Anda di halaman 1dari 13

Empirisme Francis Bacon

A. Pendahuluan

Sukar sekali menentukan bilamana zaman pertengahan berakhir, dan bilamana


zaman modern dimulai. Yang jelas ialah bahwa pada abad ke-14 dimulailah krisis
zaman pertengahan, yang berlangsung hingga abad ke-15, dan bahwa abad ke-15 dan
ke-16 dikuasai oleh gerakan yang disebut Renaissance.

Kata renaissance berarti: kelahiran kembali. Secara historis, renaissance adalah


suatu gerakan yang meliputi suatu zaman di mana orang merasa dirinya sebagai telah
dilahirkan kembali dalam keadaban. Di dalam kelahiran kembali itu, orang kembali
kepada sumber-sumber yang murni bagi pengetahuan dan keindahan. Dengan demikian
orang memiliki norma-norma yang senantiasa berlaku bagi hikmat dan kesenian
manusia. Bilamana perpindahan dari keadaban abad pertengahan ke keadaban
renaissance itu terjadi, tidak dapat dipastikan.1

Pada abad ke-17 pemikiran renaissance mencapai penyempurnaanya pada diri


beberapa tokoh besar. Pada abad ini tercapailah kedewasaan pemikiran. Sekarang
terdapat kesatuan yang memberi semangat yang diperlukan bagi abad-abad berikutnya.

Oleh karena itu, pada masa ini yang dipandang sebagai sumber pengetahuan
hanya apa yang secara alamiah dapat dipakai manusia yaitu akal atau rasio dan
pengalaman atau empiris. Orang cenderung untuk memberikan tekanan kepada salah
satu dari keduanya. Pada abad ini muncul dua aliran filsafat yang saling bertentangan
yaitu rasionalisme dan empirisme.2

Rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes (1569-1650) yang disebut sebagai


bapak filsafat modern. Dia berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang dapat
dipercaya adalah akal. Hanya pengetahuan yang diperoleh lewat akal lah yang
memenuhi syarat yang dituntut oleh semua ilmu pengetahuan ilmiah.

Latar belakang munculnya rasionalisme adalah keinginan untuk membebaskan


diri dari segala pemikiran tradisional (skolastik) yang penuh diterima, tetapi ternyata

1
Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hal. 11.
2
Ibid, hal. 18.

1
tidak mampu menangani hasil-hasil ilmu pengetahuan yang dihadapi. Apa yang
ditanam ahli filsafat sebelumnya juga masih dipengaruhi oleh khayalan-khayalan.

Descartes menginginkan cara yang baru dalam berpikir, maka diperlukan titik
tolak pemikiran pasti yang dapat ditemukan dalam keragu-raguan, cogito ergo sum
(saya berpikir maka saya ada). Jelasnya, bertolak dari keraguan untuk mendapatkan
kepastian.1

Adapun aliran empirisme berpendapat bahwa empirik atau pengalamanlah yang


menjadi sumber pengetahuan baik pengalaman yang batiniyah maupun yang
lahiriayah. Akal bukan menjadi sumber pengetahuan, akan tetapi akal mendapatkan
tugas untuk mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman. Metode yang
diterapkan adalah induksi. Semula aliran ini seperti masih menganut semacam realisme
yang naif yang menganggap bahwa pengenalan yang diperoleh melalui pengalaman
tanpa penyelidikan lebih lanjut telah memiliki nilai yang obyektif. Akan tetapi
kemudian nilai pengenalan yang diperoleh memalui pegalaman itu sendiri dijadikan
sasaran atau obyek penelitaian.

Aliran ini muncul di Inggris pada awalnya dipelopori Francis Bacon (1531-
1626). Pada perkebangannya dilanjutkan oleh tokoh-tokoh pasca Descartes seperti
Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), Berkeley (1685-1753), dan
David Hume (1711-1776).2

B. Pembahasan

1. Pengertian Empirisme

Karena adanya kemajuan ilmu pengetahuan dapat dirasakan manfaatnya,


pandangan orang terhadap filsafat mulai menurun. Hal ini terjadi karena filsafat
dianggap tidak berguna lagi bagi kehidupan. Pada sisi lain, ilmu pengetahuan besar
sekali manfaatnya bagi kehidupan. Kemudian beranggapan bahwa pengetahuan yang

1
Asmoro Achmadi, Filsafat Umum (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hal. 115-116.
2
Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu-ilmu (Yogyakarta: Belukar, 2005), hal. 53.

