiar-ulangkan. Setelah pertunjukan DoomsDay Flight di
televisiMontreal, seorang pemeras menggunakan ancaman bom untuk
menuntut seperempat milyar dolar dari sebuah pesawat terbang; dia
katakan telah menaruh sebuah bom yang akan meledak bila pesawat
mencapai ketinggian 5.000 kaki. tetapi si pembajak digagalkan ketika
perusahaan penerbangan membelokkan pesawat mereka dan mendarat
di bandara udaradenver(berketinggian 5.393 kaki). Peristiwa-peristiwa
lain ancaman bom peka ketinggian juga terjadi, biasanya segera setelah
acara Doomsday Flight.

Selama putaran ketiga pembajakan, pada akhir 1971 dan 1972, FAA
memperoleh keunggulan nyata dalam menghadapi setiap arus baru
teknik pembajakan yang direinvensi, dan tingkat keberhasilan
pembajakan merosot sampai hanya 29% (Hamblin dkk, 1973:125). Hal
ini dikarenakan mediamassadengan sukarela sepakat tidak menyiarkan
rincian teknik pembajakan. Para psikiatriwan yang mengkaji para
pembajak menemukan bahwa kemasyhuran (karena tindak kejahatan)
merupakan salah satu motivasi utama mereka, maka
mediamassamenyetop penyiaran nama-nama pembajak udara. Begitu
keinginan publikasi nasional tertutup, tingkat usaha pembajakan
menurun (Gambar 5-2).
Gambar 5-2. Difusi pembajakan peasawat terbang berlangsung dalam
serangkaian reinvensi terus menerus teknik pembajakan, dan masing-
masing dilawan dengan teknik pencegah oleh FAA dan perusahaan
penerbangan.
Dengan demikan reinvensi terus menerus metode pembajakan
membuat pengendalian wilayah udara FAA menjadi tugas yang
sulit.Parapsikiater menganggap para pembajak itu psikotik yang
berbahaya, tetapi secara logika juga cemerlang di dalam
mempersiapkan dan menjalankan rencana-rencana mereka.
Kemampuan kreatif mereka untuk mereinvensi variasi-variasi baru
berdasarkan inovasi dasar pembajakan membuat para pembajak itu
sangat sulit dikendalikan, sampai saat mediamassatidak memungkinkan
mereka belajar dari proses coba gagal difusi pembajakan.

TAHAP KONFIRMASI

Buku empirik yang diberikan beberapa peneliti* menunjukkan bahwa


suatu keputusan untuk mengadopsi atau menolak seringkali bukan
tahap akhir proses keputusan-inovasi. Misalnya, Mason (1962a)
menemukan bahwa para responden-nya, petani Oregon, masih mencari
informasi setelah mereka memutuskan untuk mengadopsi sebagaimana
sebelumnya. Pada tahap pengukuhan, orang mencari penguat
(reinforcement) bagi keputusan-inovasi yang telah dibuatnya, tetapi
mungkin dia mengubah keputusan itu bila mendapatkan pesan-pesan
yang bertentangan mengenai inovasi itu. Tahap pengukuhan
berlangsung dalam jangka waktu tak terbatas setelah keputusan untuk
mengadopsi atau menolak (Gambar5-1). Sepanjang tahap ini orang
berusaha menghindari keadaan disonansi atau menguranginya bila
terjadi.
Disonansi

Perubahan perilaku manusia sebagian timbul karena dorongan suatu


kondisi di dalam diri yang tidak seimbang atau disonan, suatu keadaan
jiwa yang tidak enak, sehingga orang berusaha untuk mengurangi atau
menghilangkannya. Ketika orang merasakan keadaan disonan,
biasanya dia terdorong untuk menguranginya dengan jalan mengubah
pengetahuan, sikap, atau tindakan-tindakannya. Dalam kasus perilaku
inovatif, pengurangan disonan terjadi ketika :

1. Orang merasakan suatu kebutuhan atau menghadapai


masalah, maka ia mencari informasi tentang beberapa
cara/alat, misalnya inovasi, untuk memenuhi kebutuhan itu.
Kesadaran orang akan kebutuhan terhadap inovasi dapat
memotivasi kegiatan pencarian informasi mengenai inovasi. Ini
terjadi terutama pada tahap pengenalan dalam prose
keputusan-inovasi.
2. Orang mengetahui suatu ide baru dan berkenan terhadapnya,
tetapi belum mengadopsinya. Kemudian ia terdorong untuk
mengadopsi inovasi itu untuk mengurangi atau menghilangkan
disonasi antara apa yang ia percaya dengan yang ia lakukan.
Perilaku ini terjadi pada tahap keputusan dan tahap
pelaksanaan dalam proses keputusan-inovasi.
3. Orang mendapatkan informasi yang mempengaruhinya untuk
mestinya tidak mengadopsi, setelah ia memutuskan untuk
mengadopsi inovasi dan melaksanakannya. Disonansi seperti
ini mungkin bisa dikurangi dengan menghentikan penggunaan
inovasi (discontinuation). Atau, bila disonan itu terjadi karena
tadinya ia menolak kemudian ia mendapat inovasi yang pro-
inovasi, ia dapat mengurangi dengan jalan mengadopsi inovasi.
Perilaku seperti ini (penghentian atau adopsi terlambat) terjadi
selama tahap pengukuhan dalam proses keputusan-inovasi
(Gambar 5-1).

Ketiga cara penguruangan disonansi ini berupa tingkah laku sehingga


sikap dan tindakan sejalan. Tetapi seringkali tidak mudah mengubah
keputusan (penolakan atau pengadopsian) yang telah dibuat; tindakan
yang dilakukan cenderung merupakan usaha pemantapan keputusan
semula. Karena itu orang sering berusaha menghindari disonan dengan
jalan hanya mencari informasi-informasi yang mereka harapkan
mendukung atau menguatkan keputusan yang telah dibuat. Inilah
contoh selective exsposure[10] . Selama tahap pengukuhan orang
menginginkan pesan-pesan yang pendukung yang dapat mencegah
disonansi, tetapi mungkin ada beberapa informasi yang tak terhindarkan
sampai kepada orang itu, sehingga ia mempertanyakan kembali
keputusan menerima/menolak yang telah ia buat.

Pada tahap pengukuhan, agen pembaru mempunyai peran yang sangat


penting. Di masa lalu, para agen pembaru biasanya hanya tertarik pada
usaha bagaimana agar orang mengambil keputusan mengadopsi
inovasi, padahal sebetulnya ia punya tambahan tanggung jawab pada
tahap pengukuhan, yakni memberi pesan-pesan penguat kepada para
pengguna inovasi. Barang kali salah satu alasan relatif tingginya
penghentian beberapa inovasi adalah karena agen pembaru
beranggapan bahwa bila telah mengadopsi orang akan terus
mengadopsi. Namun kenyataannya tanpa usaha yang terus menerus
tidak ada jaminan tak terjadi penghentian, sebab pesan pesan negatif
mengenai suatu inovasi ada dikebanyakan lingkungan pengguna.
Misalnya kecepatan adopsi inovasi KB telah mendatar dan menurun
pada beberapa bangsaAsia, karena adanya rumor mengenai akibat
samping alat-alat kontrasepsi ini. Pesan-pesan negatif seperti itu pada
tahap pengukuhan proses keputusan inovasi dapat menyebabkan
diskontinuansi (penghentian penggunaan inovasi).

