Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

METODOLOGI STUDI ISLAM

( Pendekatan sosiologi )

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas


Pada Mata Kuliah Metodologi Studi Islam
Semester VI Program Strata 1 (S1)
Tahun Akademik 2022/2023

Disusun Oleh :
Muhammad Fauzan wijaya
Muhammad fadil taufiq
Jumarni

SEMESTER VI
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM AL-FURQON MAKASS
KATA PENGANTAR

Assalaamu’alaykum Wr. Wb.


Dengan menyebut nama Allah SWT. yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Puji syukur kami panjatkan kehadirat-Nya yang telah melimpahkan
rahmat dan nikmat Islam, Iman, dan juga kesempatan kepada kita semua sehingga
kami dapat menyusun tugas makalah mata kuliah METODOLOGI STUDI ISLAM
yang sangat sederhana ini. Sholawat serta salam kita kirimkan kepada Nabi Allah,
Rasulullah Muhammad SAW. beserta keluarganya, para sahabat, tabi’in, tabit-tabi’in
serta orang-orang yang berjalan diatas ajarannya.
Penyusunan tugas makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas dan
kewajiban kami sebagai mahasiswa serta agar mahasiswa yang lain dapat melakukan
kegiatan seperti yang kami lakukan. Dalam tugas ini kami akan membahas tentang
“Pendekatan sosiologi”. Dengan ini tak lupa kami mengucapkan terima kasih
kepada dosen mata kuliah Metodologi Studi Islam, ibunda Megawati, S.Ag., M.Ag.
selaku pembimbing kami di dalam proses belajar mengajar di kelas. Kami menyadari
bahwa dalam penyusunan tugas makalah ini masih terdapat banyak kesalahan yang
disebabkan oleh pengetahuan kami yang terbatas dan kami masih dalam proses
belajar. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun sehingga kami dapat memperbaiki letak kesalahan kami.
Akhir kata kami ucapkan terima kasih. Semoga tugas ini bermanfaat dan
berguna bagi kita semua.
Wassalaamu’alaykum Wr. Wb.
DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN

A. ............................................................................................. Latar
Belakang Masalah
B. ............................................................................................. Rumusan
Masalah
C. ............................................................................................. Tujuan
Penulisan Makalah

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian sosiologi
B. tokohdan perkembangan sosiologi sebagai pengetahuan
C. pendekatan dalam kerja ilmiah sosiologi
D. pendekatan sosiologi dalam studi islam

BAB III PENUTUP

A. ............................................................................................... Kesimpula
n
B. ............................................................................................... Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Harus diakui bahwa saat ini, ilmu-ilmu keislaman tengah mengalami krisis
yang akut. Krisis ilmu-ilmu keislaman yang tengah terjadi selama ini sesungguhnya
telah menghasilkan semacam irelevansi antara ilmu-ilmu keislaman dengan realitas
kontemporer. Ilmu-ilmu keislaman terlihat semarak dalam forum-forum kajian,
bahkan pengajian, namun ia hanya menyumbang sedikit bagi pemberdayaan
masyarakat.
Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif
memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh
hanya sekedar menjadi lambang kasalehan atau berhenti sekedar disampaikan dalam
khutbah, melainkan secara konseptual menunjukkan cara-cara yang paling efektif
dalam memecahkan masalah. Tuntutan terhadap agama yang demikian itu dapat
dijawab manakala pemahaman logis normatif dilengkapi dengan pemahaman agama
yang menggunakan pendekatan lain yang secara operasional konseptual dapat
memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul. Ada banyak pendekatan yang
dapat digunakan untuk memahami agama yang meliputi pendekatan teologis
normatif, astronomis, sosiologis, psikologis, historis, kebudayaan dan pendekatan
filosofis. Hal ini perlu dilakukan karena melalui pendekatan tersebutlah kehadiran
agama secara fungsional dapat dirasakan oleh penganutnya. Sebaliknya tanpa
mengetahui berbagai pendekatan tersebut, maka tidak mustahil agama menjadi sulit
dipahami oleh masyarakat, tidak fungsional dan akhirnya masyarakat mencari
pemecahan masalah kepada selain agama, dan hal ini tidak boleh terjadi. Berkenaan
dengan ini, pemakalah akan menyajikan pembahasan mengenai pendekatan sosiologis
dalam studi Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana yang dimaksud dengan sosiologi?
2. Bagaimana tokoh dan pertumbuhan sosiologi sebagai pengetahuan?
3. Bagaimana pendekatan dalam kerja ilmiah sosiologi?
4. Bagaimana pendekatan sosiologi dalam studi Islam?

