Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH FILSAFAT UMUM

SEKURALISME DAN PANDANGAN HEGEL DALAM MORALITAS


Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas tengah semsester
mata kuliah Filsafat Umum
Dosen Pengampu : . Ahmad Muhibi, M.Ag

DISUSUN OLEH :

Disusun Oleh :
Muhamad Ridwan - 221310028
Nilna Sifaana - 221310047
AFI 1 B

JURUSAN AQIDAH FILSAFAT ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN DAN ADAB
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN MAULANA HASANUDDIN
BANTEN
TAHUN 2022

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Illahi Rabbi Allah SWT. Yang telah memberikan limpah
karunia dan nikmatnya kepada kita semua yang telah memberikan kesehatan
jasmani dan rohani. Dengan atas izin dan ridho-nya penulis dapat menyelesaikan
tugas makalah ini diwaktu yang tepat. Pembuatan makalah ini untuk memenuhi
tugas mata kuliah Filsafat Umum yang berjudul Sekularisme dan Pandangan
Hegel tentang Moralitas. Serta makalah ini juga untuk menambah wawasan
pembaca dan penulis.

Tak lupa pula penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Ahmad Muhibi
M.Ag. selaku dosen pengampu mata kuliah Filsafat Umum yang membimbing
penulis dalam pengerjaan tugas makalah ini. Juga tak lupa penullis mengucapkan
terimakasih pada kedua orang tua serta teman-teman yang turut berkontribusi
dalam pembuatan makalah sehingga dapat terselesaikan.

Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, baik dari segi
teknik penyajian materi maupun dari segi tulisan. oleh karena itu, penulis
mengharapkan saran dan masukan dari bapak dosen dan para pembaca, sehinnga
dapat diperbaiki dengan lebih baik lagi.

Serang, 12 Desember 2022

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................2

DAFTAR ISI...........................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………………………………………... 4
B. Rumusan Masalah……………………………………………………………….. 4
C. Tujuan Masalah………………………………………………………………….. 4

BAB II PEMBAHASAN
A. SEKULARISME……………………………………………………………….. 5
a. Pengertian dan Perkembangan Sekularisme……………………………. 5
b. Faktor-Faktor pertumbuhan Sekularisme………………………………. 7
c. Periodisasi Sekularisme………………………………………………… 8
B. FILSAFAT HEGEL DALAM MORALITAS DAN STRUKTUR
SOSIAL…………………………………………………………………………. 11
a. Biografi Hegel…………………………………………………………... 11
b. Moralitas dan Struktur Sosial dalam pandangan Hegel………………… 12

BAB III PENUTUP


a. Kesimpulan...............................................................................................17
..................................................................................................................
b. DAFTAR PUSTAKA..............................................................................18

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Belakangan ini teori sekularisasi kembali ramai digugat terkait dengan
meningkatnya pengaruh politik gerakan-gerakan keagamaan di banyak tempat, seperti
Kristen Kanan di Amerika Utara, fundamentalisme Yahudi di Israel, fundamentalisme
Hindu di India, dan fundamentalisme Islam di banyak negara, termasuk di Eropa. Hal itu
juga terkait dengan makin meningkatnya minat orang kepada berbagai jenis spiritualitas,
seperti New Age, yang berbeda dari bentukbentuk lama agama formal. Semua
perkembangan ini tidak saja menggerogoti asumsi-asumsi pokok teori sekularisasi, yang
menujumkan makin merosotnya peran agama di era modern ini, tapi juga rumusan lama
tentang pemisahan gereja dan negara. Inilah momen-momen di mana, “kewajiban
kewarganegaraan” makin bergesekan dengan “tuntutan iman”. Itulah momen-momen
ketika orang-orang, berusaha menyeimbangkan “komitmen keagamaan” mereka dan
“penalaran sekular” mereka. Para ilmuwan sosial terpecahpecah dalam hal apakah proses
sekularisasi mengurangi peran agama dalam kehidupan sehari-hari atau apakah keyakinan-
keyakinan keagamaan besar dunia sedang mengalami kebangkitan besar. Untungnya,
sekumpulan besar bukti-bukti tentang faktor-faktor dasar yang mendorong religiusitas di
dunia belakangan ini mulai tersedia.
Membicarakan masalah moral sama dengan membicarakan masalah baik dan buruk
mengenai perilaku manusia. Namun, sejauh mana perbuatan itu dianggap baik dan sejauh
mana perbuatan itu dianggap buruk? Atas dasar apa baik dan buruk itu ditetapkan?
Bagaimana caranya mengetahui yang benar dan yang salah?Apa patokan untuk mengetahui
yang terpuji dan yang tercela? Apakah sumber yang sebenarnya dari pengetahuan yang
baik dan yang buruk itu?.Moralitas adalah sistem nilai tentang bagaimana kita harus hidup
secara baik sebagai manusia. Sistem nilai ini terkandung dalam ajaran berbentuk petuah-
petuah, nasihat, wejangan, peraturan, perintah dan semacamnya yang diwariskan secara
turun temurun melalui agama atau kebudayaan tertentu tentang bagaimana manusia
harus hidup secara baik agar ia benar-benar menjadi manusia yang baik. Moralitas adalah
tradisi kepercayaan, dalam agama atau kebudayaan, tentang perilaku yang baik dan buruk.
Moralitas memberi manusia aturan atau petunjuk konkret tentang bagaimana ia harus
hidup, bagaimana ia harus bertindak dalam hidup.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penyusunan makalah ini sebagaimana berikut :
1. Apa pengertian Sekularisme
2. Bagaimana kemunculan dan perkembangan Sekularisme
3. Apa sajakah periodisasi Sekularisme
4. Bagaimana pandangan Hegel tentang moralitas dan struktur sosial

4
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui pengertian Sekularisme
2. Mengetahui kemunculan dan perkembangan Sekularisme
3. Mengetahui periodisasi Sekularisme
4. Mengetahui pandangan Hegel tentang moralitas dan struktur sosial

