Anda di halaman 1dari 15

Nama : Christianto Tambunan

Samuel Hutabarat

Marius Pratama Simbolon

Ting/Jurusan : V-A/ Teologi

M.Kuliah : Seminar Ilmu Agama-Agama

Dosen : Dr. Eric Jhonson Barus Kelompok: 7

SEKULARISME
(Study Religionum Islam-Kristen tentang Sekularisme, serta Pengaruhnya terhadap
Eksistensi Agama (Islam-Kristen) di Indonesia, dan Implikasinya bagi Kehidupan Umat
Beragama di Indonesia)

I. Latar Belakang Masalah

Membicarakan masalah beragama dalam era sains modern berarti juga membicarakan posisi
agama dalam dunia sekuler. Sains modern dapat berkembang pesat setelah dominasi agama atas sains
diakhiri, dan nalar menang dan unggul ketika berhadapan dengan berbagai akidah dan tabu keagamaan
sejak era Pencerahan di Eropa, era kemenangan hal-hal yang sekuler atas hal-hal yang ilahi dan sakral.
Ketika arus sekularisasi dengan deras melanda banyak bagian dunia yang sudah memasuki zaman
modern, banyak pemikir dalam bidang ilmu-ilmu sosial beranggapan agama-agama akan segera
tersingkir. Dalam menjalani kehidupan di dunia ini, maka segala sesuatunya terus mengalami perubahan.
Zaman terus semakin maju, sehingga manusia juga dituntut untuk maju mengikuti zaman. Dunia atau
zaman ini akan terus maju ke depan, dan menuntut segala sesuatunya tidak statis tetapi dinamis. Akal atau
pengetahuan yang dimiliki oleh manusia membuat manusia itu untuk tetap bergerak maju dikarenakan
ilmu pengetahuan atau teknologi semakin hari semakin maju.

Perkembangan teknologi sangat mempengaruhi kehidupan umat beragama di dunia ini.


Perkembangan tersebut membuat manusia jatuh kepada individualistis, konsumerisme, hedonisme, dan
bahkan karena kecanggihan teknologi sekarang maka manusia cenderung fokus kepada teknologi dari
pada kepada Tuhan. Ilmu pengetahuanlah yang mendapat kedudukan yang paling utama. Zaman yang
terus maju membuat manusia semakin bebas. Banyak orang yang sangat menekankan kehidupan sekuler
dan melupakan kehidupan rohani. Kedua sisi ini sering kali menjadi problem dalam perkembangan
peradapan manusia yang semakin maju karena tuntutan hidup yang semakin kompleks dan menuntut
manusia berpikir semakin keras, dapat membuat manusia lupa akan aspek yang satunya yaitu spritualitas.
Persoalan teologis yang menjadi pergumulan dalam judul ini adalah lahirnya sekularisme yang memiliki
pandangan bahwa pengaruh organisasi agama harus dikurangi sejauh mungkin, dan bahwa moral dan
pendidikan harus dipisahkan dari agama. Manusia yang menganut paham ini berusaha menikmati
kehidupan dan kemajuan selama ini seolah-olah tanpa campur tangan Tuhan, dan menganggap Tuhan
tidak perlu lagi. Oleh karena itulah penyeminar mencoba menggali bagaimana sebenarnya pemahaman
agama Islam dan Kristen dalam kaca mata religionum tentang sekularisasi, serta bagaimana pengaruhnya
terhadap eksistensi agama terkhusus agama Islam dan Kristen di Indonesia, dan implikasinya terhadap
kehidupan umat beragama.

II. Pembahasan
II.1. Pemahaman tentang Sekularisasi dan Sekularisme Secara Umum

Dalam hal ini pengertian yang pertama yang harus dikaji adalah kata sekuler yang artinya bersifat
duniawi atau kebendaan (bukan bersifat keagamaan atau kerohanian). 1 Kata sekuler berasal dari bahasa
Eropa (Inggris, Belanda, atau Perancis) yaitu secular. Dari bahasa latin yaitu saeculum yang artinya
zaman sekarang ini.2 Sehingga kata sekularisasi merupakan proses penduniawian, bersifat terbuka (open-
ended) dalam artian menunjukkan keterbukaan dan kebebasan bagi aktivitas manusia untuk proses
sejarah. Kata “proses” menunjuk pada kelangsungan suatu peristiwa dalam waktu. Karena itu,
sekularisasi dengan tinjauan historisnya tidak mengarah pada alokasi tertentu. Dari hal ini muncullah
paham sekularisme yakni suatu paham atau ideologi yang melepaskan hidup duniawi dari ikatan-ikatan
agama. Sekularisme sangat bertolak belakang dengan sekularisasi, hal ini kelihatan bahwa sekularisme
bersifat tertutup, dalam artian tidak merupakan proses lagi, melainkan sudah merupakan suatu paham atau
ideologi. Sekularisme merupakan gerakan kemasyarakatan yang bertujuan memalingkan manusia dari
kehidupan akhirat dengan semata-mata berorientasi kepada dunia dan juga merupakan paham atau
ideologi yang mencoba membawa kehidupan manusia ke arah yang tidak didasarkan pada ajaran agama
dan juga merupakan paham yang berpendirian bahwa moralitas tidak perlu didasarkan pada ajaran
agama.3

Menurut Cox seperti yang dikutip oleh Paul Schiling dalam bukunya mengatakan bahwa
sekularisme merupakan ideologi yang mengandung ajaran-ajaran yang mengikat, dan sebagai ideologi

1
Tim Penyusun, “Sekuler” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ke- 2, (Jakarta: Balai Pustaka,
1995), 894
2
Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Penerbit Mizan, 2008), 241
3
Nabani Idris, Sekular Ekstrim, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000), 2
bersifat tertutup dan sebagai kemunduran kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek keagamaan serta
paham yang berusaha memarjinalisasi agama ke suatu wilayah yang terprivatisasi. 4

II.2. Hubungan Dialektis Antara Beragama dan Sekularisasi

Dalam praktek-praktek beragama dan sekularisasi telah diperlihatkan beda antara keduanya.
Bahwa beragama dan sekularisasi sering bertemu dalam titik yang disebut dengan konfrontasi. Di satu
pihak, agama memandang dunia sekuler sebagai “bayang-bayang” dari dunia “ideal”, sehingga kurang
begitu dihargai dan diperhatikan. Di pihak lain, sekularisasi menolak agama yang mengklaim dirinya
sebagai penentu segala nilai dan makna dalam tatanan kehidupan ini. Secara fungsional kedua proses
tersebut dipandang sebagai hal yang gagal dalam memolakan bentuk-bentuk lembaga yang saling
berhubungan satu sama lain. Baik agama maupun sekularisasi gagal dalam hubungan pengintegrasian
nilai-nilai kehidupan sosial. Apakah motivasi beragama dan sekularisasi dalam penglihatan fungsional?
Jika dipehatikan secara cermat, keduanya bermuara pada tujuan kesejahteraan umat secara menyeluruh.
Beragama dan sekularisasi pada akhirnya menginginkan tujuan yang setidaknya sama dalam kehidupan
ini. Di sini pulalah terlihat hubungan dialektis yang dimaksud. 5

Sehubungan dengan hal ini, Hendropuspito melihat adanya sikap ambigui (mendua) dari agama
Kristen dan Islam dalam memandang sekularisasi. Pada satu sisi, segi ideal ajaran dan maksud
pendiriannya yaitu memanusiakan manusia, terlihat sikap mendukung. Sementara pada sisi yang lain,
sejarah membuktikan, bahwa gereja pernah menentang cabang-cabang ilmu pengetahuan sekuler yang
dianggap membahayakan ortodoksi serta kewibawaan pimpinan gereja. 6 Sikap demikian juga sebenarnya
juga terdapat dalam agama-agama lain khususnya agama Islam yang terkadang menghindari dunia
sekuler dalam menjalani kehidupan bernegara. Islam yang bercorak fundamentalis biasanya sangat
menentang sekularisasi, karena dianggap sebagai produk budaya Barat. Akan tetapi dalam prakteknya
seringkali pemakaian sarana-sarana dan tujuan-tujuan sekuler menyatu dengan maksud-maksud religius. 7
Hubungan dialektis ini bukan hanya terjadi dalam persfektif sejarah saja. Hubungan itu juga tampak
dalam persfektif teologis. Artinya, ajaran agama secara defacto sering mendorong sekaligus menentang
sekularisasi. Betapa hubungan demikian terlihat jelas ketika agama menjauhkan dirinya dari bidang-
bidang profan atau sekuler sekaligus memakai sarana-sarana empiris atau profan tersebut. 8

II.3. Sejarah dan Perkembangan Sekularisme

4
S. Paul Schiling, Contemporary Continental Theologians, (USA: Abingdon Press, 1996), 102
5
Nabani Idris, Sekular Ekstrim, 10-11
6
Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), 140
7
Ibid, 154
8
S. Paul Schiling, Contemporary Continental Theologians, 120
Sejarah membuktikan bahwa budaya Baratlah yang pertama-tama memproklamirkan sekularisasi
sebagai kecenderungan modern. Sekularisasi yang dimaksud dalam hal ini adalah sebuah peradaban
sebagai kecenderungan modern.9 Istilah sekularisme diperkenalkan pertama kali oleh George Jacob
Holyoake pada tahun 1846. Menurut pendapatnya bahwa sekularisme merupakan suatu sistem etik yang
didasarkan pada prinsip moral dan terlepas dari agama (wahyu) atau supernaturalisme. 10 Ada dua periode
sekularisme yakni:

1) Periode Sekularisme Moderat (abad 17 dan 18)11

Pada periode ini, agama dianggap sebagai masalah individu yang tidak ada hubungannya dengan
negara, tetapi meskipun demikian negara masih berkewajiban untuk memelihara gereja, khususnya
bidang upeti atau pajak. Dalam pengertian ini, dalam pemisahan antara negara dan gereja, tidak dirampas
agama Masehi sebagai agama sekaligus dengan nilai-nilai yang dimilikinya, meskipun ada sebagian
ajarannya yang diingkari, dan menuntut penundukan ajaran-ajaran agama Masehi kepada akal, prinsip-
prinsip alam, dan perkembangannya. Penganut pendapat ini dikenal dengan aliran deisme yaitu yang
mengakui adannya Tuhan sebagai asal muasal alam, akan tetapi mengingkari adanya mukjizat, wahyu,
dan menggolongkan Tuhan ke dalam alam; Tuhan menyerahkan alam kepada nasibnya sendiri. Di antara
para penganut aliran ini terdapat beberapa filsuf yakni:

a. Francois Voltaire (1694-1778), seorang filsuf Perancis yang juga digolongkan sebagai penganut
agama alami.
b. Lessing (1729-1781), seorang filsuf Jerman yang berpendapat bahwa agama bukanlah terminal
terakhir, melainkan sebagai periode batu loncatan menuju kehidupan manusia. Agama berstatus
sebagai medan perkembangan. Tuhan bermaksud memberikan petunjuk manusia kepada
kebenaran, sedangkan kebenaran abadi tidak ada, yang ada hanyalah usaha menuju kepada
kebenaran.
c. David Hume (1711-1776), seorang filsuf Inggris yang ateis. Ia mengingkari adanya roh yang
kekal, tetapi tetap menganggap agama sebagai kepercayaan, agama menurut pandangannya
bukanlah suatu ilmu melainkan hanya suatu institusi belaka.
2) Periode Sekularisme Ekstrem (abad 19 dan 20)12

