Anda di halaman 1dari 8

Islam sebagai doktrin dan perdaban

dalam menangkal radikalisme


M. Hasannudin
Badko Kalimantan Selatan dan Tengah HMI Cabang Banjarmasin
muhammadhasan.190397@gmail.com

Abstrak
Islam sebagai doktrin dan peradaban memiliki peran penting dalam menangkal radikalisme.
Doktrin islam yang mendasarkan dirinya pada prinsip-prinsip ajaran Al-Qur’an dan sunnah
Rasulullah menekankan pentingnya toleransi, kedamaian dan penghormatan terhadap
martabat kemanusiaan. Prinsip-prinsip ini membentuk dasar yang kuat untuk menentang
radikalisme. Sebagai doktrin, islam mengajarkan kesederhanaan, kedamaian dan
penghormatan terhadap keragaman umat manusia. Ajaran islam mengajak umatnya untuk
menjalani kehidupan yang seimbang, mengutamakan hubungan yang harmonis dengan
sesame manusia, alam dan penciptanya. Pendidikan dalam islam juga menekankan
pentingnya ilmu pengetahuan, etika dan keadilan. Sebagai peradaban, islam telah
memberikan kontribusi besar dalam berbagai bidang seperti seni, ilmu pengetahua, filsafat
dan hukum. Perdaban islam pada masa keemasannya dikenal sebagai zaman kejayaan ilmu
pengetahuan dan penemuan yang berkontribusi pada kemajuan umat manusia secara luas.
Pada saat yang sama, peradaban ini mewujudkan nilai-nilai kesetaraan, toleransi agama dan
keadilan sosial. Dalam menangkal radikalisme, islam sebagai doktrin dan perdaban
menawarkan perspektif yang kuat. Islam mengajarkan pnetingnya pengetahuan yang benar
dan kritis, serta memerangi kebodohan, ketidakadilan dan ketidakseimbangan dalam
masyarakat. Selain itu, islam menegaskan nilai-nilai keadilan, toleransi dan kesetaraan dalam
hubungan antar umat manuasi, termasuk dalam konteks hubungan antaragama. Pendidikan
islam yang berfokus pada nilai-nilai kemanusian, perdamaian dan pemahaman yang benar
tentang agama, menjadi kunci penting dalam menangkal radikalisme. Melalui pendekatan
yang tepat, Pendidikan islam dapat membentuk pemahaman yang sehat tentang islam yang
menelok kekerasan dan ekstremisme. Secara keseluruhan, islam sebagai doktrin dan perdaban
memiliki potensi yang besar dalam menangkal radikalisme.
Kata kunci: Islam, doktrin, peradaban, radikalisme.
PENDAHULUAN
Agama Islam merupakan agama yang komprehensif dan berkaitan denganberbagai macam
ilmu yang mengatur urusan manusia secara terperinci. Islam akan lebih bermakna dalam
kehidupan bagi pemeluknya jika ditinjau dari berbagai disiplin ilmu antara lainekonomi, ilmu
sosial, budaya, politik, pendidikan, psikologi, teknologi, hukum, sejarah serta mengandung
pesan yang bermuara pada agama Islam dari urusan yang membutuhkanlogika (ta'aquly)
sampai urusan yang membutuhkan hati (ta'abbudy)
Melihat sepintas sejarah peradaban umat manusia, orang akanmengetahui kekuatan pokok
dalam perkembangan umat manusia sekarang iniadalah agama. Melalui iman makahal yang
dikatakan baik pada manusia itu diperoleh kepada Tuhan, suatu kebenaran yang barangkali
saja orang atheis pun akan sulit menentangnya. Orang mulia terdahulu seperti Ibrahim, Musa,
Isa, Krisna, Buddha, Muhammad SAW masing-masing dalam tingkatannya sendiri-sendiri
telah mengubah sejarah umat manusia dan menjadikannya bermartabat. Umat manusia akan
terus tenggelam dalam kerendahan dan orang-orang yang lebih terpelajar tidak lagi
memperoleh ketinggian ilmunya yang hanya diberikan oleh agamaapabila sanksi agama tidak
ada (Yusuf, 2002).