Diskontinuansi

Diskontinuansi adalah keputusan untuk menolak (menghentikan


penggunaan) suatu inovasi setelah tadinya mengadopsinya. Agak
mengherankan bahwa telah diketemukan tingkat diskontinuansi yang
tinggi pada beberapa inovasi. Leuthold (1967:106) menyimpulkan dari
kajiannya terhadap suatu sampel petaniWisconsinbahwa tingkat
diskontinuansi sama pentingnya dengan kecepatan adopsi dalam
menentukan level pengadopsian suatu inovasi dalam kurun waktu
tertentu. Dengan kata lain, untuk suatu tahun tertentu ada orang-orang
yang menghentikan penggunaan inovasi sebanyak jumlah pengguna
awal. Akibatnya, agen pembaru harus menaruh perhatian pada
pencegahan diskontinuansi inovasi itu.
Adadua macam diskontinuansi (1) diskontinuansi pergantian, dan (2)
diskontinuansi kecewa. Diskontinuansi pergantian adalah keputusan
untuk menolak (berhenti menggunakan) suatu ide baru karena ganti
mengadopsi ide baru yang lebih baik. Di banyak bidang, inovasi seperti
gelombang laut, susul menyusul. Suatu ide baru menggantikan praktek-
praktek yang ada, yang tadinya juga inovasi. Gambar 5-3 menunjukkan
bagaiman pengadopsiannya gammanym menyebabkan diskontinuansi
dua jenis obat-obatan lainnya. Kalkukator menggantikan mesin hitung
tangan. Dan banyak lagi contoh diskontinuansi-pergantian dalam
kehidupan sehari-hari.

Diskontinuansi kecewa adalah keputusan untuk berhenti menggunakan


inovasi akibat tidak puas dengan hasil-hasilnya. Ketidak-puasan ini bisa
muncul karena inovasi akibat tidak cocok dan tidak memberi keuntungan
relatif yang diharapkan lebih baik daripada praktek sebelumnya. Atau
karena lembaga pemerintah telah memperingatkan bahwa inovasi itu
tidak lagi aman dan/atau inovasi itu punya efek samping yang
membahayakan kesehatan. Atau diskontinuansi kecewa itu terjadi
karena penggunaan yang salah (tidak tepat) sehingga tidak dapat
berfungsi sebagaimana mestinya dan menguntungkan. Tipe
diskontinuansi kecewa yang terakhir ini banyak terjadi pada pengguna
akhir daripada pengguna awal. Karena pengguna-awal umumnya lebih
berpendidikan dan penguasaan metode ilmiahnya lebih tinggi, mereka
mengetahui bagaimana merampatkan hasil-hasi percobaan pada
penggunaan inovasi dalam skala luas.Para pengguna-akhir sumber-
sumbernya lebih kecil, sehingga mereka tidak dapat/mampu
mengadopsi inovasi atau berhenti menggunakannya karena posisi
keuangan mereka tidak memungkinkan (terbatas).
Gambar 5-3. Meningkatnya adopsi gammanym (obat baru) oleh para
dokter menggantikan tempat dua obat-obatan terdahulu yang macet.

Pemikiran ini sejalan dengan temuan Johnson dan van den ban (1959),
Leuthold (1965, 1967), Bishop dan Coughenour (1964), Silverman dan
Bailey ( 1961), dan Deutchman dan Havens (1965), yang mendukung
rampatan 5-9: Pengguna akhir lebih cenderung menghentikan
penggunaan inovasi dibanding dengan pengguna-awal.

Parapeneliti terdahulu menduga bahwa para pengguna-akhir itu relatih


kurang inovatif karena mereka tidak mengdopsi atau lebih lamban dalam
mengadopsi inovasi. Tetapi bukti-bukti mengenai diskontinuasi
menunjukkan bahwa banyak diantara orang-orang kolot itu mengadopsi
tapi kemudian berhenti, biasanya karena kecewa. Misalnya, Bishop
Coughenour (1964) melaporkan bahwa diskontinuasi para petani Ohio
berurut mulai dari 14 % pada kelompok inovator dan pemuka, 27% pada
mayoritas awal, 34% pada mayoritas akhir, dan 40% si kolot. Leuthod
(1965) melaporkan jumlah yang sebanding, yakni 18%, 26%, dan 37%
pada petani Kanada. Beberapa peneliti telah mengidentifikasi sifat-sifat
orang yang tinggi dan rendah tingkat diskontinuansinya. Umumnya,
mereka yang berhenti itu pendidikannya kurang, status sosial
Ekonominya rendah, kurang berhubungan dengan agen pembaru, dsb.
Yang berkebalikan dengan sifat-sifat inovator. Orang yang tidak
melanjutkan inovasi karakteristiknya sama dengan si kolot(laggard),
yang tingkat kontinuansinya sangat tinggi.

Diskontinuansi suatu inovasi adalah salah satu penanda bahwa ide itu
tidak sepenuhnya melembaga dan merutin pada praktek yang sedang
berlangsung dan cara hidup pengguna pada tahap pelaksanaan.
Perutinan seperti itu jarang sekali (yang sering diskontinuansi) bila
inovasi kurang sesuai dengan kepercayaaan dan pengalaman
seseorang. Barangkali (1) ada perbedaan tingkat diskontinuansi inovasi
satu dengan yang lain, sebagaimana ada perbedaan kecepatan adopsi,
dan (2) sifat-sifat inovasi dalam persepsi pengguna (misalnya
keuntungan relatif dan kesusaian) berkorelasi negatif dengan tingkat
diskontinuansinya. Misalnya dapat diduga suatu inovasi yang
keuntungannya relatifnya rendah kecepatan adopsinya rendah dan
tingkat diskontinuansinya tinggi. Sedangkan inovasi-inovasi yang tinggi
kecepatan adopsinya, rendah tingkat diskontinuansinya. Penemuan
Caughenour (1959), dan Leuthold (1965) mendukung rampatan 5-10:
inovasi yang tinggi kecepatan adopsinya, rendah tingkat
diskontinuansinya.

Diskontikontinuansi terpaksa
Suatu tipe diskontinuansi unik dan secara teoritik menarik telah terjadi
beberapa tahun yang lalu adalah larangan penggunaan inovasi-inovasi
tertentu oleh lembaga-lembaga perundang-undangan federal, terutama
Dinas Pengawasan Makanan dan Obat-obatan (the food and Drug
Administration). Diskontinuansi yang dipaksakan seperti itu sering sekali
merupakan hasil-hasil penelitian yang menunjukan bawah suatu inovasi
kimiawi mungkin bisa menyebabkan kanker atau ancaman lain terhadap
kesehatan konsumen .

