Anda di halaman 1dari 21

Sekularisme Politik di Indonesia Serta Hubungannya Dengan

Perumusan Dasar Negara Pancasila


Nasywa Tsabita Amelia
Universitas Darussalam Gontor
432022518072

Pendahuluan
Sekularisasai terjadi diberbagai bidang kehidupan manusia sebagai sebuah fenomena
sosial. Melalui proses westernization dan modernization, sekularisasi terjadi pada wilayah-
wilayah sosial, politik, pendidikan, ekonomi, dan sebagainya.1 Dalam wilayah politik,
sekularisasi biasa dikenal dengan istilah Desacralization of Politics, yaitu pembebasan wilayah
politik dari unsur-unsur rohani atau agama.2
Indonesia merupakan negara beragama dengan Islam sebagai agama mayoritas dan
merupakan pemeluk islam terbesar di dunia, maka sudah tentu ketakwaan menjadi unsur
penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia. Hal ini
menjadikan nilai-nilai agama dalam bernegara dan berpolitik bukan hanya sebagai sila pertama
dalam Pancasila namun juga dijadikan landasan dalam segala aspek kehidupan.
Namun kesadaran masyarakat akan adanya sekularisme dalam sistem politik dan
kenegaraan di Indonesia sangatlah minim. Selain dikarenakan rendahnya pemahaman
masyarakat tentang sekularisme, perhatian dan kesadaran mereka terhadap hal-hal keagamaan
juga tergolong rendah. Kebijakan pemerintah pada saat ini perlahan-lahan juga memasuki
proses sekularisasi dalam beberapa bidang. Contohnya dalam kasus beberapa waktu lalu
dimana pemerintah akan mengeluarkan peraturan yang secara tidak langsung mengandung
dukungan akan LGBT, yang tentu saja mendapat pertentangan dari banyak pihak.
Kasus sekularisme dalam sistem politik suatu negara seperti diatas bukanlah hal yang
patut dianggap remeh, pasalnya pemahaman ini menganggap bahwasannya perkara keagamaan
tidak dapat dicampur adukkan dan disangkut pautkan dengan urusan politik. Padahal dalam
islam, kedua hal tersebut sebenarnya memiliki keterkaitan satu sama lain dan saling
mendukung. Dengan jumlah populasi muslim terbanyak di dunia, masyarakat Indonesia
seharusnya menyadari akan bahayanya pemahaman ini jika sampai masuk ke dalam sistem

1
Peter L. Berger, The Social Reality of Religion, London, Faber and Faber, 1969, h. 108-109
2
Cox menyatakan tiga aspek dalam sekularisme, yaitu Disenchantment of Nature, Desacralization of Politics dan
Deconsecration of Values, lihat Harvey Cox, The Secular City, h. 17-37
politik Indonesia yang pada dasarnya memang memiliki toleransi tinggi namun tetap patuh dan
taat dengan agama yang dianut oleh masing-masing masyarakatnya.
Menurut Endang Saifuddin “Islam sejalan dengan sekularisme dalam hal yang sama-
sama memperhatikan masalah dunia akan tetapi secara prinsip menolak sekularisme karena
pemusatan perhatian paham ini hanya kepada masalah dunia telah secara sadar memalingkan
muka dari agama atau wahyu Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Dan umat islam menentang
sekularisasi proses yang membawa masyarakat semata-mata berhaluan dunia dan semakin
memalingkan muka dari nila-nilai dan noram-norma Ilahi yang abadi.3
Dengan kembali melihat bagaimana para pendiri negara membuat ide tentang dasar
negara hingga pro dan kontra dalam pengusulan dasar negara yang kita gunakan hingga saat
ini, penulis melakukan analisis untuk mengetahui apakah negara Indonesia dapat dikatakan
sebagai negara sekuler yang akan dijabarkan dalam makalah ini.

A. Pengertian Sekularisme
Istilah sekularisme berawal pada pertengahan abad 194 digunakan oleh dunia Barat yang
merujuk pada kebijakan khusus terhadap pemisahan gereja dari negara. Secara etimologi,
sekularisme berasal dari bahasa latin ‘saeculum’ yang memilki dua arti konotasi yaitu waktu
dan ruang. Waktu menunjukan kepada pengertian ‘saat ini’ dan ruang menunjuk kepada
pengertian ‘dunia’. Dalam kamus The New International Webster’s Comprehensive Dictionary
of the English Dictionary sekularisme atau Secularism berarti ‘hal-hal yang terkait dengan
keduniaan dan menolak nilai-nilai spiritual’ sedangkan Secularize : proses keduniaan, proses
untuk menuju sekuler : perpindahan dari kesakralan menuju kesekuleran. 5 Oleh orang Barat
Kristen, pengertian sekuler diterjemahkan kedalam Bahasa Arab dan menjadi ‘almany yang
memilki arti laysa min arbab al-fann aw al-hirfah.
Secara bahasa, ia berarti sebuah konsep paham yang hanya berfokus pada kehidupan saat
ini dan di dunia saja, tanpa melihat dan menaruh perhatian pada hal-hal yang berbau spiritual
dan ghaib seperti kehidupan setelah kematian yang merupakan pokok dari ajaran agama.6

3
Endang Saifuddin Ansori, Wawasan Islam, Pokok-Pokok Pemikiran tentang Islam, Jakarta, Rajawali Press, 1991
4
Istilah sekularisme baru muncul pada abad ke-19 khususnya melalui karya George Jacob Holyoake, yang
mendifinisikan sekularisme sebagai sistem etik yang didasarkan pada prinsip-prinsip moral alami (duniawi) dan
terlepas dari agama atau prinsip supernatural. Pardoyo, Sekularisasi dalam Polemik, Jakarta, Grafiti, 1993
5
The New International Webster's Compeherensive Dictionary of the English Languange., Chicago, Trident Press
International, 1974, h. 1138
6
Taqiyuddin An-Nabhani, Peraturan Hidup dalam Islam, Bogor, Pustaka Tariqul Izzah, 2001, hal. 41
Sekularisme juga memiliki pengertian sebagai fashluddin ‘anil haya yaitu memisahkan antara
perkara agama dengan perkara kehidupan.
Secara terminologi sekularisme sering diartikan sebagai sebuah konsep yang
memisahkan antara negara atau perkara politik dan agama atau religion. Paham ini
beranggapan bahwa negara adalah sebuah lembaga yang mengurusi segala aspek tatanan hidup
masyarakat, sedangkan agama menjadi lembaga yang hanya mengatur hubungan manusia
dengan Tuhan. Maka, menurut konsep paham sekuler, negara dan agama memiliki sisi dan
peranan masing-masing yang tidak dapat saling berkaitan dan saling bertolak belakang satu
sama lain. Masing-masing sisi tersebut bagaikan kutub magnet yang tidak dapat disatukan dan
harus berjalan pada jalurnya sendiri-sendiri. Dalam Ensiklopedi Britani, sebagaimana dikutip
oleh Dr. Yusuf Qardhawy, bahwasannya :

Sekularisme adalah sebuah gerakan kemasyarakatan yang bertujuan memalingkan


manusia dari kehidupan akhirat dengan semata-mata beroriantasi kepada dunia. Gerakan ini
dilancarkan karena pada abad-abad pertengahan, orang sangat cenderung kepada Allah dan
hari kiamat dan menjauhi dunia. Sekularisme tampil untuk menghadapinya dan untuk
membawa kecenderungan manusia yang pada abad kebangkitan, orang menampakkan
ketergantungannya yang besar terhadap aktualisasi kebudayaan dan kemanusiaan serta
kemungkinan terealisasinya ambisi mereka terhadap dunia.7

