Anda di halaman 1dari 13

PERAN ETIKA: DIMENSI AKSIOLOGIS DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Oleh : Khairul Umam, M.Pd.


Pendahuluan
Pada tataran ontologis, konsep mengenai pendidikan Islam itu belum ada kata
sepakat, tetapi fakta sejarah menunjukkan bahwa Islam selalu berintegrasi dan
beradaptasi, bahkan mengadopsi system dan lembaga pendidikan lainnya tanpa
kehilangan identitas dan karakteristik dasarnya, sebagaimana dinyatakan oleh Sayed
Hossein Nasr: ...by the power of integration inherent within Islam, many of these
institutions were muslimized and absorbed into the structure of muslim society so that
they lost their foreign attributes.1 Realitas tersebut menjadikan jati diri pendidikan
Islam itu autentik dengan bertumpu pada prinsip keterpaduan antara dimensi
ketuhanan (teosentris) dengan kemanusiaan (antroposentris).2
Berbeda dengan pendidikan barat yang hanya bertumpu pada peran manusia
yang

berakal

dan

bersosialisasi

dengan

lingkungannya,

pendidikan

Islam

mengupayakan penanaman nilai-nilai karena keseluruhan ajaran agama Islam itu sarat
dengan nilai-nilai (value-bond), perintah mengucapkan dua kalimat syahadat,
misalnya, yang merupakan syarat awal masuknya seseorang ke dalam Islam,
mengandung pesan moral agar segala ucapan dan perbuatannya dimotivasi oleh nilainilai yang berasal dari Tuhan dan Rasul-Nya, mencontoh sifat-sifatnya dan sekaligus
diarahkan untuk selalu mendapat keridhaan-Nya. Perintah shalat ditujukan agar
terhindar dari perbuatan yang keji dan mungkar3. Perintah zakat ditujukan untuk
menghilangkan sifat kikir dan menumbuhkan sikap kepedulian 4. Perintah ibadah haji
ditujukan agar menjauhi perbuatan keji, pelanggaran secara sengaja (fasiq), dan

Sayed Hossein Nashr. Islamic Life and Thought. London; Goeorge Allan &Uniwin. 1981. h.4
Lihat Abd. Rahman Assegaf. Filsafat Pendidikan Islam, Paradigma Baru Pendidikan Hadhari
Berbasis Integratif Interkonektif. Jakarta; Rajawali Pers. 2011h. 219
3
Lihat QS. Al Ankabut, 183
4
Lihat Q.S. Al-Taubah,103
2

bermusuh-musuhan.5 Tipikal pendidikan Islam ini menjadikannya sebagai model


pendidikan yang ideal.6
Lebih jauh Harun Nasution kemudian berkesimpulan bahwa sebenarnya ajaran
normativitas agama Islam terdiri dari dua dimensi pokok yaitu: masalah-masalah keTuhan-an atau ketauhidan dan masalah-masalah kebaikan serta keburukan7 atau nilai.
Sehubungan dengan nilai itu, konsep dasar dan landasan pendidikan Islam
dapat dipahami, dianalisis dan dikembangkan dari sumber ajaran agama Islam, yaitu
Al-Quran dan Al Hadits. Sementara konsep operasionalnya dapat dipahami dari
proses pembudayaan, pewarisan dan pengembangan ajaran agama, budaya dan
peradaban Islam dari generasi ke generasi. Sedangkan secara praktis dapat dipahami
dari proses pembinaan dan pengembangan pribadi muslim kaffah pada setiap generasi
dalam sejarah umat Islam atas dasar falsafahnya.8
Dalam makalah yang terbatas ini, penulis mencoba memaparkan beberapa
pandangan filosofis mengenai peran etika sebagai salah satu dimensi aksiologis
dalam konsep pendidikan Islam yang integratif-interkonektif.
Konsep Aksiologi
Secara harfiah term aksiologi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani yaitu
axios yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Atas dasar perpaduan dua kata itu
kemudian aksiologi dimengerti sebagai teori tentang nilai.9 Dalam definisi yang lain
secara etimologis berasal dari kata axia; nilai, value, dan logos; perkataan, pikiran,
ilmu.10 Dari definisi tersebut kemudian diambil kesimpulan bahwa Aksiologi berarti