2
bermanfaat, pasti, dan benar hanya diperoleh lewat indera (empiri), dan empirilah satu-
satunya sumber pengetahuan. Pemikiran tersebut lahir dengan nama empirisme.1

Empirisme berasal dari kata Yunani empirikos yang berasal dari kata empeiria,
artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui
pengalamnnya. Bila dikembalikan kepada kata Yunani-nya, pengalaman yang
dimaksud adalah pengalaman inderawi. Manusia tahu es dingin karena ia
menyentuhnya, gula manis karena ia mencicipinya.2 Seorang empiris akan mengatakan,
“Karena saya merasakan hal itu dan karena seorang ilmuan telah mengatakan seperti
itu.” Dalam pernyataan tersebut ada tiga unsur yang perlu, yaitu yang mengetahui
(subjek), yang diketahui (objek), dan cara mengetahui bahwa es itu dingin. Bagaimana
dia mengetahui es itu dingin? Dengan menyentuh langsung lewat alat peraba. Dengan
kata lain, seorang empiris akan mengatakan bahwa pengetahuan itu diperoleh lewat
pengalaman-pengalaman inderawi yang sesuai.3

Empirisme merupakan suatu faham filsafat yang mengajarkan bahwa benar


adalah yang logis dan ada bukti empiris. Menurut empirisme yang benar adalah anak
panah bergerak sebab secara empiris dapat dibutktikan bahwa anak panah itu bergerak.
Coba saja perut Anda menghadang anak panah itu perut anda akan tembus, benda yang
tembus sesuatu haruslah benda yang bergerak.4

Empirisme adalah sebuah doktrin filsafat yang menekankan peranan


pengalaman dalam memperoleh pengetahuan dan mengecilkan peranan akal dalam hal
ini. Untuk memahami isi doktrin tersebut, perlu dipahami lebih dahulu dua ciri pokok
empirisme, yaitu mengenai teori tentang makna dan teori tentang pengetahuan.5

Teori makna pada aliran empirisme biasanya dinyatakan sebagai teori tentang
asal pengetahuan, yaitu asal-usul ide atau konsep. Pada abad pertengahan teori ini
diringkaskan dalam rumus Nihil est in intellectu quod non prius fuerit in sensu (tidak
ada sesuatu di dalam pikiran kita selain didahului oleh pengalaman). Sebenarnya

1
Asmoro Achmadi, Filsafat Umum (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hal. 116.
2
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai James (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2003), hal. 21.
3
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hal. 98.
4
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hal. 31-32.
5
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales Sampai Capra (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2003), hal. 173.

3
pernyataan ini merupakan tesis Locke yang terdapat dalam bukunya An Essay
Concerning Human Understanding, yang dikeluarkanya tatkala ia menentang ajaran
ide bawaan (innate idea) pada orang-orang rasionalis. Jiwa (mind) itu tatkala orang
dilahirkan keadaanya kosong, laksana kertas putih atau tabula rasa, yang belum ada
tulisan di atasnya, dan setiap ide yang diperoleh mestinya datang melalui pengalaman.
Yang dimaksud pengalaman di sini adalah pengalaman inderawi atau pengetahuan
dengan alat, yang oleh Locke disebut inner sense (penginderaan dalam).1

Pada abad ke-20 kaum empirisme cenderung menggunakan teori makna mereka
pada penentuan apakah suatu konsep diterapkan dengan benar atau tidak, bukan pada
asal-usul pengetahuan. Salah satu contoh penggunaan empirisme secara pragmatis ialah
pada Charles Sanders Pierce dalam kalimat “Tentukanlah apa pengaruh konsep itu pada
praktek yang dapat dipahami kemudian konsep tentang pengaruh itu, itulah konsep
tentang objek tersebut.2