Dalam Ensiklopedi Indonesia, sekuler memiliki pengertian “suatu paham dimana orang,
golongan, masyarakat berhaluan dunia, artinya semakin berpaling dari agama, atau semakin
kurang memerdulikan nila-nilai atau norma-norma yang dianggap kekal dan sebagainya.8
Terdapat perbedaan pengertian dan artian dalam sekularisme dan sekularisasi. Jika
sekularisme, sebagaimana yang telah dijabarkan diatas, merupakan paham yang muncul
dengan terpisahnya urusan poltik atau negara dengan urusan agama, sedangkan sekularisasi
merupakan ‘proses’ pemisahan antara urusan negara dengan urusan agama atau pemisahan
antara urusan dunia dan urusan yang berbau akhirat atau ghaib. Dilihat dari sudut pandang
pengetahuan, sekularisasi berarti pembebasan manusia dari agama dan metafisika atau
terlepasnya dunia dari pengertian yang berbau religius dan tidak rasional. Dari adanya
pembebasan ini, manusia akhirnya memfokuskan perhatiannya pada dunia dan pada masa yang
sedang dijalaninya.

7
Dr. Yusuf Qardhawy, Op Cit., hal. 2
8
Hasan Shadily, Ensiklopedia Indonesia, Jilid 5, Ichtar Baru-Hoeve, Jakarta, 1984, h. 3061
Sekularisasi muncul sebagai dampak dari adanya proses modernisasi yang terjadi pada
masa pencerahan.9 Ini terjadi di dunia Barat ketika penalaran akan agama (The Age of Religion)
digantikan dengan penalaran menggunakan akal atau The Age of Reason. Masyarakat sekuler
hanya berpandangan dan memikirkan tentang kehidupan duniawi dan benda-benda seputar
materi.10 Akibat dari adanya sekularisasi, lama-kelamaan masyarakat akan terlepas dari nilai-
nilai agama dengan sendirinya dan berkembanglah kehidupan yang sekuler.
Holyoake, tanpa mengandung unsur merendahkan atau mengkritik kepercayaan akan
beragama, menggunakan istilah sekularisme untuk menjelaskan tentang pandangannya yang
mendukung tatanan sosial terpisah dari agama. Ia berpendapat bahwa “Sekularisme adalah
suatu sistem etik yang didasarkan pada prinsip moral alamiah dan terlepas dari agama-wahyu
atau suprenaturalisme” (Secularism is an ethical system founded on the principle of natural
morality and independent of revealed religion or supranaturalism). Definisi yang diberikan
Holyoake bahwa sekularisme adalah suatu sistem etik yang didasarkan pada prinsip moral
alamiah dan terlepas dari agama wahyu atau supranaturalis tersebut dapat diartikan secara lebih
luas, bahwasannya sekularisme dapat menunjang kebebasan beragama, dan kebebasan dari
pemaksaan kepercayaan, serta tidak mengagung-agungkan agama tertentu.11
Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa kata sekular,
sekularisasi, dan sekularisme memiliki arti dan maknanya masing-masing. Kata sekular dari
kata seuculum diartikan sebagai waktu dan tempat yang berlaku pada masa sekarang.
Sedangkan sekularisme berarti sebuah ideologi atau pemahaman tentang pemisahan urusan
dunia dan urusan agama dan kata sekularisasi diartikan sebagai proses dari sekularisme itu
sendiri.

B. Awal Mula Kemunculan Faham Sekuler di Dunia


Pemikiran sekuler muncul pertama kali di dunia Barat, tepatnya pada abad pertengahan
dan disebut dengan The Dark Age. Abad ini menjadi abad kegelapan bagi dunia Barat karena
kehadiran dan paksaan doktrin gereja bertentangan dengan rasio dan pengetahuan para
ilmuwan dan ahli pikir pada masa itu. Gereja menganggap kafir dan menganiaya siapapun yang
menyampaikan teori ilmu yang bertentangan dengan ajaran gereja.12

9
Ismail M. Syukri, Kritik Terhadap Sekularisme (Pandangan Yusuf Qardhawi)
10
Happy Susanto, Sekularisasi Dan Ancaman Bagi Agama, Jurnal Tsaqafah, 1427, Vol. 3, No. 1, h. 54.
11
Kasmuri, Fenomena Sekularisme, Jurnal Al-A’raf, 2014, Vol.XI. No.2, h. 90
12
Ismail Al-Kilany, Sekularisme : Upaya Memisahkan Agama dari Negara, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta Timur,
1993, h. 111-112
Hal ini terjadi atas ide dan pemikiran para aktivis gereja yang memutuskan bahwa
“Hanya merekalah yang berhak memahami dan menafsirkan kitab suci. Mereka menolak setiap
pemikiran yang datang dari luar yang berusaha memahami atau menafsirkannya.”13 Kondisi
ini mengakibatkan interpretasi yang subjektif tergantung pada kepentingan-kepentingan para
aktivis gereja, meskipun hasilnya akan merugikan orang lain, karena doktrin ini menjadi
kebenaran yang mutlak di mata mereka.
Sebagai akibatnya, banyak bermunculan pemahaman-pemahaman yang salah terhadap
kitab Injil yang cenderung menyeleweng dari ajaran kebenarannya. Sebagai contoh tentang
masalah jamuan makan untuk Tuhan. Acara seperti ini merupakan hal baru yang tidak
diajarkan dalam kitab Injil, tidak dilakukan oleh orang-orang Kristen pada periode sebelumnya,
pun tidak terdapat dalam kitab-kitab suci sebelumnya. Diterangkan bahwa pada jamuan
tersebut orang-orang Kristen memakan roti dan meminum arak pada hari raya Paskah. Orang-
orang gereja mengumpamakan roti sebagai tubuh Almasih dan arak sebagai darah sucinya yang
tertumpah. Barangsiapa yang makan roti dan minum arak itu maka Almasih telah masuk
kedalam badannya dengan darah dan dagingnya.14
Gereja mewajibkan masyarakat untuk menerima anggapan ini dan melarang mereka
untuk membangkang. Jika memang terjadi pembangkangan atau penolakan maka mereka akan
dikeluarkan dari kelompok gereja, karean dianggap telah kafir. Masalah ini akhirnya merembet
tidak hanya pada masalah agama melainkan juga pada masalah alam dan kehidupan. Orang-
orang gereja mengeluarkan pendapat dan teori-teori geografi, sejarah, astronomi, dan fisika
yang juga dianggap suci, tidak boleh dibantah, tidak boleh didiskusikan, tidak boleh dilakukan
eksperimen, dan tidak boleh ada pendapat lain.15 Karena pada hakikatnya mereka sebenarnya
tidak memilki ilmu selain yang ada pada mereka, untuk itu mereka tidak mau mengakui hasil
pemikiran yang lain walaupun pemikiran itu sesungguhnya benar. Setiap aktivitas selain yang
mereka hasilkan dianggap sebagai aktivitas yang tertolak dan tercela.
Sementara para ilmuwan terus-menerus dengan keberanian mereka, menolak pendapat
gereja dan menjelaskan secara terang-terangan kesalahan pendapat yang mereka utarakan. Hal
ini menimbulkan reaksi gereja untuk melakukan tindakan-tindakan penyiksaan. Hal ini
dikemukakan oleh Maurice Bucaille, bahwa di dalam dunia Kristen selama beberapa abad,
kekuasaan gereja selalu menentang perkembangan ilmu. Gereja selalu menjatuhkan hukuman
kepada siapa saja yang mengembangkan ilmu pengetahuan. Sehingga banyak para ilmuwan