Pada 1954, kajian disertai Ph.D saya, saya mengumpulkan data dari
148 orang dari masyarakat tani di lowa mengenai pengadopsian mereka
terhadap inovasi pertanian seperti obat semprot pembasmi rumput 2.4 D
makanan-tambahan babi, anti biotik, DES untuk makanan ternak , dan
pupuk kimia. Inovasi-inovasi kimiawi ini merupakan arus teknogi
pertanian paska perang dunia II yang disebar oleh para ilmuan pertanian
di universitas Iowa dan dinas penyuluan Iowa kepada para petani.
Dampak inovasi-inovasi merupakan suatu revolusi pertanian? dalam
produksi pertanian selama tahun 1950an dan 1960an, sehingga salah
satu masalah penting pertanian AS adalah berlebihnya hasil panenan
yang menumpuk di gudang-gudang pemerintah.

Pada 1954, seperti kebanyakan penyelidik difusi, saya menerima


anjuran para ilmuwan pertanian bahwa inovasi-inovasi kimiawi ini baik
dan benar. Namun demikian saya ingat, salah seorang petani telah
menolak semua bahan kimia pertanian itu karena, katanya obat-obatan
itu membunuh cacing tanah dan burung pipit ladangnya. Pada saat itu,
saya pribadi menganggap sikap petani itu tidak rasional; tentu saja
perilaku ber-taninya saya masukkan dalam golongan tradisional dalam
ukuran keinovatifan saya (yang mencangkup pengadopsian selusin atau
lebih inovasi pertanian yang dianjurkan para ahli).

Beberapa tahun berikutnya, ketika saya membaca buku Rachel Carson


(1962), Silent Spring, saya menganggap alasan anti obat-obatan
kimianya sebagi exstrim dan absurd. Saya setuju dengan teman saya
ahli agronomi yang menyebut Carson sebagai wanita yang sangat
berbahaya dan salah, yang merupakan ancaman bagi kemajuan
pertanian Amerika .

Tetapi munculnya gerakan lingkungan hidup di AS pada tahun 1960an


dan hasil-hasil penelitian tertentu tentang akibat jangka panjang obat-
obatan pertanian mulai membuat saya heran. Pada tahun 1972,
Lembaga Pelestarian Lingkungan AS melarang menggunakan DDT
sebagai suatu insektisida karena mengancam kesehatan manusia
(Dulap,1981). Tahun berikutnya, DES dilarang untuk makanan ternak,
begitu juga untuk antibiotik tambahan makanan babi, dan obat
pembasmi rumput 2.4 D. Konsentrasi obat-obatan itu telah diketemukan
dalam meningkatnya biomagnifikasi pada tanaman, sampai mencapai
tingkat yang membayakan kesehatan manusia.

Meningkatnya proposi konsumen AS yang suka membeli makanan yang


ditanam secara alami (tanpa pupuk kimia) dengan harga tinggi,
mempolakan munculnya toko-toko makanan sehat. Seiring dengan itu,
jumlah petani dan peladang alami meningkat, sebagai akibat tumbuhnya
ketidakpercayaan terhadap akibat pestisida dan pupuk kimia. Pada
tahun 1980, diperkirakan 30.000 petani AS (sekitar 1% dari seluruh
petani) memandang dirinya petani alami . Mereka memetik panen lebih
sedikit daripada petani kimia , tetapi biaya produksi yang mereka
keluarkan juga lebih rendah (sebagian karena tidak menggunakan
pupuk dan pestisida yang harganya naik, mengikuti kenaikan harga
minyak), dan mereka umumnya dapat mempertahankan harga tinggi
panenan merkea di toko-toko makanan sehat alamiah.

Pada tahun 1980, Departemen Pertanian AS (US Department of


Agriculture=USDA) mengubah kebijakannya yang menentang pertanian
organik (tidak menggunakan bahan-bahan kimia), dan mulai
menganjurkan petani dan peladang untuk mempertimbangkan metode-
metode alternatif produksi yang menggunakan kimia lebih sedikit
(*Kebijakan murtad ini dimulai oleh Rob Berglund, sekretaris USDA,
sebagai akibat hubungannya dengan teman petaninya di Minnesto yang
mengerjakan 1.500 acre ladangnya secara organik. Berglund
memerintahkan suatu pengkajian terhadap para petani organik di AS,
yang bertetangga dengan para petani kimia , yang berada pada jenis
tanah yang sama dan memproduksi tanaman yang sama. Hasil kajian ini
membantu menyakinkan USDA untuk mengubah kebijakan anti organik
sebelumnya). USDA juga mulai mengadakan program penelitian untuk
mengembangkan jenis-jenis bibit yang tepat untuk pertanian dan
peladang organik (USDA, 1980). Sigi terhadap para petani organik
menunjukkan bahwa kebanyakan mereka bukanlah hippies , juga bukan
tradisionalis yang rendah pendidikannya; ternyata, sebagian besar
petani organik adalah para operator komersial yang umumnya bercirikan
petani maju (berpendidikan diatas rerata, ladangnya luas, dsb). Namun
demikian, kebanyakan petani organik itu saat ini dipandang para
tetangganya sebagai penyimpang dari praktek-praktek pertanian
konvensional (Lockert et al, 1981; Lockert dan Wennick, 1980).
Selama beberapa tahun menjelang perubahan kebijaksanaan tahun
1980, USDA menyadari bahwa pestisida kimia telah dipergunakan
berlebihan oleh kebanyakan petani,dan karena itu telah melancarkan
program yang dinamakan penggunaan pestisida terpadu (integreted
pesticide management = IPM). Faktor pokok yang mendorong
dimulainya program IPM adalah kenyataan bahwa lebih dari 400 jenis
serangga (insect) telah kebal terhadap pestisida yang ada, seiring
terhadap masalah konsumen sebagai akibat biomagnifikasi melalui
makanan. IPM merupakan panduan secara cermat ladang para petani,
biasanya dilakukan oleh para pemandu terlatih yang menasehati petani
kapan masalah pestisida meningkat keambang batas ekonomi, dan
kapan peyemprotan dengan pestisida dibenarkan. Para petani yang
mengadopsi IPM biasanya menyatakan terjadi penghematan penting
karena menurunnya jumlah penggunaan pestisida. Beberapa petani
besar bisa menghemat ribuan dolar.

Kembali kepada kisah penyeledikan difusi saya di Iowa tahun 194,


petani organik yang saya wawancarai tentunya telah habis-habisan
menertawakan para ahli pertanian. Prosedur penilaian saya yang
menggolongkanya sebagai seorang kolot pada tahun 1954, menurut
ukuran sekarang sebetulnya adalah seorang inovator dalam pertanian
organik.

