A. Pendahuluan
Oleh karena itu, pada masa ini yang dipandang sebagai sumber pengetahuan
hanya apa yang secara alamiah dapat dipakai manusia yaitu akal atau rasio dan
pengalaman atau empiris. Orang cenderung untuk memberikan tekanan kepada salah
satu dari keduanya. Pada abad ini muncul dua aliran filsafat yang saling bertentangan
yaitu rasionalisme dan empirisme.2
1
Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hal. 11.
2
Ibid, hal. 18.
1
tidak mampu menangani hasil-hasil ilmu pengetahuan yang dihadapi. Apa yang
ditanam ahli filsafat sebelumnya juga masih dipengaruhi oleh khayalan-khayalan.
Descartes menginginkan cara yang baru dalam berpikir, maka diperlukan titik
tolak pemikiran pasti yang dapat ditemukan dalam keragu-raguan, cogito ergo sum
(saya berpikir maka saya ada). Jelasnya, bertolak dari keraguan untuk mendapatkan
kepastian.1
Aliran ini muncul di Inggris pada awalnya dipelopori Francis Bacon (1531-
1626). Pada perkebangannya dilanjutkan oleh tokoh-tokoh pasca Descartes seperti
Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), Berkeley (1685-1753), dan
David Hume (1711-1776).2
B. Pembahasan
1. Pengertian Empirisme
1
Asmoro Achmadi, Filsafat Umum (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hal. 115-116.
2
Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu-ilmu (Yogyakarta: Belukar, 2005), hal. 53.
2
bermanfaat, pasti, dan benar hanya diperoleh lewat indera (empiri), dan empirilah satu-
satunya sumber pengetahuan. Pemikiran tersebut lahir dengan nama empirisme.1
Empirisme berasal dari kata Yunani empirikos yang berasal dari kata empeiria,
artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui
pengalamnnya. Bila dikembalikan kepada kata Yunani-nya, pengalaman yang
dimaksud adalah pengalaman inderawi. Manusia tahu es dingin karena ia
menyentuhnya, gula manis karena ia mencicipinya.2 Seorang empiris akan mengatakan,
“Karena saya merasakan hal itu dan karena seorang ilmuan telah mengatakan seperti
itu.” Dalam pernyataan tersebut ada tiga unsur yang perlu, yaitu yang mengetahui
(subjek), yang diketahui (objek), dan cara mengetahui bahwa es itu dingin. Bagaimana
dia mengetahui es itu dingin? Dengan menyentuh langsung lewat alat peraba. Dengan
kata lain, seorang empiris akan mengatakan bahwa pengetahuan itu diperoleh lewat
pengalaman-pengalaman inderawi yang sesuai.3
Teori makna pada aliran empirisme biasanya dinyatakan sebagai teori tentang
asal pengetahuan, yaitu asal-usul ide atau konsep. Pada abad pertengahan teori ini
diringkaskan dalam rumus Nihil est in intellectu quod non prius fuerit in sensu (tidak
ada sesuatu di dalam pikiran kita selain didahului oleh pengalaman). Sebenarnya
1
Asmoro Achmadi, Filsafat Umum (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hal. 116.
2
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai James (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2003), hal. 21.
3
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hal. 98.
4
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hal. 31-32.
5
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales Sampai Capra (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2003), hal. 173.
3
pernyataan ini merupakan tesis Locke yang terdapat dalam bukunya An Essay
Concerning Human Understanding, yang dikeluarkanya tatkala ia menentang ajaran
ide bawaan (innate idea) pada orang-orang rasionalis. Jiwa (mind) itu tatkala orang
dilahirkan keadaanya kosong, laksana kertas putih atau tabula rasa, yang belum ada
tulisan di atasnya, dan setiap ide yang diperoleh mestinya datang melalui pengalaman.
Yang dimaksud pengalaman di sini adalah pengalaman inderawi atau pengetahuan
dengan alat, yang oleh Locke disebut inner sense (penginderaan dalam).1
Pada abad ke-20 kaum empirisme cenderung menggunakan teori makna mereka
pada penentuan apakah suatu konsep diterapkan dengan benar atau tidak, bukan pada
asal-usul pengetahuan. Salah satu contoh penggunaan empirisme secara pragmatis ialah
pada Charles Sanders Pierce dalam kalimat “Tentukanlah apa pengaruh konsep itu pada
praktek yang dapat dipahami kemudian konsep tentang pengaruh itu, itulah konsep
tentang objek tersebut.2
Teori yang kedua yaitu teori pengetahuan, dapat diringkaskan sebagai berikut:
menurut orang rasionalis ada beberapa kebenaran umum, seperti : setiap kejadian tentu
mempunyai sebab, dasar-dasar matematika, dan beberapa prinsip dasar etika, dan
kebenaran-kebenaran itu benar dengan sendirinya yang dikenal dengan istilah
kebenaran a priori yang diperoleh lewat intuisi rasional. Empirisme menolak pendapat
itu. Tidak ada kemampuan intuisi rasional itu. Semua kebenaran yang disebut tadi
adalah kebenaran yang diperoleh lewat observasi, jadi ia kebenaran a posteriori.3
1
Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat & Etika (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 105.