Fakta tekstualis, Agama Islam memiliki pesan yang kontradiktif. Satu sisi menekankan
pentingnya lemah lembut dan disisi lain memerintahkan kekerasan atau permusuhan. Ayat
yang satu memerintahkan menghargai atau melindungi non muslim, di ayat lainnya
mengajarkan memusuhi atau memerangi non muslim. Di surah yang ini memerintahkan
melindungi harkat dan martabat manusia, tetapi di ayat lainnya membolehkan melakukan
pembunuhan (qital). Fakta fakta tekstualis yang dianggap kontradiktif akan merugikan
peradaban Islam di internal umat Islam maupun di mata non muslim. jika tidak dipahami
dengan pendekatan berfikir yang tepat.
Setidaknya ada dua doktrin yang harus ada di dalam agama Islam yaitu doktrin kebenaran
dan doktrin keberagaman. Doktrin kebenaran berkaitan dengan keyakinan terhadap Islam
adalah agama yang suci dan memiliki kebenaran mutlaq (absolut) jika dibanding dengan
agama lainya. Selain memiliki doktrin kebenaran mutlaq, Islam sebagai agama sempurna dan
paripurna juga memiliki doktrin keberagaman. Yaitu Islam mengajarkan keanekaragaman
yang ada di dunia. Islam menjelaskan bahwa keberagaman atau perbedaan menjadi bawaan
setiap manusia yang tidak mungkin di hindari (sunnatullah).
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang dilakukan adalah metode deskriptif, dimana metode ini merupakan
metode yang memberikan ppenjelasan secara menyeluruh tentang isalam sebagai doktrin dan
peradaban yang diaman merujuk pada hasil-hasil bacaan.
KAJIAN TEORI
Islam Sebagai Doktrin
Pada dasarnya manusia mempunyai naluri untuk percaya kepada Tuhan dan menyembah-
Nya, dan disebabkan berbagai latar belakang masing-masing manusia yang berbeda-beda dari
satu tempat ke tempat dan dari satu masa ke masa, maka agama menjadi beraneka ragam dan
berbeda-beda meskipun pangkal tolaknya sama, yaitu naluri untuk percaya kepada wujud
maha tinggi tersebut. Keanekaragaman agama itu menjadi lebih nyata akibat usaha manusia
sendiri untuk membuat agamanya lebih berfungsi dalam kehidupan sehari-hari, dengan
mengaitkannya kepada gejala-gejala yang secara nyata ada disekitarnya. Maka tumbuhlah
legenda-legenda dan mitos-mitos, yang kesemuanya itu merupakan pranata penunjang
kepercayaan alami manusia kepada Tuhan dan fungsionalisasi kepercayaan itu dalam
masyarakat.
Kata doktrin berasal dari bahasa Inggris doctrine yang berarti ajaran. Dari kata doctrine itu
kemudian dibentuk kata doktrina, yang berarti yang berkenaan dengan ajaran atau bersifat
ajaran.Selain kata doctrine sebgaimana disebut diatas, terdapat kata doctrinaire yang berarti
yang bersifat teoritis yang tidak praktis. Contoh dalam hal ini misalnya doctrainare ideas ini
berrati gagasan yang tidak praktis.Studi doktrinal ini berarti studi yang berkenaan dengan
ajaran atau studi tentang sesuatu yang bersifat teoritis dalam arti tidak praktiskarena ajaran itu
belum menjadi sesuatu bagi seseorang yang dijadikan dasar dalam berbuat atau mengerjakan
sesuatu (Dody, 2015).
Dalam konteks inilah, ada nilai kebenaran ganda: yakni wahyu yang memiliki nilai mutlak
dan penyikapan manusia terhadap kebenaran wahyu yang sudah tentu bernilai relative.
Dengan demikian, jelaslah bahwa kebenaran agama memiliki dua pengertian yaitu:
1. Kebenaran tekstual atau wahyu, yakni kebenaran-kebenaran yang ada dalam kitab-
kitab suci.
2. Kebenaran empirik, yakni keyakinan manusia beragama berdasarkan tekstual
(wahyu).
