Disusun Oleh:
1
Burhanuddin salam, Logika Formal_Filsafat Berpikir, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1988, Hlm. 75.
2
Mundiri, Logika (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), cet.4, 14.
3
Jujun S. Supriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), 215.
Hipotesa-hipotesa
(Permis satu dan
permis dua)
Analisa
Kesimpulan
4
ibid. hal 59.
2. Penalaran Induktif
Penalaran induktif adalah cara berfikir untuk menarik kesimpulan dari
pengamatan terhadap hal yang bersifat partikular kedalam gejala-gejala yang
bersifat umum atau universal. Sehingga dapat dikatakan bahwa penalaran ini
diawali dengan fakta yang bersifat terbatas dan spesifik lalu diakhiri dengan
sebuah pernyataan atau statemen yang bersifat umum.5
Penalaran model ini dipublikasikan secara luas oleh Francis Bacon (1561-
1626). Bacon yang merasa tidak puas dengan penalaran deduktif, menjelaskan
bahwa para ilmuwan seharusnya tidak menerima premis sebelumnya yang telah
memiliki kebenaran mutlak. Kesimpulan yang benar dan akurat dapat diperoleh
dengan pengumpulan fakta melalui pengamatan langsung. Kesimpulan umum
dalam penerapan metode induksi diperoleh dari hasil pemeriksaan fakta-fakta
emperik (induksi).
Proses berpikir induktif meliputi pengenalan pola, dugaan dan pembentukan
generalisasi. Ketepatan sebuah dugaan atau pembentukan generalisasi dalam pola
penalaran ini sangatlah tergantung dari data dan pola yang tersedia. Semakin
banyak data yang diberikan atau semakin spesifik pola yang diberikan, maka akan
menghasilkan sebuah dugaan atau generalisasi yang semakin mendekati
kebenaran. Sebaliknya, semakin sedikit data yang diberikan atau semakin kurang
spesifiknya pola yang disediakan, maka dugaan atau generalisasi bisa semakin
jauh dari sasaran, dan bahkan bisa memunculkan dugaan atau generalisasi ganda.
Menurut R. G. Soekadijo terdapat tiga ciri induksi, yaitu:6
a. Premis-premis dari induksi adalah proposisi empirik yang langsung
kembali kepada suatu observasi indera atau proposisi dasar (basic
statement)
b. Konklusi penalaran induktif lebih luas dari pada apa yang dinyatakan
dalam premis-premisnya
c. Konklusi induksi memilki kredibilitas rasional (probabilitas) yang
didukung oleh pengalaman, artinya konklusi induksi terkadang cocok
dengan pengalaman, namun apabila didasarkan pada observasi indra
belum tentu cocok.
5 Jan Hendrik Rapar, Pengantar Logika: Asas-asas Penalaran Sistematis (Yogyakarta: Kanisius, t.th.),
86.
6 R. G. Soekadijo, Logika Dasar, Tradisional, Simbolik dan Induktif, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
Contoh 1
• Besi itu mengalirkan listrik
• Tembaga itu mengalirkan
listrik
• Perak itu mengalirkan listrik
• Besi, tembaga, emas, perak adalah
logam
• Jadi logam itu mengalirkan listrik
Contoh 2
• Kerbau punya mata
• Anjing punya mata
• Kucing punya mata.
• Jadi setiap hewan punya mata.
Induksi diartikan dengan istilah logika mayor, karena membahas pensesuaian
pemikiran dengan dunia empiris. Induksi dapat dikatakan juga menguji hasil
usaha logika formal (deduktif), dan membandingkannya dengan kenyataan
empiris.7 Sehingga penganut faham empirisme yang lebih sering
mengembangkan pengetahuan dan bertolak dari pengalaman konkrit, pada
akhinya menganggap bahwa satu-satunya pengetahuan yang benar adalah yang
diperoleh langsung dari pengalaman nyata. Dengan demikian, secara tidak
langsung, para penggiat aliran inilah yang sering menggunakan penalaran
induktif, karena penalaran ini lebih banyak berpijak pada observasi secara
indrawi atau empiris. Inilah alasan atas eratnya ikatan antara logika induktif
dengan istilah generalisasi serta empirisme.
