EPISTEMOLOGI ILMU
DALAM KITAB RISÂLAH AL-LADUNNIYAH
Oleh:
Prof. Dr. H. Mukhtar Solihin, M.Ag.
Metode: filosofis.
Model: John W. Creswell– Biographical Study
Pencarian data: library research
Analisa Data: content analyzing (mengumpulkan
data, mengelompokkan, identifikasi, klasifikasi,
kategorisasi, dan interpretasi).
Penulis adalah Dosen dan Dekan III Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung lulusan S-3 Pasca Sarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
1
Istilah epistemologi pertama digunakan J.F. Ferrier (1854). Istilah ini berasal dari bahasa Yunani “episteme”, yang
berarti ilmu, dan “logos” berarti ilmu sistematik atau teori, uraian dan alasan (A.M.W. Pranaka, Epistemologi Dasar Suatu
Pengantar, CSIS, Jakarta, 1987, hlm. 3–4; Miska M. Amin, Epistemologi Islam Pengantar Filsafat Ilmu Islam, UI Press,
Jakarta, 1983, hlm. 1–2; Harun Nasution, Filsafat Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, hlm. 10).
2
Jaques Waardenburg memasukkan pendekatan filosofis ini sebagai aspek dari pendekatan humanitis (Lihat Jaques
Waardenburg, Humanities, Social Science, and Islamic Studies, dalam: Islam and Christian–Muslim Relations, Institute of
Christian-Muslim Relations, Birmingham, 1990, hlm. 32). Namun dalam penelitian ini penulis hanya menggunakan pendekatan
filosofis saja.
3
John W. Creswell, Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Tradition, Thousand Oaks London,
Sage Publications, New Delhi, 1999, hlm. 47.
4
Perlu diketahui bahwa Kitab Risâlah al-Ladunniyyah ini diragukan keotentikannya oleh Montgomerry Watt. Namun
tuduhan Watt tersebut disanggah oleh pemerhati al-Ghazâlî lainnya. Mereka banyak mengeluarkan argumentasi esensial
dalam membantah tuduhan Watt, sehingga mereka menyimpulkan tuduhan Watt banyak mengandung kelemahan
metodologis maupun substansi. Untuk lebih jelasnya tentang hal ini bisa disimak tulisan Osman Bakar yang berjudul
“Classification of Knowledge in Islam: A Study in Islamic Philosophies of Science”, terbitan Institute for Policy Research, Kuala
Lumpur, 1992.
5
Al-Ghazâlî, Risâlah al-Ladunniyyah, op.cit., hlm. 97.
6
Ibid.
7
Lihat Ibid., hlm. 100—106.
8
Ibid., hlm. 106 dan 112.
9
Ibid., hlm. 112—118.
10
Ibid., hlm. 118—121
11
Ibid., hlm. 114—116.
Pada masa al-Ghazâlî, dunia Islam tengah diwarnai perseteruan yang krusial antara para ahli pikir. 12
Masing-masing mengklaim kelompoknya-lah yang benar, dan cenderung menganggap kelompok lain sesat.