BAB II
PEMBAHASAN
A. SEKULARISME
a. Pengertian dan Perkembangan Sekularisme
Pengertian Sekularisme Secara etimologi sekularisme berasal dari kata saeculum
(bahasa latin), mempunyai arti dengan dua konotasi waktu dan ruang: waktu menunjukan
kepada pengertian sekarang‟ atau kini‟, dan ruang menunjuk kepada pengertian “dunia‟
atau “duniawi‟. Sekularisme juga memiliki arti fashl ad-din ‘anil haya yaitu memisahkan
peranan agama dari kehidupan, yang berarti bahwa agama hanya mengurusi hubungan
antara individu dan penciptanya saja.
Maka sekularisme secara bahasa bisa diartikan sebagai faham yang hanya
melihat kepada kehidupan saat ini saja dan di dunia ini. Tanpa ada perhatian sama sekali
kepada hal-hal yang bersifat spiritual seperti adanya kehidupan setelah kematian yang
nota bene adalah inti dari ajaran agama.2 Sekularisme secara terminologi sering
didefinisikan sebagai sebuah konsep yang memisahkan antara negara (politik) dan
agama (state and religion).Yaitu, bahwa negara merupakan lembaga yang mengurusi
tatanan hidup yang bersifat duniawi dan tidak adahubungannya dengan yang berbau
akhirat, sedangkan agama adalah lembaga yang hanya mengatur hubungan manusia
dengan hal-hal yang bersifat metafisis dan bersifat spiritual,seperti hubungan manusia
dengan tuhan.
Maka, menurut paham sekular, negara dan agama yang dianggap masing-
masing mempunyai kutub yang berbeda tidak bisa disatukan. Masing-masing haruslah
berada pada jalurnya sendirisendiri. Holyoake menggunakan istilah sekularisme untuk
menjelaskan pandangannya yang mendukung tatanan sosial terpisah dari agama, tanpa
merendahkan atau mengkritik sebuah kepercayaan beragama. Holyoake berpendapat
bahwa “Secularism is an ethical system founded on the principle of natural morality and
independent of revealed religion or supranaturalism.” Definisi yang diberikan Holyoake
bahwa sekularisme adalah suatu sistem etik yang didasarkanpada prinsip moral alamiah
dan terlepas dari agama wahyu atau supranaturalis tersebut dapat ditafsirkan secara
lebih luas,bahwa sekularisme dapat menunjang kebebasan beragama, dan kebebasan
dari pemaksaan kepercayaan dengan menyediakan sebuah rangka yang netral dalam
masalah kepercayaan, serta tidak menganak emaskan sebuah agama tertentu. Artinya,

5
perdebatan mengenai sekularisme tidak lagi menyentuh label dan kemasan, tapi
menyentuh isi dan substansi. Di Barat (Eropa) pada abad ke-19 terjadi secara intensif
pemisahan antar hal-hal yang menyangkut agama dan non agama yang kemudian
disebut “ sekularisme”. Sedikit demi sedikit urusan ke duniawian memperoleh
kemerdekaan dari pengaruh Gereja (terutama Gereja Protestan), dengan puncaknya di
mana Gereja tidak berhak campur tangan dalam bidang politik, ekonomi dan ilmu
pengetahuan.
Pengertian ini, kemudian memicu polemik untuk tidak mengatakan pertentangan
antara urusan agama dan non-agama, atau “sekular”. Tetapi, walaupun definisi umum
yang populer seperti itu, dalam perjalanan sejarah konseptualnya, pengertian sekularisme
sebagai konsep pun terus mengalami perkembangan bahkan perubahan sejalan dengan
arus modernisasi yang terjadi di masyarakat Barat, dan kemudian mempengaruhi seluruh
dunia. Dua istilah ini kemudian populer dengan “sekularisasi” dan “ sekularisme.
Sekularisasi diartikan sebagai pemisahan antara urusan negara, atau lebih luas
politik, dan urusan agama; atau pemisahan antara urusan duniawi dan akhirat.
Sekularisasi sebagaimana telah berkembang dalam sejarah menunjukkan arah perubahan
atau pergeseran dari hal-hal yang bersifat adikodrati, teologis menjadi hal-hal yang
bersifat alamiah (kodrati) dan ilmu pengetahuan. Sekularisasi adalah suatu
kecenderungan melihat permasalahan dari sudut duniawi dan kekinian, dengan cara-cara
yang rasional, maupun empiris, seperti ditunjukkan oleh ilmu pengetahuan.
Maka, dilihat dari sudut ilmu pengetahuan, sekularisasi berarti pembebasan
manusia dari agama dan metafisika; atau tepatnya, terlepasnya dunia dari pengertian-
pengertian religius yang suci, non rasional, apalagi pandangan yang bersifat mistis. Dari
pembebasan ini, manusia pun mengalihkan perhatiannya ke arah dunia sini dan waktu
kini terutama melalui ilmu pengetahuan. Akibat dari proses sekularisasi ini, maka dengan
sendirinya masyarakat semakin lama semakin terbebaskan dari nilai-nilai keagamaan atau
spiritual, termasuk bebas dari pandangan metafisis yang tertutup. Akibat dari proses
sekularisasi, secara umum terjadilah diferensiasi nilai-nilai religius. Diferensiasi yang
berkembang antara komunitas sosial dan komunitas religius pada akhirnya memunculkan
anugerah kehidupan yang sekular, dengan suatu tatanan legitimasi religious yang baru.
Menurut Robert N. Bellah, proses diferensiasi ini diterima sebagai dasar konsep “ civil
religion” di Amerika. Ia sendiri lebih suka memandangnya sebagai suatu dimensi
religious yang ada di sepanjang konsepsi-konsepsi tersebut, sebagai “way of life” orang
Amerika. Bellah mencatat:”Walaupun masalah-masalah kepercayaan religius yang
personal, peribadatan dan asosiasi, tegasnya dianggap sebagai masalah-masalah pribadi,
pada saat yang sama, terdapat unsur-unsur orientasi religius yang umum dan tertentu
yang diberi oleh mayoritas besar orang Amerika (mereka) menetapkan suatu dimensi
religious bagi seluruh struktur kehidupan religius Dimensi religius public diungkapkan
dalam seperangkat kepercayaan, simbol-simbol dan ritualritual yang saya sebut civil
religion orang Amerika.
Proses diferensiasi sebagaimana diuraikan oleh Bellah ini dapat membantu proses
pemaknaan wilayah agama dalam pengertiannya yang longgar, di mana agama dapat
melangsungkan eksistensinya dalam ruang publik atau meminjam istilah Bellah di atas

6
civil religion6, tanpa harus memandangnya sebagai seperangkat aturan-aturan atau nilai-
nilai yang dapat menggiring pada pemahaman yang eksklusif dan dogmatis. Salah satu
kekhasan civil religion ini adalah membebaskan dari formalisme kosong, dan berlaku
sebagai suatu wadah pemahaman diri religius nasional yang murni. Dari uraian ini, dapat
disimpulkan bahwa sekularisasi dimaksudkan sebagai pemisahan secara relatif antara
yang profan dan yang sacral dalam hubungan nya dengan ruang publik.