Kebenaran yang pertama bernilai mutlak dan kebenaran yang kedua bernilai relatif. Dalam
studi-studi agama selalu dibedakan cara untuk memperoleh kebenaran agama, yakni melalui
pendekatan teologis dan teoritis. Pendekatan teologis bersumber pada wahyu yang memiliki
nilai mutlak, sedangkan pendekatan teoritis bersumber pada kenyataan-kenyataan empiris,
yang memiliki nilai relatif. Dalam pendekatan teoritis kebenaran yang diperoleh bukan untuk
menggugat kebenaran agama yang secara teologis sudah diyakini kebenarannya, tetapi untuk
menjelaskan kebenaran wahyu tersebut (Abuddin, 2014).
Uraian ini berkenaan dengan Islam sebagai sasaran atau obyek studi doktrinal tersebut. Ini
berarti dalam studi doktrinal yang di maksud adalah studi tentang ajaran Islam atau studi
Islam dari sisi teori-teori yang dikemukakan oleh Islam.
Islam didefinisikan oleh sebagian ulama sebagai berikut:
‫اإلسالم وحي إالهي أنزل إىل نيب حممد صلى اهلل عليه وسلم لسعادة الدنيا واألخر‬
Artinya: Islam adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai
pedoman untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat).
Berdasarkan pada definisi Islam sebagaimana dikemukakan di atas, maka inti dari Islam
adalah wahyu. Sedangkan wahyu yang dimaksud di atas adalah Alqur`an dan Sunnah.
Alqur`an yang kita sekarang dalam bentuk mushaf yang terdiri tiga puluh juz, mulai dari
surah al-Fatihah dan berakhir dengan surah alNas, yang jumlahnya 114 surah.Sedangkan
Sunnah telah terkodifikasi sejak tahun tiga ratus hijrah. Sekarang ini kalau kita ingin lihat
Sunnah atau Hadis, kita dapat lihat di berbagai kitab hadis. Misalnya kitab hadis Muslim
yang disusun oleh Imam Muslim, kitab hadis Shahih Bukhari yang ditulis Imam alBukhari,
dan lain-lain.
Dari kedua sumber itulah, Alqur`an dan Sunnah, ajaran Islam diambil. Namun meski kita
mempunyai dua sumber, sebagaimana disebut diatas, ternyata dalam realitasnya, ajaran Islam
yang digali dari dua sumber tersebut memerlukan keterlibatan tersebut dalam bentuk
ijtihad.Dengan ijtihad ini, maka ajaran berkembang, karena ajaran Islam yang ada di dalam
dua sumber tersebut ada yang tidak terperinci, banyak yang diajarkan secara garis besar atau
global. Masalah-masalah yang berkembang kemudian yang tidak secara terang disebut di
dalam dua sumber itu di dapatkan dengan cara ijtihad.
Studi Islam dari sisi doktrinal itu kemudian menjadi sangat luas, yaitu studi tentang ajaran
Islam baik yang ada di dalam Alqur`an maupun yang ada di dalam Sunnah serta ada yang
menjadi penjelasan kedua sember tersebut dengan melalui ijtihad.Hal ini karena kehidupan
beragama merupkan salah satu dimensi kehidupan yang diharapkan dapat terwujud secara
terpadu (Thoha, 1999).
Jadi sasaran studi Islam doktrinal ini sangat luas. Persoalannya adalah apa yang kemudian
dipelajari dari sumber ajaran Islam itu. Agama merupakan kenyataan yang dapat dihayati.
Sebagai kenyataan, berbagai aspek perwujudan agama bermacam-macam, tergantung pada
aspek yang dijadikan sasaran studi dan tujuan yang hendak dicapai oleh orang yang
melakukan studi. Cara-cara pendekatan dalam mempelajari agama dapat dibagi ke dalam dua
golongan besar, yaitu model studi ilmu-ilmu sosial dan model studi budaya.
Islam Sebagai Peradaban
Landasan “Peradaban Islam” adalah “Kebudayaan Islam” terutama wujud idealnya,
sementara landasan “Kebudayaan Islam” adalah agama. Jadi, dalam Islam, tidak seperti pada
masyarakat yang menganut agama “Bumi” (nonsamawi), agama bukanlah kebudayaan tetapi
dapat melahirkan kebudayaan. Kalau kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa
manusia, maka agama islam adalah wahyu dari Tuhan.