Teori yang kedua yaitu teori pengetahuan, dapat diringkaskan sebagai berikut:
menurut orang rasionalis ada beberapa kebenaran umum, seperti : setiap kejadian tentu
mempunyai sebab, dasar-dasar matematika, dan beberapa prinsip dasar etika, dan
kebenaran-kebenaran itu benar dengan sendirinya yang dikenal dengan istilah
kebenaran a priori yang diperoleh lewat intuisi rasional. Empirisme menolak pendapat
itu. Tidak ada kemampuan intuisi rasional itu. Semua kebenaran yang disebut tadi
adalah kebenaran yang diperoleh lewat observasi, jadi ia kebenaran a posteriori.3

Bersebrangan dengan rasionalis, empiris berpendapat bahwa pikiran kita sama


sekali tidak memiliki ingatan akan apa-apa yang belum pernah kita alami melalui
indera. Seorang yang beraliran Empirisme biasanya berpendirian bahwa pengetahuan
didapat melalui penampungan yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan
tersebut. Ini berarti semua pengetahuan betapa pun rumitnya dapat dilacak kembali,
dan apa yang tidak dapat, bukanlah ilmu pengetahuan. Empirisme radikal
berpendirian bahwa semua pengetahuan dapat dilacak sampai kepada pengalaman
inderawi, dan apa yang tidak dapat dilacak bukan pengetahuan.4 Lebih lanjut

1
Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat & Etika (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 105.
2
Ibid, hal. 174.
3
Ibid, hal. 175.
4
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales Sampai Capra (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2003) hal. 173

4
penganut Empirisme mengatakan bahwa pengalaman tidak lain akibat suatu objek
yang merangsang alat-alat inderawi, kemudian di dalam otak dipahami dan akibat
dari rangsangan tersebut dibentuklah tanggapan-tanggapan mengenai objek yang
telah merangsang alat-alat inderawi tersebut. Empirisme memegang peranan yang amat
penting bagi pengetahuan, malah barangkali merupakan satu-satunya sumber dan dasar
ilmu pengetahuan menurut penganut empirisme.

Dalam pandangan kaum empirisme, rasio saja tanpa merujuk pada pengalaman
inderawi tidak dapat memberi pengetahuan tentang realitas, karena bahan yang
diberikan indera merupakan bangunan dasar bagi seluruh pengetahuan.

Adapun ajaran-ajaran pokok empirisme adalah:

1) Empirisme meyakini bahwa sumber pengetahuan adalah pengalaman.


2) Empirisme sangat menekankan kepada metode empiris eksperimental.
3) Empirisme menggunakan penalaran induktif.1

2. Riwayat Hidup Francis Bacon (1561–1628)

Francis Bacon adalah seorang filosof Inggris yang terkenal sebagai pelopor
empirisme Inggris, namun bukan berarti ia ateis. Ia berpendapat bahwa filsafat harus
dipisahkan dari teologi, bukan dicampur sebagaimana skolatisme. Urusan teologi hanya
bisa diketahui oleh wahyu, sedangkan filsafat hanya pada akal semata, karena itulah dia
termasuk pendukung dokrin ‘kebenaran ganda’ yakni akal dan wahyu. Agama yang
dianut Bacon adalah Ortodoks.

Bacon lahir pada tanggal 22 Januari 1561 di York House, London. Ayahnya
adalah pejabat tinggi kerajaan Inggris. Pada usia 12 tahun, Bacon telah belajar di Trinity
College, Cambridge University. Setelah selesai pendidikan di Cambridge, ia diangkat
sebagai staf kedutaan Inggris di Prancis. Pada usia yang cukup muda 23 tahun ia telah
diangkat menjadi anggota parlemen. Pada tahun 1618, James I mengangkatnya menjadi
Lord Chancellor dan kemudian menjadi Viscount St. Albans.2 Setelah lima tahun dari

1
Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014),
hal. 112.
2
Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik Dari Zaman Kuno
Hingga Sekarang (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 711.

5
jabatannya (1628), dia meninggal karena kedinginan ketika melakukan eksperimen
dengan mendinginkan ayam dan membungkusnya dengan salju.

Francis Bacon mengalami banyak keresahan dan kegelisahan menyikapi situasi


dimana dia hidup pada saat itu. Satu diantaranya adalah berkembang klaim dikhotomik
gereja antara studi agama dan studi alam, bahkan adanya konflik yang serius. Gereja
menyatakan ilmu pengetahuan adalah jalan menuju neraka. Bukan hanya itu, Bacon
juga melihat nyaris semua orang memiliki kualitas rendah intelektual, sehingga wajar
kalau gereja menyatakan tidak semua orang layak untuk menyentuh kitab Injil yang
suci.1 Ditambah lagi, Bacon melihat bahwa kebenaran ilmu penuh dengan keragu-
raguan, karena banyak wacana ilmu yang berkembang hanyalah dogmatisme belaka,
diimbangi dengan adanya tradisi hermetik dan skolastisisme dimana-mana, makin
sempurnalah kerisauan filosof ini.

Disisi lain, kian hari semakin diperparah dengan kekuasaan geraja yang terus
mengakar, terlebih ketika disokong oleh bantuan dana yang begitu besar dari kerajaan.
Secara otomatis hal ini menjadikan hegemoni mereka semakin kuat, bukan hanya dalam
ranah menentukan kebijakan publik religius, bahkan termasuk ilmu sains pun tidak
luput dari ketetapan gereja. Terhadap kerisauan ini Francis Bacon mencoba
memberikan gagasan baru dalam memberikan peribahan terhadap keadaan dimana ia
hidup pada saat itu, tertuang dalam karya-karyanya.

Karya tulis Bacon yang paling terkenal adalah The Advancement of Learning
(1605), New Atlantis, dan Novum Organum (1620). The Advancement of Learning
berisi pandangan Bacon tentang berakhirnya paradigma ilmiah lama dan awal
paradigma ilmiah baru. Sedangkan Novum Organum dimaksudkan sebagai penolakan
terhadap metode logika deduktif Aristoteles. Bacon juga menginginkan rekonstruksi
menyeleruh bidang seni, pengalaman, dan ilmu pengetahuan manusia dengan
menggunakan metode empiris eksperimental.2

1
Gary B.Ferngren, The History of Science and Religion in the Western Tradition - An Encyclopedia
(New York: Garland Publishing, Inc., 2000), hal. 12-16.
2
Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014),
hal. 115.

6
Selain karya-karya tersebut di atas, karya Bacon yang lain adalah buku yang
berjudul Essays, muncul tahun 1597 dan sedikit demi sedikit diterbitkan lebih luas.
Essays ini ditulis dengan padat dan gaya luar biasa bagus, mengandung kekayaan
mendalam, bukan saja dalam masalah politik melainkan juga menyangkut hal ihwal
pribadi. Beberapa contoh yang khas misalnya pandangannya tentang manusia usia
muda dan usia lanjut.

Tulisan Bacon terpenting adalah yang menyangkut falsafah ilmu pengetahuan.


Dia merencanakan suatu kerja besar Instauratio Magna atau Great Renewal dalam
enam bagian. Bagian pertama dimaksud untuk meninjau kembali keadaan ilmu
pengetahuan kita. Bagian kedua menjabarkan sistem baru penelaahan ilmu. Bagian
ketiga berisikan kumpulan data empiris. Bagian keempat berisi ilustrasi sistem baru
ilmiahnya dalam praktek. Bagian kelima menyuguhkan kesimpulan sementara. Dan
bagian keenam suatu sintesa ilmu pengetahuan yang diperoleh dari metode barunya.
Tidaklah mengherankan, skema raksasa tersebut menjadi suatu pekerjaan paling
ambisius yang sejak jaman Aristoteles–tak pernah terselesaikan.1

Buku terakhir Bacon adalah The New Atlantis, sebuah penjelasan tentang negeri
utopis terletak di sebuah pulau khayalan di Pasifik. Meskipun pokok cerita diilhami
oleh Utopia Sir Thomas Moore, keseluruhan pokok masalah yang terdapat dalam buku
Bacon sepenuhnya berbeda. Dalam buku Bacon, kemakmuran dan keadilan dalam
negara idealnya tergantung pada dan hasil langsung dari hasil pemusatan penyelidikan
ilmiah. Dengan tersirat, tentu saja, Bacon memberitahu pada pembacanya bahwa
penggunaan intelegensia dalam penyelidikan ilmiah dapat membuat Eropa makmur dan
bahagia seperti halnya penduduk yang hidup di pulau khayalan itu.2

Orang selayaknya boleh bilang bahwa Francis Bacon merupakan filsuf modern
pertama. Pandangan keseluruhannya adalah sekuler dan bukannya religius (kendati dia
percaya kepada Tuhan dengan keyakinan teguh). Dia adalah seorang rasionalis dan
bukan orang yang percaya kepada tahayul; seorang empiris dan bukannya seorang
dogmatis yang logikanya mencla-mencle. Di bidang politik dia adalah seorang realis
dan bukan seorang teoritikus. Dengan pengetahuannya yang mendalam dalam

1
Robert C. Solomon, Kathleen M. Higgins, Sejarah Filsafat di terjemahkan oleh Saut Pasaribu
(Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000) hal. 330.
2
Ibid.

7
pengetahuan klasik serta keahlian sastranya yang mantap, dia menaruh simpati terhadap
ilmu pengetahuan dan teknologi. Meskipun dia seorang Inggris yang setia, Bacon punya
pandangan berjangka jauh melampaui batas negerinya. .

3. Empirisme Francis Bacon

Francis Bacon adalah perintis pertama Empirisme. Francis Bacon bukanlah


orang pertama yang menemukan arti kegunaan penarikan kesimpulan secara induktif,
dan juga bukan dia orang pertama yang memahami keuntungan-keuntungan yang
mungkin diraih oleh masyarakat pengembangan ilmu pengetahuan.1

Metode empiris ini oleh Bacon dipandang sebagai penunjuk bagaimana caranya
menyusun data-data yang telah diamati, yang memang diperlukan sekali bagi ilmu
pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus dialaskan kepada penyusunan data-data.2

Francis Bacon telah melakukan suatu perombakan besar pada abad ke-17.
Bacon bermaksud meninggalkan ilmu pengetahuan yang lama dan mengusahakan yang
baru. Hal ini disebabkan karena ilmu pengetahuan yang lama dipandang sebagai tidak
memberi kemajuan, tidak memberi hasil yang bermanfaat, dan tidak menghasilkan hal-
hal baru yang berfaedah bagi hidup.3 Bacon dapat dipandang sebagai orang yang
meletakkan dasar metode induksi modern dan mempelopori usaha sistematisi secara
logis produser ilmiah. Seluruh asas filsafatnya bersifat praktis, yakni untuk menjadikan
manusia menguasai kekuatan-kekuatan alam atau dengan perantara-perantara ilmiah.4

“Pengetahuan adalah kekuasaan” (knowledge is power), demikianlah kata-kata


Bacon yang terkenal. Reputasi Francis Bacon sebagai nenek moyang dari ilmu
pengetahuan modern dikenal dan sangat dihormati. Pertaliannya dengan pengetahuan
dan kekuasaan dalam The New Organon telah disalah artikan oleh banyak kritik
pencerahan yang sangat dihormati, termasuk Adorno, Horkheimer, dan Foucault.
Bacon berpendapat bahwa di awal abad 17, pengetahuan tentang alam hampir tidak ada
karena kegunaannya kurang bernilai (undervalued). Argumennya terkait erat dengan

1
Franz Magnis Suseno, Pustaka Filsafat 13 TOKOH ETIKA, Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19
(Yogyakarta: Kanisius, 1997), hal. 123.
2
Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hal.16.
3
Ibid, hal.15.
4
Rodliyah Khuza’i, Dialog Epistimologi Mohammad Iqqbal dan Charles S. Peirce (Bandung: PT Rafika
Aditama, 2007), hal. 21-22.