13
Ibid., h. 112
14
Ibid., h. 112
15
Ibid., h. 112
yang menemui ajal mereka dengan cara disiksa dan dibakar atau mereka dipaksa memohon
ampunan. Dalam hal ini kisah Galileo menjadi salah satu yang termahsyur. Ia dijatuhi hukuman
mati karena mengkaji penemuan Copernicus tentang rotasi bumi yang bertentangan dengan
Taurat.16
Pada abad ke-16, dimulailah pemikiran yang terbebas dari beban yang selama ini
dipikulkan oleh gereja yang telah membelenggu kebebasan berpikir dan kajian ilmiah selama
abad pertengahan, setelah orang-orang Kristen dari bagian barat Eropa mengadakan
pembaharuan gereja dan menghentikan segala penyimpangan yang dilakukan oleh orang-
orangnya dan menciptakan hubungan yang harmonis dengan seluruh dunia Kristen. Karena
pada masa itu gereja banyak mencampuri urusan negara dan memegang kekuasaan politik yang
lebih besar.17
Abad ke-18 dianggap sebagai zaman Pencerahan (Aufklarung). Pada abad ini pemikiran
sangat dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan alam. Salah satu gejalanya terjadi di Inggris dan
ditandai dengan munculnya Deisme, yaitu suatu faham yang mengakui adanya Wujud Agung
yang menciptakan alam semesta ini yakni “Tuhan”, tetapi setelah alam ini diciptakan Tuhan
telah memasukkan hukum-hukum alam kedalamnya untuk menentukan nasibnya sendiri.18
Karena sifatnya yang revolusioner, kemunculan paham ini masih belum jelas, hanya
secara etis sekularisme muncul di Inggris pada 1864. Ketika Gerorge Jacob Holyoake
menjauhkan diri dari gereja dan bahkan anti pada Kristen. Karena gereja dianggap kurang
memiliki simpati sosial. Dia mengalihkan perhatiannya pada petualangan politik dimana ia
berperan sebagai misionari sosial.19
Namun secara global, faham ini muncul sejak terjadinya revolusi Perancis tahun 1789.20
Pendapat ini muncul karena yang menjadi tolak ukur sekularisme adalah ilmu pengetahuan
yang berkembang secara otonomi, tanpa adanya interfensi doktrin agama. Dikemukakan juga
oleh Juergensmeyer, bahwa "Revolusi Prancis mengambil banyak aspek revolusi religius, di
mana ilmu pengetahuan dan hukum alam dicurahkan untuk memerangi gereja." 21 Revolusi
inilah yang dapat menyingkirkan para pemimpin agama. Mereka dijauhkan dari medan

16
Ibid., h. 113
17
Mark Juergensmeyer, Menentang Negara Sekular, Penerbit Mizan, Bandung, 1998, Hal. 41
18
Harun Hadiwijaya, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1983, h. 30
19
James Hastings, Encyclopedia of Relligion and Ethic, Vol. XI, New York, h. 384
20
Imam Munawwir, Kebangkitan Islam Dan Tantangan-Tantangan Yang Dihadapi Dari Masa Ke Masa, PT.
Bina Ilmu, Surabaya, 1984, h. 193
21
Mark Juergensmeyer, Loc.Cit
kehidupan, terutama pada sektor hukum dan pemerintahan. Semua ini akarnya dari pemikiran
zaman Renaisans.22 Dengan begitu jelaslah pemisahan agama dari urusan dunia.

C. Fenomena Sekularisme di Indonesia


Terdapat tiga tahapan pemahaman mengenai sekuler di Indonesia. Pertama, negara yang
memisahkan agama dengan politik (urusan kenegaraan), dimana negara tidak boleh ikut
campur dalam persoalan agama. Jadi konsep agama merupakan wilayah pribadi dalam
masyarakat. Kedua, dengan pengertian bahwa negara sekuler adalah negara dimana
masyarakatnya memandang dunia politik secara duniawi dan tidak menganggapnya sebagai
sesuatu yang bersifat sosial. Ketiga, sebagaimana yang dipahami oleh Abdullah Ahmed A.
menurutnya dalam praktek politik terkini, negara sekuler sesungguhnya adalah negara dimana
masyarakatnya berada dalam kondisi menegoisasikan hubungan antara agama dan negara
daripada menyisihkan agama dari ruang publik masyarakat secara rigid.23
Menurut pendapat dari Kuntowijoyo, seorang pemikir Islam dan ahli sejarah dari
Universitas Gajah Mada, Pancasila sebagai ideologi adalah “objektivikasi dari agama-agama.
Pancasila adalah objektivikasi dari Islam, sehingga Pancasila memperoleh dukungan ganda:
yaitu ideologi yang mempunyai “categorical imperative” dan melalui proses internalisasi ia
bisa masuk ke dalam wilayah agama24, apapun agamanya.
Persoalan ini menarik perhatian dan pemikiran dari M. Dawam Rahardjo. Ia merupakan
seorang pemikir muslim yang mendukung secara penuh sekularisme di Indonesia, mengatakan
bahwa Pancasila mengandung unsur “sekularis”. Artinya negara Indonesia bukanlah sebuah
negara teokrasi yang berada di bawah pimpinan agama, terutama ulama. Tetapi negara juga
bersifat positif terhadap agama, karena negara memiliki asas Ketuhanan Yang Maha Esa
dimana negara menjamin kebebasan beragama, negara tidak mencampuri urusan agama, tetapi
melindungi dan memeliharanaya, negara memberi kemudahan untuk segala bentuk kegiatan
keagamaan.25 Diterimanya Pancasila sebagai asas dan ideologi negara merupakan puncak dari
pertentangan dan sekaligus hasil dari kompromi antara berbagai aliran pemikiran yang ada di

22
Marshall G.S. Hudgeston, The Venture of Islam, Vol. 3, The University of Chicago Press, Chicago, 1974, h.
165-223
23
Kasmuri, Fenomena Sekularisme, Jurnal Al-A’raf, 2014, Vol.XI. No.2, h. 98
24
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid: Esai-esai Agama, Budaya dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme
Transendental, Mizan, Bandung, 2001, h. 140
25
M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, Penerbit Mizan, Bandung, 1993 h.
480
Indonesia pada waktu itu. Fungsi terpenting dari diterimanya asas Pancasila tidak lain untuk
menjadi dorongan bagi umat muslim sebagai mayoritas untuk bersikap toleran terhadap
kepercayaan yang lainnya.26