9
Budhy Munawar-Rachman (Ed), MEMBELA KEBEBASAN BERAGAMA, Percakapan tentang
Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme, (Jakarta: Paramadina, 2010), 83
10
Pardoyo, Sekularisasi dalam Polemik, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993), 21
11
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1983), 12
12
Bernard Delfgaauw, Filsafat Abad 20, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1988), 173
Pada periode ini, agama tidak hanya menjadi urusan pribadi, akan tetapi justru negara memusuhi
agama, begitu pula negara memusuhi orang-orang yang beragama. Periode ini disebut sebagai periode
materialisme atau disebut sebagai revolusi sekuler. Ada beberapa filsuf-filsuf yang termasuk dalam
periode sekularisme ekstrem ini, yakni:

a. Ludwig Feuerbach (1804-1872), seorang filsuf Jerman dan termasuk pencetus revolusi sekuler
terpenting pada abad ke-19. Menurut pendapatnya, manusia dapat mengkaji periode perpindahan
dari agama alamiah yang bersih dan jauh dari pengaruh agama langit, menuju materialisme
ekstrem. Manusia itu merupakan wujud Tuhan tetapi bukan Allah, dan agama yang baru adalah
politik, bukan agama Masehi. Karena itu politik harus dijadikan agama. Allah dan agama
keduanya bukanlah dasar negara, tetapi dasarnya adalah manusia dan kebutuhan. Dengan
demikian negara adalah kandungan semua kenyataan, yakni alam keseluruhan atau kemanusiaan
yang memelihara kenyataan manusia. Dengan begitu agama menjadi musuh negara, dan ateis
praktis ada berkaitan dengan negara.
b. Karl Marx (1818-1883), juga seorang filsuf Jerman dan juga disebut sebagai seorang revolusioner
yang memiliki prinsip yang menghidupkan perkembangan secara terus menerus, menghilangkan
kontradiksi, prinsip kemajuan untuk menghasilkan sesuatu yang baru, walaupun tidak lebih baik.
Marx berpendapat bahwa materialisme historis dialektis bersumber dari aspek pikiran, anti-Tuhan
dan menggunakan ilmiah dalam mencari bukti kebenarannya, dan memerangi sistem kelas
manusia, untuk mencapai kelas masyarakat yang tidak berkelas
c. Lenin (1870-1924), seorang filsuf yang memparktekkan Marxisme. Menurut beliau agama itu
candu rakyat, yang menutup kemajuan berpikir. Meskipun Lenin setuju dengan pendapat bahwa
agama itu urusan perorangan, akan tetapi untuk partai (golongan), anggotanya harus anti-Tuhan,
karena anggotanya yang masih beragama menjadi musuh bebuyutan bangsa. Negara harus netral,
dalam artian bahwa negara tidak memperhatikan agama, tidak ada hubungannya dengan agama.
Agama tidak ada nilainya bagi penduduk, maka tidak perlu menanyakan aliran agama.
II.4. Wajah Sekularisme di Indonesia

Gerakan konservatif adalah gerakan yang khawatir terhadap arus modernisasi dari pihak
modernis yang dicurigai akan menjurus ke sekularisme. Gerakan ini melakukan gerakan mempertahankan
tradisi keagamaan yang telah mendarah daging selama ini. Gerakan dari berbagai macam tarekat, seperti
Tarekat Naqsyabandiyah, Syathariah, Rifa’iyah, dan yang lainnya, adalah contoh-contoh dari gerakan
konservatif. Terkusus di Indonesia contoh dari gerakan ini adalah Nahdatul Ulama (NU) bagi Islam dan
gerakan Puritanisme di kalangan Kristen. Gerakan konservatif merupakan reaksi terhadap gerakan
sekularisme yang kian berkembang di Indonesia, dan meskipun di perkotaan, gerakan konservatif ini
agaknya berkembang dan berusaha mengayomi umat beragama, serta memberikan kepuasan rohani.
Sedangkan dalam gerakan modernis yakni sekularisme, kepuasan rohani ini tidak didapatkan oleh umat
beragama. Pendekatan yang terlalu rasional sehingga cenderung individual dalam mengamalkan dan
memahami ajaran agama mengakibatkan kegersangan dalam gerakan keagamaan. 13

Sepintas gerakan konservatif tampak sama dengan gerakan revivalisme. Bedanya adalah bahwa
gerakan revivalisme berhadapan dengan penjajahan sosial, politik, dan budaya. Sedangkan gerakan
konservatif merupakan jawaban (counter) terhadap gerakan modernisasi atau pembaruan dalam agama
yang dikhawatirkan telah menyeret agama khususnya Islam dan Kristen ke dalam sekularisme. Di tengah
masyarakat yang makin menjurus kepada materialistis dan sekularisme, gerakan konservatif sangat
memiliki peran penting. Hal ini disebabkan bahwa masalah masyarakat modern adalah mengidap alienasi
dari masyarakat sekeliling, kesepian di tengah keramaian, dan kegersangan spritual. 14 Sekularisme di
Indonesia ibarat gurita yang kaki-kakinya menjerat erat semua sisi kehidupan. Hampir tidak ada satu pun
sendi kehidupan yang terlepas dari jeratan sekularisme, mulai dari sisi-sisi kehidupan pribadi sampai
kehidupan bermasyarakat dan bernegara, semua terwarnai oleh ajaran sekuler. 15