b. Faktor-Faktor pertumbuhan Sekularisme


Pendiri sekularisme adalah George Jacob Holyoake kelahiran Birmingham
Inggris, anak pekerja kasar. Kendatipun pada mulanya berpendidikan agama, kehidupan
remajanya yang diliputi dan ditempa oleh situasi sosial politik di tempat kelahirannya
yang keras, sikap Holyoake berubah, dan akhirnya ia kembali terkenal karena
sekularismenya. Perlu dicatat bahwa pada mulanya, sekularisme ini belum berupa aliran
etika dan filsafat, melainkan hanya merupakan gerakan protes sosial dan politik.8
Sekularisme pertama kali muncul di Eropa. Tapi mulai diperhitungkan keberadaannya
secara politis bersamaan dengan lahirnya revolusi Perancis tahun 1789 M. berkembang
merata keseluruh Eropa pada abad ke-19 M. kemudian tersebar lebih luas lagi ke
berbagai negara di dunia, terutama dalam bidang politik dan pemerintahan, yang pada
abad ke-20 M, dibawa oleh penjajah dan missionaris Kristen.
Muhammad Al-Bahy menjelaskan bahwa yang menimbulkan munculnya
sekularisme adalah sebagai berikut :
1. Terjadinya sekularisme pada abad ke-17 dan ke-18 adalah perebutan
kekuasaan antara negara dan Gereja. Karena itu, pemisahan antara kedua
kekuasaan itu adalah penanggulangan perselisihan baik secara legal atau
filosofis.
2. Yang mendorong sekularisme abad ke-19 adalah pembentukan kekuasaan.
Karena itu, pengertian sekularisme tidak sama dengan paham pemisahan
antara Gereja dan negara, akan tetapi semacam penghapusan paham dualisme
dengan penghancuran agama sebagai awal mula untuk mencapai kekuasaan
tersendiri, yaitu “kelompok Buruh” atau “sosial” atau “negara” atau “partai”.
3. Penelitian terhadap alam dan kemajuan ilmu pengetahuan telah memberanikan
kaum intelek sekuler untuk keluar dari wasiat atau dogma Gereja.
Sedangkan Yusuf Al-Qardhawi menjelaskan, bahwa sebab-sebab kemunculan
sekularisme di dunia Barat Masehi dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: faktor
agama, pemikiran, psikologi, sejarah dan realitas kehidupan empiris. Yaitu (1) Bahwa
agama Masehi menerima dikotomi kehidupan antara Tuhan dan Kaisar. Sesungguhnya di
dalam agama Masehi terdapat dalil-dalil yang mendukung ajaran sekularisme, atau
pemisahan agama dan negara, ataupun antara pemerintahan spiritual dan pemerintahan
dunia. Masehi mengakui dualisme kehidupan ini, ia membagi kehidupan itu menjadi dua
bagian. Pertama, kehidupan untuk Kaisar dari satu pihak, yang tunduk kepada
pemerintahan duniawi, atau pemerintahan negara. Kedua, kehidupan untuk Tuhan dari
pihak lain, yang tunduk kepada kekuasaan spritual, yaitu berada dibawah pemerintahan
Gereja. Pembagian ini tergambar dengan jelas dalam perkataan Al-Masih a.s. seperti

7
yang diriwayatkan oleh Injil: “berikanlah Kaisar apa yang menjadi haknya, dan berikan
pula kepada Tuhan apa yang menjadi haknya”. (2) Agama Masehi tidak memiliki
perundang-undangan bagi masalah kehidupan. Dari sisi lain, Masehi tidak memiliki
perundangundangan tersendiri bagi masalah-masalah yang ada di dalam kehidupan, yaitu
perundang-undangan yang berfungsi untuk memantapkan berbagai bentuk interaksi di
dalam kehidupan, mengatur hubungan yang ada di dalamnya, dan meletakan dasar-dasar
standar tertentu yang adil untuk segala aktivitas dalam kehidupan. Agama Masehi hanya
memiliki konsep spiritual dan akhlak, yang dimuat di dalam nasehat-nasehat Injil dan
dalam perkataan-perkataan Al-Masih. (3) Kekuasaan Agama Masehi. Bagi sekularisme,
apabila ia memisahkan agama Masehi dari negaranya atau memisahkan negaranya dari
agamanya, pada dasarnya ia tidak menghilangkan agamanya dan tidak pula mengisolasi
kekuasaannya. Sebab, agamanya memiliki kekuasaan tersendiri yang tegak berdiri. Ia
mempunyai kekuatan, kedudukan, finansial, dan tokoh-tokoh agama. Dengan demikian
terdapat dua kekuasaan di dalam Masehi, yaitu kekuasaan agama, yang dijalankan oleh
pendeta dan tokoh “Akliurus”, dan juga kekuasaan duniawi, yang dijalankan oleh raja
maupun presiden serta para tokoh dan pembantupembantu pemerintahan. (4).Sejarah
Gereja, Sesungguhnya sejarah hubungan gereja dengan ilmu, pemikiran dan kebebasan
adalah sebuah sejarah yang menakutkan. Gereja pernah berada dalam kebodohan yang
memusuh ilmu pengetahuan, ia juga pernah bergelut dengan khurafat sehingga
menentang pemikiran, juga pernah bertindak sewenang wenang dan menentang
kebebasan, pernah berkonspirasi dengan kaum feodalistik menentang rakyat sehingga
rakyat pun bangkit melakukakan revolusi terhadapnya. Mereka menuntut kebebasan dari
para petinggi pemerintahan secara langsung, dan mereka pun menganggap bahwa
pengisolasian agama dari negara adalah sebuah upaya bagi rakyat di dalam menentang
keterkungkungan mereka.
c. Periodisasi Sekularisme
Untuk lebih memudahkan pemahaman mengenai perkembangan permasalahan
tentang sekularisasi dalam kerangka pemikiran kefilsafatan di Eropa, secara garis besar
Muhammad Al-Bahy membagi dua periode sekularisme yaitu : (1). Periode pertama,
periode sekularisme moderat yaitu antara abad ke-17 dan ke-18 dan (2). Periode kedua,
periode sekularisme ekstrem, yaitu yang berkembang pada abad ke-19.
 Periode Sekularisme Moderat
Pada periode sekularisme moderat, agama dianggap sebagai masalah individu
yang tidak ada hubungannya dengan negara, tetapi meskipun demikian, negara
masih berkewajiban untuk memelihara geraja, khususnya bidang upeti atau pajak.
Dalam pengertian ini, dalam pemisahan antara negara dan gereja, tidak dirampas
agama Masehi sebagai agama sekaligus dengan nilai-nilai yang dimilikinya,
meskipun ada sebagian ajarannya yang diingkari, dan menuntut penundukan
ajaran-ajaran agama Masehi kepada akal, prinsip-prinsip alam, dan
perkembangannya. Penganut pendapat demikian dikenal dengan penganut aliran
“Deisme” yang mengakui adanya Tuhan sebagai asal muasal alam, akan tetapi
mengingkari adanya mukjizat, wahyu dan menggolongkanTuhan kedalam “alam”;
Tuhan menyerahkan alam kepada nasibnya sendiri. Diantara para penganut aliran

