Anda di halaman 1dari 11

Nama : Suwirdah

Nim : 2282210009

Mata kuliah : Seminar Pendidikan Agama

Tugas : Resume

BAB 6

ISU-ISU HUMANISME DALAM ISLAM

PENDAHULUAN

Salah satu isu penting yang selalu menjadi perbincangan dan kajian dari masa ke
masa adalah masalah humanisme. Hal itu karena humanisme berkenan secara langsung
dengan pesoalan-persoalan mendasar dalam kehidupan umat manusia di dunia ini.
Humanisme adalah istilah umum untuk berbagai jalan pikiran yang berbeda yang
memfokuskan dirinya pada solusi umum dalam masalah-masalah atau isu-isu yang
berhubungan dengan manusia.

Secara konseptual, humanime islam dan barat memiliki semangat untuk


mendudukkan manusia secara bermartabat, menghormati eksistensi mereka, dan
menghargai hak-hak asasi mereka. Namun dalam pelaksanaannya, humanisme sering
diwarnai dengan isu-isu yang merendahkan kemanusiaan itu sendiri atau dinodai
dengan perilaku-perilaku yang memperburuk citra penganutnya.

PEMBAHASAN

Konsep Dasar Manusia dalam Islam

Manusia dalam pandangan islam adalah tokoh sentral yang banyak disebut oleh
Al Quran. Kitab suci ini selain sebagai petunjuk hidup dan penjelasan bagi manusia
(QS. 2: 185) yang membicarakan berbagai hal, juga sangat memuliakan kedudukan
manusia (QS. 17: 70). Dalam kenyataan objektif, kita dapat menyaksikan bukti-bukti
yang jelas bahwa manusia adalah makhluk yang mulia, juga makhluk berbudaya.
Manusia adalah makhluk pedagogik dan juga khalifah Allah di muka bumi.

Ada degradasi nilai-nilai sosial, etis dan humanitis. Ajaran islam memiliki nilai-
nilai sosial dan etika yang tinggi. Bahkan dimensi syari‟ah (fiqih) dan akhlak dalam
ajaran islam memiliki jangkauan yang sangat luas jika dibandingkan dengan dimensi
iman/akidah itu sendiri. Islam adalah agama yang paling lengkap dibandingkan dengan
agama-agama yang lain (lihat QS. Al-Maidah : 3) islam memberikan tuntunan hidup
manusia dari persoalan yang paling kecil hingga kepada urusan yang paling besar, mulai
dari urusan rumah tangga, tidur, makan dan minum sampai pada urusan bangsa dan
negara. “ Islam tidak hanya sekedar berisikan ajaran teologi, tetapi ia sarat dengan
peradaban”. (Islam is indeed much more than a theology is complete civilization).
Secara ayat-ayat Al Quran maupun As Sunnah, niscaya akan kita temukan, bahwa inti
ajaran islam adalah iman dan amal saleh. Iman adalah pengakuan yang serius bahwa
ALLAH SWT adalah Tuhan satu-satunya yang harus disembah dan Nabi Muhammad
SAW adalah utusan (Rasul-Nya).

Dengan demikian antara iman dan amal harus menyatu dalam dirinya. Predikat
“mukmin” lebih tinggi ketimbang “muslim”. Setiap orang bisa menjadi muslim dalam
pengertian tunduk dan patuh dengan hukuman alam Tuhan (sunnatuallah), tetapi tidak
selalu tunduk dan patuh dengan perintah atau aturan ALLAH SWT yang berkaitan
dengan ibadah/agama. Sedangkan mukmim merupakan orang yang percaya dan
sekaligus tunduk dan patuh, sebab pengertian iman yang sesungguhnya adalah
pembenaran dengan hati, pengakuan dengan lisan dan melaksanakan amal salih.

Ibn Taimiyah menjelaskan, bahwa agama terdiri dari tiga unsur : Islam, Iman
dan Ihsan. Orang memulai dengan islam dulu, kemudian berkembang ke arah iman dan
memuncak dalam ihsan. Menurut Ibn Taimiyah , orang yang menerima warisan kitab
suci namun masih juga berbuat zalim adalah orang yang baru ber-Islam.