D. Sejarah Perumusan Dasar Negara


Pada mulanya, kemerdekaan hanyalah iming-iming yang diberikan oleh Jepang kepada
bangsa Indonesia agar mau membantu bangsa tersebut dalam melawan sekutu dengan
didirikannya Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia atau disingkat dengan
BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) yang diketuai oleh dr. Radjiman Wedyodiningrat.
Namun kesadaran para pendiri negara akan pentingnya kemerdekaan bagi bangsa pada saat itu
menjadikan hal tersebut menjadi sebuah awal bagi bangsa Indonesia untuk mendapatkan hak
kemerdekaannya. Dalam proses perumusan dasar negara pada saat itu, terdapat beberapa tokoh
yang mengusulkan tentang dasar negara, diantaranya Ir. Soekarno, Moh. Yamin, Ki Bagus
Hadikusumo dan Mr. Soepomo.
Gagasan akan dasar negara disampaikan pertama kali pada 29 Mei 1945 oleh Mr. Moh.
Yamin. Isi dari dasar negara yang diusulkannya memiliki asas-asas tentang kemanusiaan,
ketuhanan, permusyawaratan-mufakat, perwakilan dan kebijaksanaan. Namun dalam
penyampaiannya, belaiu tidak secara langsung menguraikan tentang rincian sila-sila Pancasila.
Bahkan dalam pidato tersebut masih tercampur antara dasar negara, bentuk negara, peradaban
serta tujuan kemerdekaan.27
Selanjutnya pada tanggal 31 Mei 1945, disampaikan gagasan akan dasar negara oleh Mr.
Soepomo. Karakteristik asas-asas akan dasar negara yang disampaikan oleh beliau mengarah
pada paham integralistik, dimana persatuan dan kebersamaan dijunjung tinggi sehingga
penjabaran yang diutarakan dalam pidatonya juga cenderung mengarah pada kebersamaan.
Dengan tiga teori besar : (1) Teori negara perseorangan, (2) Paham negara kelas, (3) Paham
negara integralistik.
Pada sidang BPUPKI selanjutnya, tepatnya pada 1 Juni 1945, Ir. Soekarno
menyampaikan gagasannya akan dasar negara yang sesuai dengan keadaan dan kondisi bangsa
sekaligus masyarakat Indonesia melalui lima sila besar yang mencakup segala aspek
kemasyarakatan yaitu nasionalisme (kebangsaan Indonesia), internasionalisme (peri

26
Kasmuri, Fenomena Sekularisme, Jurnal Al-A’raf, 2014, Vol.XI. No.2, h. 99
27
Prof. Dr. H. Kaelen,MS, Pendidikan Pancasila, 2016, h. 30
kemanusiaan), mufakat (demokrasi), kesejahteraan sosial, dan ketuhanan Yang Maha Esa
(ketuhanan yang berkebudayaan). Kelima sila tersebut kemudian diberi nama sebagai
Pancasila, namun jika seandainya kelima sila tersebut tidak diterima, maka beliau telah
menyiapkan ‘Tri Sila’ yang berisi tentang (1) Sosio-Nasionalisme, (2) Sosio-Demokrasi, dan
(3) Ketuhanan Yang Maha Esa. Beliau menyatakan bahwa Pancasila selain sebagai dasar
filsafat negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia atau ‘Philosofhische grondslag’ juga
sebagai pandangan dunia yang setingkat dengan aliran-aliran besar dunia atau sebagai
‘Weltanschauang’ dan atas dasar itulah didirikan negara Indonesia.28
Kemudian dibentuklah panitia kecil yang beranggotakan sembilan orang diantaranya Ir.
Soekarno, Wachid Hasyim, Mr. Muh Yamin, Mr. A. Maramis, Drs. Moh. Hatta, Mr. Soebardjo,
KH. Abdul Kahar Muzakir, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan KH. Agus Salim. Panitia ini
bertugas merancang Undang-Undang Dasar yang terdiri atas tiga bagian (1) Pernyataan
Indonesia merdeka, yang berupa dakwaan di muka dunia atas penjajahan Belanda, (2)
Pembukaan yang didalamnya terkandung dasar negara Pancasila, dan (3) Pasal-pasal Undang-
Undang Dasar.29
Setelah dirasa cukup melakukan tugasnya, maka BPUPKI dibubarkan dan dibentuklah
Panitia Periapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau dalam Bahasa Jepang disebut ‘Dokuritsu
Zyunbi Inkai’. Berbeda dengan BPUPKI yang masih memiliki perwakilan anggota dari Jepang,
panitia ini beranggotakan dua puluh satu orang dari bangsa Indonesia sendiri dengan susunan
keanggotaan sebagai berikut :

1) Ir. Soekarno (Ketua), 2) Drs. Moh. Hatta (Wakil ketua), 3) dr. Radjiman
Wediodiningrat, 4) Ki Bagus Hadikoesomo, 5) Oto Iskandardinata, 6) Pangeran Purbojo,
7) Pangeran Soerjohamidjojo, 8) Soetardjo Kartohamidkoko, 9) Prof. Dr. Soepomo, 10)
Abdul Kadir, 11) Drs. Yap Tjwan Bing, 12) Dr. Mohammad Amir (didatangkan dari
Sumatra), 13) Mr. Abdul Abbas (didatangkan dari Sumatra), 14) Dr. Ratulangi
(didatangkan dari Sulawesi), 15) Andi Pangerang (perwakilan dari Sulawesi), 16) Mr.
Latuharhary, 17) Mr. Pudja (didatangkan dari Bali), 18) A. H. Hamidan (didatangkan dari
Kalimantan), 19) R. P. Soeroso, 20) Abdul Wachid Hasyim, 21) Mr. Mohammad Hassan
(didatangkan dari Sumatra).30

28
Ibid., h. 33
29
Ibid., h. 37
30
Ibid., h. 39
Pada tanggal 17 Agustus 1945, tapatnya pada hari Jumat di Jalan Pegangsan Timur No.
56 Jakarta, jam 10 WIB pagi, diproklamirkanlah Proklamasi kemerdekaan oleh Ir. Soekarno
didampingi oleh Bung Hatta dan disahkanlah sila-sila yang terkandung dalam Pancasila yang
telah disepakati sebelumnya berbunyi, “Ketuhanan dengan menjalankan syariat islam bagi
pemeluk-pemeluknya, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” sesuai dengan yang tertera pada Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945 alinea ke empat.
Namun bunyi dalam Pancasila sila pertama menimbulkan perdebatan karena
mendapatkan beberapa tuntutan dari wakil yang mengatasnamakan masyarakat Indonesia
Bagian Timur yang menyatakan keberatan atas tujuh kata setelah kata “Ketuhanan” yaitu
“menjalankan syariat-syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Mereka tidak menyetujui
bunyi sila pertama tersebut karena menurut mereka, masyarakat Indonesia adalah masyarakat
yang majemuk dan beragam yang tidak hanya memeluk agama islam saja namun juga terdapat
pemeluk-pemeluk agama lainnya.
Untuk menghindari adanya perpecahan, maka disepakatilah bahwa bunyi sila pertama
dalam Pancasila sebagaimana yang kita ketahui hingga saat ini berubah menjadi “Ketuhanan
Yang Maha Esa” dan telah tertulis dalam amandemen Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke-
4.