Kondisi itu memancing al-Ghazâlî untuk terjun di dalamnya, karena ia meragukan klaim-klaim “kebenaran”
yang diajukan oleh para ahli tersebut. Al-Ghazâlî menyelami empat kelompok manusia pencari kebenaran, yang
masing-masing memiliki ciri khas. Keempat kelompok yang dimaksud adalah: Pertama, kelompok mutakallimîn
(ahli teologi), yaitu mereka yang mengakui kelompoknya sebagai eksponen pemikir intelektual; kedua,
kelompok bathîniyyah (sekte dari golongan Syi’ah), yang memiliki wewenang ta’lîm (pengajaran). Kelompok ini
mengklaim telah mendapat kebenaran yang datang dari seorang guru yang memiliki pribadi sempurna dan
tersembunyi; kelompok ketiga, para filosof yang menyatakan diri sebagai kaum logikus; keempat adalah
kelompok sufi, yang mengaku mencapai tingkat kebenaran dengan Allah melalui penglihatan secara
bathîniyah.13
Atas dasar keingintahuannya dan dorongan untuk mengatasi pertentangan itu maka al-Ghazâlî menyelami
berbagai paham yang berkembang ketika itu. Upaya ini ternyata malah membuat al-Ghazâlî tenggelam dalam
keraguan, hingga akhirnya ia baru menemukan keyakinan ketika memasuki dunia tasawuf. Di sinilah ia baru
merasa menemukan apa yang dicari dari petualangan panjangnya.14
Pada epistemologi sufistik itu terkandung juga pemikiran tentang ilmu ladunnî. Untuk itu, karya al-Ghazâlî
yang berjudul Risâlah al-Ladunniyyah banyak dinilai sebagai sebuah pemikiran epistemologi ilmu dalam wacana
tasawuf yang mempunyai kedudukan sebagai kitab keilmuan yang komprehensif dan merupakan sebuah
sinthesa dari kitab-kitab lain yang membahas tentang keilmuan.
Kendati pemikiran tentang ilmu ladunnî dalam Risâlah al-Ladunniyyah itu bertendensi tasawuf, namun
tidak bisa diklaim bahwa pemikiran itu mutlak pemikiran tasawuf, karena ternyata dalam Risâlah al-
Ladunniyyah al-Ghazâlî menempatkan pemikiran ilmu ladunnî itu di tengah-tengah struktur keilmuan Islam.
Berarti, kitab Risâlah al-Ladunniyyah posisinya penting di tengah kajian-kajian keilmuan yang telah banyak
dijelaskan al-Ghazâlî dalam kitab-kitab lainnya. Apalagi, mengingat Kitab Risâlah al-Ladunniyyah ditulisnya pada
periode akhir hidupnya.
12
Lihat: al-Ghazâlî, al-Munqidz min al-Dhalâl, Silislah Tsaqafat Islamiyah, Kairo, 1961, hlm. 13—17.
13
Amin, op.cit., hlm. 50.
14
Lihat Al-Ghazâlî, Al-Munqidz min al-Dhalâl, op.cit.
15
l-Ghazâlî, Ibid.; Misykâh, Ibid.
16
Al-Ghazâlî, Risâlah al-Ladunniyyah, dalam Qushur al-Awwali, yang dihimpun oleh Musthafa Muhammad Abu al-‘Ala,
Maktabah al-Jundi, Mesir, 1970, hlm. 112.
17
Ibid., hlm. 112—114; Lihat juga: M. Bahri al-Ghazali, Konsep Ilmu Menurut al-Ghazali, Pedoman Ilmu Jaya,
Yogyakarta, 1991, hlm. 80.
18
Ibid., hlm. 114—115.
19
Ibid., hlm. 115.
20
Al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah, editor: Sulaiman Dunia, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1966, hlm. 256, 287, Lihat: al-Ghazâlî,
Ma`ârif al-Quds fî Madârij Ma`rifah al-Nafs, hlm. 166—167. Lihat juga: Yasir Nasuton, Manusia Menurut al-Ghazali, Rajawali
Press, Jakarta, 1988, hlm. 102.
syari’at agama, menurutnya manusia tidak mengetahui rahasia yang terkandung dalam setiap pernyataan
ajaran agama itu.21
Sedangkan ilmu yang datang melalui ilhâm yang masuk ke dalam hati disebut “Ilmu ladunnî”. Dalam
Risâlah al-Ladunniyyah-nya, al-Ghazâlî mengartikan ilmu ladunnî adalah ilmu yang menjadi terbuka dalam
rahasia hati “tanpa perantara” karena ia datang langsung dari Tuhan ke dalam jiwa manusia.22 Dengan kata
lain, ilmu ladunnî merupakan ilmu yang didatangkan dari Tuhan secara langsung tanpa sebab, yang membuat
hati terbuka dalam memahami atau mengetahui sesuatu tanpa perantara atau tanpa sebab.23
Selanjutnya, dari kedua sumber perolehan ilmu pengetahuan itu (wahyu dan ilhâm), al-Ghazâlî
memasukkan jalan ta’allum dan tafakkur sebagai metode untuk memperoleh ilmu. Persoalan ini menjadi terkait
dengan uraian al-Ghazâlî tentang ilmu insânî yang menurutnya diperoleh melalui ta’allum dan tafakkur.