1) Kondisi Ekonomi

Kapitalisme sebagai sistem ekonomi juga merupakan anak kandung dari sekularisme. Prinsip-
prinsip yang diajarkannya seperti kebebasan individu, persaingan bebas, mekanisme pasar, dan
sebagainya ternyata telah menghancurkan dunia. Kalaupun ada yang untung, itu hanya dinikmati oleh
mereka yang kuat. Sedangkan mayoritas manusia yang lemah, harus rela menderita dalam kemiskinan,
keterbelakangan, dan penderitaan akibat kapitalisme. Hal ini bisa dibuktikan, baik di Indonesia, AS
maupun di belahan bumi lainnya. Indonesia yang sebenarnya secara resmi menganut sistem ekonomi
pancasila (demokrasi ekonomi) namun pada kenyataannya hal itu cuma sekedar dijadikan hiasan yang
tertulis di undang-undang tanpa diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat. Hal tersebut dapat kita lihat
dengan jelas bahwa kehidupan ekonomi di indonesia lebih condong kepada ekonomi kapitalis di mana
pemilik modal lah yang dapat menguasai pasar, sementara rakyat kecil tetap hidup menderita dalam
belenggu kemiskinan.16
2) Dalam bidang Akhlak (Moral)

13
Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia; Pengantar Antropologi Agama, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2007), 306-307
14
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Binacipta, 2000), 25
15
Uli Parulian, Menggugat Bakor PAKEM: Kajian Hukum Terhadap Pengawasan Agama dan
Kepercayaan di Indonesia, (Jakarta: ILRC, 2008), 24
16
Www.Jerat-Sekularisme-di-Nusantara, diakses pada tanggal 17 Oktober 2020
Sekularisme dalam bidang akhlak artinya membebaskan tersebar luas-nya pornografi; prilaku
seksual yang menyimpang seperti homoseks, lesbian, kumpul kebo; meremehkan norma-norma agama
dan nilai-nilai kesucian. Kaum sekuler menyenangi tersebarnya kemaksiatan dengan dalih kebebasan dan
hak-hak individu. Mereka mengagumi para artis dan selebritis, sebaliknya antipati ter-hadap nilai-nilai
kesucian.17

3) Hubungan antara Laki-laki dan Perempuan

Hubungan antara laki-laki dan perempuan sebelum menikah (pacaran) saat ini sudah merupakan
hal yang biasa dan lumrah dilakukan. Bahkan mereka hampir menganggap hal itu wajib dilakukan, karena
untuk melihat apakah comfortable atau tidak  pasangannya. Mereka sangat khawatir setelah menikah akan
terjadi ketidakcocokan bidang seks di antara mereka. Bahkan setelah menikah mereka masih saling
menanyakan di antara teman mereka apakah mereka cukup puas dalam bidang seks dengan pasangannya.
Mereka tidak memperdulikan sama sekali ajaran agama yang mengharamkan pacaran apalagi sampai
melakukan hubungan seks bebas. Menurut mereka campur tangan ajaran agama hanya menghalangi
mereka untuk mendapatkan pasangan hidup yang comfortable dan juga menghalangi mereka untuk
mendapatkan kesenggangan di masa mudanya. Untuk itu mereka benar-benar tidak perduli akan ajaran
agama dan memisahkannya dengan kehidupan “gaul” anak muda jaman sekarang yang menganggap
pacaran dan melakukan hubungan seks bebas merupakan suatu hal yang wajar dilakukan. 18

4) Media Massa

Mungkin tidak aneh lagi, bayangan sekulerisme bagaikan sebuah kebutuhan trend anak muda
dewasa ini, harus sesuai dengan perkembangan zaman. Kita disajikan dengan gaya hidup ala barat, jauh
dari nilai-nilai budaya Indonesia. Program TV, Media, Internet sebagai wadah untuk mempromosikan
pemikiran yang mereka bawa kepada masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia sudah disuguhkan
melalui media, segala bentuk budaya barat, mulai dari remaja, dewasa dan orangtua. Mereka telah
mengatur sendiri sesuai level yang akan mereka pengaruhi, jadi tidak aneh lagi, kalau seorang wanita
memakai celana pendek, karena sesuai dengan trendnya bukan sesuai dengan ajaran agama. 19
II.5. Study Religionum Islam-Kristen tentang Sekularisme
2.5.1. Agama Islam

Pada dasarnya agama Islam menolak segala bentuk sekularisme dan menganggapnya sebagai
musuh bagi agama, dan semua tokoh muslim sependapat dengan hal ini, karena Islam mempunyai nilai-
17
H. A. Mukti Ali, Ilmu Perandingan Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1965), 56
18
Pardoyo, Sekularisasi dalam Polemik, 67
19
Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia; Pengantar Antropologi Agama, 302
nilai yang antagonistis, yang tidak dapat dikompromikan terhadap sekularisme. Esensi agama Islam
merupakan antitesis terhadap sekularisme, hal ini jelas terlihat bahwa agama Islam secara total menolak
penerapan apapun mengenai konsep-konsep sekularisme, karena semuanya itu bukanlah milik agama
Islam dan berlawanan dengannya dalam segala hal. 20 Agama Islam menerima istilah perkembangan,
karena pada dasarnya Islam itu sendiri up to date. Nilai-nilai yang terkandung dalam Alquran sebagai
wahyu Tuhan sudah mencakup semua itu. Di samping itu, juga karena Islam adalah agama samawi.
Dengan begitu jika dikatakan Islam mengalami perkembangan sejalan dengan proses evolusi dan sejarah
manusia, seperti halnya sekularisasi adalah benar jika dilihat sebagai perkembangan sejarah dalam
pengalaman sejarah kesadaran mereka (kaum sekularis). Namun, manakala mendatangkan kesusahan
ditolak. Sebab itulah perbuatan ini dicela oleh Allah melalui firmanNya yang artinya, “adakah kamu
percaya (beriman) kepada sebahagian kandungan Kitab (al-Quran) dan ingkar akan sebahagiannya?" (QS.
Al-Baqarah: 85).21
Agama Islam bangkit dari iman (faith) pada Allah, pada wahyu-Nya dan pada hari pembalasan.
Sementara sekularisme berangkat dari sikap tidak peduli pada iman dan pada Tuhan. Bagi Islam, semua
perbuatan manusia tidak saja harus dipertanggungjawabkan di dunia ini, melainkan juga akan
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah pada hari penghakiman. 22 Sebaliknya sekularisme tidak pernah
menghubungkan perbuatan manusia di dunia ini dengan pertanggungjawaban di hari kemudian. Islam
mengajarkan bahwa keharusan untuk melakukan tugas-tugas khilafah atau tugas-tugas pembangunan,
yang antara lain bermaksud menciptakan kemakmuran materil, hanyalah sebagai sarana untuk mencapai
tujuan sebenarnya, yaitu kesejahteraan di akhirat. Sedangkan sekularisme berpendapat bahwa
kemakmuran materil adalah kunci kebahagiaan masyarakat. Dengan kata lain, apa yang dianggap oleh
Islam sebagai alat, sebagai sarana, dipandang sekularisme sebagai tujuan akhir. 23

2.5.2. Agama Kristen

Dalam pemahaman agama Kristen, sekularisme merupakan ideologi yang sangat ditentang.
Alasan ini diperkuat dengan dasar teologis yang terambil dalam Yeremia 17: 7, “Diberkatilah orang yang
mengandalkan Tuhan, yang menaruh harapannya pada Tuhan” dan nats ini juga yang mengarahkan agar
setiap manusia selalu mengandalkan kekuatan Tuhan dan hidup dalam persekutuan dengan Tuhan.
Sehingga apa yang kita kerjakan tidak akan sia-sia (bnd. 1 Kor. 15: 58) dan dalam Amsal 3: 5 dikatakan
bahwa manusia dituntut untuk percaya kepada Tuhan dengan segenap hatinya dan manusia juga dituntut
20
Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, (Bandung: Pustaka Mizan, 1981), 33
21
Pardoyo, Sekularisasi dalam Polemik, 87
22
Talal Asad, Formations of The Secular: Christianity, Islam, Modernity, (Stanford, California: Stanford
University Press, 2003), 54
23
Muhammad Al Bahy, Islam dan Sekularisme Antara Cita dan Kenyataan, (Solo: Pustaka Ramadani,
1988), 38
untuk tidak bersandar kepada pengertian manusia itu sendiri. Sekularisme ditunjukkan sebagai hubungan-
hubungan yang esensial antara munculnya modernitas dan hilangnya bentuk-bentuk tradisional kehidupan
keagamaan. Protestanisme yang lahir pada masa reformasi ikut mempercepat timbulnya individualisme
dan kemenangan rasionalistis, telah mengubah watak agama dan tempatnya dalam dunia modern. Dunia
modern yang dimaksudkan adalah dunia kehidupan yang berlandaskan kultur egalitarian dan politik
demokrasi, yakni dunia Barat. Individualisme dan rasionalitas merupakan dua hal yang menjadi penyebab
lahirnya sekularisme, yang di mana individualisme mengancam basis komunal kepercayaan dan perilaku
keagamaan, sedangkan rasionalitas menyingkirkan banyak tujuan agama dan membuat banyak
kepercayaannya tidak masuk akal.24 Individualisme dan rasionalitas bersama-sama membentuk watak
kebudayaan Barat modern. Bersamaan dengan itu, pranata-pranata keagamaan juga berevolusi. Dalam
sejarah Eropa sendiri gereja dan sekte-sekte akhirnya berubah menjadi denominasi dan kultus pemujaan
keagamaan yang mencerminkan individualisme yang semakin berkembang dalam kehidupan keagamaan.
Ketika hal ini terjadi, gereja yang universal sebagai “kubah suci” yang merangkumi dan menaungi
segalanya akan lenyap. Maka dari hal inilah sekularisme muncul dan menyingkirkan agama ke wilayah
yang termarjinalkan.25

Berbagai macam faktor pendorong munculnya sekularisme adalah dinamika yang ditimbulkan
oleh kapitalisme industrial, gaya hidup yang ditimbulkan oleh produksi industrial, pengaruh ilmu
pengetahuan modern yang meresap ke berbagai sektor kehidupan sosial dan infrastruktur praktikal di
dalam kehidupan sosial.26 Pada masa lampau humanisme sering diartikan sebagai pandangan hidup, yang
menempatkan manusia di pusat dan menyingkirkan Allah dari dunia. Dewasa ini pun ada orang merasa
bahwa tidak ada tempat bagi Tuhan di dunia ini, yang riil dan berarti hanyalah dunia, semua yang lain
termasuk agama adalah khayalan manusia. Sikap inilah yang disebut sekularisme. Memang orang
beriman juga mengakui bahwa “langit kepunyaan Tuhan, dan bumi telah diberikan-Nya kepada anak-
anak manusia ”(Mzm. 115: 16). Tetapi dengan demikian tidak dilupakan bahwa Tuhanlah yang
“menjadikan bumi dan menciptakan manusia di atasnya” (Yes. 45: 12; lih. Yer. 27: 5). Manusia
ditempatkan di bumi “untuk mengusahakan dan memeliharanya” (Kej. 2: 15), tidak untuk membuatnya
menjadi pusat kehidupannya. Asas dan dasar kehidupan manusia adalah keyakinan bahwa orang tercipta
untuk memuji, menaruh hormat dan mengabdi kepada Allah Tuhan kita. Pujian, hormat, dan pengabdian
kepada Tuhan pertama-tama dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, lebih khusus dalam kasih kepada
sesama. Itu tidak berarti bahwa manusia juga tidak secara khusus mengungkapkan sikap itu dalam bentuk
yang khusus, yang lazim disebut ibadat dan agama atau bidang sakral. Hanya saja agama dan kebaktian
24
Steve Bruce, Religion in the Modern World: From Cathedrals to Cults, (Oxford: Oxford University,
1996), 230
25
Ioanes Rakhmat, Beragama dalam Era Sains Modern, (Jakarta: Pustaka Surya Daun, 2013), 5-6
26
Steve Bruce, Religion in the Modern World: From Cathedrals to Cults, 231
atau bidang sakral perlu dikurangi dan dibuat sekular kembali. Itu yang disebut desakralisasi atau
sekularisasi. Sekularisasi ini tidak sama dengan sekularisme, sebab tujuannya bukanlah menghapus segala
bentuk sakral, tetapi hanya membatasi.27 Dari penjelasan ini, jelas terlihat bahwa pada dasarnya agama
Kristen menganggap bahwa sekularisasi adalah sebagai proses sosial yang mau membatasi bidang sakral
pada proporsi yang sebenarnya. Dalam perkembangan sejarah, suatu proses sekularisasi sering tidak dapat
dihindarkan, bahkan kadang-kadang malah diperlukan. Namun dari pihak lain tidak dapat disetujui
pendapat bahwa agama hanyalah soal batin dan pribadi melulu. Ada segi sosialnya juga. Oleh karena itu,
agama mempunyai tempat dalam masyarakat. Agama Kristen dan agama Islam memiliki pemahaman
yang sama tentang sekularisme tersebut, bahwa agama Kristen sangat menentang paham sekularisme. 28

2.6. Pengaruh Sekularisme terhadap Eksistensi Agama (Islam-Kristen) di Indonesia

Meletakkan agama sebagai aspek sentral dalam mendukung modernisasi merupakan suatu proses
yang tidak bisa dielakkan, bahkan merupakan proses kemajuan umat manusia. Meletakkan agama sebagai
faktor utama dalam pengendalian sekularisasi, sebab modernisasi yang terimplikasi sekularisasi, jika
pengendalian atau peran agama, dapat mengarah kepada semakin berkembangnya ideologi sekularisme.
Persoalannya sekarang adalah bagaimana keberadaan agama terhadap proses sekularisasi, bagaimana
agama terkhusus Islam dan Kristen merumuskan ideologinya dalam menghadapi proses transformasi?
Agama tidak mudah diberi definisi atau dilukiskan, karena itu tidak ada definisi agama yang dapat
diterima secara universal, namun agama termasuk kategori hal yang suci. 29 Agama berbeda dengan ilmu
dan filsafat, karena menekankan keterlibatan pribadi. Munculnya perasaan tentang hal yang suci tersebut
antara lain dikuatkan karena, ada rasa takut, kekhawatiran, naluri, dan suatu kekuatan dalam diri manusia.
Agama tumbuh dari kemauan manusia untuk hidup, dan merupakan bagian dari perjuangannya untuk
hidup yang lebih berisi dan agama tumbuh dari kesadaran manusia terhadap dunia yang lebih ideal, yang
lebih memberikan arti kepada hidupnya. Dari hal ini dapat diartikan bahwa sepanjang sejarah umat
manusia, agama selalu dibutuhkan, bahkan mempunyai peranan yang sangat penting. Namun
eksistensinya sangat ditentukan oleh bagaimana cara menumbuhkan kemauan dan kesadaran manusia itu
sendiri.30

Sekarang banyak persoalan yang berhubungan dengan eksistensi agama terkhusus agama Islam
dan Kristen. Tantangan yang paling fundamental adalah proses sekularisasi yang mengarah kepada

Konferensi Waligereja Indonesia, IMAN KATOLIK, Buku Informasi dan Referensi, (Yogyakarta: Penerbit
27

Kanisius, 1996), 192


28
Ibid, 193
29
Harold H. Titus, dkk, Persoalan-persoalan Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 413
30
Pardoyo, Sekularisasi dalam Polemik, 132
sekularisme, karena peranan agama semakin dikikis, dan hampir seluruh sendi-sendi kehidupan
masyarakat berbuat tidak sesuai dengan aturan keagamaan. 31
2.7. Implikasinya bagi Kehidupan Umat Beragama di Indonesia

Agama itu menggantungkan antara yang terhingga dengan yang tak terhingga. Hal ini bukan
karena keterbatasan realitas Tuhan. Tetapi karena keterbatasan manusia sebagai makhluk rasional yang
bersifat terhingga. Oleh karena itu, bukan berarti realitas Tuhan atau realitas agama yang terbatas
sifatnya, akan tetapi semata-mata karena keterbatasan akal pikiran manusia untuk menggapai yang ilahi.
Kedudukan yang sangat jauh antara eksistensi Tuhan dan manusia adalah dari abstraksi manusia terhadap
perbedaan ketidakterbatasan sifat Tuhan dan keterbatasan sifat manusia. Dalam kaitan ini, ide tentang
perkembangan atau perubahan terefleksikan dalam berbagai ide tentang bagaimana melaksanakan ajaran
agama dalam masyarakat. Hal ini berkaitan pula dengan kesadaran bahwa manusia pada dasarnya bersifat
terbatas. Justru keterbatasan sifat manusia inilah titik kelemahan yang harus disadari, yaitu bahwa
manusia tidak mungkin akan mampu bergerak sebebas-bebasnya, meskipun dengan akal pikirannya yang
bebas.32 Manusia itu harus tetap berpegang pada agama yang telah diyakininya, meskipun hidup di
tengah-tengah arus globalisasi atau arus modernitas. Dengan akal pikiran atau rasio yang diberi Tuhan,
manusia dapat memecahkan setiap persoalan secara rasional, bahkan dapat mengungkapkan rahasia ayat-
ayat Tuhan yang terbentang di alam semesta ini secara rasional pula, akan tetapi bukan rasionalistis.
Rasional dan rasionalistis adalah dua hal yang berbeda. Rasional berarti menggunakan logika akal
pikiran, sedangkan rasionalistis berarti telah memutlakkan akal pikiran, dan berarti pula sudah menganut
paham rasionalisme. Inilah yang justru dilarang dalam agama. Agama menganjurkan penggunaan akal
atau rasio, tetapi tidak mengagungkannya.33

Dalam konteks Indonesia yang berada pada era modernitas, kesadaran akan ajaran agama yang
diyakininya adalah sangat penting dan signifikan, karena ajaran agama yang pada dasarnya memang
sudah up to date, sesuai dengan perkembangan. Dari hal inilah nantinya akan meminimalisir atau bahkan
menghapuskan ide-ide sekularisme. Apabila kita konsekuen terhadap ajaran agama universal yang telah
dianut, dan menyadari realitas yang ada (yakni modernitas, era globalisasi yang melahirkan sekularisme),
maka benturan-benturan negatif yang mencoba menarik umat beragama menjauh dan bahkan menolak
agama akan dapat diantisipasi atas dasar kualitas spritualitas umat manusianya. Oleh karena itulah perlu
disadari untuk lebih meningkatkan aspek kualitas spritual ketimbang aspek materil yang bersifat
destruktif.34 Beranjak dari pemahaman sekularisme tersebut yang menekankan bahwa moralitas, etika,

31
Ioanes Rakhmat, Beragama dalam Era Sains Modern, 10
32
Harun Nasution, Filsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), 35-36
33
Pardoyo, Sekularisasi dalam Polemik, 175
34
Muhammad Kamal Hassan, Modernisasi Indonesia, (Jakarta: LSI, 1987), 25
dan spritualitas tidak bersumber dari ajaran agama, dalam konteks Indonesia jelas dirumusakan dalam
GBHN 1999 (Garis-garis Besar Haluan Negara) bahwa agama-agama bertugas memberi landasan moral,
etika, dan spritualitas bagi pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Lebih konkrit lagi,
bahwa prinsip itu diungkapkan sebagai salah satu asas pembangunan nasional di mana keimanan dan
ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa diharapkan dapat menghindarkan bangsa Indonesia dari
berbagai kecenderungan bahaya sekularisme. Tetapi perumusan saja tidaklah cukup. Hal ini harus
ditindaklanjuti dengan implementasi yang tidak saja verbalitas dan formalitas, tetapi sungguh-sungguh
masuk ke dalam persoalan mendasar yang dihadapi umat manusia yang merupakan keprihatinan bersama
dan terutama agama.35 Kerukunan umat beragama merupakan masalah fundamental yang dicetuskan
pendiri bangsa. Kalau kerukunan umat beragama pecah maka niscaya keberadaan NKRI juga akan
terganggu dan terpecah. Generasi muda mempunyai pilihan untuk mencerminkan politik Pancasila yang
mengandung nilai-nilai dasar kemanusiaan masyarakat Indonesia. Cerminan dari nilai-nilai mendasar
manusia bisa terlihat langsung pada perumusan Pembukaan UUD 1945. Deklarasi yang mendudukkan
negara Indonesia sebagai negara berdasarkan Pancasila, menunjukkan bahwa Indonesia bukan negara
sekuler dan juga bukan negara berdasarkan praktek politik agama tertentu. “Pancasila bukan agama, tetapi
dalam Pancasila terkandung nilai-nilai keagamaan. Penetapan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai
prinsip pertama kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat menunjukkan pengakuan negara
terhadap bentukan dari perumusan asumsi dan definisi tentang agama. 36

III. Analisa Seminaris

Sekularisasi memang merupakan fenomena khas dalam dunia Kristen di Barat. Faham
sekularisme yang menjadi akar kebudayaan barat itu bersifat eksfansif sehingga membutuhkan proses
untuk menjadikan segala sesuatu sekuler, proses itu adalah sekularisasi Sekularisme merupakan sebuah
paham yang berisi pernyataan bahwa urusan keagamaan itu tidak bisa dicampuradukkan dengan urusan
pemerintahan, duniawi, keduanya terpisah. Islam tidak bisa menerima paham sekularisme ini karena
paham ini tidak sesuai bahkan bertentangan dengan ajaran agama Islam. Karena agama Islam sendiri
merupakan agama yang di dalamnya terkandung akidah dan syariat, yang mana syariat itu tidak bisa
terlepas dari Negara. Sedangkan sekularisme memisahkan antara kehidupan agama dan dunia. Paham ini
juga tidak mementingkan keberadaan Tuhan, maka paham ini tidak bisa diadopsi oleh Islam. Sama halnya
dengan agama Kristen yang memang sangat menentang paham sekularisme ini. 37 Kita menyaksikan