8
etika menyeluruhnya, yang mempertanyakan kekuasaan yang mapan serta
menguntungkan umat manusia.1

Menurut Bacon, pengetahuan yang sebenarnya adalah pengetahuan yang


diterima orang melalui persentuhan inderawi dan dunia fakta. Pengalaman merupakan
sumber pengetahuan yang sejati, pengetahuan harus dicapai dengan induksi karena tak
disangkal lagi kita memang sudah terlalu lama dipengaruhi oleh metode deduktif dari
dogma-dogma. Ilmu yang benar adalah yang telah terakumulasi antara pikiran dan
kenyataan, kemudia diperkuat oleh sentuhan inderawi.2 Pengetahuan dan kekuasaan
tidak merupakan suatu kesatuan dan sama bagi Bacon, tetapi mereka berhubungan;
dalam arti bahwa kekuatan manusia diperlukan untuk meningkatkan penyimpanan
pengetahuan manusia, dan tidak dalam arti bahwa pengetahuan alam mengarah
langsung ke kuasa untuk mendominasi sifat atau manusia.

Menurut Bacon filsafat harus dipisahkan dari pada teologi. Agama yang sama
masih juga diterimanya. Ia berpendapat bahwa akal dapat membuktikan adanya Allah.
Akan tetapi mengenai hal-hal yang lain dalam teologi, hal-hal itu hanya dapat dikenal
melalui wahyu. Menurut dia, kemenangan iman adalah yang terbesar jika dogma-
dogma agama tampak sebagai hal-hal yang tidak masuk akal sama sekali. Hal ini
disebabkan karena filsafat hanya tergantung kepada akal semata-mata. Akal manusia
pada dirinya memang tidak berdaya dalam ilmu pengetahuan, sebab tiada keselarasan
atau harmoni yang alamiah di antara akal dan kebenaran. Beberapa banyak keyakinan
yang hingga kini diterima sebenarnya adalah idola3, gambaran-gambaran yang
menyesatkan, pandangan-pandangan yang keliru. Oleh karenanya semua harus
dibasmi. Tugas yang sebenarnya dari ilmu pengetahuan adalah mengusahakan
penemuan-penemuan yang meningkatkan kemakmuran dan hidup yang lebih baik.4

Hingga kini, penemuan-penemuan yang ada hanya karena kebetulan saja. Mulai
sekarang, penemuan-penemuan harus dilakukan secara tugas dan secara metodis. Agar

1
Robert C. Solomon, Kathleen M. Higgins, Sejarah Filsafat di terjemahkan oleh Saut Pasaribu
(Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000), hal. 330.
2
Syamsul Hidayat, Tokoh-Tokoh Filsafat Fajar Budi (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hal. 59-60.
3
Idola adalah rintangan-rintangan bagi kemajuan manusia sebagaimana tampak dalam kemandegan
perkembangan masyarakat dan perilaku bodoh para individunya yang mana enggan menggunakan
kemampuan berpikir kritis.Konsep ini di kemudian hari dikenal sebagai cikal bakal konsep ideologi.
4
Ali Maksum, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2001), hal. 43.

9
tugas itu dapat dilakukan, diperlukan: a) bahwa alam diwawancarai, b) bahwa orang
bekerja menurut suatu metode yang benar, c) bahwa orang-orang bersikap pasif
terhadap bahan-bahan yang disajikan alam, artinya: orang harus menghindarkan diri
dari mengemukakan prasangka-prasangka terlebih dahulu. Hal ini dipandang perlu
guna mencegah timbulnya gambaran-gambaran yang keliru.1

Metode yang benar adalah mengamati-mengamati alam semesta tanpa


prasangka, setelah itu menentukan fakta-fakta berdasarkan percobaan-percobaan yang
berkali-kali dilakukan dengan cara yang bermacam-macam. Jika fakta-fakta itu
diringkas, akhirnya menurut Bacon dengan cara induksi yang benar dan yang berlaku
seperti yang ia kehendaki, orang harus naik dari pengalaman fakta, pengenalan hukum-
hukumnya, seterusnya naik ke bentuk-bentuknya atau unsur-unsur tertentu dari sifat
yang tunggal, seperti umpamanya: panas, terang, berat. Metode induksi ini adalah suatu
proses penyisihan atau pelenyapan, denganya semua sifat yang tidak termasuk sifat
yang tunggal ditiadakan. Tujuanya adalah untuk memiliki sebagai sisanya sifat-sifat
yang menonjol dalam fakta-fakta yang diamati.2

Kepastian yang didapatkan melalui induksi itu dapat dijelaskan umpamanya


sebagai berikut: Bacon ingin menemukan sifat panas. Ia mengandaikan panas sebagai
terdiri dari gerakan-gerakan cepat yang tidak teratur dari bagian-bagian kecil benda-
benda. Supaya sifat panas dapat ditemukan, ia membuat daftar benda-benda panas,
benda-benda dingin, dan juga benda-benda yang mempunyai tingkatan panas yang
bermacam-macam. Ia berharap bahwa daftar-daftar ini akan menampakkan beberapa
corak watak panas yang senantiasa berada dalam benda-benda panas, dan yang
senantiasa tidak berada di dalam benda-benda dingin, serta yang senantiasa berada
dalam benda-benda yang panasnya bermacam-macam tingkatanya. Dengan metode ini,
ia berharap menemukan hukum-hukum umum yang (dengan berbagai pengujian-
pengujian dalam keadaan-keadaan yang baru) dapat naik dari hukum yang masih
rendah tingkatannya menuju ke hukum yang tertinggi. Suatu hukum yang disarankan
harus diuji, yaitu dengan diterapkan kepada keadaan-keadaan yang baru. Jikalau hukum
semacam itu bekerja, maka hukum itu ditetapkan.3

1
Leahy Louis, Esai Filsafat untuk Masa Kini (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991), hal. 63.
2
Ibid, hal. 63.
3
Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hal. 16.

10
Bacon dapat dianggap sebagai perintis metode ilmiah modern yang sekarang
kita sebut induksi. Yang dimaksud dengan metode induksi ini adalah menarik
kesimpulan-kesimpulan umum dari hasil-hasil pengamatan yang bersifat khusus.
Induksi bukanlah penjumlahan belaka dari data-data khusus. Kalau ini dilakukan,
menurut Bacon, induksi menyesatkan, sebab hanyalah generalisasi yang gegabah.

Agar induksi mencapai kesimpulan obyektif yang bersih dari idola-idola


diperlukan apa yang disebutnya “contoh-contoh negatif”. Yang dimaksud adalah kalau
sebuah gejala diselidiki, kita harus mencari contoh yang menyangkal adanya gejala itu.
Misalnya, kalau kita menyelidiki kasus keracunan di sebuah asrama, kita harus
berusaha menemukan contoh yang menggugurkan anggapan bahwa makanan dari
dapur asrama itu penyebabnya. Dengan cara lain, Bacon ingin menghindari generalisasi
yang gegabah.

Dalam induksi yang berhasil, menurut Bacon, harus ada gerak bolak-balik terus
dari data khusus ke kesimpulan yang makin berlaku umum. Di dalam gerak itu,
observasi dan analisis menduduki tempat yang sangat penting.1

Dengan metode ini, Bacon berharap menemukan hukum-hukum yang umum,


yang (dengan pengujian-pengujian dalam keadaan-keadaan yang baru) dapat naik, dari
hukum yang masih rendah tingkatanya menuju ke hukum yang tertinggi. Suatu hukum
yang disarankan harus diuji, yaitu dengan diterapkan kepada keadaan-keadaan yang
baru. Jikalau hukum semacam itu bekerja, maka hukum itu ditetapkan.2

Secara metaforis, Bacon melukiskan bahwa kita tidak boleh menjadi sama
seperti laba-laba yang memintal jaringnya dari apa yang ada di dalam tubuhnya, atau
seperti semut yang semata-mata hanya tahu mengumpulkan, melainkan kita harus sama
seperti lebah yang tahu bagaimana mengumpulkan, akan tetapi juga tahu bagaimana
cara menata. Metode silogistik deduktif digambarkannya dengan laba-laba itu, metode

1
Budi Hardiman, Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern (Jakarta: Gelora Aksara
Pratama, 2011), hal. 27.
2
Harun Handiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hal. 15-16.

11
induktif tradisional seperti semut yang hanya tahu mengumpul, dan metode induktif
yang telah disempurnakanya sama dengan lebah yang tahu mengumpul dan menata.1

C. Kesimpulan

Pada abad ke-17 pemikiran Renaissance mencapai penyempurnaanya pada diri


beberapa tokoh besar. Sekarang terdapat kesatuan yang memberi semangat yang
diperlukan bagi abad-abad berikutnya. Oleh karena itu, pada masa ini yang dipandang
sebagai sumber pengetahuan hanya apa yang secara alamiah dapat dipakai manusia
yaitu akal atau rasio dan pengalaman atau empiris. Orang cenderung untuk memberikan
tekanan kepada salah satu dari keduanya. Pada abad ini muncul dua aliran filsafat yang
saling bertentangan yaitu rasionalisme dan empirisme.

Francis Bacon adalah perintis pertama Empirisme. Francis Bacon bukanlah


orang pertama yang menemukan arti kegunaan penarikan kesimpulan secara induktif,
dan juga bukan dia orang pertama yang memahami keuntungan-keuntungan yang
mungkin diraih oleh masyarakat pengembangan ilmu pengetahuan.

Bacon dapat dianggap sebagai perintis metode ilmiah modern yang sekarang
kita sebut induksi. Yang dimaksud dengan metode induksi ini adalah menarik
kesimpulan-kesimpulan umum dari hasil-hasil pengamatan yang bersifat khusus.
Induksi bukanlah penjumlahan belaka dari data-data khusus. Kalau ini dilakukan,
menurut Bacon, induksi menyesatkan, sebab hanyalah generalisasi yang gegabah.

Secara metaforis, Bacon melukiskan bahwa kita tidak boleh menjadi sama
seperti laba-laba yang memintal jaringnya dari apa yang ada di dalam tubuhnya, atau
seperti semut yang semata-mata hanya tahu mengumpulkan, melainkan kita harus sama
seperti lebah yang tahu bagaimana mengumpulkan, akan tetapi juga tahu bagaimana
cara menata. Metode silogistik deduktif digambarkannya dengan laba-laba itu, metode
induktif tradisional seperti semut yang hanya tahu mengumpul, dan metode induktif
yang telah disempurnakanya sama dengan lebah yang tahu mengumpul dan menata.

1
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2016),
hal.134.

12
Daftar Pustaka

Ahmad Tafsir. Filsafat Ilmu. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006.

-----------------. Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales Sampai Capra. Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2003.

-----------------. Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai James. Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2003.

Akhyar Yusuf Lubis. Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2014.
Ali Maksum. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2001.
Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012.
Asmoro Achmadi. Filsafat Umum. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013.

Bertrand Russel. Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik
Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

Budi Hardiman. Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern. Jakarta:


Gelora Aksara Pratama, 2011.

Franz Magnis Suseno. Pustaka Filsafat 13 TOKOH ETIKA, Sejak Zaman Yunani
Sampai Abad ke-19. Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Harun Hadiwijoyo. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Juhaya S. Praja. Aliran-Aliran Filsafat & Etika. Jakarta: Kencana, 2005.
Leahy Louis. Esai Filsafat untuk Masa Kini. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991.
Muhammad Muslih. Filsafat Ilmu-ilmu. Yogyakarta: Belukar, 2005.

Robert C. Solomon, Kathleen M. Higgins. Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Yayasan


Bentang Budaya, 2000.

Rodliyah Khuza’i. Dialog Epistimologi Mohammad Iqqbal dan Charles S. Peirce.


Bandung: PT Rafika Aditama, 2007.
Syamsul Hidayat. Tokoh-Tokoh Filsafat Fajar Budi. Yogyakarta: Kanisius, 1996.

Zaprulkhan. Filsafat Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer. Jakarta: RajaGrafindo


Persada, 2016.

13

Anda mungkin juga menyukai