Tafakkur berbeda dengan ta’allum. Kalau tafakkur adalah proses berpikir secara bathini dengan melalui nafs
kullî (jiwa universal) yang kemudian menghasilkan ilmu-ilmu universal yang bersifat metafisik, sedangkan
ta’allum adalah proses berfikir secara zhahiri dengan menggunakan akal yang kemudian menghasilkan ilmu-
ilmu secara juz’i yang material.24
Aktivitas tafakkur pada ilmu insani itu, pada akhirnya menyentuh juga kawasan ilmu-ilmu yang metafisik,
karena dalam ber-tafakkur melibatkan aktivitas jiwa manusia, terutama ketika sedang menganalisa dan
mempersepsi segala sesuatu di balik alam yang real (nyata). Sudah tentu ber-tafakkur seperti ini akan
menyentuh kawasan metafisik di balik apa yang dipikirkannya.
Lebih lanjut al-Ghazâlî membagi ilmu menjadi dua macam, yaitu ilmu syar’î dan ilmu ‘aqlî. Menurut al-
Ghazâlî bahwa kebanyakan ilmu syar’î itu adalah ilmu ‘aqlî bagi orang yang ‘âlim. Sedangkan kebanyakan ilmu
‘aqlî merupakan ilmu syar’î bagi orang yang ‘ârif.25 Dari sini al-Ghazâlî ingin membedakan antara ilmu syar’î
dengan ilmu ‘aqlî, seperti halnya juga membedakan jalan tafakkur antara ilmu insânî dan ilmu rabbânî.
Ketika dikaji lebih lanjut, pembedaan-pembedaan hal tersebut di atas dikarenakan al-Ghazâlî cenderung
menampilkan pemikirannya dalam wacana yang lain, yakni pemikiran tentang ilmu ladunnî. Kecenderungan ini
terlihat dalam Kitab Risâlah al-Ladunniyyah-nya. Oleh sebab itulah kitab Risâlah al-Ladunniyyah lebih
merupakan keinginan al-Ghazâlî untuk memasukkan ilmu ladunnî sebagai bagian dari epsitemologi keilmuan
yang dikajinya.
Dalam hal ini, kitab Risâlah al-Ladunniyyah mengupas persoalan-persoalan ilmu, baik yang direkayasa
manusia maupun ilmu yang diberikan Tuhan. Konsekuensi logisnya, hal ini tentunya akan lebih memperjelas
tentang hirarki ilmu yang diklasifikasikan oleh al-Ghazâlî.
Dalam penjelasan tentang bagaimana ilmu diperoleh manusia, maka di dalam kitab Risâlah al-Ladunniyyah
dijelaskan bahwa ilmu itu datang dari Tuhan melalui ilhâm, tetapi ilhâm bukan merupakan wahyu.26 Wahyu,
adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi dengan perantaraan Malaikat Jibril. Isi wahyu berupa ilmu
yang diturunkan Allah kepada manusia yang telah ditunjuk-Nya, yakni Nabi atau Rasul. Ilhâm, adalah bisikan
atau petunjuk yang datang ke dalam hati, yang diberikan kepada manusia secara langsung.27 Ilhâm merupakan
informasi dari Tuhan tanpa diusahakan melalui belajar, berfikir atau dalil-dalil tertentu.28
Lebih lanjut al-Ghazâlî membedakan, antara wahyu dan ilhâm, kalau wahyu diberikan hanya kepada Nabi
atau Rasul Allah. Sedangkan ilhâm diberikan kepada siapa saja yang Allah kehendaki.29 Jadi ilhâm merupakan
proses datangnya informasi sedangkan ilmu ladunnî, adalah produk ilmunya. Al-Ghazâlî jelas membedakan
antara wahyu dengan ilhâm. Ilmu yang didatangkan lewat wahyu disebut ilmu nabawî, sedangkan ilmu yang
didatangkan lewat ilhâm disebut ilmu ladunnî.
Ilmu ladunnî, menurut al-Ghazâlî diperoleh manusia lewat ungkapan langsung (mukâsyafah). Untuk
memperoleh mukâsyafah, memerlukan proses panjang yang harus dijalani manusia. Hal ini, karena Tuhan
(sebagai pemberi ilmu) adalah Dzat Yang Maha Suci, yang akan memberikan ilmu ladunnî itu hanya kepada
21
M. Basri al-Ghazali, loc.cit.
22
Al-Ghazâlî, op.cit, hlm. 116.
23
Al-Ghazâlî, Risâlah al-Ladunniyyah, op.cit., hlm. 116; Lihat juga: Al-Ghazâlî, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid III, Dar al-Ihya’ wa
al-Kutub al-‘Arabiyah, Indonesia, t.t., hlm. 23.
24
Al-Ghazâlî, Risâlah al-Ladunniyyah, Ibid dan hlm. 116; al-Ghazâlî, Ihya’, op.cit., Jilid III, hlm. 23.
25
Al-Ghazâlî, Risâlah al-Ladunniyyah, op.cit., hlm. 102.
26
Menurut Harun Nasution, istilah wahyu berasal dari Bahasa Arab “al-wahy”, dan bukan pinjaman dari bahasa asing.
Kata itu mengandung arti suara, api dan kecepatan (Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, UI Press, Jakarta, 1982,
hlm. 15).
27
Miska Muhammad Amin, op.cit., hlm. 20 dan 25; W.J.S. Poerwadarminta, Logat Kecil Bahasa Indonesia, J.B. Wolters’
Uitgeversmaatschappij NV, Jakarta, 1949, hlm. 38; Miska Muhammad Amin, op.cit., hlm. 25.
28
Al-Ghazâlî, Ihyâ’, Ibid., hlm. 17; Lihat: Yasir Nasution, Manusia Menurut al-Ghazali, Rajawali Press, Jakarta, 1988, hlm.
110.
29
Al-Ghazâlî, Risâlah al-Ladunniyyah, op.cit., hlm. 115; Lihat: Ali Isa Ottoman, The Concept of Man in Islam in The
Writing of al-Ghazali, terj: Johan Smith, et.al., 1987, hlm. 67.
orang-orang tertentu yang jiwanya telah tersucikan. Manusia yang ingin memperoleh ilmu ladunnî, maka harus
memiliki cara-cara atau prasyarat-prasyarat tertentu. Salah satunya adalah dengan proses “pensucian jiwa”,
yang oleh al-Ghazâlî dibahasakan dengan istilah “Tazkiyah al-Nafs”.
Dalam proses pensucian jiwa itu memerlukan langkah-langkah antara lain: Pertama, dengan melakukan
takhallî, yakni upaya pengosongan jiwa dari sifat-sifat tercela; Kedua, dengan tahallî, yakni mengisi jiwa yang
telah terkosongkan itu dengan ahklak-akhlak terpuji; dan Ketiga adalah tajallî, yakni ketersingkapan dan atau
hasil yang nampak berupa karunia keistimewaan atau karâmah yang dimiliki manusia setelah melalui dua
proses takhallî dan tahallî. Pada tahap tajallî inilah ilmu ladunnî singgah.
Ilmu yang diperoleh lewat pendekatan rabbânî di atas berbeda dengan ilmu yang diperoleh lewat rekayasa
akal manusia. Ilmu hasil rekayasa ini dapat berupa teori-teori keilmuan praktis dalam berhubungan
(mu`âmalah) antara manusia dengan manusia atau dengan alam sekitarnya. Al-Ghazâlî mengistilahkan ilmu
semacam ini adalah ilmu mu'âmalah.
Disamping membicarakan sumber-sumber, kitab Risâlah juga membicarakan alat yang dimiliki manusia
untuk memperoleh ilmu, seperti panca-indera, akal, dan qalb (hati). Kitab Risâlah ini juga membahas hirarki
atau klasifikasi ilmu, yang dijelaskan dalam pembicaraan dua klasifikasi besar, yaitu ilmu syar’î (agama) dan
ilmu ‘aqlî (rasional atau intelektual).
Kitab Risâlah al-Ladunniyyah menggambarkan sebuah interaksi pemikiran-pemikiran keilmuan al-Ghazâlî
secara umum yang dibicarakan dalam Maqâshid al-Falâsifah, Mîzân al-‘Amâl, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn. Jika
Epistemologi dalam Risâlah al-Ladunniyyah ini merupakan sebuah interaksi pemikiran keilmuan al-Ghazâlî,
maka untuk mengungkap epistemologinya perlu melihat sejauh mana interaksi pemikirannya dengan konsep
keilmuan Islam secara umum, terutama versi al-Farâbî. Al-Farâbî merupakan orang pertama yang berpengaruh
dalam dunia Islam, yang menyebabkan dia digelari “Guru Besar Kedua” (al-Mu’allim al-Tsânî). Ini tentunya
menjadi model bagi setiap penggagas keilmuan Islam setelah al-Farâbî, termasuk al-Ghazâlî. Ia banyak
mengambil referensi dari al-Farâbî, sehingga al-Ghazâlî dipandang berperan dalam melanjutkan pemikiran
keilmuan al-Farâbî.
Dari kerangka pikir di atas, kelihatan bahwa pemikiran al-Ghazâlî tentang ilmu dan termasuk di dalamnya
tentang ilmu ladunnî dalam Risâlah al-Ladunniyyah merupakan sebuah epistemologi yang mencakup pembagian
ilmu, sumber-sumber, dan manfaatnya.
pada pemikiran ilmu ladunnî, dengan mendasarkan pada argumen dari Qur'an-Hadits dan argumen empiris. Ini
menggam-barkan bahwa ilmu ladunnî sebagai bagian tak terpisahkan dari kajian epistemologinya.
"Barangsiapa mengamalkan apa yang diketahuinya, niscaya Allah akan mewariskan kepadanya ilmu yang
belum dia ketahui." 32
Untuk menguatkan hadits itu, ia juga mengutif hadits (artinya): "Barangsiapa yang ikhlas beribadah
kepada Allah selama 40 pagi, niscaya Allah menghadirkan hikmah di hatinya, yang diucapkan lewat lidahnya".
Selain hadits di atas, al-Ghazâlî juga mengetengahkan firman-firman Allah, antara lain:
.
"Dan orang-orang yang berjuang di jalan Kami sesunggunya kami akan menunjukkan kepada mereka
jalan-jalan Kami" (Q.S. al-`Ankabût [29]:69).
"Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan jalan keluar baginya. Dan memberi rizki dari
arah yang tidak disangka”.
"Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, niscaya Di akan menjadikan bagi
kamu furqan (pembeda)." (Q.S. Al-Anfâl [8]:29).
Yang dimaksud furqân ini adalah cahaya yang dipergunakan untuk membedakan antara yang haqq dan
yang bâthil, dan dengan bantuannya dapat mengeluarkan dari berbagai syubhat (perkara yang masih samar
hukumnya).33
Oleh karena itulah, maka Nabi saw. sering berdo'a meminta nûr (cahaya), seperti dalam sabdanya
(artinya): "Ya Allah berilah aku cahaya, tambahkanlah aku cahaya, dan jadikanlah dalam hatiku cahaya, dalam
kuburku cahaya, dalam pendengaranku cahaya, dalam penglihatanku cahaya," hingga beliau membaca, "Dalam
rambutku, kulitku, dagingku, darahku dan tulang belulangku".34
Al-Ghazâlî juga mengemukakan firman Allah swt.:
30
Al-Ghazâlî, Ihyâ' , Jilid III, op.cit., hlm. 22.
31
Al-Ghazâlî, Risâlah al-Ladunniyyah, op.cit., hlm. 122.
32
Al-Hâfizh al-‘Irâqî berkata, “Dikeluarkan oleh Abû Nu`aim dalam al-Hilyah dari hadits Anas, dan al-‘Irâqî menyatakan
hadits tersebut dha`îf.
33
Al-Ghazâlî, Ihyâ', op.cit., Jilid III, hlm. 22.
34
Al-‘Irâqî berkata: “Hadits ini muttafaq ‘alaih dari hadits Ibnu `Abbâs”.
“Dan Kami telah mengajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami” (Q.S. al-Kahfi [18]:65).
Semua dalil yang disebutkan di atas merupakan kesaksian naqliah yang dijadikan argumentasi oleh al-
Ghazâlî untuk menjelaskan ilmu ladunnî.
Disamping argumen syara’ seperti di atas, al-Ghazâlî juga menyodor-kan argumen berdasarkan
pengalaman (hikayat). Misalnya, Abû Bakar Shiddîq tatkala akan wafat berkata kepada ‘Âisyah, “Hanya dua
itulah saudara laki-laki dan saudara perempuanmu.” Ketika itu isteri beliau sedang hamil, lalu melahirkan anak
perempuan. Jadi, Abû Bakar, sebelum isterinya melahirkan sudah mengetahui anaknya yang akan lahir itu
adalah perempuan.
Umar r.a. di tengah-tengah khutbahnya, pernah berkata, “Wahai pasukan, naiklah ke gunung! Karena di
hati `Umar telah mengetahui (tersingkap) bahwa musuh telah mendekati pasukannya, maka beliau
memperingatkannya setelah mengetahui hal tersebut. Kemudian terdengarnya suara beliau oleh pasukan
adalah termasuk karamah.
Anas bin Mâlik pernah berkata, “Aku memasuki rumah `Utsmân. Sebelumnya ketika di tengah jalan, aku
berjumpa seorang wanita, lalu aku terkesima kecantikannya. Dan ketika aku masuk, `Utsmân berkata, “Salah
seorang di antara kamu yang hadir, tampak kedua matanya bekas dari zina. Tahukah kamu bahwa zina kedua
mata itu adalah dengan melihat? Hendaknya kamu bersungguh-sungguh dalam bertobat ataukah aku akan
menghukummu? Maka Anas bin Mâlik bertanya, “Adakah wahyu sesudah Nabi?” `Utsmân menjawab, “Tidak!”.
Tetapi yang ada hanyalah pandangan batin (bashîrah).
G. Kesimpulan
Akhirnya dari penelitian ini terumuskan tiga kesimpulan: Pertama, epistemologi dalam Risâlah al-
Ladunniyyah menekankan superioritas wahyu dan ilhâm atas akal, karena keduanya berhubungan dengan
intelek universal yang lebih sempurna daripada akal. Keunggulan itu dikemukakan dalam term-term esoterik.
Wahyu dan akal dilihat sebagai perwujudan mikrokosmik dari intelek universal (al-‘aql al-kullî) dan jiwa
universal (al-nafs al-kullî). Al-Ghazâlî yakin pada superioritas wahyu, ilhâm dan dzawq (intuisi) atas akal. Atas
dasar ini Kitab Risâlah al-Ladunniyyah merupakan epistemologi ilmu berparadigma komprehensif.
Kedua, epistemologi dalam Risâlah al-Ladunniyyah menyiratkan sebuah interaksi keilmuan al-Ghazâlî, yang
dalam karya-karya sebelumnya lebih bersifat teoritis, kemudian berinteraksi dengan pemikiran praktisnya dalam
tasawuf, sehingga dalam Risâlah al-Ladunniyyah menjadi pemikiran esoteris dan eksoteris. Rumusan ini
menjadikan epistemologi Risâlah al-Ladunniyyah lebih komprehensif ketimbang pemikiran keilmuan al-Farâbî,
yang lebih menekankan aspek ‘aqlî di hadapan aspek syar’î.
Ketiga, pemikiran ilmu ladunnî yang menjadi “final interest” dalam Risâlah al-Ladunniyyah didasari
keyakinan al-Ghazâlî bahwa manusia dapat memperoleh ilmu ladunnî. Hanya saja, kadar kemanusiaan itu
sendiri yang menentukannya. Kalau wahyu kadarnya untuk Nabi dan Rasul, sedang-kan ilhâm adalah untuk
manusia yang mencukupi “kadar kemanusiaan” terpilih, seperti wali dan orang saleh yang suci jiwanya. Al-
35
Al-Ghazâlî, Ihyâ', Jilid III, op.cit., hlm. 23.
36
Ditakhrij oleh al-Turmudzî dari hadits Abû Sa`îd.
37
Dikeluarkan oleh al-Bukhârî dari hadits Abû Hurairah, dan diriwayatkan pula oleh Muslim dari hadits ‘Âisyah,
38
Qardhawi, op.cit., hlm. 15.
Ghazâlî yakin bahwa epistemologi ilmu ladunnî paling kuat dan sarat hikmah ketimbang ilmu yang diperoleh
melalui proses belajar.[]
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Miska M., Epistemologi Islam Pengantar Filsafat Ilmu Islam, UI Press, Jakarta, 1983.
Creswell, John W., Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Tradition, Thousand Oaks
London, Sage Publications, New Delhi, 1999.
Jaques, Waardenburg, Humanities, Social Science, and Islamic Studies, dalam: Islam and Christian-Muslim
Relations, Institute of Christian-Muslim Relations, Birmingham, 1990.
Ghazâlî, al-, Al-Munqidz min al-Dhalal, Silislah Tsaqafat, Kairo, 1961.
__________, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Jilid III, Dar al-Ihya’ wa al-Kutub al-‘Arabiyah, Indonesia, t.t.
__________, Ma`ârif al-Quds fî Madârij Ma`rifah al-Nafs.
__________, Risâlah al-Ladunniyyah, dalam: Qushûr al-Awwali, dihimpun Musthafâ Muhammad Abû al-‘Alâ,
Maktabah Jundi, Mesir, 1970.
__________, Tahâfut al-Falâsifah, editor Sulaiman Dunia, Dar al-Ma’arif, Kairo, 1966.
Ghazali, M. Bahri, Konsep Ilmu Menurut al-Ghazali, Pedoman Ilmu Jaya, Yogyakarta, 1991.
Muzani, Syaiful, ed., Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran Prof. DR. Harun Nasution, Mizan, Bandung, 1995.
Nasution, Harun, Akal dan Wahyu Dalam Islam, UI Press, Jakarta, 1982.
__________, Filsafat Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1973.
Nasuton, Yasir, Manusia Menurut al-Ghazali, Rajawali Press, Jakarta, 1988
Ottoman, Ali Isa, The Concept of Man in Islam in The Writing o f al-Ghazali, terj: Johan Smith, et.al., 1987
Poerwadarminta, W.J.S., Logat Kecil Bahasa Indonesia, J.B. Wolters’ Uitgeversmaatschappij NV, Jakarta, 1949.
Pranaka, A.M.W., Epistemologi Dasar Suatu Pengantar, CSIS, Jakarta, 1987.
Simuh, dalam: Yustiono (ed.), et.al., Islam dan Kebudayaan Indonesia, Yayasan Festival Istiqlal, Jakarta, 1993.