Text
1
Franz Magnis Suseno, Jaya Suprana, dkk., Membangun Kualitas Bangsa (Jakarta :
Kanisius, 1997), hlm. 14.
9
10
2
Franz Magnis Suseno, Etika Dasar; Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral (Jakarta :
Kanisius, 1979), hlm. 132
3
Lihat Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani Sampai Abad XIX
(Jakarta : Kanisius, 1998), dia menanggapi dan memberikan komentar dan gagasan-gagasan etika
dari 13 Tokoh Etika.
4
Franz Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 3
11
Kekuasaan pada pokoknya hanya benar dan baik sejauh berjalan dalam
batas-batas hukum, sedangkan hukum sendiri harus menunjang tujuan negara
yaitu mengusahakan kesejahteraan umum dan bukan kepentingan pribadi
penguasa sendiri atau kelompok tertentu. Yang boleh disebut penguasa
bukanlah segenap orang yang duduk di atas tahta, melainkan hanyalah
penguasa yang memerintah demi kesejahteraan masyarakat umum, bukan demi
kepentingan sendiri.
Penguasa sah menduduki jabatannya berdasarkan suatu perjanjian dengan
rakyat. Dalam perjanjian itu rakyat di satu pihak berjanji akan taat kepada
penguasa, di lain pihak penguasa berjanji bahwa ia akan mempergunakan
kekuasaannya demi tujuan yang sebenar-benarnya yaitu untuk mengusahakan
kepentingan masyarakat atau kesejahteraan umum. Dengan konsep seperti ini
penguasa melihat rakyatnya sebagai manusia, tidak melihat manusia sebagai
hewan dan budak yang hanya untuk mencapai tujuan dan kepentingan
pribadinya.5
Disamping menekuni berbagai bidang ilmu pengetahuan, ia juga termasuk
seorang tokoh rohaniawan.6 Menurut pandangan Franz ada tiga hal yang
dinyatakan tentang manusia yaitu :
1. Manusia diciptakan oleh Allah menurut citra-Nya
Menurut pandangan Franz manusia diciptakan menurut citra Allah yang
berarti; pertama, manusia tidak dapat dimengerti dari dirinya sendiri saja.
Dalam segala hal yang ada pada manusia berasal dari Allah dan hanya
berada dalam eksistensi-Nya, karena ia tetap ditunjang oleh kehendak
Allah. Maka hanya ada satu yang berhak untuk menuntut sesuatu dengan
mutlak dari manusia yaitu Allah. Kedua, manusia diciptakan oleh Allah
berbeda dengan makhluk-makhluk yang lain. Hanya manusia yang
diciptakan oeh Allah yang mempunyai akal budi dan kemauan, suara hati
dan kebebasan, agar dapat dan harus mempertanggungjawabkan
kehidupannya.
2. Manusia tempat salah dan dosa
5
Ibid , hlm. 13
6
Franz Magnis Suseno, Jaya Suprana, et-el, Membangun Kualitas Bangsa, loc.cit, hlm. 14
12
7
Franz Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, op. cit, hlm. 14.
8
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm. 6
9
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika, loc. cit, hlm. 13
10
Ibid, hlm. 39
11
Ibid, hlm. 40
13
12
Franz Von Magnis, Etika Dasar ; Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, loc. cit,
hlm. 15
13
Franz Magnis Suseno, . Kees Bertens, et-el, Etika Sosial (Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama, 1993), hlm. 3
14
14
Franz Magnis Suseno, Berfilsafat dari Konteks (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama,
1992), hlm. 9
15
15
Ibid, hlm. 10
16
Frans Magnis Suseno, Etika Dasar, loc. cit, hlm. 15
16
17
Frans Magnis Suseno, Etika Dasar, loc. cit, hlm. 15
18
Ibid, hlm. 19
17
19
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa, loc. cit, hlm. 18
20
Franz Magnis Suseno, Etika Dasar, op.cit., hlm. 129
21
Franz Von Magnis, Etika Umum, loc. cit, hlm. 103
18
baik dalam setiap situasi. Kalau itu sudah diketahui, maka diketahui juga
bagaimana prinsip sikap baik harus diterapkan dalam situasi ini.
Tentang prinsip baik ini Franz juga berpandangan bahwa norma yang
lebih umum dapat disimpulkan dalam prinsip ini.22 Atas dasar bahwa mengerti
kenyataan adalah sesuatu yang baik, maka prinsip sikap baik mengizinkan
untuk selalu menganjurkan bahwa semua orang wajib untuk bicara yang benar.
Yang dapat ditarik dari prinsip sikap baik adalah misalnya kaidah
maksimalisasi akibat baik, kaidah bahwa tidak boleh merugikan orang lain,
kaidah bahwa semua orang wajib menghormati kebebasan orang lain
Prinsip sikap baik mempunyai arti yang sangat besar bagi kehidupan
manusia, karena mempunyai dasar dalam struktur psikis manusia. Misalnya
seseorang dapat bertemu dengan orang lain yang belum dikenal tanpa rasa
takut. Dengan prinsip dasar ini seseorang dapat berbaik sangka (khusnudlan)
terhadap orang lain bahwa orang lain itu tidak akan mengancam atau
merugikan terhadap dirinya. Hal itu juga dapat dilihat terhadap seseorang yang
tidak saling kenal, akan tetapi secara spontan orang itu akan membantu orang
lain dalam kesusahan. Andaikata sikap dasar manusia itu negatif, maka sikap
antar manusia saling mencurigai, bahkan saling mengancam dan hubungan
antar manusia tidak harmonis.
Jadi prinsip sikap baik bukan hanya dipahami secara rasional, melainkan
juga suatu kecondongan yang memang sudah ada dalam watak manusia.
Sebagai prinsip dasar etika, prinsip sikap baik melingkupi sikap dasar manusia
yang harus meresapi segala sikap kongkret, tindakan dan kelakuanya. Prinsip
ini menyatakan bahwa pada dasarnya, kecuali ada alasan yang khusus manusia
harus mendekati siapa saja dan apa saja dengan positif, dengan menghendaki
yang baik bagi manusia. Yang dimaksud adalah bukan semata-mata perebutan
baik dalam arti sempit, melainkan sikap hati positif terhadap orang lain,
kemudian baik terhadapnya. Bersikap baik berarti menghendaki, menyetujui,
membenarkan, mendukung, membela, dan menunjang perkembangannya,
mendukung kehidupan dan mencegah kematian demi dia itu sendiri, tidak ada
tendensi lain kecuali demi dia sendiri.
22
Ibid, hlm. 104.
19
Sikap baik itu harus dinyatakan secara konkrit tergantung pada apa yang
baik dalam situasi kongkret itu. Maka prinsip ini menuntut suatu pengetahuan
tepat tentang realitas supaya dapat diketahui apa-apa yang baik bagi yang
bersangkutan. Kalau itu sudah diketahui, maka diketahui juga bagaimana
prinsip sikap baik harus diterapkan dalam situasi itu. Prinsip sikap baik
mendasari semua norma moral karena hanya atas dasar prinsip itu masuk akal
bahwa manusia harus bersikap adil, atau jujur, atau setia kepada orang lain.23
b. Prinsip keadilan
Prinsip kebaikan hanya menegaskan agar manusia bersikap baik terhadap
siapa saja. Tetapi kemampuan manusia untuk bersikap baik secara hakiki
terbatas. Hal itu dinyatakan Franz tidak hanya berlaku bagi benda-benda
materiil yang dibutuhkan manusia, seperti uang yang telah diberikan kepada
seorang pengemis (menjadi hak orang lain) tidak boleh dibelanjakan untuk
keluarganya sendiri, melainkan juga dalam hal perhatian dan cinta kasih.
Kemampuan untuk memberikan hati juga terbatas. Maka secara logis
dibutuhkan prinsip tambahan yang menentukan bagaimana kebaikan itu harus
dibagi. Prinsip itulah yang disebut prinsip keadialan.24
Tuntutan keadilan yang paling umum dan mendasar adalah agar semua
orang dalam situasi yang sama dan diperlakukan dengan sama.25 Dengan dasar
seperti itu Franz menegaskan bahwa keadilan mengungkapkan sikap hormat
terhadap martabat dan kesamaan antara semua orang sebagai manusia. Secara
lebih kongkrit, keadilan menuntut agar kepada siapa saja diberikan apa yang
menjadi haknya.
Keadilan adalah norma dan keutamaan yang paling mendasar dalam
hubungan antar manusia. Kebaikan atau belas kasihan tanpa keadilan secara
moral tidak bernilai, melainkan merendahkan orang yang menerimanya. Yang
paling dituntut dari seseorang adalah agar memperlakukan setiap orang yang
berhubungan denganya secara adil.26
Dapat disimpulkan bahwa prinsip keadilan mengandung kewajiban untuk
memberikan perlakuan yang sama kepada semua orang dalam pembagian dari
23
Franz Magnis Suseno, Etika Dasar, op. cit, hlm. 130
24
Ibid, hlm. 132
25
Franz Magnis Suseno, et-el, Etika Sosial, loc. cit, hlm. 130
26
Ibid
20
pada yang baik dan yang buruk, dalam pemberian bantuan, dengan
memperhatikan kebutuhan dan kemampuan mereka. Kewajiban ini hanya
mengizinkan perkecualian apabila perilaku yang tak sama dapat dibenarkan
berdasarkan prinsip sikap baik atau karena dalam jangka panjang akan
menghasilkan kesamaan yang lebih besar. Intinya setiap perlakuan yang tidak
sama menuntut pertanggungjawaban khusus.27
c. Prinsip hormat pada diri sendiri
Dalam prinsip ketiga ini Franz mengatakan bahwa manusia wajib untuk
selalu memperlakukan diri sebagai sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri.28
Prinsip ini berdasarkan pada paham bahwa manusia adalah person atau
dipandang secara individu, yang mempunyai pengertian dan kehendak, yang
memiliki kebebasan dan sura hati dan makhluk yang berakal budi. Manusia
tidak boleh dianggap sebagai sarana semata-mata demi suatu tujuan lebih
lanjut. Manusia adalah tujuan yang bernilai pada dirinya sendiri. Jadi nilainya
bukan sekedar sebagai sarana untuk mencapai suatu maksud atau tujuan lebih
jauh, melainkan manusia juga wajib memperlakukan dirinya dengan hormat,
dan menghormati martabat dirinya.
Dengan argumentasi di atas prinsip ini mempunyai dua tujuan. Pertama,
supaya manusia tidak memberikan dirinya untuk diperas, diperalat, diperkosa,
dan diperbudak. Perlakuan semacam itu tidak wajar untuk kedua belah pihak,
maka yang diperlakuan seperti itu jangan membiarkan begitu saja apabila ia
dapat melawan. Dipaksa untuk melakukan atau menyerahkan sesuatu dengan
tidak wajar berarti bahwa kehendak dan kebebasan secara eksistensial
dianggap sepi atau keberadaanya dianggap sama dengan tidak adanya.
Kedua, manusia jangan sampai membiarkan dirinya terlantar. Manusia
mempunyai kewajiban tidak hanya kepada orang lain, melainkan juga terhadap
dirinya sendiri. Manusia wajib mengembangkan diri. Membiarkan dirinya
terlantar berarti ia menyia-nyiakan bakat dan kemapuan yang dipercayakan
Allah kepadanya.29
27
Franz Von Magnis, Etika Umum, loc. cit, hlm. 105
28
Franz Mgnis Suseno, Etika Dasar, loc. cit, hlm. 133
29
Ibid
21
30
Ibid
31
Franz von Magnis, Etika Umum, op. cit, hlm. 22
22
32
Ibid
33
Ibid, hlm. 23
34
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa, loc. cit, hlm. 214
23
dan yang bodoh.34 Pembedaan manusia yang bijaksana dan yang bodoh sangat
kental sekali misalnya dalam masyarakat Jawa. Siapa yang mengejar hawa
nafsunya, yang hanya memikirkan pemuasan kebutuhan-kebutuhan egois pada
dirinya sendiri, ini dianggap rendah dan disayangkan. Kelakuannya
menunjukan bahwa ia belum tahu cara hidup mana yang menjadi
kepentingannya yang sebenarnya. Dan sebaliknya orang yang bijaksana
menangkap bahwa yang paling baik baginya adalah hidup yang sesuai dengan
peraturan-peraturan moral, bahkan ia harus melawan nafsunya dan harus rela
untuk tidak langsung memenuhi semua kepentingan jangka pendek. Dengan
hal ini juga, sayogyanya tidak terlalu mengecam terhadap orang yang
melanggar peraturan-peraturan moral secara cepat atau tergesa-gesa. Selama
ia belum mengerti, dan ia tidak bisa ditolong, maka hendaknya tetap
diusahakan agar ia tidak merugikan orang lain. Disamping itu, ia selalu
diharapkan nantinya bisa mengerti pula. Pengertian itu tidak bisa dipaksakan.
Pengertian yang dimaksud di sini adalah pengertian bahwa yang paling masuk
akal bagi individu dan bagi siapa saja ialah hidup sesuai dengan peraturan-
peratuaran moral.
Begitu juga Franz berpandangan bahwa rasionalitas suatu hidup moral
yang dialami oleh seseorang secara langsung adalah dalam “rasa”.35 Rasa atau
perasaan itu adalah mendengarkan suara hati, untuk mengarahkan diri pada
yang betul-betul bernilai terhadap tanggungjawab sebagai manusia. Dengan
rasa, dimaksudkan mampu untuk “merasakan” segala dimensi hidup, dari
perasaan jasmani inderawi, melalui penghayatan suatu hubungan interpersonal
sampai pada kesadaran batin akan kenyataan yang sebenarnya.36
Dalam rasa realitas sebenarnya adalah membuka diri. Dari tingkat rasa
seseorang, kedalaman kepribadianya dapat diketahui. Rasa yang dangkal
menunjukan kepada kepribadian yang dangkal. Sedangkan rasa yang
mendalam menunujukan bahwa orang itu telah sampai ke dimensi realitas
sebenarnya. Orang yang telah mengembangkan rasanya dapat menempatkan
diri sesuai dengan keselarasan realitas seluruhnya. Dari rasa yang tepat, dengan
35
Ibid, hlm. 215
36
Frans Magnis Suseno, Etika Dasar, loc. cit, hlm. 82
37
Ibid
24
sendirinya mengalir sikap yang tepat terhadap hidup, terhadap masyarakat, dan
terhadap kewajiban dan tanggungjawabnya.37
Apa yang ada dalam filsafat jawa di sebutkan bahwa rasa adalah bukan
lain dari pada sikap moral dasar seseorang. Mencapai rasa yang mendalam
berarti bahwa orang itu sudah mantap dalam ketekatan untuk selalu memilih
yang baik dan yang benar. Orang itu tidak lagi dangkal dan kacau jiwanya,
maka ia sanggup bertindak semata-mata dengan melihat pada tanggung
jawabnya.38
Franz juga menjelaskan bahwa dengan rasa manusia akan menyadari
dimensi-dimensinya yang sebenarnya, dengan sendirinya akan hidup sesuai
dengan kewajiban-kewajibanya, dan karena itupun tidak ada gunanya untuk
mengharapkan suatu hidup moral dimana belum ada “rasa” yang sesuai. Dalam
rasa individu mengalami bahwa suatu hidup moral cocok dengan kodratnya
sendiri.39
Rasa dapat lebih diperincikan karena mempunyai aksentuasi yang
berbeda-beda. Rasa seseorang itu berbeda-beda tergantung dari cara hidup,
tingkat pendidikan, dan orientasi kehidupan orang itu.40 Bagi penduduk desa
contoh saja, suatu hidup sesuai dengan adat istiadat menghasilkan rasa aman
dan tenteram dalam kesatuan kelompok, kebebasan dari ketegangan antara
tetangga dan dari rasa kaget yang mengejutkan, ia sadar bahwa ia hidup selaras
dengan kekuatan-kekuatan alam dan rohani dalam lingkungan desanya dan
dengan demikian terlindung secara maksimal terhadap wabah kelaparan,
penyakit, bencana alam, dan perang. Pendek kata, rasa orang desa terutama
rasa “slamet”. Ia secara langsung mengalami bahwa kesalamatannya dalam
semua dimensi tadi akan dipertaruhkan andaikata ia mau menuruti hawa nafsu
dan pamrihnya.
Orang yang selalu menuruti dan mengembangkan rasa individualnya yang
berupa hawa nafsu dan pamrih menurut Franz nantinya akan mengalami
38
Ibid
39
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa, op.cit, hlm. 215.
40
Ibid
41
Ibid
25
frustasi dan kecewa, karena hawa nafsu dan pamrih tidak dapat dipisahkan dari
frustasi dan kekecewaan.41 Perasaan itu bisa mengganggu perasaan hati. Rasa
kecewa itu pula bisa menyebabkan orang sakit. Melalui rasa bahwa yang
paling cocok, sehat dan sesuai adalah untuk tidak mengejar kepentingan-
kepentingan sempitnya sendiri saja, kalau orang Jawa mengatakan “sepi ing
pamrih”. Dengan begitu orang bisa memahami bahwa setiap orang mempunyai
tugasnya dalam dunia, dan yang paling baik, paling menenangkan dan paling
sehat bagi semua pihak adalah apabila mereka memenuhi kewajiban-kewajiban
mereka masing-masing, orang jawa mengatakan “rame ing gawa”.
Semakin mempunyai rasa manusia mendalami dimensi batin keakuanya,
semakin ia akan sanggup untuk menghayati suatu pemenuhan ganda
ekisistensinya sendiri.42 Pandangan Franz yang demikian menjelaskan bahwa
manusia akan menemukan dirinya yang sebenarnya dengan semakin intensif,
dan pada dasar kebatinanya ia akan bertemu dengan realitas yang Illahi.
Pengalaman itu mempunyai makna dalam dirinya sendiri, dia semakin
menemukan dirinya sendiri yang sebenarnya, maka ia semakin bebas dari
keterasingan (ia terasing dari dirnya sendiri selama ia terikat dengan dunia
luar), ia mengaktualisasikan realitasnya yang sebenarnya dan dengan demikian
mengalami pemenuhan diri yang setinggi-tingginya. Jadi usaha untuk bersikap
sepi ing pamrih dan memperdalam rasa memuat rasionalitasnya dalam dirinya
sendiri. Melaui usaha itu manusia akan semakin intensif memiliki diri sendiri,
dan kepemilikan itu langsung dan secara intensif dialami sebagai nilai pada
dirinya.
Apabila individu dalam rasa menemukan hakekat sebenarnya, ia semakin
sadar akan kebenaran hakekatnya yang paling dasar. Bahwa pada dasarnya
kebatinan dalam suksmanya, ia bersatu dengan jiwa yang Illahi yang
menyeluruh. Menemukan dirinya sekaligus menemukan yang Illahi. Usaha
mencari yang Illahi tidak perlu dibenarkan dari luar karena maknanya terasa
dalam pancaran itu sendiri, dalam pengalaman kebahagiaan yang
menyertainya. Dengan pengalaman ganda itu, manusia menemukan dirinya
42
Ibid
43
Ibid, hlm.216
26
yang sebenarnya, sehingga ia bisa sampai pada cahaya numinus yang Illahi
atau dalam tingkat ma’rifat, dan ia niscaya akan mendapatkan suatu
kenikmatan dan keasikan yang maksimum.43
Sikap dalam semua dimensi tidak boleh hanya ditentukan oleh
pertimbangan untung rugi diri sendiri, oleh keperluan masyarakat terhadap
pembangunan, oleh kebanggaan nasional, oleh keinginan memenangkan
kelompoknya sendiri, oleh dogma-dogma ideologi, melainkan harus ditentukan
sesuai dengan martabat dan tanggungjawab manusia sebagai manusia.44
44
Franz Magnis Suseno, Etika Sosial, loc. cit, hlm. 8