Oleh
PENDAHULUAN
1
tentang apa yang tampak. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa
fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena atau segala sesuatu
yang tampak atau yang menampakkan diri
fenomenologi ini mengacu kepada analisis kehidupan sehari-hari dari sudut
pandang orang yang terlibat di dalamnya. Tradisi ini memberi penekanan yang
besar pada persepsi dan interpretasi orang mengenai pengalaman mereka sendiri.
Fenomenologi melihat komunikasi sebagai sebuah proses membagi pengalaman
personal melalui dialog atau percakapan. Bagi seorang fenomenolog, kisah seorang
individu adalah lebih penting dan bermakna daripada hipotesis ataupun aksioma.
Seorang penganut fenomenologi cenderung menentang segala sesuatu yang tidak
dapat diamati. Fenomenologi juga cenderung menentang naturalisme (biasa juga
disebut objektivisme atau positivisme). Hal demikian dikarenakan Fenomenolog
cenderung yakin bahwa suatu bukti atau fakta dapat diperoleh tidak hanya dari
dunia kultur dan natural, tetapi juga ideal, semisal angka, atau bahkan kesadaran
hidup.
Dalam perkembangannya, munculnya filsafat fenomenologi telah
memberikan pengaruh yang sangat luas, dimana hampir semua disiplin keilmuan
mendapatkan inspirasi dari fenomenologi. Psikologi, sosiologi, antropologi,
arsitektur sampai penelitian tentang agama semuanya memperoleh nafas baru
dengan munculnya fenomenologi.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan filsafat fenomologis ?
2. Bagaimana sejarah terciptanya filsafat fenomologis ?
3. Bagaimana filsafat fenomologis menurut Edmund Husserl ?
2
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa iti filsafat fenomologis
2. Untuk mengetahui bagaimana sejarah terciptanya filsafat fenomologis
3. Untuk mengetahui filsafat fenomologis menurut Edmund Husserl
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
cenderung menentang naturalisme (biasa juga disebut objektivisme atau
positivisme). Hal demikian dikarenakan Fenomenolog cenderung yakin bahwa
suatu bukti atau fakta dapat diperoleh tidak hanya dari dunia kultur dan natural,
tetapi juga ideal, semisal angka, atau bahkan kesadaran hidup.
5
sejumlah filsuf lain baru kemudian Husserl memakai istilah itu untuk menunjukkan
metode berfikir tepat yang khusus.5
5 Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat ( Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm, 118
6 Ibid., 119
7 Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat Ilmu…., 109
6
Husserl mau menetukan metode filosofis ilmiah, yang lepas dari segala
prasangka metafisis. Metode ini harus menjamin filsafat sebagai suatu sistem
pengetahuan yang terjalin oleh alasan-alasan sedemikian rupa, sehingga setiap
langkah berdasarkan langkah sebelumnya secara niscaya. Sistem demikian
memerlukan pemahaman-pemahaman dasariah yang jelas, dan susunan sistematis
yang ketat.
.
Antara tahun 1970 dan 1995 banyak karya Husserl dibukukan dari
manuskripnya, antara lain Logische Untersuchungen, Krisis der Europise
Wissenschaften und Transcendentale Phenomenologi, Forrmale und
Transcendentale Logik, Phenomenologische Psychologie, dan Ideen II. Banyak
karya Husserl lainnya juga dibukukan pada tahun-tahun tersebut. Meskipun Husserl
meninggal tahun 1935 ternyata pemikiran filsafatnya menjadi solusi atas kebutuhan
ilmu yang dikuasai oleh filsafat ilmu positivisme. 8
8 Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu Pengembangan, ( Yogyakarta : Rake Sarasin, 2015), hlm. 169
7
adalah menemukan sebab-sebab subjektif dan objektif ciri-ciri bayangan objek
pengalaman inderawi (fenomen).9
Pengamatan intuitif harus melewati tiga tahap reduksi atau tiga tahap
penyaringan. Ketiga tahap penyaringan itu ialah reduksi fenomenologis, reduksi
eidetis, reduksi trasendental. Lewat ketiga tahap reduksi, Husserl berharap akan
9 Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat Ilmu ( Yogyakarta : Balai Aksara, Yudhistira, Pustaka
Sa’adiyah, 1984), hlm. 110
10 Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat…., hlm. 119
11 Ibid.., hlm. 199
8
sanggup membuat fenomena itu mengungkapkan hakikat dirinya dengan semurni
mungkin.12
Reduksi eidetic, menurut Husserl, tidak lain dari upaya untuk menemukan
eidos atau hakikat fenomena yang tersembunyi. Pada tahap ini, segala sesuatu yang
dianggap sebagai hakikat fenomena yang diamati harus disaring untuk menemukan
hakikat yang sesungguhnya dari fenomena itu. itu berarti segala sesuatu yang dilihat
harus dianalisis secara cermat dan lengkap agar tidak ada yang terlupakan. Dalam
upaya menganalisis fenomena yang diamati dengan cermat dan lengkap itu,
perhatian pengamat harus senantiasa terarah kepada isi yang paling fundamental dan
segala sesuatu yang bersifat paling hakiki.
9
Reduksi trasendental, menyisihkan dan menyaring semua hubungan antara
fenomena yang diamati dan fenomena lainnya. Misalnya saja fenomena yang
diamati itu adalah kita sendiri. Kita harus menyadari bahwa diri kita sendiri
senantiasa memiliki hubungan dengan fenomena lainnya, yang berada diluar dari
kita. Ketergantungan yang demikian itu membuat kita senantiasa berada dalam
situasi yang tertentu. Seperti kita sedang makan, sedang menulis, sedang mandi, dan
sebaginya. Pengalaman-pengalaman yang demikian itu jelas merupakan hal-hal
yang harus disisihkan karena merupakan bagian dari kesadaran empiris. Reduksi
trasendental harus menemukan kesadaran murni dengan menyisihkan kesadaran
empiris sehingga kesadaran diri sendiri tidak lagi berlandaskan pada keterhubungan
dengan fenomena lainnya. Kesadaran diri yang telah bebas dari kesadaran empiris
itu mengatasi seluruh pengalaman, maka bersifat trasendental.14
Sebagai reaksi terhadap pendahulunya, terdapat dua prinsip yang cukup
penting dalam fenomenologi menurut Husserl, yakni dua prinsip: prinsip epoche
dan eidetic vision dan konsep “dunia-kehidupan” (Lebenswelt.15
1) Prinsip epoche dan eidetic vision
10
membutuhkan tempat tinggal ruang untuk berada, ruang itu adalah
manusia.
Husserl dalam hal ini mengajukan metode epoche. Kata epoche berasal
dari kata yunani, yang berarti menunda putusan atau mengosongkan diri
dari keyakinan tertentu. Tanpa memberikan putusan benar salahnya
terlebih dahulu. Dalam hal ini Husserl mengatakan , bahwa epoche
merupakan thesis of natural stand point (tesis tentang pendirian yang
natural) dalam arti fenomena yang tampil dalam kesadaraan adalah
benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat.
11
krisis akibat pola piker positivistic dan saintistik, mnurutnya dunia
kehidupan adalah dasar makna yang dilupakan bagi ilmu pengetahuan.
Dunia kehidupan dalam pengertian Husserl bisa dipahami
kurang lebih, dunia sebagaimana manusia menghayati dalam
spntanitasnya, sebagai basis tindakan komunikasi antar subjek. Dunia
kehidupan ini adalah unsur-unsur sehari-hari yang membentuk
kenyataan kita. Yakni unsur dunia seharihari yang kita libati dan hidupi
sebelum kita menteorikannya atau merefleksikannya secara filosofis.
12
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena atau
segala sesuatu yang tampak atau yang menampakkan diri. Seorang
Fenomenolog suka melihat gejala. Dia berbeda dengan seorang ahli ilmu positif
yang mengumpulkan data, mencari korelasi dan fungsi, serta membuat hukum-
hukum dan teori. Fenomenolog bergerak di bidang yang pasti. Hal yang
menampakkan dirinya dilukiskan tanpa meninggalkan bidang evidensi yang
langsung. Fenomenologi adalah suatu metode pemikiran, “a way of looking at
things”.
Metode yang dipelopori oleh Husserl adalah metode fenomonologis
untuk pertama kalinya dipakai oleh J.H. Lambert (1728-1777) dalam bukunya
Neues Organon (1764). Kemudian istilah itupun dipergunakan Kant, dan Hegel
dan sejumlah filsuf lain baru kemudian Husserl memakai istilah itu untuk
menunjukkan metode berfikir tepat yang khusus.
Dalam mengembankan metode fenomenologisnya itu, Husserl menyadari
betapa sulitnya membiarkan benda-benda itu sendiri mengungkapkan hakikat
dirinya yang murni, sesuai dengan realitas yang sesungguhnya. Menurut Husserl
hakikat fenomena yang sesungguhnya berada dibalik yang menampakkan diri
itu. Pengamatan pertama belum sanggup membuat fenomena ini
mengungkapkan hakikat dirinya. Karena itu, diperlukan pengamatan kedua yang
disebut dengan pengamatan intuitif.
13
DAFTAR PUSTAKA
Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat Ilmu Yogyakarta : Balai Aksara, Yudhistira, Pustaka
Sa’adiyah, 1984
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat Yogyakarta: Kanisius, 1996
Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Belukar. 2016.
K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman Jakarta: Gramedia, 1981
Adian, Doni Gahral, Pilar Pilar Filasafat Kontemporer Yogyakarta: Jala Sutra, 2002
Noeng, Muhadjir, Filsafat Ilmu Pengembangan, Yogyakarta : Rake Sarasin, 2015
14