Adanya beberapa diskontinuansi paksaan berkenaan dengan berbagai


inovasi kimia pada tahun-tahun terakhir ini, yang disebabkan karena
peraturan lembaga-lembaga Federal seperti Dinas Pengawasan
Makanan dan Obat-obatan itu, menunjukkan adanya beberapa isu
penting bagi penilitian difusi :

1. Apakah efek suatu diskontinuansi yang dipaksakan itu terhadap


kredibilitas lembaga-lembaga difusi, misalnya Dinas
Penyuluhan Pertanian, yang tadinya mempromosikan inovasi
yang sekarang dilarang.
2. Apakah suatu diskontinuansi dipaksakan itu menyebabkan
mereka para diskontinuan itu hilang kepercayaannya hilang
terhadap ilmu pengetahuan dan penelitian?
3. Apakah pemaksaan diskontinuansi itu berperan di dalam
mendorong pengadopsian inovasi-inovasi alternatif ?

Walaupun kami telah menggunakan inovasi-inovasi kimia pertanian


dalam bagian ini untuk menguraikan diskontinuansi yang dipaksakan,
dan kami telah membahas dampak diskontinuansi itu pada perilaku
petani, tak diragukan bahwa ada efek tertentu pada konsumen
makanan. Misalnya, apakah munculnya konsumsi makanan alami
sebagi dampak alami sebagian karena masalah kesehatan konsumen
yang telah diketemukan berkaitan dengan DDT, 2.4D, DES, dan obat-
obatan pertanian lainnya?

Kerentanan teknologis inovasi-inovasi bukan pertanian tertentu juga


telah ditunjukkan oleh peristiwa-peristiwa beberapa tahun belakangan ini
pemberian sacharin (bubuk pemanis) pada minuman ringan, ditariknya
kembali dari peredaran sejumlah kendaraan, ban, dan produk-produk
konsumsi lainnya. Apakah sesungguhnya akibat diskontinuansi
dipaksakan ini pada jiwa masyarakat?
APAKAH TAHAPAN DALAM PROSES ITU ADA?

Apakah bukti-bukti empirik bahwa tahap-tahap yang kami sajikan di


dalam model keputusan itu betul-betul ada?

Sebelum kita berusaha menjawab pertanyaan ini, perlu kami kemukakan


bahwa kami sulit memberi jawaban yang betul-betul pasti. Tidak mudah
peneliti menduga proses kejiwaan responden. Namun demikian, ada
bukti tentatif dari beberapa kajian yang mendukung konsep tahap-tahap
dalam proses keputusan-inovasi itu.

Bukti Adanya Tahapan

Bukti empirik kesahihan tahap-tahap dalam prose keputusan-


inovasi berasal dari suatu kajian lowa (Beal dan Rogers, 1960) yang
menunjukkan bahwa sebagian besar responden petani mengakui bahwa
mereka melewati serangkaian tahapan mulai dari kesadaran-
pengetahuan sampai pada keputusan untuk mengadopsi. Khususya,
mereka menyadari bahwa mereka telah menerima informasi dari
sumber-sumber yang berbeda dan aluran yang berbeda pada tahap-
tahap yang berbeda. Tentu saja, bisa jadi orang yang menggunakan
sumber atau saluran yang sama, mungkin berbeda cara, pada tahapan
dari proses keputusan-inovasi. Namun bila responden mereka
melaporkan saluran komunikasi pada setiap tahap, ini menunjukkan
adanya perbedaan tahapan. Bela danRogers (1960) menemukan bahwa
semua responden mereka melaporkan saluran komunikasi yang
berbeda untuk dua inovasi pertanian pad atahap pengetahuan dan
persuasi.Ada banyak penelitian lainnya, yang dibahas pada akhir bab
ini, yang juga menunjukkan perbedaan saluran pada tahap-tahap yang
berbeda dalam proses keputusan-inovasi.

Beal danRogers(1960) juga menemukan bahwa dari 148 responden


mereka tidak ada yang melaporkan mengadopsi segera setelah
mengetahui dua inovasi pertanian. Melainkan, 73% pengguna obat
semprot hama tanaman baru dan 63% pengguna makanan ternak baru
melaporkan tahun yang berbeda untuk pengetahuan dan keputusan
pengadopsian. Sebagian orang agaknya memerlukan suatu masa yang
dapat diukur dalam tahun untuk menyelesaikan suatu proses keputusan
inovasi. Ini memberi beberapa petunjuk bahwa perilaku adopsi suatu
proses yang terdiri dari beberap tahap dan bahwa tahap-tahap ini terjadi
dalam suatu periode waktu.

Masih ada bukti yang diberikan Beal danRogers(1960) mengenai tahap-


tahap yang melompat. Bila sebagian besar responden belum melewati
satu tahap dalam proses keputusan untuk inovasi-inovasi tertentu,
semestinya muncul beberapa pertanyaan, misalnya apakah tahap itu
perlu dimasukkan dalam model? Beal danRogersmenemukan bahwa
kebanyakan petani memberikan perilaku mereka pada setiap tiga tahap;
pengetahuan, persuasi dan keputusan. Tidak seorangpun yang
melaporkan peloncatan dari pengetahuan dan keputusan, tetapi tidak
sedikit petani agaknya tidk melalui tahap persuasi, dan beberapa lainnya
tidak menyatakan melakukan percobaan sebelum keputusan.

Bukti yang sama dengan yang diketemukan Beal dan Rogers mengenai
adanya tahapan dalam proses keputusan-inovasi diberikan mason
(1962b, 1963, 1964, 1966a, 1966b), beat et al (1957), Wilkenning
(1956), dan Coop et al (1958), pareek (1968) di kalangan penduduk
desa di Asia. Salah satu kelemahannya adalah semua kajian ini
berkenaan responden petani. Bagaimana kita tahu bahwa model proses
keputusan inovasi kami itu juga menggambarkan perilaku orang lain
(bukan petani) atau jenis-jenis inovasi lain? Untungnya, kita sekarang
punya kajian-kajian tambahan tentang responden bukan petani.
Misalnya, kajian tentang para dokter (Colemon et al, 1966), tentang
personel sekolah (La Mar, 1966; Kohl, 1966;hasil-hasilnya umumnya
mendukung kesahihan tahapan dalam proses jagunghibrid inovasi.
Misalnya Coleman et al menemukan kebanyakan dokter menyatakan
saluran komunikasi yang berbeda tentang obat-obatan baru pada tahap
pengetahuan dari yang dinyatakan pada tahap persuasi. La Mar
(1966:42) mengkaji proses keputusan inovasi di antara 262 guru pada
20 sekolah di Kalifornia. Ditemukan bahwa para guru melewati tahapan
dalam proses itu, seperti diketemukan pada kajian terhadap para petani.
Kohl (1966:68)menemukan bahwa semua ke 58penilik sekolah
diOregonyang menjadi sampelnya menyatakan bahwa mereka melewati
semua tahapan untuk inovasi-inovasi seperti team teaching, lab.
Bahasa, dan jadwal bebas.