E. Kaitan Peristiwa Perumusan Pancasila Dengan Sekularisme


Masuknya ideologi-ideologi dunia ke Indonesia dimulai pada permulaan abad ke 19.
Secara umum, ada dua macam bentuk ideologi, yang pertama disebut dengan ideologi universal
dimana agama menjadi tonggak atau penentu utama dalam bernegara, dan yang kedua adalah
ideologi sekuler yang dengan jelas memisahkan urusan kenegaraan dengan segala urusan yang
berbau keagamaan dan jangan sampai agama menjadi tonggak atau penentu dalam segala
kegiatan kenegaraan, dalam artian negara bebas dari semua aturan agama.
Walau pada akhirnya tidak menimbulkan perpecahan, namun dari peristiwa perumusan
Pancasila, terutama pada perumusan Pancasila sila pertama terlihat jelas perdebatan yang
terjadi diantara para pendiri negara. Sebagian besar pendiri negara yang merupakan seorang
muslim menghendaki bahwa negara Indonesia akan menjadi negara yang bercorak islam
namun disisi lain beberapa menginginkan bahwa corak negara Indonesia adalah negara yang
nasionalis. Konstruk yang mengharuskan bahwa Indonesia bercorak islam karena sifat islam
yang holistik dan kenyataannya agama itu dianut, diterima, dan diakui oleh sebagian besar
masyarakat Indonesia. Tetapi atas dasar pertimbangan bahwa Indonesia adalah negara yang
secara sosio-religius bersifat mejemuk, maka dengan pertimbangan persatuan dan kesatuan
konstruk kenegaraan yang kedua menghendaki agar negara Indonesia didasarkan atas Pancasila
dengan sila pertama sebagaimana yang ada pada saat ini.31
Menurut para perumus Pancasila, sudah sepatutnya negara Indonesia ini berjalan sesuai
dengan aturan-aturan keagamaan yang benar sesuai bunyinya “Ketuhanan dengan menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Namun jika bunyi kalimat tersebut diganti, maka
lepaslah segala aturan islam yang seharusnya dipatuhi oleh para pemeluknya dan bisa menjadi
tempat kembali agar masyarakat Indonesia tidak melupakan jati dirinya.
Bagi Agus Salim yang merupakan seorang aktivis dan pemimpin Islam, ungkapan
tersebut sama saja dengan mengangkat nasionalisme sejajar dengan tingkatan agama dan
pandangan seperi itu akan membuat masyarakat mengagung-agungkan tanah air mereka. Jika
demikian adanya maka akibatnya adalah mengikisnya keyakinan tauhid seseorang dan
mengurangi bakti seseorang kepada Tuhan. Sejalan dengan itu, menurutnya prinsip yang harus
dinomorsatukan adalah Islam.32 Karena alasan itu, Agus Salim dengan tegas menyatakan
bahwa nasionalisme harus diletakkan dalam kerangka pengabdian kepada Allah.33
Begitu pula dengan pendapat A. Hassan yang mengkritik hal tersebut. Menurutnya sikap
nasionalistik seperti itu sebanding dengan faham orang-orang arab mengenai Chawinisme
kesukuan (Chasabiyah) sebelum datangnya Islam. Hal ini dilarang dalam islam kerena
merupakan praktek yang akan menjadi pemisah sesama umat Islam.34 Dan dikatakan pula
bahwa kelompok nasionalis tidak akan menjalankan hukum-hukum Islam karena kelompok
tersebut perlu netral pada agama, yaitu tidak perlu mengambil salah satu agama tertentu untuk
dijadikan asas pemerintahannya kelak.35
Ketika Muhammad Natsir dengan latar belakang pendidikan Baratnya yang cukup berarti
ikut melibatkan diri dalam perdebatan ini, maka perseteruan religio-ideologis antara kedua
kelompok menjadi semakin komplek dan sistematis. Mereka tidak hanya terlibat dalam
perdebatan-perdebatan religio-ideologis mengenai watak nasionalisme Indonesia, melainkan

31
Suhandi, Sekularisasi di Indonesia dan Implikasinya Terhadap Konsep Kenegaraan
32
Bachtiar Effendy, Islam dan Negara : TransformasiPemikiran dan Praktek Politik Islam di Indonesia,
Paramadina, Jakarta, 1998, h. 71
33
Suhandi, Sekularisasi di Indonesia dan…., Loc Cit
34
Bachtiar Effendy, Islam dan Negara…., Loc Cit
35
Deliar Noor, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, LP4ES, Jakarta, h. 259
mengembangkannya ke dalam satu tema yang lebih besar yaitu tentang apa yang disebut
sebagai negara Indonesia merdeka modern seperti yang dicita-citakan. Seperti halnya gurunya,
A. Hassan, Natsir juga mengkhawatirkan bergulirnya faham nasionalisme yang dimilki oleh
Soekarno menjadi suatu bentuk “ashabiyah” baru yang berujung pada fanatisme dan memutus
hubungan atau ukhuwah yang mengikat seluruh umat muslimin dari berbagai bangsa.36 Dengan
kata lain, nasionalisme harus didasarkan kepada niat yang suci, ilahiah, dan melampaui hal-hal
yang bersifat material. Karena itu sebagaimana halnya Agus Salim, ia menyatakan bahwa
perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia harus diarahkan atau diniatkan sebagai bagian
dari pengabdian yang lebih tinggi kepada Allah.37
Paham pemisahan Islam dari negara, dan bukan masalah legal-formal antara Islam dan
negara inilah yang menyulut kritik dari beberapa pemikir dan aktivis islam politik, sbegaimana
Muhammad Natsir. Bertolak belakang dengan posisi Soekarno, Natsir menjadi pembela utama
faham penyatuan agama dan negara. Bagi Natsir, Islam tidak hanya terdiri dari praktek-praktek
keagamaan semata, melainkan juga prinsip-prinsip umum yang relevan untuk mengatur
hubungan antara individu dan masyarakat.38
Pada mulanya perdebatan akan ideologi negara yang terjadi antara Soekarno dan Natsir
tidak bermaksud untuk merumuskan konsep-konsep mengenai hubungan agama dan negara
serta mencari jalan keluar dari kedua hal tersebut, melainkan keduanya hanya ingin
menunjukkan posisi-posisi ideologis-politis yang diyakini oleh masing-masing. Mewakili
kelompok nasionalis, Soekarno kurang berhasil memberi unsur keagamaan terhadap
pandangannya mengenai hubungan islam dan negara. Karena itu, meskipun dalam
pelaksanaannya memang sesuai dengan apa yang dicanang-canangkan dan dicita-citakan,
konsepnya masih sangat dibayang-bayangi unsur sekularisme yang dikembangkan oleh
Attaruk.
Terlihat kekalaham umat Islam pada politik dimasa itu. Menjadi sebuah hal serupa
kekalahan walaupun bukan merupakan sebuah pertarungan ideologi, karena kelompok
Nasionalis-Islam yang mengajukan Islam sebagai dasar negara harus menerima dengan lapang
dada Pancasila menjadi dasar negara, sebagaimana yang diajukan oleh kelompok Nasionalis-
Sekuler yang menginginkan sebuah negara netral terhadap keberagaman yang ada di
Indonesia.39

36
Ibid., h. 276
37
Suhandi, Sekularisasi di Indonesia dan Implikasinya Terhadap Konsep Kenegaraan
38
Muhammad Natsir, Persatuan Agama dan Negara. Cipta Selecta, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, h. 429-495
39
Indah Putri Indriany, Islam dan Negara di Indonesia; Pemikiran Politik Abdurrahman Wahid, Tesis Master,
Jakarta, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Program Pascasarjana, Univeristas Indonesia, 2002, h. 3
Beberapa bukti yang mendasari hal ini karena pada beberapa sidang yang dilakukan oleh
BPUPKI dan PPKI, Soekarno menyampaikan perubahan-perubahan terhadap isi dan status
Piagam Jakarta sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Diantara
perubahan yang ada diantaranya adalah :
1. Perubahan kata “Mukaddimah” menjadi “Pembukaan”
2. Bunyi sila pertama pada Pancasila “Berdasarkan kepada Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat-syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”
menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”
3. Perubahan bunyi pada Pasal 6 ayat 1 “Presiden adalah orang Indonesia asli dan
beragama Islam” menjadi “Presiden adalah orang Indonesia asli”
4. Perubahan pada nomor dua juga terjadi pada pasal 29 ayat pertama40
Perubahan-perubahan yang terjadi membawa dampak yang sangat pesat bagi kelompok
Nasionalis-Islam. Pasalnya hal ini sangat merugikan bagi mereka yang sangat menginginkan
sebuah dasar negara yang memiliki nuansa keislaman sangat kental. Namun dengan beberapa
pendekatan yang dilakukan akhirnya Soekarno dapat meyakinkan mereka untuk menerima
hasil dari sidang BPUPKI dan PPKI tersebut.41 Soekarno menjanjikan dibentuknya suatu
departemen atau kementrian agama untuk menampung aspirasi dan kepentingan umat Islam
sebagai kelompok keagamaan terbesar di Indonesia. Namun justru dengan dibentuknya
kementrian agama ini, sekularisasi politik di Indonesia menjadi sesuatau yang tak terelakan. Di
satu sisi, kementrian agama memilki fungsi yang strategis untuk memperjuangkan kepentingan
umat islam. Namun disisi lain hal ini justru berarti menyetarakan dan menyamakan status dan
derajat kementrian agama dengan institusi-institusi dan kementrian yang lainnya. Dengan
begini, institusi kegamaaan tidak lagi dianggap sebagai satu-satunya pemegang otoritas
tertinggi yang mengatur hubungan antara kementrian-kementrian di Indonesia.42

F. Sekularisasi Politik di Indonesia


Selain dalam peristiwa perumusan Pancasila, lebih jauh lagi maka akan ditemukan pada
usaha Belanda dalam menjajah negara Indonesia yang berusaha melumpuhkan kekuatan dan
perlawanan yang dilakukan oleh Bumiputera yang pada dasarnya berlandaskan pada Islam.