Secara garis besar ruang lingkup ajaran islam meliputi masalah keyakinan
(akidah), masalah yang berhubungan dengan peraturan dan perundang-undangan
(syari‟ah) dan masalah yang berkaitan dengan tingkah laku, baik dan buruk (akhlak).
Jika akidah lebih berorientasi vertikal-transendetal maka syari‟ah dan akhlak
berorientasi horizontal. Tetapi kedua hal tersebut (vertikal dan horizontal) harus
integral, tidak boleh senjang. Dengan demikian maka agama islam memiliki
keseimbangan antara duniawi dan ukhrawi, antara yang vertikal dan horizontal, antara
teologis dan sosiologis antropologis.

Konsep Humanisme Islam

Mengenai konsep humanisme dalam islam , bahwa Al Quran secara tega


mengutuk penindasan dan ketidakadilan. Maka perhatiannya terhadap wujud sosial
yang baik dari masyarakat yang egalitar tidak bisa disangkal lagi. Orang yang mengaku
beriman kepada Allah harus menunjukan keberpihaknya (komitmen) terhadap orang-
orang yang lemah (al-mustadh’afin) seperti anak-anak yatim, orang miskin dan orang
terlantar dan menegakan keadilan di muka bumi ini. Dalam Al Quran surat al- Qashash
: 77 misalnya, maka akan kita dapatkan tiga persoalan besar, yaitu teologis,
antropologis dan kosmologis.

Di dalam struktur keagaman islam, seperti kata Kuntowijoyo tidak dikenal


dokotomi antara domain duniawi dan domain agama. Konsep islam dalam agama bukan
semata-mata teologi, sehingga serba pemikiran. Teologi bukanlah karakter islam. Nilai-
nilai islam pada dasarnya bersifat all-embracing-bagi penataan sistem kehidupan sosial,
politik, ekonomi dan budaya. Oleh karena itu, tugas terbesar islam sesungguhnya adalah
melakukan transformasi sosial dan budaya dengan nilai-nilai islam. Dalam surat al-
Baqarah ayat kedua misalnya, disebutkan bahwa agar manusia itu menjadi muttaqin,
pertama-tama yang harus dia miliki adalah iman, “percaya kepada yang ghaib”,
kemudian mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Di dalam ayat tersebut kita melihat
adanya trilogi yaitu iman-shalat-zakat, sementara dalam formulasi lain, kita juga
mengenal trilogi iman-ilmu-amal.

Prinsip Humanistik

Prinsip humanisme teosentrik inilah yang kemudian ditransformasikan sebagai


nilai yang dihayati dan dilaksanakan sepenuhnya dalam masyarakat dan budaya. Atas
dasar prinsip nilai humanisme-teosentrik itu kita dapat melihat bahwa konsep didalam
islam sangat jauh berbeda dengan konsep yang terdapat dalam agama lain. Namun
demikian Al Quran jelas sekali senantiasa menekankan digunakannya akal, observasi
empiris atau pengalaman dan bahkan intuisi, untuk memperoleh kebenaran atas dasar
petunjuk wahyu ini. Itulah sebabnya islam tidak pernah mengalami konflik dengan
sistem pengetahuan rasional. Dalam masalah relasi sosial, nabi juga menegaskan :
“Bahwa tidak dianggap sempurna iman seseorang sebelum ia mencintai saudaranya
sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”.

Apa yang ditegaskan Nabi ini sebetulnya memiliki makan yang dalam jika
dikaitkan dengan isu kontemporer dan problema sosial saat ini, contohnya masalah Hak
Asasi Manusia (HAM), Keadilan, Persatuan, Pengentasan kemiskinan dlsb. Ini artinya
juga, bahwa dimensi islam tidak hanya bercorak teosentris, tetapi juga antroposentris.

Tripologi Humanisme Islam

Arkoun membagi islam menjadi tiga model, yaitu

1. Humanisme literer
Arkoun menggambarkan humanisme literer era islam klasik (abad III-
IV/IX-X) sebagai semangat arsitokrasi, uang dan kekuasaan. Pada masa itu
orang yang berbakat tidak bisa mengerjakan keinginan bakat-bakat mereka
kecuali di lingkungan istana raja-raja dan di lingkungan orang-orang kaya.
2. Humanisme Religius
Humanisme Religius , dalam kualitas yang berbeda-beda adalah sebuah
konsepsi yang hendak mengatur ketaatan keberagaman atau kesalehan lewat
pintu masuk dunia mistik (tasawuf). Sisi positif yang perlu diperhatikan dari
humanisme religius ini adalah dalam aspek moralitas dan spiritualitas.
Sedangkan sisi negatif pada humanisme religius dari aspek molaritas dan
spiritualitas adalah bahwa aspek ini dalam sejarah pemikiran ortodoksi sering
menjadi eskapisme dari kenyataan politis yang cenderung mendukung paham
determinisme dalam teologi, sampai akhirnya sufisme dianggap sebagai agama
massa atau ordo-ordo sufirme.
3. Humanisme Filosofis
Humanisme ini dalam gambaran Arkoun dilukiskan sebagai menyatunya
elemen-elemen dari kedua humanisme di atas (humanism literer dan humanism
religius), tanpa dibedakan oleh disiplin keilmuan yang lebih jelas, dengan
ketenangan yang lebih menghanyutkan dan mencemaskan , lebih metodis, dan
lebih solider terhadap kebenaran antara dunia, manusia, dan Tuhan.

Isu LGBT Perspektif HAM dan Maslahah Mursalah

Pada saat ini fenomena lesbian, gay, biseksual, dam transgender (LGBT)
menjadi isu yang banyak diperbincangkan di tengah masyarakat indonesia dengan
maraknya promosi atau iklan kaum LGBT di media sosial. Propaganda perekrutan oleh
kaum LGBT telah menyentuh berbagai media sosial, bahkan kelompok LGBT juga
sudah menjalar ke kampus, sekolah, dan tempat umum lainnya. LGBT dianggap bagian
life style masyarakat modern yang menganggap pandangan heteroseksualitas sebagai
konservatif dan tidak berlaku bagi semua orang.

Dalam merespons maraknya aktivitas (gerakan) komunitas LGBT di indonesia,


secara umum dapat dikelompokan kepada tiga prespektif yang menjadi titik penting di
dalam perdebatan LGBT di indonesia, yaitu prespektif (agama) religius, prespektif Hak
Asasi Manusia (HAM). Menurut hukum pidana islam homoseksual (liwat) termasuk
dosa besar, karena bertentangan dengan norma agama, norma susila dan bertentangan
pula dengan sunnatuallah (God‟s Law/natural law) dan fitrah manusia (human nature).

Kedua, prespektif HAM bagi kelompok yang pro LGBT mengkalim adalah hak
asasi mereka untuk memilih LGBT. Sebagai Hak asasi, mereka menuntut untuk
dilindungi hak-hak asasi mereka. Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak dasar yang
nsecara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat uninversal dan langgeng, dan oleh
karena itu, harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan,
dikurangi, atau dirampas oleh siapa pun. Dalam Mukaddimah Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia (DUHAM) dinyatakan “Hak-hak manusia perlu dilindungi dengan
peraturan hukum, supaya orang tidak akan terpaksa memilih jalan pemberontakan
sebagai usaha terakhir guna menentang kedzaliman dan penjajahan sebagaimana dalam
Mukoddimah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).

Ketiga prespektif psikologi. Pada awalnya di dalam DSM 1 (Diagnostic and


Statistic Manual of Mental Desorder) dan DSM II, homoseksualitas dianggap sebagai
penyimpangan yang termasuk kedalam gangguan jiwa.
LGBT Perspektif HAM

LGBT dari perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) Hak Asasi Manusia (HAM)
merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal
dan langgeng, dan oleh karena itu, harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak
boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.

Dalam sistem hukum di indonesia, sebagaimana terdapat dalam UUD 1945


dinyatakan “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran
dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi di depan hukum, dan hak untuk dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam situasi apa pun”, hal ini
sesuai dengan ketentuan dalam DUHAM Pasal 2, 7 dan 22.

Komnas HAM, Natalius Pigai mengatakan negara mempunyai kewajiban


melindungi rakyat warga negara indonesia apapun jenisnya, suku, agama, ras, etnik,
atau kaum minoritas dan kelompok rentan (maksudnya rentan dari kekerasan).

Dengan demikian dapat ditarik benang merah, sudah menjadi keniscayaan bagi
kelompok LGBT untuk mendapatkan hak-hak asasi mereka berupa jaminan perawatan
atau pengobatan terhadap penyakit LGBT tersebut. Dari sisi lain disamping HAM yang
dimiliki oleh kelompok LGBT, sesungguhnya ada juga Kewajiban Asasi Manusia
(KAM) yang harus dipatuhi oleh setiap orang sebagai termaktub dalam pasal 29, ayat (1
dan 2) DUHAM yaitu :

1. Setiap orang mempunyai kewajiban terhadap masyarakat tempat satu-satunya


dimana dia dapat mengembangkan kepribadiannya dengan bebas dan penuh
2. Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus
tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang diterapkan oleh undang-
undang yang tujuannya semata-mata untuk menjamin pengukuran serta
penghormatan yang tepat terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain,
ketertiban dan kesejahteraan syarat-syarat yang adil dalam hal kesusilaan,
ketertiban, dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.
Perspektif Maslahah Mursalah

Analisis ushul fikih terhadap fenomena LGBT di indonesia, dapat menjadi salah
satu solusi untuk mengurangi permasalahan tersebut dengan mengetahui substansi dan
esensi hukum-hukum syari‟at, sebab selain menganalisis produk hukum yang sudah
jadi, dengan metode ini dituntut untuk memahami pangkal persoalan atau subtansi
hukumnya dan tidak berhenti hanya pada hukum formil. Metode kaidah fiqih, baik
qai‟dah usuliyyah maupun qai‟dah fiqhiyya, akan lebih melihat suatu ketentuan hukum
pada aspek nilai-nilai esensial dan hukum itu sendiri dengan sangat lugas, logis, tuntas,
dan rasional. Nabi Muhammad mempersilahkan uma islam untuk melakukan ijtihad,
yaitu berpikir secara sungguh-sungguh untuk menemukan kebenaran (hukum) dengan
tetap berpegang kepada sumber utama (Al Quran dan Al Hadis).

Ada beberapa qa‟idah usuliyyah yang dapat dijadikan sebagai pendekatan


analisis fenomena LGBT di indonesi, salah satunya adalah teori maslahah muslahah.
Tujuan umum pensyariatan adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dalam
kehidupan ini dengan mendatangkan manfaat dan menghindari bahaya. Apabila tidak
ada kemaslahatan maka rusaklah struktur kehidupan, kekacaun dan kerusakan pun
merajalela. Al Ghazali sebagaimana dikutip oleh Wahbah Zuhaili, mendefinisikan
maslahan sebagai berikut : Dalam artian pokoknya (aslan) maslahah adalah suatu
ungkapan untuk mencari sesuatu yang bermanfaat (manfa‟ah) atau untuk
menghilangkan sesuatu yang merugikan (mudarrah). Adapaun tujuan dari syara‟
meliputi lima dasar pokok, yaitu :

1. Melindungi agama (hifz al-din)


2. Melindungi jiwa (hifz alnafs)
3. Melindungi akal (hifz al-aql)
4. Melindungi kelestarian manusia (hifz al-nasl)
5. Melindungi harta benda (hifz al-mal)
Semua hal yang dapat melindungi lima kepentingan ini adalah maslahah, dan
yang merugikan terpeliharanya kelima hal ini adalah mafsadat, dan menghilangkan hal-
hal yang merugikan itu adalah maslahah.
Berdasarkan pendekatan kaidah usuliyyah di atas, kaitannya dengan LGBT di
indonesia, maka terhadap LGBT entitas pertama, adalah relevan dengan perspektif
HAM mereka harus dilindungi, dirangkul, dan diperlakukan secara adil dan tidak
diskriminatif. Dengan demikian hak asasi tetap tidak boleh bertentangan dengan nilai
agama, budaya luhur dan dasr negara pancasila, yang secara jelas mencantumkan sila
Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.

Radikalisme Perspektif Islam

Pandangan stereotipal islam dengan radikalisme semakin meningkat dan juga


membangkitkan kembali gelombang Islamofobia, baik dalam hal agama, budaya,
maupun politik, di kalangan masyarakat Eropa, Amerika, dan Australia. Islam dan umat
islam menjadi pihak yang tertuduh dalam berbagai aksi tersebut. Berbagai stigma
diletakan bahwa islam identik dengan radikalisme, terorisme, dan kekerasan. Stigma ini
seakan membenarkan pandangan beberapa pemikiran barat yang melihat islam sebagai
ancaman setelah runtuhnya Soviet, sebagaimana tesis Samuel Huntington tentang clash
of civilization (benturan peradaban).
Namun, dari berbagai istilah tersebut, istilah Radikalisme dipandang lebih tepat
ketimbang fundamentalisme dan istilah-istilah lain, karena fundamentalisme sendiri
memiliki makna yang multitafsir. Fundamentalisasi dalam perspektif barat berarti
paham orang-orang kaku dam ekstrem serta tidak segan-segan melakukan kekerasan
dalam mempertahankan ideologinya. Sementara, dalam pemikiran teologi keagamaan,
istilah fundamentalisme lebih mengarah pada gerakan untuk mengembalikan seluruh
prilaku muslim untuk merujuk pada Al Quran dan Al Hadist.
Secara bahasa, radikalisme berasal dari bahasa latin, radix, yang berarti “akar”.
Ia adalah paham yang menghendaki adanya perubahan dan perombakan besar untuk
mencapai kemajuan. Secara sederhana, radikalisme adalah pemikiran atau sikap yang
ditandai oleh empat hal yang sekaligus menjadi karakteristiknya, yaitu :
1. Sikap tidak toleran dan tidak mau menghargai pendapat atau keyakinan orang
lain
2. Sikap fanatik, yaitu sikap yang membenarkan diri sendiri dan menyalahkan
orang lain
3. Sikap eksklusif, yaitu sikap tertutup dan berusaha berbeda dengan kebiasaan
orang banyak
4. Sikap revolusioner, yaitu sikap kecenderungan untuk menggunakan kekerasan
dalam mencapai tujuan

Akar Genealogis Radikalisme dalam Islam

Di suatu subuh, 14 Ramadan 40 H, tiga orang militan yang merencanakan


pembunuhan terhadap tiga orang tokoh penting kaum muslim di Mekkah ketika itu,
berusaha mencari saat yang tepar untuk melakukan pembunuhan. Mereka adalah „Amr
bin Bakr, al-Barak bin Abdullah, dan Abdurrahman bin Muljam yang semuanya
merupakan anggota dari kaum khawariji, kelompok yang keluar dan memisahkan diri
dari mainstream muslim, yang tidak puas dengan kepemimpinan umat ketika itu.

Mereka menggunakan argumentasi al-Quran bahwa Ia hukma illa Allah (tidak


ada hukum kecuali hukum Allah) yang dielaborasi dari Q.S. al-Ma‟idah [5]: 44. Karena
tidak ditaati hukum Allah itu, maka terjadi chaos (fitnah) sehingga memunculkan
dualisme pemerintahan di tengah kaum muslim. Dan, karena tidak mau mengikuti
hukum Allah, sang khalifah pun dituduh kafir, sebagaimana juga Mu‟awiyah dan „Amr
bin „Ash.

Gerakan kaum Khawariji yang muncul di akhir masa pemerintahan Ali bin Abi
Thalib dengan prinsip-prinsipnya yang radikal inilah kemudian yang sering dijadikan
contoh gerakan fundamentalisme klasik dalam sejarah islam dan juga menandai
terbentuknya gejala takfirisme (takfiriyah) dalam islam. Suatu doktrin yang
mengkafirkan sesama muslim yang berbeda dengan mereka, bahkan sampai
menghalalkan darahnya.

Dari historisis di atas, dapat dikatakan bahwa radikalisme dan fundamentalisme


islam, sebagaimana juga fundamentalisme dalam agama lain, memiliki beberapa
karakteristik yang membedakannya dengan kelompok lain.

1. Skripturalisme, yaitu pemahaman harfiah dan tektualis atas ayat-ayat Al Quran


karenanya mereka menolak hermeneutika sebagai cara dalam memahami Al
Quran
2. Penolakan terhadap pluralisme dan relativisme yang dianggap akan merusakan
kesucian teks
3. Penolakan terhadap pendekatan historis dan sosiologi yang dipandang akan
membawa manusia melenceng jauh dari doktrin literal kitab suci
4. Memonopoli kebenaran atas tafsir agama, di mana mereka menganggap dirinya
yang paling berwenang dalam menafsirkan kitab suci dan memandang yang
lainnya sebagai kelompok yang sesat.

Ketika teks-teks keagamaan dipahami secara dangkal, ,maka tidak menutup


kemungkinan akan melahirkan paham dan gerakan radikal. Karena itulah, untuk
menangkal gerakan radikal, salah satu langkah yang diperlukan adalah pemahaman
yang benar dan komprehensif atas teks-teks keagamaan tersebut.

Telaah atas Ayat-ayat “Kekerasan” dalam Al Quran

Ayat-ayat Al Quran yang sering kali disalahpahami dan dijadikan dalil bagi
tindakan-tindakan radikal adalah ayat-ayat jihad dan ayat-ayat perang. Berikut ini akan
diuraikan tentang kedua kelompok ayat tersebut. Pertama, Ayat-ayat jihad Bagi
sebagaian kelompok, jihad terkadang diartikan perang melawan musuh islam, sehingga
tindakan kekerasan terhadap segala sesuatu yang dianggap musush islam, merupakan
perbuatan jihad yang mulia. Jihad dalam Al Quran sebagaimana akan dijelaskan
paparan berikut berbeda dengan radikalisme dan peperangan. Jihad selain merupakan
salah satu inti ajaran islam, juga tidak bisa disederhanakan dan diindentikan dengan
perang (qital). Perang selalu merujuk kepada pertahanan diri dan perlawan yang bersifat
fisik, sementara jihad memiliki makna lebih luas. Di sisi lain, qital sebagai terma
keagamaan baru muncul pada periode madinah, sementara jihad telah menjadi dasar
teologis sejak periode Mekah.

Menurut Seyyed Hossein Nasr, dari 36 ayat Al Quran yang mengandung


(sekitar0 39 kata ja-ha-da dengan berbagai derivasinya, tidak lebih dari 10 ayat yang
terkait dengan perang. Al- Asfahani membagi jihad menjadi tiga macam, yaitu :

1. Menghadapi musuh nyata


2. Menghadapi setan
3. Menghadapi nafsu yang terdapat dalam setiap orang.
Ketiga macam jihad ini dicakup oleh QS. al-Hajj [22]: 78, Q.S. at-Taubah [9]:
41, dan Q.S. al-Anfal [8]; 72. Secara umum, Al Quran menjelaskan jihad dalam konteks
pembahasan yang beragam, semuanya menjelaskan bahwa jihad menurut Al Quran
adalah perjuangan untuk mewujudkan as-salam, as-salamah, al-salah, dan al-ihsan,
yakni perjuangan untuk mewujudkan perdamaian, kesejahteraan, dan perbaikan kualitas
hidup sesuai ajaran Al Quran. Dan perjuangan untuk mewujudkan itu semua disebut
jihad fi sabilillah (perjuangan di jalan Allah).

Anda mungkin juga menyukai