35
A. A. Yewangoe, Agama-agama dan Kerukunan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), 67
36
Muhammad Kamal Hassan, Modernisasi Indonesia, 27
37
Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia; Pengantar Antropologi Agama, 307
bahwa kehidupan beragama bangsa Indonesia dewasa ini sedang semarak. Kenyataan ini benar, paling
tidak kelihatan dari peningkatan jumlah para pengunjung rumah-rumah ibadah, dan makin bertambahnya
jumlah gedung-gedung ibadah yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia. Tetapi apakah semangat dan
jiwa agama itu sungguh-sungguh merasuki dan menguasai perilaku serta tindak-tanduk masyarakat
Indonesia, masih tetap menjadi pertanyaan yang sukar dijawab. Kalau benar bahwa kehidupan beragama
berkorelasi erat dengan perilaku seseorang dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, maka kasus-
kasus seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta berbagai perangai buruk seperti suka memanipulasi,
tidak peduli pada nasib orang lain, tidak disiplin dalam hidup, akan mudah dihindari dalam kehidupan
sehari-hari. Tetapi memang persoalan inilah yang tetap akan menjadi pergumulan bersama, yang justru
semakin intens dihadapi dalam kehidupan modernitas dengan hasil-hasil ilmu dan teknologi yang
cenderung menciptakan berbagai alienasi dalam kehidupan umat manusia (alineasi dengan alam
lingkungan, dengan sesama, dan bahkan dengan diri sendiri) tetap merupakan tantangan yang tidak ringan
bagi agama-agama untuk memberikan jawaban-jawaban yang tepat. 38
Sebagaimana kondisinya di berbagai belahan dunia lain, di Indonesia arus sekularisasi yang
ditandai dengan lahirnya sekularisme ada bersama dengan arus desekularisasi; dan dalam kondisi yang
seperti ini, tentu saja setiap usaha untuk menjadikan masyarakat Indonesia dapat beragama dalam konteks
sains modern merupakan usaha yang relevan, penting, berat, dan mendesak. Beragama dalam konteks
arus sekularisasi ataupun sains modern bisa membuat para agamawan bertindak keliru menjadikan kitab
suci mereka sebagai buku sains, lalu mereka membangun “sains skriptural” yang sama sekali bukan sains;
tindakan yang keliru semacam ini haruslah dicegah. Kontras dengan hal itu, beragama dalam konteks arus
sekularisasi haruslah berarti mendekonstruksi agama-agama secara menyeluruh, dan merekonstruksinya
dalam dialog dengan sains modern, dan dalam bingkai parameter-parameter sains. Lewat langkah-langkah
inilah, kita dapat dengan kreatif dan proaktif mempertemukan arus sekularisasi dan arus desekularisasi,
sehingga dapat meminimalisir dan bahkan mencegah lahirnya sekularisme tersebut. 39 `
IV. Kesimpulan

Dari uraian di atas maka kita peroleh beberapa kesimpulan penting yang dapat kita pegang
sebagai landasan hidup sebagai umat beragama, yakni:

1) Sekularisme sangat bertolak belakang dengan sekularisasi, hal ini kelihatan bahwa
sekularisme bersifat tertutup, dalam artian tidak merupakan proses lagi, melainkan sudah
merupakan suatu paham atau ideologi

38
A. A. Yewangoe, Agama-agama dan Kerukunan, 69
39
Ioanes Rakhmat, Beragama dalam Era Sains Modern, 28
2) Istilah sekularisme diperkenalkan pertama kali oleh George Jacob Holyoake pada tahun 1846
yang menurutnya bahwa sekularisme merupakan suatu sistem etik yang didasarkan pada
prinsip moral dan terlepas dari agama (wahyu) atau supernaturalisme
3) Islam menolak segala bentuk sekularisme dan menganggapnya sebagai musuh bagi agama,
dan semua tokoh muslim sependapat dengan hal ini, karena Islam mempunyai nilai-nilai yang
antagonistis, yang tidak dapat dikompromikan terhadap sekularisme dan sama halnya dengan
agama Kristen yang juga sangat menentang segala bentuk sekularisme
4) Dalam GBHN 1999 (Garis-garis Besar Haluan Negara) bahwa agama-agama bertugas
memberi landasan moral, etika, dan spritualitas bagi pembangunan nasional sebagai
pengamalan Pancasila

V. Daftar Pustaka

Agus, Bustanuddin, Agama dalam Kehidupan Manusia; Pengantar Antropologi Agama, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2007
Al Bahy, Muhammad, Islam dan Sekularisme Antara Cita dan Kenyataan, Solo: Pustaka Ramadani, 1988
Al-Naquib Al-Attas, Syed Muhammad, Islam dan Sekularisme, Bandung: Pustaka Mizan, 1981
Asad, Talal, Formations of The Secular: Christianity, Islam, Modernity, Stanford, California: Stanford
University Press, 2003
Bruce, Steve, Religion in the Modern World: From Cathedrals to Cults, Oxford: Oxford University, 1996
Delfgaauw, Bernard, Filsafat Abad 20, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1988
Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1983
Hendropuspito, Sosiologi Agama, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991
Idris, Nabani, Sekular Ekstrim, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Binacipta, 2000
Konferensi Waligereja Indonesia, IMAN KATOLIK, Buku Informasi dan Referensi, Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 1996
Madjid, Nurcholis, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Penerbit Mizan, 2008
Muhammad Kamal Hassan, Modernisasi Indonesia, Jakarta: LSI, 1987
Mukti Ali, H. A., Ilmu Perandingan Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1965
Munawar-Rachman, Budhy (Ed), MEMBELA KEBEBASAN BERAGAMA, Percakapan tentang
Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme, Jakarta: Paramadina, 2010
Nasution, Harun, Filsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1985
Pardoyo, Sekularisasi dalam Polemik, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993
Parulian, Uli, Menggugat Bakor PAKEM: Kajian Hukum Terhadap Pengawasan Agama dan
Kepercayaan di Indonesia, Jakarta: ILRC, 2008
Paul Schiling, S., Contemporary Continental Theologians, USA: Abingdon Press, 1996
Rakhmat, Ioanes, Beragama dalam Era Sains Modern, Jakarta: Pustaka Surya Daun, 2013
Tim Penyusun, “Sekuler” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ke- 2, Jakarta: Balai Pustaka,
1995
Titus, Harold H., dkk, Persoalan-persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1984
Yewangoe, A. A., Agama-agama dan Kerukunan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002
Sumber Internet
Www.Jerat-Sekularisme-di-Nusantara, diakses pada tanggal 17 Oktober 2020

Anda mungkin juga menyukai