40
Ibid, Naskah I, 400-410; Achmad Sanusi, Islam, Revolusi dan Masyarakat, Bandung, Duta Rakyat, 1965, h. 27
41
B.J. Boland, Pergumulan Islam..., h. 40; Endang Saifuddin Anshari, The Jakarta Charter..., h. 41, 39-5
42
Yudi Latif, Dialektika Islam: Tafsir Sosiologis atas Sekularisasi dan Islamisasi di Indonesia, Yogyakarta,
Jalasutra, 2007, h. 17
Pada zaman dahulu, bangsa Indonesia menjadikan islam sebagai pemersatu dalam melawan
dan mengusir Belanda. Dengan berlandaskan pada hal itu muncullah berbagai macam gerakan
yang dilakukan oleh umat islam untuk mengusir Belanda. Hal seperti ini, bagi pihak Belanda
merupakan sebuah ancaman yang harus dengan segera ditumpas dan dihilangkan, sampai pada
keadaan tertentu, Belanda melancarkan serangan-serangan yang memicu peperangan antara
pihak Belanda dengan bangsa Indonesia. Tidak hanya melancarkan serangan sebagai tindakan
penumpasan, pemerintah Belanda juga melakukan tindakan-tindakan yang bersifat tidak
langsung baik secra kultural, sosial, maupun pendidikan. Diantara tindakan yang dilakukan
adalah pembatasan atau bahkan dihapuskannya segala kegiatan milik umat islam yang
beroperasi di Indonesia terutama dalam bidang politik.
Proyek sekularisasi yang dilakukan Belanda dapat terlihat dari keengganan Belanda
untuk memberikan tempat bagi umat islam untuk berjuang dalam bidang politik, baik sebagai
pegawai ataupun birokrat dalam struktur pemerintahan. Dalam masalah pendidikan, Belanda
membuat lembaga pendidikan yang bertujuan untuk menyaingi dan menghancurkan sistem
pendidikan tradisional (Islam) yang telah banyak berkembang umumnya di daerah pedesaan.
Belanda ingin melahirkan sebuah sistem pendidikan dengan mengikuti cara pandang Barat
yang terpisah dari nilai-nilai Islam. Dengan begitu, diharapkan masyarakat menjadi sekuler dan
terpisah dari ajaran Islam. Apa yang diharapkan oleh Belanda pun membuahkan hasil, karena
cukup banyak kaum elit politik atau kaum priyayi yang menyekolahkan anak-anak mereka ke
sekolah-sekolah yang telah didirikan oleh Belanda.43
Dengan keadaan seperti itu, sedikit demi sedikit umat Islam mulai terasing dari dunia
perpolitikan. Kuatnya kekuasaan Belanda dalam urusan politik tanah air membuat umat Islam
terpaksa menarik diri dalam usaha memperjuangkan tanah air. Selain itu, mereka juga
dihadapkan pada sekelompok masyarakat yang lebih mengedepankan nilai-nilai kebangsaan
dan kenegaraan dibandingkan dengan nilai-nilai keagamaan. Kebanyakan dari kalangan ini
merupakan kaum-kaum perwira militer dan kaum priyayi yang terbaratkan yang memang
memilki latar belakang pendidikan Barat. Karena memilki dasar nilai barat yang liberal,
kalangan elit ini seringkali menunjukkan sikap politik yang sekuler dan memusuhi umat Islam.
Benih-benih yang ditanam Belanda ini dapat bertahan hingga masa setelah kemerdekaan.
Setidaknya ada empat kejadian penting yang mencatat akan adanya perdebatan tersebut.
Perdebatan pertama terjadi antara Soekarno dan M. Natsir sebagaimana yang telah dijelaskan

S. Jones, The Contradiction and Expansion of the ‘Umat’ and The Role of the Nahdatul Ulama in Indonesia,
43

New York: Southeast Asia Program Publications, Cornell University, 1984, h. 84


singkatnya pada pembahasan sebelumnya. Lebih detailnya, Soekarno adalah seorang pemikir
yang memperkenalkan Sekularisme pertama kali ke Indonesia.44 Beliau menegaskan
dilakukannya usaha memisahkan Islam dari politik tanah air.45
Perdebatan kedua terjadi dalam sidang BPUPKI dan PPKI dalam rangka menyusun dan
mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945. Perdebatan kali ini membahas tentang struktur dan
bentuk negara, apakah negara Indonesia akan menjadi negara kesatuan atau federal, dan
tentang masalah bentuk pemerintahan, berbentuk republik atau kerajaan, dan persoalan
hubungan antara negara dan agama serta beberapa masalah seputar konstitusi. Secara umum,
kalangan Nasionalis-Islam mengajukan Islam sebagai dasar negara dan begitu pula sebaliknya,
kalangan Nasionalis-sekuler menginginkan negara yang bersikap yang bersikap netral terhadap
agama. Kelompok pertama diwakili oleh beberapa tokohnya seperti Ki Bagus Hadikusumo, A.
Wachid Hasyim, Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan lain-lain,
sedangkan kelompok kedua diwakili oleh Soekarno, Muhammad Hatta, Muhammad Yamin,
Soepomo, A. A Maramis, Ahmad Sobardjo, dan lainnya.46
Perdebatan ketiga terjadi diantara tokoh-tokoh yang terlibat dalam kontroversi hubungan
islam dan negara, diantaranya Nurcholis Madjid dengan HM, dan Rashidi dan Endang
Saifuddin anshari pada tahun 1970-an. Nircholis Majid menjadi tokoh pembaharu di Indonesia
yang menegaskan perlunya perumusan kembali ajaran-ajaran Islam khususnya yang berkisar
pada makna Tuhan, manusia, dunia jasmani, serta keterkaitannya dengan konteks perpolitikan
di Indonesia.47 Di tengah memudarnya kesadaran dan pergerakan umat islam karena
menurunnya semangat yang dimilki oleh mereka,Madjid memunculkan ide gagasannya
mengenai sekularisasi dengan memisalkan dilakukan kebebasan dalam berpikir, keberanian
dalam berijtihad, dan kepercayaan diri umat isalam untuk kembali terlibat dengan ide-ide baru
yang didukung oleh modernisasi. Gagasan akan modernisasi ini memiliki makna temporalisasi
nilai-nilai yang sebenarnya bersifat duniawi dan desakralisasi yang berarti pembebasan umat
Islam dari kecenderungan untuk memberikan kesakralan pada nilai-nilai tersebut.

44
M. Dawam Raharjo, “Pendahuluan,” dalam Budhy Munawwar Rachman, Argumen Islam Untuk Sekularisme:
Islam Progresif dan Perkembangan Diskursusnya, Jakarta, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2010, XXVII
45
Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam; Soekarno versus Natsir, Jakarta Selatan, Penerbit Teraju Refleksi
Masyarakat Maju, 2002, h. 4-5; Ali Abdal-Raziq, al-Islâm wa Usûl al-Hukm, Beirut, Dâr al-Kutub al-Lubnâni,
1966
46
Endang Saifuddin Anshari, The Jakarta Charter of June 1945; a History of the Gentlement’s Agreement between
the Islamic and the Secular Nationalist in Modern Indonesia, Thesis of Master, Montreal, Canada: Institute of
Islamic Studies, McGill University, 1976, h. 6-7; B.J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia (1945-1972),
Jakarta, PT. Grafiti Pers, 1985, h. 10
47
Muhammad Kamal Hassan, Muslim Intellectual Responses to “New Order”Modernization in Indonesia, Kuala
Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka, KementerianPelajar Malaysia, 1982 , h. 89
Ide akan sekularisasi seperti ini tentu saja mendapat tantangan dari M. Rasyidi. Menurut
beliau, pendapat yang diutrakan oleh Madjid merupakan sebuah pemikiran atau pemahaman
yang menganggap kemutlakan akal sebagai sumber kebenaran yang tertinggi dalam setiap
bidang kehidupan duniawi.48 Pemahaman seperti ini mengajarkan bahwa kehidupan duniawi
tidak dapat dijalani melalui perencanaan-perencanaan normatif belaka, namun juga harus
diurus atau diatur oleh perancangan-perancangan ilmiah yang lebih logis dan rasional.
Hasilnya, keberadaan agama mulai tersingkir, sehingga akhirnya tidak lagi memilki fungsi-
fungsi sosial dan politik melainkan dalam bidang-bidang perdebatan saja.49
Perdebatan yang keempat terjadi antara tahun 1997 sampai 1999 dan melibatkan
beberapa tokoh, seperti Denny JA dan Ahmad Sumargono. Denny menyatakan bahwa sebuah
negara harus dibuat sekuler, sebagaimana yang tertulis dalam artikel “Pelajaran dari Turki ;
Mengendalikan Politisasi Agama” yang dimuat oleh Kompas (15/5/1997). Menurutnya saat ini
sedang marak terjadi upaya-upaya politisasi agama atau usaha menggunakan agama untuk
meraih cita-cita atau tujuan politik serta agamanisasi politik atau menjadikan politik sebagau
agama. Dia melanjutkan, bahwasannya politisasi agama adalah memindahkan agama yang
seharusnya menjadi privasi masing-masing individu ke wilayah negara. Tentu saja hal seperti
ini mendapat banyak pertentangan karena dapat menimbulkan benturan-benturan yang dapat
mengancam eksistensi suatu negara yang prular seperti negara Indonesia. Ia menyimpulkan
jika politisai agama menjadi musuh bagi agama dan politik.50
Gagasan seperti ini mendapat penolakan dari beberapa tokoh muslim seperti Ahmad
Sumargono. Ia membantah pernyataan Denny bahwa negara sekuler adalah bentuk negara
terbaik yang mesti digunakan di Indonesia, menurutnya, sekularisme memang mendapat
tempat yang luas dikalangan ilmu-ilmu sosial Barat, akan tetapai, jika dihadapkan pada sebuah
negara dengan mayoritas penduduk yang beragama islam, wacana tersebut akan hilang dengan
sendirinya.51
Pada masa Orde Baru, yaitu ketika Soeharto berkuasa, sekularisasi di Indonesia tetap
terjadi dan semakin berkembang. Dalam wilayah politik, sekularirasi tersebut menjelma dalam
berbagai usaha yang dilakukan pemerintah Orde Baru untuk melemahkan langkah politik umat
islam. Diantara usaha-usaha tersebut adalah melarang didirikanya kembali partai Masyumi,

48
M. Rasyidi, Sekularisme dalam Persoalan Lagi; Suatu Koreksi atas Tulisan Drs. Nurcholish Madjid tentang
Sekularisasi, Jakarta, Yayasan Bangkit, 1972, h. 24
49
Ibid., h. 18-21 dan h. 34-35
50
Denny J.A., A. Sumargono, Kuntowijoyo, et al., Negara Sekuler; Sebuah Polemik, Jakarta, Putra Berdikari
Bangsa, 2000, h. 3-7
51
Ibid., h. 10
pengucilan tokoh-tokoh Masyumi dalam pembentukan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi),
penggabungan seluruh partai islam ke dalam Partai Persatuan Pembanguan, menjadikan
Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi seluruh oerganisasi sosial dan politik di Indonesia dan
lainnya. Dalam keadaan seperti ini, islam dipaksa untuk melepaskan diri dari klaim-klaim
politiknya dan hanya berkutat pada aktivitas-aktivitas etika dan keagamaan saja.52
Dalam bidang hukum, proses sekularisasi yang terjadi adalah ketika organisai-organisasi
islam yang umum di Indonesia mulai dipinggirkan dari kepengurusan Kementrian Agama
Republik Indonesia. Pemerintah Orde Baru menunjuk beberapa tokoh yang berbasis
pendidikan Barat untuk mengisi jabatan tertinggi dalam Kementrian Agama. Diantara tokoh
yang ditunjuk yaitu Mukti Ali, seorang pendidik berlatar Barat yang tidak memiliki hubungan
apapun dengan organisasi islam seperti Nahdlatul Ulama ataupun Muhammadiyah, juga
Alamsyah Ratu Prawiranegara, seorang tantara dalam lingkaran kroni Soeharto yang tidak
memiliki latar belakang keislaman yang jelas.53
Sekularisasi juga terjadi dalam struktur social. Hal ini terjadi bersamaan dengan
berkembangnya proses modernisasi secara pesat di Indonesia pada abad ke-20. Proses
sekularisasi ini berlangsung ketika pusat gravitasi bergeser secara perlahan-lahan dari elit ke
massa. Dalam system keagamaan, pergeseran ini berlaku dari elit ulama menuju bukan ulama.
Seiring dengan menurunnya pengaruh kalangan ulama, peran tokoh bukan ulama
berpendidikan Barat sebagau juru bicara islam terbuka semakin lebar. Terlebih sejak tahun
1970- an, ketika golongan cerdik pandai tersebut muncul, pusat-pusat aktivitas keislaman mulai
berpindah dari sekolah-sekolah islam menuju universitas-universitas sekuler. Dalam konteks
ini, sekilarisasi struktur sosial terletak pada pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim
Indonesia (ICMI) yang dilakukan oleh Orde Baru pada tahun 1990.54
Adapun dalam wilayah perpolitikan yang lebih sempit, yaitu dalam partai politik,
sekularisme menjelma kedalam berbagai bentuk dan indikator. Diantaranya adalah
terpinggirnya kalangan ulama dari wilayah politik, tergusurnya identitas Islam yang biasanya
diwujudkan dalam bentuk-bentuk dan simbol-simbol tertentu, dan juga aksi-aksi ataukebijakan
-kebijakan tertentu yang dilakukan oleh partai-partai Islam dan lain sebagainya.55