Penarikan kesimpulan secara induktif menghadapkan kita kepada suatu
dilema tersendiri, yaitu banyaknya kasus yang harus diamati sampai mengerucut
pada suatu kesimpulan yang general. 8 Sebagai contohnya jika kita ingin
mengetahui berapa rata-rata tinggi badan anak umur 9 tahun di Indonesia tentu
cara paling logis adalah dengan mengukur tinggi seluruh anak umur 9 tahun di
Indonesia. Proses tersebut tentu akan memberikan kesimpulan yang dapat
dipertanggungjawabkan, namun pelaksanaan dari proses ini sendiri sudah
menjadi dilema yang tidak mudah untuk ditanggulangi.
Di samping itu, guna menghindari kesalahan yang disebabkan karena
generalisasi yang terburu-buru, Bacon menjelaskan empat macam idola atau
godaan dalam berfikir: Pertama, idola tribus, yakni menarik kesimpulan tanpa
dasar yang cukup. Artinya, kesimpulan diperoleh dari pengamatan yang kurang
9 Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu
Pengetahuan (Yogyakarta: Belukar, 2008), 104-105.
10 Burhanuddin Salam, Logika Formal (Filsafat Berfikir),(Jakarta: Bina Aksara, 1988), hal. 74
11 Nina W. Syam, Filsafat sebagai Akar ilmu Komunikasi, (Bandung : Simbiosa Rekatama Media, 2010),
hal. 196
3) Langkah ketiga adalah mengadakan verifikasi. Hipotesis merupakan
perumusan dalil atau jawaban sementara yang harus dibuktikan atau
diterapkan terhadap fakta-fakta atau juga dibandingkan dengan fakta-fakta
lain untuk diambil kesimpulan umum. Proses verifikasi adalah satu
langkah atau cara untuk membuktikan bahwa hipotesis tersebut
merupakan dalil yang sebenarnya. Verifikasi juga mencakup generalisasi
untuk menemukan dalil umum, sehingga hipotesis tersebut dapat dijadikan
satu teori.
4) Langkah keempat adalah perumusan teori dan hukum ilmiah berdasarkan
hasil verifikasi.
Penalaran induktif ini diadobsi oleh banyak penggiatnya, karena ia dipandang
dapat memberikan ilustrasi-ilustrasi tentang ragam pengetahuan yang akan
dituju. Sehingga lebih mudah menemukan pola-pola tertentu suatu ilustrasi yang
ada. Ia juga dinilai efektif untuk memicu keterlibatan yang lebih mendalam dalam
suatu proses pencapaian kesimpulan. Sebabnya tiada lain adalah adanya kasus
awal yang tepat.
Adapun kelemahan dari proses ini adalah: Pertama, kesimpulan pada induksi
bukan merupakan suatu konsekuensi logis dari premis-premisnya, sehingga
kesimpulan tidak dapat menjadi benar 100% walaupun premis-premisnya benar;
Kedua, besarnya kemungkinan ketidaktelitian di dalam pengamatan atau human
error yang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti fasilitas ataupun panca indra
yang tidak sempurna. Maka di sini perlunya ketersediaan tenaga pembimbing
yang terampil; Ketiga, model ini sangat bergantung pada kondisi lingkungan
yang diamati, dengan kata lain perlunya sebuah kondisi yang benar-benar
kondusif dalam proses observasi, serta penyimpulannya; Keempat, waktu yang
dibutuhkan cenderung lebih lama daripada model deduktif, serta persiapan
menuju proses ini terkesan lebih banyak karena harus siap menghadapi kondisi
seperti apapun.
Baik penalaran induktif ataupun deduktif, keduanya memiliki kekurangan dan
kelebihannya masing-masing. Jika berpijak pada induktif semata maka ilmu
pengetahuan akan berada dalam suatu “kegelapan ilmiah” begitu pula jika hanya
pada deduktif belaka maka ia tidak akan maju. Maka dari itu dengan berkaca pada
aspek positif dan negatif dari keduanya, orang kemudian mencoba
mengkolaborasikan, memodifikasi, dan mengembangkan keduanya menjadi
sebuah sistem penalaran ilmiah modern saat ini (scientific method), atau dalam
istilah John Dewey dikenal dengan berpikir reflektif (reflective thinking).12
12 D. Van Dalen, Understanding Educational Research (New York: Mc Graw Hill Book, 1973), 13.
3. Penalaran Abduktif
Donny Gahral Adian dan Herdito menyatakan bahwa abduksi adalah metode
untuk memilih argumentasi terbaik dari sekian banyak argumentasi yang ada.
Sebab itu abduksi sering disebut sebagai argumentasi menuju penjelasan
terbaik.13
Penalaran abduktif digagas oleh Charles Sanders Pierce sebagai kritik
terhadap logika tradisional yang tidak membedakan antara proposisi kategoris dan
proposisi relasional. Pada masanya C. S. Pierce mampu berkontribusi dalam
bidang logika yaitu dengan menciptakan logika relasi sebagai sub disiplin dalam
logika modern. Dari logika relasi, Pierce mampu melahirkan doktrin Pragmatisme
dengan berbagai konsep kuncinya sehingga mampu membangun paradigma baru
dalam teori pengetahuan.14
Pada awalnya Pierce memandang abduksi sebagai suatu bentuk penyimpulan
yang terdiri dari tiga proposisi, yaitu proposisi tentang suatu hukum (role), kasus
(case) dan kesimpulan (result). Tiga proposisi tersebut dibentuk dalam silogisme
hipotesis yang terdiri dari premis mayor yang merupakan bagian hukum yang
jelas, minor yang merupakan fakta dan kesimpulan. Namun setelah tahun 1893,
Pierce semakin sadar bahwa abduksi lebih dari sekedar suatu bentuk logis.
Abduksi merupakan suatu bentuk silogisme yang bertolak dari fakta atau kasus.
Abduksi merupakan tahap pertama dari penelitian ilmiah. Minat penelitian
ilmuwan berawal dari keheranannya terhadap peristiwa atau fakta. Dari fakta itu
mereka merumuskan hipotesis yang mengandung makna general atau universal
untuk menjelaskan kasus tersebut.15
Sebagai contohnya adalah sebagai berikut: Ada seorang yang tiba-tiba
meninggal saat meminum kopi (premis minor-fakta), kemudian dilakukan
hipotesa berdasar pada hukum / teori / dugaan ilmiah yang diyakini, misalkan kopi
tersebut diracun, karena struk, jantung, atau karena sebab lainnya. Hipotesa
disusun sebagai sebuah penjelasan. Pada pendekatan abduksi, hipotesa
diposisikan sebagai hipotesa eksplanatoris, yakni bahwa hipotesa harus mampu
menjelaskan fakta. Jika kemudian hipotesa tidak mampu menjelaskan fakta (tidak
cocok), maka dicari hipotesa yang lain.
Contoh lain yaitu dari ilmu kedokteran, penyakit leukimia kanker darah.
Apabila seseorang terjangkit penyakit leukimia kanker darah, pertanyaan tentang
penyebab terjangkit seseorang dengan penyakit tersebut bisa kita rumuskan.
Misalnya faktor keturunan, faktor usia, kelainan genetik dan kelainan darah.
13
Donny Gahral Adian&Herdito, Logika Terapan_Teknik Berargumentasi_Berfikir Sebagai
Kecakapan Hidup, Kencana, Jakarta, 2013, Hlm. 39.
14
Zubaedi, Filsafat Barat, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hal. 102-103
15
A. Sonny Keraf, Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis, (Yogyakarta: Kanisius,
2001), hal. 92
Hipotesis-hipotesis tersebut dirumuskan untuk menjelaskan fakta. Jika terdapat
salah satu fakta menentang hipotesis tersebut, maka hipotesis lain boleh
diajukan.
Dari contoh tersebut Pierce merincikan dua ciri abduksi, yaitu:16
1) Abduksi menawarkan suatu hipotesis yang memberikan eksplanasi
yang probable (satu kemungkinan penjelasan)
2) Hipotesis dapat memberikan eksplanasi terhadap fakta-fakta lain yang
belum dijelaskan dan bahkan tidak dapat diobservasi secara langsung.
Para ilmuwan terdahulu menggunakan imajinasi untuk memikirkan
kebenaran. Hal ini dilakukan oleh Michael Polanyi, Thomas Kuhn dan lainnya.
Pierce melihat imajinasi sebagai faktor penting bagi temuan ilmiah atau hipotesis
dan ia mencoba untuk melukiskan kemampuan ini sebagai loncatan dari
pengalaman dan data kepada suatu plausibility (kemasuk-akalan) pengalaman dan
data. Dalam abduksi imajinasi tidak bisa diabaikan begitu saja. Abduksi hanya
menghasilkan hipotesis sebagai penjelasan sementara atau dugaan yang masuk
akal sebagai salah satu cara untuk memahami fakta. Maka, hipotesis yang coba
ditawarkan dalam melalui abduksi, tidak lebih dari suatu vague ideas yang harus
dibuktikan melalui induksi dan deduksi.17
Metode penalaran abduktif melibatkan tiga macam penyimpulan yaitu
hipotesis, deduksi, induksi, yang semuanya merupakan siklus berkelanjutan.
Tahap pertama merupakan awal pemberangkatan dengan sebuah hipotesis dan
menerimanya baik sebagai interogasi sederhana ataupun kepercayaan pada derajat
tertentu secara inferensial. Tahapan kedua melibatkan pemeriksaan hipotesis
dengan mengumpulkan semua bahan mengenai konsekuensi-konsekuensi
eksperiensial bersyarat, dengan mengikutinya jika dia benar, yakni dengan
membuat hipotesis itu sejelas mungkin. Tahap ketiga merupakan pemberangkatan
dengan prediksi bahwa hipotesis tersebut menjadi sedemikian rupa untuk diuji. 18
Walaupun abduksi merupakan sebuah penalaran ilmiah yang bisa berangkat
hanya dari bermodal hipotesa semata, tetapi hipotesa tidak bisa dirumuskan
dengan semaunya. Ada syarat perumusan hipotesa tersebut, syarat-syarat dalam
perumusan hipotesis yang paling penting adalah hipotesis yang dipilih adalah
hipotesis yang dapat diverifikasi secara eksperimental. Kemudian Pierce juga
menambahkan dua syarat lain, yaitu nilai hipotesis dan dampak positif dari
hipotesis terhadap ilmu. Suatu hipotesis yang baik bisa menjelaskan fenomena
lain secara bersamaan, yang tentunya hipotesis tersebut perlu dipertimbangkan
untuk diverifikasi lebih lanjut. Di kemudian hari hipotesis yang baik akan dilihat
16
Ibid, hal. 93
17
A. Sonny Keraf, Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan ..., hal. 94
18
Zubaedi, Filsafat Barat,.., hal. 114
sebagai teori ilmiah dengan lingkup penjelasan yang luas. Semakin baik suatu
hipotesis, semakin luas dan mendalam hipotesis tersebut.
Kaitannya dengan nilai hipotesis, Pierce mengatakan bahwa hipotesis yang
baik adalah hipotesis yang memiliki karakter idealistik. Artinya hipotesis itu tidak
hanya bisa duji, melainkan harus bisa dibuktikan benar dengan berbagai macam
instrumen pembuktian, sehingga mampu mendorong perkembangan ilmu secara
dinamis. Pierce menggunakan insting akal budi manusia sebagai dasar untuk
mengekspektasi hipotesis idealistik. Insting hanyalah suatu alat yang digunakan
untuk memilih satu hipotesis dari sekian banyak hipotesis. Menurut Pierce insting
akal budi (mind) merupakan instrumen yang lebih meyakinkan dibandingkan
semua bentuk penalaran.19
Dikarenakan cukup bertumpu pada hipotesa dan kesimpulan, maka pada
pendekatan abduksi tidak perlu melakukan observasi langsung, hanya cukup
melakukan verifikasi saja. Dan proses verifikasi tersebut bisa terus berlanjut hingga
selanjutnya, sesuai dengan hipotesa baru apa yang kemudian dikemukakan. Metode
abduksi ini bisa membantu sebuah penelitian yang membutuhkan observasi yang
bisa memakan waktu yang lama dan dana yang banyak. Dengan penjelasan
hipotesa yang rasional, dan logis metode abduksi bisa menjelaskan fakta yang ada.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat diambil beberapa kesimpulan mengenai
penalaran abduktif yaitu:
Pertama-tama harus dikatakan bahwa abduksi menghasilkan suatu proposisi
yang mengandung konsep universal (generalitas). Sudah dikatakan sebelumnya
bahwa abduktif adalah suatu proses penyimpulan dari suatu kasus tertentu.
Kesimpulan dari proses itu adalah suatu proposisi yang menempatkan suatu kasus
khusus tertentu dalam suatu kelas atau kelompok. Maka dengan cara ini, suatu
hipotesis mempertegas bahwa suatu kasus individual ditempatkan dalam suatu
kelas yang lebih umum.
Kedua, abduktif merupakan suatu proses yang tidak dapat dipatok dengan satu
jenis penalaran formal (reason) saja. Hipotesis abduktif dibentuk oleh imajinasi,
bukan oleh penalaran kritis. Lebih lagi, seorang ilmuan akan menggunakan
instingnya untuk membuat suatu pilihan yang ekonomis dan berguna ketika
menghadapi begitu banyak penjelasan yang harus diuji. Hipotesis abduktif, karena
itu, tidak muncul dari suatu proses logis yang ketat, tetapi dari suatu kilatan insight,
pengertian, atau ide, di bawah imajinasi, dan di luar kemampuan penalaran kritis.
Ketiga, proses abduksi menegaskan bahwa ilmu pengetahuan selalu berusaha
untuk menangkap orisinalitas realitas. Karena hipotesis abduktif merupakan hasil
dari kilatan ide imajinasi ilmiah, hipotesis itu bagi ilmuwan dan bagi banyak orang
merupakan sesuatu yang baru. Peirce sangat yakin bahwa abduksi merupakan satu-
19
A. Sonny Keraf, Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan ..., hal. 96
satunya bentuk penalaran yang bisa menghasilkan ide bagi ilmu pengetahuan.
Abduksi berhenti dengan menawarkan suatu hipotesis yang harus diuji, bukan
sesuatu yang sudah diketahui kebenarannya. “Abduction merely conjectures in an
original way what the explanation for the phenomena might be”.
Keempat, adalah interpretatif. Abduktif yang berhasil mengandaikan
keterlibatan yang menyeluruh dan imajinasi yang bebas. Oleh karena itu, ilmuwan
yang berpengalaman biasanya lebih berhasil dari yang tidak berpengalaman. Ini
berarti bahwa abduktif merupakan suatu fase interpretasi. Interpretasi dalam arti
bahwa proposisi hipotesis yang berhasil dirumuskan itu tidak lain dari cara pandang
ilmuwan terhadap fakta atau pengalaman.
Kesimpulan
Manusia pada hakikatnya merupakan makhluk yang berpikir, merasa, bersikap,
dan bertindak. Sikap dan tindakannya yang bersumber pada pengetahuan yang
didapatkan melalui kegiatan merasa atau berpikir. Penalaran menghasilkan
pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir. Penalaran merupakan suatu
proses berpikir dalam menarik sesuatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Jadi
penalaran merupakan salah satu atau proses dalam berpikir yang menggabungkan
dua pemikiran atau lebih untuk menarik sebuah kesimpulan untuk mendapatkan
pengetahuan baru.
Terdapat berbagai jenis penalaran, diantaranya adalah deduktif, induktif dan
abduktif. Penalaran deduktif adalah proses pengambilan kesimpulan yang
didasarkan kepada premis-premis yang keberadaannya telah ditentukan; Penalaran
induktif merupakan suatu proses berpikir yang bertolak dari sejumlah fenomena
individual untuk menurunkan suatu kesimpulan (inferensi); Penalaran Abduktif
adalah proses berpikir untuk memilih argumentasi terbaik dari sekian banyak
argumentasi yang ada. Sebab itu abduksi sering disebut sebagai argumentasi
menuju penjelasan terbaik.
DAFTAR PUSTAKA
Dalen, D. Van. Understanding Educational Research. New York: Mc Graw Hill Book,
1973.
Donny Gahral Adian&Herdito, 2013, Logika Terapan_Teknik Berargumentasi_
Berfikir Sebagai Kecakapan Hidup, Jakarta: Kencana.
Mikhael Dua, A. Sonny Keraf, Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis,
Yogyakarta: Kanisius.
Mundiri, Logika. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
Muslih, Mohammad. Filsafat Ilmu, Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka
Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Belukar, 2008.
Rapar, Jan Hendrik. Pengantar Logika, Asas-Asas Penalaran Sistematis. Yogyakarta:
Kanisius, t.th.
Salam, Burhanuddin 1988, Logika Formal (Filsafat Berfikir), Jakarta: Bina Aksara.
Soekadijo, R. G. Logika Dasar, Tradisional, Simbolik dan Induktif, Jakarta: Gramedia
Pustaka.
Supriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar
Harapan, 1985.
Syam, Nina W. Filsafat sebagai Akar ilmu Komunikasi, Bandung: Simbiosa Rekatama
Media.
Zubaedi, Filsafat Barat, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.