2
Ibid, hal. 174.
3
Ibid, hal. 175.
4
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales Sampai Capra (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2003) hal. 173
4
penganut Empirisme mengatakan bahwa pengalaman tidak lain akibat suatu objek
yang merangsang alat-alat inderawi, kemudian di dalam otak dipahami dan akibat
dari rangsangan tersebut dibentuklah tanggapan-tanggapan mengenai objek yang
telah merangsang alat-alat inderawi tersebut. Empirisme memegang peranan yang amat
penting bagi pengetahuan, malah barangkali merupakan satu-satunya sumber dan dasar
ilmu pengetahuan menurut penganut empirisme.
Dalam pandangan kaum empirisme, rasio saja tanpa merujuk pada pengalaman
inderawi tidak dapat memberi pengetahuan tentang realitas, karena bahan yang
diberikan indera merupakan bangunan dasar bagi seluruh pengetahuan.
Francis Bacon adalah seorang filosof Inggris yang terkenal sebagai pelopor
empirisme Inggris, namun bukan berarti ia ateis. Ia berpendapat bahwa filsafat harus
dipisahkan dari teologi, bukan dicampur sebagaimana skolatisme. Urusan teologi hanya
bisa diketahui oleh wahyu, sedangkan filsafat hanya pada akal semata, karena itulah dia
termasuk pendukung dokrin ‘kebenaran ganda’ yakni akal dan wahyu. Agama yang
dianut Bacon adalah Ortodoks.
Bacon lahir pada tanggal 22 Januari 1561 di York House, London. Ayahnya
adalah pejabat tinggi kerajaan Inggris. Pada usia 12 tahun, Bacon telah belajar di Trinity
College, Cambridge University. Setelah selesai pendidikan di Cambridge, ia diangkat
sebagai staf kedutaan Inggris di Prancis. Pada usia yang cukup muda 23 tahun ia telah
diangkat menjadi anggota parlemen. Pada tahun 1618, James I mengangkatnya menjadi
Lord Chancellor dan kemudian menjadi Viscount St. Albans.2 Setelah lima tahun dari
1
Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014),
hal. 112.
2
Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik Dari Zaman Kuno
Hingga Sekarang (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 711.
5
jabatannya (1628), dia meninggal karena kedinginan ketika melakukan eksperimen
dengan mendinginkan ayam dan membungkusnya dengan salju.
Disisi lain, kian hari semakin diperparah dengan kekuasaan geraja yang terus
mengakar, terlebih ketika disokong oleh bantuan dana yang begitu besar dari kerajaan.
Secara otomatis hal ini menjadikan hegemoni mereka semakin kuat, bukan hanya dalam
ranah menentukan kebijakan publik religius, bahkan termasuk ilmu sains pun tidak
luput dari ketetapan gereja. Terhadap kerisauan ini Francis Bacon mencoba
memberikan gagasan baru dalam memberikan peribahan terhadap keadaan dimana ia
hidup pada saat itu, tertuang dalam karya-karyanya.
Karya tulis Bacon yang paling terkenal adalah The Advancement of Learning
(1605), New Atlantis, dan Novum Organum (1620). The Advancement of Learning
berisi pandangan Bacon tentang berakhirnya paradigma ilmiah lama dan awal
paradigma ilmiah baru. Sedangkan Novum Organum dimaksudkan sebagai penolakan
terhadap metode logika deduktif Aristoteles. Bacon juga menginginkan rekonstruksi
menyeleruh bidang seni, pengalaman, dan ilmu pengetahuan manusia dengan
menggunakan metode empiris eksperimental.2
1
Gary B.Ferngren, The History of Science and Religion in the Western Tradition - An Encyclopedia
(New York: Garland Publishing, Inc., 2000), hal. 12-16.
2
Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014),
hal. 115.
6
Selain karya-karya tersebut di atas, karya Bacon yang lain adalah buku yang
berjudul Essays, muncul tahun 1597 dan sedikit demi sedikit diterbitkan lebih luas.
Essays ini ditulis dengan padat dan gaya luar biasa bagus, mengandung kekayaan
mendalam, bukan saja dalam masalah politik melainkan juga menyangkut hal ihwal
pribadi. Beberapa contoh yang khas misalnya pandangannya tentang manusia usia
muda dan usia lanjut.