Lihat lihat Q.S. al-Baqarah,2:197, dan lihat Imam al-Kahlani, Subul al-Salam, Jilid I, Mesir: Dar
al-Maarif, 1954, h.231
6
Abd. Rahman Assegaf. Filsafat Pendidikan Islam... h. 224
7
Harun Nasution. Islam Rasional. Bandung: Mizan, 1998, h. 407
8
Muhaimin et. al. Paradigma Pendidikan Islam, Upaya mengefektifksn Pendidikan Agama Islam
di Sekolah. Bandung; Remaja Rosdakarya. 2004. h. 30. Lihat juga Abdurrahman An Nahlawi,
Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan masyarakat. Jakarta; Gema Insani Press.1995. h. 28
9
Burhanuddin Salam, Logika Materil; Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta; Reneka cipta. 1997. h.
168
10
Ainurrakhman Hidayat, M. Hm, Buku Ajar Filsafat Ilmu.Pamekasan; STAIN Press.2006. h. 44

ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai pada umumnya ditinjau dari sudut
pandang kefilsafatan.11
Secara sederhana, aksiologi berarti nilai guna.12 Sedangkan dalam kajian filsafat
istilah aksiologi biasanya diartikan suatu bidang (filsafat) yang menyelidiki nilai-nilai
(values), termasuk di dalamnya tentang tujuan memperoleh pengetahuan. 13 Ia
merupakan salah satu objek filsafat murni yang berfungsi untuk menilai hakikat
sesuatu yang berkaitan dengan nilai, baik etika, logika maupun estetika. 14 Aksiologi
ilmu berarti menilai maslahat-mudharat pengembangan sains. Dalam sains modern,
nilai sains bersifat pragmatis-utilitarian dan mengambil bentuk pemuasan kebutuhankebutuhan materialistis, atau malah nilai sains modern adalah ketiadaan nilai-nilai itu
sendiri alias sains untuk sains.15
Yang menjadi perhatian aksiologi yaitu ilmu dan moral, maka secara tegas
dapat dikatakan bahwa ilmu dan moral merupakan dua bagian yang tidak dapat
dipisahkan karena perkembangan ilmu dan teknologi tidak bisa dipisahkan dari aspek
moral. Dengan demikian maka setiap ilmuan harus memiliki prinsip-prinsip moral.
Prinsip-prinsip tersebut diharapkan dapat mewarnai setiap kegiatan keilmuan (ilmiah)
yang dilakukan.
Berangkat dari pengertian aksiologi di atas maka terdapat tiga hal yang dibahas
dalam aksiologi; (1) tujuan ilmu, (2) ilmu dan moral, dan (3) ilmuan dan tanggung
jawab sosial. Secara sederhana ilmu bertujuan untuk menjawab permasalahan
kehidupan sehari-hari yang dihadapi oleh manusia, dan digunakan untuk menawarkan
berbagai kemudahan kepadanya16

11

Tim IKIP Semarang. Dasar-dasar Pendidikan. Semarang; IKIP Press. 1991. h. 111
Jujun S. Suriasumantri. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer.Jakarta;Pustaka Sinar
Harapan.2002. h. 227
13
Syamsul Arifin et. al. Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan. Yogyakarta:SIPRES.
1996. h. 147
14
Redja Mudyahardjo. Filsfat Ilmu Pendidikan. Bandung; Remaja Rosdakarya. 2001 h. 3
15
Mahdi Ghulsyani. Filsafat-Sains menurut al-Quran. Jakarta; Mizan. 1998. h.33
12

16

Syamsul Arifin et. al. Spiritualisasi Islam ... h. 147

Konsep Nilai
Nilai adalah suatu kualitas tertentu yang mempunyai keberhargaan yang harus
diapresiasikan dan dimiliki manusia, baik individu maupun sosial. Nilai tersebut
bersifat normatif, objektif dan universal.17 Menurut Paul Edwards18 dalam bukunya
The Encyclopedia of Philosophy, nilai dibagi menjadi tiga bentuk. Pertama, nilai
yang digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit
seperti baik, menarik, dan bagus. Kedua, nilai sebagai kata benda kongkrit.
Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai, ia seringkali dipakai untuk
merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya, nilai dia, dan sistem nilai dia.
Lebih lanjut maksudnya bahwa nilai kongkrit adalah nilai yang melekat sendiri pada
suatu benda hingga ia dapat dikatakan bernilai. Ketiga, nilai sebagai kata kerja, di
mana hal tersebut tercermin dari aktifitas atau ekpresi menilai, memberi nilai dan
dinilai.
Dalam pandangan Young, nilai diartikan sebagai asumsi-asumsi yang abstrak
dan sering tidak disadari tentang hal-hal yang benar dan hal-hal yang penting,
sedangkan Green memandang nilai sebagai kesadaran yang secara relative
berlangsung dengan disertai emosi terhadap objek, ide, dan perseorangan.
Louis O. Katstoff19 berpendapat bahwa nilai terbagi menjadi dua. Nilai intrinsik
dan nilai instrumental. Nilai instrinsik meniscayakan bahwa sebuah objek fakta telah
terkandung di dalamnya secara permanen sebuah nilai. Baik nilai itu baik atau buruk,
benar atau salah, bahaya atau berguna dan lainnya. Nilai instrumental adalah lebih
kepada bagaimana fakta yang ada diarahkan kepada sebuah nilai. Pisau misalnya
akan memiliki nilai baik atau buruk tergantung bagaimana menggunakannya.
Dari pendapatnya itu ia kemudian memberikan gambaran bahwa situasi nilai
setidaknya meliputi; (a) suatu subjek yang memberi nilai yang sebaiknya kita
namakan segi pragmatis; (b) suatu objek yang diberi nilai- yang sebaiknya diberi
17
18

M. Suyudi. Pendidikan dalam Perspektif Al-Quran. Yogyakarta; 2005. h.185


dikutip oleh Amsal Bakhtiar dalam bukunya Filsafat Ilmu. Jakarta; Rajawali Pers. 2004, h.164-

165
19

Louis O. Katstoff. Pengantar Filsafat. Yogyakarta; Tiara Wacana. 2004. h.320-321

nama segi semantis; (c) suatu perbuatan penilaian atau (d) suatu nilai ditambah
perbuatan penilaian.
Dalam pandangan aliran-aliran pendidikan pada umumnya, pemahaman
mengenai nilai yaitu :
1. Menurut aliran progresivisme, dalam proses pendidikan tidak ada nilai baku
karena nilai hanyalah sebuah instrumen yang bersifat empiris yang
berkaitan dengan nilai sosial (sebatas nilai insaniyah) dan belum menyentuh
nilai etik, apalagi religius.20
2. Menurut aliran esensialisme, dalam proses pendidikan ada tiga nilai yang
diinternalisasikan pada peserta didik, yaitu; nilai etik, logik dan estetik.21
3. Menurut aliran perenialisme, dalam proses pendidikan nilai yang harus
diinternalisasikan adalah nilai etik, logik, estetik dan nilai transenden.
Menurut pandangan aliran ini nilai-nilai abadi adalah internalisasi nilai
utama dari pendidkan itu sendiri.
4. Menurut pendidikan Islam. Seperti halnya perennialisme, nilai dalam proses
pendidikan Islam meliputi etik, logik, estetik, dan nilai transenden, namun
berbeda dengan pandangan perennialisme yang nilai keabadiannya
bersumber dari nilai keabadian kultural22 dan hal ini masih bersifat sosioantroposentris23. Dalam pendidikan Islam, nilai keabadian itu bersumber
dari wahyu.
Sementara itu ada beberapa karakteristik nilai dalam teori nilai, yaitu :
1. Nilai objektif atau subjektif
Nilai itu objektif jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai;
sebaliknya, nilai itu subjektif jika eksistensinya, maknanya, dan validitasnya
tergantung pada reaksi subject yang melakukan penilaian, tanpa
mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis ataupun fisis. 24
20