52
Muhammad Latief, Islam dan Skularisasi Politik di Indonesia, Jurnal Tsaqafah Vol. 13, No. 1, 2017, h. 12
53
Yudi Latif, Dialektika Islam: Tafsir Sosiologis atas Sekularisasi dan Islamisasi di Indonesia, Yogyakarta,
Jalasutra, 2007, h. 25
54
Ibid., h. 33
55
Muhammad Latief, Islam dan Skularisasi Politik…, h. 13
Penutup
Sudah sepatutnya jika seorang pemimpin adalah orang yang memiliki pengalaman dalam
bidangnya. Seorang pemimpin yang memiliki modal pengalaman yang memadai baik dalam
lingkungan legislatif ataupun administrasi akan lebih menjamin suksesnya sebuah negara
dibawah kepemimpinannya. Namun fenomena yang terjadi pada saat ini, kebanyakan
pemimpin lebih mengejar kepopularitasan dan melupakan tanggung jawab mereka sebagai
pemimpin. Untuk memenangkan pemilu pun mereka menjadikan uang sebagai modal, hal ini
merupakan sebuah kesalahan fatal karena mengenyampingkan kompetensi kepemimpinan dan
manajerial pemerintahan.
Hal seperti diatas pun bisa menjadi bukti bahwa negara Indonesia sudah berada dalam
kondisi sekuler karena para pemimpinnya mengesampingkan urusan agama. Jika sebuah
negara dipimpin oleh seorang pemimpin yang seperti itu dalam kurun waktu yang cukup lama,
maka tidak dapat dihindari jika lama-kelamaan negara tersebut akan kehilangan ideologinya
dan menjadi negara sekuler. Seperti halnya negara Turki yang dipimpin oleh Attaruk,
masyarakat beragama yang dipimpin oleh tokoh sekuler akan mengalami kegundahan dan
merasa tidak nyaman di negaranya sendiri karena jika mereka ingin melakukan kegiatan
keagamaan harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Ini merupakan contoh peristiwa
sekulerisme ekstrem yang pernah terjadi dalam sejarah dunia dan menjadi pelajaran bagi
negara-negara lain yang ingin mencapai kehidupan masyarakat yang damai dengan tidak
menganut ideologi dan paham tersebut dalam menjalankan negaranya.
Pancasila telah menjadi ideologi yang sempurna bagi negara Indonesia. Dengan melihat
keadaan masyarkatnya yang beragam dalam Bhinneka Tunggal Ika, tidak dapat diragukan lagi
jika toleransi menjadi sebuah hal yang sangat penting, namun toleransi yang berlebihan juga
bukanlah hal yang baik. Dalam menyikapi kasus yang telah dan pernah terjadi dimasa lalu
maupun masa saat ini dalam urusan kenegaraan, urusan agama menjadi hal yang sangat penting
sebagai tolak ukur dalam bertindak. Untuk itu, upaya pemisahan anatara urusan dunia dengan
urusan agama baik disengaja maupun tidak dengan bentuk apapun itu, bukanlah hal yang
seharusnya terjadi di negara Indonesia.
Daftar Pustaka

Lathief, Muhammad, 2017, Islam dan Sekularisasi Politik di Indonesia, Jurnal Tsaqafah, Vol.
13, No. I, Darussalam Press, Ponorogo.

Ismail, M. Syukri, 2014, Kritik Terhadap Sekularisme (Pandangan Yusuf Qardhawi), Jurnal
Kontekstualita, Vol. 29, No. I

Kasmuri, 2014, Fenomena Sekularisme, Jurnal Al-A’raf, Vol.XI, No. 2, Sekretariat Fakultas
Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta, Sukoharjo.

Berger, Peter L., 1969, The Social Reality of Religion, Faber and Faber, London.

Ansori, Endang Saifuddin, 1991, Wawasan Islam, Pokok-Pokok Pemikiran tentang Islam,
Rajawali Press, Jakarta

Pardoyo, 1993, Sekularisasi dalam Polemik, Grafiti, Jakarta.

The New International Webster's Compeherensive Dictionary of the English Languange, 1974,
Trident Press International, Chicago.

An-Nabhani, Taqiyuddin, 2001, Peraturan Hidup dalam Islam, Pustaka Tariqul Izzah, Bogor.

Shadily, Hasan, 1984, Ensiklopedia Indonesia, Jilid 5, Ichtar Baru-Hoeve, Jakarta.

Syukri, Ismail M, Kritik Terhadap Sekularisme (Pandangan Yusuf Qardhawi)

Happy Susanto, 1427, Sekularisasi Dan Ancaman Bagi Agama, Jurnal Tsaqafah, volume 3,
nomor 1

Kasmuri, 2014, Fenomena Sekularisme, Jurnal Al-A’raf, Vol.XI. No.2

Al-Kilany, Ismail, 1993, Sekularisme : Upaya Memisahkan Agama dari Negara, Pustaka Al-
Kautsar, Jakarta Timur.

Juergensmeyer, Mark, 1998, Menentang Negara Sekular, Penerbit Mizan, Bandung.

Hadiwijaya, Harun, 1983, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius, Yogyakarta.

Munawwir, Imam, 1984, Kebangkitan Islam Dan Tantangan-Tantangan Yang Dihadap Dari
Masa Ke Masa, PT. Bina Ilmu, Surabaya.

Hudgeston, Marshall G.S., 1974, The Venture of Islam, Vol. 3, The University of Chicago
Press, Chicago.
Prof. Dr. H. Kaelen,MS,, 2016, Pendidikan Pancasila

Suhandi, 2012, Sekularisasi di Indonesia dan Implikasinya Terhadap Konsep Kenegaraan,


Jurnal al-Adyan, Vol VII, No. 2

Effendy, Bachtiar, 1998, Islam dan Negara : Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik
Islam di Indonesia, Paramadina, Jakarta.

Noor, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, LP4ES, Jakarta.

Natsir, Muhammad, 1973, Persatuan Agama dan Negara, Cipta Selecta, Bulan Bintang,
Jakarta.

Indriany, Indah Putri, 2002, Islam dan Negara di Indonesia; Pemikiran Politik Abdurrahman
Wahid, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Program Pascasarjana, Univeristas
Indonesia, Tesis Master, Jakarta.

Sanusi, Achmad, 1965, Islam, Revolusi dan Masyarakat, Duta Rakyat, Bandung.

S. Jones, 1984, The Contradiction and Expansion of the ‘Umat’ and The Role of the Nahdatul
Ulama in Indonesia, Southeast Asia Program Publications, Cornell University, New
York.

Raharjo, M. Dawam, 2010, Argumen Islam Untuk Sekularisme: Islam Progresif dan
Perkembangan Diskursusnya, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.

2002, Soekarno versus Natsir, Penerbit Teraju Refleksi Masyarakat Maju, Jakarta Selatan.

Abdal-Raziq, Ali, 1966, al-Islâm wa Usûl al-Hukm, Dâr al-Kutub al-Lubnâni, Beirut.

Anshari, Endang Saifuddin, The Jakarta Charter of June 1945

1976, History of the Gentlement’s Agreement between the Islamic and the Secular Nationalist
in Modern Indonesia, Thesis of Master, Montreal, Canada: Institute of Islamic Studies,
McGill University.

B.J. Boland, 1985, Pergumulan Islam di Indonesia (1945-1972), PT. Grafiti Pers, Jakarta.

Hassan, Muhammad Kamal, 1982, Muslim Intellectual Responses to “New Order”


Modernization in Indonesia, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajar Malaysia,
Kuala Lumpur.
M. Rasyidi, 1972, Sekularisme dalam Persoalan Lagi; Suatu Koreksi atas Tulisan Drs.
Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi, Yayasan Bangkit, Jakarta.

Denny J.A., A. Sumargono, Kuntowijoyo, et al., 2000, Negara Sekuler; Sebuah Polemik, Putra
Berdikari Bangsa, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai