Anda di halaman 1dari 11

A.

Pendahuluan

Kebudayaan umumnya dikatakan sebagai proses atau hasil dari krida, cipta, rasa dan
karsa manusia dalam upaya menjawab tantangan kehidupan yang berasal dari alam
sekelilingnya. Alam ini disamping memberikan fasilitas yang indah, juga menghadirkan
tantangan yang harus diatasi.1

Kebudayaan menempati posisi sentral dalam tatanan hidup manusia. Tidak ada
manusia yang dapat hidup di luar lingkup kebudayaan. Kebudayaanlah yang memberi
nilai dan makna pada manusia. Seluruh bangunan hidup dan masyarakat berdiri di atas
landasan kebudayaan.

Orang Jawa mayoritas beragama Islam, ternyata dalam praktek keagamaan masih
diwarnai unsur budaya yang kejawen,2 sehingga mereka mencampuradukkan antara
ajaran-ajaran Islam dengan tradisi kejawen. Salah satu tradisi yang dilakukan oleh orang
Jawa khususnya masyarakat dusun Rejosari, Dodogan dan Kedungdayak yaitu tradisi
semaan al-Qur’an. Dalam prakteknya, semaan ini merupakan tradisi Islam yang
dilaksanakan dalam perayaan tradisi budaya Jawa, yakni rasulan.

Dengan adanya semaan al-Qur’an tersebut dapat diketahui bahwa al-Qur’an juga
berperan dan berpengaruh dalam konteks sosial budaya. Oleh karena itu, dalam makalah
ini akan mendeskripsikan hal-hal tentang rasulan dan semaan al-Qur’an sebagai salah
satu tradisi dengan melihat realitas yang ada pada masyarakat dusun Rejosari, Dodogan
dan Kedungdayak di kabupaten Bantul.

B. Deskripsi Seputar Tradisi Rasulan


1 Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya (Yogyakarta: Teraju, 2002) hal. 1

2 Merupakan komplek dan keyakinan konsep Hindu-Budha yang cenderung ke arah mistik bercampur
menjadi satu.
1|Page
1. Pengertian

Istilah Rasulan sendiri berasal dari kata dasar Rasul (bahasa Arab) yang secara etimologis
berarti utusan atau kurir (al-mursal, al-mab’us), orang yang diutus menyampaikan berita (al-
siriyu au al-khas), tanda atau alamat terhadap hal-hal yang akan datang (al-dalil) dan risalah dan
misi (al-risalah).3

Berdasarkan hasil wawancara, menunjukkan bahwa walaupun istilah rasulan dikaitkan


dengan ajaran Rasulullah namun pengertian awalnya adalah merupakan suatu bentuk ritus
penghormatan terhadap para leluhur. Dan sekarang rasulan merupakan ekspresi masyarakat
sebagai rasa syukur atas panen yang melimpah.

Jadi pengertian rasulan adalah suatu tradisi atau kegiatan masyarakat yang merupakan salah
satu bentuk ekspresi dari pengungkapan pengamalan keagamaan dalam rangka untuk
mengadakan komunikasi dengan sesuatu yang lain baik melalui kata-kata ataupun sajian-sajian
yang bertujuan untuk menjaga keselamatan dan keamanan desa dari malapetaka dan marabahaya
serta merupakan ucapan rasa syukur mereka kepada Tuhan Yang Maha Esa.4

2. Asal Usul Tradisi Rasulan

Setiap generasi manusia adalah pewaris kebudayaan. Anak manusia yang baru lahir tidak
membawa kebudayaan dari alam Garbani5, tetapi tumbuh dan berkembang menjadi dewasa
dalam lingkungan budaya tertentu, di mana ia dilahirkan. Hasil budaya yang diwariskan oleh
nenek moyang kepada generasinya yaitu salah satunya berupa ritual. Seperti halnya yang terjadi
pada masyarakat dusun Rejosari, Dodogan dan Kedungdayak, mereka juga memperoleh warisan
kebudayaan dari nenek moyangnya. Adapun tradisi ritual yang selama ini masih dilestarikan oleh
masyarakat tersebut adalah tradisi rasulan.

Tradisi rasulan ini sebenarnya merupakan salah satu bentuk ritual dari slametan6. Masyarakat
tidak dapat menceritakan sejak kapan dan siapa yang membawa tradisi ini. Mereka hanya dapat

3 Hasan Shadily, Ensiklopedi Islam Volume IV (Jakarta: Ikhtiar – Baru van-hoeve) hlm. 160.

4 Wawancara dengan Bapak Syaikhuna, salah satu tokoh masyarakat dusun Rejosari, RT 01, tanggal 16
November 2009.

5 Alam Garbani digunakan untuk menyebut alam kehidupan manusia sebelum ia dilahirkan ke dunia.
2|Page
mengatakan bahwa upacara ini sudah dilakukan oleh nenek moyang terdahulu, kini mereka
tinggal meneruskan tradisi leluhurnya. Namun, pelaksanaan upacara rasulan ini dari zaman ke
zaman sedikit demi sedikit mengalami perubahan dalam hal pelaksanaannya.

Tradisi rasulan ini tidak lepas dari mitos. Sebagian masyarakat dusun Rejosari, Dodogan dan
Kedungdayak semula meyakini apabila tradisi rasulan ini tidak dilaksanakan maka akan terjadi
suatu bencana dan malapetaka di dusun tersebut. Sebagian mereka meyakini bahwa di dusun ini
ada yang melindunginya yaitu Danyang atau Sing Mbau Rekso7. Dengan tidak diadakannya ritual
rasulan maka Sing Mbau Rekso akan marah dan kemudian memberikan bencana kepada
manusia.

Sebagian kecil masyarakat juga mempercayai adanya kekuatan dari ruh-ruh nenek moyang
yang menempel atau menjelma ke dalam batu-batu besar dan pohon besar, sehingga waktu itu
pelaksanaan mbuangi (memberi makanan) pada benda-benda tersebut masih banyak dilakukan.
Dan memang dalam filosofi masyarakat setempat aroma dinamisme dan animisme masih terasa.

Namun dalam perkembangan selanjutnya tradisi rasulan sudah terdapat praktek-praktek


ajaran Islam. Masyarakat sudah tidak memohon lagi kepada para leluhur, mempercayai adanya
Sing Mbau Rekso dan kekuatan pada batu-batu serta pohon-pohon besar namun mereka
memanjatkan do’a kepada Allah Swt dan mengungkapkan rasa syukur kepada Allah Swt atas
segala rahmat yang dilimpahkan-Nya. Kemudian tradisi rasulan ini unsur-unsur Islam sudah
banyak dimasukkan di dalamnya terutama dalam prosesi dan tujuan dari rasulan ini. Unsur Islam
yang masuk dalam prosesi rasulan ini dibawa oleh tokoh Islam yang masuk dalam kepanitiaan
rasulan.

Dinamakan rasulan karena salah satu tokoh yang dihormati sekaligus dimintai berkah dalam
rasulan adalah Nabi Muhammad yang menjadi rasul Allah. Meskipun dalam pengertian

6 Kata slametan sendiri dari bahasa Arab, salaamah yang berarti selamat. Maksudnya adalah kenduri
bersama untuk meminta keselamatan. (Mundzirin, dkk: Islam dan Budaya Lokal )

7 Perlu diketahui bahwa yang dimaksud danyang adalah penguasa atau yang menjaga kawasan dusun
secara mistik spiritualis.
3|Page
masyarakat terhadap tokoh tersebut terbatas, namun hal itu tidak mengurangi rasa hormatnya.
Itulah sebagai alasan kenapa disebut rasulan. 8

Lebih lanjut dalam pelaksanaannya, kegiatan rasulan ini dilaksanakan setiap setahun sekali
pada hari Rabu Kliwon.9 Banyak serangkaian acara yang dilakukan oleh warga dusun dalam
rangka rasulan. Acara biasanya berlangsung beberapa hari dengan diawali kegiatan bersih-bersih
fisik dusun, mulai dari dandan dalan10, pembuatan pagar pekarangan, dan pengecatan pagar
termasuk besrik makam11. Kemudian dilanjutkan mulai dari kenduri12 bersama, pentas seni
jathilan13, reog14, campursari, wayang kulit15, pengajian akbar, semaan al-Qur’an, hingga doa
bersama ikut meramaikan kegiatan rasulan ini. 16

Pelaksanaan kenduri bersama, gunungan berisi hasil panen, pentas seni jathilan, reog,
wayang kulit dan campursari diadakan di halaman rumah bapak kepala dusun Dodogan
sedangkan pengajian akbar dan semaan al-Qur’an dilakukan di masjid dusun setempat. Dalam
kenduri bersama disajikan berbagai macam makanan yang telah dibawa oleh masing-masing
kepala keluarga, yang kemudian semua makanan tersebut diletakkan di atas tikar yang telah
disediakan. Setelah dikumpulkan maka salah satu tokoh agama setempat menjadi pemimpin doa
dan masyarakat pun bersama-sama mengamini. Setelah selesai berdoa makanan tadi dibagi-

8 Wawancara dengan Bapak Syaikhuna, salah satu tokoh masyarakat dusun Rejosari, RT 01, tanggal 20
November 2009.

9 Namun bulan yang ditetapkan tidak pasti hanya berdasarkan musim panen di dusun tersebut dan
ditentukan oleh modin setempat.

