Anda di halaman 1dari 15

EPISTEMOLOGI FENOMENOLOGIS (EDMUND HUSSERL)

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas


Mata KuliahFilsafat Ilmu : Topik-topik Epistemologi
Dosen Pengampu : Dr. Sembodo Ardi Widodo, M.Ag

Oleh

Muhajirun Najah NIM. 17204010019

Rahma Putri Kholifatul. U NIM.17204010036

PROGAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


KONSENTRASI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
PROGAM MAGISTER FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2017
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Ilmu filsafat adalah ilmu yang menjadi induk segala pengetahuan. Filsafat
merupakan sebuah sistem yang komprehensif dari ide-ide mengenai keadaan yang
murni dan realitas yang terjadi dalam hidup. Filsafat juga dapat dijadikan paduan
dalam kehidupan karena hal-hal yang berada di dalam lingkupnya selalu
menyangkut sesuatu yang mendasar dan membutuhkan penghayatan. Filsafat
digunakan untuk menentukan jalan yang akan diambil seseorang dalam
kehidupannya. Filsafat juga memberi petunjuk mengenai tata cara pergaulan antara
sesama.
Tak lepas dari semua ini, pada dasarnya filsafat adalah bersumber dari
pertumbuhannya pola pikir manusia. Semua yang ada, atau yang telah ada bisa
diperhatikan dan dipikirkan secara rasional. Karena berpikir adalah aktifitas
individu dan manusia mempunyai kemerdekaan untuk berpikir. Berpikir secara
mendalam untuk menghasilkan suatu ilmu pengetahuan yang bisa dipertanggung
jawabkan keabsahannya.
Dengan demikian dapat dikata bahwa berfilsafat adalah mendalami sesuatu
secara mendalam berdasarkan penalaran yang dimiliki seseorang. Dan akhirnya bisa
melahirkan aliran fenomenologi yang akan dipaparkan dalam makalah ini. Perlu
kita ketahui sekilas bahwa Ilmu fenomenologi dalam filsafat yang membahas
tentang sebuah metode yang sanggup membuat fenomena menampakkan dirinya
sesuai dengan realitas yang sesungguhnya tanpa memanipulasinya.
Kata fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, phenomenon, yaitu sesuatu
yang tampak, yang terlihat karena berkecakupan. Dalam bahasa indonesia biasa
dipakai istilah gejala. Secara istilah, fenomenologi adalah ilmu pengetahuan (logos)

1
tentang apa yang tampak. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa
fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena atau segala sesuatu
yang tampak atau yang menampakkan diri
fenomenologi ini mengacu kepada analisis kehidupan sehari-hari dari sudut
pandang orang yang terlibat di dalamnya. Tradisi ini memberi penekanan yang
besar pada persepsi dan interpretasi orang mengenai pengalaman mereka sendiri.
Fenomenologi melihat komunikasi sebagai sebuah proses membagi pengalaman
personal melalui dialog atau percakapan. Bagi seorang fenomenolog, kisah seorang
individu adalah lebih penting dan bermakna daripada hipotesis ataupun aksioma.
Seorang penganut fenomenologi cenderung menentang segala sesuatu yang tidak
dapat diamati. Fenomenologi juga cenderung menentang naturalisme (biasa juga
disebut objektivisme atau positivisme). Hal demikian dikarenakan Fenomenolog
cenderung yakin bahwa suatu bukti atau fakta dapat diperoleh tidak hanya dari
dunia kultur dan natural, tetapi juga ideal, semisal angka, atau bahkan kesadaran
hidup.
Dalam perkembangannya, munculnya filsafat fenomenologi telah
memberikan pengaruh yang sangat luas, dimana hampir semua disiplin keilmuan
mendapatkan inspirasi dari fenomenologi. Psikologi, sosiologi, antropologi,
arsitektur sampai penelitian tentang agama semuanya memperoleh nafas baru
dengan munculnya fenomenologi.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan filsafat fenomologis ?
2. Bagaimana sejarah terciptanya filsafat fenomologis ?
3. Bagaimana filsafat fenomologis menurut Edmund Husserl ?

2
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa iti filsafat fenomologis
2. Untuk mengetahui bagaimana sejarah terciptanya filsafat fenomologis
3. Untuk mengetahui filsafat fenomologis menurut Edmund Husserl

3
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Filsafat Fenomonologis


Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani: Phainestai yang artinya
“menunjukkan” dan “menampakkan diri sendiri”.1 Sebagai aliran epistemology.
dalam bahasa indonesia biasa dipakai istilah gejala. Secara istilah, fenomenologi
adalah ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak.2 Dari pengertian tersebut
dapat dipahami bahwa fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan
fenomena atau segala sesuatu yang tampak atau yang menampakkan diri. Seorang
Fenomenolog suka melihat gejala. Dia berbeda dengan seorang ahli ilmu positif
yang mengumpulkan data, mencari korelasi dan fungsi, serta membuat hukum-
hukum dan teori. Fenomenolog bergerak di bidang yang pasti. Hal yang
menampakkan dirinya dilukiskan tanpa meninggalkan bidang evidensi yang
langsung. Fenomenologi adalah suatu metode pemikiran, “a way of looking at
things”.3

Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa fenomenologi ini mengacu


kepada analisis kehidupan sehari-hari dari sudut pandang orang yang terlibat di
dalamnya. Tradisi ini memberi penekanan yang besar pada persepsi dan interpretasi
orang mengenai pengalaman mereka sendiri. Fenomenologi melihat komunikasi
sebagai sebuah proses membagi pengalaman personal melalui dialog atau
percakapan. Bagi seorang fenomenolog, kisah seorang individu adalah lebih penting
dan bermakna daripada hipotesis ataupun aksioma. Seorang penganut fenomenologi
cenderung menentang segala sesuatu yang tidak dapat diamati. Fenomenologi juga

1 Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Belukar), hlm. 144.


2 K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia, 1981) hlm. 109.
3 Doni Gahral Adian, Pilar Pilar Filasafat Kontemporer (Yogyakarta: Jala Sutra, 2002) hlm. 23

4
cenderung menentang naturalisme (biasa juga disebut objektivisme atau
positivisme). Hal demikian dikarenakan Fenomenolog cenderung yakin bahwa
suatu bukti atau fakta dapat diperoleh tidak hanya dari dunia kultur dan natural,
tetapi juga ideal, semisal angka, atau bahkan kesadaran hidup.

Jelasnya, fenomenologi mencoba menepis semua asumsi yang


mengkontaminasi pengalaman konkret manusia. Ini mengapa fenomenologi disebut
sebagai cara berfilsafat yang radikal. Fenomenologi menekankan upaya menggapai
“hal itu sendiri” lepas dari segala presuposisi. Langkah pertamanya adalah
menghindari semua konstruksi, asumsi yang dipasang sebelum dan sekaligus
mengarahkan pengalaman. Tak peduli apakah konstruksi filsafat, sains, agama, dan
kebudayaan, semuanya harus dihindari sebisa mungkin. Semua penjelasan tidak
boleh dipaksakan sebelum pengalaman menjelaskannya sendiri dari dan dalam
pengalaman itu sendiri.

Fenomenologi menekankan perlunya filsafat melepaskan diri dari ikatan


historis apapun—apakah itu tradisi metafisika, epistimologi, atau sains. Program
utama fenomenologi adalah mengembalikan filsafat ke penghayatan sehari-hari
subjek pengetahuan. Kembali ke kekayaan pengalaman manusia yang konkret,
lekat, dan penuh penghayatan.4

2. Sejarah Filsafat Fenomonologis


Metode yang dipelopori oleh Husserl adalah metode fenomonologis untuk
pertama kalinya dipakai oleh J.H. Lambert (1728-1777) dalam bukunya Neues
Organon (1764). Kemudian istilah itupun dipergunakan Kant, dan Hegel dan

4 Doni Gahral Adian, Pilar Pilar Filasafat Kontemporer…., hlm. 24

5
sejumlah filsuf lain baru kemudian Husserl memakai istilah itu untuk menunjukkan
metode berfikir tepat yang khusus.5

Fonomenologi ini bersumber dari pembedaan yang dilakukan oleh


Immanuel Khan antara noumental (alam yang sesungguhnya) dan phenomenal
(yang tampak/terlihat) dan juga merupakan pengembangan dari phenomenology of
spiritnya Hegel. Husserl adalah juga seorang ahli metematika yang mengembangkan
filsafatnya dengan bertolak dari filsafat ilmu. Ia merasa berapa pentingnya memberi
landasan pemikiran filsafat kepada persoalan-persoalan teroritis yang diajukan demi
mencapai kebenaran. Ia pun bertekad untuk mencapai kebenaran itu akan tetapi,
Husserl melihat bahwa sesungguhnya di dalam filsafat itu sendiri tiada kesesuaian
dan kesepakatan karena tidak adanya metode yang tepat sebagai pegangan yang
dapat diandalkan. Karena itu ia merasa perlu mencari dan menciptakan suatu
metode yang benar-benar ilmiah. Bagi Husserl metode yang benar-benar ilmiah
adalah metode yang sanggup membuat fenomena menampakkan diri sesuai dengan
realitas yang sesungguhnya tanpa manipulasinya.6

Untuk mengembangkan metode yang demikian itu, perhatian haruslah


terpusat kepada fenomena itu tanpa praduga apapun. Itu terungkap lewat slogan
yang terkenal dikalangan penganut fenomenologi,. Dalam keterarahan ke benda itu
sesungguhnya benda itu sendirilah yang dibiarkan untuk mengungkapkan hakikat
dirinya sendiri. Berangkat dari proses pemikiran yang demikian itu, lahirlah metode
fenomenologis.7

5 Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat ( Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm, 118
6 Ibid., 119
7 Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat Ilmu…., 109

6
Husserl mau menetukan metode filosofis ilmiah, yang lepas dari segala
prasangka metafisis. Metode ini harus menjamin filsafat sebagai suatu sistem
pengetahuan yang terjalin oleh alasan-alasan sedemikian rupa, sehingga setiap
langkah berdasarkan langkah sebelumnya secara niscaya. Sistem demikian
memerlukan pemahaman-pemahaman dasariah yang jelas, dan susunan sistematis
yang ketat.
.
Antara tahun 1970 dan 1995 banyak karya Husserl dibukukan dari
manuskripnya, antara lain Logische Untersuchungen, Krisis der Europise
Wissenschaften und Transcendentale Phenomenologi, Forrmale und
Transcendentale Logik, Phenomenologische Psychologie, dan Ideen II. Banyak
karya Husserl lainnya juga dibukukan pada tahun-tahun tersebut. Meskipun Husserl
meninggal tahun 1935 ternyata pemikiran filsafatnya menjadi solusi atas kebutuhan
ilmu yang dikuasai oleh filsafat ilmu positivisme. 8

3. Filsafat Fenomonologis Husserl


Sebagai sebuah arah baru dalam filsafat, fenomenologi dimulai oleh
Edmund Husserl (1859 – 1938), untuk mematok suatu dasar yang tak dapat
dibantah, ia memakai apa yang disebutnya metode fenomenologis. Ia kemudian
dikenal sebagai tokoh besar dalam mengembangkan fenomenologi. Namun istilah
fenomenologi itu sendiri sudah ada sebelum Husserl. Istilah fenomenologi secara
filosofis pertama kali dipakai oleh J.H. Lambert (1764). Dia memasukkan dalam
kebenaran (alethiologia), ajaran mengenai gejala (fenomenologia). Maksudnya

8 Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu Pengembangan, ( Yogyakarta : Rake Sarasin, 2015), hlm. 169

7
adalah menemukan sebab-sebab subjektif dan objektif ciri-ciri bayangan objek
pengalaman inderawi (fenomen).9

Edmund Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisis deskriptif


serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan
pengalaman-pengalaman langsung : religius, moral, estetis, konseptual, serta
inderawi. Perhatian filsafat, menurutnya, hendaknya difokuskan pada penyelidikan
tentang Labenswelt (dunia kehidupan) atau Erlebnisse (kehidupan subjektif dan
batiniah). Penyelidikan ini hendaknya menekankan watak intensional kesadaran,
dan tanpa mengandalkan praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris.10

Dalam mengembankan metode fenomenologisnya itu, Husserl menyadari


betapa sulitnya membiarkan benda-benda itu sendiri mengungkapkan hakikat
dirinya yang murni, sesuai dengan realitas yang sesungguhnya. Menurut Husserl itu
karena fenomena atau objek dalam hubungan dengan kesadaran tidak secara
langsung menampakkan hakikat dirinya. Hakikat fenomena yang sesungguhnya
berada dibalik yang menampakkan diri itu. pengamatan pertama belum sanggup
membuat fenomena ini mengungkapkan hakikat dirinya. Karena itu, diperlukan
pengamatan kedua yang disebut dengan pengamatan intuitif.11

Pengamatan intuitif harus melewati tiga tahap reduksi atau tiga tahap
penyaringan. Ketiga tahap penyaringan itu ialah reduksi fenomenologis, reduksi
eidetis, reduksi trasendental. Lewat ketiga tahap reduksi, Husserl berharap akan

9 Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat Ilmu ( Yogyakarta : Balai Aksara, Yudhistira, Pustaka
Sa’adiyah, 1984), hlm. 110
10 Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat…., hlm. 119
11 Ibid.., hlm. 199

8
sanggup membuat fenomena itu mengungkapkan hakikat dirinya dengan semurni
mungkin.12

Reduksi fenomenologis ditempuh dengan menyisihkan atau menyaring


pengalaman pengamatan pertama yang terarah kepada eksistensi fenomena.
Pengalaman indrawi itu tidak ditolak, tetapi perlu disisihkan dan disaring lebih
dahulu sehingga tersingkirlah segala prasangka, praanggapan, dan pra teori baik
yang berdsarkan keyakinan tradisinal, maupun berdasarkan keyakinan agmis,
bahkan seluruh keyakinan dan pandangan yang telah dimiliki sebelumnya. Segala
sesuatu yang diketahui dan dipahami, lewat pengamatan biasa terhadap fenomena
itu, harus diuji sedemikian rupa dan tidak boleh diterima begitu saja. Fenomena itu
diamati dalam hubungannnya dengan kesadaran tanpa melakukan refleksi terhadap
fakta-fakta yang ditemukan lewat pengamatan itu karena yang utama dalam hidup
ini ialah menemukan dan menyingkirkan subjektivitas yang merupakan penghambat
bagi fenomena itu dalam mengungkapkan hakikat dirinya.13

Reduksi eidetic, menurut Husserl, tidak lain dari upaya untuk menemukan
eidos atau hakikat fenomena yang tersembunyi. Pada tahap ini, segala sesuatu yang
dianggap sebagai hakikat fenomena yang diamati harus disaring untuk menemukan
hakikat yang sesungguhnya dari fenomena itu. itu berarti segala sesuatu yang dilihat
harus dianalisis secara cermat dan lengkap agar tidak ada yang terlupakan. Dalam
upaya menganalisis fenomena yang diamati dengan cermat dan lengkap itu,
perhatian pengamat harus senantiasa terarah kepada isi yang paling fundamental dan
segala sesuatu yang bersifat paling hakiki.

12 Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat…., hlm. 199


13Ibid., hlm. 119

9
Reduksi trasendental, menyisihkan dan menyaring semua hubungan antara
fenomena yang diamati dan fenomena lainnya. Misalnya saja fenomena yang
diamati itu adalah kita sendiri. Kita harus menyadari bahwa diri kita sendiri
senantiasa memiliki hubungan dengan fenomena lainnya, yang berada diluar dari
kita. Ketergantungan yang demikian itu membuat kita senantiasa berada dalam
situasi yang tertentu. Seperti kita sedang makan, sedang menulis, sedang mandi, dan
sebaginya. Pengalaman-pengalaman yang demikian itu jelas merupakan hal-hal
yang harus disisihkan karena merupakan bagian dari kesadaran empiris. Reduksi
trasendental harus menemukan kesadaran murni dengan menyisihkan kesadaran
empiris sehingga kesadaran diri sendiri tidak lagi berlandaskan pada keterhubungan
dengan fenomena lainnya. Kesadaran diri yang telah bebas dari kesadaran empiris
itu mengatasi seluruh pengalaman, maka bersifat trasendental.14
Sebagai reaksi terhadap pendahulunya, terdapat dua prinsip yang cukup
penting dalam fenomenologi menurut Husserl, yakni dua prinsip: prinsip epoche
dan eidetic vision dan konsep “dunia-kehidupan” (Lebenswelt.15
1) Prinsip epoche dan eidetic vision

Husserl mengajukan konsepsi yang berbeda dengan


pendahulunya dmengenai proses keilmuan. Tugas utama Fenomenologi
menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia dengan realitas.
Bagi Husserl, realitas bukan sesuatu yang berbeda pada dirinya lepas
dari manusia yang mengamati. Realitas itu mewujudkan diri atau
menurut ungkapan Martin Heideger juga seorang fenomenolog: “sifat
realitas itu membutuhkan keberadaan manusia” Noumena

14 Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat…., hlm. 120

15 Mohammad Muslih, filsafat ilmu, (Yogyakrta, Belukar. 2016) hal 111

10
membutuhkan tempat tinggal ruang untuk berada, ruang itu adalah
manusia.

Husserl dalam hal ini mengajukan metode epoche. Kata epoche berasal
dari kata yunani, yang berarti menunda putusan atau mengosongkan diri
dari keyakinan tertentu. Tanpa memberikan putusan benar salahnya
terlebih dahulu. Dalam hal ini Husserl mengatakan , bahwa epoche
merupakan thesis of natural stand point (tesis tentang pendirian yang
natural) dalam arti fenomena yang tampil dalam kesadaraan adalah
benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat.

Metode epoche merupakan langkah pertama untuk mencapai


esensi fenomena dengan menunda putusan terlebih dahulu. Langkah
kedua . Husserl menyebutya dengan eidetic vision atau membuat ide,
eidetic vision ini juga disebut reduksi, yani menyaring fenomena untuk
sampai ke eideosnya, sampai keintisarinya atau yang sejatinya. Hasil
dari proses reduksi ini disebut wesenschau, artinya sampai pada
hakikatnya.

2) Konsep “dunia-kehidupan” (labenswelt)


Dalam kaitannya dengan ilmu social, memperbincangkan
fenomenologi tidak bisa ditinggalkan pembecaraan mengenai konsep
labenswelt. Konsep ini penting artinya, sebagai usaha memperluas
konteks ilmu pengetahuan atau membuka jalur metodologi baru bagi
ilmu-ilmu social serta menyelamatkan subjek pengetahuan. Edmund
Husserl dalam bukunya “the crisis of European Science and
transcendental Phennomenology” menyatakan bahwa kpnsep yang
dapat menjadi dasar bagi ilmu pengetahuan yang tengah mengalami

11
krisis akibat pola piker positivistic dan saintistik, mnurutnya dunia
kehidupan adalah dasar makna yang dilupakan bagi ilmu pengetahuan.
Dunia kehidupan dalam pengertian Husserl bisa dipahami
kurang lebih, dunia sebagaimana manusia menghayati dalam
spntanitasnya, sebagai basis tindakan komunikasi antar subjek. Dunia
kehidupan ini adalah unsur-unsur sehari-hari yang membentuk
kenyataan kita. Yakni unsur dunia seharihari yang kita libati dan hidupi
sebelum kita menteorikannya atau merefleksikannya secara filosofis.

12
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena atau
segala sesuatu yang tampak atau yang menampakkan diri. Seorang
Fenomenolog suka melihat gejala. Dia berbeda dengan seorang ahli ilmu positif
yang mengumpulkan data, mencari korelasi dan fungsi, serta membuat hukum-
hukum dan teori. Fenomenolog bergerak di bidang yang pasti. Hal yang
menampakkan dirinya dilukiskan tanpa meninggalkan bidang evidensi yang
langsung. Fenomenologi adalah suatu metode pemikiran, “a way of looking at
things”.
Metode yang dipelopori oleh Husserl adalah metode fenomonologis
untuk pertama kalinya dipakai oleh J.H. Lambert (1728-1777) dalam bukunya
Neues Organon (1764). Kemudian istilah itupun dipergunakan Kant, dan Hegel
dan sejumlah filsuf lain baru kemudian Husserl memakai istilah itu untuk
menunjukkan metode berfikir tepat yang khusus.
Dalam mengembankan metode fenomenologisnya itu, Husserl menyadari
betapa sulitnya membiarkan benda-benda itu sendiri mengungkapkan hakikat
dirinya yang murni, sesuai dengan realitas yang sesungguhnya. Menurut Husserl
hakikat fenomena yang sesungguhnya berada dibalik yang menampakkan diri
itu. Pengamatan pertama belum sanggup membuat fenomena ini
mengungkapkan hakikat dirinya. Karena itu, diperlukan pengamatan kedua yang
disebut dengan pengamatan intuitif.

13
DAFTAR PUSTAKA

Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat Ilmu Yogyakarta : Balai Aksara, Yudhistira, Pustaka
Sa’adiyah, 1984
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat Yogyakarta: Kanisius, 1996
Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Belukar. 2016.
K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman Jakarta: Gramedia, 1981
Adian, Doni Gahral, Pilar Pilar Filasafat Kontemporer Yogyakarta: Jala Sutra, 2002
Noeng, Muhadjir, Filsafat Ilmu Pengembangan, Yogyakarta : Rake Sarasin, 2015

14

Anda mungkin juga menyukai