8
ini terdapat: Nama (1) Francois Voiltare (1694-1778), filsuf Perancis yang
digolongkan sebagai penganut agama alami (2). Lessing (1729-1781) , filsuf
Jerman yang berpendapat bahwa agama bukanlah terminal terakhir, melainkan
sebagai periode batu loncatan menuju kehidupan manusia. Agama berstatus
sebagai medan perkembangan. Tuhan bermaksud memberikan petunjuk manusia
kepada kebenaran, sedang kebenaran abadi tidak ada, yang ada hanyalah usaha
menuju kepada kebenaran. Filsuf-filsuf lain yang termasuk dalam periode
sekularisme moderat antara lain : (1). John Locke (1632-1704), filsuf Inggris yang
berpendapat bahwa negara yang modern telah menghapuskan semua wasiat Gereja.
Karena memandang kepercayaan agama sebagai hasil pemikiran perorangan, dan
persaudaraan dalam agama sebagai hubungan bebas yang harus dipikul dan
dipertahankan selama tidak mengancam kebinasaan dan kehancuran undang-
undang negara.(2). G.W. Leibniz (1646- 1716), filsuf Jerman. Ia sependapat
dengan Locke, bahwa agama menjadi masalah perorangan yang hanya berurusan
dengan individu saja tanpa ada suatu hubungan dengan negara. Bahkan dialah yang
menganjurkan penghapusan sebagian ajaran agama Masehi yang tidak sesuai
dengan akal. (3). Thomas Hobbes (1588- 1679), filsuf Inggris yang berpendapat
bahwa negara itu merupakan “akad” atau kesepakatan dimana negara berkewajiban
menggiring manusia secara paksa ke dalam akad tersebut. Karena itulah Hobbes
menekankan pentingnya kewajiban negara. Ia menjadikan negara sebagai sebagai
sumber undang-undang, moral dan agama. Bahkan untuk pemeliharaan kekuatan
dan kewibawaan negara, dianjurkan agar negara berbuat sesuai dengan apa yang
disenangai atau dikehendakinya.(4). David Hume (171-1776), filsuf Inggris yang
atheis. Ia mengingkari adanya roh yang kekal, tetapi tetap menganggap agama
sebagai kepercayaan, agama menurut pandangannya bukanlah suatu ilmu tetapi
hanya intuisi belaka. (5). J.J. Rousseau (1712-1778), filsuf Perancis dan seorang
humanis non materialis. Dalam buku Emil, Rousseau memfokuskan alam sebagai
faktor pemisah sebagaimana ia menjadikan agama dalam pendidikan merupakan
suatu hal yang bertentangan dengan alam. Menurut pendapatnya, sebaiknya anak
tidak boleh mengikuti golongan agamis, tetapi anak memilihi sendiri berdasarkan
atas akal murninya. Rousseau tidak menerima paham ateisme, tetapi ia juga
menolak bukti-bukti metafisis tentang adanya Tuhan yang diajarkan ilmu
ketuhanan Gereja. Pokok pemikiran yang mendorong adanya pemisahan antara
Gereja dan negara, atau antara agama dan negara, pada sekularisme periode
pertama ini yaitu: Keutamaan untuk menciptakan kewibawaan negara dengan
kewibawaan yang mutlak, dalam rangka menghadapi kekuasaan Gereja, beserta
wasiat-wasiatnya yang telah diberikan kepada manusia sejak abad pertengahan,
sebagaimana pendapat Hobbes Tuduhan terhadap agama Masehi dengan
ajaranajarannya yang jauh dari akal sehat – seperti kepercayaan tentang Trinitas,
kepercayaan tentang tabiat Tuhan dan manusia yang dimiliki Al-Masih;
sebagaimana pendapat Locke dan Leibniz, yaitu dalam usahanya membersihkan
agama Masehi berdasarkan logika akal sehat. Menurut ilmu pendidikan, agama
bertentangan dengan “alam”, seperti yang diutarakan Rousseau berdasarkan

9
ajaran-ajaran agama Masehi yang berupa dosa turunan. Anggapan bahwa agama
itu suatu perkembangan, bukan tujuan terakhir, dengan demikian kebenarannya
adalah kebenaran yang dapat berubah, sebagaimana pendapat Lessing.
 Periode Sekularisme Ekstrem
Jika pada periode sekularisme moderat, agama masih diberi tempat dalam suatu
negara, maka pada sekularisme ekstrem, agama tidak hanya menjadi urusan
pribadi, akan tetapi justru negara memusuhi agama, begitu pula negara memusuhi
orang-orang yang beragama. Periode kedua, atau periode sekularisme ekstrem
pada abad ke-19 dan 20 ini merupakan periode materialisme atau disebut sebagai
Revolusi Sekuler.
Filsuf-filsuf yang termasuk dalam periode sekularisme ekstrem antara lain
ialah : (1) Ludwig Feurbach (1804-1872), filsuf Jerman dan termasuk pencetus
revolusi sekuler terpenting pada abad ke-19. Menurut pendapatnya, manusia dapat
mengkaji periode perpindahan dari agama alamiah yang bersih dan jauh dari
pengaruh agama langit menuju materialisme ekstrem. Manusia itu merupakan
wujud Tuhan tetapi bukan Allah, dan agama yang baru adalah politik, bukan
agama Masehi. Karena itu politik harus dijadikan agama. Allah dan agama
keduanya bukanlah dasar negara, tetapi dasarnya adalah manusia dan kebutuhan.
Dengan demikian negara adalah kandungan semua kenyataan, yakni alam
keseluruhan atau kemanusiaan yang memelihara kenyataan manusia. Dengan
begitu agama menjadi musuh negara, dan “ateis praktis ada berkaitan dengan
negara”. (2) Karl Marx (1818-1883), juga seorang filsuf Jerman yang amat dekat
dengan kawannya, Engels, sehingga beberapa pandangannya pun merupakan buah
pikiran bersama. Marx seorang Revolusioner. Ada tiga prinsip pandangan Marx
tentang materi: (a) Prinsip yang menghidupkan perkembangan secara terus
menerus, (b) Prinsip menghilangkan kontradiksi (c) Prinsip kemajuan untuk
menghasilkan sesuatu yang baru, walaupun tidak lebih baik. Marx dianggap
revolusioner, dan bukan filsuf, karena filsafatnya sebagai alat untuk menuju
politik. Secara garis besar pandangan Marx dan Engels adalah sebagai berikut : (a)
Materialisme historis dialektis (b) Anti-Tuhan dan menggunakan metode ilmiah
dalam mencari bukti kebenarannya (c) Memerangi sistem kelas manusia, untuk
mencapai kelas masyarakat yang tidak berkelas. Lenin (1870-1924), orang yang
mempraktekan marxisme. Ia mengubah marxisme menjadi akidah bagi partai
(golongan) yang kemudian marxisme disebut Bolsjewisme di dunia politik, atau
dikenal sebagai materialisme produktif dalam dunia filsafat. Dengan demikian,
Bolsjewisme nampak sebagai “agama baru” sebagai pengganti dari “agama
masehi”. Menurut Lenin, agama itu candu rakyat, yang menutup kemajuan
berfikir. Meskipun Lenin setuju dengan pendapat bahwa “agama itu urusan
perorangan”, akan tetapi untuk partai (golongan), anggotanya harus anti-Tuhan,
karena anggotanya yang masih beragama menjadi musuh. bebuyutan bangsa.
Negara harus netral, dalam arti negara tidak memperhatikan agama, tidak ada
hubungannya dengan agama. Agama tidak ada nilainya bagi penduduk, maka tidak
perlu menanyakan aliran agama, dan kenetralan terhadap agama itulah pemisah

10
sempurna antara negara dan Gereja. Beberapa pokok pikiran yang dapat diambil
dari periode sekularisme ekstrem ialah (1) Sekularisme Feuerbach mencerminkan
aliran humanisme yang anti-Tuhan dan menghendaki permusuhan agama. Bukan
lagi pemisahan antara agama dan negara sebagaimana pada periode pertama, dan ia
menghendaki penempatan perkumpulan buruh pada proposisi Tuhan dalam ibadah.
(2) Sekularisme Marx merupakan materialisme historis ateis, yang bertujuan untuk
menghancurkan agama sebagai permulaan penting berdirinya alam, dimana
manusia merupakan pemilik dirinya dan kewibawaan sosial dan negara, dan posisi
pembentukan (sosial dan negara) terhadap individu sebagai Tuhan yang disembah
oleh individu-individu para pemilik (3) Sekularisme Lenin berakhir dengan
permusuhan agama Masehi sebagai agama, dan pembentukan Bolsjewisme, dan
agama baru ini harus mewujudkan alam nyata yaitu “golongan” atau “partai”.

B. FILSAFAT HEGEL DALAM MORALITAS DAN STRUKTUR SOSIAL


a. Biografi Hegel
George Wilhelm Friedrich Hegel dilahirkan di Stuttgart pada 27 Agustus 1770.
Di masa kecilnya, dia lahap membaca literatur, surat kabar, esai filsafat, dan tulisan-
tulisan tentang berbagai topik lainnya. Masa kanak-kanaknya yang rajin membaca
sebagian disebabkan oleh ibunya, yang luar biasa progresif yang aktif mengasuh
perkembangan intelektual anak-anaknya. Keluarga Hegel adalah sebuah keluarga
kelas menengah yang mapan di Stuttgart. Ayahnya seorang pegawai negeri dalam
administrasi pemerintahan diWürttemberg. Hegel adalah seorang anak yang sakit-
sakitan dan hampir meninggal dunia karena cacar sebelum mencapai usia enam tahun.
Hubungannya dengan kakak perempuannya, Christiane, sangat erat, dan tetap akrab
sepanjang hidupnya.
George Wilhelm Friedrich Hegel belajar teologidi Universitas Tubingen hingga
meraih doktor pada 1791. Ketika itu, karya tulisnya masih bertaut dengan agama
Kristen, misalnya The Life of Jesusdan The Spirit of Chiristiany. Hegel mulai
menekuni filsafat ketika pada 1801 bertemu dengan Schelling di Universitas Jena, dan tu-
rut mengajar mata kuliah Filsafat di sana, hingga jerih payahnya mem-buahkan
karya filsafat pertama berjudul The Difference Between Ficte’s and Shelling”s systems
of Philoshopy.
Perjumpaannya dengan karya-karya dari Fredrich Horderlin (1770-1843) dan
Fredrich Von Shelling (1775-1854), diakui Hegel, cukup mempengaruhi pergulatan
intelektual dan tradisi filsafatnya. Tidak begitu mengejutkan bila Hegel sempat
menyebut keduanya sebagai pemikir besar Filsafat Jerman abad 19.Berkat hubungan erat
tersebut, pada 1803, bersama Schelling, Hegel mengedit Critical Jurnal Of Philoshopy.
Pada tahun 1906 Hegel berhasil menyelesaikan karya utamanya, Phenomenology of
Spirit, dan dipublikasikan pada tahun berikutnya. Dalam karya ini, pemikirannya
nampak amat berbeda dengan pendekatan Schellingian. Schelling sendiri menganggap

11
kritik tajam Hegel dalam pengantar Phenomenology ditujukan padanya. Dan sejak saat
itu persahabatan mereka kandas di tengah jalan.
Tahun 1808-1815 Hegel dipercaya sebagai kepala sekolah dan guru Filsafat di
Gymnasium, Nuremberg. Selama di sana ia menikah, memulai hidup berkeluarga,dan
menerbitkan Science of Logic. Pada tahun 1816 ia kembali ke universitas dengan
menjadi Guru Besar Filsafat di Universitas Heidelberg. Dua tahun berikutnya
menjadi Guru Besar di Universitas Berlin. Sejak saat itu, nama Hegel semakin
tersohor di dunia Filsafat Jerman. Dan ketika berada di Heidelberg itulah, Hegel
mempubli-kasikan Encyclopaedia of the Philosophical Sciences, sebuah karya
sistematik versi ringkasan dari Science of Logic (Encyclopaedia Logicatau Lesser
Logic).Berikut-nya, Hegel menerbitkan Philosophy of Naturedan Philosophy of Spirit,
sebagai aplikasi dari prinsip-prinsip yang tertuang dalam Science of Logic. Di tahun
1821, popularitas Hegel membumbungtinggi dengan dipiblikasikannya buku
”Grundlinien der Philosophie des Rechts” (Garis-garis besar filsafat hukum), di tahun
yang sama pula ketika berada Berlin, Hegel mempublikasikan karya utamanya dalam
bidang filsafat politik, Elements of the Philosophy of Right, berdasarkan materi kuliah
yang ia berikan di Heidelberg.Namun akhirnya nampak begitu jelas, dasar argumentasi
dalam karya ini berasal dari objective spirit karya Encyclopaedia Philosophy of Spirit.
10 November 1831 dirinya memberi kuliah pembukaan di Universitas Berlin,
tiga hari kemudian terkena serangan kolera jenis paling intensif (begitu keterangan
dokter pada saat itu) yang lalu merenggut nyawanya pada keesokan harinya
tanggal 14 November 1831. Di atas mejanya ditemukan sketsa tulisannya Tentang
Bukti-Bukti bagi Adanya Allah. Atas permintaannya sewaktu masih hidup, Hegel
dikuburkan di samping Georg Fitche (1762-1861).

b. Moralitas dan Struktur Sosial dalam pandangan Hegel


Sebelum membahas tentang moralitas dalam pandangan Hegel, perlu diketahui
terlebih dahulu pengertian moral. Menurut Bertens, etika adalah tata susila atau
tindakan yang mengandung nilai-nilai moral, sedang moral itu sendiri adalah nilai-nilai
yang berkenaan dengan baik dan buruk yang menjadi pedoman dari tindakan
etik.Tegasnya, etika lebih merupakan, refleksi filosofis dari moral. Jadi etika lebih
merupakan wacana normatif yang relatif, sedang moral merupakan wacana normatif
dan imperatif yang diungkapkan dalam kerangka baik buruk, yang dianggap sebagai
nilai mutlak dan transenden. Moral menjawab apa yang harus saya lakukan, etika
menjawab bagaimana hidup yang baik.
Menurut David Hume moralitas merupakan sistem tata nilai yang berdasarkan
pada fakta-fakta dan pengamatan-pengamatan empiris. Pengalaman sehari-hari,
pengalaman indera dan pengalaman perasaan itulah yang membentuk pengetahuan
dan kecenderungan pada kita, yang pada giliranya memberikan pertim-bangan-
pertimbangan moral saat kita meski berbuat. Tidak ada nilai-nilai mutlak di luar yang
empiris tersebut.
Sebaliknya, menurut Kant, persoalan moral sama sekali lepas (dan memang
harus lepas) dari pengaruh lingkungan, kebiasaan, pengalaman dan segala yang

12
empiris, tetapi semata didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan moral yang
mutlak. Bagi Kant, penilaian dan tindakan moral bukan urusan pribadi (moral
sentiment) atau keputusan sewenang-sewenang (decionism) dan juga bukan masalah asal
usul sosial-kultural, sopan santun, atau adat istiadat (relativisme kultural), tetapi berada
dibawah keterikatan moral yang mutlak dan dapat dituntut pertanggung-jawabannya
oleh orang lain. Artinya, tindakan seseorang yang bisa diterima sebagai bernilai moral
adalah tindakan yang didasarkan atas nilai-nilai yang mutlak, yang lepas dari pengaruh-
pengaruh kebiasaan, adat-adat dan kecenderungan.
Selanjutnya, menurut Sartre, hampir sama dengan konsep Immanuel Kant,
moralitas tidak dipengaruhi oleh lingkungan, budaya, kebiasaan atau adat-adat yang ada,
tetapi tidak juga didasarkan atas nilai-nilai mutlak Sebagaimana dalam Kant. Menurut
Sartre, tindakan moral seseorang ditentukan oleh nilai nilai yang ciptakan sendiri oleh
yang bersangkutan, lepas dari pengaruh lingkungan sekitarnya (empiris) maupun nilai-
nilai mutlak (Idea). Sebab, dengan konsepnya tentang eksistensialisme, tindakan
manusia yang dipengaruhi oleh pihak luar diluar dirinya; nilai-nilai empiris dari
masyarakat maupun nilai mutlak dari Tuhan, tidak lagi dikatakan sebagai tindakan yang
mendiri, merdeka, yang berarti tidak bisa dianggap bernilai moral. Apa yang dimaksud
dengan tindakan bermoral adalah tindakan yang dilakukan secara mandiri,
merdeka dan bebas dari keterpenga-ruhan dari aspek-aspek luar tersebut, sehingga
bisa dipertanggung-jawabkan.Sementara itu menurut Aristoteles, aktualisasi potensi tidak
hanya dilakukan di dunia Idea, tetapi harus juga dalam kehidupan praksis, dalam
kehidupan bermasyarakat, mendorong manusia untuk bertindak sosial Manusia bisa
dinilai hidup secara baik jika berpartisipasi dalam kehidupan negara dan tidak lepas
dari norma-norma serta nilai-nilai masyarakat. Inilah sumbangan utama etika Aristoteles.
Hanya saja, konsepnya tentang kebahagiaan sebagai tolok ukur baik dan buruk ini,
sebagaimana dikatakan Immanuel Kant, tidak menyentuh masalah paling mendasar dari
etika itu sendiri; apa yang membuat manusia menjadi baik. Persoalan baik dan buruk
harus dilihat pada hakekat tindakan itu sendiri, baik atau buruk, yang oleh Kant disebut
kehendak, bukan pada tujuannya. sebagai tolok ukur baik dan buruk ini, sebagaimana
dikatakan Immanuel Kant, tidak menyentuh masalah paling mendasar dari etika itu
sendiri; apa yang membuat manusia menjadi baik. Persoalan baik dan buruk
harus dilihat pada hakekat tindakan itu sendiri, baik atau buruk, yang oleh Kant
disebut kehendak”, bukan pada tujuannya.
Dengan adanya konsep bahwa kebaikan berasal dari aktualisasi potensi manusia
sendiri berarti Aristoteles telah mengabaikan persoalan yang transenden. Dalam etika
Aristoteles, transendensi tidak memainkan peran. Keberadaan Tuhan menjadi
terlupakan. Ini agak berbeda dengan Ibn Maskawaih, meski sama-sama menyatakan
kebahagiaan sebagai tujuan etika. Menurut Ibn Maskawaih, kebahagiaan tercapai
manakala manusia mampu mentransfer nilai-nilai atau sifat-sifat Tuhan dalam
tindakannya sehari-hari. Artinya, tindakan-tindakannya tidak dilakukan samba-rangan
yang lepas dari dimensi-dimesi ruhani, tetapi justru tersoroti dan tercerminkan oleh
nilai-nilai ketuhanan.

13
Pemikiran etika Hegel merupakan sintesis dari etika Aristoteles dan etika Kant.
Menurut Aristoteles, hidup etis terlaksana dalam partisipasi dalam kehidupan polis
(Negara kota). Jadi berpolitik, dalam arti partisipasi, dan beretika adalah sama.
Sedangkan Kant membedakan secara tajam antara hukum (legalitas) dan moralitas. Bagi
Kant, hukum adalah tatanan normatif lahiriah masyarakat, dalam arti bahwa ketaatan
yang dituntut olehnya adalah ketaatan lahiriah, sedangkan motivasi batin tidak
termasuk. Maka taat hukum belum mencerminkan moralitas.Sedangkan moralitas
adalah pelaksanaan kewajiban karena hormat terhadap hukum yang tertulis dalam hati
manusia. Suatu tindakan hanya dianggap bermoral kalau diambil secara otonom,
berdasarkan kesadaran sendiri tentang kewajiban. Kriteria mutu moral seseorang adalah
kesetiaannya terhadap suara hatinya sendiri. Setiap orang tidak hanya berhak,
melainkan berkewajiban untuk senantiasa mengikuti suara hatinya.
Hegel menempatkan diri atas paham moralitas otonom yang dikembangkan Kant.
Namun ia sekaligus kritis terhadap Kant. Baginya posisi Kant adalah abstrak karena
tidak memperhatikanbahwa manusia dengan otonominya selalu sudah bergerak dalam
ruang yang ditentukan oleh struktur sosial yang mewadahi tuntunan moral. Namun ia
tidak sekadar kembali ke Aristoteles. Ia kembali, tetapi di satu level dialektis lebih
tinggi. Dengan menempatkan fenomena moralitas ke dalam kerangka sebuah filsafat
sejarah yang luas, Hegel mampu mengatasi keabstrakan Kant dan sekaligus
menempatkan legitimasi struktur sosial itu ke tingkat yang lebih tinggi. Sittlichkeit
dipahaminya sebagai tatanan sosial moral yang terwujud dalam lembaga-lembaga
kehidupan kemasyarakatan manusia. Menurut Hegel moralitas tidak lepas dari
pengaruh nilai-nilai mutlak yang ada dalam idea, tapi juga tidak lepas dari apa yang ada
di dunia empiris, yang ada dalam masyarakat.
jadi, Hegel memberikan makna tersendiri bagi moralitas yang dengan itu berarti
mengisi kekurangan yang ada pada Aristoteles dan yang ada pada Kant (realitas norma
yang ada dalam masyarakat) etika kebahagiaan sebagai kenaikan tertinggi (etika
teleologis).Ajaran teleologis adalah sebuah teori yang mengajarkan bahwa perbuatan-
perbuatan kesusilaan berusaha mencari serta menemukan kebahagiaan atau kenikmatan.
dikatakan bersifat teleologis karena pengukuran baik buruk suatu tindakan berdasarkan
tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan
oleh tindakan itu. Hendaknya dicatat, yang dinamakan tujuan dapat apa saja. Tujuan
dapat pula dimisalkan, berupa keselamatan abadi. sementara teori yang memberi titik
berat pada kenikmatan atau kebahagiaan dikatakan bersifat hedonistik.
Dalam dunia moral, kita dapat mengklaim bahwa manusia saat ini hanya berbicara
sewenang-wenang-nya. Yang penting saat ini adalah manusia harus lebih mengenal
diri-nya sendiri dan memberikan hukuman moral pada dirinya sendiri. di sini kemudian
kita harus menentukan dasar yang menjadi patokan hidup secara umum.
Bagaimanapun hal itu mungkin akan mengancam. Manusia akan menemukan sebuah
jalan hidup dari kelemahan mereka sendiri, dan dari kebingungan dan keterbatasan
duniawi yang kekal.

14
Bergeser pada pemikiran yang seperti ini, manusia telah membangun prinsip-
prinsip moral yang mengarahkan pikiran mereka tentang kehidupan dunia dan dalam
berbagai bentuk filosofi yang telah dibangun yang disebut dengan moral teleology.
Inti filsafat Hegel adalah gerak perkembangan ke arah kebebasan yang semakin
besar. Kebebasan manusia bukan sekadar sikap otonomi batin, melainkan
merupakan hakikat seluruh kerangka sosial didalamnya manusia merealisasikan diri. Ini
berarti bahwa kebebasan harus terungkap dalam tiga lembaga yang satu sama lain
berhubungan secara dialektis, yaitu hukum, moralitas individu, dan tatanan sosial-
moral (sittlich-keit). Tiga lembaga ini merupakan tiga tahap pengembangan gagasan
kehendak yang pada dirinya sendiri dan bagi dirinya sendiri bebas. Hukum adalah
eksistensi langsung (pertama) yang diambil kebebasan secara langsung. Contoh utamanya
adalah hak milik pribadi. Dalam hak milik pribadi kebebasan kehendak diakui oleh
karena benda yang merupakan milik seseorang diakui dan dijamin sebagai itu. Namun
hukum adalah hal yang semata-mata formal dan lahiriah karena tidak melihat
kekhususan pribadi yang bersangkutan, seperti motivasi, kehendak dan maksud-maksud
pribadi. Moralitas adalah negasi dialektik hukum. Subjek yang bermoral tidak tunduk
kepada hukum yang dipasang dari luar, melainkan kepada hukum yang disadari dalam
hati. Dalam moralitas manusia bebas dari heteronomi, menjadi otonomi. Moralitas
adalah lingkaran kehendak subjektif yang mempertahankan diri secara otonom
berhadapan dengan dunia luar. Maka kebebasan sekarang tidak lagi terikat pada benda,
hak milik, melainkan hanya dapat menjadi nyata dalam kehendak sebagai kehendak
subjektif.
Tetapi moralitas pun bagi Hegel masih abstrak karena hanya ada dalam kebatinan
murni dan tidak mengacu pada struktur-struktur objektif dunia luar. Tidak cukup me-
ngatakan kepada seseorang, ikutilah suara hatimu, karena suara hati sendiri
masih memerlukan orientasi. Suara hati hanya membunyikan perintah untuk melakukan
apa yang benar. Tapi yang benar sendiri itu apa? Menurut Hegel yang benar adalah
yang rasional, dan yang rasio-nal itu digariskan melalui struktur realitas sosial,
yang oleh Hegel disebut sittlichkeit. Sittlichkeit diartikan Frans Magnis Suseno sebagai
tatanan sosial-moral.
Sittlichkeit pada dasarnya ditentukan oleh tiga lingkup hidup manusia: keluarga,
masyarakat luas, dan negara. Ketiganya menentukan, melalui adat istadat, kebiasaan,
dan hukum, bagaimana individu harus bertindak sebagai makhluk moral. Namun
tatanan sosial yang berhak menjadi acuan bagi moralitas individu adalah tatanan yang
bersyarat: yaitu rasional, tatanan yang sudah mewadahi otonomi dan martabat manusia,
mengakui kebebasan penuh subjektivitas manusia. Individu baru mencapai
kemerdekaannya secara penuh apabila setiap hendak bertindak tidak selalu harus
mengadakan pertimbangan baru tentang tindakannya. Individu yang bertindak sesuai
dengan struktur-struktur itu berarti merealisasikan kebebasannya sendiri. Namun bila
tatanan itu merosot ke otoritarianisme, tidak mengindahkan kebebasan dan otonomi
individu, maka manusia harus tetap mempertahankan moralitasnya yang otonom dalam
dirinya.

15
Hegel tetap mengakui bahwa suara hati adalah hukum terakhir bagi individu.
Tak ada jalan kembali ke moralitas hukum yang legalistis. Dalam hal ini Hegel kembali
kepada Kant. Moralitas dalam pandangan Hegel adalah sintesa antara hukum yang
bersifat empirik dengan nilai-nilai moral yang bersifat batin atau ideal. Sehingga
dalam pandangan Hegel, negara, keluarga dan masyarakat dianggap sebagai idea
moral yang telah terealisir, tempat idealitas atau nilai-nilai dan realitas atau hukum-
hukum bertemu. Institusi-institusi tersebut merupakan substansi moral yang telah
sadar akan dirinya, dimana keputusan-keputusan individu yang merupakan keputusan
roh subjektif telah tertiadakan.Sementara itu, Nietzsche sangat menentang nilai-nilai
moral yang dikemukakan oleh Kant dan Hegel, Kant mengakui adanya nilai-nilai moral.
Pandangannya ini dibangun atas dasar teori rasio praktis yang menunjukkan adanya
imperatif kategoris dan atas dasar ketiga postulatnya: kebebasan kehendak, imoralitas
jiwa dan adanya Allah. Walaupun ini dibantah oleh Hegel dengan teori
dialektikanya dimana Hegel mengangkat seni ke dalam roh absolut dan moralitas ke
dalam roh obyektif. Namun menurut Nietzche, Hegel pun sama saja dengan Kant
karena keduanya menyajikan filsafat yang bertujuan untuk membenarkan moralitas.
Nietzsche juga menyerang moralitas yang berdasarkan pada nilai-nilai dan sangsi-sangsi
Ilahi. Moralitas ini berakar pada iman perti yang diajarkan oleh agama wahyu.
Nietzche mengkritik bahwa aliran ini gagal mempertanyakan premis dasarnya,
melainkan juga menyerahkan filsafat pada Agama. Ia menyelidiki nilai-nilai moral
dengan bertolak dari nilai-nilai seni.
Pandangannya ini didasarkan pada dua semangat yaitu semangat Apolonian
dan Dionisian.Semangat Apolonianmencerminkan aspek kejeniusan orang-orang Yuna-
ni, kekuatan untuk menciptakan keharmonisan dan keindahan, prinsip individuasi, daya
yang mampu memberi bentuk dan simbol cahaya, ukuran serta hambatan. Hasil
kesenian yang diwarnai semangat ini adalah mitologi, ceritera-ceritera plastis dan
patung. Disini orang mau menutup kenyataan dengan hal-hal yang indah dan penuh
seni. Semangat Dionisianadalah simbol kegilaan atau arus hi-dup itu sendiri yang
mengancam untuk merusak semua bentuk dan norma, nafsu tak terpendamkan yang
melampaui semua pembatasan, sikap menyerah yang kadang-kadang kita rasakan
ketika mendengarkan musik. Nietzsche mengkritik nilai-nilai moral dan dia tidak
mengakui adanya nilai-nilai moral, melainkan moral itu adalah seni. Maka nilai moral
tidak berlaku dalam hidup ini, kebebasan hidup ini terwujud dari nilai seni itu
sendiri dan melepas diri dari kungkungan moral, dengan kata lain orang yang
bermoral berarti orang yang tidak bebas atau seperti dipenjara.

16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Inti dari penjelasan sekularisme adalah negara dan agama yang dianggap masing-
masing mempunyai kutub yang berbeda tidak bisa disatukan. Masing-masing haruslah
berada pada jalurnya sendiri-sendiri, oleh karena itu selarisme mempunyai arti memisahkan
negara dari agama atau pemisahan antara negara dan agama. Di Indonesia sendiri
sekularisme merupakan sebuah bentuk dari sistem pemerintahan lebih tepatnya sebagai
negara moderat dengan adanya pancasila di sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan yang
maha Esa” yang mana pernyataan tersebut tidak menunjukkan pembelaan pada agama
tertentu. Tetapi, bermaksud menegaskan bahwa agama-agamadi Indonesia berintikan satu
Tuhan, yaitu Yang Maha Esa. Akan tetapi yang membedakan Indonesia dengan Negara
sekuler lainnya adalah dengan adanya departemen yang mengurus persoalan agama,
padahal negara sekuler yang murni tidak boleh ikut campur dalam persoalan agama. Agama
hanya menjadi wilayah keluarga dan masyarakat.
B. Saran
Sebagai penyusun kami menyadari akan keterbatasan kemampuan kami, sehingga
mungkin nantinya dari Makalah yang kami susun ini terdapat banyak sekali kesalahan-
kesalahan baik isi materi maupun penulisan, oleh karena itu kami membuka selebar-lebarnya
kritik dan saran kepada semua pihak yang turut membaca makalah ini, apabila ditemukan
kesalahan maupun kekurangan dalam penulisan maklah ini. Sekian.

17
DAFTAR PUSTAKA
Naquib, Al Attas Syed, Islam dan Sekularisme, (Bandung:Pustaka,1981).
An-Nabhani, Taqiyuddin, Peraturan Hidup dalam Islam, ( Bogor:Pustaka Tariqul
Izzah, 2001)
Ismail, Faisal, “Tentang Sekular, Sekularisme dan Sekularisasi” dalam Percikan
Pemikiran Islam (Yogyakarta: Bina Usaha, 1984).
N. Bellah, Robert, Beyond Belief (Menemukan Kembali Agama),
(Jakarta:Paramadina,2000).
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid: Esai-esai Agama, Budaya dan Politik dalam
Bingkai Strukturalisme Transendental (Bandung:Mizan, 2001).
Pardoyo, Sekularisasi dalam Polemik, Jakarta;Pustaka Utama Grafiti,cet.I, 1993,
Praja,S Juhaya, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, (Jakarta: Kencana,cet.IV, 2010)
Qardhawi, Yusuf, Islam dan Sekularisme, (Bandung:Pustaka Setia, cet.I,2006)
Rahardjo, M. Dawam. Intelektual, Intelegensia dan Perilaku PolitikBangsa ( Bandung:
Mizan, 1993).
Solihin,M Perkembangan Pemikiran FIlsafat dari Klasik hingga Modern,
Bandung:CV. Pustaka Setia, 2007,

18
Praja, Juhya S. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. Jakarta: Prenada Media, 2005
Salam, Burhanuddin. Etika Sosial (Asas Moral dalam Kehidupan
Manusia).Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997.

19

Anda mungkin juga menyukai