Anda di halaman 1dari 10

SIMBIOTIK – MUTUALISTIC AGAMA

MATERI KE-6
Kata “Agama” dapat menggugah rasa ingin tahu banyak
kalangan, karena “agama” merupakan suatu fenomena yang
sangat kaya sekaligus sangat kompleks. Agama memiliki
kandungan dimensi: ritual, doktrinal, etika, sosial, dan
pengalaman. Sehingga wacana tentang agama dan
kehidupan beragama selalu akan muncul baik dalam forum
ilmiah maupun percakapan popular.
Francisco Budi Hardiman seorang Doktor der Philosophie melogikakan
bahwa agama mempunyai dimensi yang beraneka ragam. Misalnya, ada
dimensi moral, dimensi metafisika (kenyataan atau keberadaan), dimensi
nilai-nilai, psikologi sosial, dan politik.
Agama dari segi dimensi moralnya tentu memberikan sumbangan yang
besar untuk publik dalam kehidupan bernegara. Tetapi sebaliknya,
dimensi politiknya (agama), dengan menjadikan agama sebagai legitimasi
untuk menduduki jabatan tertentu, tentunya hal ini akan mempermiskin
agama itu sendiri.
Untuk menghindari reduksi semacam itu, agama hendaknya
tampil dengan segala kemajemukannya dan wajahnya yang
asli. Dengan kata lain, terlepas bagaimana agama
didefinisikan dan perspektif apa yang digunakan,
perbincangan agama dapat dipastikan selalu merujuk pada
dua realitas agama yang tidak dapat dipisahkan, kecuali
untuk kepentingan kategorisasi konseptual. Pertama, realitas
yang bercorak teologis; dan kedua, realitas yang bercorak
historis-sosiologis, atau sebagai suatu fenomena
kebudayaan besar
Kedua realitas agama tersebut meniscayakan adanya hubungan timbal balik
(simbiotik-mutualistik), mengingat kebermaknaan agama selalu diukur dengan
kedua realitas itu. Mircea Eliade dalam hal ini menyatakan, bahwa inti agama
adalah adanya dialektika antara yang sakral dan yang profan (duniawi). Karena
agama secara inti dimaksudkan sebagai pegangan (guidance) bagi manusia,
maka agama dengan sendirinya harus memiliki nilai kebenaran absolut (tidak
terbatas, mutlak). Nilai kebenaran relatif tidak mungkin dijadikan pegangan,
karena hanya akan membawa manusia pada absurditas (kemustahilan). Contoh:
aktual dapat tercermin pada kurang mampunya
ideologi-ideologi besar (grand ideology) menyangga eksistensi dan dinamika
sejarah kemanusiaan, seperti runtuhnya ideologi komunisme (paham
atau ideologi yang mengacu pada sistem sosial ekonomi) pada beberapa
dasawarsa belakangan ini.
Penjelasan mendasar runtuhnya ideologi di atas disebabkan
ideologi, sebagian atau seluruhnya, kehilangan dimensi spiritualitas
yang secara primordial (pandangan yang memegang teguh hal-hal
yang dibawa sejak kecil, baik tradisi, adat istiadat, kepercayaan,
maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertama.
tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Sejak mula
perumusan ideologi-ideologi (besar) dunia, seperti Sosialisme,
Komunisme, dan Kapitalisme, berangkat dari paradigma
sekularistik Cartesian. manusia.
Karakteristik paling menonjol dari paradigma Cartesian ini yaitu dikotomisasi
realitas jiwa dan raga, material, dan spiritual. Akibatnya, ideologi tidak
memberikan tempat yang layak terhadap agama sebagai sumber inspirasi
dalam mencandra sejarah dan masa depan umat.
Di sisi lain manusia sesungguhnya sangat membutuhkan pegangan ontologis
yang kukuh, yang dapat memberikan keamanan bagi perjalanan sejarahnya. Ini
dapat dicapai dengan merujuk
pada agama, dalam pengertian dan cakupannya yang universal dan bersumber
dari realitas yang mutlak (ultimate reality). Karena bersumber dari realitas yang
mutlak, maka agama itu sendiri adalah “problem of ultimate concern,” suatu
problem yang mengenai kepentingan mutlak.
Signifikansi agama sesungguhnya tidak hanya dapat dipandang semata-mata
dari dimensi teologisnya. Betapapun agama bersumber dari Tuhan—
karenanya transenden dan absolutistik—agama lebih banyak difungsikan guna
memberikan kesemestaan makna (meaning universe) kehidupan manusia.
Karena itu agama juga bercorak antropologis, dikarenakan eksistensi
primordialistik manusia yang terikat sepenuhnya dengan agama, sebagai
bagian dari dimensi historis-sosiologisnya. Singkat kata, agama akan selau
terlibat dalam dialektika-historis (  seni berpikir secara teratur logis dan teliti)
dengan peradaban manusia.
Dalam kerangka seperti ini, maka tidaklah terlalu berle-
bihan bila A. Mun`im Muhammad Khallaf dalam bukunya Aga-
ma dalam Perspektif Rasional menyatakan bahwa di antara
masalah besar kehidupan manusia yaitu masalah yang berkaitan
dengan agama. Agama mempunyai posisi yang sangat penting
dalam kehidupan manusia, karena akan memengaruhi proses
perkembangan kehidupan manusia terutama dalam masalah
humanistik, moral, etika, dan estetika. Secara makro masalah
keagamaan akan memengaruhi pembentukan pandangan dunia
SELESAI

Anda mungkin juga menyukai