Kesimpulannya, kami mengemukakan rampatan 5-11: Tahapan dalam


proses keputusan itu ada. Bukti yang palin jelas adalah untuk tahap
pengetahuan dan keputusan, dan yang agak kurang adalah mengenai
tahap persuasi. Begitu pentingnya konsep tahapan dalam penelitian
difusi, tetapi herannya tidak banyak penelitian yang diarahkan pada
pemahaman proses keputusan inovasi. Barangkali ini karena sifat
proses pada topik penelitian ini tidak cocok dengan metode penelitian
berupa variabel yang dipakai dalam kebanyakan penelitian difusi.

Penelitian Varian dan Penelitian Proses

Penelitian yang dirancang untuk menjawab pertanyaan apakah tahap-an


itu ada dalam proses keputusan inovasi jelas sangat berbeda dengan
kajian variabel bebas yang dihubungkan denagn variabel keinovatifan.
Yang pertama adalah penelitian proses, yang didefinisikan sebagai
suatu jenis pengumpulan data dan analisis data yang berusaha
menetukan urutan waktu suatu rangkaian peristiwa. Sebaliknya,
penelitian varian adalah tipe pengumpulan data dan analisi data yang
terdiri dari penentuan co-varian di antara seperangkat variabel, tetapi
bukan urutan waktunya.

Kebanyakan penelitian difusi (dan sebetulnya kebnayakan peneliti ilmu


sosial) adalah penyelidikan bertipe varian. Ia menggunakan
pengumpulan data yang sangat terstruktur dan analisis daat kuantitatif
silang-penampang (cross-sectional), yang diperoleh dari one-short
survey. Karena hanya satu titik waktu yang tersaji dalam data, varian
dalam variabel tergantung dihubungkan dengan varian dalam variabel
bebas. Penelitian varian sangat tepat untuk menyelidiki masalah-
masalah penelitian tertentu, misalnya untuk menentukan variabel-
variabel apa yang berkorelasi dengan keinovatifan. Tetapi ini tidak dapat
mengungkap waktu untuk memahami apa yang terjadi pertama kali,
berikutnya, dan berikutnya, dan bagaimana masing-masing peristiwa itu
mempengaruhi peristiwa selanjutnya.

Dengan demikian penelitian varian tidak cocok untuk mengungkap sifat


proses keputusan inovasi. Disini diperlukan pandangan yang dinamik
untuk menjelaskan sebab dan akibat dari serangkaian peristiwa dalam
suatu kurun waktu. Metode pengumpulan data penelitian proses
biasanya kurang terstruktur dan data biasanya bersifat kualitatif,
daripada yang ada penelitian varian. Jarang metode stastitik digunakan
untuk menganalisis data dalam penelitian proses.

Kebanyakan penelitian yang dilaporkan dalam bab ini mestinya


berdasarkan proses. Tetapi sebagian besar sarjana difusi telah gagal
mengakui pentingnya pembedaan antara penelitian proses dan
penelitian proses dan penelitian varian pada masa lalu, dan Mohr (1978)
telah menampilkan suatu layanan intelektual penting untuk bidang
penelitian difusi dengan menunjukkan bahwa pendekatan varian dan
pendekatan proses telah sering dicampur adukkan pada masa lalu,
misalnya dengan berusaha menggunakan penelitian varian untuk
memahami suatu proses.

Penelitian proses telah digunakan dalam kajian-kajian proses keputusan


inovasi dalam organisasi akhir-akhir ini. Di sini, di samping mengkaji ciri-
ciri organisasi yang kurang dan yang lebih inovatif (dengan
menggunakan pendekatan varian karena menyelediki keinovatifan),
para sarjana difusi telah melakukan kajian pelacakan sifat suatu proses
dengan menggunakan metode yang kurang terstruktur untuk menggali
data urutan peristiwa, keputusan, dan tindakan-tindakan. Penelitian
proses ini memberi pemahaman mengenai sifat khusus proses
keputusan inovasi dalam organisasi. Ingat bahwa unit analisis tidak lagi
organisasi itu (sebagaimana pada kajian keinovatifan organisasi. Bila
orang mengkaji pengadopsi sepuluh inovasi dalam seratus organisasi,
akan ada seribu keputusan inovasi yang diselidiki (Down dan Mohr,
1976).

Yang penting disini adalah bahwa penelitian mengenai suatu proses


seperti proses keputusan inovasi pastilah sangat berbeda dengan
penelitian varian yang telah mendominasi penelitian difusi di masa lalu.
Dan langkah awal ke arah memperoleh pemahaman yang lebih baik
tentang proses keputusan inovasi baik pada level perseorangan maupun
pada level organisasi, adalah mengakui bahwa rancangan penelitian
yan tepat adalah penelitian proses.
Kita sekarang beralih pada peranan saluran komunikasi dalam proses
keputusan inovasi.

Saluran Komunikasi dalam Proses Keputusan Inovasi gammanym

Pemahaman mengenai peranan saluran komunikasi yang berbeda pada


berbagai tahap proses keputusan inovasi diberikan oleh kajian klasik
difusi gammanym, suatu obat ajaib antibiotik baru, dikalangan dokter
pada suatu masyarakat medik (Coleman et al, 1966). Inovasi ini luar
biasa hasilnya, dan diadopsi dengan sangat cepat. Dalam dua bulan
sejak pemasarannya, 15% dokter telah mencobanya; angka ini
mencapai 50% untuk empat bulan berikutnya, dan pada akhir tujuh
bulan, gammanym mendominasi resep antibiotik paar dokter (seperti
terpampang pada gambar 5-3). Karena gammanym telah menunjukkan
keuntungan relatif yang mengalahkan obat-obat anti biotik sebelumnya,
kita bisa menduga bahwa sebagian besar jaringan persahabatan dokter
mnyampaikan pesan-pesan yang sangat positif mengenai inovasi itu
kepada koleganya. Sesungguhnya, salah satu sumbangan terpenting
kajian obat-obatan ini adalah mengukuhkan pentingnya jaringan antar
pribadi sebagai saluran komunikasi dalam proses keputusan inovasi.

Informasi menciptakan kesadaaran-kesadaran suatu motivasi jarang


sampai kepada seseorang dari sumber atau saluran yang harus mereka
cari dengan aktif (seperti kami ungkapkan di awal bab ini). Informasi
mengenai suatu gagasan baru hanya dapat dicari dengan aktif oleh
seseorang (1) setelah mereka mengetahui adanya ide baru itu, dan (2)
ketika mengetahui sumber atau saluran mana yang dapat memberi
informasi mengenai inovasi itu[11]. Lebih jauh, relatif pentingnya sumber
atau saluran komunikasi yang berbeda mengenai inovasi sebagian
tergantung pada mana yang tersedia bagi audien calon pengguna.
Misalnya bila suatu ide pada mulanya hanya dipromosikan oleh
perusahaan komersial yang menjualnya, adalah tidak mungkinbahwa
sumber atau salauran komunikasilain sangat penting, setidak-tidaknya
pada tahap pengetahuan. Coleman et al menemukan bahwa80% dokter
dalam kajian mereka melaporkan pertama kali tahu gammanym dari
perusahaan obat (57% dari penjaja farmasi, 18% dari selebaran, 4%
dari majalah obat-obatan, dan 1% dari iklan obat di Jurnal Kesehatan).

Tetapi proses berikutnya, yakni pada tahap persuasi dan keputusan,


jaringan teman-teman dekat merupakan sumber atau saluran
komunikasi utama mengenai obat baru itu dan peranan perusahaan
komersial tidak penting. Informasi bahwa obat baru itu ada barangkali
dapat dikomunikasikan dengan menyakinkan oleh sumber-sumber atau
saluran komersial, tetapi para dokter mengandalkan pengalaman teman-
teman mereka, yang disampaikan melalui jejaringan antar pribadi, untuk
informasi evaluatif mengenai inovasi mereka tidak memandang
perusahaan farmasi yang menjual gammanym sebagai sumber atau
saluran yang dapat dipercaya untuk informasi evaluatif semacam
itu.Parapengguna inovasi lain juga sama bergantung pada teman-teman
dekat daripada ke pedagang atau agen pembaru pada tahap persuasi
dan keputusan.
Penilaian ilmiah gammanym kepada para dokter, tetapi informasi itu
tidak menyakinkan mereka untuk mengadopsi inovasi itu. Coleman et al
(1966) menyimpulkan bahwa percobaan dan pengujian yang luas oleh
pabrik, sekolah kesehatan dan rumah-rumah sakit bahwa suatu obat
harus lulus ujian sebelum dipasarkan kurang cukup menyakinkan rerata
dokter . Mereka menemukan bahwa pengujian pada level yang lebih
level para ahli tidak dapat menggantikan swa-uji oleh para dokter; tetapi
pengujian melalui pengalaman sehari-hari para kolega yang sederajat
dapat menggantikan, setidak-tiadaknya sebagian . Lagi, kita melihat
bahwa seseorang bergantung pada teman-teman dekat untuk informasi
penilaian-inovasi, yang mengurangi ketidak pastian mereka mengenai
akibat-akibat yang tidak diharapkan.

Salah satu tipe bukti bahwa pengalaman teman dekat yang


dikomunikasikan secara antar pribadi dapat menggantikan, sebagian,
bagi pengalaman seseorang mengenai inovasi diberikan oleh analisis-
analisis mengenai banyak penggunna-awal dan pengguna-akhir
menggunakan ide baru itu pada saat pertama mereka coba. Suatu
pertemuan umum dari beberapa kajian difusi adalah bahwa inovator
(pengguna awal) lebih alternatif dalam mengadopsi suatu inovasi
daripada pengguna akhir. Misalnya para dokter yang pertama kali
mengadopsi gammanym melakukan hal itu hanya sebagian; sembilan
dokter mengadopsi obat baru itu pada bualn pertama dan kedua
penggunaannya hanya menulis resep untuk rata-rata 15 %. Dua puluh
dua dokteryang mengadopsi inovasi itu pada bulan ketiga dan keempat
menulis 2,0%, sementara dua puluh tiga dokter yang mengadopsi pada
bulan kelima sampai kedelapan menulis rata-rata 2,7% (Colemon et al,
1966:32)[12] .

Mengapa orang-orang pertama dalam suatu sistem untuk mengadopsi


suatu inovasi biasyanya tentatif dalam tingkat percobaan suatu ide
baru? Jawaban terletak pada peranan ketidakpastian dalam proses
difusi. Walaupun pengguna gammanym dan jagung hibrida yang paling
inovatif mengenai sepenuhnya penelitian-penilitian ilmiah telah di
lakukan terhadap suatu ide baru, informasi ini tidak mengurangi
ketakpastian tentang bagaimana inovasi itu akan bekerja bagi para
dokter atau para ahli.Parainovator harus melakukan exspirimen mereka
sendiri dengan ide baru itu untuk menyakinkan diri sendiri bahwa inovasi
itu betul-betul bermanfaat. Mereka tidak bergantungpada pengalaman
teman-teman mengenai inovasi itu, karena pada saat belum ada orang
lain yang mengadopsi inovasi. Tetapi pengguna yang lebih akhir dapat
memetik keuntungan dari himpunan pengalaman pribadi teman-teman
mereka mengenai inovasi; jadi, banyak ketidakpastian mengenai inovasi
terjauhkan pada saat pengguna akhir ini pertama kali menggunakan
suatu ide baru, membuat suatu ide baru, membuat suatu percobaan
pribadi suatu ide baru kurang penting bagi mereka.

SALURAN KOMUNIKASI PADA TAHAP-TAHAP PROSES


KEPUTUSAN INOVASI
Di antara pentingnya kelima tahap dalam proses keputusan-inovasi itu
adalah membantu kita memahami peran saluran komunikasi yang
berbeda-beda, seperti baru dicontohkan dalam kasus gammanym.

Penggolongan saluran Komunikasi

Sering orang sulit membedakan antara sumber pesan dengan saluran


yang membawa pesan itu. Sumber itu adalah orang atau lembaga
tempat berasalnya pesan. Saluran adalah jalan lewat suatu pesan
sehingga bisa berpindah dari sumber kepada penerima Pada bagian ini,
kami terutama akan berbicara tentang saluran , tetapi mungkin istilah
yang paling tepat adalah sumber/saluran .

Para peneliti menggolongkan saluran komunikasi (1) dari segi sifatnya:


interpersonal dan mediamassa, (2) dari asalnya: lokalit dan kosmopolit.
Kajian dan penelitian yang lalau menunjukkan bahwa saluran
komunikasi ini memainkan peranan yang berbeda dalam menciptakan
pengetahuan atau dalam membujuk oang agar merubah sikap mereka
terhadap inovasi. Saluran juga berbeda bagi pengguna awal ide baru
dan pengguna akhir.
Saluran media massa adalah cara penyaluran pesan yang
menggunakan perantaramassa seperti radio, televisi,surat kabar, dsb
yang memungkinkan seseorang atau sedikit sumber menjangkau
banyak audien. Mediamassa dapat :

1. Menjangkau audien lebih luas dan lebih cepat.


2. 2. Menciptakan pengetahuan dan menyebarkan
informasi.
3. 3. Mengubah sikap-sikap yang kurang teguh.

Pembetukan dan perubahan sikap yang teguh paling baik diakukan oleh
saluran antar pribadi. Saluran antar pribadi melibatkan pertemuan tatap
muka antara dua orang atau lebih. Saluran ini lebih efektif untuk
menghadapi penolakan dan keengganan pada sebagian komunikasi.
Apakah yang terbaik dapat dilakukan oleh saluran antar pribadi?

1. Pertukaran informasi bisa dua arah. Seseorang dapat


memperoleh kejelasan atau informasi tambahan tentang
inovasi dari orang lain. Ciri jaringan antar pribadi kadang-
kadang memungkinkan mengatasi rintangan-rintangan
sosialogis pemilihan terpaan, persepsi dan penyimpanan.
2. Mengajak orang atau mengubah sikap-sikap yang telah
dipegang teguh. Peranan saluran antar pribadi terutama
penting dalam membujuk seseorang untuk mengadopsi atau
menolak suatu inovasi.