Buku terakhir Bacon adalah The New Atlantis, sebuah penjelasan tentang negeri
utopis terletak di sebuah pulau khayalan di Pasifik. Meskipun pokok cerita diilhami
oleh Utopia Sir Thomas Moore, keseluruhan pokok masalah yang terdapat dalam buku
Bacon sepenuhnya berbeda. Dalam buku Bacon, kemakmuran dan keadilan dalam
negara idealnya tergantung pada dan hasil langsung dari hasil pemusatan penyelidikan
ilmiah. Dengan tersirat, tentu saja, Bacon memberitahu pada pembacanya bahwa
penggunaan intelegensia dalam penyelidikan ilmiah dapat membuat Eropa makmur dan
bahagia seperti halnya penduduk yang hidup di pulau khayalan itu.2
Orang selayaknya boleh bilang bahwa Francis Bacon merupakan filsuf modern
pertama. Pandangan keseluruhannya adalah sekuler dan bukannya religius (kendati dia
percaya kepada Tuhan dengan keyakinan teguh). Dia adalah seorang rasionalis dan
bukan orang yang percaya kepada tahayul; seorang empiris dan bukannya seorang
dogmatis yang logikanya mencla-mencle. Di bidang politik dia adalah seorang realis
dan bukan seorang teoritikus. Dengan pengetahuannya yang mendalam dalam
1
Robert C. Solomon, Kathleen M. Higgins, Sejarah Filsafat di terjemahkan oleh Saut Pasaribu
(Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000) hal. 330.
2
Ibid.
7
pengetahuan klasik serta keahlian sastranya yang mantap, dia menaruh simpati terhadap
ilmu pengetahuan dan teknologi. Meskipun dia seorang Inggris yang setia, Bacon punya
pandangan berjangka jauh melampaui batas negerinya. .
Metode empiris ini oleh Bacon dipandang sebagai penunjuk bagaimana caranya
menyusun data-data yang telah diamati, yang memang diperlukan sekali bagi ilmu
pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus dialaskan kepada penyusunan data-data.2
Francis Bacon telah melakukan suatu perombakan besar pada abad ke-17.
Bacon bermaksud meninggalkan ilmu pengetahuan yang lama dan mengusahakan yang
baru. Hal ini disebabkan karena ilmu pengetahuan yang lama dipandang sebagai tidak
memberi kemajuan, tidak memberi hasil yang bermanfaat, dan tidak menghasilkan hal-
hal baru yang berfaedah bagi hidup.3 Bacon dapat dipandang sebagai orang yang
meletakkan dasar metode induksi modern dan mempelopori usaha sistematisi secara
logis produser ilmiah. Seluruh asas filsafatnya bersifat praktis, yakni untuk menjadikan
manusia menguasai kekuatan-kekuatan alam atau dengan perantara-perantara ilmiah.4
1
Franz Magnis Suseno, Pustaka Filsafat 13 TOKOH ETIKA, Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19
(Yogyakarta: Kanisius, 1997), hal. 123.
2
Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hal.16.
3
Ibid, hal.15.
4
Rodliyah Khuza’i, Dialog Epistimologi Mohammad Iqqbal dan Charles S. Peirce (Bandung: PT Rafika
Aditama, 2007), hal. 21-22.
8
etika menyeluruhnya, yang mempertanyakan kekuasaan yang mapan serta
menguntungkan umat manusia.1
Menurut Bacon filsafat harus dipisahkan dari pada teologi. Agama yang sama
masih juga diterimanya. Ia berpendapat bahwa akal dapat membuktikan adanya Allah.
Akan tetapi mengenai hal-hal yang lain dalam teologi, hal-hal itu hanya dapat dikenal
melalui wahyu. Menurut dia, kemenangan iman adalah yang terbesar jika dogma-
dogma agama tampak sebagai hal-hal yang tidak masuk akal sama sekali. Hal ini
disebabkan karena filsafat hanya tergantung kepada akal semata-mata. Akal manusia
pada dirinya memang tidak berdaya dalam ilmu pengetahuan, sebab tiada keselarasan
atau harmoni yang alamiah di antara akal dan kebenaran. Beberapa banyak keyakinan
yang hingga kini diterima sebenarnya adalah idola3, gambaran-gambaran yang
menyesatkan, pandangan-pandangan yang keliru. Oleh karenanya semua harus
dibasmi. Tugas yang sebenarnya dari ilmu pengetahuan adalah mengusahakan
penemuan-penemuan yang meningkatkan kemakmuran dan hidup yang lebih baik.4
Hingga kini, penemuan-penemuan yang ada hanya karena kebetulan saja. Mulai
sekarang, penemuan-penemuan harus dilakukan secara tugas dan secara metodis. Agar
1
Robert C. Solomon, Kathleen M. Higgins, Sejarah Filsafat di terjemahkan oleh Saut Pasaribu
(Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000), hal. 330.
2
Syamsul Hidayat, Tokoh-Tokoh Filsafat Fajar Budi (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hal. 59-60.
3
Idola adalah rintangan-rintangan bagi kemajuan manusia sebagaimana tampak dalam kemandegan
perkembangan masyarakat dan perilaku bodoh para individunya yang mana enggan menggunakan
kemampuan berpikir kritis.Konsep ini di kemudian hari dikenal sebagai cikal bakal konsep ideologi.
4
Ali Maksum, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2001), hal. 43.
9
tugas itu dapat dilakukan, diperlukan: a) bahwa alam diwawancarai, b) bahwa orang
bekerja menurut suatu metode yang benar, c) bahwa orang-orang bersikap pasif
terhadap bahan-bahan yang disajikan alam, artinya: orang harus menghindarkan diri
dari mengemukakan prasangka-prasangka terlebih dahulu. Hal ini dipandang perlu
guna mencegah timbulnya gambaran-gambaran yang keliru.1
1
Leahy Louis, Esai Filsafat untuk Masa Kini (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991), hal. 63.
2
Ibid, hal. 63.
3
Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hal. 16.
10
Bacon dapat dianggap sebagai perintis metode ilmiah modern yang sekarang
kita sebut induksi. Yang dimaksud dengan metode induksi ini adalah menarik
kesimpulan-kesimpulan umum dari hasil-hasil pengamatan yang bersifat khusus.
Induksi bukanlah penjumlahan belaka dari data-data khusus. Kalau ini dilakukan,
menurut Bacon, induksi menyesatkan, sebab hanyalah generalisasi yang gegabah.
Dalam induksi yang berhasil, menurut Bacon, harus ada gerak bolak-balik terus
dari data khusus ke kesimpulan yang makin berlaku umum. Di dalam gerak itu,
observasi dan analisis menduduki tempat yang sangat penting.1
Secara metaforis, Bacon melukiskan bahwa kita tidak boleh menjadi sama
seperti laba-laba yang memintal jaringnya dari apa yang ada di dalam tubuhnya, atau
seperti semut yang semata-mata hanya tahu mengumpulkan, melainkan kita harus sama
seperti lebah yang tahu bagaimana mengumpulkan, akan tetapi juga tahu bagaimana
cara menata. Metode silogistik deduktif digambarkannya dengan laba-laba itu, metode
1
Budi Hardiman, Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern (Jakarta: Gelora Aksara
Pratama, 2011), hal. 27.
2
Harun Handiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hal. 15-16.
11
induktif tradisional seperti semut yang hanya tahu mengumpul, dan metode induktif
yang telah disempurnakanya sama dengan lebah yang tahu mengumpul dan menata.1
C. Kesimpulan
Bacon dapat dianggap sebagai perintis metode ilmiah modern yang sekarang
kita sebut induksi. Yang dimaksud dengan metode induksi ini adalah menarik
kesimpulan-kesimpulan umum dari hasil-hasil pengamatan yang bersifat khusus.
Induksi bukanlah penjumlahan belaka dari data-data khusus. Kalau ini dilakukan,
menurut Bacon, induksi menyesatkan, sebab hanyalah generalisasi yang gegabah.
Secara metaforis, Bacon melukiskan bahwa kita tidak boleh menjadi sama
seperti laba-laba yang memintal jaringnya dari apa yang ada di dalam tubuhnya, atau
seperti semut yang semata-mata hanya tahu mengumpulkan, melainkan kita harus sama
seperti lebah yang tahu bagaimana mengumpulkan, akan tetapi juga tahu bagaimana
cara menata. Metode silogistik deduktif digambarkannya dengan laba-laba itu, metode
induktif tradisional seperti semut yang hanya tahu mengumpul, dan metode induktif
yang telah disempurnakanya sama dengan lebah yang tahu mengumpul dan menata.
1
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2016),
hal.134.
12
Daftar Pustaka
-----------------. Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales Sampai Capra. Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2003.
-----------------. Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai James. Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2003.
Akhyar Yusuf Lubis. Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2014.
Ali Maksum. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2001.
Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012.
Asmoro Achmadi. Filsafat Umum. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013.
Bertrand Russel. Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik
Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Franz Magnis Suseno. Pustaka Filsafat 13 TOKOH ETIKA, Sejak Zaman Yunani
Sampai Abad ke-19. Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Harun Hadiwijoyo. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Juhaya S. Praja. Aliran-Aliran Filsafat & Etika. Jakarta: Kencana, 2005.
Leahy Louis. Esai Filsafat untuk Masa Kini. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991.
Muhammad Muslih. Filsafat Ilmu-ilmu. Yogyakarta: Belukar, 2005.
13