Anda di halaman 1dari 9

Harian REPUBLIKA Jakarta

Situs : www.republika.co.id
Edisi Jumat, 08 Agustus 2003
Pengakses Internet : Anwar Nuris el-Ali

Islam dan Problem Kemanusiaan


Oleh : Happy Susanto
Peneliti The International Institute of Islamic
Thought (IIIT) Indonesia

Di tengah menguatnya arus modernitas yang begitu


deras dan kenyataan bahwa kompleksitas persoalan
sosial menjadi sangat sulit untuk diterka, isu
mengenai kemanusiaan menarik untuk
diperbincangkan. Apalagi, semenjak Bush
mengumandangkan perang melawan Irak seakan
dunia tengah mengalami kehancuran sendi-sendi
kemanusiaan.

Pemerintah kita yang bertekad ingin "menghabisi"


Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan atas dasar
nasionalisme ternyata lebih mengedepankan
kekerasan yang itu justru akan menimbulkan banyak
korban kemanusiaan. Islam, sebagai agama yang
hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil
'alamin) dan untuk kedamaian umat manusia merasa
"ditantang" untuk mampu merespons persoalan

1
kemanusiaan yang tengah menjadi harapan besar
umat manusia pada masa ini.

Pemahaman kita tentang Islam perlu dilihat menurut


pembagian makna agama secara "normatif" dan
"historis". Makna yang pertama lebih berorientasi
pada Tuhan (teosentris) dan sifatnyapun masih
sangat melangit (transenden). Asumsinya adalah
apa-apa yang dilakukan manusia diproyeksikan
untuk Tuhan saja. Sedangkan makna yang kedua
lebih berorientasi pada manusia (humanistik), di
samping untuk Tuhan juga tapi keberagamaan lebih
diperuntukkan demi kemaslahatan umat manusia.

Dari makna agama yang melangit diturunkan


menuju makna agama yang membumi. Sehingga
Islam itu menyejarah. Caranya adalah dengan
menurunkan dari makna agama yang masih
melangit ke dalam realitas empirik kesejarahan
manusia (emanatif).

Karena terkait dengan historisitas (kesejarahan)


manusia, maka agama bisa difungsikan sebagai agen
perubahan sosial (social change) yang sangat respek
dengan persoalan kemanusiaan dan keadilan.
Sehingga hal demikian akan membuka ruang
kebebasan manusia untuk menafsirkan kembali
ajaran-ajaran agama agar mampu dikomunikasikan

2
dengan kenyataan faktual sejarah yang sedang
berkembang. Dan persoalan kemanusiaan dengan
macam bentuknya adalah bagian dari konteks
historis itu.

Penulis beranggapan bahwa pemahaman Islam bagi


kebanyakan umat Islam selama ini masih berkutat
pada pemaknaan agama secara normatif, sedangkan
pada sisi historisnya belum dieksplorasi secara lebih
mendalam. Jika pemahaman agama tidak digali
pada dataran empirik-historis secara lebih
mendalam maka yang terjadi adalah jarak antara
agama dan kemanusiaan, dengan pemahaman
bahwa "biarkan agama mengurusi Tuhan-nya, dan
manusia yang berkehendak bebas mengurusi dirinya
sendiri tanpa payung dan peran agama".
Seharusnya, tidaklah demikian karena senyatanya --
dengan melihat pada beberapa bentuk pemahaman
ajaran Islam yang humanis, jika kita mau bersikap
kritis dan konstruktif pada dasarnya agama dan
humanisme (ajaran kemanusiaan) bisa didialogkan.

Humanisme Islam

Ajaran "humanisme universal" adalah wilayah


historis yang menyangkut kesejarahan umat manusia
di mana hak-haknya sering "dipasung" oleh realitas
pengamalan ajaran agama --yang tidak humanis

3
tentunya-- dan juga karena modernitas yang
menggerus kepekaan kemanusiaan global. Ajaran
humanisme memang muncul bersamaan dengan
"rasionalisme" pada Abad Pertengahan, tapi ketika
itu agama terkesan disisihkan dari ring wacana
pencerahan modernisme. Sudah sejak lama ajaran
humanisme terlepas dari agama karena dalam
pandangan kaum humanis agama justru
menyebabkan petaka kemanusiaan.

Feuerbach melabeli ajarannya dengan "Humanisme


Ateis", humanisme yang berlawanan dengan Tuhan
dan agama. Lantas, apakah mungkin membangun
sebuah konsep "Humanisme Islam" sebagai jalan
untuk mendamaikan agama dan kemanusiaan?
Penulis mengira hal ini bisa saja dilakukan karena
secara konseptual, Islam pun memuat beberapa
ajaran kemanusiaan yang belum banyak ditafsirkan
secara kontekstual.

Dan dalam kenyataan kehidupan kita sehari-hari,


banyak juga terlihat orang-orang beragama yang
masih memiliki kepekaan sosial dan kemanusiaan
yang sangat itu, di mana hal demikian diilhami oleh
ajaran Islam. Humanisme Islam berangkat dari
realitas sosial dan kondisi empirik umat manusia,
dan agama kemudian ditafsirkan secara kontekstual
menurut kenyataan yang ada ini, sehingga terjadi

4
proses "dialogisasi" antara teks dan realitas, antara
normativitas dan historisitas. Dengan begitu ruang
bagi pemenuhan kemanusiaan bisa terbuka.

Menurut Kuntowijoyo (1991), Islam adalah sebuah


humanisme, yaitu agama yang sangat
mementingkan manusia sebagai tujuan sentral.
Beragama adalah untuk manusia juga, di samping
kita melakukannya untuk memenuhi kewajiban
ritual agama dari Tuhan. Fungsi transformasi agama
akan membuka ruang bagi kemanusiaan yang
disebabkan karena pemenuhan ajaran keislaman
pada sisi pengamalan dan aksi sosial. Beriman tidak
lepas dari beramal, dan ukuran keberimanan
seseorang adalah sejauh mana dia mampu
mengamalkan ajaran agama untuk hidup dan
manusia. Usaha mentransformasikan agama menjadi
kebutuhan kemanusiaan saat ini.

Sebenarnya agama punya peran untuk memberikan


sumbangan bagi penegakan moralitas, hukum,
keadilan, dan kemanusiaan. Agama di sini kemudian
dipahami secara empirik bahwa ketika terjadi
tindakan yang tidak manusiawi, maka agama dapat
memberikan dorongan moral-substantif bahwa
kenyataan demikian tidak dapat dibenarkan
menurut agama. Lalu, kemungkinan memperbarui
penafsiran Islam yang disesuaikan dengan konteks

5
kemanusiaan yang bergulat menjadi perlu untuk
dilakukan. Tafsiran Islam yang humanis lebih
melihat kenyataan sosial daripada hanya terbelenggu
oleh ajaran ideal dan normatif agama.

Untuk melihat kenyataan sosial itu, maka penafsiran


Islam yang humanis perlu didekati dengan
pendekatan rasional. Islam tidaklah bertolak
belakang dengan pendekatan rasionalisme karena
agama ini bisa dipahami secara kritis dan filosofis.
Ibnu Rusyd pernah berusaha untuk mendamaikan
antara filsafat dan agama. Beliau menganjurkan
untuk menggunakan filsafat dalam memahami
agama karena pendekatan ini sangat membantu
dalam memahami agama. Celah-celah kemanusiaan
bisa ditangkap dengan rasio dan akal budi manusia
yang kemudian didialogkan dengan agama.

Agama kemanusiaan

Islam perlu dipahami secara kreatif bahwa ada


dialektika antara Tuhan, manusia, dan alam.
Kehidupan ini sangat terbuka sekali bagi cita-cita
pencapaian kemajuan, kemanusiaan, dan keadilan,
sehingga Islam bisa dipahami secara rasional dan
humanis. Ketuhanan dan kemanusiaan adalah dua
sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan karena

6
menjadi bagian inheren dalam diri seorang muslim
sejati.

Seorang muslim, dalam keberagamaannya secara


berproses terus-menerus mencari hubungan yang
dinamis antara bagaimana memenuhi kebaikan
(kesalehan) bagi Tuhan, manusia, dan juga
lingkungan alam semesta. Ukuran yang bisa dipakai
adalah aspek kemaslahatan dalam ketiganya.

Aspek kemanfaatan (al-maslahah) dalam hukum dan


ajaran agama menjadi tujuan diberlakukannya
sebuah bunyi teks ayat (Alquran dan hadis).
Relevansi hukum agama sangat ditentukan sejauh
mana agama itu merespon kenyataan dan kebutuhan
manusia yang sedang terjadi. Perubahan hukum
dalam Islam menjadi mungkin jika kenyataan
faktualnya yang menjadi kebutuhan dan
kemanfaatan bagi cita-cita kemanusiaan mengalami
perubahan, alias berevolusi. Bukankah adanya
hukum yang dibungkus melalui teks adalah untuk
merekam kenyataan sosial yang terjadi? Dan jika
kenyataannya berubah maka hukum dan
penafsirannya pun bisa berubah. Artinya, hukum
dan penafsiran agama itu sangat dinamis sekali.

Untuk membuka ruang bagi kemungkinan


penerapan kemanusiaan dalam Islam, maka di

7
samping melihatnya pada sisi historisitas, kita perlu
memahaminya secara humanis. Penafsiran yang
humanis itu adalah penafsiran yang lebih
memperhatikan aspek kemaslahatan. Akan sulit
sekali diterapkan apabila ternyata hukum-hukum
yang terbungkus dalam teks keagamaan cenderung
membuka ruang bagi pengekangan kebebasan dan
kebutuhan manusia. Kalau ukurannya adalah demi
kebutuhan manusia, maka agama bisa dikehendaki
secara sosial. Tidak lagi terbelenggu oleh kekakuan
teologis dan normativitas ajaran fikih Islam yang
belum di-up date menurut kenyataan umat manusia
hari ini.

Sudah saatnya kita berusaha untuk melakukan


keterbukaan dalam menghubungkan antara makna
agama secara normatif dengan realitas sosial yang
sedang dialami manusia saat ini. Kemungkinan
perubahan makna dan ajaran agama bisa dimaklumi
karena sebuah ajaran tidak bisa terlepas dari konteks
historisnya. Kemanusiaan adalah bagian dari sejarah
umat manusia yang sedang terjadi dan terus-
menerus berproses, entah mengayun pada
kemanusiaan itu sendiri atau justru malah
sebaliknya. Maka, pada dasarnya kemanusiaan itu
bisa didialogkan dengan agama (baca: Islam).
Kemanusiaan dan keadilan menjadi kebutuhan
manusia sepanjang sejarahnya sehingga peran Islam

8
dan humanisme menjadi sama-sama signifikan.
Wallahu a'lam bish-shawab.

Anda mungkin juga menyukai