10 Memperbaiki jalan.

11 Bersih-bersih disekitar makam.

12 Diadakan untuk memenuhi semua hajat orang sehubungan dengan suatu kejadian yang ingin
diperingati.

13 Semacam tari-tarian yang diiringi dengan gamelan dan penari “menunggang” kuda dimana setelah
beberapa saat mereka menjadi kesurupan.

14 Sama seperti jathilan namun iringan gamelan berbeda.

15 Jenis kesenian yang menggunakan boneka kayu atau kulit untuk mendramatisasi cerita-cerita India,
Mahabarata dan Ramayana versi Jawa. (Clifford Geertz)

16 Informasi dari Ferianto, salah satu penduduk dusun Dodogan tanggal 16 November 2009.
4|Page
bagikan lalu mereka makan bersama-sama. Disinilah rasa kebersamaan dan rasa syukur terasa
kental.

3. Makna Sesaji dalam Upacara Rasulan

Berbagai macam sesaji disajikan ketika diselenggarakan upacara rasulan, setiap sesaji
mengandung makna maupun lambang-lambang yang amat penting bagi kehidupan masyarakat.
Adapun arti/ makna dan lambang-lambang yang ada dalam sesaji antara lain:

a. Tumpeng: tumpeng berupa nasi yang berbentuk kerucut atau gunungan tanpa lauk
pauk. Tumpeng ini melambangkan pengharapan kepada yang Maha kuasa supaya segala
permohonan dapat terkabul.
b. Ingkung ayam. Ini melambangkan ketika manusia masih bayi sebelum dilahirkan,
masih bersih lahir dan batin (bersih dari dosa).
c. Gedhang raja17. Ini melambangkan kepatuhan masyarakat akan segala peraturan
yang telah ditetapkan seperti halnya kepatuhan masyarakat terhadap rajanya.
d. Gunungan berisi hasil panen. Sesaji ini dimaksudkan sebagai ucapan rasa syukur
kepada Tuhan atas segala rahmat Tuhan, sehingga masyarakat mendapatkan berkah
seperti yang terwujud dalam sesaji ini, dll.
Agar lebih jelas perhatikan gambar di bawah ini:

a. Tempat gunungan b. Gunungan berisi hasil panen

17 Pisang raja
5|Page
c. Makanan yang disajikan dalam kenduri

4. Dasar fenomena dalam al-Qur’an Rasulan

Menurut hasil wawancara dengan salah satu tokoh agama setempat ternyata rasulan juga
berpedoman dengan dalil surat al-Luqman: 12 dan Ibrahim : 7

Surat Luqman: 12

“Dan Sesungguhnya Telah kami berikan nikmat kepada Luqman, yaitu: "Bersyukurlah
kepada Allah. dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia
bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya
Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".

Surat Ibrahim: 7

“ Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur,
pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku),
Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa rasulan adalah sebagai ungkapan rasa syukur
masyarakat kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

6|Page
C. Deskripsi Tradisi Semaan al-Qur’an

1. Pengertian

Kata semaan diambil dari bahasa Arab ِ‫ سسممع‬yang berarti mendengar18. Istilah semaan yang

diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi "simak" digunakan untuk sebuah kegiatan
pembacaan al-Qur'an secara massal yang melibatkan pembaca dan pendengar dalam jumlah
besar.19 Jadi istilah semaan al-Qur’an adalah menyimak bacaan seseorang yang sedang membaca
al-Quran tanpa melihat mushafnya, sehingga seseorang membacanya hanya dengan
mengandalkan kekuatan hafalannya.

Dalam pelaksanaannya, semaan al-Qur’an terdiri dari orang yang disimak dan penyimak.
Apabila yang disimak dengan tidak sengaja melakukan kesalahan maka penyimak kemudian
membenarkan agar dalam bacaan tidak terjadi kesalahan. Orang yang disimak (penghafal)
disebut hafidz atau hafidzah.

Semaan al-Qur'an merupakan sisi paling menonjol pada perilaku sosial keagamaan dan
sistem gagasan orang Islam. Semaan al-Qur'an muncul secara luas di Yogyakarta, melingkupi
siklus hidup dan berbagai kegiatan sosial di dalam kehidupan masyarakat sehingga dapat
dipandang sebagai ritual. Hal tersebut dikarenakan al-Qur'an adalah kitab suci yang
memproklamirkan diri sebagai petunjuk bagi manusia, obat, rahmat, dan nasihat sehingga al-
Qur'an diyakini sebagai sumber inspirasi utama serta pedoman hidup orang Islam. Selain itu
semaan al-Qur'an merupakan penghubungan diri dengan objek penyembahan (Allah) dan
berfungsi mengintegrasikan masyarakat lewat sentimen dan kebersamaan tindakan. Disebut
sebagai gagasan orang Islam karena semaan al-Qur'an dibentuk sebagai sebuah yayasan yang
berpola dan melibatkan masa umat Islam yang cukup banyak serta diselenggarakan secara
periodik.

Tradisi semaan al-Qur’an telah banyak dilakukan di kota Yogyakarta, dan ini biasanya
dilakukan untuk tujuan-tujuan tertentu. Salah satu daerah kota Yogyakarta yang melakukan

18 Ahmad Warson Munawir, al-Kamus al-Munawwir. (Yogyakarta: Pustaka Progresif) hal. 661

19 Suyatno Prodjodikoro, Jurnal: al-Jami’ah, (Yogyakarta: Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
hal. 39
7|Page
tradisi tersebut adalah dusun Dodogan. Dan semaan ini telah menjadi sebuah tradisi yang
dilaksanakan pada waktu rasulan tiba.

Kedudukan seorang hafidz/ hafidzhah di dusun tersebut sangat dihormati, karena hanya
ditemukan beberapa orang saja yang hafal al-Qur’an. Namun kesadaran masyarakat untuk selalu
menjaga al-Qur’an sangat kuat. Mereka menyimak al-Qur’an dengan penuh semangat. Meskipun
mereka hanya menyimak, namun mereka percaya bahwa pahala yang diperoleh antara yang
disimak dan penyimak sama. Ini yang membuat mereka bersemangat untuk selalu datang ketika
semaan berlangsung.

2. Asal-Usul Semaan

Asal mula munculnya tradisi semaan al-Qur’an ialah dikarenakan pada zaman dulu prosesi
acara-acara yang ada dalam rasulan tidak ada yang bernilai nuansa Islami dan hanya berbau
mistisisme, seperti jathilan, reog dan campursari. Melihat realitas tersebut para pemuka agama
menggunakan kesempatan ini dengan mengadakan ritual-ritual keagamaan yang bermanfaat bagi
kehidupan di akhirat kelak. Oleh karena itu, semaan al-Qur’an menjadi salah satu sarana ibadah
dan terdapat nilai-nilai Islami.

3. Prosesi Semaan

Masyarakat dusun Dodogan, bekerjasama dengan masyarakat dusun Rejosari dan


Kedungdayak dengan dipimpin oleh Drs. Syaikhuna (selaku Rois setempat) mengadakan semaan
al-Quran pada hari sabtu sebelum upacara rasulan dimulai. Hadir dalam kesempatan ini para
tokoh masyarakat, bapak dukuh, dan sebagian besar masyarakat 3 pedusunan.

Semaan al-Qur’an dilaksanakan di masjid dusun Dodogan, dan biasanya berlangsung selama
24 jam. Pada kesempatan ini dilakukan pembacaan ayat-ayat suci hufad terdiri dari 2 hufad.
Para hufad membaca ayat-ayat suci al-Qur’an sampai dengan 30 juz secara bergantian dengan
disimak oleh sebanyak sekitar 50 orang. Setelah selesai 30 juz selanjutnya di bacakan tahlilan
dan tawassul yang dikhususkan untuk para ahli kubur dan kemudian membaca doa khatmil
qur’an yang dipimpin oleh kedua hafidz tersebut secara bergantian.

Banyak sekali orang-orang yang mendukung acara ini. Ibu-ibu yang tidak mengikuti prosesi
simak-menyimak mereka senantiasa ikut serta dalam pembuatan makanan yang nantinya sebagai
8|Page
makan siang dan makan malam bersama. Mereka tidak meminta imbalan apapun dari apa yang
telah mereka lakukan kecuali mengharap berkah dari al-Qur’an dan ridho Allah.20

Pada hakikatnya, tujuan dari semaan al-Qur’an di sini adalah menggunakan kesempatan yang
berbau islami berkaitan dengan tasyakuran desa, meningkatkan ritual seseorang, sebagai
pemersatu umat, meningkatkan ibadah (mendapat pahala), sebagai pengharapan ridho Allah,
minta keselamatan dengan jalan beramal shaleh, untuk ketenangan warga, untuk menumbuhkan
rasa cinta kita kepada al-Qur’an dan untuk menumbuhkan rasa cinta kita kepada al-Qur’an.21

4. Dasar Fenomena dalam Hadis

… ‫صححاَبممه‬ ‫م م م م‬
‫اقصسحرهءوُا الصهقصرآْحن فحمإ نهه يحأصمتيِ يحسصوحم الصقحيِاَحمة حشفيِععاَ لح ص‬

“Bacalah kalian al-Qur’an maka sesungguhnya al-Qur’an itu akan datang besuk di hari kiamat
sebagai penolong bagi yang membacanya”.22

Dari hadis tersebut dapat diterangkan bahwasanya bagi orang yang membaca al-Qur’an maka
ia akan mendapatkan syafa’at al-Qur’an nanti di hari kiamat. Dan setiap orang mukmin yakin
bahwa membaca al-Qur’an saja sudah termasuk amal yang sangat mulia dan akan mendapat
pahala yang berlipat ganda, sebab yang dibaca adalah kitab suci.

Dengan adanya hadis tersebut masyarakat ketiga dusun tersebut menjadi bersemangat untuk
selalu melestarikan tradisi ini dan juga sebagai sarana beribadah kepada Allah SWT.

5. Analisis

Semaan al-Qur’an adalah tradisi Islam, sedangkan rasulan adalah tradisi jawa yang
diciptakan oleh nenek moyang zaman dahulu. Dalam perkembangannya, tradisi semaan telah
menjadi salah satu tradisi dalam rasulan. Tradisi ini muncul atas hasil jerih payah para tokoh
Islam terdahulu agar unsur-unsur Islam tetap ada dan juga dilestarikan.

20 Wawancara dengan Ibu Sukanti, salah satu penduduk setempat tanggal 22 November 2009.

21 Wawancara dengan Bapak Syaikhuna, salah satu tokoh masyarakat dusun Rejosari, RT 01, tanggal 16
November 2009.

22 Hadis ini juga terdapat dalam Shahih Muslim no. 1337. Dan setelah diteliti lebih lanjut hadis ini
berkualitas shahih.
9|Page
Dengan adanya realitas diadakannya semaan al-Qur’an dapat diketahui bahwa pengaruh al-
Qur’an dalam ranah sosial seperti di dusun tersebut masih kental terasa. Ini dibuktikan adanya
kebersamaan masyarakat dalam melaksanakan prosesi simaan. Pelaksanaan ini dilaksanakan
bersamaan dengan tradisi-tradisi masyarakat sebelumnya. Terlepas dari hal-hal yang bersifat
mistis maupun yang bukan.

C. Penutup dan Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan-pemaparan di atas, maka dapat diambil kesimpulan:

1. Pelaksanaan upacara tradisi rasulan pada dasarnya merupakan ungkapan rasa


syukur warga masyarakat atas keselamatan, kesejahteraan yang diberikan oleh Allah Swt.
2. Dimensi-dimensi Islam dalam tradisi rasulan secara tersirat dapat dilihat dengan
munculnya tradisi-tradisi yang bernuansa Islam, semisal simaan al-Qur’an.
3. Tradisi semaan al-Qur’an membawa pengaruh yang besar di dusun Rejosari,
Dodogan dan Kedungdayak. Pada hakikatnya, tujuan dari semaan al-Qur’an di sini
adalah menggunakan kesempatan yang berbau islami berkaitan dengan tasyakuran desa,
meningkatkan ritual seseorang, sebagai pemersatu umat, meningkatkan ibadah (mendapat
pahala), sebagai pengharapan ridho Allah, minta keselamatan dengan jalan beramal
shaleh, untuk ketenangan warga, untuk menumbuhkan rasa cinta kita kepada al-Qur’an
dan untuk menumbuhkan rasa cinta kita kepada al-Qur’an

Demikian sekilas paparan tentang tradisi semaan al-Qur’an yang dilakukan dalam tradisi
rasulan. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang harus dilengkapi dalam
makalah ini. Namun, penulis berharap tulisan ini mampu memberikan kontribusi menambah
wawasan bagi kita semua. Terimakasih. . .

10 | P a g e
Daftar Pustaka

Geertz, Clifford. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.

1981.

Hasan Shadily, Ensiklopedi Islam Volume IV. Jakarta: Ikhtiar – Baru van-hoeve.

Munawir Ahmad Warson, al-Kamus al-Munawwir. Yogyakarta: Pustaka Progresif. 1984.

Mundzirin, dkk. Islam Budaya Lokal. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga.

2005.

Prodjodikoro Suyatno, Jurnal: al-Jami’ah. Yogyakarta: Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta.

Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya. Yogyakarta: Teraju, 2002.

11 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai