Anda di halaman 1dari 217

i

ANALISIS STRUKTUR DAN FUNGSI GUAL DALAM UPACARA SAYUR


MATUA MASYARAKAT SIMALUNGUN DI KECAMATAN RAYA

Tesis
Program Studi Magister
Penciptaan dan Pengkajian Seni

diajukan oleh
DENATA RAJAGUKGUK
NIM 167037001

Kepada

PROGRAM STUDI MAGISTER


PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018

i
ANALISIS STRUKTUR DAN FUNGSI GUAL DALAM UPACARA SAYUR
MATUA MASYARAKAT SIMALUNGUN DI KECAMATAN RAYA

diajukan oleh
Denata Rajagukguk
NIM 167037001

Telah disetujui oleh:


Komisi Pembimbing

Ketua,

Drs. Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D. tanggal ............................


NIP 0021126501

Anggota,

Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M,Si. tanggal .............................


NIP 0008285604

Program Studi Magister


Penciptaan dan Pengkajian Seni
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara

Ketua,

Drs. Muhammad Takari, M. Hum, Ph.D. tanggal……………………

ii
ABSTRAK

Tesis ini berjudul “Analisis Struktur dan Fungsi Gual dalam Upacara
Sayur Matua Masyarakat Simalungun di Kecamatan Raya.” Analisis difokuskan
kepada: (1) upacara sayur matua, (2) fungsi gual, dan (3) struktur gual.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pengumpulan data melalui
penelitian lapangan, wawancara, perekaman data audiovisual, dan sebagai
pengamat terlibat. Untuk menganalisis fungsi gual di dalam upacara sayur matua
digunakan teori penggunaan dan fungsi dari Merriam, ditambah teori
fungsionalisme dari Malinowski. Dalam hal menganalisis struktur gual
dipedomani teori weighted scale dari Malm ditambah dengan teori struktur musik
dari Nettl, Titon, Slobin, dan Apel. Dalam menganalisis upacara sayur matua
digunakan teori upacara dari Sunjata. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini
adalah, secara konseptual bagi masyarakat Simalungun jika seseorang sudah
berada pada status meninggal sayur matua (semua anaknya telah menikah dan
berhasil dalam kehidupan), maka orang yang meninggal tersebut dipersepsikan
telah berhasil pada kehidupan yang dia tinggalkan. Istilah gual bagi masyarakat
Simalungun adalah komposisi musik tanpa vokal yang pembawa melodinya
dibawakan oleh sarunei. Biasanya gual dibawakan dalam dua ensambel, yakni
gonrang sipitu-pitu dan gonrang dua. (A) Tahapan-tahapan yang harus dilalui
atau dilaksanakan pada upacara sayur matua: (a) padalan tugah-tugah, (b) riah
tongah jabu, (c) tampei porsa, (d) pahata gonrang, (e) mandingguri, (f)
mangoromi, (g) pamasuk hu rumah-rumah, (h) pangiligion, (i) hio parpudi, dan
(j) paragendaon. (B) Guna gual dalam upacara ini adalah: (i) untuk mengiringi
upacara adat sayur matua dan (ii) memeriahkan jalannya upacara, di sisi lain
fungsi gual dalam upacara sayur matua adalah: (a) untuk mengabsahkan upacara,
(b) sebagai sarana integrasi sosial, (c) sebagai ekspresi emosi gembira dan
sekaligus sedih, (d) sebagai sarana doa kepada Tuhan, dan (e) sebagaisarana
hiburan. (C) Pada upacara adat sayur matua ada lima gual yang wajib dimainkan:
(1) Gual Huda-huda, (2) Gual Parahot, (3) Gual Sayur Matua, (4) Gual
Rambing-rambing, dan (5) Gual Dinggur-dinggur. Struktur yang diperoleh dari
gual ialah sebagai berikut: (1) tangga nada yang digunakan adalah heksatonik,
bes – c – cis – f – g –as, (2) jumlah nada-nada didominasi nada C 43% pada gual
parahot, nada C 44% pada gual huda-huda, nada F 45% pada gual rambing-
rambing, nada C 47% pada gual sayur matua, nada C 39% pada gual dinggur-
dinggur, (3) nada dasar yang digunakan pada gual yaitu bes, (4) wilayah nada
yaitu nada paling rendah C dan nada paling tinggi G, (5) pola kadensa gual terdiri
dari satu dan dua pola kadensa. Yang memiliki dua pola kadensa gual parahot
dan gual dinggur-dinggur, sementara gual sayur matua, gual rambing-rambing
dan gual huda-huda memiliki satu pola kadensa, (6) kontur yang terdapat pada
kelima gual tersebut discending, pendulos, dan teracced, (7) Meter yang
digunakan kelima gual tersebut 4/4, (8) Tempo ketukan dasar rata-rata per menit
yang terdapat pada gual parahot 112, gual huda-huda 57, gual rambing-rambing
55, gual sayur matua 75, dangual dinggur-dinggur 110.

Kata kunci: fungsi, gual, sayur matua, struktur.

iii
ABSTRACT

This thesis is titled "Analysis of Structural and Functions of Gual in the


Sayur Matua Ceremony of the Simalungun Community in the Raya District." The
analysis focused on: (1) the sayur matua ceremony, (2) functions, and (3) the
gual structure. This study uses qualitative methods with data collection through
field research, interviews, recording audiovisual data, and as a participant
observer. To analyze the gual function in the sayur matua ceremony, Merriam's
use and function theory was used, plus the functionalism theory of Malinowski. In
terms of analyzing the gual structure, it was guided by the weighted scale theory
of Malm coupled with the music structure theory of Nettl, Titon, Slobin, and
Apel. In analyzing the sayur matua ceremony, ceremonial theory from Sunjata is
used. The results obtained from this study are, conceptually for the Simalungun
community if someone is already in the sayur matua death status (all of his
children are married and succeed in life), then the deceased person is perceived as
having succeeded in the life he left behind. The term gual for the people of
Simalungun is the composition of music without vocals that carries the melody by
sarunei (shawm). Usually the song is carried in two ensembles, namely gonrang
sipitu-pitu and gonrang dua.(A) The stages that must be passed or carried out at
the sayur matua ceremony: (a) padalan tugah-tugah, (b) riah tongah jabu, (c)
tampei porsa, (d) pahata gonrang, (e) mandingguri, (f ) mangoromi, (g) pamasuk
hu rumah-rumah, (h) pangiligion, (i) hio parpudi, and (j) paragendaon. (B) The
use of gual activity in this ceremony are: (i) to accompany sayur matua
traditional ceremonies and (ii) enliven the course of the ceremony, on the other
hand the gual function in the sayur matua ceremony is: (a) to validate the
ceremony, (b) as a means social integration, (c) as an emotional expression of joy
and sadness, (d) as a means of prayer to God, and (e) as a means of entertainment.
(C) There are five guals that must be played in the sayur matua ceremony: (1)
Guda Huda-huda, (2) Gual Parahot, (3) Gual Sayur Matua, (4) Gual Rambing-
Rambing, and (5) Gual Dinggur-dinggur. The structure obtained from gual is as
follows: (1) the scales used hexatonic, bes - c - cis - f - g - as, (2) the number of
tones is predominantly C tone 43% in the gual parahot, C tone 44% in gual huda-
huda, F tone 45% on the gual rambing-rambing, C 47% on sayur matua, C tone
39% on the gual dinggur-dinggur, (3) the basic tone used in all guals is bes, (4)
tone area that is, the lowest tone is C and the highest tone is G, (5) the cadence
pattern consists of one and two cadence patterns. Those who have two patterns of
gual parahot and dinggur-dinggur, while gual sayur matua, gual rambing-
rambing, and gual huda-huda have one cadence pattern. (6) the contour at five
guals are discending, pendulous, and teracced. (7) The meter used by the five
bulls is 4/4, (8) The basic beat rate per minute is found on gual parahot 112, gual
huda-huda 57, gual rambing-rambing 55, gual sayur matua 75, and gual
dinggur-dinggur 110.

Keywords: function, gual, sayur matua, structure.

iv
PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak pernah terdapat

karya yang diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan

tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat

yang pernah ditulis atau yang pernah diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang

secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan di dalam daftar pustaka.

Medan, . September 2018

Denata Rajagukguk
NIM 167037001

v
PRAKATA

Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas pernyetaan-Nya dan

kasih karunia kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini pada

Program Studi Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya,

Universitas Sumatera Utara. Tesis ini berjudul “Analisis Fungsi dan Struktur Gual

dalam upacara sayur matua masyarakat Simalungun di Kecamatan Raya.

Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister

Seni (M.Sn) pada Program Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas

Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, Medan. Tesis ini merupakan hasil

penelitian yang membahas analisis fungsi dan struktur gual dalam upacara sayur

matua masyarakat Simalungun di Kecamatan Raya, adapun pokok permasalahan

yang timbul yaitu tentang proses upacara adat kematian Sayur Matua, fungsi gual

tersebut, dan struktur gual yang disajikan pada Sayur Matua.

Pada kesempatan ini penulis ingin berterima kasih kepada berbagai pihak atas

penyelesaian tesis ini, tentu saja bantuan maupun dukungan yang diterima penulis

sangat berarti bagi penyelesaian tesis ini, untuk itu penulis mengucapkan banyak

terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum. sebagai Rektor Universitas Sumatera

Utara, dan segenap jajarannya yang telah menata dan bertanggung jawab

atas segala urusan akademik Universitas Sumatera Utara.

vi
2. Dr. Budi Agustono, M.S sebagai Dekan Fakultas Universitas Sumatera

Utara dan segenap jajarannya yang telah memfasilitasi urusan akademik

Fakultas Ilmu Budaya.

3. Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D selaku ketua Prodi Magister

Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya dan sebagai Dosen

Pembimbing I penulis yang memberikan banyak arahan mengenai Tesis

ini.

4. Drs. Torang Naiborhu, M.Hum., selaku sekertaris Prodi Magister

Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya, atas bimbingan

akademis dan juga arahan kepada penulis.

5. Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution sebagai Dosen Pembimbing II yang

memberikan waktunya untuk membimbing penulis agar tesis ini

terselesaikan dengan baik.

6. Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si selaku Dosen Etnomusikologi

Universitas Sumatera Utara sekaligus budayawan Simalungun yang telah

banyak memberikan informasi terkait tesis ini.

7. Drs. Kumalo Tarigan, M.A., Ph.D., selaku Dosen Prodi Magister

Penciptaan dan Pengkajian Seni sekaligus sebagai dosen penguji tesis ini.

8. Dr. Asmyta Surbakti, M.Si selaku Dosen Prodi Magister Penciptaan dan

Pengkajian Seni sekaligus sebagai dosen penguji tesis ini.

9. Dr. Dardanila, M.Hum selaku Dosen Prodi Magister Penciptaan dan

Pengkajian Seni sekaligus sebagai dosen penguji tesis ini.

vii
10. Seluruh dosen Prodi Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas

Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya

kepada penulis.

11. Seluruh dosen Prodi S-1 Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu

Budaya, Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat disebutkan namanya

satu persatu, buat ilmu dan didikan selama masa perkuliahan sarjana.

12. Drs. Ponisan selaku pegawai sataf administrasi Prodi Magister Penciptaan

dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

13. Bapak J Badu Purba sebagai informan kunci yang bersedia memberikan

informasi terkait tesis ini, juga kepada informan pendukung yang telah

bersedia membantu penulis.

14. Kedua orang tua saya Almarhum Drs. Daris Rajagukguk M.Pd dan ibu

Serlina Lumbanraja yang telah mendukung saya baik materi, motivasi dan

kasih sayang sebagai orang tua serta segala hal keperluan penulis.

15. Adik saya Ganda pola Rajagukguk, Andreas kusuma Rajagukguk,

Novitasari Rajagukguk, Dorkas Agustina Rajagukguk, yang telah

memberikan dukungan secara moril kepada penulis.

16. Ayu Permatasari Lumbantoruan S.Sn yang telah setia menemani dalam

proses penyelesaian tesis ini dan juga mendukung secara moril serta

membantu dalam transkripsi notasi dalam tesis ini.

17. Ingrid aritonang, Andreas yohannes saragih, hiskia, rosnita selaku adik-

adik saya yang telah memberikan banyak bantuan dalam proses penelitian

lapangan.

viii
DAFTAR ISI

ABSTRAK......................................................................................................... iii
PERNYATAAN ................................................................................................. v
PRAKATA ........................................................................................................ vi
DAFTAR ISI ..................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xii
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xiii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ........................................................................ xiv

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1


1.1 Latar Belakang Masalah..................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................. 11
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian.......................................................... 12
1.3.1 Tujuan penelitian ........................................................................... 12
1.3.2 Manfaat penelitian ......................................................................... 13
1.4 Tinjauan Pustaka .............................................................................. 14
1.4.1 Penelitian lapangan dan wawancara ......................................... 17
1.4.2 Observasi........................................................................................ 17
1.4.3 Wawancara..................................................................................... 18
1.4.4 Kerja laboratorium ........................................................................ 18
1.5 Konsep dan Teori.............................................................................. 19
1.5.1 Konsep ........................................................................................... 19
1.5.1.1 Kebudayaan ................................................................................ 19
1.5.1.2 Penggunaan dan fungsi .............................................................. 20
1.5.1.3 Gual ............................................................................................. 21
1.5.1.4 Sayur Matua................................................................................ 22
1.5.1.5 Struktur ....................................................................................... 22
1.5.2 Teori ............................................................................................... 22
1.6 Metode Penelitian ............................................................. 31

BAB II DESKRIPSI MASYARAKAT SIMALUNGUN DI KECAMATAN


RAYA.................................................................................................. 41
2.1 Letak Geografis Simalungun .......................................................... 41
2.2 Sistem Kekerabatan ........................................................................ 42
2.2.1 Struktur Sosial Tolu Sahundulan Lima Saodoran ....................... 47
2.3 Mata Pencaharian .......................................................................... 47
2.4 Bahasa ........................................................................................... 49
2.5 Kesenian......................................................................................... 51
2.5.1 Seni Sastra...................................................................................... 51
2.5.2 Seni Musik ..................................................................................... 52
2.5.3 Seni Tari ......................................................................................... 53
2.5.4 Seni Rupa ....................................................................................... 55

ix
2.6 Agama dan Kepercayaan ................................................................ 55

BAB III UPACARA SAYUR MATUA PADA MASYARAKAT


SIMALUNGUN DI KECAMATAN RAYA ...................................... 58
3.1 Sayur Matua dalam Budaya Simalungun ........................................ 58
3.2 Tatacara Adat Kematian Sayur matua ............................................. 59
3.2.1 Padalan tugah-tugah..................................................................... 60
3.2.2 Riah Tongah Jabu ......................................................................... 62
3.2.3 Tampei Porsa ................................................................................. 63
3.2.4 Pahata gonrang oleh cucu laki-laki dan perempuan sulung ...... 65
3.2.5 Mandingguri .................................................................................. 66
3.2.5.1 Mamungka gonrang ...................................................................66
3.2.5.2 Mandingguri hasutan bolon ...................................................... 66
3.2.6 Mangoromi na matei ..................................................................... 67
3.2.7 Pamasuk hu rumah-rumah............................................................ 68
3.2.8 Pangiligion .................................................................................... 69
3.2.9 Hio Parpudi dan manangkih gonrang ........................................... 72
3.2.10 Paragendaon ............................................................................... 74

BAB IV GUNA DAN FUNGSI GUAL DALAM UPACARA SAYUR MATUA


PADA MASYARAKAT SIMALUNGUN .......................................... 78
4.1 Pengantar ....................................................................................... 78
4.2 Pengertian Gual .............................................................................. 78
4.2.1 Gual Parahot ........................................................................ 79
4.2.2 Gual Huda-huda ................................................................... 79
4.2.3 Gual Rambing-rambing ................................................................ 80
4.2.4 Gual Sayur Matua ......................................................................... 80
4.2.5 Gual dinggur-dinggur ...................................................................81
4.3 Pengertian Fungsi ........................................................................... 81
4.3.1 Penggunaan Gual .................................................................. 84
4.3.1.1 Untuk mengiringi upacara adat sayur matua............................ 85
4.3.1.2 Memeriahkan Jalannya Upacara ............................................... 85
4.3.2 Fungsi Gual .......................................................................... 86
4.3.2.1 Untuk mengabsahkan upacara adat sayur matua ..................... 86
4.3.2.2 Sebagai sarana integrasi sosial .................................................. 86
4.3.2.3 Sebagai ekspresi emosi gembira dan sekaligus sedih .............. 87
4.3.2.4 Sebagai sarana doa kepada Tuhan............................................. 87
4.3.2.5 Sebagai sarana hiburan .............................................................. 88

BAB V ANALISIS STRUKTUR GUAL


PADA UPACARA SAYUR MATUA................................................................ 91
5.1. Analisis Struktur Gual ................................................................... 91
5.1.1 Tangga Nada .................................................................................. 91
5.1.1.1 Parahot ........................................................................................ 92
5.1.1.2 Huda-huda................................................................................... 92

x
5.1.1.3 Rambing-rambing ...................................................................... 93
5.1.1.4 Sayur Matua................................................................................ 93
5.1.1.5 Dinggur-dinggur ......................................................................... 94
5.1.2 Jumlah Nada-nada ................................................................ 94
5.1.2.1 Parahot ........................................................................................ 95
5.1.2.2 Huda-huda................................................................................... 95
5.1.2.3 Rambing-rambing ...................................................................... 96
5.1.2.4 Sayur Matua................................................................................ 97
5.1.2.5 Dinggur-dinggur ......................................................................... 98
5.1.3 Nada Dasar..................................................................................... 99
5.1.3.1 Parahot ...................................................................................... 100
5.1.3.2 Huda-huda .............................................................. 101
5.1.3.3 Rambing-rambing .................................................................... 101
5.1.3.4 Sayur Matua.............................................................................. 101
5.1.3.5 Dinggur-dinggur ....................................................................... 102
5.1.4 Wilayah Nada .............................................................................. 102
5.1.4.1 Parahot ...................................................................................... 103
5.1.4.2 Huda-huda................................................................................. 103
5.1.4.3 Rambing-rambing ................................................... 104
5.1.4.4 Sayur Matua.............................................................................. 104
5.1.4.5 Dinggur-dinggur ..................................................... 104
5.1.5 Pola-pola Kadensa ....................................................................... 105
5.1.5.1 Parahot ...................................................................................... 105
5.1.5.2 Huda-huda................................................................................. 106
5.1.5.3 Rambing-rambing .................................................................... 107
5.1.5.4 Sayur Matua.............................................................................. 108
5.1.5.5 Dinggur-dinggur ....................................................................... 109
5.1.6 Kontur .......................................................................................... 109
5.1.6.1 Parahot ................................................................... 110
5.1.6.2 Huda-huda................................................................................. 111
5.1.6.3 Rambing-rambing .................................................................... 111
5.1.6.4 Sayur Matua.............................................................................. 111
5.1.6.5 Dinggur-dinggur ....................................................................... 112
5.1.7 AnalisisMeter............................................................................... 112
5.1.8 Analisis Pulsa .............................................................................. 118

BAB VI PENUTUP ........................................................................................ 124


6.1 Kesimpulan .................................................................................. 124
6.2 Saran ............................................................................................ 128
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 129
DAFTAR INFORMAN .................................................................................. 132
GLOSARIUM ................................................................................................ 134
LAMPIRAN ................................................................................................... 136

xi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1: Penyerahan batu ni demban ........................................................... 61


Gambar 3.2: Penggunaan porsa (kain putih di ikat kepala) ................................. 64
Gambar 3.3: Proses pemindahan jenazah ke dalam peti ...................................... 69
Gambar 3.4: Tondong membuka boras tenger .................................................... 70
Gambar 3.5: Tondong memberikan hiou parpudi ............................................... 74

xii
DAFTAR TABEL
Tabel 5.1 Tabel Jumlah Nada Gual Parahot ................................................................... 95
Tabel 5.2 Tabel Jumlah Nada Gual Huda-huda .............................................................. 96
Tabel 5.3 Tabel Jumlah Nada Gual Rambing-rambing ................................................... 96
Tabel 5.4 Tabel Jumlah Nada Gual Sayur Matua ........................................................... 97
Tabel 5.5 Jumlah Nada Gual Dinggur-dinggur............................................................... 98
Tabel 6.1 Tabel Tahapan Upacara Sayur Matua .................. Error! Bookmark not defined.

xiii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Denata Rajagukguk


Tempat/Tanggal Lahir : Samarinda, 12 November 1992
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Kristen Protestan
Kewarganegaraan : Indonesia
Nomor Telepon : 081360046134
Alamat : Dusun XV Jati Permai
Desa Pasar Melintang, Kecamatan Lubuk Pakam,
Kabupaten Deli Serdang
Pekerjaan : Wirausaha

xiv
PENDIDIKAN
1. SD Negeri 101901 Lubuk Pakam Lulus tahun 2004
2. SMP Negeri 1 Lubuk Pakam Lulus tahun 2007
3. SMA RK Serdang Murni Lubuk Pakam Lulus tahun 2010
4. Sarjana Jurusan Etnomusikologi Lulus tahun 2015
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara

PENGALAMAN DI BIDANG KESENIAN


1. Festival Radio Republik Indonesia di Medan pada tahun 2009
2. Festival Musik Gerejawi bernuansa Etnis di Tarutung pada tahun 2013
3. Asian Beat Acoustic di Medan pada tahun 2014
4. North Sumatera Jazz Festival di Medan pada tahun 2016
5. Musik Jazz TVRI Sumut pada tahun 2016
6. Festival Band Rohani Piala Ketua DPRD Medan Bamagnas pada tahun
2016
7. Seminar Seni Budaya Nusantara Antar Bangsa di UiTM Malaysia pada
tahun 2017
8. Jong Bataks Arts Festival #4 di Medan pada tahun 2017
9. Pertunjukan dan Diskusi Musik oleh Medan Creative Hub pada tahun
2018
10. Andung-andung Tao Toba di Taman Budaya Sumatera Utara pada tahun
2018
11. Tao Silalahi Arts Festival di Paropo pada tahun 2018

xv
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia dikenal dengan keberagaman suku dan etniknya, setiap

suku dan etnik tentunya memiliki kekhasan ada istiadat dan budaya1 masing-

masing. Dalam setiap warisan budaya nenek moyang yang sudah ada sejak dahulu

dan salah satunya kesenian yang turun-temurun diwariskan kepada generasinya

walaupun pada setiap perkembangannya tidak bisa dijaga keutuhannya, ada seni

tari, seni ukir, seni tekstil, seni patung, serta seni musik. Simalungun adalah salah

satu etnik yang terdapat di Sumatera Utara. Etnik Simalungun dimasukkan dalam

sub etnik Batak, bersama sub-sub etnik Batak lainnya ialah Karo, Toba, Pakpak,

Mandailing, dan Angkola. Bagi etnik2 Simalungun musik menjadi sebuah

1
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terdapat “perbedaan kecil” (nuansa)
antara istilah budaya dan kebudayaan. Kata budaya (bu.da.ya) n. 1. pikiran, akal budi; 2. adat
istiadat; 3. sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju); 4. sesuatu yang
menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah. Di sisi lain, kebudayaan (ke.bu.da.ya.an), n. 1. hasil
kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat;
2. dalam ilmu antropologi adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang
digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah
lakunya.
2
Dalam tesis ini, konsep mengenai etnik atau kelompok etnik (ethnic group) atau dalam
bahasa Indonesia suku bangsa atau suku, menurut disiplin ilmu antropologi adalah (melalui
Narroll, 1964), sebagai populasi yang: (1) secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan;
(2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam sebuah
bentuk budaya; (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri; dan (4) menentukan ciri
kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok
populasi lain.Dalam rangka mengkaji kelompok etnik ini adalah pentingnya asumsi bahwa
mempertahankan batas etnik tidaklah penting, karena hal ini akan terjadi dengan sendirinya,
akibat adanya faktor-faktor isolasi seperti: perbedaan ras, budaya, sosial,dan bahasa. Asumsi ini
juga membatasi pemahaman berbagai faktor yang membentuk keragaman budaya. Hal ini juga
mengakibatkan seorang ahli antropologi berkesmpulan bahwa setiap kelompok etnik
mengembangkan budaya dan bentuk sosialnya dalam kondisi terisolasi. Ini terbentuk karena faktor
ekologi setempat yang menyebabkan berkembangnya kondisi adaptasi dan daya cipta dalam
kelompok tersebut. Kondisi seperti ini telah menghasilkan suku bangsa dan bangsa yang berbeda-
beda di dunia. Setiap bangsa memiliki budaya dan masyarakat pendukung tersendiri. Dalam tulisan

1
2

kebutuhan yang banyak digunakan untuk tujuan hiburan, ritual, serta upacara adat.

Pada masyarakat Simalungun ada dua jenis ensambel musiknya yang disebut

gonrang. Yang pertama adalah gonrang sidua-dua dan kedua, gonrang sipitu-pitu

atau disebut juga sebagai gonrang bolon. Sidua-dua yang berarti sepasang atau

dua buah alat musik gendang. Gonrang sipitu-pitu mengacu pada jumlah alat

musik berupa gendang yang digunakan yaitu berjumlah tujuh, sedangkan

pengertian bolon diartikan besar. Gonrang sipitu-pitu secara umum banyak

digunakan untuk berbagai upacara yaitu perkawinan dan kematian.3

Istilah yang paling lazim dalam menyebutkan lagu untuk ansambel musik

gonrang adalah gual. Unsur-unsur sangat penting dari gual ialah 1) Alunan

melodi sarunei yang bervariasi, 2) Struktur kolotomis dasar yang dimainkan pada

ogung dan mongmongan, dan 3) Pola irama yang berhubungan yang divariasikan

oleh imbal irama yang dimainkan pada alat musik gonrang.

Diterapkannya metode siklus pernafasan pada permainan serunei, melodi

yang dihasilkan pada alat musik akhirnya berupa alunan nada yang tidak terputus

mulai dari awal hingga akhir. Setiap variasi alunan nada-nada dilakukan sambung

menyambung tanpa adanya perhentian atau istirahat dalam suatu alunan melodi.

Ada lima gual yang digunakan dalam upacara kematian di Simalungun,

yaitu: (1) pertama adalah gual huda-huda, yang biasa digunakan sebagai

penyambutan pada saat pihak tondong datang, pada prosesnya gual ini juga

ini, Simalungun dipandang sebagai satu kelompok etnik, adakalanya dijadikan sbagai satu subetnik
dari etnik Batak, yang menjadi bahagian tidak terpisahkan dari bangsa (nation state) Indonesia.
3
Dalam kebudayaan Simalungun, kematian merupakan salah satu dari proses yang dialami
manusia, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari siklus yang dijalaninya. Bagi masyarakat
Simalungun, baik sebelum dan setelah datangnya agama Islam, Protestan, dan Katolik, mereka
meyakini bahwa setelah kehidupan ini manusia akan mati dan kemudian hidup kembali di dalam
akhirat.

2
3

mengiringi tari-tarian yang dilakukan untuk menyambut anggota keluarga lain

yang baru datang. Pihak tondong mengenakan toping-toping dan huda-huda untuk

menghibur keluarga yang ditinggalkan, dahulunya gual ini dimainkan oleh

gonrang dua tetapi dalam perkembanganya saat ini sudah dimainkan oleh

gonrang sipitu-pitu. (2) Kedua, gual parahot, biasanya gual ini dimainkan ketika

menutup tarian, dengan tempo cepat gual ini memiliki makna sebagai pengikat

agar menjadi satu. Hot dalam bahasa simalungun yang artinya kuat, parahot

menjadi pengikat yang kuat. (3) Ketiga, gual dinggur-dinggur dimainkan pada

tahapan mamungka gonrang, tahapan ini ialah awal mula proses adat berlangsung.

Dinggur-dinggur merupakan gual khusus yang diambil dari kata mandinguri,

mandinguri sendiri merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk

menggambarkan kematian dan mandinguri merupakan tahapan awal pada upacara

sayur matua. (4) Keempat, gual rambing-rambing merupakan lagu pengiring bagi

yang ingin menari melepaskan kepergian almarhum karena gual ini memiliki

makna bahwasanya keturunan yang ditinggalkan sudah rambing atau ramos dalam

bahasa simalungun. (5) Kelima gual sayur matua dapat digunakan sebagai

permohonan panjang umur dan sejahtera bagi mereka yang ditinggalkan sang

almarhum atau digunakan sebagai penggembira di tengah-tengah acara sayur

matua.

Dalam kaitannya hubungan antara gual dan kematian dalam konteks

budaya Simalungun, perlu dijelaskan bahwa terdapat lima jenis kematian pada

orang Simalungun, yakni: (1)matei manorus4, (2) matei grama/anakboru5, (3)

4
Pada masyarakat Simalungun dikenal istilah matei manorus yang berarti seeorang wanita
meninggal sewaktu melahirkan. Seperti diketahui bahwa dalam proses melahirkan ini, secara

3
4

matei matalpok6, (4) matei matua7, dan (5) matei sayur matua8. Dalam hal

kematian, terutama dalam keadaan matei sayur matua, maka penting dilakukan

kegiatan sosiomusikal berupa pertunjukan musik gonrang maupun gual sebagai

syarat penting untuk berlangsungnya acara adat ini.

Selain itu, dalam pengamatan secara etnomuskologis, gual yang disajikan di

dalam upacara matei sayur matua ini memiliki guna dan fungsi yang khas.

Menurut penulis guna dari gual ini adalah: (1) sebagai sarana untuk memeriahkan

jalannya upacara, karena upacara ini setelah dalam bentuk kesedihan yakni

meninggalnya seseorang dalam keadaan sayur matua, proses berikutnya adalah

ekspresi kegembiraan dan kebanggan bagi keluarga dan segenap orang yang hadir.

(2) Guna lain dari gual ini dalam upacara sayur matua adalah memberitahu bahwa

yang meninggal adalah oranmg yang memiliki derajat kematian tertinggi, yang

menjadi cita-cita setiap orang Simalungun.

alamiah umumnya masyarakat Simalungun pada masa sebelum dijumapinya teknologi bedah
cesar, masih mengandalkan dukun beranak. Maka sudah menjadi takdir Tuhan sebagian ibu-ibu
meninggal dunia saat melahirkan anaknya. Namun dengan ditemukannya teknologi terkini dalam
bidang kedokteran kematian ibu-ibu dalam melahirkan ini dapat dikurangi.
5
Pada masyarakat Simalungun dikenal istilah matei grama/anakboru yang berarti
meninggal sewaktu lajang atau belum menikah. Artinya orang ini belum mencapai siklus membina
rumah tangga, sebagai salah satu yang dijalani seseorang berdasarkan fitrahnya sebagai manusia di
dunia ini.
6
Pada masyarakat Simalungun dikenal istilah matei matalpok yang berarti orang yang
meninggal dunia, namun pada saat itu semua anak baik laki-laki maupun perempuan sudah
menikah tetapi belum memiliki cucu. Dalam keadaan yang seperti ini ia baru menurunkan generasi
kedua saja, belum sampai ke generasi ketiga.
7
Pada masyarakat Simalungun dikenal istilah matei matua yang berarti meninggal
sewaktu tua tetapi ada anak yang belum menikah. Kematian yang sedemikian rupa dipandang
belum menjadi kematian “sempurna” seperti matei sayur matua, karena masih tersisa salah satu
anaknya belum berumah tangga.
8
Yang terakhir, pada kebudayaan masyarakat Simalungun dikenal istilah matei sayur
matuayang berarti meninggal sewaktu tua dan seluruh anaknya telah menikah serta mendapat cucu
dari anak laki-laki dan anak perempuan. Kematian yang seperti inilah yang menjadi cita-cita setiap
orang Simalungun. Ia dipandang bahwa selama dalam kehidupannya ini berhasil mendidik dan
“menjadikan” anak-anaknya sampai bekeluarga semuanya dan memiliki cucu-cucu, yang
kemudian akan meneruskan garis keturunannya di dunia ini. Dengan konsep keberhasilan
membina keturunan yang seperti ini, sebenarnya cita-cita setiap orang Simalungun adalah
mengekalkan kebudayaan mereka di dunia ini.

4
5

Adapun fungsi dari gual yang dipertunjukkan dalam upacara metei sayur

matua, menurut penulis adalah sebagai berikut. (1) Fungsi sebagai sarana

pengabsahan upacara kematian yang dicita-citakan setiap orang Simalungun,

sebagai kematian yang “sempurna,” (2) Fungsi gual ini adalah untuk

mengkomunikasikan peristiwa budaya yang khusus yang menjadi tujuan hidup ke

alam kematian, yakni kematian sayur matua; (3) Fungsi gual dalam upacara ini

adalah untuk memandu integrasi kekerabatan yang berkaitan dengan hubungan

seseorang dengan jenazah; (4) Fungsi lainnya gual dalam upacara matei sayur

matua ini adalah sebagai hiburan, karena segenap keluarga bergembira atas

keberadaan kematian secara sayur matua ini; (5) Fungsi gual ini adalah untuk

kesinambungan kebudayaan Simalungun secara umum, dan lain-lainnya.

Gual dan upacara kematian dalam kebudayaan Simalungun tersebut,

khususnya di Kecamatan Raya sangat menarik untuk dikaji melalui disiplin utama

etnomusikologi dan dibantu oleh antropologi. Untuk itu perlu diuraikan sekilas

mengenai apa itu etnomusikologi dan antropologi dalam tesis ini.

Seperti yang penulis ketahui dari pakar etnomusikologi yaitu Merriam yang

dimaksud etnomusikologi adalah sebagai berikut.

Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division,


for it has always been compounded of two distinct parts, the
musicological and the ethnological, and perhaps its major problem
is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes
neither but takes into account both. This dual nature of the field is
marked by its literature, for where one scholar writestechnically
uponthe structure of music sound as a system in itself, another
chooses to treat music as a functioning part of human culture and as
an integral part of a wider whole. At approximately the same time,
other scholars, influenced in considerable part by American
anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction
against the evolutionary and diffusionist schools, began to study

5
6

music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so
much upon the structural components of music sound as upon the part
music plays in culture and its functions in the wider social and
cultural organization of man. It has been tentatively suggested by
Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and
American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not
seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of
geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for
many provocativestudies were made by early German scholars in
problems not at all concerned with music structure, while many
American studies heve been devoted to technical analysis of music
sound (Merriam 1964:3-4).9

Menurut pendapat Merriam seperti kutipan di atas, para ahli etnomusikologi

membawa dirinya sendiri kepada benih-benih pembagian ilmu, untuk itu

selalu dilakukan percampuran dua bagian keilmuan yang terpisah, yaitu

musikologi dan etnologi [antropologi]. Selanjutnyamenimbulkan kemungkinan-

kemungkinan masalah besar dalam rangka mencampur kedua disiplin itu dengan

cara yang unik, dengan penekanan pada salah satu bidangnya, tetapi tetap

mengandung kedua disiplin tersebut.

Sifat dualisme lapangan studi etnomusikologi ini, dapat ditandai dari

bahan-bahan bacaan yang dihasilkannya. Katakanlah seorang sarjana

etnomusikologi menulis secara teknis tentang struktur suara musik sebagai suatu

sistem tersendiri. Di lain sisi, sarjana lain memilih untuk memperlakukan

musik sebagai suatu bagian dari fungsi kebudayaan manusia, dan sebagai

bagian yang integral dari keseluruhan kebudayaan. Di dalam masa yang

bersamaan, beberapa sarjana dipengaruhi secara luas oleh para pakar

9
Sebuah buku yang terus populer di kalangan etnomusikologi dunia sampai sekarang ini,
dalam realitasnya menjadi “bacaan wajib” bagi para pelajar dan mahasiswa etnomusikologi
seluruh dunia, dengan pendekatan kebudayan, fungsionalisme, strukturalisme, sosiologis, dan lain-
lainnya. Buku yang diterbitkan tahun 1964 oleh North Western University di Chicago Amerika
Serikat ini, menjadi semacam “karya utama” di antara karya-karya yang bersifat etnomusikologis.

6
7

antropologi Amerika, yang cenderung untuk mengasumsikan kembali suatu

reaksi terhadap aliran-aliran yang mengajarkan teori-teori evolusioner difusi,

dimulai dengan melakukan studi musik dalam konteks etnologisnya. Di

dalam kerja yang seperti ini, penekanan etnologis yang dilakukan para sarjana ini

lebih luas dibanding dengan kajian struktur komponen suara musik sebagai suatu

bagian dari permainan musik dalam kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam

organisasi sosial dan kebudayaan manusia yang lebih luas.

Hal tersebut telah disarankan oleh Bruno Nettl yaitu terdapat kemungkinan

karakteristik "aliran-aliran" etnomusikologi di Jerman dan Amerika, yang

sebenarnya tidak persis sama. Mereka melakukan studi etnomusikologi ini,

tidak begitu berbeda, baik dalam geografi, teori, metode, pendekatan, atau

penekanannya. Beberapa studi provokatif awalnya dilakukan oleh para

sarjana Jerman. Mereka memecahkan masalah-masalah yang bukan hanya

pada semua hal yang berkaitan dengan struktur musik saja. Para sarjana Amerika

telah mempersembahkan teknik analisis suara musik.

Dari kutipan di atas tergambar dengan jelas bahwa etnomusikologi

dibentuk dari dua disiplin ilmu dasar yaitu antropologi dan musikologi.

Walaupun terdapat variasi penekanan bidang yang berbeda dari masing-masing

ahlinya. Namun terdapat persamaan bahwa mereka sama-sama berangkat dari

musik dalam konteks kebudayaannya.

Khusus mengenai beberapa definisi tentang etnomusikologi telah

dikemukakan dan dianalisis oleh para pakar etnomusikologi. Pada tulisan edisi

berbahasa Indonesia, Rizaldi Siagian dari Universitas Sumatera Utara (USU)

7
8

Medan, dan Santosa dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta, telah

mengalihbahasakan berbagai definisi etnomusikologi, yang terangkum dalam

buku yang berjudul Etnomusikologi tahun 1995, yang diedit oleh Rahayu

Supanggah, terbitan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, yang berkantor pusat

di Surakarta. Dalam buku ini, Alan P. Merriam mengemukakan 42 definisi

etnomusikologi dari beberapa pakar, menurut kronologi sejarah dimulai oleh

Guido Adler 1885 sampai Elizabeth Hesler tahun 1976.10

Dalam rangka penelitian ini, disiplin etnomusikologi digunakan untuk

mengkaji musik (gual) dalam konteks kebudayaan Simalungun, termasuk guna

dan fungsinya. Dalam pendekatan etnomusikologis ini, kajian terhadap gual

mencakup struktur melodis dan ritmis yang disajikan dalam gonrang sipitu-pitu.

Selanjutnya pengertian mengenai disiplin antropologi dalam tesis ini adalah

mengacu kepada pendapat Haviland (1999). Menurutnya, antropologi merupakan

sebuah disiplin ilmu pengetahuan yang mengkaji manusia dan kebudayaannya.

Ilmu ini berasal dari dua kata yaitu anthropos dan logos. Dalam bahasa Yunani,

anthropos berarti manusia dan logos berarti pikiran atau ilmu. Dengan demikian,

10
Buku berbahasa Indonesia ini diedit oleh Rahayu Supanggah (kini guru besar di ISI
Surakarta), diterbitkan tahun 1995, dengan tajuk Etnomusikologi. Diterbitkan di Surakarta oleh
Yayasan bentang Budaya, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Buku ini merupakan kumpulan
enam tulisan oleh empat pakar etnomusikologi (Barat) seperti: Barbara Krader, George List, Alan
P. Merriam, dan K.A. Gourlay; yang dialihbahasakan oleh Santosa dan Rizaldi Siagian. Dalam
buku ini Alan P. Merriam menulis tiga artikel, yaitu: (a) “Beberapa Definisi tentang ‘Musikologi
Komparatif’ dan ‘Etnomusikologi’: Sebuah Pandangan Historis-Teoretis,” (b) “Meninjau Kembali
Disiplin Etnomusikologi,” (c) “Metode dan Teknik Penelitian dalam Etnomusikologi.” Sementara
Barbara Krader menulis artikel yang bertajuk “Etnomusikologi.” Selanjutnya George List menulis
artikel “Etnomusikologi: Definisi dalam Disiplinnya.” Pada akhir tulisan ini K.A. Gourlay
menulis artikel yang berjudul “Perumusan Kembali Peran Etnomusikolog di dalam Penelitian.”
Buku ini barulah sebagai alihbahasa terhadap tulisan-tulisan etnomusikolog (Barat). Ke depan,
dalam konteks Indonesia diperlukan buku-buku panduan tentang etnomusikologi terutama yang
ditulis oleh anak negeri, untuk kepentingan perkembangan disiplin ini. Dalam ilmu antropologi
telah dilakukan penulisan buku seperti Pengantar Ilmu Antropologi yang ditulis antropolog
Koentjaraningrat, diikuti oleh berbagai buku antropologi lainnya oleh para pakar generasi berikut
seperti James Dananjaya, Topi Omas Ihromi, Parsudi Suparlan, Budi Santoso, dan lain-lainnya.

8
9

secara sederhana pengertian antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia.

Antropologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari keanekaragaman

manusia dan kebudayaannya. Melalui kajian keilmuan terhadap keanekaragaman

dan budaya manusia, maka disiplin antropologi fokus melakukan studi yang

berusaha menjelaskan tentang berbagai macam bentuk perbedaan dan persamaan

dalam aneka ragam kebudayaan manusia. Pakar lainnya, yaitu Koentjaraningrat,

pakar antropologi Indonesia, mengemukakan bahwa pengertian antropologi adalah

ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya, dengan mempelajari aneka

warna, bentuk fisik masyarakat, serta kebudayaan yang dihasilkan.

Dalam konteks sejarah perkembangan ilmu pengetahuan manusia,

antropologi merupakan cabang ilmu, yang usia perkembangannya relatif lebih

muda, dibandingkan dengan cabang ilmu lainnya. Antropologi sebenarnya mulai

berkembang bersamaan dengan abad pelayaran dunia. Sebagai sebuah ilmu,

antropologi banyak bersinggungan dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, bahkan ilmu

alam (eksakta), seperti biologi dan kedokteran. Antropologi acapkali memperoleh

pengaruh dari berbagai ilmu tersebut, baik dalam bentuk teori, metode, bahkan

hasil penelitiannya. Secara sistematis keilmuan, para ahli antropologi terus-

menerus mengembangkan teori, metode, dan hasil penelitiannya yang sangat khas.

Pengaruh dari berbagai ragam ilmu tersebut membuat cara pemahaman seorang

antropolog terhadap sebuah kebudayaan dan masyarakat yang ada di dalamnya,

menjadi jauh lebih kaya, luas, dan mendalam.

Dalam perkembangannya terbagi dalam beberapa cabang, seperti uraian

berikut ini. (a) Antropologi fisik, yaitu cabang antropologi yang mengkaji

9
10

hubungan antara kebudayaan dan manusia dengan pendekatan biologis (fisik).

Kadangkala disebut juga dengan antropologi ragawi. Pada awal-awal

perkembangan antropologoi, kajian antropologi fisik lebih ditekankan pada usaha

untuk membandingkan manusia dengan primata lain, seperti simpanse, gorila, dan

orang utan. Antropologi fisik juga mencari hubungan antara manusia modern

(homo sapiens) dengan nenek moyang manusia seperti homo erectus, homo

pekinensis, homo wajakensis, homo neandertal, dan lainnya.

(b) Antropologi budaya, yaitu cabang yang terbesar dalam ilmu antropologi.

Cabang ilmu ini memfokuskan kajiannya yang meliputi anekaragam kebudayaan,

usaha mencari unsur-unsur kebudayaan universal, mengungkapkan hubungan

antara struktur sosial masyarakat dengan kebudayaannya, juga membahas

mengenai interpretasi simbolik.

Cabang antropologi selanjutnya adalah (c) antropologi linguistik (kadang

disebut antropolinguistik) adalah cabang disiplin antropologi yang mengkaji

tentang keanekaragaman bahasa. Namun, ruang lingkupnya jauh lebih kecil dari

ilmu linguistik. Antropologi linguistik melihat bahasa dalam konteks latar

belakang kebudayaan masyarakat penuturnya. (d) Arkeologi, cabang ini seringkali

dianggap sebagai ilmu tersendiri yang terpisah dari antropologi. Namun, menurut

sebagian besar antropolog, arkeologi sebenarnya adalah sebuah cabang ilmu dari

antropologi. Kajian pada arkeologi adalah menunjukkan hubungan antara manusia

masa lampau dengan habitat hidupnya, serta struktur sosial dan budaya

masyarakatnya. (d) Etnologi, adalah cabang antropologi yang secara khusus

mempelajari sejarah perkembangan kebudayaan manusia.

10
11

Dengan menggunakan disiplin etnomusikologi dan antropologi, maka dalam

penelitian ini penulis mengkaji gual (musik) dalam konteks upacara kematian

sayur matua. 11 Dua disiplin ilmu digunakan dalam kerja ini yakni musikologi

untuk mengkaji struktur gual, dan antropologi untuk mengkaji upacara kematian

itu sendiri. Dengan demikian tesis ini diberi judul: “Analisis Fungsi dan Struktur

Gual dalam Upacara Sayur Matua Masyarakat Simalungun di Kecamatan Raya.”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan tiga

masalah utama dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut.

1. Bagaimanakah pelaksanaan kegiatan upacara sayur matua pada

masyarakat Simalungun di Kecamatan Raya?

2. Bagaimanakah fungsi gual dalam upacara sayur matuapada kebudayaan

masyarakat Simalungun di Kecamatan Raya?

3. Bagaimanakah struktur gual yang disajikan pada upacara sayur matuapada

kebudayaan masyarakat Simalungun di Kecamatan Raya?

Untuk mengkaji rumusan masalah pertama, yakni tentang pelaksanaan

kegiatan upacara matei sayur matua dan penggunaan gual di dalamnya, digunakan

pendekatan antropologis, seperti uraian mengenai tahapan secara kronologis

upacara, waktu demi waktu. Demikian pula siapa yang memimpin upacara, di

mana upacara diselenggarakan, siapa-siapa saja yang terlibat dalam upacara, siapa

11
Di dalam kebudayaan masyarakat Batak, terdapat kematian sejenis yang istilahnya
menggunakan bahasa kelompoknya sendiri. Dalam budaya Karo kematian seperti ini disebut
dengan cawir metua; dalam kebudayaan Batak Toba disebut dengan kematian saur matua [tidak
pakai konsonan y); dan dalam kebudayaan Simalungun sendiri disebut sayur matua [memakai
konsonan y].

11
12

yang bertindak sebagai tuan rumah, tamu, dan orang-orang yang hanya sekedar

melihat, apa saja benda-benda upacara, demikian pula makna-makna yang

terkandung di dalam upacara ini.

Untuk menganalisis bagaimana fungsi gual dalam upacara matei sayur

matua, digunakan teori uses and functions dari Merriam. Dalam hal ini penulis

melihat gual dalam dua sudut pandang. Yang pertama adalah gunanya dalam

upacara tersebut. Lebih lanjut adalah sejauh apa fungsi-fungsi gual sebagai musik

dalam upacara matei sayur matua.

Dalam hal mengkaji rumusan masalah ketiga yakni struktur gual yang

disajikan dalam upacara matei sayur matua, maka penulis menggunakanb

pendekatan-pendekatan struktural dalam mengkaji musik secara etnomusikologis.

Struktur gual ini diurai baik berdasarkan dimensi ruang (melodis) maupun waktu

(ritmis). Dengan demikian dihasilkan penelitian yang holistik dan mendalam dari

fenomena kebudayaan seperti itu.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk menganalisis pelaksanaan kegiatan upacara sayur matua pada

masyarakat Simalungun di Kecamatan Raya.

2. Untuk menganalisis fungsi gual dalam upacara sayur matuapada

masyarakat Simalungun di Kecamatan Raya.

12
13

3. Untuk menganalisis struktur gual yang disajikan pada upacara sayur

matuapada masyarakat Simalungun di Kecamatan Raya.

1.3.2 Manfaat penelitian

Manfaat yang di ambil dari penelitian yang diwujudkan dalam laporan

penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Menambah referensi bagi lembaga-lembaga pendidikan dan

kebudayaan terutama dalam tema utama kebudayaan Simalungun,

2) Menambah wawasan di bidang penelitian terhadap musik dalam

konteks upacara kematian di dalam budaya masyarakat Sumatera

Utara, khususnya Simalungun.

3) Memberi sumbangan kepada perkembangan disiplin ilmu-ilmu seni,

khususnya etnomusikologi, dan lebih luas lagi antropologi, sosiologi,

dan lain-lainnya.

4) Menjadi bahan perbandingan atau bacaan awal bagi peneliti

selanjutnya dengan topik yang berkaitan dengan penelitian yang

penulis lakukan ini.

5) Dapat menjadi perbendaharaan bagi Departemen Pariwisata dalam

rangka memungsikan berbagai seni dan warisan tak benda untuk tujuan

kepariwisataan.

13
14

1.4 Tinjauan Pustaka

Pada studi kepustakaan untuk mempelajari literature yang berkaitan

dengan penulisan Sayur matua, Buku-buku yang di gunakan untuk menunjang

penulisan ini, penulis mengunakan diantaranya adalah :

1) Damanik, Erond L. 2016, Ritus Peralihan yang membahas tentang

Upacara Adat Simalungun seputar kelahiran, Perkawinan dan

Penghormatan kepada Orangtua serta Kematian. Medan: Simetri Institute.

Buku ini berisi deskripsi secara umum tentang upacara-upacara yang

terdapat di dalam kebudayaan Simalungun berdasarkan daur hidup

manusianya. Buku ini menjadi rujukan penulis dalam penelitian ini,

terutama upacara kematian sayur matua.

2) Hornbostel, Erich M. Von and Curt Sach. 1961. Calssification of Musical

Instrument. Ini merupakan artikel yang menjadi rujukan utama bagi para

etnomusikolog dan musikolog di seluruh dunia. Artikel ini menjadi dasar

untuk mengkategorikan alat-alat musik, terutama alat musik tradisi di

seluruh dunia, termasuk alat-alat musik dalam kebudayan musik (modern)

Eropa.

3) Jansen, Arlin Dietrich. 2003, Gonrang Simalungun membahas tentang

Struktur dan Fungsinya dalam Masyarakat Simalungun. Buku ini

diterbitkan di Medan oleh Penerbit Bina Media.

4) Koentjaraningrat, 1983, Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:

Gramedia. Di dalam buku ini diurai secara rinci tentang bagaimana metode

meneliti masyarakat, terutama dari sisi kebudayaan dan sosialnya. Buku ini

14
15

menjadi panduan penulis dalam meneliti masyarakat Simalungun, terutama

dalam proses upacara kematian sayur matua.

5) Malm. William P. 1977. Music Culture of the Pasific, the Near East, and

Asia (terjemahan). Medan. Departemen Etnomusikologi Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara (terjemahan Takari). Buku ini

mendeskripsikan tentang kebudayaan-kebudayaan musik dunia di akwan

Pasifik (Oseania), Timur Tengah, dan Asia. Namun di bahagian awal

dimuat sebuah teori tentang menganalisis melodi yang disebutnya dengan

teori weighted scale. Buku ini nmenjadi panduan penulis dalam mengurai

aspek struktur melodi gual dalam upacara kematian sayur matua.

6) Moh. Nazir, Metode Penelitian yang berisikan tentang metode penelitian.

Buku ini menjadi rujukan penulis dalam melakukan penelian ini, terutama

menggunakan metode kualitatif.

7) Malinowski yang berjudul Teori Fungsional dan Struktural, yang

berisikan tentang teori-teori fungsional dan struktural. Artikel ini menjadi

rujukan penulis dalam mengkaji fungsi gual dalam upacara kematian

tersebut.

8) Merriam, Allan P.yang berjudul The Anthropology of Music, diterbitkan

oleh North Western University Press di kota Chiocago tahun 1964. Buku

ini yang berisikan tentang aspek-aspek kebudayaan musik yang ditinjau

secara antropologis, termasuk juga penggunaan dan fungsi musik. Teori

penggunaan dan fungsi musik di dalam buku ini penulis gunakan dalam

menganalisis fungsi gual dalam upacara kematian sayur matua.

15
16

9) Moleong, Lexy J. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya. Buku ini mengurai secara rinco tentang metode-

metode penelitian secara kualitatif, termasuk wawancara, pengamatan

terlibat, dan lainnya.

10) Sugiyono yang berjudul Metode Penelitian Kuantitatif & Kualitatif dan R

& D, yang berisikan tentang metode penelitian kuantitatif dan kualitatif.

Dalam penelitian ini, penulis banyak merujuk tulisan mengenai metode

kualitatif dan juga melihat kemungkinan-kemungkinan riset dan

pengembangnnya.

11) Saragih, Simon. 2014. Taralamsyah Saragih, Jejak sepi seorang

Komponis Legendaris berisikan tentang biografi Taralamsyah Saragih

serta musik Simalungun. Medan : Penerbit Bina Media Perintis. Biografi

Taralamsyah Saragih ini digunakan untuk melihat peran seniman dalam

masyarakat. Dalam penelitian ini tentu saja pemusik gonrang di dalam

masyarakat Simalungun.

12) Skripsi Maria Fabiyola. 2016 “Bentuk Penyajian dan Fungsi Gonrang

Sipitu-pitu pada Upacara Kematian Sayur Matua di Desa

Raya,Kecamatan Pematang Raya, Kabupaten Simalungun.” Skripsi

sarjana ini membahas tentang bentuk penyajian dan fungsi gonrang sipitu-

pitu pada upacara kematian sayur matua sedangkan tulisan yang peniliti

bahas di sini tentang struktur dan Fungsi gual pada upacara sayur matua

tersebut.

16
17

1.4.1 Penelitian lapangan dan wawancara

Penelitian lapangan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah observasi

danwawancara. Penelitian lapangan yang dimaksud adalah mengamati dan

mendokumentasikan secara langsung upacara pada peristiwa dimaksud. Masalah

yang berkaitan dengan pendalaman fungsi gual dan struktur musikal didekati

dengan wawancara-wawancara kepada para ionforman kunci dalam penelitian ini.

Wawancara yang dilakukan adalah berfokus, dengan mendalami pokok

permasalahan dalam penelitian ini.

1.4.2 Observasi

Observasi di gunakan untuk mengetahui bagaiamana situasi yang akan

dihadapi si penulis, pada saat observasi dilakukan penulis juga dapat memastikan

bahwasanya si penulis mendapatkan informan yang tepat. Observasi juga bisa

dilakukan dengan mencari informasi yang terkait contoh dari buku, media online,

artikel, maupun tulisan yang terkait dengan bahan yang ingin diteliti. Pada tanggal

22 Februari 2018 penulis melakukan observasi melalui beberapa informasi yang di

dapat dari sumber internet lalu memastikan kembali kepada pak setia dermawan

purba sebagai etnomusikolog yang banyak meneliti tentang budaya simalungun

dan beliau juga sebagai dosen etnomusikologi di Universitas Sumatera Utara,

kemudian berangkat dari situ ditemukan lah no handphone pak Badu purba yang

dianggap penulis mampu memberikan lebih banyak lagi informasi tentang gual

pada tentang sayur matua, Penulis segera menghubungi pak badu purba meminta

17
18

ketersediaan beliau sebagai informan lalu beliau menjelaskan situasi pada lokasi

yang penulis ingin teliti.

1.4.3 Wawancara

Wawancara merupakan suatu cara untuk mengumpulkan data atau

memperoleh informasi secara langsung dengan informan baik bertatap muka

maupun dengan menggunakan teknologi komunikasi yang ada, sehingga

mendapatkan gambaran lengkap tentang objek yang sedang diteliti. Pada metode

kualitatif tentunya wawancara merupakan hal yang utama digunakan sebagai

media mendapatkan informasi. Pada tanggal 16 maret penulis bertemu dengan pak

badu purba sebagai informan kunci, pada saat itu pak badu purba sedang

menjalankan pekerjaan nya sebagai panggual pada upacara adat sayur matua.

1.4.4 Kerja laboratorium

Setelah pengumpulan data dilaksanakan, data penelitian ini diolah dengan

menggunakan metode kualitatif, dengan mendeskripsikan kemudian menganalisis

fungsi dan struktur gual dalam upacara sayur matua atas data yang didapat dari

lapangan maupun dari tulisan yang terkait. Kemudian data diolah dibuat dalam

bentuk tulisan.

Dalam kerja laboratorium ini khusus untuk menganalisis struktur musik,

langkah awal adalah mentranskripsi dalam bentuk notasi balok yang diadopsi dari

peradaban Barat, namun disesuaikan dengan kondisi musik Simalungun.

Alasannya adalah notasi balok adalah bahasa musik secara “internasional.”

18
19

Sementara masyarakat Simalungun pun kini menggunakan notasi ini di samping

notasi angka.

Seterusnya notasi hasil transkripsi tersebut dianalisis dengan menggunakan

teori-teori kajian struktur musik dalam disiplin etnomusikologi. Analisis yang

dilakukan mencakup dimensi ruang seperti: tangga nada, wilayah nada, jumlah

nada-nada, kontur, dan lainnya. Begitu juga dengan dimensi waktu, seperti

ketukan dasar atau pulsa, metrum atau meter, durasi, dan lain-lainnya.

1.5 Konsep dan Teori

1.5.1 Konsep

Dalam melakukan penelitian ini, Penulis menggunakan beberapa konsep

yang berkaitan dengan fungsi dan struktur gual dalam upacara sayur matua.

Konsep yang penulis akan uraikan yaitu (1) kebudayaan, (2) penggunaan dan

fungsi, (3) gual, (4) sayur matua, dan (5) struktur.

1.5.1.1 Kebudayaan

Menurut Koentjaraningrat (1984:10) kebudayaan adalah keseluruhan

gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta

keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu. Karena cakupannya sangat luas

maka untuk memudahkan analisa konsep kebudayaan dipilah kedalam unsur-

unsur yang bersifat universal. Ada tujuh unsur yang bersifat universal dan

kebudayaan, yaitu: (1) sistem religi dan upacara keagamaan; (2) sistem dan

19
20

organisasi kemasyarakatan; (3) sistem pengetahuan; (4) bahasa; (5) kesenian; (6)

sistem mata pencaharian hidup; (7) sistem teknologi dan peralatan.

1.5.1.2 Penggunaan dan fungsi

Dengan demikian menguraikan fungsi gual sama pentingnya dengan

menguraikan keterlibatan pelakunya dalam aktivitas seni maupun kehidupan

masyarakat. Uraian terhadap fungsi dan struktur gual. Istilah penggunaan dan

fungsi, lazim dipakai dalam disiplin etnomusikologi. Merriam menjelaskan kaitan

dan perbedaan yang bernuansa antara konsep penggunaan dan fungsi musik dalam

masyarakat, seperti berikut ini. Merriam membedakan pengertian penggunaan

(uses) dan fungsi (functions) musik berasaskan kepada tahap dan pengaruhnya

dalam sebuah masyarakat. Musik dipergunakan dalam situasi tertentu dan menjadi

bagiannya. Penggunaan bisa atau tidak bisa menjadi fungsi yang lebih dalam.

Merriam memberikan contoh, jika seseorang menggunakan nyanyian yang

ditujukan untuk kekasihnya, maka fungsi musik seperti itu bisa dikaji sebagai

perwujudan dari kontinuitas dan kesinambungan keturunan manusia yaitu untuk

memenuhi kehendak biologis bercinta, menikah, dan berumah tangga dan pada

akhirnya menjaga kesinambungan keturunan manusia. Jika seseorang

menggunakan musik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, maka mekanismenya

berhubungan dengan mekanisme lain, seperti menari, berdoa, mengorganisasikan

ritual, dan kegiatan kegiatan upacara. Oleh karena itu, menurut Merriam

“penggunaan” menunjukkan situasi musik yang dipakai dalam kegiatan manusia;

sedangkan “fungsi” berkaitan dengan alasan mengapa si pemakai melakukan, dan

20
21

terutama tujuan-tujuan yang lebih jauh dari sekedar apa yang dapat dilayani oleh

musik yang dikaji. Dengan demikian, sesuai dengan pendapat Merriam, menurut

penulis penggunaan lebih berkaitan dengan sisi praktis, sedangkan fungsi lebih

berkaitan dengan sisi integrasi dan konsistensi internal budaya. Dalam kaitannya

dengan tulisan ini, maka dapat dikatakan bahwa penggunaan repertoar gual pada

sayur matua adalah untuk mengiringi jalannya upacara sayur matua, sedangkan

fungsinya adalah untuk mengabsahkan upacara tersebut, sebagai hiburan,

komunikasi, perlambangan,integrasi sosial, mengekspresikan struktur kekerabatan

dan lain-lainnya.

1.5.1.3 Gual

Gual yang dimaksud disini ialah suatu komposisi musik atau disebut juga

dengan repertoar, komposisi gual tidak memiliki vokal hanya terdiri dari setiap

bunyi instrument atau alat musik tradisi Simalungun yang dibawakan oleh

gonrang sipitu-pitu dan gonrang dua, artinya ada gual yang hanya bisa dibawakan

oleh gonrang sipitu-pitu ada juga yang hanya bisa dibawakan gonrang dua.

Meskipun pada perkembangan nya saat ini gonrang dua sudah jarang dimainkan

sehingga gual yang seharusnya dimainkan oleh gonrang dua diambil alih

dimainkan pada gonrang sipitu-pitu. Contoh nya gual huda-huda, pargual

sekarang ini tidak lagi membawa instrument gonrang pada gonrang dua. Pargual

hanya membawa satu set instrument gonrang sipitu-pitu, ditemukan dilapangan

bahwa gual huda-huda dimainkan dengan gonrang sipitu-pitu.

21
22

1.5.1.4 Sayur matua

Sedangkan sayur matua ialah suatu upacara adat kematian pada

masyarakat Simalungun, dimana seseorang yang telah meninggal dunia tersebut

telah memiliki keturunan yang sudah lengkap yang dimaksud sudah lengkap disini

ialah seluruh anak-anaknya sudah menikah dan yang meninggal dunia telah

memiliki cucu/cicit, masyarakat simalungun menganggap suatu keberhasilan

apabila sudah meninggal dengan status sayur matua. Dan pada upacara sayur

matua hanya ada lima gual yang wajib dimainkan.

1.5.1.5 Struktur

Yang dimaksud dengan struktur di dalam tulisan ini adalah Gual disusun

atau dibangun oleh ritme-ritmenya yang terdiri dari meter (birama), pulsa dasar

(taktus), dan unit-unit pembentuk birama, seperti durasi not, aksentuasi, down

beat, up beat, dupel, kuadrupel, cepat dan lambatnya tempo lagu, tangga nada,

nada dasar, wilayah nada, jumlah nada-nada, kontur, pola kadensa dan lain-

lainnya.

1.5.2 Teori

Untuk menganalisis fungsi gual di dalam upacara sayur matua kebudayaan

masyarakat Simalungun, penulis menggunakan teori fungsionalisme. Menurut

Malinowski, yang dimaksud fungsi itu intinya adalah bahwa segala aktivitas

kebudayaan sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah

keinginan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh

22
23

kehidupannya. Contohnya, kesenian sebagai salah satu unsur kebudayaan, terjadi

karena mula-mula manusia ingin memuaskan keinginan nalurinya terhadap

keindahan. Ilmu pengetahuan juga timbul karena keinginan naluri manusia untuk

tahu. Teknologi muncul karena manusia ingin mudah bekerja di dalam mengisi

hidupnya. Namun banyak pula aktivitas kebudayaan yang terjadi karena

kombinasi dari beberapa macam kebutuhan pada masyarakat itu sendiri. Dengan

paham ini seorang peneliti bisa menganalisis dan menerangkan banyak masalah

dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan manusia.

Dengan tetap bertolak dari teori fungsi, yang kemudian mencoba

menerapkannya dalam etnomusikologi, lebih lanjut secara tegas Merriam

membedakan pengertian fungsi ini dalam dua istilah, yaitu penggunaan dan

fungsi. Menurutnya, membedakan pengertian penggunaan dan fungsi adalah

sangat penting. Para pakar etnomusikologi pada masa lampau tidak begitu teliti

terhadap perbedaan ini. Jika kita berbicara tentang penggunaan musik, maka kita

menunjuk kepada kebiasaan (the ways) musik dipergunakan dalam masyarakat,

sebagai praktik yang biasa dilakukan, atau sebagai bahagian daripada pelaksanaan

adat istiadat, sama ada ditinjau dari aktivitas itu sendiri maupun kaitannya dengan

aktivitas-aktivitas lain (1964:210).

Membahas struktur yang dimaksud pada pokok permasalahan di atas,

dengan melihat gaya atau prinsip dasar struktur musikal, Willy Apel mengatakan

bahwa gaya adalah unsur atau elemen penting yang sangat berhubungan dengan

struktur suatu komposisi. Unsur atau elemen dimaksud ialah bentuk (Inggris:

form), melodi (Inggris: melody), maupun ritme atau irama (Inggris: rhythm).

23
24

Di pihak lain, Titon dan Slobin mengatakan bahwa gaya adalah sesuatu

yang terdapat dan terorganisasi di dalam musik itu sendiri, seperti elemen nada,

elemen waktu, elemen suara, dan intensitas bunyi. Elemen nada itu sendiri txerdiri

dari; tangga nada (Inggris: modus), melodi, dan sistem laras; elemen waktu terdiri

dari; birama (Inggris: metrum), dan irama (Inggris: rhythm); elemen suara terdiri

dari kualitas suara, kualitas bunyi instrumen; dan elemen intensitas bunyi yaitu

keras lembutnya bunyi suatu musik (dinamika).Selanjutnya, oleh Nettl dikatakan

bahwa suatu komposisi musik di dalam suatu tradisi musikal akan pula memiliki

kumpulan karakter atau gaya yang sama dengan karakter-karakter pada komposisi

lainnya di dalam ruang lingkup tradisi kebudayaan dimana musik itu berada.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gaya adalah elemen-elemen musikal

yang dijadikan sebagai dasar atau perangkat untuk membangun musik hingga

menghasilkan sebuah komposisi musik.Dalam melakukan analisis,selain metode-

metode di atas dapat juga dikombinasikan dengan metode weighted scale (“bobot

tangga nada”) dari William P. Malm serta langkah-langkah description of musical

compositions yang ditawarkan oleh Bruno Nettl.

Malm mengatakan bahwa gaya musikal berkaitan dengan dua hal yang

tidak terpisahkan, yaitu melodi dan ritme atau ruang dan waktu. Unsur melodi

berkaitan dengan ruang, dimana setiap nada dalam garis melodi bergerak sesuai

dengan tinggi rendahnya nada.Sementara ketinggian dan kerendahan nada

mempunyai durasi secara panjang dan pendek yang dalam hal ini merupakan

unsur dari ritme. Dengan perkataan lain, ritme berkaitan dengan waktu, dimana

24
25

setiap nada dalam melodi memiliki durasi yang berbeda-beda, dan dengan

perbedaan durasi itulah tercipta gerak melodi yang harmonis.

Unsur-unsur yang berkaitan dengan melodi terdiri dari:

(1) tangga nada (Inggris: modus),

(2) nada dasar (Inggris: pitch centre),

(3) wilayah nada (Inggris: range),

(4) jumlah nada-nada,

(5) jumlah interval,

(6) pola-pola kadensa,

(7) formula-formula melodik,

(8) kontur,

(9) durasi,

(10) ritme,

(11) frase dan kalimat, serta

(12) periode atau siklus.

Yang berkaitan dengan dimensi waktu yaitu:

(1) tempo,

(2) pulsa,

(3) ketukan,

(4) pola dan motif, serta

(5) birama.

Dipihak lain Bruno Nettl mengatakan bahwa untuk mendeskripsikan komposisi

musikal harus memperhatikan unsur-unsur berikut:

25
26

(1) perbendaharaan nada,

(2) tangga nada (Inggris: modus),

(3) tonalitas,

(4) interval,

(5) kantur melodi,

(6) ritme,

(7) tempo, dan

(8) bentuk.

Upacara adat adalah salah satu cara menelusuri jejak sejarah masyarakat

Indonesia pada masa lalu dapat kita jumpai pada upacara-upacara adat merupakan

warisan nenek moyang kita. Selain melalui mitologi dan legenda, cara yang dapat

dilakukan untuk mengenal kesadaran sejarah pada masyarakat yang belum

mengenal tulisan yaitu melalui upacara. Upacara pada umumnya memiliki nilai

sakral oleh masyarakat pendukung kebudayaan tersebut (Wahyudi Pantja Sunjata,

1997: 1). Upacara adat tradisional adalah peraturan hidup sehari-hari ketentuan

yang mengatur tingkah anggota masyarakat dalam segala aspek kehidupan

manusia. Pengertian adat adalah tingkah laku dalam suatu masyarakat (sudah,

sedang, akan) diadakan. Wahyudi Pantja Sunjata (1997: 2), mengatakan upacara

tradisional merupakan bagian yang integral dari tradisi masyarakat pendukungnya

dan kelestariannya, hidupnya dimungkinkan oleh fungsi bagi kehidupan

masyarakat pendukungnya.

Pelaksanaan upacara adat tradisional termasuk dalam golongan adat yang

tidak mempunyai akibat hukum, hanya saja apabila tidak dilakukan oleh

26
27

masyarakat maka timbul rasa kekhawatiran akan terjadi sesuatu yang menimpa

dirinya. Upacara adat adalah upacara yang dilakukan secara turuntemurun yang

berlaku di suatu daerah. Dengan demikian, setiap daerah memiliki upacara adat

sendiri-sendiri, seperti upacara perkawinan, upacara kematian. Upacara adat yang

dilakukan di daerah sebenarnya juga tidak lepas dari unsur sejarah.

1. Unsur-unsur upacara adat tradisional

Menurut Koentjaraningrat ada beberapa unsur yang terkait dengan

pelaksanaan upacara adat diantaranya adalah:

a. Tempat berlangsungnya upacara

Tempat yang digunakan untuk melaksanakan suatu upacara biasanya

adalah tempat keramat atau bersifat sakral/suci, tidak setiap orang dapat

mengunjungi tempat itu. Tempat tersebut hanya digunakan oleh orang-orang yang

berkepentingan saja, dalam hal ini adalah orang yang terlibat dalam pelaksanaan

upacara seperti pemimpin upacara.

b. Saat berlangsungnya upacara/waktu pelaksanaan

Waktu pelaksanaan upacara adalah saat-saat tertentu yang dirasakan tepat

untuk melangsungkan upacara. Dalam upacara rutin yang diselenggarakan setiap

tahun biasanya ada patokan dari waktu pelaksanaan upacara yang lampau.

c. Benda-benda atau alat dalam upacara

Benda-benda atau alat dalam pelaksanaan upacara adalah sesuatu yang

harus ada macam sesaji yang berfungsi sebagai alat dalam pelaksanaan upacara

adat tersebut.

27
28

d. Orang-orang yang terlibat didalamnya

Orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan upacara adalah mereka yang

bertindak sebagai pemimpin jalanya upacara dan beberapa orang yang paham

dalam ritual upacara adat (Koentjaraningrat, 1967: 241)

Unsur-unsur diatas merupakan kewajiban, oleh karena itu dalam setiap

melaksanakan upacara, keempat unsur diatas harus disertakan. Didalam unsur-

unsur tersebut, terdapat beberapa unsur perbuatan yang terkait dengan

pelaksanaan upacara adat. Beberapa perbuatan yang berkenaan pada saat

berlangsungnya upacara seringkali dilakukan. Mereka menganggap bahwa

perbuatan tersebut sudah menjadi kebiasaan dan memang perlu dilakukan.

Adapun, kegiatan tersebut diantaranya adalah:

a. Bersesaji

Bersesaji adalah perbuatan-perbuatan untuk menyajikan makan, benda-

benda, dan sebagainya yang ditujukan kepada dewa-dewa, roh-roh nenek moyang,

atau makhluk halus. Hal ini dianggap menjadi suatu perbuatan kebiasaan, dan

dianggap seolah-olah suatu aktivitas yang secara otomatis akan menghasilkan apa

yang dimaksud.

b. Berdoa

Berdoa adalah suatu unsur yang banyak terdapat dalam berbagai upacara.

Biasanya diiringi dengan gerak -gerak dan sikap-sikap tumbuh yang pada

dasarnya merupakan sikap dan gerak menghormat serta merendahkan diri

terhadap para leluhur, para dewata, ataupun terhadap Tuhan.

c. Makan bersama

28
29

Makan bersama merupakan suatu unsur yang amat penting dan selalu

dilaksanakan dalam banyak upacara.

d. Berprosesi

Berprosesi atau berpawai juga merupakan suatu perbuatan yang amat

umum dalam banyak religi di dunia . Pada prosesi sering dibawa benda-benda

keramat seperti patung dewa-dewa, lambang-lambang, totem benda-benda yang

sakti dan sebagainya, dengan maksud supaya kesaktian yang memancar dari

benda-benda itu bisa memberi pengaruh kepada keadaan sekitar tempat tinggal

manusia, dan terutama pada tempat-tempat yang dilalui pawai itu. Upacara ini

sering juga mempunyai maksud yang pada dasarnya sama tetapi dilakukan dengan

cara yang lain yaitu mengusir makhluk halus, hantu dan segala kekuatan yang

menyebabkan penyakit serta bencana dari sekitar tempat tinggal manusia.

e. Berpuasa

Berpuasa sebagai suatu perbuatan keagamaan yang ada dalam hampir

semua religi dan agama diseluruh dunia, tidak membutuhkan suatu uraian yang

panjang lebar. Dasar pikiran yang ada dibelakang perbuatan ini bisa macam-

macam, misalnya membersihkan diri atau menguatkan batin pelaku.

f. Bersemedi

Adalah macam perbuatan religi yang bertujuan memusatkan perhatian si

pelaku kepada maksudnya atau kepada hal-hal yang suci (Koentjaraningrat, 1967:

257). Rangkaian kegiatan adat di atas merupakan unsur pokok di dalam

melaksanakan upacara tradisional. Oleh karena itu, pada saat upacara tradisional

dilangsungkan akan terdiri dari beberapa rangkaian kegiatan yang telah disebutkan

29
30

di atas. Namun tidak semua kegiatan secara terperinci dilakukan pada saat

pelaksanaan upacara tradisional. Ada yang terdiri dari semua kegiatan yang telah

disebutkan di atas tetapi ada pula yang hanya melakukan beberapa dari kegiatan

tersebut karena disesuaikan dengan kebutuhan pada saat pelaksanaan upacara

tradisional.

2. Tujuan upacara adat tradisional

Maksud dan tujuan penyelenggaraan upacara sebagai ungkapan rasa

syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta para leluhur yang telah

melimpahkan rahmatnya. Pelaksanaan upacara tradisional dilakukan sebagai

wujud penghormatan atas budaya warisan nenek moyang yang turun temurun

yang harus dilestarikan. Tanpa adanya usaha pelestarian dari masyarakat, maka

budaya nenek moyang yang berupa upacara tradisional itu akan punah dan tinggal

cerita. Sangat disayangkan apabila hal ini terjadi mengingat dizaman sekarang

negeri ini mengalami krisis moral yang sebenarnya dapat kita cegah dengan

pelestarian upacara tradisional. Pelaksanaan upacara tradisional dapat memupuk

rasa persaudaraan dan menumbuhkan nilai-nilai luhur yang penting bagi

masyarakat dan bangsa Indonesia.

Tujuan umum dari upacara adat adalah untuk membentuk individu dan

masyarakat yang berbudi pekerti luhur. Secara khusus, upacara adat dilakukan

sebagai wujud penghormatan dan penghargaan kepada yang ghaib. Adanya rasa

cinta, hormat, dan bakti adalah pendorong bagi manusia untuk melakukan

berbagai perbuatan yang bertujuan mencari hubungan dengan dunia ghaib

(Koentjaraningrat, 1967: 240). Upacara tradisional dimaksudkan untuk mencapai

30
31

kehidupan yang tentram dan sejahtera, diberi kemudahan dalam memenuhi

kebutuhan hidup. Selain itu, upacara tradisional juga dimaksudkan untuk

menghindari dari hal-hal yang tidak diinginkan, dijauhkan dari malapetaka yang

dikhawatirkan akan menimpa masyarakat apabila tidak dilaksanakan

(Koentjaraningrat, 1967: 241).

1.6 Metode Penelitian

Metode adalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi

sasaran ilmu yang bersangkutan, (Koentjaraningrat, 1997:16). Dalam penelitian

ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif untuk memahami

permasalahan yang telah ditetapkan.

1.6.1 Metode Kualitatif

Tentang metode kualitatif ini, lebih jauh peneliti mengutip pendapat K irk

dan Miller (1986) seperti yang dicatatkan oleh Lexy J Moleong (1996) bahwa

penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang

secara fundamental bergantung pada perhatian pada manusia dalam kawasannya

sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam

peristilahannya.

Selanjutnya menurut Taylor dan Bogdan (1984) bahwa penelitian kualitatif

merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-

kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diperhatikan dari

31
32

orang-orang atau subjek itu sendiri. Jadi penelitian ini lebih menekankan kepada

apa-apa yang ada di dalam persepsi dan pikiran para informannya.

Selain itu, penelitian ini berusaha mendapatkan pandangan para pelaku

seni terhadap konteks penelitian. Dalam memahami pemikiran itu, peneliti

sepatutnya melakukan empati dalam kehidupan para pelaku seni sebagai subjek,

serta menghayati kehidupan berdasarkan pengalaman dan pandangan mereka.

Marshall dan Rossman (1995) menegaskan bahwa peneliti dalam

penelitian kualitatif berperan sebagai instrumen. Oleh karena itu, peneliti harus

turut serta dalam kehidupan pelaku seni. Berdasarkan pendapat tersebut, peneliti

mewujudkan interaksi sosial secara intensif dan kondusif, yang memungkinkan

peneliti mendalami dan memahami pandangan pelaku seni.

Kerja yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari: tahap sebelum ke

lapangan (pra-lapangan), Tahap kerja lapangan, Analisis data dan penulisan

laporan 27 (Moleong, 2002:109). Di samping itu, untuk mendukung metode

penelitian yang dikemukakan oleh Moleong, penulis juga menggunakan kerja

lapangan (field work) dan kerja laboratorium (laboratory work).Hasil dari kedua

disiplin ini kemudian digabungkan menjadi satu hasil akhir. Untuk memperoleh

data dan keterangan yang dibutuhkan dalam penulisan ini, penulis menggunakan

metode pengumpulan data.Dalam hal ini digunakan dua macam metode, yakni

menggunakan daftar pertanyaan tertulis (questionnaires), dan menggunakan

wawancara (interview).Untuk melengkapi pengumpulan data dengan daftar

pertanyaan maupun wawancara tersebut, dalam penelitian ini digunakan

pengamatan (observation) dan penggunaan catatan harian (Djarwanto, 1984:25).

32
33

Sebagai orang yang berasal dari etnik Batak Toba (yaitu outsider), berada

di luar topik penelitian yang akan diteliti, sedikit banyaknya peneliti mempunyai

berbagai kelemahan dan juga sebagai sebuah “kekuatan” lintas budaya,

mengenai adat-istiadat, etika, maupun bahasa Simalungun. Namun berbagai hal

tentang jarak kebudayaan peneliti usahakan untuk dijembatani dengan cara

bertindak sebagai pengamat terlibat (participant observer).

Prinsip kerja yang dilaksanakan dalam penelitian ini secara garis besar

adalah dengan kegiatan pembacaan literatur, wawancara, dan pengamatan

terutama pada persoalan yang ingin diteliti. Membaca literatur adalah untuk

menambah wawasan, memecahkan masalah, dan membantu mengkaji pokok

masalah penelitian. Wawancara adalah untuk mengumpulkan data, kemudian

menganalisisnya, dan mendalami analisis, terutama tertuju kepada upacara,

funngsi, dan struktur musikal gual dalam upacara sayur matua. Pengamatan

dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang pokok masalah dan kenyataan

yang terjadi di lapangan, yang dapat dimasukkan ke dalam memori peneliti berupa

memori auditif maupun visual. Selain itu, pengamatan ini menjadi bahagian yang

integral dari kajian peneliti yang terlibat dalam ranah penelitiannya.

1.6.2 Pengamatan

Aktivitas awal yang juga dilakukan dalam penelitian lapangan ini adalah

melakukan pengamatan terhadap penyajian gual dalam upacara sayur matua,

untuk melihat langsung fenomena penyajiannya. Peneliti juga berusaha melakukan

33
34

pengamatan terlibat (participant observation), dengan cara melibatkan diri dalam

proses penyajian gual.

Karena objek yang peneliti amati sangat kompleks, peneliti juga

mengumpulkan beberapa rekaman video, foto-foto penyajian gual dalam upacara

sayur matua melalui rekan-rekan peneliti, baik berupa koleksi pribadi maupun

koleksi lembaga-lembaga penggiat seni lainnya, untuk membantu peneliti

mengamati lebih mendalam aspek-aspek yang berkaitan dengan penyajian gual ini

dalam kebudayaan Simalungun.

1.6.3 Studi perpustakaan

Penelitian perpustakaan diperlukan untuk memperoleh data-data dari

sumber-sumber tertulis, untuk melengkapi data yang diperoleh dari hasil

rekonstruksi berbagai wawancara dan pengamatan. Bahkan penelitian

perpustakaan sudah dilakukan sebelum terjun ke lapangan, juga secara bersama-

sama, maupun sesudah kerja lapangan.

Untuk keperluan penelitian perpustakaan, penulis melakukan kunjungan ke

berbagai perpustakaan umum, perpustakaan kampus, toko-toko buku, untuk

memperoleh tulisan yang berhubungan dengan topik pembahasan.

1.6.4 Wawancara

Wawancara ini dilakukan kepada tokoh-tokoh adat Simalungun,beberapa

orang pemusik gonrang sipitu-pitu maupun gonrang sidua-dua Simalungun, serta

melakukan wawancara mendalam dengan mereka, berdasarkan daftar persoalan

34
35

yang sudah ditetapkan terlebih dahulu. Hal ini dilakukan untuk mengetahui

pengalaman, pengetahuan, gagasan-gagasan mahupun ide-ide mereka yang

berkaitan dengan penyajian gual dalam konteks upacara adat kematian sayur

matua.

Di samping itu, penelitijuga melakukan wawancara dengan pemerhati

budaya dan kesenian Simalungun, untuk mengenal pasti pandangan mereka

tentang aspek-aspek lainnya yang berhubungan dengan topik penelitian.

Wawancara dengan para responden ini penulis rekam dengan menggunakan handy

camera Sony.

1.6.5 Metode transkripsi dan analisis

Dalam proses transkripsi penulis berpedoman pada pendapat Nettl (1991:23)

yang mengatakan ada dua pendekatan yang bisa digunakan untuk

mendeskripsikan musik, yaitu : (1) kita dapat menganalisa dan mendeskripsikan

musik dari apa yang kita dengar, (2) kita dapat menuliskan bunyi musik itu dalam

tulisan sehingga dapat mendeskripsikan tulisan itu.

Dalam hal notasi penulis mengacu pada pendapat Seeger (1958:184-195)

yang membedakan dua notasi ditinjau dari tujuannya, yaitu: notasi perskriptif dan

notasi deskriptif. Notasi perskriptif yaitu notasi yang hanya menuliskan garis besar

dari bunyi. Notasi ini merupakan pedoman bagaimana musik itu dapat di

wujudkan oleh pemain musik. Notasi deskriptif adalah laporan yang disertai

dengan lengkap tentang bagaimana sebenarnya suatu komposisi musik

diwujudkan.

35
36

Dalam mentranskripsi lima gual yang dignakan dalam upacara sayur matua

ini, yakni: (1) Gual Huda-huda, (2) Gual Parahot, (3) Gual Sayur Matua, (4)

Gual Rambing-rambing, dan (5) Gual Dinggur-dinggur, untuk tahapan awal

peneliti menggunakan transkripsi manual. Artinya segala yang terdengar

dituliskan di dalam bentuk notasi balok Barat. Kemudian setelah itu, dalam

menuliskan notasi ini penulis menggunakan sebuah perangkat lunak yang umum

digunakan pada masa sekarang di bidang etnomusikologi dan musikologi, yaitu

sibelius.

Dalam rangka metode transkripsi ini, perlu peneliti jelaskan tentang teknik-

teknik transkripsi yang digunakan, sebagai berikut.

(1) Transkripsi meliputi keseluruhan alat musik yang digunakan dalam

ensambel gonrang sipitu-pitu, yakni sarunei, ting-ting, panongah, jangat,

ogung, dan mongmongan, seperti notasi berikut ini.

36
37

(2) Sarunei ditulis menggunakan tanda kunci (clef G), dan tanda mula dua mol

(b) yang dikaitkan dengan sistem tangga nada sarunei Simalungun, bukan

tangga nada berdasar tonalitas seperti musik Barat pada umumnya.

Aplikasi notasinya adalah sperti contoh berikut.

(3) Notasi ting-ting, panongah, dan jangat diasosiasikan kepada alat-alat

musik pembawa ritme saja, sehingga tidak menggunakan tanda kunci

(clef) C, G, atau F, sebagaimana alat-alat musik pembawa melodi. Contoh

penerapannya adalah seperti berikut ini.

(4) Transkripsi terhadap alat musik ogung yang terdiri dari dua buah, masing-

masing menhasilkan nada Bb dan C, ditulis dengan menggunakan tanda

kunci G, dan dikaitkan dengan alat musik penghasil nada atau melodi.

Terapannya dalam bentuk notasi adalah sebagai berikut.

(5) Transkripsi terhadap alat musik mongmongan adalah sama dengan ogung,

yakni menghasilkan nada Bb dan C, yang juga ditulis dengan

menggunakan tanda kunci G, dan dihubungkan dengan alat musik

penghasil nada. Terapannya dalam notasi balok adalah sebagai berikut.

37
38

Dengan menggunakan teknik transkripsi seperti di atas, maka hasil lima gual

seperti disebutkan di atas, sepenuhnya dapat dilihat pada lampiran tesis ini.

1.7 Organisasi Tulisan

Tulisan ini secara keseluruhannya terdiri atas enam bab. Ketujuh-tujuh bab

ini ditulis menjadi satu kesatuan dalam menguraikan pokok masalah yang

diajukan pada Bab I, yang terfokus ke dalam tiga aspek: (a) deskripsi upacara, (b)

fungsi, dan (b) struktur gual yang digunakan dalam konteks upacara sayur matua

dalam budaya Simalungun. Ketujuh bab itu dapat diuraikan seperti berikut ini.

Bab Satu merupakan Pendahuluan, yang kemudian dapat dirinci lagi dengan

uraian tentang Latar Belakang, Rumusan Masalah yang dikaji, Tujuan dan

Manfaat Penelitian, Tinajuan Pustaka, Metode Penelitian, Observasi, Wawancara,

Kerja Laboratorium, Konsep, Teori, Metode penelitian, dan lainnya. Bab ini berisi

mengenai faktor-faktor sosial dan kebudayaan apa yang menjadikan penulis

tertarik meneliti dan menulis fenomena ini, serta bagaimana fenomena tersebut

dikaji berdasarkan keilmuan etnomusikologi dalam konteks multidisiplin ilmu.

Bab Dua, adalah deskripsi etnografis yang berfokus kepada masyarakat

Simalungun (khususnya di Kecamatan Raya) dan kebudayaannya. Aspek yang

dideskripsikan di antaranya adalah gografi, wilayah budaya, bahasa, seni tari, seni

musik, alat-alat musik, dan lain-lainnya. Pada dasarnya bab ini adalah

mendeskripsikan secara umum masyarakat Simalungun dan kebudayaannya.

38
39

Deskripsi ini berkaitan bagaimana kondisi etnografis masyarakat Simalungun dan

kebudayaannya serta hubungannya dengan lima gual yang difungsikan dalam

upacara sayur matua.

Bab Tiga, adalah deskripsi upacara sayur matua serta penggunaan gual

pada budaya masyarakat Simalungun di Kecamatan Raya. Tulisan di dalam bab

ini mengacu dari penelitian lapangan, dengan menerapkan deskripsi upacara yang

ditawarkan oleh para ahli. Isi di dalamnya mencakup Sayur Matua dalam Budaya

Simalungun, Tatacara Adat Kematian Sayur matua, Padalan tugah-tugah, Riah

Tongah Jabu, Tampei Porsa, Pahata gonrang oleh cucu laki-laki dan perempuan

sulung, Mandingguri, Mamungka gonrang, Mandingguri hasutan bolon,

Mangoromi na matei, Pamasuk hu rumah-rumah, Pangiligion, Hio Parpudi dan

manangkih gonrang, dan Paragendaon.

Selanjutnya Bab Empat, berisi analisis tentang guna dan fungsi gual dalam

konteks upacara sayur matua dalam adat Simalungun. Di dalam bab ini dikaji hal-

hal sebagai berikut: pengertian gual, Gual Parahot, Gual Huda-huda, Gual

Rambing-rambing, Gual Sayur Matua, Gual Dinggur-dinggur, pengertian guna

dan fungsi, penggunaan gual, untuk mengiringi upacara adat sayur matua,

memeriahkan jalannya upacara, fungsi gual untuk mengabsahkan upacara adat

sayur matua, sebagai sarana integrasi sosial, sebagai ekspresi emosi gembira dan

sekaligus sedih, sebagai sarana doa kepada Tuhan, sebagai sarana hiburan, dan

lainnya.

39
40

Selanjutnya Bab Lima, adalah bab yang berisi tentang kajian struktur lima gual

yang digunakan dalam upacara sayur matua dalam kebudayaan Simalungun.

Analisis pada bab ini mencakup hal-hal sebagai berikut. (a) Tangga nada, (b) nada

dasar, (c) wilayah nada, (d) pola-pola kadesa, dan (e) kontur terhadap lima gual,

yakni: Parahot, Huda-huda, Rambing-rambing, Sayur Matua, Dinggur-dinggur.

Demikian pula analisis terhadap aspek waktu, yakni meter dan pulsa atau ketukan

dasarna.

Bab Enam adalah berupa bab penutup yang merupakan kesimpulan dan

saran. Kesimpulan yang penulis tuliskan adalah kembali untuk menjawab tiga

pokok masalah utama di dalam bab satu. Selain itu, beberapa saran penulis

kemukakan dalam konteks penelitian ini.

40
41

BAB II
DESKRIPSI MASYARAKAT SIMALUNGUN
DI KECAMATAN RAYA

2.1 Letak Geografis Simalungun

Pada umumnya keadaan alam suatu wilayah ditentukan oleh letak

geografis wilayah tersebut di mana kondisi dan tempat sangat menentukan. Letak

wilayah tersebut dapat mencerminkan budaya yang berlaku di masyarakat

setempat. Untuk dapat mengetahui ataupun mengenal budaya suatu tempat dapat

dilakukan dengan menggunakan pendekatan etnografi. Etnografi dapat diartikan

sebagai berikut, 1. Etnografi merupakan studi deskriptif tentang masyarakat-

masyarakat yang sederhana, serta gambaran dari suku-suku bangsa yang hidup; 2.

Etnografi merupakan ilmu yang melukiskan tentang kebudayaan dari setiap suku

bangsa yang tersebar di muka bumi ini; 3. Etnografi adalah suatu gambaran

tentang suku-suku bangsa dan bahan-bahan penyelidikannya yang telah

dikumpulkan, kemudian diuraikan dalam suatu metode ilmiah tertentu dengan

cara mempelajari bahan yang terkumpul (Ariyono Suyono, 1985:113). Dengan

pendekatan inilah penulis akan membahas bahan kajiannya dengan metode-

metode ilmiah yang terdapat dalam disipin etnomusikologi.

Berdasarkan sistem administratif, wilayah tempat tinggal masyarakat

Simalungun terletak dalam wilayah kabupaten Simalungun khususnya. Daerah ini

merupakan salah satu pemerintahan kabupaten di Sumatera Utara dengan ibukota

Pematang Siantar, terletak pada koordinat 02º 36’-03º 1’ LU dan 98 BT serta

memiliki ketinggian rata-rata 369 m di atas permukaan laut. Luas daerah

41
42

Simalungun sekitar 4.386,60 km² (6,12% dari luas wilayah Sumatera Utara) yang

terdiri dari 30 kecamatan dan 311 kelurahan/desa. Wilayah Pemerintahan

Kabupaten Simalungun berada di antara Kabupaten-Kabupaten lain di Sumatera

Utara, dengan tata letak sebagai berikut: 1. Sebelah Utara berbatasan dengan

Kabupaten Deli Serdang 2. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Karo 3.

Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Toba Samosir 4. Sebelah Timur

berbatasan dengan Kabupaten Asahan Jika ditinjau secara keseluruhan Kabupaten

Simalungun termasuk daerah yang berbukit-bukit, daerah tersebut berada di

dataran tinggi dan dialiri sungai-sungai, antara lain Sungai Bah Bolon (118 Km),

Sungai Bah Tonggiman (91 Km), Sungai Bah Sibalakbak (98 Km). Sedangkan

gunung (dolok) yang terdapat di daerah Simalungun antara lain, Gunung Sipiso-

piso, Gunung Singgalang, Gunung Simarsolpah, Gunung Simarjarunjung, Gunung

Simbolon dan Gunung Simarsolpit dan juga daerah Simalungun masih memiliki

hutan-hutan yang cukup luas. Keadaan suhu di sebagian besar daerah Simalungun

termasuk dingin, seperti di daerah Pematang Raya, Tiga Runggu, Parapat,

Pematang Purba, Simarjarunjung dan lain-lain.

2.2 Sistem Kekerabatan

Sistem kekerabatan merupakan sistem pertalian keluarga yang sedarah

maupun yang masih memiliki hubungan keluarga. Sistem kekerabatan sangat

penting dalam kehidupan masyarakat tradisi karena selalu memerlukannya dalam

segala aktivitas budayanya. Dalam sistem kekerabatan Simalungun, ada dua cara

untuk menentukan bagaimana jauh dekatnya seseorang di dalam kekerabatan

menurut adat istiadat Simalungun, pertama menurut garis keturunan pihak laki-

laki (ayah) disebut juga patrilineal dan kedua adanya pertalian darah akibat

42
43

perkawinan sehingga dapat ditarik garis keturunan dari kedua orangtua disebut

juga bilateral.

Menurut M.D. Purba dalam bukunya yang berjudul Adat perkawinan

Simalungun, masyarakat Simalungun termasuk masyarakat yang menarik garis

keturunan dari salah satu pihak saja, yaitu dari garis keturunan ayah (garis

keturunan laki-laki) yang secara otomatis jika anak laki-laki dan perempuan lahir

akan mengikuti garis keturunan ayah (1985:108). Oleh karena itu kekerabatan

menyangkut jauh dekatnya hubungan seseorang dengan seseorang (individu) dan

antara seseorang dengan sekelompok orang (keluarga) dapat dilihat berdasarkan

posisi dari kedua hal tersebut. Ditegaskan kembali oleh Kenan Purba dalam

bukunya Adat Istiadat Simalungun yang menyatakan bahwa kekerabatan timbul

akibat dua hal, yaitu disebabkan adanya hubungan darah dan akibat adanya

perkawinan.

Adapun kekerabatan yang dilihat dari hubungan darah merupakan

kekerabatan yang dilihat dari garis keturunan sedarah yang masih keluarga

ataupun yang masih dalam garis keturunan ayah (garis keturunan laki-laki).

Dengan menerapkan pengertianseperti itu membuat masyarakat Simalungun

menggunakan paham patrilineal yaitu mengikuti garis keturunan ayah. Sedangkan

kekerabatan yang disebabkan adanya perkawinan merupakan kekerabatan yang

dilihat dari keluarga dari kedua belah pihak yang dilihat dari relasi dari setiap

keluarganya. Sehingga dapat dilihat bagaimana peran garis keturunan pihak laki-

laki untuk generasi penerus dalam masyarakat Simalungun. Bukti bahwa garis

keturunan diambil dari pihak laki-laki adalah dengan adanya marga dalam

masyarakat Simalungun. Setiap anak yang lahir dalam suatu keluarga di etnik

43
44

Simalungun, secara otomatis akan memiliki marga yang sama dengan marga si

ayah. Tradisi seperti ini membuat posisi seorang anak laki-laki dalam sebuah

keluarga sangat penting karena merupakan generasi penerus marga keluarganya.

Sehingga jika dalam sebuah keluarga tidak memiliki anak laki-laki maka penerus

marga sang ayah dalam keluarga tersebut akan terputus. Dan pada umumnya

masyarakat Simalungun lebih condong terhadap keturunannya laki-laki mengingat

pentingnya peran laki-laki dalam sistem tradisi masyarakat Simalungun. Sistem

kekerabatan dalam masyarakat Simalungun juga dilihat dari garis keturunan

marga-marga induk yang akan dilihat hubungannya dengan garis keturunan ayah

dan ibu. Adapun golongan marga induk yang ada di Simalungun adalah Purba,

Saragih, Damanik, dan Sinaga. Masing-masing marga tersebut mempunyai cabang

sendiri yang merupakan satu keturunan.

Adapun marga-marga di Simalungun beserta cabang-cabangnya dilihat dari

tempat asalnya pada zaman kerajaan dulu adalah sebagai berikut:

1. Marga Purba berpusat di Pematang Purba dan terbagi atas:

a. Purba Tambak

b. Purba Tambunsaribu

c. Purba Sidadolok

d. Purba Dasuha

e. Purba Girsang

f. Purba Sigumonrong

g. Purba Siboro

h. Purba Pak-pak

i. Purba Sidagambir

44
45

j. Purba Tanjung

k. Purba Tondong

2. Marga Saragih berpusat di Pematang Raya dan terbagi atas:

a. Saragih Garingging

b. Saragih Sumbayak

c. Saragih Munthe

d. Saragih Dajawak

e. Saragih Simanihuruk

f. Saragih Simarmata

g. Saragih Sidauruk

h. Saragih Sitio

i. Saragih Turnip

3. Marga Damanik berpusat di Pematang Siantar dan terbagi atas:

a. Damanik Malau

b. Damanik Barita

c. Damanik Limbong

d. Damanik Tomok

e. Damanik Rampogos

4. Marga Sinaga berpusat di Pematang Tanah Jawa dan terbagi atas:

a. Sinaga Sipayung

b. Sinaga Haloho

c. Sinaga Sitopu

d. Sinaga Dadihoyong

45
46

Sistem kekerabatan yang dimiliki oleh masyarakat Simalungun

berdasarkanprinsip tolu sahundulan dan lima saodoran. Tolu sahundulan terdiri

dari: tondong, sanina, dan anak boru. Dalam pengaturan parhundulan,pihak dari

sanina di jabu bona (sebelah kanan rumah), pihak kelompok tondongdi sebelah

kanan pihak sanina, dan pihak anak boru di sebelah kanan pihaktondong. Itulah

sebabnya dikatakan tolu sahundulan (pengaturan tempat dudukdalam tiga

kelompok). Lima saodoran ialah kerabat keluarga luas yangmerupakan gabungan

dari seluruh lembaga adat dan hal ini terjadi pada saatupacara besar. Jadi

pengertian lima disini ialah pesta upacara yang dihadiri olehlima kelompok

kerabat yang terdiri dari tondong (kelompok istri), sanina (sanak saudara satu

keturunan/marga), anak boru (pihak ipar), tondong ni tondong (kelompok pemberi

istri kepada tondong), anak boru mintori (kelompok boru dari ipar). Dalam setiap

upacara adat, para kerabat-kerabatnya akan membawa rombongan masing-masing

dengan bawaannya (buah tangan) masing-masing juga. Tetapi karena mereka

terdiri dari satu kaum kerabat, maka buah tangannya dibuat menjadi satu. Sebagai

contoh misalnya pada saat upacara perkawinan, rombongan dari tiap kaum kerabat

membuat acaranya secara bergiliran dalam upacara tersebut. Pihak perwakilan

pesta akan memanggil mereka untuk mempersembahkan sesuatu untuk pihak yang

melakukan upacara perkawinan tersebut. Hal ini merupakan suatu kehormatan

bagi masyarakaat Simalungun untuk menunjukkan sistem kekerabatannya (Kenan

Purba 1997:32).

46
47

2.2.1 Struktur Sosial Tolu Sahundulan Lima Saodoran

Masyarakat Simalungun dalam ikatan sosialnya terhisab ke dalam

organisasi social yang disebut Tolu Sahundulan Lima Saodoran yang mengikat

orang Simalungun dalam kekerabatan menurut adat istiadat Simalungun dalam

kekerabatan menurut adat istiadat Simalungun. Adapun Tolu Sahundulan itu

terdiri dari: Tondong, Sanina, Boru, dan Boru ni Boru (Anak Boru Mintori).

Hubungan kekerabatan di kerajaan-kerajaan Simalungun boleh dikatakan

seluruhnya diikat oleh hubungan perkawinan. Hal ini dimungkinkan karena

konsep puangbolon (permaisuri) dan puangbona (isteri yang pertama) yang

merupakan prasyarat utama dalam menentukan seseorang menjadi pengganti raja

sebelumnya. Anakboru sanina yang terdapat pada suku bangsa Simalungun turut

mengikat hubungan yang lebih erat yang semakin memperkokoh hubungan

kekerabatan di antara raja-raja Simalungun.

2.3 Mata Pencaharian

Secara umum mata pencaharian masyarakat Simalungun adalah petani,

pegawai negeri, pegawai swasta juga wiraswasta, bagi yang berdomisili di tepi

Danau Toba umumnya bekerja sebagai nelayan, dan melihat daerah Simalungun

lebih banyak daratan maka pada umumnya bekerja sebagai petani. Masyarakat

yang bekerja sebagai petani biasanya menanam makanan pokok seperti padi, ada

juga yang menanam palawija dan sayur-mayur. Pekerjaan bertani merupakan

rutinitas yang dilakukan oleh masyarakat Simalungun dulunya untuk memenuhi

segala kebutuhan sehari-hari dan hingga sekarang masih ada masyarakat

47
48

Simalungun yang melakukan rutinitas tersebut mengingat adanya kegiatan

tahunan yang dilakukan untuk merayakan hasil panennya.

Dalam masyarakat Simalungun ada dikenal sistem gotong royong yang

disebut dengan marharoan. Marharoan adalah sekelompok masyarakat yang

bertetangga bersama-sama mengerjakan ladang atau sawah secara bergiliran.

Keikutsertaan seseorang dalam marharoan ini adalah sukarela dan merasa meiliki

kebutuhan yang sama. Lamanya marharoan tergantung dari pekerjaan yang harus

dikerjakan serta merupakan hasil keputusan bersama.Marharoan kini sudah jarang

ditemukan pada masyarakat Simalungun, namun di beberapa desa seperti daerah

Saribu Dolok dan sekitarnya masih sering dilakukan. Kegiatan ini dulunya

dilakukan untuk menyelesaikan pekerjaan ladang dengan ditambah sebagai bentuk

solidaritas antar masyarakat di dalamnya.Masyarakat Simalungun juga ada yang

berprofesi sebagai pegawai negeri dan pegawai swasta.Sebagai pegawai negeri

mereka berprofesi sebagai guru, polisi, dokter, pejabat pemerintahan dan lain-

lainnya.Sebagai pegawai swasta meraka bekerja di pabrik, perkebunan dan

perusahaan milik swasta. Sedangkan bagi masyarakat yang berwiraswata

pekerjaannya adalah pedagang, pengusaha kilang, bertenun, dan lain sebagainya.

Pekerjaan-pekerjaan seperti ini pada umumnya pekerjaan yang sudah mendekati

daerah kota dan adapun di daerah desa sudah disebabkan oleh pengaruh dari luar

ataupun kota.

Tidak hanya pekerjaan seperti itu saja, sebagian kecil dari daerah

Simalungun juga memiliki pekerjaan dan usaha budidaya ikan.Masyarakat

nelayan di Simalungun terdapat di sekitar tepian Danau Toba, seperti Haranggaol,

Parapat dan sekitarnya. Pembudidayaan ikan mas salah satu mata pencaharian

48
49

yang berkembang untuk saat ini. Oleh karena itu, masyarakat Simalungun secara

keseluruhan daerah memiliki pekerejaan yang sesuai dengan kependudukan

masing-masing sehingga memiliki keberagaman mata pencaharian.

2.4 Bahasa

Bahasa adalah alat komunikasi yang dipakai oleh manusia untuk

mengungkapkan dan mengemukakan apa yang dipikirannya terhadap orang lain.

Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul Ritus Peralihan di Indonesia

menulis “bahasa adalah sistem perlambangan manusia yang lisan maupun tulisan

untuk berkomunikasi satu dengan yang lain” (1986:339). Melalui bahasa juga

kebudayaan tiap bangsa dapat dikembangkan dan diwariskan kepada generasi

yang akan datang. Suatu bahasa menentukan bagaimana ciri dan khas suatu

masyarakat dan khususnya suatu kebudayaan, sehingga dapat dilihat peran bahasa

yang diguakan suatu masyarakat.

Masyarakat Simalungun memiliki bahasa yang disebut dengan bahasa

Simalungun, secara umum merupakan bahasa pengantar dalam kehidupan

keseharian masyarakatnya yang digunakan dalam kegiatan-kegiatan adat istiadat,

acara kebaktian gereja, perkumpulan-perkumpulan marga dan lain sebagainya.

Meskipun demikian, bagi masyarakat Simalungun yang telah berdomisili di luar

wilayah Simalungun, bahasa Simalungun tidak selamanya menjadi bahasa

pengantar utama, melainkan bahasa Indonesia atau bahasa daerah domisili

mereka. Masyarakat Simalungun juga kadang menggunakan bahasa yang

dicampur dengan bahasa di luar kebudayaannya mengingat dekatnya perbatasan

daerah Simalungun dengan daerah kebudayaan lain. Sistem bahasa yang

49
50

digunakan masyarakat Simalungun memiliki ciri tersendiri yang menjadi lambang

maupun status sebagai masyarakt Simalungun.

Salah satu ciri masyarakat Simalungun adalah memiliki tingkatan bahasa

yang disebut dengan ratting ni hata. Adapun tingkatan tersebut adalah: 1. Lapang

ni hata, merupakan bahasa sehari-hari yang dipakai oleh masyarakat umum

Simalungun. Bahasa ini merupakan bahasa yang menjadi kebiasaan masyarakat

Simalungun dan pada umumnya selalu digunakan para remaja karena

menggunakan bahasa yang dicampur dengan bahasa kebudayaan lain mengingat

mereka yang selalu berinteraksi dengan di luar kebudayaannya. 2. Guru ni hata,

merupakan bahasa yang paling halus, baik dari cara penyampaiannya maupun

kata-katanya. Ini merupakan bahasa yang hormat dan biasanya dipergunakan

untuk memberi nasehat, sering sekali disampaikan melalui perumpamaan ataupun

peristilahan. 3. Sait ni hita, merupakan bahasa yang kasar baik cara

penyampaiannya maupun kata-katanya. Ini biasanya bahasa seseorang dalam

mengungkapkan kemarahan, yang berisi dengan makian dan sindiran. Pada masa

sekarang, yang paling sering dipakai adalah lapang ni hata, karena merupakan

bahasa yang sangat umum dipakai dalam kehidupan masyarakat, namun dalam

keadaan tertentu seseorang bisa saja mempergunakan bahasa yang kasar ketika

sedang marah atau mempergunakan bahasa yang halus ketika hendak memberi

nasehat.

Penggunaan bahasa dalam masyarakat Simalungun disesuaikan dengan

posisi tempat dan keadaan saat melakukan komunikasi. Seperti yang dijelaskan di

atas dapat dilihat dari situasi dan tempatnya, sebagai contoh penggunaan bahasa

yang digunakan dalam suatu upacara adat yang digunakan oleh ketua adat atau

50
51

pemimpin adatnya yang selalu menggunakan bahasa ni guru. Penyampaian

bahasanya akan menunjukkan integritas si pembicara dalam posisimaupun

jabatannya sebagai pembicara dan hal itu menjadi simbolis seseorang dalam

berkomunikasi di kehidupan sehari-hari.

2.5 Kesenian

Menurut Koentjaraningrat (1982:395-397), kesenian merupakan ekspresi

manusia terhadap keindahan, dalam kebudayaan suku-suku bangsa yang pada

mulanya bersifat deskriptif. Kesenian dalam masyarakat Simalungun

menggambarkan bagaimana deskripsi masyarakat tersebut dan pada umumnya

seperti itu dalam suatu masyarakat yang memiliki tradisi sendiri. Kesenian

jugaakan menentukan identitas suatu masyarakat sehingga bentuk kesenian dalam

masyarakat Simalungun disesuaikan dengan bentuk, sistem, bahasa,

kepercayaan,dan sejarah yang terdapat dalam masyarakat Simalungun.

Masyarakat Simalungun memiliki berbagai macam bentuk kesenian, yaitu seni

sastra, senimusik, seni tari dan seni rupa.

2.5.1 Seni Sastra

Seni sastra dikenal di Simalungun dalam bentuk cerita-cerita baik dongeng

atau legenda, dan pantun-pantun. Masih banyak dongeng maupun legenda yang

dikenal oleh masyarakat Simalungun, dan bahkan yang dipercayai dalam bentuk

keyakinan. Salah satu contoh dongeng yang cukup terkenal adalah Turi-turin

nipaes pakon begu. Mengingat masyarakat Simalungun dulunya menganut

pahamanimisme, maka banyak sejarah legenda yang menceritakan di luar akal

51
52

danpikiran masyarakat sekarang. Namun bukan hanya disebabkan oleh itu juga,

melainkan melihat masyarakat Simalungun yang menghargai tradisi dan

kebudayaan yang berlaku dalam masyarakatnya. Seni berbalas pantun juga pernah

berkembang di Simalungun, perkembangan kata-kata perumpamaan, pepatah-

pepatah, hutinta (teka-teki) dan lain-lain. Kesenian ini biasanya digunakan dalam

kehidupan sehari-hari danbahkan juga digunakan dalam kepentingan adat, seperti

pantun yang diungkapkan dalam acara makkioi daboru yang menyampaikan pesan

sesuatu dalam bentuk pantun dengan menyampaikan kiasan dahulu kemudian

makna sebenarnya. Kesenian yang ditunjukkan dalam bentuk pelafalan bahasa

merupakan hal yang umum dalam masyarakat Simalungun melihat bagaimana

pentingnya tradisi yang digunakan dalam masyarakat tersebut.

2.5.2 Seni Musik

Masyarakat Simalungun memiliki dua jenis musik yaitu musik

vokal/senisuara (inggou) dan musik instrumental (gual). Musik vokal (inggou) ada

dua jenis yaitu musik vokal solo dan musik vokal berkelompok. Musik vokal solo

disebut dengan doding sedangkan musik vokal kelompok disebut ilah. ada

berbagai jenisnyanyian Simalungun diantaranya taur-taur dan simanggei, ilah,

doding-doding, urdo-urdo, tihta, yangis, tangis-tangis, manalunda, orlei dan

mandogei. Musik instrumental (gual) yang tedapat di Simalungun juga terbagi

atas dua yaitu ensambel (gonrang) dan instrumen tunggal/solo instrument.

Adapun gonrang Simalungun terbagi dua yaitu gonrang sipitu-pitu dan gonrang

sidua-dua.

52
53

Gonrang sipitu-pitu adalah ensambel yang menggunakan tujuh buah

gendang masing-masing memiliki ukuran yang berbeda, satu buah sarune, dua

buah ogung dan mongmongan. Sedangkan gonrang sidua-dua adalah ensambel

yang terdiri dua buah gendang, satu buah sarune, dua buah ogung dan

mongmongan.

Ada juga beberapa instrumen musik tradisional Simalungun yang

dimainkan secara tunggal, antara lain sordam, saligung, sulim, tulila, sarunei

buluh, sarunei bolon, arbab, hodong-hodong, garantung dan sitalasayak. Alat

musik ini (ansambel atau solo instrument) ada yang digunakan untuk upacara-

upacara adat ataupun untuk menghibur diri sendiri. Instrumen musik dalam tradisi

masyarakat Simalungun sangat penting karena perannya yang selalu digunakan

dalam setiap upacara-upacara yang diadakan. Setiap alat musik baikitu yang

dimainkan secara ansambel maupun yang dimainkan secara tunggal memiliki

fungsi dan peranan masing-masing dalam upacara-upacara sepertiupacara adat,

upacara ritual, ataupun acara hiburan semata.

2.5.3 Seni Tari

Dalam masyarakat Simalungun tari merupakan hal yang penting apalagi

dalam konteks adat istiadat. Tari dapat membedakan kelompok status yang

menari, misalnya kelompok suhut, tondong, dan sanina boru. Peran tari dalam

masyarakat Simalungun sangat mempengaruhi setiap jalannya suatu upacara. Hal

ini disebabkan dalam suatu upacara dalam masyarakat Simalungun dengan contoh

upacara perkawinan akan membuat suatu konsep acara dengan urutan atau

rentetan acara yang sudah ditetapkan. Tari atau disebut juga tor-tor dalam

53
54

masyarakat Simalungun ada yang dipergunakan untuk upacara adat istiadat,

upacara bersifat kepercayaan, ada juga dipakai dalam pergaulan muda-

mudi.Dalam seni tari masyarakat Simalungun memiliki dua jenis pola dasar yaitu

gerak serser dan ondok.

Dalam upacara kepercayaan juga dipakai tor-tor sebagai pelengkap

maupun pendukung upacara yang digunakan sebagai makna simbolis, dan ini

biasanya dilakukan oleh orang yang sedang kesurupan. Tor-tor ini disebut tor-

tornasiaran. Gerakan tarian ini bebas dimulai dengan tempo yang lambat

kemudian semakin lama semakin cepat. Gerakan yang dilakukan oleh penari

merupakan gerakan yang dilakukan di luar kesadarannya yang artinya penari

tersebut hanya merupakan media bagi roh yang memasukinya. Dasar gerakannya

adalah tangan atau jarinya yang mengepal dan juga menggunakan ekspresi yang

tidak jelas yang terkadang menggunakan bahasa yang sulit dipahami. Ada

beberapa tari yang digunakan untuk upacara kepercayaan seperti:

1. Tor-tor turahan, tor-tor ini bersifat gotong royong digunakan pada waktu

menarik balok besar dari hutan untuk dijadikan losung

2. Tor-tor podang,tor-tor ini dilakukan oleh dua laki-laki yang masing-masing

memegang pedang sambil menari dan diiringi dengan musik.Tujuan daritarian

ini adalah untuk menambah semangat orang-orang yang sedang bekerja.

Kegiatan ini dilakukan dengan

3. Tor-tor tunggal panaluan, tor-tor ini dilakukan oleh seorang guru bolon(dukun)

untuk mengayun tunggal panaluan

4. Tor-tor muda-mudi dan tor-tor pencak adalah jenis tor-tor yang bersifat

hiburan. Tor-tor muda-mudi biasanya digunakan dalam acara-acara yang

54
55

bersifat sukacita, misalnya rondang bittang, marsapu-sapu, dan maranggir

borngin. Tor-tor pencak adalah tarian dengan gerakan dasar pencak yang

dihiasi dengan gerakan lain dan seirama dengan gonrang. Biasanya dilakukan

oleh dua orang. Dulunya gerak tor-tor pencak inidigunakan juga oleh orang

yang kesurupan karena digunakan sebagaimedia dalam sebuah upacara ritual,

dan hal ini menunjukkan suatu bentukekspresi marah dari roh yang

merasukinya.

2.5.4 Seni Rupa

Seni rupa dalam masyarakat Simalungun disebut dengan gorga yaitu

motif-motif hiasan berbentuk hewan, manusia, tumbuhan, dan berbentuk

geometris. Motif-motif ini biasanya terdapat pada kain adat (hiou), rumah adat,alat

musik, sarung, gagang pedang, dan peralatan-peralatan lainnya. Motif-motif khas

Simalungun ini diaplikasikan terhadap benda-benda yang merupakan bentuk

maupun ciri tradisi masyarakatnya dan yang sudah biasa digunakan dalam

kehidupan sehari-hari terkhusus dalam aktivitas budayanya.

2.6 Agama dan Kepercayaan

Menurut Purba (1998:28-31), sebelum masuknya agama Islam dan Kristen

di Simalungun, masyarakat Simalungun masih menganut Aninisme yang disebut

supajuh begu-begu dan politeisme yaitu kepercayaan pada sang pencipta alam

yang bersemayam di langit tertinggi yang disebut Ompung Naibata yang

terdiritiga Naibata yaitu:

1. Naibata na I babou ( benua atas)

55
56

2. Naibata na I tongah (benua tengah)

3. Naibata na I toruh (benua bawah)

Selain mempercayai adanya ketiga Naibata tersebut, penganut supajah begu-

begujuga mempercayai roh nenek moyang mereka. Masyarakat Simalungun

jugamempercayai roh-roh orang mati (begu) dan dianggap memiliki kekuatan gaib

danbiasanya berdiam di tempat-tempat tertentu yang dianggap keramat. Selain

ituada juga kepercayaan masyarakat Simalungun bahwa suatu tempat juga

memilikipenghuni, misalnya penghuni perladangan yang disebut dengan

pangianni talun.

Masyarakat Simalungun juga mengenal pemberian sesajen atau

persembahanterhadap hal-hal yang dipercayai mereka dengan tujuan meminta

berkah dankeselamatan. Tempat pemberian sesajen tersebut disebut dengan

parsinumbahan.Berdasarkan kepercayaan sipajuh begu-begu, ada beberapa ritual

yang merekalakukan seperti :

1. Maranggir yaitu upacara ritual untuk membersihkan diri dari gangguanroh

jahat.

2. Manumbah yaitu upacara ritual untuk mendekatkan diri pada sembahanmereka.

3. Ondos Hosah yaitu upacara ritual untuk seluruh penduduk suatu desa atausatu

keluarga agar terhindar dari marabahaya.

4. Manabari/manulak bala yaitu upacara ritual untuk mengusir marabahayadalam

suatu desa atau diri seseorang.

5. Marbahbah yaitu upacara ritual untuk menjauhkan penyakit atau

menundakematian seseorang dengan membuang patung orang tersebut. Patung

inibiasa terbuat dari batang pisang.

56
57

6. Mangindo pasu-pasu yaitu upacara ritual untuk meminta berkah dan doarestu

dari roh nenek moyang agar tetap sehat dan mendapat rezeki.

7. Mardilo tonduy yaitu upacara ritual pegobatan untuk memanggil rohseseorang

yang mengalami sakit yang disebabkan roh jahat.

Masuknya agama ke daerah masyarakat Simalungun memberikanpengaruh

terhadap bentuk dan sistem tradisi yang ada di dalam masyarakattersebut. Ada

sebagian norma-norma yang ditinggalkan dan bahkan ditambahijuga yang sesuai

dengan aliran agama tersebut. Agama Islam masuk keSimalungun pada abad ke-

15 melalui daerah Asahan dan Bedagai yang dibawaoleh orang-orang dari

kerajaan Aceh. Awalnya perkembangan agama Islamberada di daerah sekitar

Perdagangan dan Bandar (Sihotang 1993:23). Sedangkanagama Kristen masuk ke

Simalungun pada awal abad ke-20 tepatnya pada tanggal2 September 1903, yang

dibawa oleh misionaris bernama August Theis dipematang Raya. Pada mulanya

agama Kristen mendapat kesulitan untukberkembang karena kuatnya pengaruh

kepercayaan mereka dan kalanganbangsawan dan raja yang juga enggan untuk

menerimanya. Melihat masuknyaagama dalam masyarakat Simalungun tidak juga

mempengaruhi rasa kebudayaanakan nilai-nilai tradisi dalam masyarakatnya.

57
58

BAB III
UPACARA SAYUR MATUA PADA MASYARAKAT
SIMALUNGUN DI KECAMATAN RAYA

3.1 Sayur Matua dalam Budaya Simalungun

Terdapat lima jenis kematian pada orang Simalungun, yaitu: i) matei

manorus (meninggal sewaktu melahirkan), ii matei garama/anakboru (meninggal

sewaktu lajang, atau belum menikah), iii) matei matalpok, (semua anak baik laki-

laki dan perempuan telah menikah tetapi belkum mendapatakan cucu satupun), iv)

matei matua(meninggal sewaktu tua, tetapi masih ada anaknya yang belum

menikah) dan v) matei sayur matua (meninggal sewaktu tua dan seluruh anaknya

telah menikah serta mendapat cucu Dari anak laki-laki dan anak perempuan ).

Namun demikian, pada dewasa ini, matei matua dan matei sayur matuasudah

nyaris sama karena walaupun seorang matei matua, terkadang adat atau ritual

kematian yang dijalankan adalah ritual sayur matua.

Menurut Saragih (2016), adapun yang dimaksud dengan matei sayur

matua memiliki beberapa prasyarat yaitu: i) telah memiliki cucu (pahompu) dari

anak laki-laki dan anak perempuan. jenis upacara adat yang dilakukan terhadap

orang yang meninggal dalam kategori ini disebut dengan adat na gok (adat yang

penuh) karena semua adat yang berkenaan dengan kematian tersebut dijalankan,

ii) namun, jika hanya mendapat cucu dari anak laki-laki, tetapi belum mendapat

cucu dari anak perempuan, atau sebaliknya, maka tetap disebut matei sayur matua

hanya saja adat na gok tidak dapat dijalankan.

58
59

Dalam tradisi adat kematian orang Simalungun, jika yang meninggal

termasuk pada kategori matei manorus, matei garama/anakboru maupun matei

matalpok, maka jenajah hanya dapat disemayamkan selama lebih dari satu hari.

Namun sering sekali bahwa matei matalpok dimana jenajah disemayamkan lebih

dari satu hari berhubung karena anak-anak (niombah) dari yang meninggal masih

belum tiba di rumah duka sehingga masih harus mennunggunya.

Adapun alasan sehingga jenajah harus dikuburkan tidak lebih dari satu hari

jika kematian adalah matei matorus, matei garama/anakboru maupun matei

matalpok dipercaya karena rohnya masih penasaran sehingga dikhawatirkan akan

mengganggu masyarakat yang ditinggalkan . Hal ini berbeda dengan matei matua

ataupun mateisayur matua dimana kematian tidak lagi dianggap sebagai kesedihan

luar biasa, tetapi dianggap sebagai ekspresi sukacita, karena yang meninggal telah

dianggap memiliki kehidupan yang sempurna (semua anak telah menikah dan

mendapat cucu dari laki-laki dan perempuan, bahkan sering pula telah

mendapatkan nini dan nono.

3.2 Tatacara Adat Kematian Sayur matua

Bagi masyarakat Simalungun penting untuk melaksanakan adat-istiadat

yang berlaku sehingga sampai sekarang masih kita dapati upacara kematian jika

seorang telah meninggal dunia, dari data yang penulis dapat di lapangan berikut

tata cara adat kematian sayur matua pada masyarakat Simalungun.

59
60

3.2.1 Padalan tugah-tugah

Padalan tugah-tugahatau disebut juga sebagai penyampaian berita

duka,Seseorang yang meninggal harus diberitahukan kepada kerabatnya yakni

komponen tolu sahundulan dan lima saodoran. Pada kematian Sayur matua,

pemberitahuan ini dilakukan dengan cara: i) jika yang meninggal adalah Bapak

atau seorang laki-laki, maka berita kematian disampaikan kepada Tondong

Pamupus yaitu paman dari ayah (saudara laki-laki ibunya). Pada pemberitahuan

berita duka, disertakan gotong yang di dalamnya telah ditaruh (diselipkan) uang.

Sebelum diberikan kepada paman, maka terlebih dahulu diberikan sirih (apuran)

dan uang (batu ni demban) dalam lipatan sirih. Pemberian apuran dan gotong ini

dimaksudkan sebagai cara meminta maaf sekaligus ajakan untuk menghadiri acara

adat atas meninggalnya orangtua kepada paman dari ayahnya. Gotong yang

diserahkan kepada tondong pamupusakan dikenakan kembali kepada anak laki-

laki sulung dari yang meninggal sebagai isyarat pengganti yang meninggal di

rumah tangganya.Pemakaian gotong kepada anak laki-laki sulung dilakukan pada

saat acara adat kematian di kediaman yang meninggal dunia.Isyarat ini menandai

bahwa adik-adik dari yang meninggal dianggap tidak kehilangan orangtuanya,

sebab telah digantikan oleh anak laki-laki sulungnya.

Sebaliknya, ii) jika yang meninggal adalah Ibu (perempuan), maka

penyampaian berita dukacita dilakukan dengan membawa bulang (penutup kepala

perempuan sesuai adat) dan bajud (tempat sirih). Bawaan ini diikat menggunakan

kain dan diserahkan kepada TondongJabu (paman dari ibu) setelah didahului

menyuguhkan apuran (sirih) yang dilengkapi dengan batu ni demban(uang dalam

lipatan sirih). Bulang yang diberikan pada saat penyampaian berita duka

60
61

akandikenakan di kepala istri anak laki-laki sulung sebagai isyarat pengganti ibu

di rumah tangga yang berduka.Oleh karena itu, pengenaan bulang adalah

‘pelantikan’ istri anak laki-laki sulung sebagai pengganti ibu yang meninggal

dunia.

Gambar 3.1: Penyerahan batu ni demban


(Dokumentasi Denata Rajagukuk, 2018)

Dalam penyampaian berita duka ini, (baik laki-laki maupun perempuan),

turut pula disertakan hiou parpudi (kriya tenunan terakhir) dan porsa sangkobang

(sekira 1,5 x 2 meter) yang nantiknya diletakkan Tondong Pamupus pada jenazah

pada saat acara adat kematian sayur matua. Penaruhan Hiou Parpudi dan porsa

pada jenazah menandakan bahwa yang meninggal telah sayur matua.

Penyampaian berita dukacita dilakukan oleh sanina ni hasuhuton (saudara

semarga dari yang berdukacita) bersama Boru (saudari yang keluarga yang

berdukacita). Penyampaian berita duka cita kepada tondong pamupus (jika yang

61
62

meninggal adalah laki-laki) dan tondong jabu (jika yang meninggal perempuan)

adalah manifestasi permulaan perkawinan.

Pada awalnya, sebelum menikah, maka kedua penganti harus ‘pamit’ kepada

paman masing-masing.Pamit dilakukan dengan serangkaian adat yang harus

dilalui.Oleh karena itu, jika kelak pun meninggal maka keluarga yang berduka

harus ‘pamit’ kepada paman dari yang meninggal tersebut. Jadi, pada saat

menikah dan meninggal, maka acara ‘pamit’ kepada paman harus tetap dilakukan

sebagai ‘permohonan’ maaf atas peristiwa atau kejadian yang dialaminya.

3.2.2 Riah Tongah Jabu

Setelah pemberitahuan adat kemalangan kepada tondong pamupus atau

tondong jabu, maka dilanjutkan dengan riah tongah jabu yang artinya mufakat

internal keluarga atau kerabat yang berduka. Pada acara ini, seluruh seisi kampung

atau Serikat Tolong Menolong diundang untuk musyawarah.Pada acara ini

tondong sebagai pangalopan podah (pemberi nasehat) harus hadir. Walaupun seisi

kampung atau STM diundang, inti pemufakatan ini ada pada suhut dikarenakan

suhut merupakan keluarga inti yang berduka, sementara masyarakat kampung

atau STM bersifat pangolobi (mengiyakan).

Dalam arti bahwa, prosedur maupun kualitas serta kuantitas horja adat,

terletak pada keluarga inti yang berduka (hasuhuton) dan bukan pada kampung

atau STM.Biasanya, setelah mufakat di internal keluarga inti yang berduka, maka

mufakat tersebut disampaikan kepada musyawarah kampung atau STM. Adapun

inti riah tongah jabu suhut, adalah penentuan waktu penguburan, kuantitas acara

adat melibatkan komponen tolu sahundulan dan lima saodoran maupun kualitas

62
63

adat seperti penggunaan ansambel musik gonrang, waktu memulai adat dan

penguburan, makanan pelayat, dan lain-lain.

3.2.3 Tampei Porsa

Setelah selesai acara mufakat keluarga inti atau disebut jugariah tongah

jabu, maka acara selanjutnya dilakukan dengan padashon hiou putih atau tampei

porsa (menyampaikan kain putih) yang dimulai oleh tondong pamupus (jika yang

meninggal laki-laki) atau tondong jabu (jika yang meninggal perempuan). Pihak

paman (tondong pampus atau tondong jabu) akan memberikan dan mengenakan

kain putih (porsa) kepada suami (jika yang meninggal adalah istrinya) dan

selanjutnya kepada seluruh suhut bolon danBoru Ampuan. Pada malam itu juga,

disampaikan porsa kepada suhi ni ampang na opat. Pihak tondongakan

mengenakan porsa di kepalanya sendiri dan selanjutnya tondongakan

memakaikan porsa kepada suhut bolon (keluarga yang berdukacita) dan

panagolan-nya (keponakan) dan suhut bolonakan memakaikan porsa kepada Anak

Boru Jabu-nya.Sebelum menyerahkan porsa, maka dilakukan terlebih dahulu

penyuguhan apuran marbatu (uang dalam lipatan sirih) dan apuran tangan-

tangan (sirih dari tangan ke tangah).

Adapun ukuran porsa adalah sebagai berikut: i) nasapargotongan (kurang

lebih 100 x 100 cm) kepada hasuhuton bolon (keluarga yang ebrduak), yaitu anak

laki-laki sulung, bapatua, Anak boru Jabu (suami dari putri sulung), tondong

pamupus/tondong jabu sikahanan (paman yang paling sulung), ii)

saparsaputangan (kurang lebih 70 x 10 cm) yaitu suhut, boru dan tondong, serta

iii) sapargolangan (kurang lebih 50 x 50 cm) yakni kepada kolega atau pelayat

63
64

laki-laki yang datang. Dari ukuran porsa yang dikenakan, maka pelayat yang hadir

dapat menentukan kedekatan pelayat (posisi adatnya) terhadap yang meninggal

dunia.

Gambar 3.2: Penggunaan porsa (kain putih di ikat kepala)

(Dokumentasi Denata Rajagukuk, 2018)

Pada acara ini, Anak Boru Jabu diberikan pisou panggolat yakni pisau

yang tidak memiliki gagang yang diguankan untuk menarik garis di atas tanah

yang akan digali sebagai liang lahat. Setelah digariskan, maka pisau tersebut

dicampakkan, kemudian diambil lagi dan diberi gagangnya.Pisau ini diberikan

kembali kepada Anak Boru Jabu.Jika pisau tersebut tidak diberikan kepada Anak

Boru Jabu, maka poisis Anak Boru Jabu tersebut adalah pengganti suhut (keluarga

yang berduka).Pisau tersebut digunakan jgua untuk membuat batang yakni peti

jenazah (rumah-rumah atau jabu-jabu) bagi orang meninggal.Awalnya, material

peti jenazah adalah kayu dosih (seperti kayu nangka) yang dihiasi dengan padung-

padung (ornament hias) dan diikat menggunakan rotan.Peti jenazah dibalut

64
65

menggunakan kain hitam, perlambang dunia kematian yang beradi di Nagori

Toruh (Negeri bawah).

3.2.4 Pahata gonrang oleh cucu laki-laki dan perempuan sulung

Setelah tampei porsa atau mengenakan porsa, maka dilanjutkan dengan

pahata gondrang (memulai gendang).Pahata gondrang adalah hasil kemufakatan

keluarga inti yang berduka.Untuk memulai pahata gondrang, maka pemukulan

gondrang pertama kali dilakukan oleh cucu laki-laki dan cucu perempuan yang

paling sulung dari keluarga yang berduka.Panggual atau pemain gendang

disuguhkan masakan ayam sembelihan (dayok binatur).

Adapun musik gendang yang diperankan adalah gual sipitu-pitu (gual

bolon). Sebelum pahata gondrang, maka terlebih dahulu disuguhkan kepada

pemain gendang (panggual) pinggan na marbatu (cawan berisi uang) kepada

peniup serunai (panarunei) dan satu cawan kepada pemukul gendang yang

tertutup pada bulung tinapak (daun pisang dibentuk melingkar sesuai ukuran

cawan). Pada awalnya, kecuali pinggan na marbatu (cawan berisi uang), juga

diberikan halambir sagandeng, boras sagampil/garam sabungkusan, kaen putih

sangkobang dan kain putih bagi seluruh pemain gendang. Seluruh pemain musik

harus mengenakan porsa, demikian pula pada gendang terbesar dari tujuh gendang

tabuh tersebut.

Untuk penyerahan seperangkat ini dilakukan oleh Anak Boru Jabu.Setelah

diterima panggual, maka dilanjutkan pemukulan gendang oleh cucu laki-laki dan

cucu perempuan yang paling sulung.Pemukulan gendang ini dilakukan sebanyak

tiga kali dan setiap pemukulan tahap pertama hingga ketiga, diakhir dengan

65
66

penaburan beras disertai ucapan ‘horas’ sebanyak tiga kali.Setelah itu, acara

pahata gondrang telah selesai dan dilanjutkan ‘mandingguri’.

3.2.5 Mandingguri

Mandingguri hasutan bolon pusok ni uhur yang berarti menari keluarga

inti pada acara ini keluarga inti diberikan kesempatan dan waktunya untuk menari

sebagai simbolis merelakan kepergian yang meninggal dunia serta sebagai simbol

kegembiraan karena keturunan almarhum telah dianggap berhasil atau disebut

juga sudah sayur matua.

3.2.5.1 Mamungka gonrang

Sebelum pihak keluarga inti menari dan meminta gual sebagai pengiring,

panggual memainkan gualdinggur-dinggur dan dilanjut dengan gual sabung-

sabung anduhur kemudian ditutup dengan gualparrahotketiga gual ini dimainkan

tidak putus.Selama ketiga gualini dimainkan seluruh pelayatbelum

diperkenankanmanortor.Ketiga gual ini sebagai pembuka yang memiliki makna

bentuk pujian kepada Tuhan agar memberkati seluruh rangkaian kerja adat sayur

matua.Setelah ketiga gual sudah dimainkan, pihak keluarga intimenaburkan beras

yang disebut dengan boras sihoras-horassebanyak tiga kali diikuti penyampaian

kata ‘horas’ sebanyak tiga kali.

3.2.5.2 Mandingguri hasutan bolon

Untuk acara manortor, pertama kali dilakukan oleh tondong (hasuhuton

bolon) dan boru, kemudian tondong lainnya.Sebelum manortor, tondong disuguhi

66
67

terlebih dahulu sirih memohon untuk menari atau disebut dengan apuran ojur-

ojur.

Biasanya, gual yang dimainkan adalah: gual dinggur-dinggur,sayur

matua, rambing-rambing, olob-olob, ilah hinalang, ilah sibaoru, tapisan,

haroharo rayausang, imbou manibung, birbir palopahlopah dalan, dan

sebagainya.

3.2.6 Mangoromi na matei

Selama jenazah masih disemayamkan di rumah duka (belum dikuburkan)

maka biasanya dilakukan mangoromi na matei (menjagai jenazah). Aktifitas ini

dilakukan dengan tujuan menemani keluarga duka sembari menajga

jenazah.Banyak hal yang dapat dilakukan sealma mangoromi ini seperti belajar

silsilah (taromboui), onjab-onjab (teka-teki), belajar meratap (tangis-tangis)

maupun bercerita sejarah asal usul keluarga yang meninggal.

Sembari acara ini berjalan, pada hari kedua sebelum acara dilanjutkan,

maka dilakukan mangkurak kuburan (menggali liang lahat). Liang lahat digali di

Tempat Pemakaman Umum (TPU) atau di tempat yang dihunjuk Hasuhuton bolon

(keluarga yang berduka). Pada waktu menentukan lokasi kuburan, maka pisou

panggolat yang diserahkan kepada Anak Boru Jabu dipergunakan manggolat

(menggaris) tanah kuburan yang akan digali. Biasanya, pisou panggolat

disarungkan pada bilah bamboo dan gagangnya terbuat dari kayu.Tidak

diperkenankan gagang terbuat dari besi.

Seperti yang dikemukakan, setelah Anak Boru Jabu menggaris tanah

kuburan yang akan digali, maka pisau tersebut dicampakkan ke belakangnya dan

67
68

kemudian diambil oleh boru atau sanina dan dibawa ke rumah duka. Sesampai di

rumah, maka pisau tersebut diserahkan kepada keluarga yang berduka. Pengerjaan

penggalian liang lahat dilakukan oleh warga kampung atau STM.Sementara itu,

sebagian warga kampung atau STM mengerjakan pembuatan peti jenazah.Peti

jenazah ini diperbuat setelah mengukur tubuh jenazah dan biasanya dibuat dari

dua bagian yakni bagian tempat jenazah dan penutup jenazah.Kedua bagian ini

dibalut kain hitam yang diberikan hiasan berupa ornamen Simalungun.

3.2.7 Pamasuk hu rumah-rumah

Setelah seluruh rangkaian acara ini dilewati, maka acara selanjutnya adalah

pamasukhon hu rumah-rumahni (memasukkan jenazah ke peti jenazah).Kegiatan

ini dilakukan pada pagi hari sebelum pukul 10 (nangkok mataniari).Untuk

memasukkan jenazah ke petinya, maka tondong harus hadir menyaksikan

pemasukan jenazah tersebut. Sebelum jenazah dimasukkan, maka disuguhkan

apuran na marbatu (sirih berisi uang). Kemudian, tondong memeriksa peti

jenazah dan setelah menyatakan bahwa peti tersebut sangat layak, maka

dilanjutkan menaruh jenazah ke dalam petinya. Proses memasukkan jenazah ke

dalam peti dilakukan di dalam rumah dan setelahnya diangkat keluar rumah untuk

acara pemberian adat yang terakhir (pangiligion).

68
69

Gambar 3.3: Proses pemindahan jenazah ke dalam peti

(Dokumentasi Denata Rajagukguk, 2018)

3.2.8 Pangiligion

Setelah acara memasukkan jenazah ke dalam peti, maka dilanjutkan

dengan pangiligion yaitu pemberian adat oleh pihak tondong. Pada cara ini,

tondong hadir dengan menjunjung tombuan sayur matua. Perbedaan tombuan ini

dengan tombuan malas uhur sewaktu perkawinan adalah penutup tombuanpusok

ni uhur dibuat setengah lingkaran (ipuhekkon), sedangkan tombuanmalas uhur

penutupnya dibuat menyerupai mahkota (rudang-rudang).

Untuk pertama sekali, mangiligi dilakukan pihak tondong pamupus (jika

yang meninggal laki-laki) atau tondong jabu (jika yang meninggal

perempuan).Rombongan tondong disambut (i alo-alo) dengan menyuguhkan sirih

di atas hiouyang ditaruh di atas apei (tikar).Artinyasuhut (keluarga duka)

menggelar appei (tikar) dan pihak tondong menggelar hiou ragi panei yang

ditaruh di bawah tikar.Kemudian suhut menaruh sirih di atas hiou dan tondong

membukanya sebanyak dua kali.Pada yang ketiga kalinya, tondong menerima

69
70

apuran sekaligus menggendong cucu laki-laki sulung dari yang meninggal dan

mengenakan cucu itu hiou ragi panei yang telah dipersiapkan suhut.Hiou tersebut

ada pada pihak tondong. Sewaktu penerimaan sirih yang ketiga kalinya, pihak

suhut dalam posisi menyembah seraya menyatakan: ‘ooouuu Bapa’ atap ‘ooouuu

Inang’ dan pihak tondong menjawab: ‘ijon do hanami’ yang artinya kami ada

disini.

Gambar 3.4: Tondong membuka boras tenger


(di bawah sirih berisikan uang)

(Dokumentasi Denata Rajagukguk, 2108)

Pada acara pangiligion ni Tondang Pamupus atau Tondong Jabu,

memberikan hiou parpudi (kriya tenunan adat untuk terakhir kali) kepada

keluarga yang ditinggalkan jenazah. Jika hiou tersebut diterima oleh kerabat yang

ditinggalkan jenazah, serta tidak mengizinkan hiou jatuh hingga jenazah, berarti

hubungan kekerabatan diantaranya masih melekat kuat.Akan tetapi, jika

hioutersebut dibiarkan jatuh dan tiba di atas jenazah, artinya bahwa hubungan

kekerabatan diantaranya tidak lagi baik.

70
71

Setelah pangiligion dari pihak tondong pamupus atau tondong jabu, maka

dilanjutkan pangiligion dari odoran ni tondong bona, tondong mataniari, tondong

jabu, tondong manrihutkon, tondong ni tondong dan seluruh turut tondong.

Kepada pihak tondong ini hanya diberika apuran namarbatu dan bukan seperti

yang disuguhkan kepada tondong pamupus atau tondong jabu. Pada adat kematian

sayur matua Simalungun, tondong tidak akan memberikan hiou. Orang

Simalungun hanya mengenal hiouparpudi atau lazim disebut hiou tampei tuah

(hiou berkat) yang diberikan tondong, dan hiou sittakan (hiou tutup peti jenazah)

dari hasuhuton kepada Anak Boru Jabu sewaktu di penguburan.Demikian pula

tidak ada hiou tujung (hiou penutup kepala) kepada suami atau istri yang

meninggal, karena yang meninggal telah sayur matua.

Setelah selesai pangiligion dari pihak tondong keseluruhan, dilanjutkan

pangiligion dari pihak sanina samorgahon (saudara satu marga), kemudian sanina

sapanganonkon atau sanina pariban (saudara sepengambilan istri atau

suami).Kedatangan mereka ini seraya membawa tuppak (bantuan) kepada

keluarga yang berduka.Bantuan (tumpak) tersebut ditaruh di atas pinggan (cawan).

Selanjutnya adalah rombongan (odoran) boru dan panagolan (keponakan).Pada

acara ini suhut adalah tondong dari panagolannya. Rombongan boru hadir dengan

membawa tombuan pusok ni uhur yang ditaruh miring ke kiri dan tidak memiliki

rudang-rudang (mahkota). Rombongan ini datang menyembah tondongnya yaitu

keluarga yang berduka disertai orangtuanya masing-masing.

Pada zaman dahulu, rombongan boru ini hadir dengan tarian huda-huda

pakon toping-toping (tarian gerakan kesatria berkuda dan topeng).Posisi antara

tondong dan boru/panagolan adalah saling berhadapan.Hal ini karena, rombongan

71
72

yang datang yakni boru dan panagolan menganggap paman (keluarga duka) yakni

tondongnya sebagai raja yang mengarahkan mereka di kemudian hari.Sebab,

tarian huda-huda dan toping-toping hanya diperuntukkan bagi keluarga raja yang

meninggal dunia.

Setelah acara rombongan keponakan (panagolan), dilanjutkan acara dari

pihak kolega, pemerintah setempat, dan lain-lain. Kemudian diakhiri denga tortor

ni pahomppu (tarian dari seluruh cucu). Pada tarian pahomppu ini, cucu menari

dan menaruh kain putih kepada jenazah (oppungnya).Jika masih ada yang hidup

salah satu diantara oppung nya itu, maka sering dilakukan acara menaburkan uang

logam dan permen yang diaduk dengan beras, sebagai bukti bahwa kakek atau

nenek mereka adalah seorang pemilik rezeki yang melimpah (pansari).

3.2.9 Hio Parpudi dan manangkih gonrang

Setelah acara pangiligion selesai keseluruhan maka dilanjutkan acara

maralaman.Pada acara maralaman (acara di halaman rumah duka) terdiri dari dua

komponen yakni, makan bersama dan percakapan antara tutur.Sewaktu makan

bersama bagi seluruh pelayat, disuguhkan makanan-makanan adat berupa ikan

mas (dekke sayur) dan ayam sembelihan (dayok binatur) kepada yang layak

menerima.Setelahitu dilanjutkan percakapan adat.Pertama sekali adalah hasuhuton

pahidua (suhut pahidua) yakni saudara semarga kandung yaknibapatua atau

bapanggi dengan muatan acara yakni pembacaan riwayat hidup yang

meninggal.Setelah itu, dilanjutkan oleh pihak sanina (saudara

semarga).Percakapan selanjutnya ialah dari tondong seraya menyampaikan hiou

parpudi (tampei tuah) atau ‘hiou berkat’.

72
73

Pertama kali adalah tondong pamupus (jika meninggal laki-laki) atau

tondong jabu (jika meninggal perempuan).Pada waktu ini, pihak tondong ini

menyampaikan kata-kata kebaikan kepada yang meninggal seraya ingin

memberikanhiou parpudi kepada yang meninggal.Pemberian itu adalah tanda hiou

terakhir kali dari tondongnya kepada yang meninggal. Kemudian, anak-anak dari

yang meninggal melerainya dengan cara menangkap hiou tersebut sehingga tidak

jatuh atau sampai ke jenazah. Kemudian, pihak tondongakan melilitkan hiou

tersebut kepada anak-anak dari yang meninggal. Artinya, hubungan kekerabatan

antara tondong dengan anak-anaknya dari yang meninggal masih terus berlanjut

(tidak pernah putus) karena kekerabatan itu akan dilanjutkan oleh anak-anak dari

yang meninggal dunia. Setelah itu, dilanjutkan percakapan dari tondong lainnya,

seterusnya hingga utusan se-kampung, dari pemerintah (gamot ni huta dan

pangulu dusun), seterusnya ke Anak Boru Jabu dan tutur boru. Terakhir adalah

mangabing sahap (menerima seluruh saran dan nasehat serta ucapan terima kasih)

dari hasuhuton (keluarga yang berduka).

Setelah seluruh rangkaian acara ini, maka dilanjutkan manangkilgondrang

(menutup gendang).Acara ini dimaksudkan untuk menutup gendang sayur

matua.Kepada panggual disuguhkan ayam sembelihan (dayok binatur) disertai

nasi untuk dibawa pulang pemain gendang.

73
74

Gambar 3.5: Tondong memberikan hiou parpudi

(Dokumentasi Denata Rajagukguk, 2018)

3.2.10 Paragendaon

Biasanya, setelah acara mangabing sahap, dilanjutkan acara gereja (jika

yang meninggal beragama Kristen). Pada acara ini, paragendaon atau

pemberangkatan jenazah secara kristiani maka peti jenazah ditutup dengan hiou

ragi panei (hiou sinttakan ni Anak Boru Jabu), hiou putih (tanda sayur matua) dan

terakhir dilapisi dengan hiou penutup peti dari gereja. Hiou berwarna hitam milik

gereja ini akan ditarik kemudian oleh pengurus gereja sesaat sebelum jenazah

ditaruh ke liang lahat. Demikian pula hiou sittakan akan ditarik Anak Boru Jabu

sesaat sebelum jenazah diturunkan ke liang lahat.

Paragendaon (pemberangkatan jenazah) bagi seorang pengurus gereja

dilakukan di gedung gereja.Tetapi bagi yang tidak pengurus, maka dilakukan di

halaman rumah duka.Tetapi, bagi anggota gereja, dapat juga dilakukan kebaktian

pemberangkatan jenazah di gedung gereja apabila diminta oleh kerabat

duka.Intidaripada pemberangkatan jenazah secara kristiani ini adalah penekanan

pada kreasi Tuhan yang menciptakan dan mengambil manusia.Tuhan telah

74
75

menciptakan manusia dan Tuhan pula yang berhak mengambilnya kembali. Dari

debu tanah manusia itu diciptakan Tuhan, dan ia akan dikembalikan Tuhan

menjadi tanah. Sembari rohnya kembali ke penciptanya menunggu hari

penghakiman kelak.

Jenazah ditandu (itantan) menggunakan semacam keranda yang terbuat

dari bambu atau kayu.Sisi sebelah kanan dipikul empat orang dan sisi sebelah kiri

dipikul empat orang.Pemikulan jenazah ini dilakukan oleh boru dari keluarga

duka dibantu oleh STM atau kerabat se-kampung.Di penguburan, terlebih dahulu

jenazah dibaringkan di atas galang kayu atau bambu dan diturunkan menggunakan

tali pilin.Posisi kepala jenazah menghadap ke matahari terbit (hapoltakan) sedang

kaki menghadap ke matahari terbenam (hasundutan).Bila yang meninggal adalah

seorang Kristen, maka seluruh acara penguburan menjadi otoritas gereja maupun

STM.

Rohaniawan membawa tatacara secara kristiani dan diakhiri dengan

menjatuhkan tanah sebanyak tiga kali.Ini dimaknai bahwa ciptaan Tuhan yang

dari tanah dikembalikan Tuhan menjadi tanah. Setelah itu, hal sama diikuti oleh

keluarga dan kerabat terdekat, pertanda ikhlas bahwa orangtua yang sayur matua

telah kembali kepada penciptanya. Kemudian, kuburan pun ditutup dan ditimbun

dengan tanah yang dilakukan pihak boru dan STM.

Berikut ini adalah tabel tahapan Upacara Sayur Matua, yang bverdasar

kepada penelitian yang dilakukan.

75
76

Tabel 5.1 Tabel Tahapan Upacara Sayur Matua

No. Tahapan Pelaku Upacara Keterangan

I. Padalah tugah-tugah Keluarga inti Keluarga inti


menyampaikan berita duka
kepada pihak tondong.
II. Riah tongah jabu Keluarga inti, Mufakat internal keluarga
pihak tondong, dengan pihak tondong dan
masyarakat sekitar masyarakat sekitar tentang
penentuan waktu
penguburan, waktu
mulainya acara.
III. Tampei porsa Pihak tondong Pihak tondong memakaikan
tampei porsa (kain putih
diikat di kepala) kepada
keluarga inti.
IV. Pahata gonrang Cucu laki-laki, Pemukulan gonrang
cucu perempuan, pertama dilakukan oleh
keluarga inti, cucu laki-laki dan cucu
pihak tondong, perempuan. Saat itu juga
panggual panggual disuguhkan
masakan ayam sembelihan.
V. Mandingguri Keluarga inti Acara keluarga inti.
1. Mamungka Panggual Sebelum pihak keluarga
gonrang inti menari pada tahapan
mandingguri, panggual
membuka acara dengan
sebutan mamungka
gonrang, panggual
memainkan dua gual
sebagai tanda pembuka.
2. Mandingguri Tondong (hasutan Pihak tondong (hasutan
hasutan bolon bolon), pargual bolon) diperkenankan
menari dan meminta gual
yang diinginkan.
VI. Mangoromi na matei Keluarga inti, Aktivitas ini dilakukan
pihak tondong, dengan tujuan menemani
masyarakat sekitar keluarga duka sembari
menjaga jenazah sebelum
dikebumikan.
VII. Pamasuk hu rumah- Keluarga inti, Proses memasukkan
rumah pihak tondong jenazah ke dalam peti
dilakukan oleh pihak
tondong dan keluarga inti.
VIII. Pangiligion Keluarga inti, Proses pemberian adat oleh
pihak tondong, pihak tondong, pihak

76
77

panggual tondong menghibur


keluarga yang berduka.
IX. Hio parpudi dan Keluarga inti, Acara di halaman rumah
manangkih gonrang pihak tondong, duka, proses pemberian
panggual cinderamata terakhir oleh
pihak tondong. Setelah
seluruh rangkaian acara
tersebut selesai, maka
dilanjutkan manangkih
gonrang (menutup
gendang).
X. Paragendaon Keluarga inti, Pemberangkatan jenazah
pihak tondong, dan acara diambil alih oleh
pargual, tokoh tokoh agama.
agama

77
78

BAB IV
GUNA DAN FUNGSI GUAL DALAM UPACARA SAYUR MATUA
PADA MASYARAKAT SIMALUNGUN

4.1 Pengantar

Pada bab ini penulis berfokus pada pokok permasalahan fungsi gual dalam

upacara sayur matua, tentunya atas data yang di dapat penulis di lapangan yang

akan dituangkan. Penggunaan dan fungsi musik di dalam masyarakat merupakan

dua hal yang dibedakan di dalam disiplin etnnomusikologi seperti yang di

ungkapkan Merriam (1964). Merriam membedakan pengertian penggunaan (uses)

dan fungsi (functions) musik berasaskan kepada tahap dan pengaruhnya dalam

sebuah masyarakat.

4.2 Pengertian Gual

Gual yang dimaksud disini ialah suatu komposisi musik atau disebut juga

dengan repertoar, komposisi gual tidak memiliki vokal hanya terdiri dari setiap

bunyi instrument atau alat musik tradisi Simalungun yang dibawakan oleh

gonrang sipitu-pitu dan gonrang dua, serunai Simalungun sebagai pembawa

melodi pada komposisi gual. Terdapat lima gual yang wajib dimainkan pada

upacara sayur matua, (1) Gual Parahot, (2) Gual Huda-huda, (3) Gual rambing-

rambing, (4) Gual Sayur Matua, (5) Gual Dinggur-dinggur. Berikut ini pengertian

dan makna yang terkandung dalam setiap gual tersebut dan kapan saja gual

tersebut dimainkan.

78
79

4.2.1 Gual Parahot

Gual parahot dimainkan biasanya sebagai penutup tahapan-tahapan dalam

upacara, sebagai contoh ketika tondong datang penyambutan dilakukan dengan

iringan gual huda-huda setelah tondong diterima masuk maka gual parahot

sebagai pengiring, maka sehabis gual huda-huda dimainkan dilanjutkan langsung

dengan gual parahot tanpa terputus. Gual ini juga bisa diminta kepada pargual

apabila keluarga inti maupun pihak tondong menginginkan gual ini dimainkan

ditemani dengan menari bersama. Parahot yang terdiri dari kata par dan hot, hot

yang artinya satu atau kuat, memiliki makna sebagai pemersatu atau penguat

ikatan kekeluargaan. Berikut ini transkripsi dari gual parahot.

4.2.2 Gual Huda-huda

Gual huda-huda biasa digunakan sebagai penyambutan pada saat pihak

tondong datang, pada prosesnya gual ini juga mengiringi tari-tarian yang

dilakukan untuk menyambut anggota keluarga lain yang baru datang. pihak

tondong mengenakan toping-toping dan huda-huda untuk menghibur keluarga

yang ditinggalkan, dahulunya gual ini dimainkan oleh gonrang dua tetapi dalam

perkembanganya saat ini sudah dimainkan oleh gonrang sipitu-pitu. Dahulu pada

masa kerajaan simalungun gual ini dimainkan untuk menghibur sang raja atas

meninggalnya sang anak raja, dengan menggunakan topeng sambil menari-nari

dihadapan sang raja dan saat itu raja pun merasa terhibur. Pada perkembangan nya

huda-huda menjadi diadopsi dan di gunakan pada kalangan masyarakat biasa dan

79
80

sampai sekarang masih berlanjut hanya saja pihak tondong yang sebagai

penghibur tidak lagi mengenakan topeng. Berikut ini transkripsi gual huda-huda.

4.2.3 Gual Rambing-rambing

Gual rambing-rambing biasanya dimainkan pada saat acara keluarga inti,

pada saat acara keluarga inti pihak keluarga diberikan kesempatan untuk menari

dan meminta gual yang ingin dimainkan. Ada beberapa pilihan gual salah satuya

gual rambing-rambing. Gual ini memiliki makna bahwasanya keturunan yang

ditinggalkan sudah rambing atau ramos dalam bahasa simalungun, yang artinya

almarhum telah memiliki banyak anak cucu dan diberikan kesehatan oleh Tuhan.

Berikut ini transkripsi gual rambing-rambing.

4.2.4 Gual Sayur Matua

Gual sayur matua biasanya diamainkan pada saat diminta pihak keluarga

inti, tondong, maupun kerabat-kerabat yang datang mengikuti jalannya upacara

sayur matua. Gual ini merupakan ekspresi kegembiraan dimana sang almarhum

dianggap sudah sempurna dalam menjalankan kehidupan diliat dari keturunan

yang ditinggalkan sudah lengkap dan sehat-sehat, almarhum memiliki anak, cucu

bahkan cicit. Pada masyarakat simalungun matei sayur matua tidak lagi dianggap

sebagai kesedihan melainkan kegembiraan. Gual sayur matua juga diyakini

sebagai permohonan kepada Tuhan agar panjang umur dan sejahtra bagi

keturunan maupun keluarga yang ditinggalkan almarhum. Berikut ini transkripsi

gual sayur matua.

80
81

4.2.5 Gual dinggur-dinggur

Gual dinggur-dinggur, tahapan upacara sayur matua dimulai dengan gual

dinggur-dinggur, dahulunya gual ini digunakan sebagai media pemberitahuan saat

seorang raja wafat, gual ini dimainkan maka masyarakat sudah mengerti bahwa

ada seorang raja yang meninggal dunia. Pada perkembangan nya, sekarang ini

gual dinggur-dinggur dimainkan pada tahapan mamungka gonrang dimana pada

tahapan ini ialah awal mula proses adat berlangsung. Dinggur-dinggur merupakan

gual khusus yang diambil dari kata mandinguri, mandinguri sendiri merupakan

sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kematian dan mandinguri

merupakan tahapan awal pada upacara sayur matua. Berikut ini transkripsi gual

dinggur-dinggur.

4.3 Pengertian Fungsi

Menurut Bronislaw Malinowski, yang dimaksud fungsi itu intinya adalah

bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu

rangkaian dari sejumlah keinginan naluri makhluk manusia yang berhubungan

dengan seluruh kehidupannya. Kesenian sebagai contoh dari salah satu unsur

kebudayaan, terjadi karena mula-mula manusia ingin memuaskan keinginan

nalurinya terhadap keindahan. Ilmu pengetahuan juga timbul karena keinginan

naluri manusia untuk tahu. Namun banyak pula aktivitas kebudayaan yang terjadi

karena kombinasi dari beberapa macam human need itu. Dengan pemahaman ini

seorang peneliti bisa menganalisis dan menerangkan banyak masalah dalam

kehidupan masyarakat dan kebudayaan manusia. Sesuai dengan pendapat

81
82

Malinowski, Sayur matua dapat bertahan di dalam kebudayaan Simalungun

karena diperlukan untuk memuaskan suatu rangkaian keinginan naluri masyarakat

pendukungnya yang cinta dan merasa memiliki kebudayaan Simalungun, yang

perlu dilestarikan oleh mereka. Bentuk-bentuk pemuasan itu dapat berupa

tingkatan nilai kesadaran kultural.

Keseluruhan aktivitas, yang pada akhirnya akan berfungsi bagi

kelangsungan kehidupan budaya masyarakat pengamalnya, dalam hal ini

masyarakat Simalungun. Fungsinya lebih jauh adalah untuk mencapai tingkat

harmoni dan konsistensi internal. Pencapaian kondisi itu, dilatar belakangi oleh

berbagai kondisi sosial dan budaya. Masih berdasar dari teori fungsi, yang

kemudian mencoba menerapkannya dalam etnomusikologi, lebih lanjut secara

tegas Merriam membedakan pengertian fungsi ini dalam dua istilah, yaitu

penggunaan dan fungsi. Menurut Merriam, pengertian penggunaan dan fungsi

adalah sangat penting. Para pakar etnomusikologi pada masa lampau tidak begitu

teliti terhadap perbedaan kedua istilah yang sangat penting ini. Jika kita berbicara

tentang penggunaan musik, maka kita menunjuk kepada kebiasaan (the ways)

musik yang dipergunakan dalam masyarakat, sebagai praktik yang biasa

dilakukan, atau sebagai bahagian dari pelaksanaan adat istiadat, baik ditinjau dari

aktivitas itu sendiri maupun kaitannya dengan aktivitas-aktivitas yang lain

(1964:210). Lebih jauh Merriam menjelaskan perbedaan pengertian antara

penggunaan dan fungsi sebagai berikut.

Music is used in certain situations and becomes a part of them,


but itmay or may not also have a deeper function. If the lover uses
songto w[h]o his love, the function of such music may be analyzed as
thecontinuity and perpetuation of the biological group. When the

82
83

supplicant uses music to the approach his god, he is employing


aparticular mechanism in conjunction with other mechanism as suchas
dance, prayer, organized ritual, and ceremonial acts. The functionof
music, on the other hand, is enseparable here from the function
ofreligion which may perhaps be interpreted as the establishment of
asense of security vis-á-vis the universe. “Use” them, refers to
thesituation in which music is employed in human action;
“function”concerns the reason for its employment and perticularly the
broaderpurpose which it serves (1964:210).
Dari kutipan di atas terlihat bahwa Merriam membedakan pengertian

penggunaan dan fungsi musik berdasarkan kepada tahap dan pengaruhnya dalam

sebuah masyarakat. Musik dipergunakan dalam situasi tertentu dan menjadi

bagiandari situasi tersebut. Penggunaan bisa atau tidak bisa menjadi fungsi yang

lebih dalam. Dia memberikan contoh, jika seseorang menggunakan nyanyian

(lagu) yang ditujukan untuk kekasihnya, maka fungsi musik seperti itu bisa

dianalisis sebagai perwujudan dari kontinuitas dan kesinambungan keturunan

manusia yaitu untuk memenuhi kehendak biologis bercinta, menikah, dan

berumah tangga dan pada akhirnya menjaga kesinambungan keturunan manusia.

Jika seseorang menggunakan musik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, maka

mekanisme tersebut berhubungan dengan mekanisme lain, seperti menari, berdoa,

mengorganisasikan ritual, dan kegiatan-kegiatan upacara.Istilah “penggunaan”

menunjukkan situasi musik yang dipakai dalam kegiatan manusia; sedangkan

“fungsi” berkaitan dengan alasan mengapa si pemakai melakukan, dan terutama

tujuan-tujuan yang lebih jauh dari sekedar apa yang dapat dilayaninya. Dengan

demikian, sesuai dengan Merriam, penggunaan lebih berkaitan dengan sisi

praktikal, sedangkan fungsi lebih berkaitan dengan sisi integrasi dan konsistensi

internal budaya.

83
84

Bila ditinjau dari penggunanya maka Gual pada Upacara Sayur matua

berguna untuk berikut ini.

(1) Untuk mengiringi upacara adat Sayur matua.

(2) Gual memiliki kegunaan untuk memeriahkan jalannya upacara,

Adapun fungsi gual ini, berdasarkan teori fungsi yang ditawarkan oleh Merriam

adalah sebagai berikut.

(i) Untuk mengabsahkan upacara adat ritual Sayur matua;

(ii) Sebagai sarana integrasi sosial terutama kerabat-kerabat dalam konteks Tolu

Sahundulan terdiri dari: Tondong, Sanina, Boru, dan Boru ni Boru (Anak

Boru Mintori)

(iii) Sebagai ekspresi emosi gembira, yang merupakan bahagian dari emosi

kegembiraan karena jenazah mati dalam status sangat terhormat yaitu Sayur

matua, dan juga sekaligus sebagai ekspresi emosi sedih karena mereka yang

hidup terutama keluarga yang ditinggalkan akan berpisah dengan almarhum

(almarhumah)

(iv) Sebagai sarana doa kepada Tuhan, agar yang meninggal diterima di sisi

Tuhan dengan sebaik-baiknya.

(v) Sebagai sarana hiburan, bagi semua yang terlibat di dalam upacara kematian

ini, baik pihak kerabat dan masyarakat yang hadir dalam aktivitas ini.

4.3.1 Penggunaan Gual

Melalui proses wawancara, mengumpulkan data yang terkait dengan gual

baik artikel, skripsi maupun buku dan terjun langsung ke lapangan penulis

84
85

mendapatkan suatu analisis dari penggunaan gual itu sendiri, khususnya gual pada

upacara adat sayur matua. Berikut penggunaan gual pada uapcara sayur matua.

4.3.1.1 Untuk mengiringi upacara adat Sayur matua

Dalam upacara adat sayur matua terdapat beberapa kompenen yang tidak

bisa dipisahkan. Persembahan sebagai simbol saling menghormati contohnya daun

sirih yang diberikan pada pihak tondong lalu menari atau biasa disebut dengan

manortor memiliki makna yang cukup luas seperti ucapan selamat datang untuk

menyambut pihak tondong, juga bisa memiliki makna sebagai rasa hormat,

kegembiraan, kesedihan, sementara tarian tidak bisa dipisahkan dengan iringan

musik. Dalam hal ini gual berperan sebagai pengiring, maka dapat disimpulkan

gual termasuk dalam kompenen adat sayur matua. Disisi lain gual diminta sebagai

jembatan yang digunakan si raja parhata untuk mengawali proses komunikasi

serta mengakhirinya.

4.3.1.2 Memeriahkan Jalannya Upacara

Gual merupakan sebuah komposisi musik yang dimiliki masyarakat

simalungun, biasanya digunakan pada upacara adat. Gual ini dimainkan apabila

yang punya acara memanggil pargual. Seperti lazimnya fungsi musik bagi

kehidupan ini dapat dikatakan gual juga memeriahkan jalannya upacara.

85
86

4.3.2 Fungsi Gual

Seperti yang sudah dijelaskan mengenai fungsi gual, berikut ini analisis

fungsi gual yang didapat penulis melalui proses penelititan lapangan dan juga

mengumpulkan sumber-sumber terkait, dengan berpedoman kepada teori yang

diungkapkan merriam penulis menemukan fungsi gual dalam upacara sayur matua

sebagai berikut.

4.3.2.1 Untuk mengabsahkan upacara adat Sayur matua

fungsi gual untuk mengabsahkan upacara adat sayur matua bisa

dibenarkan, berikut penjelasan yang harus kita ketahui, contoh gual huda-huda

yang dimainkan untuk mengiringi masuknya tondong dan penari sebagai

penyambutan bahwa tondong telah diterima datang pada upacara sayur matua,

begitu juga dengan gual yang lainnya masing-masing memiliki fungsi. Muncul

beberapa pertanyaan dibenak penulis sebelum melakukan penelitian langsung ke

lapangan, apakah upacara adat sayur matua dapat berjalan tanpa gual tentu

dengan penjeleasan diatas tidak bisa berjalan upacara adat sayur matua tanpa

gual-gual yang dimainkan pada saat upacara sayur matua. Maka dapat

disimpulkan gual dapat dikatakan sebagai pengabsahan upacara adat sayur matua

4.3.2.2 Sebagai sarana integrasi sosial

Dalam upacara adat sayur matua berkumpul lah berbagai macam lapisan

masyarakat, baik dari pihak tondong, keluarga inti, teman sekampung, dan kerabat

lainnya.Untuk hal itu terdapat suatu interaksi dan juga integrasi sosial tak pandang

86
87

jabatan diluar adat, pekerjaan, status sosial mereka dipersatukan oleh sistem adat

yang mengatur tentu dalam hal ini gual bagian dari adat yang tak terpisahkan.

Sistem kekrabatan yang berlaku Tolu sahundulan, jika kita kaitkan dengan

integrasi sosial sangat tepat. Dapat dikatakan ada sebuah integrasi sosial yang

terjadi pada upacara sayur matua.

4.3.2.3 Sebagai ekspresi emosi gembira dan sekaligus sedih

Dalam setiap gual yang dimainkan terdapat makna yang terkandung

didalamnya, apabila pargual memainkan gual yang memiliki makna kegembiraan

karena yang sudah wafat dianggap berhasil dalam dunia ini maka setiap orang

yang mengikuti upacara adat sayur matua juga ikut merasakan kegembiraan

tersebut. Begitu juga sebaliknya untuk gual yang menceritakan makna sedih,

untuk penjelasan lebih lanjut tentang makna-makna gual yang dimainkan pada

upacara sayur matua bisa dilihat pada bab selanjutnya.

4.3.2.4 Sebagai sarana doa kepada Tuhan

Masyarakat simalungun meyakini bahwa gual parahot rambing-rambing

memiliki makna sebagai tanda kesejahtraan, apabila gual ini dimainkan itu

sebagai tanda permintaan agar meraka yang hadi pada upacara sayur

matuamendapatkan kesejahtraan. gualsayur matua juga memiliki makna

pemberian umur yang panjang, jadi masyarakat simalungun menganggap gual ini

salah satu komunikasi kepada Tuhan agar diberikannya umur yang panjang.

Dengan demikian dapat disimpulkan gual juga sebagai doa kepada Tuhan.

87
88

4.3.2.5 Sebagai sarana hiburan

Salah satu realita kehidupan masyarakat agraris ialah rutinitas kegiatan

kerja dan kurangnya alternatif kegiatan untuk dijadikan sarana hiburan.Pada salah

satu desa di Simalungun tidak dijumpai adanya bioskop, tempat bermain bowling,

diskotek maupun gedung konser, juga tidak dijumpai sarana telepon, hanya radio

transistor dan televisi yang lazim dikenal.Singkatnya, baik kaum muda dan kaum

tua harus mengadakan kegiatan selingan agar terbebas dari rutinitas yang

membosankan dan dapat menumbuhkan dimensi hidup baru.

Pesta merupakan salah satu bentuk acara selingan.Ada sejumlah pesta yang

dilaksanakan setiap tahun, termasuk di dalamnya adalah Manumbah

(penyembahan tempat keramat maupun arwah para nenek moyang). Sejumlah

pesta lain diselenggarakan pada saat situasi-situasi khusus tertentu seperti:

Manraja (pemahkotaan seorang raja), Mandingguri dan Huda-huda (upacara

pemakaman), Manogu Losung/Marsapu-sapu (pencarian gelondong kayu untuk

upacara peresmian dan menumbuk beras),Manogu Palas Tiang-tiang Rumah

Bolon (mencari gelondong kayu di hutan untuk pendirian rumah tradisional),

Palaho Boru/Paroh Boru (pesta pernikahan), Mamongkot Rumah (selamatan

memasuki rumah baru), Matabari (ritual “normalisasi” untuk mengusir roh-roh

jahat penyebab penyakit atau bencana didesa), Martondur i Bah (Upacara wudhu

yang disandingkan dengan konsultasi dengan arwah nenek moyang serta acara

santap bersama) dan Mangalo-alo Tamuei (ritual untuk menyambut tamu dan

pendatang istimewa). Tentu masih banyak upacara dan perayaan lain yang belum

disebutkan, namun kita sudah dapat memahami bahwa suatu desa sebetulnya

88
89

memiliki begitu banyak macam perayaan untuk diselenggarakan. Undangan untuk

menghadiri perayaan di desa-desa tetangga mereka miliki ikatan hubungan

boru,tondong, dan sanina diharapkan kehadirannya.

Pada perayaan-perayaan tersebut ansambel musik gonrang memainkan

peran penting dalam menyediakan musik sesuai bagi setiap acara.Awalnya kaum

warga Simalungun mendengarkan rangkaian gual Parahot, kemudian disusul

dengan acara tarian adat dan terakhir diikuti dengan acara tarian yang diiringi

dengan gual yang diminta oleh perorangan ataupun kelompok. Kita mendapatkan

kesan melalui apa yang dikatakan oleh J.E.Saragih bahwa tarian ini merupakan

salah satu bagian dari acara yang dinanti-nantikan oleh para warga. Kebanyakan

di antara mereka mempunyai sejumlah gualfavorit yang ingin mereka tarikan dan

Banyak orang yang duduk-duduk atau menunggu karena mereka tidak

ingin menari dengan iringan gual yang bukan pilihan mereka. Contohnya saya

maupun kelompok saya tidak akan mau menari jika gualnya bukan gual yang saya

minta.Salah satu alasan mengapa mereka diperkenankan memilih-milih bahkan

dihargai, karena pesta-pesata itu berlangsung non stop siang dan malam selama

beberapa hari sehingga tersedia waktu yang cukup bagi kaum muda maupun kaum

tua untuk menari menurut gual kesukaan mereka. Kalangan muda-mudi, karena

status mereka yang relatif rendah, biasanya baru mendapat kesempatan untuk

melatih tarian mereka pada saat-saat menjelang akhir perayaan.

Gual yang digunakan pada tari-tarian adat dapat dimainkan secara ”tak

resmiasalkan sigumbangi tidak dipasangkan pada sarunei.Dengan demikian, kaum

muda-mudi warga desa dapat melatih tarian mereka pada saat-saat santai.Acara

89
90

Pesta Muda-mudi tampaknya baru belakangan dimunculkan di antara ragam acara

pesta.Tiga buah gual dibawakan untuk diperdengarkan bagi kaum muda (Nokah

Sinaga menyebutkan Parahot Habian, Rin-rin, dan porang), sedangkan sisa

konteks ini kaum muda membiasakan diri mereka dengan musik maupun tari-

tarian sambil bersosialisasi dan menghibur diri.

Musik gonrang sebagai sarana hiburan juga dijumpai pada kegiatan huda-

huda yang diadakan sebagai bagian dari upacara pemakaman.Ansambel musik

gonrang dibawakan mengiringi tarian jenaka huda-huda (burung enggang) dan

setidaknya dua orang penari bertopeng yang bertugas menghidupkan para arwah

serta menghibur para tamu dan pendatang yang tiba untuk memberikan

penghormatan yang terakhir. Gual terpenting yang digunakan pada situasi ini

sebagaimana dikemukakan sebelumnya adalah gual Huda-huda meskipun gual

lainnya yang sesuai dapat juga dibawakan untuk mengiringi tarian jenaka tersebut.

Akhir kata kita dapat menunjuk pada musik di luar tradisi musik gonrang

sebagai sarana hiburan. Para warga desa khususnya kaum pria banyak meluangkan

waktu untuk bernanyi dan memainkan lagu-lagu rakyat sebagai sarana hiburan

pribadi maupun kelompok pada saat malam hari setelah selesai bekerja. Berbagai

macam alat musik seperti suling, harmonika, rebab, gambang, sarunei bambu

maupun alat-alat musik lain dipergunakan untuk mengiringi lagu ataupun

memainkan ornamentasi musik selingan.Maka salah satu fungsi musik yang

menonjol di kalangan masyarakat Simalungun adalah menghibur dengan cara

mendengarkan dan berpartsipasi secara langsung dan sebagai prasyarat untuk

acara tari-tarian.

90
91

BAB V
ANALISIS STRUKTUR GUAL
PADA UPACARA SAYUR MATUA

5.1. Analisis Struktur Gual

Dalam menganilis struktur gual seperti yang sudah penulis paparkan pada

Bab II, penulis berpacu kepada teori Malm, dimana analisis terbagi dalam unsur

melodi dan unsur waktu, hanya saja tidak semua unsur penulis dapat paparkan

berikut ini unsur yang akan penulis analisa dari struktur gual; yang berkaitan

dengan unsur melodi (1) tangga nada, (2) jumlah nada-nada, (3) nada dasar (4)

wilayah nada (5) pola-pola kadensa, (6) kontur, dan yang berkaitan dengan unsur

waktu (7) meter (8) pulsa.

5.1.1 Tangga Nada

Setelah mentranskripsikan kelima gual tersebutke dalam bentuk notasi,

langkah selanjutnya yang penulis lakukan adalah menganalisis struktur musiknya.

Dalam menentukan tangga nada, penulis melakukan pendekatan weighted scale,

seperti yang dikemukakan oleh William P. Malm (1977). Dari hasil transkripsi

maka ditemukan tangga nada repertoar kelima gual tersebut adalah sebagai

berikut.

91
92

5.1.1.1 Parahot

Nada: bes - c - cis - f - g - as

Laras: 1 ½ 2 1 ½

Sent: 200 100 400 200 100

Dari komposisi tangga nada di atas, maka dapat dikatakan bahwa tangga

nada gual parahot menggunakan enam nada yaitu bes-c-cis-f-g-as disebut dengan

inggou.

5.1.1.2 Huda-huda

Nada: bes - c - cis - f - g - as

Laras: 1 ½ 2 1 ½

Sent: 200 100 400 200 100

Dari komposisi tangga nada di atas, maka dapat dikatakan bahwa tangga

nada gual Huda-huda menggunakan enam nada yaitu bes-c-cis-f-g-as disebut

dengan inggou.

92
93

5.1.1.3 Rambing-rambing

Nada: bes - c - cis - f - g - as

Laras: 1 ½ 2 1 ½

Sent: 200 100 400 200 100

Dari komposisi tangga nada di atas, maka dapat dikatakan bahwa tangga

nada gual rambing-rambing menggunakan enam nada yaitu bes-c-cis-f-g-as

disebut dengan inggou.

5.1.1.4 Sayur Matua

Nada: bes - c - cis - f - g - as

Laras: 1 ½ 2 1 ½

Sent: 200 100 400 200 100

Dari komposisi tangga nada di atas, maka dapat dikatakan bahwa tangga

nada gual Sayur matua menggunakan enam nada yaitu bes-c-cis-f-g-as disebut

dengan inggou.

93
94

5.1.1.5 Dinggur-dinggur

Nada: bes - c - cis - f - g - as

Laras: 1 ½ 2 1 ½

Sent: 200 100 400 200 100

Dari komposisi tangga nada di atas, maka dapat dikatakan bahwa tangga

nada gual dinggur-dinggur menggunakan enam nada yaitu bes-c-cis-f-g-as

disebut dengan inggou.

5.1.2 Jumlah Nada-nada

Untuk menentukan jumlah nada-nada keempat sampel lagu, terdapat dua

cara yang perlu dilakukan. Pertama adalah melihat banyaknya kemunculan setiap

nada tanpa melihat durasinya secara kumulatif. Kedua adalah melihat

kemunculannya dan menghitung durasi kumulatif. Dalam analisis ini, penui

menggunakan cara yang pertama, yaitu menghitung kemunculan nada tanpa

melihat durasinya. Adapun nada-nada yang digunakan di dalam kelima gual ini

adalah sebagai berikut.

94
95

5.1.2.1 Parahot

bes - c - cis - f - g - as

3 128 44 24 32 62

Tabel 5.1 Tabel Jumlah Nada Gual Parahot

Nada Jumlah nada yang muncul Persentase

Bes 3 1,02 %

C 128 43,68 %

Cis 44 15,01 %

F 24 8,19 %

G 32 10,92 %

As 62 21,16 %

Total 293 100 %

5.1.2.2 Huda-huda

bes - c - cis - f - g - as

0 337 175 98 49 104

95
96

Tabel 5.2 Tabel Jumlah Nada Gual Huda-huda

Nada Jumlah nada yang muncul Persentase

Bes 0 0%

C 337 44,16 %

Cis 175 22,93 %

F 98 12,84 %

G 49 6,42 %

As 104 13,63 %

Total 763 100 %

5.1.2.3 Rambing-rambing

bes - c - cis - f - g - as’

1 175 0 403 308 6

Tabel 5.3 Tabel Jumlah Nada Gual Rambing-rambing

Nada Jumlah nada yang muncul Persentase

Bes 1 0,11 %

C 175 19,59 %

Cis 0 0%

F 403 45,12 %

96
97

G 308 34,49 %

As 6 0,67 %

Total 893 100 %

5.1.2.4 Sayur Matua

bes - c - cis - f - g - as’

686 692 0 77 4 1

Tabel 5.4 Tabel Jumlah Nada Gual Sayur Matua

Nada Jumlah nada yang muncul Persentase

Bes 686 46,98 %

C 692 47,39 %

Cis 0 0%

F 77 5,27 %

G 4 0,27 %

As 1 0,06 %

Total 1460 100 %

97
98

5.1.2.5 Dinggur-dinggur

bes - c - cis - f - g - as’

0 65 32 47 11 11

Tabel 5.5 Jumlah Nada Gual Dinggur-dinggur

Nada Jumlah nada yang muncul Persentase

Bes 0 0%

C 65 39,15 %

Cis 32 19,27 %

F 47 28,31 %

G 11 6,62 %

As 11 6,62 %

Total 166 100 %

98
99

5.1.3 Nada Dasar

Dalam menentukan nada dasar dari kelima gual, penulis berpedoman pada

teori yang dikemukakan oleh Bruno Nettl. Teori ini sering digunakan oleh para

etnomusikolog untuk menentukan nada dasar.

Following are some methods which ethnomusicologist have used


to identify tonal centers and to distinguish a hierarchy of tones in a
piece: 1) Frequency of appearance is perhaps the most widely used
criterion. 2) Duration of notes is sometimes used, that is, those tones
which are long—whether they appear frequently or not—are
considered tonal centers. 3) Appearance at the end of a composition
or of its subdivisions is thought to give tonic weight to a tone. Initial
position is also a criterion. 4 Appearance at the low end of the scale,
or, again, at the center of the scale, may be a criterion. 5) Intervallic
relationship to other tones—for example, appearance at two octave
positions (while other tones appear only once), or appearance a fifth
below a frequently used tone—is another criterion sometimes used.
6) Rhythmically stressed position is a further one. 7) We must never
neglect the possibility that a musical style will contain a system of
tonality which can only be identified by means other than those
already known and used. An intimate acquaintance with the music of
such a style would seem to be the best insurance against ignorance of
such a system.

1. Patokan yang paling umum adalah melihat nada mana yang sering

muncul dan nada yang jarang dipakai dalam suatu komposisi musik.

2. Kadang-kadang nada yang memiliki nilai ritmis besar dianggap

sebagai nada dasar, meskipun jarang digunakan.

3. Nada yang dipakai pada awal atau akhir komposisi maupun pada

bagian tengah komposisi dianggap mempunyai fungsi penting dalam

tonalitas tersebut.

4. Nada yang menduduki posisi paling rendah dalam tangga nada ataupun

posisi tepat berada di tengah-tengah dapat dianggap penting.

99
100

5. Interval-interval yang terdapat dalam nada kadang-kadang dipakai

sebagai patokan. Contohnya sebuah posisi yang digunakan bersama

oktafnya, sedangkan nada lain tidak memakainya, maka nada pertama

tersebut dapat dianggap lebih penting.

6. Adanya tekanan ritmis pada sebuah nada juga dapat dipakai sebagai

patokan tonalitas.

7. Harus diingat kemungkinan adanya gaya-gaya musik yang mempunyai

sistem tonalitas yang tidak dapat dideskripsikan dengan patokan-

patokan di atas.

Dengan berpedoman pada teori tersebut, maka dapat diuraikan nada dasar

kelima gual sebagai berikut.

5.1.3.1 Parahot

1. Nada yang paling sering digunakan: C

2. Nada yang memiliki nilai ritmis terbesar: C

3. Nada awal yang digunakan: C

Nada akhir yang digunakan: C

4. Nada yang memiliki posisi paling rendah: C

5. Nada yang berada pada posisi oktaf: C, As

6. Nada dengan tekanan ritmis paling kuat: C, Cis, As

7. Nada dasar yang digunakan: Bes

100
101

5.1.3.2 Huda-huda

1. Nada yang paling sering digunakan: C

2. Nada yang memiliki nilai ritmis terbesar: C

3. Nada awal yang digunakan: C

Nada akhir yang digunakan: C

4. Nada yang memiliki posisi paling rendah: C

5. Nada yang berada pada posisi oktaf: C

6. Nada dengan tekanan ritmis paling kuat: C, Cis

7. Nada dasar yang digunakan: Bes

5.1.3.3 Rambing-rambing

1. Nada yang paling sering digunakan: F

2. Nada yang memiliki nilai ritmis terbesar: F

3. Nada awal yang digunakan:

Nada akhir yang digunakan: C

4. Nada yang memiliki posisi paling rendah: C

5. Nada yang berada pada posisi oktaf: C, F, G

6. Nada dengan tekanan ritmis paling kuat: F, G, C

7. Nada dasar yang digunakan: Bes

5.1.3.4 Sayur Matua

1. Nada yang paling sering digunakan: C

2. Nada yang memiliki nilai ritmis terbesar: C

101
102

3. Nada awal yang digunakan: F

Nada akhir yang digunakan: C

4. Nada yang memiliki posisi paling rendah: C

5. Nada yang berada pada posisi oktaf: C

6. Nada dengan tekanan ritmis paling kuat: C, Bes

7. Nada dasar yang digunakan: Bes

5.1.3.5 Dinggur-dinggur

1. Nada yang paling sering digunakan: C

2. Nada yang memiliki nilai ritmis terbesar: C

3. Nada awal yang digunakan: C

Nada akhir yang digunakan: C

4. Nada yang memiliki posisi paling rendah: C

5. Nada yang berada pada posisi oktaf: C

6. Nada dengan tekanan ritmis paling kuat: C, F, Cis

7. Nada dasar yang digunakan: Bes

5.1.4 Wilayah Nada

Wilayah nada (ambitus) diperoleh dengan memperhatikan rentang jarak

(range) antara nada terendah dengan nada tertinggi dalam satu komposisi lagu.

Diukur dengan menggunakan satuan cent, laras atau interval.Dari hasil transkripsi

di atas, maka diperoleh ambitus suara dari kelima gual tersebut adalah sebagai

berikut.

102
103

5.1.4.1 Parahot

Bes – C – Cis – F – G – As’

1 ½ 2 1 ½

Nada paling rendah: C Nada paling tinggi: G

Jarak dalam laras: 9½

Jarak dalam cent: 1900

5.1.4.2 Huda-huda

Bes – C – Cis – F – G – As’

1 ½ 2 1 ½

Nada paling rendah: C Nada paling tinggi: G

Jarak dalam laras: 9½

Jarak dalam cent: 1900

103
104

5.1.4.3 Rambing-rambing

Bes – C – Cis – F – G – As’

1 ½ 2 1 ½

Nada paling rendah: C Nada paling tinggi: F

Jarak dalam laras: 8½

Jarak dalam cent: 1700

5.1.4.4 Sayur Matua

Bes – C – Cis – F – G – As’

1 ½ 2 1 ½

Nada paling rendah: C Nada paling tinggi: F

Jarak dalam laras: 8½

Jarak dalam cent: 1700

5.1.4.5 Dinggur-dinggur

Bes – C – Cis – F – G – As’

104
105

1 ½ 2 1 ½

Nada paling rendah: C Nada paling tinggi: F

Jarak dalam laras: 8½

Jarak dalam cent: 1700

5.1.5 Pola-pola Kadensa

Sebagaimana kalimat bahasa yang diberi tanda baca berupa koma dan

titik, maka demikian juga halnya dengan musik diberi tanda baca melalui kadens-

kadens yang terdapat di dalamnya. Pola kadensa dapat dikonsepkan sebagai

rangkaian nada akhir pada setiap akhir frase dalam suatu komposisi musik yang

diwakili oleh dua atau lebih nada rangkaiannya. Pola-pola kadensa kelima gual

tersebut adalah seperti dalam analisis berikut ini.

5.1.5.1 Parahot

105
106

Dari analisis di atas menunjukkan bahwa gual parahot memiliki dua pola

kadensa yang diulang-ulang sesuai dengan perulangan melodi. Struktur kedua

pola kadensa tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut.

a) Pola kadensa a diisi oleh nada c dalam durasi not seperempat dan diakhiri

oleh nada c dengan durasi not setengah. Pola kadensa a ini diulang

sebanyak tiga kali dalam keseluruhan komposisi gual.

b) Pola kadensa b diisi oleh nada as dalam durasi not seperdelapan dan

diakhiri oleh nada c dengan durasi not setengah. Pola kadensa b ini

diulang sebanyak dua kali dalam keseluruhan komposisi gual.

5.1.5.2 Huda-huda

Dari analisis di atas menunjukkan bahwa gual huda-huda memiliki satu

pola kadensa yang diulang-ulang sesuai dengan perulangan melodi. Struktur pola

kadensa tersebut diisi oleh nada as dalam durasi not seperempat dan diakhiri oleh

106
107

nada c dengan durasi not seperempat. Pola kadensa a ini diulang sebanyak 21 kali

dalam keseluruhan komposisi gual.

5.1.5.3 Rambing-rambing

Dari analisis di atas menunjukkan bahwa gual rambing-rambing memiliki

satu pola kadensa yang diulang-ulang sesuai dengan perulangan melodi. Struktur

pola kadensa tersebut diisi oleh nada c dalam durasi not seperempat dan diakhiri

oleh nada f dengan durasi not seperdelapan. Pola kadensa a ini diulang sebanyak

21 kali dalam keseluruhan komposisi gual.

107
108

5.1.5.4 Sayur Matua

Dari analisis di atas menunjukkan bahwa gual sayur matua memiliki satu

pola kadensa yang diulang-ulang sesuai dengan perulangan melodi. Struktur pola

kadensa tersebut diisi oleh nada c dalam durasi not seperenambelas dan diakhiri

oleh nada c dengan durasi not seperempat. Pola kadensa a ini diulang sebanyak 16

kali dalam keseluruhan komposisi gual.

108
109

5.1.5.5 Dinggur-dinggur

Dari analisis di atas menunjukkan bahwa gual dinggur-dinggur memiliki

dua pola kadensa yang diulang-ulang sesuai dengan perulangan melodi. Struktur

kedua pola kadensa tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut.

a) Pola kadensa a diisi oleh nada c dalam durasi not seperempat dan diakhiri

oleh nada as dengan durasi not setengah. Pola kadensa a ini diulang

sebanyak lima kali dalam keseluruhan komposisi gual.

b) Pola kadensa b diisi oleh nada as dalam durasi not setengah dan diakhiri

oleh nada c dengan durasi not setengah. Pola kadensa b ini diulang

sebanyak empat kali dalam keseluruhan komposisi gual.

5.1.6 Kontur

Kontur adalah garis suatu lintasan melodi dalam sebuah lagu yang dapat

dibedakan ke dalam beberapa jenis (Malm, 1977), yaitu:

109
110

1. Ascending (menaik), yaitu garis melodi yang bergerak naik dari nada yang

rendah ke nada yang tinggi.

2. Descending (menurun) adalah garis melodi yang bergerak turun dari nada

yang tinggi ke nada yang rendah.

3. Pendulous adalah garis melodi yang bergerak dengan membentuk

lengkungan (melengkung setengah lingkaran).

4. Terraced (berjenjang) adalah garis melodi yang membentuk gerakan

berjenjang seperti anak tangga.

5. Statis (level) adalah melodi yang gerakan-gerakan intervalnya terbatas

atau garis melodi yang bergerak datar atau statis.

Dari kelima jenis kontur di atas, maka kontur pada kelima gual tersebut

adalah sebagai berikut.

5.1.6.1 Parahot

Gual parahot memiliki satu jenis kontur, yaitukontur descendingseperti

gambar berikut.

110
111

5.1.6.2 Huda-huda

Gual huda-huda memiliki satu jenis kontur, yaitukontur descendingseperti

gambar berikut.

5.1.6.3 Rambing-rambing

Gual rambing-rambing memiliki dua jenis kontur, yaitu:

1) Kontur descending

2) Kontur pendulous

5.1.6.4 Sayur Matua

Gual sayur matua memiliki satu jenis kontur, yaitu kontur terraced seperti

gambar berikut.

111
112

5.1.6.5 Dinggur-dinggur

Gual dinggur-dinggur memiliki dua jenis kontur, yaitu:

1) Kontur descending

2) Kontur pendulous

5.1.7 AnalisisMeter

Meter atau tanda sukat dikenal juga dengan istilah metrum adalah hitungan

ritmik yang berlaku secara teratur dalam jumlah yang sama bagi seluruh ruas

birama pada sebuah lagu dan dinyatakan dalam bentuk tanda pembilang dan

penyebut, seperti 2/2, 2/4, 4/4, 5/4, 6/8, dan sebagainya.Banoe, Pono. 2003.

Kamus Musik. Yogyakarta: Kanisius, halaman 273-274 Satu ruas birama

ditunjukkan oleh batas-batas garis vertical yang disebut garis birama. Kelima

repertoar gual pada upacara sayur matua menggunakan meter empat yang artinya

dalam satu birama terdapat empat bilangan hitungan dimana tiap bilangan bernilai

not seperempat. Setiap birama terdiri dari empat ketukan dasar yang dimulai

dengan ketukan pertama pada aksen kuat disertai dengan ketukan kedua, ketiga,

dan keempat pada aksen lemah.Dalam transkripsi, meter empat ini ditulis dengan

112
113

tanda sukat 4/4.Analisis kelima repertoar gual dalam meter empat tersebut adalah

sebagai berikut.

1 2 3 41 2 3 4 1 2 3 4

Meter (metrum) 4
dengan tanda sukat 4/4

113
114

12 3 4 12 34 1 2 3 4 1 2 3 4

Meter (metrum) 4
dengan tanda sukat 4/4

114
115

1 23 4 1 2 3 4 1 2 3 41 2 3 4

Meter (metrum) 4
dengan tanda sukat 4/4

115
116

12 3 4 1 234 1 2 3 4 1 2 3 4

Meter (metrum) 4
dengan tanda sukat 4/4

116
117

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

Meter (metrum) 4
dengantandasukat 4/4

117
118

5.1.8 Analisis Pulsa

Pulsa adalah rangkaian denyutan yang datang secara berulang dan teratur

yang dapat dirasakan dan dikhayati dalam musik.Pulsa dapat terdengar atau

kelihatan yang disebut dengan ketukan.Kecepatan jarak waktu bergeraknya pulsa

ditentukan oleh satuan-satuan pulsa dan tempo yang digunakan.Metronome

Maelzel (MM) adalah alat yang digunakan untuk mengukur tempo atau

banyaknya ketukan dalam satu menit.

Kelima repertoal gual dalam upacara sayur matua ini menggunakan pulsa

sebagai berikut.

1. Parahot menggunakan pulsa 112 ketukan per menit; artinya dalam tempo

yang cepat dan akuratnya secara kuantitatif satu ketukan membutuhkan

waktu 60/112 x 1 = 0,53 detik melalui rumus satu menit dibagi dengan

pulsa yang digunakan oleh komposisi musik yang terikat meter dikali satu.

2. Huda-huda menggunakan pulsa 57 ketukan per menit; artinya dalam

tempo yang sedang dan akuratnya secara kuantitatif satu ketukan

membutuhkan waktu 60/57 x 1 = 1,05 detik.

3. Rambing-rambing menggunakan pulsa 55 ketukan per menit; artinya

dalam tempo yang sedang dan akuratnya secara kuantitatif satu ketukan

membutuhkan waktu 60/55 x 1 = 1,09 detik.

4. Sayur matua menggunakan pulsa 75 ketukan per menit; artinya dalam

tempo yang cepat dan akuratnya secara kuantitatif satu ketukan

membutuhkan waktu 60/75 x 1 = 0,80 detik.

118
119

5. Dinggur-dinggur menggunakan pulsa 110 ketukan per menit; artinya

dalam tempo yang cepat dan akuratnya secara kuantitatif satu ketukan

membutuhkan waktu 60/110 x 1 = 0,54detik.

Analisis pulsa kelima repertoar gual ini adalah sebagai berikut.

1 2 3 41 2 3 4 1 2 3 4

Pulsa

60/112 x 1 = 0,53
detik

119
120

12 34 12 34 1 2 3 4 1 2 3 4

Pulsa

60/57 x 1 = 1,05 detik

120
121

1 23 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

Pulsa

60/55 x 1 = 1,09 detik

121
122

12 3 4 1 23 4 1 2 3 4 1 2 3 4

Pulsa

60/75 x 1 = 0,80 detik

122
123

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

Pulsa

60/110 x 1 = 0,54detik

123
124

BAB VI
PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Pada bab ini penulis ingin memberikan kesimpulan untuk menjawab pokok

permasalahan dalam penelitian ini dan berdasarkan seluruh uraian yang telah

dijabarkan tentang analisis fungsi dan struktur Gual dalam Upacara Sayur Matua

Masyarakat Simalungun Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun.

Dalam hasil penelitian penulis melalui prsoses wawancara dengan beberapa

informan seperti J. Badu Purba, Radansius Saragih, Sahat Damanik, menjelaskan

bahwa gual pada upacara sayur matua sudah mengalami proses penguruangan dari

segi jumlah gual. Dahulunya untuk mamungka gonrang saja ada tujuh gual yang

dimainkan sekarang ini hanya tiga, jika informan masih dapat mengingat ke empat

gual yang hilang maka seharusnya ada sembilan gual yang wajib dimainkan

dalam upacara sayur matua, menurut analisa penulis kurang nya regenerasi

parserunei yang mahir memainkan repertoar gual dalam masyarakat simalungun,

berunjuk pada minat anak-anak muda masyarakat simalungun yang tidak banyak

mempelajari alat-alat musik tradisi terukhusus serunei. Akibat susahnya sumber

daya masyarakat yang mahir memainkan serunei simalungun berkurang lah gual-

gual yang dimainkan pada setiap upacara adat.

Adapun kesimpulan untuk menjawab rumusan masalah atau disebut juga

pokok permasalahan yang sudah di uraikan pada bab sebelumnya (1) Pelaksanaan

kegiatan upacara sayur matua (2) fungsi gual (3) struktur gual, adalah sebagai

berikut.

124
125

(1) Pelaksanaan kegiatan upacara sayur matua, penulis dapat menyimpulkan

bahwa ada sepuluh tahapan yang harus dilalui atau dilakasanakan agar upacara

adat dianggap sah dalam masyarakat Simalungun. Berikut ini tahapan yang harus

dilalui dalam upacara adat sayur matua: (1) padalah tugah-tugah, (2) riah tongah

jabu, (3) tampei porsa, (4) pahata gonrang, (5) mandingguri, (6) mangoromi na

matei, (7) pamasuk hu rumah-rumah, (8) pangiligion, (9) hio parpudi dan

manangkih gonrang, dan (10) paragendaon.

(2) Fungsi gual, dengan berpedoman pada teori merriam fungsi dibagi

menjadi guna dan fungsi, penulis menyimpulkan bahwa penggunaan gual dan

fungsinya pada upacara sayur matua adalah sebagai berikut. Penggunaan gual: (i)

untuk mengiringi upacara adat sayur matua, (ii) memeriahkan Jalannya Upacara.

Fungsi gual: (i) untuk mengabsahkan upacara adat sayur matua, (ii) sebagai

sarana itegrasi sosial, (iii) sebagai ekspresi gembira dan sekaligus sedih, (iv)

sebagai saran doa kepada Tuhan, (v) sebagai sarana hiburan.

(i) Untuk mengiringi upacara adat sayur matua, gual berperan sebagai

pengiring dalam tahapan-tahapan tertentu, sebagai contoh tahapan

penyambutan tondong datang, pengiring pihak keluarga menari, dan

banyak tahapan lainnya menggunakan gual sebagai pengiring.

(ii) Memeriahkan jalannya upacara, gual merupakan sebuah komposisi

musik, dan seperti lazimnya fungsi musik dalam setiap aktivitasnya

gual juga dapat dikatakan sebagai unsur memeriahkan jalannya

upacara.

125
126

(i) Untuk mengabsahkan upacara adat sayur matua, pada upacara sayur

matua terdiri dari beberapa tahapan, dalam tahapan tersebut gual

sangat berperan, sebagai contoh gual huda-huda yang dimainkan

untuk mengiringi masuknya tondong sebagai tahapan penyambutan,

begitu juga dengan gual yang lainnya masing-masing memiliki fungsi.

Apabila tahapan-tahapan tersebut tidak tidak dilaksanakan maka tidak

sah upacara adat yang dilaksanakan dengan begitu bisa disimpulkan

gual termasuk dlam bagian upacara dan sebagai pengabsahan dalam

upacara.

(ii) Sebagai sarana integrasi sosial, dalam upacara adat sayur matua

berkumpul berbagai macam lapisan masyarakat, baik dari pihak

tondong, keluarga inti, teman sekampung, dan kerabat lainnya. Gual

disini sebagai pemersatu dalam status sosial ketika gual dimainkan

mereka yang hadir dalam aktivitas bersama. Contoh menari diiringi

gual huda-huda, rambing-rambing maupun ketiga gual lainnya.

(iii) Sebagai ekspresi emosi gembira dan sekaligus sedih, dalam setiap

gual yang diamainkan terdapaat makna yang terkandung didalamnya,

sebagai contoh gual sayur matua memiliki makna kegembiraan karena

seseorang telah meninggal dunia pada status sayur matua yang

dianggap sudah sukses dimasa hidupnya dengan memiliki keturunan

yang lengkap, begitu juga dengan gual yang lainnya.

(iv) Sebagai saran doa kepada Tuhan, masyarakat simalungun meyakini

bahwa gual parahot memiliki makna sebagai pengikat atau pemersatu,

126
127

maka dengan memainkan gual tersebut masyarakat simalungun

memiliki harapan dan doa agar hal tersebut dikabulkan. Begitu juga

dengan gual rambing-rambing sebagai doa ucapan syukur kalau

keturunan mereka rambing dan ramos dalam bahasa simalungun.

(v) Sebagai sarana hiburan, gual sebagai sarana hiburan dapat dijumpai

pada saat pihak tondong ataupun keluarga inti menari bersama, menari

dalam konteks ini bersifat menghibur maka gual juga dapat dikatakan

sebagai saran hiburan.

(3) Struktur Gual, dalam analisis penulis tentang struktur gual penulis

menemukan bahwa (1) tangga nada yang digunakan bes – c – cis – f – g –as, (2)

jumlah nada-nada didominasi nada C 43% pada gual parahot, nada C 44% pada

gual huda-huda, nada F 45% pada gual rambing-rambing, nada C 47% pada gual

sayur matua, nada C 39% pada gual dinggur-dinggur, (3) nada dasar yang

digunakan pada gual yaitu Bes, (4) wilayah nada yaitu nada paling rendah C dan

nada paling tinggi G, (5) pola kadensa gual ada yang hanya memiliki satu pola

kadensa dan ada yang memiliki dua pola kadensa, yang memiliki dua pola

kadensa gual parahot dan gual dinggur-dinggur, sementara gual sayur matua,

gual rambing-rambing dan gual huda-huda hanya memiliki satu pola kadensa, (6)

kontur yang terdapat pada kelima gual tersebut discending, pendulos, teracced,

(7) Meter yang digunakan kelima gual tersebut 4/4, (8) Pulsa yang terdapat pada

gual parahot 112 ketukan per menit, gual huda-huda 57 ketukan per menit, gual

rambing-rambing 55 ketukan per menit, gual sayur matua 75 ketukan per menit,

gual dinggur-dinggur 110 ketukan permenit.

127
128

6.2 Saran

Untuk mengatasi kurangnya sumber daya masyarakat simalungun yang

mahir memainkan serunei simalungun dan alat musik tradisi lainnya maka harus

diciptakan ruang agar simalungun memiliki pemusik tradisi yang profesional dan

tetap menjaga keutuhan buadaya terkhusus dibidang musik. Penulis berharap

setiap unsur dapat mendukung kehidupan para pemusik tradisi baik masyarakat

nya sendiri maupun pemerintah. Juga akan sangat berguna bila generasi sekarang

ini menyadari pentingnya akan identitas bangsa sehingga tradisi akan tetap

diwariskan dari generasi ke generasi dengan keutuhannya.

Penulis juga berharap hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai

sumber penguat informasi gual pada upacara sayur matua dalam tradisi

simalungun, tulisan ini sebagai hasil dokumentasi yang dapat di arsipkan dan

berguna bagi penelitian yang berkelanjutan tentang tradisi Simalungun.

128
129

DAFTAR PUSTAKA

Adler, Mortimer J. et al. (eds.). 1983. Encyclopaedia Britannica (Vol. XII).


Chicago: Helen Hemingway Benton.

Banoe, Pono. 2003. Kamus Musik. Yogyakarta: Kanisius


Blacking, John. 1974. How Musical is Man? Seattle: University of Washington
Press.

Castles, Lance. 1972. The Political Life of A Sumatra Resiency: Tapanuli 1915-
1940. Yale: Yale University. Disertasi Doktoral.

Damanik, Erond L. 2016. Ritus Peralihan. Medan: Simetri Institute

Damanik, Jahutar, 1974. Jalannya Hukum Adat Simalungun. Medan: P.D. Aslan.

Dasuha, Juandaha Raya P dan Martin Lukito Sinaga. 2003. Tole! Den
Timorlanden Den DasEvangelium. Kolportase GKPS (bekerjasama
dengan Panitia Bolon 100 Tahun Injil di Simalungun).

Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln (eds.). 1995. Handbook of Qualitative


Research. Thousand Oaks, London, dan New Delhi: Sage Publications.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 1988. Kamus Besar


Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud.

Hall, D.G.E., 1968, A History of South-East Asia, St. Martin's Press, New York.
Terjemahannya dalam bahasa Indonesia, D.G.E. Hall, Sejarah Asia
Tenggara, 1988, diterjemahkan oleh I.P. Soewasha dan terjemahan
disunting oleh M. Habib Mustopo, Surabaya: Usaha Nasional.

Hornbostel, Erich M. Von and Curt Sach. 1961. “Calssification of Musical


Instrument.”
Honigmann, John J. (ed.). 1973. Handbook of Social and Cultural
Anthropology.Chicago: Rand Mc Nally College Publishing Co.
Haviland, J. Karel. 1999. Antropologi jilid I. Surakarta: Gelora Asmara Pratama

Jansen, Arlin Dietrich. 2003. Gonrang Simalungun. Medan: Penerbit Bina Media.
Jenks, Chris. 2013. Culture : Studi Kebudayaan. Yogyakarta. Pustaka Pelajar
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), 2002. Jakarta: Balai Pustaka
Koentjaraningrat. 1983. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:
Gramedia.

129
130

Malm,William P., 1977. Music Cultures of the Pacific, Near East, and Asia. New
Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs; serta terJemahannya dalam
bahasa Indonesia, William P. Malm, 1993, Kebudayaan Musik Pasiflk,
Timur Tengah, dan Asia, dialihbahasakan oleh Muhammad Takari,
Medan: Universitas Sumatera Utara Press.

Malinowski, 1987. “Terori Fungsional dan Struktural,” dalam Teori Antropologi


I, Koentjaraningrat (ed), Jakarta : Universitas Indonesia Press.

Merriam, Allan P. 1964. The Anthropology of Music. Chicago: North Westren


University Press.
Moleong, Lexy J. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Manik, Kepler H. 2002. Kajian Tekstual dan Musikal Doding Ni Paragat Pada
Masyarakat Simalungun Di Kelurahan Girsang I Kecamatan Girsang
Sipangon Bolon-Simalungun. Medan: Skripsi Sarjana Departemen
Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

Manurung, Maria Fabyola., 2016. Bentuk Penyajian dan Fungsi Gonrang Sipitu-
pitu pada Upacara Kematian Sayur Matua di Desa Raya Kecamatan
Pematang Raya Kabupaten Simalungun. Medan: Skripsi sarjana jurusan
Sendratasik Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan.
Nazir, Moh. 1988. Metode Penelititan. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Nettl, Bruno. 1964. Theory and Method in a Ethnomusicolgy. New York: The
Free Press of Glencoe.
Pasaribu, Ben M. 1986. Taganing Batak Toba: Suatu Kajian dalam Konteks
Gondang Sabangunan. Skripsi Etnomusikologi Fakultas Sastra,
Universitas Sumatera Utara. Medan.

Purba, Kenan D. 1955. Sejarah Simalungun. Jakarta : Bina Budaya Simalungun.


Purba, M.D. 1977. Mengenal Kepribadian Asli Rakyat Simalungun. Medan: M.D.
Purba.

Purba, Setia Dermawan., 1985. “Musik Tradisional Simalungun.” Medan : Skripsi


sarjana jurusan Etnnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera
Utara.
Purba, Setia Dermawan, 1994. Penggunaan, Fungsi, dan Perkembangan
Nyanyian Rakyat Simalungun bagi Masyarakat Pendukungnya: Studi Kasus
di Desa Dolok Meriah, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun,
Sumatera Utara. Tesis S-2. Jakarta: Universitas Indonesia.

Putro, Brahma. 1981. Karo dari Jaman ke Jaman. Medan: Yayasan Masa.

130
131

Sachs, Curt dan Eric M. Von Hornbostel, 1914. “Systematik der


Musikinstrumente.” Zeitschrift für Ethnologie. Berlin: Jahr. Juga
terjemahannya dalam bahasa Inggeris, Curt Sachs dan Eric M. von
Hornbostel, 1992. “Classification of Musical Instruments.” Terjemahan
Anthony Baines dan Klaus P. Wachsmann. Ethnomusicology: An
Inroduction. Helen Myers (ed.). New York: The Macmillan Press.

Sangti, Batara. 1977. Sejarah Batak. Balige: Karl Sianipar.

Saragih, Simon. 2014. Taralamsyah Saragih, Jejak sepi seorang Komponis


Legendaris. Medan : Penerbit Bina Media Perintis.
Sinaga, Irpan Raviandi., 2017. Analisis Teknik Meamainkan Gonrang Sipitu-pitu:
Badu Purba Siboro di Kecamatan Siantar Barat Kabupaten Simalungun.
Medan: Skripsi sarjana jurusan Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara.

Sunjata, Wahyudi Pantja, 1997. Kupatan Jalasutera Tradisi, Makna dan.


Simboliknya. Yogyakarta: Tjipta Pustaka.

Supanggah, Rahayu, 1995. Etnomusikologi. Surakarta: Yayasan Bentang Budaya,


Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.

131
132

DAFTAR INFORMAN
INFORMAN KUNCI
Nama : J Badu Purba Siboro
Umur : 76 Tahun
Pekerjaan : PNS pensiun / Pargual (Pemain musik tradisi Simalungun)
Alamat : Jl. Nangka 1 no. 18 Siantar

Penulis bersama Pak Badu Purba


(Dokumentasi penulis, 2018)

132
133

INFORMAN PENDUKUNG

1. Nama : Sahat Damanik


Umur : 56 Tahun
Pekerjaan : Pemilik Sanggartor-tor elak-elak / Pargual
(Pemain musik tradisi Simalungun)

Alamat : Sirpang Dalig Raya


2. Nama : Radansius Saragih
Umur : 38 Tahun
Pekerjaan : Pargual (Pemain musik tradisi Simalungun)

Alamat : Jl. Sutomo sondi raya


3. Nama : Jamin Purba
Umur : 61 Tahun
Pekerjaan : Pimpnan museum Simalungun

Alamat : Pematang Siantar


4. Nama : Hiskia
Umur : 23 Tahun
Pekerjaan : Pargual / Mahasiswa Etnomusikologi

Alamat : Pematang Raya


5. Nama : Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si
Umur : 65 Tahun
Pekerjaan : Dosen Etnnomusikologi USU

Alamat : Lubuk Pakam


6. Nama : Miden Purba
Umur : 42 Tahun
Pekerjaan : Pargual (Pemain musik tradisi Simalungun)

Alamat : Pematang Raya

133
134

GLOSARIUM

Aksentuasi : tekanan

Birama : ruas-ruas yang membagi kalimat lagu ke dalam


ukuran-ukuran yang sama, ditandai dengan
lambang hitungan atau bilangan tertentu

Down beat : gerak turun dalam aba-aba konduktor, khususnya


gerak berakses pada saat masuk hitungan pertama
dalam suatu hitungan metrum (sukat)

Duprel : dua not dimainkan dalam jarak tiga hitungan, atau


sejumlah hitungan lainnya ditandai dengan
lengkung pengikat yang dibubuhi angka dua

Intensitas : kekuatan

Interval : jarak antara dua nada

Irama : pola ritme tertentu

Kadensa : pengakhiran, cara yang ditempuh unuk mengakhiri


komposisi musik dengan berbagai kemungkinan
kombinasi ragam akord, sehingga terasa efek
berakhirnya sebuah lagu atau frase lagu

Kolotomis : instrumen sebagai penyekat nada yang dimainkan


pada setiap birama

Kuadrupel : rangkap empat; nada rangkap berupa rangkaian


empat nada senilai tiga hitungan atau nilai hitung
lainnya, ditandai dengan lengkung pengikat
berangka empat

Laras : istilah dalam karawitan Jawa untuk menyatakan


nada, tangga nada, penalaan dan keharmonisan

Melodi : lagu pokok

Mongmongan : sepasang gong yang memiliki ukuran lebih kecil


dari ogung

134
135

Nada : suara dengan frekuensi tertentu yang dilukiskan


dengan lambang tertentu pula

Ogung : komponen dalam musik gonrang Simalungun yang


terbuat dari logam perunggu atau kuningan

Oktaf : interval berjarak delapan

Repertoar : sejumlah lagu yang dikuasai, sejumlah karya yang


dimiliki, sejumlah buku musik yang dikoleksi,
dimiliki dan dikuasai isinya dan (umumnya)
mampu dimainkan

Ritme : langkah teratur

Sarunei : sejenis alat musik tiup yang terdiri atas tiga bagian
penyususn, yaitu baluh, nalih, dan sigumbangi

Sintagmatis : hubungan linier antara unsur bahasa dalam tataran


tertentu

Tempo : waktu; kecepatan dalam ukuran langkah tertentu

Tonalitas : pengenalan suara tangga nada tertentu berdasarkan


pengenalan nada dasarnya (tonal; tonika) dalam
suatu lagu

Tondong : keluarga pihak yang memberikan anak wanitanya


kepada marga lain menjadi istrinya

Transkripsi : menyadur lagu dari bentuk aslinya ke bentuk yang


baru tanpa mengurangi bobotnya (menulis
kembali)

Up beat : gerakan ke atas pada tongkat pengaba dirigen atau


tangan pemimpin musik, khususnya menjelang
masuknya hitungan birama baru; lagu (musik)
dengan awalan menjelang masuknya irama atau
aksen awal birama

135
136

LAMPIRAN

136
137

137
138

138
139

139
140

140
141

141
142

142
143

143
144

144
145

145
146

146
147

147
148

148
149

149
150

150
151

151
152

152
153

153
154

154
155

155
156

156
157

157
158

158
159

159
160

160
161

161
162

162
163

163
164

164
165

165
166

166
167

167
168

168
169

169
170

170
171

171
172

172
173

173
174

174
175

175
176

176
177

177
178

178
179

179
180

180
181

181
182

182
183

183
184

184
185

185
186

186
187

187
188

188
189

189
190

190
191

191
192

192
193

193
194

194
195

195
196

196
197

197
198

198
199

199
200

200
201

201
202

202

Anda mungkin juga menyukai