Islam juga mempengaruhi peradaban. Peradaban islam adalah terjemahan dari kata Arab al-
Hadharah al-Islamiyyah. Kata Arab ini sering juga duterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
dengan Kebudayaan Islam. “Kebudayaan” dalam bahasa Arab adalah al-Tsaqafah. Di
Indonesia, sebagaimana juga di Arab dan Barat, masih banyak orang yang mensinonimkan
dua kata “Kebudayaan” (Arab, al-Tsaqafah: Inggris, culture) dan “Peradaban” (Arab, al-
Hadharah: Inggris, civilization). Dalam perkembangan ilmu Antropologi sekarang, kedua
istilah itu dibedakan. Kebudayaan adalah bentuk ungkanpan tentang semangat mendalam
suatu masyarakat. Sedangkan, manivestasi-manivestasi kemajuan mekanis dan teknologis
lebih berkaitan dengan peradaban. Kalau kebudayaan lebih banyak direfleksikan dalam seni,
sastra, religi (agama), dan moral, maka peradaban terefleksi dalam politik, ekonomi, dan
teknologi (Al-Sharqawi, 1986).
Banyak penulis Barat yang mengidentikkan “Kebudayaan” dan “Peradaban” Islam dengan
“Kebudayaan” dan “Peradaban” Arab. Untuk masa klasik, pendapat itu mungkin dapat
dibenarkan, meskipun sebenarnya “Arab” dan “Islam” tetap bisa dibedakan. Karena, pada
masa itu pusat pemerintahan hanya satu dan untuk beberapa abad sangat kuat. Peran bangsa
Arab di dalamnya sangat dominan. Semua wilayah kekuasaan Islam menggunakan bahasa
yang satu, bahasa Arab, sebagai bahasa administrasi. Semua ungkapan-ungkapan budaya juga
di ekspresikan melalui bahasa Arab, meskipun ketika itu bangsa-bangsa non Arab juga mulai
berpartisipasi dalam membina suatu “Kebudayaan” dan “Peradaban”. Apalagi orang-orang
non muslim juga banyak menyumbangkan karya budayanya. Pada masa klasik memang
terwujud apa yang dinamakan dengan kesatuan budaya Islam. Akan tetapi pada masa
sesudahnya, yaitu pada periode pertengahan dan periode modern, sudah terdapat
“Kebudayaan-kebudayaan” dan “Peradaban-peradaban” Islam. Walaupun pada masa
pertengahan umat islam masih memandang bahwa tanah airnya adalah satu, yaitu wilayah
kekuasaan Islam, agama masih dilihat sebagai tanah air dan kewarganegaraan. Hal itu bukan
saja karena terjadi di sintregasi kekuatan politik Islam ke dalam beberapa kerajaan dalam
wilayah yang sangat luas, tetapi terutama karena ungkapan-ungkapan kebudayaan dan
peradaban tidak lagi di ekspresikan melalui satu bahasa. Bahasa administrasi pemerintahan-
pemerintahan Islam sudah berbeda-beda, seperti Persia, Turki, Urdu di India, dan Melayu di
Asia Tenggara. Bahkan, peran Arab sudah jauh menurun. Tiga kerajaan besar Islam pada
periode pertengahan tidak satu pun dikuasai oleh bangsa Arab. Apalagi, karena Islam
disebarkan secara damai, maka Islam dengan sangat toleran memperlakukan kebudayaan
setempat sejauh tidak menyimpang dari prinsip-prinsip ajaran. Bahkan pada mulanya yang
jauh masih terlihat hingga sekarang, ajaran-ajaran Islam yang berkembang di berbagai daerah
terpengaruh oleh kebudayaan lokal. Namun, meskipun sejak periode pertengahan, sudah
terdapat “Kebudayaan-kebudayaan” dan “Peradaban-peradaban” Islam, semuanya masih
dipersatukan oleh islam yang merupakan landasan bersama. Oleh karena itu, “Kebudayaan-
kebudayaan” dan “Peradaban-peradaban” Islam itu dapat disebut dengan “Kebudayaan
Islam” dan “Peradaban Islam”.
Pesatnya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi modern telah
membuka era baru dalam perkembangan budaya dan peradaban umat manusia yang dikenal
dengan era global. Era ini ditandai dengan semakin dekatnya jarak dan hubungan serta
komunikasi antar bangsa dan budaya manusia. Dalam suasana semacam ini tentunya umat
manusia membutuhkan aturan, nilai dan norma serta pedoman dan pegangan hidup yang
universal dan di akui oleh semua bangsa. Hal ini diperlukan demi terciptanya kehidupan yang
aman dan damai diantara mereka dan terjalinnya kerjasama dan tolong menolong antar
mereka guna mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup dan kehidupan manusia di
dunia (Hakim, 2004).
Studi budaya diselenggarakan dengan penggunaan cara-cara penelitian yang diatur oleh
aturan-aturan kebudayaan yang bersangkutan. Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan
yang dipunyai oleh manusia sebagai mahkluk sosial yang isinya adalah perangkat-perangkat
model-model pengetahuan secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan
menginterprestasi lingkungan yang dihadapi, dan untuk mendorong dan menciptakan
tindakan-tindakan yang diperlukan (Suparlan, 1992).
Islam merupakan agama yang diwahyukan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW
sebagai jalan hidup untuk meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Agama islam
disebut juga agama samawi. Selain agama Islam, Yahudi dan Nasrani juga termasuk ke dalam
kategori agama samawi. Sebab keduanya merupakan agama wahyu yang diterima Nabi Musa
dan Nabi Isa As sebagai utusan Allah Swt yang menerima pewahyuan agama Yahudi dan
Nasrani.
Agama wahyu bukan merupakan bagian dari kebudayaan. Demikian pendapat Endang
Saifuddin Anshari yang mengatakan dalam suatu tulisannya bahwa:
"Agama samawi dan kebudayaan tidak saling mencakup; pada prinsipnya yang satu
tidak merupakan bagian dari yang lainnya; masing-masing berdiri sendiri. Antara
keduanya tentu saja dapat saling hubungan dengan erat seperti kita saksikan dalam
kehidupan dan penghidupan manusia sehari-hari. Sebagaimana pula terlihat dalam
hubungan erat antara suami dan istri, yang dapat melahirkan putra, namun suami
bukan merupakan bagian dari si istri, demikian pula sebaliknya” (Endang, 1996).
Atas dasar pandangan tersebut, maka agama Islam sebagai agama samawi bukan merupakan
bagian dari kebudayaan (Islam), demikian pula sebaliknya kebudayaan Islam bukan
merupakan bagian dari agama Islam. Masing-masing berdiri sendiri, namun terdapat kaitan
erat antara keduanya. Menurut Faisal Ismail, hubungan erat itu adalah bahwa Islam
merupakan dasar, asas pengendali, pemberi arah, dan sekaligus merupakan sumber nilai-nilai
budaya dalam pengembangan dan perkembangan kultural. Agama (Islam) lah yang menjadi
pengawal, pembimbing, dan pelestari seluruh rangsangan dan gerak budaya, sehingga ia
menjadi kebudayaan yang bercorak dan beridentitas Islam (Faisal, 1998).
Islam dan kebudayaan merupakan dua entitas yang berbeda, sehingga keduanya bisa dilihat
dengan jelas dan tegas. Shalat misalnya adalah unsur (ajaran) agama, selain berfungsi untuk
melestarikan hubungan manusia dengan Tuhan, juga dapat melestarikan hubungan manusia
dengan manusia juga menjadi pendorong dan penggerak bagi terciptanya kebudayaan. Untuk
tempat sholat orang membangun masjid dengan gaya arsitektur yang megah dan indah,
membuat sajadah alas untuk bersujud dengan berbagai disain, membuat tutup kepala,
pakaian, dan lain-lain. Itulah yang termasuk aspek kebudayaan (Faisal, 1998).
Proses interaksi Islam dengan budaya dapat terjadi dalam dua kemungkinan. Pertama adalah
Islam mewarnai, mengubah, mengolah, dan memperbaharui budaya. Kedua, justru Islam
yang diwarnai oleh kebudayaan. Masalahnya adalah tergantung dari kekuatan dari dua entitas
kebudayaan atau entitas keislaman. Jika entitas kebudayaan yang kuat maka akan muncul
muatan-muatan lokal dalam agama, seperti Islam Jawa. Sebaliknya, jika entitas Islam yang
kuat mempengaruhi budaya maka akan muncul kebudayaan Islam (Simuh, 2003).
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa hasil pemikiran manusia yang berupa interprestasi
terhadap teks suci itu disebut kebudayaan. Maka sistem pertahanan Islam, sistem keuangan
Islam, dan sebagainya yang timbul sebagai hasil pemikiran manusia adalah kebudayaan pula.
Kalaupun ada perbedaannya dengan kebudayaan biasa, maka perbedaan itu terletak pada
keadaan institusi-institusi kemasyarakatan dalam Islam, yang disusun atas dasar prinsip-
prinsip dalam Alqur`an.
Dialog dalam masyarakat dunia yang kompleks adalah sebuah keniscayaan.
Kosmopolitanisme pada dasarnya memberi ruang penting pada peran individu dalam
membentuk komunitas. Dengan dampak globalisasi pada relasi-relasi sosial,
kosmopolitanisme menegaskan bahwa perbedaan kultur individu, kelompok dan bangsa, dan
dialog antar kelompok tersebut sebagai batu pijakan dalam membangun tatanan komunitas
global. Secara umum kosmopolitanisme merupakan harapan ideal tentang warga dunia tanpa
perbatasan, dan kosmopolitanisme bersumber dari inspirasi pemikiran humanitas rasional,
sebuah nilai yang terkandung dalam diri setiap manusia.
Radikalisme Dalam Islam
Ada beberapa Terminologi Radikalisme dalam Agama, apabila dihubungkan dengan istilah
dalam bahasa Arab, sampai saat ini belum ditemukan dalam kamus bahasa Arab. Istilah ini
adalah murni produk Barat yang sering dihubungkan dengan fundamentalisme dalam Islam.
Dalam tradisi Barat istilah fundamentalisme dalam Islam sering ditukar dengan istilah lain,
seperti: “ekstrimisme Islam” sebagaimana dilakukan oleh Gilles Kepel atau “Islam Radikal”
menurut Emmanuel Sivan, dan ada juga istilah “integrisme, “revivalisme”, atau “Islamisme”
(Abdullah, 2014). Istilah-istilah tersebut digunakan untuk menunjukkan gejala “kebangkitan
Islam” yang diikuti dengan militansi dan fanatisme yang terkadang sangat ekstrim.
Dibandingkan dengan istilah lainnya, “Islam radikal”, yang paling sering disamakan dengan
“Islam fundamentalis”. Sebab istilah fundamentalisme lebih banyak mengekspos liberalisme
dalam menafsirkan teks-teks keagamaan, dan berakhir pada tindakan dengan wawasan
sempit, yang sering melahirkan aksi destruktif, dan anarkis.
Esposito adalah seorang pakar tentang Islam, melakukan elaborasi mengenai istilah
“fundamentalisme” dengan mengasosiasikan dengan tiga hal sebagai berikut: Pertama,
dikatakan beraliran fundamentalis, apabila mereka menyerukan panggilan untuk kembali ke
ajaran agama yang mendasar atau fonadasi agama yang murni; Kedua, pemahaman dan
persepsi tentang fundamentalisme sangat dipengaruhi ole kelompok Protestan Amerika, yaitu
sebuah gerakan Protestan abad ke-20 yang menekankan penafsiran Injil secara literal yang
fundamental bagi kehidupan ajaran agama Kristen; Ketiga, istilah fundamentalisme dan anti
Amerika. Esposito, kemudian berpendapat bahwa istilah fundamentalisme ini sangat
bermuatan politis Kristen dan stereotype Barat, serta mengindikasikan ancaman monolitik
yang tidak eksis. Oleh karena itu, Esposito tidak sependapat dengan kalangan Barat,
mengenai istilah “fundamentalisme Islam”, ia lebih cenderung untuk memakai istilah
“revivalisme Islam” atau “aktivisme Islam” yang menurutnya tidak berat sebelah dan
memiliki akar dalam tradisi Islam (Esposito, 1992).
Pendapat yang kurang lebih sama dengan Esposito, al-Ashmawi menyatakan bahwa,
penggunaan istilah fundamentalisme, tiada lain bertujuan untuk menjelaskan adanya tindakan
ekstrimisme religious dalam Islam, bukan Islamnya yang fundamentalis. Oleh karena itu,
tidak bisa disamakan atau diidentikkan atau disetarakan dengan ajaran agama Islam. Karena
ajaran agama Islam tidak mereferensikan adanya tindakan kejahatan, radikalisme,
ekstrimisme dengan cara-cara anarkis, seperti membom dan bunuh diri (Al-Ashmawi, 1998).
Radikalisme Dalam Islam Era Kontemporer
Bagaimana gerakan radikalisme atau fundamentalisme dalam Islam dewasa ini, era
kontemporer? Tampaknya lebih banyak dipengaruhi respon Islam atas Barat. Walaupun
tematema yang berkaitan dengan inward oriented tetapi menjadi concern dan pilihan
ideologis mereka. Paling tidak ada dua masalah besar yang menjadi perhatian kelompok ini.
Pertama, mereka menolak sekularisme masyarakat Barat yang memisahkan agama dan
politik, gereja, dan masjid dari Negara. Kesuksesan Barat melakukan sekularisasi dianggap
sebagai sesuatu yang berbahaya, karena dapat mengancam Islam sebagai agama yang tidak
hanya mengurusi persoalan akhirat saja, tetapi sekaligus duniawi. Kedua, banyak umat Islam
yang menginginkan agar masyarakat mereka diperintah sesuai dengan al-Qur’an dan syari’at
Islam sebagai aturan bernegara (Amstrong, 2001).
Oleh krena itu, dewasa ini tidak mengherankan, apabila muncul gerakan bawah tanah yang
bercita-cita membangun khilafah Islamiyah dengan mengusung tema-tema kedaulatan Tuhan,
jihad, revolusi Islam, keadilan sosial, dan sebagainya. Tema-tema tersebut diorientasikan
pada masa lampau, khususnya generasi awal Islam sebagaimana yang dipraktikkan ole Nabi
Muhammad saw dan para sahabat. Karena mereka menganggap bahwa masayarakat Islam
dewasa ini menglami kemunduran, karena tidak lagi melakasanakan ajaran agamanya secara
murni. Karenanya agenda di atas harus dilakukan untuk melawan hegemoni Barat sambil
membayangkan romantisme masa lalu, agar kejayaan Islam dapat tercipta di zaman modern
ini.
Bertolak dari pemaparan sejarah tersebut, dapat dikatakan bahwa fundamentalisme dalam
Islam dan juga agama lain, memiliki karakteristik yang membedakannya dengan kelompok
lain. Pertama, skripturalisme, yaitu keyakinan harfiah terhadap kitab suci yang merupakan
firman Tuhan dan dianggap tidak mengandung kesalahan. Kedua, penolakan terhadap
hermeneutika. Teks-teks Al-Qur’an dalam pandangan kelompok ini, harus dipahami secara
literal sebagaimana bunyinya atau redaksinya. Nalar dipandang tidak mampu memberikan
interpretasi yang tepat terhadap teks, bahkan terhadap teks yang satu sama lain bertentangan
sekalipun. Ketiga, penolakan terhadap pluralisme dan relativisme yang dianggap merongrong
kesucian teks. Keempat, penolakan terhadap perkembangan historis sosiologis yang dianggap
membawa manusia semakin jauh dari doktrin literal kitab suci. Kelima, monopoli kebenaran
atas tafsir agama. Kaum fundamentalisme radikal, biasanya cenderung menganggap dirinya
sebagai penafsir yang paling sah dan absah, sehingga cenderung memandang sesat kepada
kelompok lain yang tidak sealiran (Martin, 1992).

Anda mungkin juga menyukai