Lihat M. Suyudi. Pendidikan dalam Perspektif...h.186


Ibid. h. 186
22
Lihat Zuhairini dkk. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta; Bumi Aksara. 1995. h. 28
23
Lihat Abd. Rahman Assegaf. Filsafat Pendidikan...h.226
24
Risieri Forndisi, Pengantar Filsafat Nilai. Yogyakarta; Pustaka Belajar. 2001. h. 20
21

2. Nilai absolut atau berubah


Suatu nilai dikatakan absolut atau abadi, apabila nilai yang berlaku sekarang
sudah berlaku sejak masa lampau dan akan berlaku serta absah sepanjang masa,
serta akan berlaku bagi siapapun tanpa memperhatikan ras, maupun kelas sosial.
Di pihak lain ada yang beranggapan bahwa semua nilai relative sesuai dengan
keinginan atau harapan manusia.25
Adapun tingkatan/hierarki nilai terdapat beberapa pandangan:
1. Kaum Idealis
Mereka berpandangan secara pasti terhadap tingkatan nilai, dimana nilai spiritual
lebih tinggi daripada nilai non spiritual (nilai material).
2. Kaum Realis
Mereka menempatkan nilai rasional dan empiris pada tingkatan atas, sebab nilai
membantu manusia menemukan realitas objektif, hukum-hukum alam dan aturan
berfikir logis.
3. Kaum Pragmatis
Menurut mereka, suatu aktifitas dikatakan baik seperti yang lainnya, apabila
memuaskan kebutuhan yang penting, dan memiliki nilai instrumental. Mereka
sangat sensitive terhadap nilai-nilai yang menghargai masyarakat.26

Dalam pandangan Brubacher sebagaimana dikutip Muhaimin bahwa nilai itu


tak terbatas ruang lingkupnya. Nilai tersebut sangat erat dengan pengertian dan
aktivitas manusia yang komplit sehingga sulit ditentukan batasannya. Nilai adalah
seluas potensi kesadaaran manusia. Variasi kesadaran sesuai dengan individualitas
dan keunikan kepribadiannya.27
Peran Nilai Etika: Dimensi Aksiologis Pendidikan Islam
Istilah etika berasal dari bahasa Yunani, ethos artinya adat kebiasaan. Dalam
istilah lain dinamakan moral yang berasal dari bahasa Latin, yaitu mores, kata jamak
dari Mos yang berarti adat kebiasaan. Dalam bahasa Arab disebut akhlaq berarti budi
pekerti dan dalam bahasa Indonesia dapat dinamakan tata susila. Etika adalah ilmu
yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan melihat pada amal
perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui akal fikiran. Tujuan beretika adalah
untuk mendapatkan ideal yang sama bagi seluruh manusia di tempat manapun juga
dan dalam waktu kapanpun juga mengenai penilaian baik dan buruk.28 Sementara
25

Uyoh Sadulloh. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung : Alfabeta CV. 2007. h. 38-39
Ibid. h. 39-40
27
Siswanto. Pendidikan Islam Dalam Persepektif Filosofis. Pamekasan; STAIN Press. 2009. h. 48
28
Suwarno. Pengantar Umum Pendidikan. Jakarta; Aksara Baru. 1985 h. 63.
26

persoalan nilai etika adalah persoalan eksistensi manusia dalam segala aspeknya, baik
individu, maupun masyarakat, baik dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan
sesama manusia dan dirinya, maupun dengan alam sekitarnya, baik dalam bidang
sosial, ekonomi, politik, budaya maupun agama.29
Antara ilmu dan etika memiliki hubungan erat. Masalah moral tidak bisa
dilepaskan dengan tekad manusia untuk menemukan kebenaran, sebab untuk
menemukan dan mempertahankan kebenaran, diperlukan keberanian moral.30
Nilai etika dalam pandangan Islam bersifat universal karena bersumber atas
wahyu, sama halnya dengan pandangan esensialisme yang memandang nilai suatu ide
bersifat permanen, namun nilai menurut esensialisme ataupun perennialisme hanya
terbatas pada aspek rasio, ide, dan kultural bukan wahyu.31
Dalam system pendidikan Islam peran nilai etika sangat urgen kaitannya dalam
proses pembelajaran ataupun pendidikan. Al Abrasyi menyebutkan bahwa pendidik
Islam telah bersepakat bahwa maksud dari pendidikan dan pengajaran bukanlah
memenuhi otak anak didik dengan segala macam ilmu, tetapi mendidik akhlak dan
jiwa mereka,32 sehingga tujuan dari pendidikan Islam adalah menekankan pada tujuan
akhir, yakni menghasilkan manusia baik dan sempurna (al insan al kamil), dan bukan
masyarakat seperti dalam peradaban Barat.33
Konsekuensi dari penjelasan di atas adalah bahwa dalam memperoleh ilmu
pengetahuan, sebagai bekal kehidupan duniawi dan ukhrawi, bagi umat Islam tidak
hanya sekedar mengandalkan kapabilitas rasional yang bernuansa antroposentris,
yang menganggap nilai etika senantiasa mengalami perkembangan, tetapi ilmu
pengetahuan diperoleh juga melalui riyadhah dan mujahadah34 untuk mendekatkan
29

Musa Asyarie. Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berfikir. Yogyakarta; LESFI.2008.h.93
Jujun S. Suriasumantri. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer ... h.235
31
Abd. Rahman Assegaf. Filsafat Pendidikan Islam... h. 224. Bandingkan dengan Musa Asyarie.
Filsafat Islam....h.95
32
Lihat Ibid. h.225. bandingkan dengan Samsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan
Historis, Teoritis dan Praktis. Jakarta; Ciputat Pers. 2002. h.34
33
Syed Muhammad al Naquib al-Attas. Konsep Pendidikan dalam Islam: Suatu Rangka Pikir
Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam. Terj. Haidar Baqir. Bandung; Mizan. 1987. h.8
34
Lihat Mahmud Arif. Pendidikan Islam Transformatif. Yogyakart; LkiS. 2008. h.262
30

diri kepada Allah SWT sebagai Sang Pencipta alam semesta, di mana hal ini tidak
dapat dicapai maupun ditransmisikan lewat proses pendidikan dan pembelajaran
ekplanasi, penalaran maupun kritisisme intelektual. Terkait dengan hal ini menarik
untuk dikemukakan argumen Imam Al Ghazali mengenai ilmu pengetahuan,
menurutnya bukanlah kebenaran itu karena rangkaian dalil dan susunan kalam atau
logika, tetapi

karena nur yang ditempatkan Allah di dalam dada (hati); nur itu

merupakan anak kunci kebanyakan marifat. Barang siapa mengira bahwa kasf hanya
tergantung pada rangkaian dalil-dalil semata, maka ia telah mempersempit rahmat
Allah yang amat luas.
Pada dasarnya titik kunci dari perbedaan pola pandang, paradigma ataupun
world view mengenai pendidikan Islam dan Barat terletak pada masalah yang bersifat
filosofis. Menurut Prof. Dr. Abdurrahman Assegaf, falsafah pendikan Islam adalah
falsafah al-hadhariyah, yaitu falsafah yang tidak hanya berpijak pada nilai-nilai
kemanusiaan, tetapi sekaligus ketuhanan. Falsafah hadhariyah mengakui adanya
alam nyata sekaligus ghaib, fisik dan metafisik, sementara falsafah lainnya dibatasi
pada gejala yang tampak. Falsafah hadhariyah memandang penting peranan wahyu,
nilai moral dan spiritual serta menilai perolehan ilmu untuk mencapai keridaan Ilahi
sementara yang lain hanya sebatas peranan akal, budaya dan nilai-nilai sosial serta
ilmu untuk ilmu.35 Permasalahan mengenai nilai dalam perspektif pendidikan Islam
dan barat jelas sangat berbeda dengaan demikian. Jika pendidikan Islam lebih
condong pada esensi realitas yang sarat dengan nilai spiritualitas, maka barat lebih
cendrung dengan sekularisasi realitas.
Pandangan mengenai falsafah hadhariyah tersebut ingin menjelaskan bahwa
nilai etika bukan hanya terbatas pada etika yang bersinggungan dengan manusia dan
kehidupannya, yang hanya berpijak atas nilai-nilai sosial, kultural, kemanusiaan yang
serba antroposentris, tetapi juga nilai etika yang berhubungan dengan etika manusia
terhadap Tuhannya. Nilai etika dalam pendidikan Islam adalah nilai etika yang
antroposentris sekaligus teosentris, yaitu nilai etika yang bersumber dari nilai
35

Abd. Rahman Assegaf. Filsafat Pendidikan Islam.... h.220

kemanusiaan (insaniyah) dan nilai ketuhanan (Ilahiyah dan ruhiyah). Nilai


kemanusiaan berasal dari potensi dasar manusia yaitu daya cipta, rasa dan karsa yang
bersifat dinamis dan temporal (nilai relatif), sedangkan nilai ketuhanan bersumber
dari wahyu (kalamullah) dan tanda-tanda ciptaan-Nya (kauni), yaitu nilai yang kekal
(nilai absolute) dan bisa diterapkan di semua tempat dan waktu (shalih fi kulli zaman
wa makan).
Selanjutnya menurut Mulyadi Kartanegara, melalui hasil analisisnya terhadap
karya Ibnu Miskawaih, Tartib al-Saadah, nilai etika dalam Islam memberikan
dampak kebahagiaan tertinggi di banding kebahagiaan yang dicapai oleh pendidikan
lainnya. Kebahagiaan dalam hal ini merupakan tujuan akhir dan umum yang ingin
dicapai oleh manusia, baik Islam maupun non Islam.
Nilai etika bukan hanya diarahkan agar manusia itu menjadi bermoral baik (berakhlaq karimah) sebagaimana dipahami juga oleh beberapa aliran pendidikan
lainnya, tetapi dengan moral yang baik itu diharapkan umat Islam mencapai
kebahagiaan tertinggi, yaitu kebahagiaan yang tidak hanya sebatas kebahagiaan fisik,
mental, logik, moral tetapi juga kebahagiaan spiritual,

36

yang menjadikan manusia

bisa mengalami ektase hidup melalui kebersatuan dan ke-marifahan dirinya dengan
Tuhannya.
Kebahagiaan fisik atau sensual adalah kebahagiaan yang dicapai melalui
pemenuhan kebutuhan fisik-material. Aristoteles pernah mengatakan bahwa
kebahagiaan material adalah kebahagiaan mendasar manusia, yang bila tidak
diperoleh akan tidak bisa terbayangkan untuk memperoleh kebahagiaan lainnya.
Kebahagiaan semacam ini dalam pandangan pendidikan Islam tidak menjadi masalah
selama diperoleh dan digunakan dengan baik dan benar, terutama baik menurut nilai
ajaran Islam itu sendiri. Agama Islam tidak melarang memperoleh harta, asal harta
tersebut diperoleh dengan cara yang baik dan tidak menjadikan pemiliknya buta akan
kebahagiaan lain.
36

Lihat Mulyadhi Kartanegara. Menembus Batas Waktu. Panorama Filsafat Islam. Bandung;
Mizan. 2005. h. 70-75

Kebahagiaan pada jenjang selanjutnya (lebih tinggi dari kebahagiaan fisik)


adalah kebahagiaan mental yaitu kebahagiaan yang bersifat abstrak. Kebahagiaan ini
memang masih ada kaitannya dengan indra lahir, tetapi utamanya dengan indra batin.
Manusia tidak hanya merasa bahagia dengan makanan ataupun harta, tetapi juga
dengan lukisan, nyanyian, melihat pemandangan indah dan lainnya. Kebahagiaan
mental ini juga berupa kebahagiaan imajiner, yang menurut para filosof muslim
adalah kebahagiaan imajinasi yang bersumber dari indra batin.
Pada jenjang yang lebih tinggi ada kebahagiaan logik atau intelektual, yaitu
kebahagiaan yang diperoleh dari ilmu pengetahuan. Menurut Aristoteles kebahagiaan
intelektual itu merupakan kebahagiaan manusia yang tertinggi. 37 Manusia akan
merasa bahagia ketika tahu akan sesuatu, misalnya, ketika manusia berada dalam
ketersesatan

di

hutan

belantara,

tidak

ada

yang

mampu

menggantikan

kebahagiaannya kecuali dia tahu akan jalan pulang.


Jenjang kebahagiaan selanjutnya adalah kebahagiaan moral, yang menurut
Mulyadhi ini adalah kebahagiaan penyempurna dari kebahagiaan lainnya.
Kebahagiaan moral dalam hal ini menurut al Farabi adalah ketika manusia mampu
menerapkan pengetahuan teoritisnya ke dalam praktik kehidupan, yaitu ketika kita
tahu mengenai sabar dan syukur kemudian kita mampu mengamalkannya. Terlihat
dalam hal ini bahwa ilmu dan amal adalah dua entitas yang tidak terpisahkan yang
akan membawa manusia pada kebahagiaan sempurna.
Namun bagi Ibnu Miskawaih, kebahagiaan moral saja ternyata tidak cukup.
Orang baik secara moral akan memperoleh kebahagiaan yang besar, tetapi barangkali
tidak kebahagiaan yang paling tinggi, yaitu kebahagiaan spiritual. Orang Islam tidak
hanya cukup bermoral baik dengan meninggalkan perbuatan keji dan mungkar, tetapi
ia juga butuh untuk mengerjakan shalat, yang dengannya seorang muslim dapat
melakukan kontak dengan Allah Swt. Seorang muslim masih membutuhkan syariat
agama untuk dijalankan. Syariat dalam hal ini bukan hanya berarti ibadah mahdhah
dan ghairu mahdhah seperti masalah-masalah yang berkaitan dengan moralitas,
37

Sebagaimana dikutip oleh Mulyadhi. Menembus Batas Waktu..h.72

10

intelektualitas, jasmani, estetika, tetapi juga syariat yang berkaitan dengan upaya
untuk kembali, mendekat, rindu, cinta sekaligus menyatu dengan Allah Swt.
Kebersatuan manusia dalam konteks pendidikan dapat diartikan sebagai kebersatuan
sifat ke-Tuhan-an ke dalam sifat kemanusiaannya agar ia mampu berproses untuk
menjadi makhluk yang sebaik-baik penciptaan (fi ahsani taqwim) dan mencapai citra
manusia yang sempurna (al insan al kamil).38
Penutup
Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang sumber dan strukturnya
berbeda dengan pendidikan lainnya yang hanya fokus pada upaya internalisasi nilainilai absolut maupun relatif yang berasal dari nilai kultural dan sekular.
Dari segi aksiologinya, pendidikan Islam tidak hanya menghendaki manusia
sekedar memahami dan mengamalkan nilai etika yang bersumber dari peradaban
manusia itu sendiri (antroposentris), tetapi juga bersumber atas wahyu. Dengan
sumber wahyu itulah manusia akan memiliki kemampuan untuk mengenal diri dan
Tuhannya (marifatullah), sehingga dengan itu ia mencapai predikat al insan al kamil
(manusia sempurna), yaitu manusia yang sempurna secara etika.
Etika dalam hal ini bukan hanya sebatas moral yang bernilai relatif yang
senantiasa berubah, tetapi etika yang abadi yang bersumber atas wahyu. Etika inilah
yang akan mampu mengantarkan manusia untuk berkomunikasi dan berjumpa
dengan Tuhannya. Sehingga dengan demikian peran etika (spiritual) dalam
pendidikan Islam itu menempati tempat yang penting sebagai tujuan akhir dari segala
bentuk usaha yang dilakukan di atas dunia ini.
Dari penjelasn singkat di atas, dapat kita ketahui bahwa peran etika dalam
pendidikan Islam sangat sentral demi kebutuhan masyarakat Islam untuk mencapai
kebahagiaannya. Moral dalam hal ini bukanlah terbatas pada pengertian moral yang
38

Kesempurnaan menurut Murthada Muthahhari tidak dimaknai lengkap sebab lengkap lebih condong
kepada hal yang empirik, sementara sempurna lebih lebih cenderung untuk mewakili hal-hal yang
abstrak dan ruhi. Untuk itu maka implikasi kesempurnaan manusia mengarahkan pada esensi manusia
atau hakikat manusia itu sendiri, bahwa ia adalah makhluk beresensi ruh.

11

bersumber pada nilai-nilai kemanusiaan, tetapi moral spiritual (yang tidak sekedar
spiritual normatif), yaitu moral yang mengatur hubungan manusia dengan diri,
sesama, alam dan dengan pencipta-Nya.
Wallahu alamu bisshowab

12

DAFTAR PUSTAKA
al-Attas, Syed Muhammad al Naquib. Konsep Pendidikan dalam Islam: Suatu
Rangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam. Terj. Haidar Baqir.
Bandung; Mizan. 1987
al-Kahlani, Imam. Subul al-Salam, Jilid I, Mesir: Dar al-Maarif, 1954
An Nahlawi, Abdurrahman, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan masyarakat.
Jakarta; Gema Insani Press.1995
Arif, Mahmud. Pendidikan Islam Transformatif. Yogyakart; LkiS. 2008
Arifin, Syamsul et. al. Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan.
Yogyakarta:SIPRES. 1996
Assegaf, Abd. Rahman. Filsafat Pendidikan Islam, Paradigma Baru Pendidikan
Hadhari Berbasis Integratif Interkonektif. Jakarta; Rajawali Pers. 2011
Asyarie, Musa. Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berfikir. Yogyakarta; LESFI.2008
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta; Rajawali Pers. 2004
Forndisi,Risieri. Pengantar Filsafat Nilai. Yogyakarta; Pustaka Belajar. 2001
Ghulsyani, Mahdi. Filsafat-Sains menurut al-Quran. Jakarta; Mizan. 1998
Harun Nasution. Islam Rasional. Bandung: Mizan, 1998
Hidayat,,Ainurrakhman Buku Ajar Filsafat Ilmu.Pamekasan; STAIN Press.2006
Kartanegara, Mulyadhi. Menembus Batas Waktu. Panorama Filsafat Islam. Bandung;
Mizan. 2005
Katstoff, Louis O.. Pengantar Filsafat. Yogyakarta; Tiara Wacana. 2004
Mudyahardjo, Redja. Filsfat Ilmu Pendidikan. Bandung; Remaja Rosdakarya. 2001
Muhaimin et. al. Paradigma Pendidikan Islam, Upaya mengefektifksn Pendidikan
Agama Islam di Sekolah. Bandung; Remaja Rosdakarya. 2004
Nashr, Sayed Hossein. Islamic Life and Thought. London; Goeorge Allan &Uniwin.
1981
Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis.
Jakarta; Ciputat Pers. 2002
Sadulloh, Uyoh. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung : Alfabeta CV. 2007
Salam, Burhanuddin. Logika Materil; Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta; Reneka
cipta. 1997
Siswanto. Pendidikan Islam Dalam Persepektif Filosofis. Pamekasan; STAIN Press.
2009
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer.Jakarta;Pustaka
Sinar Harapan.2002
Suwarno. Pengantar Umum Pendidikan. Jakarta; Aksara Baru. 1985
Suyudi, M.. Pendidikan dalam Perspektif Al-Quran. Yogyakarta; 2005
Tim IKIP Semarang. Dasar-dasar Pendidikan. Semarang; IKIP Press. 1991
Zuhairini dkk. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta; Bumi Aksara. 1995

13

Anda mungkin juga menyukai