MediaMassadan Saluran Antar Pribadi


Rampatan 3-12 berbunyi : Saluran media massa relatif
lebih penting pada tahap pengetahuan dan saluaran anatar pribadi
relatif lebih penting pada tahap persuasi. Pentingnya saluran antar
pribadi dan mediamassa dalam proses keputusan-inovasi pertama kali
diselidiki dalam serangkaian penelitian mengenai petani, kemudia
secara luas dikukuhkan dalam kajian-kajian pada responden lain.
Misalnya Sill (1958) menemukan bahwa bila kemungkinan
pengadopsian harus maksimalkan, saluran komunikasi harus
dipergunakan dalam urutan waktu yang ideal, saluran mediamassa dulu
kemudian antar pribadi. Coop et al (1958:70) menemukan bahwa suatu
urutan temporal dilibatkan dalam komunikasi pertanian di mana pesan-
pesan dikirimkan melalui medaimassa yang ditujukan untuk penyadaran,
kemudian kelompok, dan akhirnya kepada perseorangan. Seseorang
petani yang membalik urutan ini sebegitu rupa sehingga prasangka
memasuki proses adopsi . Penyutikan informasi terbesar pada tahap
pengetahuan dilakukan oleh penggunaan mediamassa, sedangkan
saluran antar pribadi penting dalam menggerakkan orang ke tahap
persuasi. Penggunaan suatu aluran komunikasi yang tidak tepat pada
tahap tertentu (misalnya saluran antar-pribadi untuk tahap pengetahuan)
dihubungkan dengan pengadopsian terlambat ide-ide baru itu, sebab
penggunaan saluran itu menunda kemajuan proses itu.

Data mengenai relatif pentingnya saluran antar pribadi dan


mediamassapada setiap tahapan dalam pengadopsian obat rumput 2.4
D diperoleh Beal danRogers(1960:6) dari 148 petani lowa. Saluran
mediamassa, seperti majalah pertanian, buletin, dan merek kotak
kemasan obat, lebih penting daripada saluran antar pribadi pada tahap
pengenalan inovasi. Presentase responden yang menyebutkan saluran
antar pribadi meningkat dari 37% pada tahap pengetahuan menjadi 63%
pada tahap persuasi.

Bukti yang baru saja disajikan untuk mendukung rampatan 5-12 datang
dari penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat di mana
mediamassatelah ada di mana-mana. Namun kondisi pertama terjadinya
efek mediamassaketersediaan media mungkin tidak diketemukan di
negara yang sedang berkembang. Misalnya Deautchmann dan Fals
Borda (1962b:b) menemukan bahwa saluran antarpribadi banyak
digunakan walaupun pada tahap pengetahuan oleh penduduk pedesaan
Kolumbia. Di pedesaanBangladesh, rahim(1961, 1965) menemukan
bahwa saluran mediamassajarang disebut sebagai inovasi pertanian,
sedangkan saluran antar pribadi kosmoplit sangat penting, dan dalam
beberapa cara agaknya melakukan peran yang sama dengan yang
dimainkan oleh mediamassadi negara yang lebih maju. Contoh saluran
antar pribadi kosmopolit adalah seorang petani lowa mengikuti pameran
mesin pertanian diDes Moines, atau seorang dokteryang berkunjung ke
pertemuan khusus/spesialis di luarkota.

Rogersdan Shoemaker (1971) membuat suatu analisis komparatif peran


yang dimainkan oleh mediamassadan saluran antarpribadi kosmopolit
pada tahap-tahap proses keputusan inovasi untuk duapuluh tiga inovasi
yang berbeda (kebanyakan pertanian) di Amerika Serikat, Kanada,
Italia,bangladeshdan Kolombia. Saluran mediamassarelatif lebih penting
pada tahap pengetahuan baik di negara maju maupun sedang
berkembang, walaupun level penggunaan mediamassadi negara maju
lebih tinggi, seperti kita harapkan. Media massa dipergunakan oleh 52%
responden pada tahap pengetahuan di negara maju, susut menjadi 15%
pada tahap persuasi, dan 18% pada tahap keputusan. Angka yang
sebanding di negara sedang berkembang adalah 29%, 65 dan *%.
Meta-research ini menunjukkan bahwa salauran antar pribadi kosmopolit
sangat penting pada tahap pengetahuan di negara sdang berkembang,
seperti dikemukakan oleh karya Rahim (1961, 1965).

Saluran Kosmopolit vs Saluran Lokalit

Rampatan 5-13: Saluran kosmopolit relatif lebih penting pada tahap


pengetahuan, dan sumber lokalit relatif lebih penting pada tahap
persuasi dalam proses keputusan-inovasi. Saluran komunikasi
kosmopolit adalah saluran yang berpangkalan di luar sistem sosial yang
diselidiki; saluran lain tentang inovasi menjangkau orang-orang dari
sumber-sumber di mana sistem sosial mereka. Saluran antar-pribadi
bisa lokalit maupun kosmopolit, sedangkan saluran mediamassa hampir
semuanya kosmopolit. Meta riset untuk duapuluh tiga inovasi yang
berbeda di sepuluh negara (disebut dimuka) menunjukkan bahwa bila
saluran antar pribadi kosmopolit dan media massa dikombinasikan
dalam bentuk kategori saluran kosmopolit, di negara maju persentase
saluran seperti itu adalah 81% pada tahap pengetahuan dan 58%
padatahap persuasi. Di negara sedang berkembang, persentasenya
74% pada tahap pengetahuan dan 34% pada tahap persuasi . data
meta riset ini menunjukkan bahwa peranan yang dimainkan oleh
mediamassa di negara-negara maju (dalam membentuk kesadaran-
pengetahuan) barangkali sebagian digantikan oleh saluran antar pribadi
kosmopolit di negara-negara yang sedang berkembang. Saluran ini
termasuk para agen pembaru, kunjungan keluar desa, dan para tamu
yang datang ke dalam sistem sosial darikota.

SALURAN KOMUNIKASI PADA KATEGORI ADOPTER

Pembahasan saluran komunikasi pada tahap-tahap keputusan inovasi di


atas mengabaikan efek kategori pengguna. Sekarang kita menyelidiki
penggunaan saluran pada kategori pengguna yang berbeda.

Rampatan 3-14: Saluran media massa relatif lebih penting daripada


saluran antarpribadi bagi pengguna awal daripada pengguna
akhir. Rampatan ini agaknya logis, karena pada saat inovator
mengadopsi suatu gagasan baru, hampir tak ada lagi orang lain dalam
sistem itu yang punya pengalamnan dengan inovasi itu. Pengguna-akhir
tidak perlu mengikuti begitu banyak mediamassa karena pengalaman
setempat telah menumpuk di dalam sistem mereka pada saat mereka
mengadopsi. Barangkali pengaruh antar pribadi tidak begitu penting bagi
pengguna awal untuk menentukan sikap setuju atau tidak terhadap
inovasi. Mereka punya kebutuhan berpetualangan dan rangsangan
pesan mediamassa cukup menggerakkan mereka mengatasi rintangan
mental untuk mengadopsi. Tetapi pengguna-akhir, yang kurang beracu
perubahan, memerlukan pengaruh yang lebih kuat dan langsung seperti
yang diperoleh dari jaringan antar pribadi.
Gambar 5-4. saluran antarpribadi relatif kurang penting bagi pengguna-
awal daripada bagi pengguna-akhir dalam pengadopsian obat semprot
rumput 2.4 D.

Adadukungan kuat terhadap rampatan 5-14 dari penelitian-penelitian


baik di negara maju maupun sedang berkembang. Data yang
mengilustrasikan pernyataan itu tampak pada Gambar 5-4 mengenai
pengadopsian obat rumput oleh para petani lowa.
Alasan yang sama membawa pada rampatan 5-15: saluran kosmopolit
relatif lebih penting daripada saluran lokalit bagi pengguna awal
daripada pengguna-akhir. Inovasi-inovasi masuk ke dalam suatu sistem
dari sumber-sumber luar; mereka yang mengadopsi pertama kali
mungkin lebih bergantung pada saluran-saluran antar pribadi dan lokalit
bagi teman mereka yang mengadopsi belakangan.

RENTANG WAKTU KEPUTUSAN INOVASI

Kebanyakan agen pembaru ingin lebih mempercepat


proses pengadopsian suatu inovasi. Salah satu caranya adalah
mengkomunikasikan informasi mengenai ide-ide baru itu lebih cepat dan
tepat agar tercipta pengetahuan pada hari-hari pertama . Cara lain
adalah memperpendek waktu yang diperlukan untuk keputusan inovasi
setelah oramg mengetahui adanya ide baru. Banyak calon pengguna
yang sudah mengetahui suatu inovasi tidak terdorong untuk
mencobanya. Misalnya, hampir semua petani lowa dalam kajian jagung
hibrida mendengar inovasi itu sebelum beberapa orang gelintir
menanamnya. Ini bukti bahwa isolasi dari pengetahuan bukanlah suatu
faktor yang menentukan dalam keterlambatan adopsi bagi banyak
operator (Ryan dan Gross, 1950:679). Memperpendek masa keputusan
inovasi merupakan salah satu cara penting mempercepat penyebaran
suatu inovasi.
Gambar 5-5 mengilustrasikan antarhubungan antara tingkat kesadaran-
pengetahuan, tingkat adopsi, dan masa keputusan inovasi untuk obat
rumput baru. Lekuk kurva untuk tingkat kesadaran-pengetahuan lebih
curam daripada kurva untuk tingkat adopsi. Data ini, seiring dengan
bukti dari kajian-kajian yang mendukung, menyarankan rampatan 5-
16: tingkat kesadaran-pengetahuan tentang suatu inovasi lebih cepat
daripada tingkat pengadopsiannya. bila dilihat dengan cara lain, data ini
(Gambar 5-5) menunjukkan bahwa pengguna-akhir punya masa
keputusan-inovasi lebih lam dibanding dengan pengguna awal.

Adabanyak variasi dalam rata-rata lamanya masa keputusan inovasi


dari satu ke yang lain. Misalnya, rata-rat masa untuk jagung hibrida ke
lowa adalah 9,0 tahun (Gross, 1942:57), sedangkan untuk obat rumput
2,1 tahun (Beal dan Rogers, 1960:10). Bagaimana kita dapat
menjelaskan perbedaan ini ? Inovasi dengan ciri-ciri tertentu umumnya
diadopsi lebih cepat; periode keputusan-inovasinya lebih pendek.
Misalnya, inovasi-inovasi yang relatif sederhana sifatnya, dapat dicoba,
dan sesuai dengan pengalaman sebelumnya biasanya lebih pendek
masa adopsinya daripada inovasi yang tidak memiliki ciri-ciri tersebut.
Dimensi utama analisi dalam pembahasan berikut ini betapapun adalah
perbedaan individual lamanya masa keputusan-inovasi, bukan
perbedaan dalam perbedaan diantara beragam inovasi.

Panjang Periode pada Kategori Adopter


Salah satu perbedaan individual yang penting dalam panjangnya
periode keputusan-inovasi adalah berdasarkan kategori pengguna. Kami
kemukakan di muka bahwa data dalam gambar 5-5 menunjukkan untuk
pengguna akhir periode keputusan-inovasi lebih lama. Kami
menunjukkan hubungan ini secara rinci dalam gambar 5-6, di mana rata-
rata panjang periode untuk kelima kategori pengguna tampak.
Gambar 5-5. Kecepatan kesadaran-pengetahuan, kecepatan adopsi,
dan adopsi, dan periode keputusan inovasi petani lowa dalam
pengadopsian obat semprot rumput pertahun.

Data ini dan data dari beberapa kajian lain mendukung rampatan 5-
17: periode keputusan inovasi pengguna awal lebih pendek daripada
pengguna-akhir. Jadi, orang pertama yang mengadopsi suatu gagasan
baru (inovator) berbuat demikian bukan saja karena mereka agak lebih
dulu mengetahui inovasi itu daripada eman-temannya (gambar 5-5),
tetapi juga karena mereka hanya memerlukan beberapa bulan atau
tahun (lebih singkat) untuk bergerak dari pengetahuan kepada
keputusan. Para inovator menempati posisi sebagai inovatif (relatif
daripada pengguna akhir) karena mereka mengetahui inovasi lebih
awal, tetapi data yang ada juga menunjukkan bahwa mereka itu menjadi
orang pertama yang mengadopsi karena mereka memerlukan periode
keputusan-inovasi lebih pendek.

Mengapa inovator memerlukan periode lebih pendek? Kajian yang ada


menunjukkan bahwa para inovator bersikap lebih berkenan pada ide-ide
baru sehingga kurang ada rintangan untuk berubah yang harus diatasi
oleh pesan-pesan komunikasi mengenai gagasan baru itu. Para inovator
lebih pendek periode keputusan-inovasinya mungkin karena (1) mereka
menggunakan sumber dan saluran yang secara teknik lebih akurat
megenai inovasi, misalnya kontak langsung dengan para ilmuwan, dan
(2) mereka menaruh kepercayaan lebih tinggi pada sumber-sumber ini
daripada rata-rata orang. Mungkin pula para inovator itu memiliki
kemampuan mental yang memungkinkan mereka mengatasi
ketidakpastian dan melakukan abstraksi. Seorang inovator haruslah
dapat mengkonseptualisasi informasi inovasi yang relatif abstrak dan
menerapkan informasi itu ke dalam situasinya sendiri. Pengguna-akhir
dapat melihat hasil-hasil inovasi pada pengguna-awal dan mungkin tidak
perlu kemampuan mentali ini.

Anda mungkin juga menyukai