5. Tujuan Penulisan

1. Menjelaskan bagaimana yang dimaksud dengan studi Islam.


2. Menjelaskan tokoh dan pertumbuhan sosiologi sebagai pengetahuan.
3. Memaparkan pendekatan dalam kerja ilmiah sosiologi.
4. Menjelaskan pendekatan sosiologi dalam studi Islam.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Sosiologi

Dalam mempelajari agama diperlukan berbagai macam pendekatan agar substansi


dari agama itu mudah dipahami. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan di sini
adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang
selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hubungan ini Jamaluddin
Rakhmat mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai
paradigma realitas agama yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai
dengan kerangka paradigmanya. Oleh karena itu, tidak ada persoalaan apakah
penelitian agama itu, penelitian ilmu sosial, atau penelitian filosofis.

Berbagai pendekatan manusia dalam memahami agama dapat melalui pendekatan


paradigma ini. Dengan pendekatan ini semua orang dapat sampai pada agama. Di sini
dapat dilihat bahwa agama bukan hanya monopoli kalangan teolog dan normalis,
melainkan agama dapat dipahami semua orang sesuai dengan pendekatan dan
kesanggupannya. Oleh karena itu, agama hanya merupakan hidayah Allah dan
merupakan suatu kewajiban manusia sebagai fitrah yang diberikan Allah kepadanya.

Sosiologi berasal dari bahasa Latin yaitu Socius yang berarti kawan, teman
sedangkan Logos berarti ilmu pengetahuan. Ungkapan ini dipublikasikan
diungkapkan pertama kalinya dalam buku yang berjudul "Cours De Philosophie
Positive" karangan August Comte (1798-1857). Sebagai sebuah ilmu, sosiologi
merupakan pengetahuan kemasyarakatan yang tersusun dari hasil-hasil pemikiran
ilmiah dan dapat di kontrol secara kritis oleh orang lain atau umum.[1]

Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan
menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya itu. sosiologi
mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta
berubahnya perserikatan-perserikatan hidup itu serta pula kepercayaannya, keyakinan
yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama itu dalam tiap persekutuan
hidup manusia. Sementara itu, Soerjono Soekanto sebagaimana yang dikutip oleh
Abuddin Nata dalam bukunya mengartikan sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan
yang membatasi diri terhadap persoalan penilaian. Sosiologi tidak menetapkan ke
arah mana sesuatu seharusnya berkembang dalam arti memberi arti petunjuk-petunjuk
yang menyangkut kebijaksanaan kemasyarakatan dari proses kehidupan bersama
tersebut. Di dalam ilm ini juga dibahas tentang proses-proses sosial mengingat bahwa
pengetahuan perihal struktur masyarakat saja belum cukup untuk memperoleh
gambaran yang nyata mengenai kehidupan bersama dari manusia.[2]

Dari dua definisi tersebut terlihat bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang
menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta
berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Dengan ilmu ini suatu fenomena
sosial dapat dianalisis dengan faktor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan,
mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya proses tersebut.

Selanjutnya, sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam


memahami agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak bidang kajian
agama yang baru dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan
jasa bantuan dari ilmu sosiologi. Dalam agama Islam dapat dijumpai peristiwa Nabi
Yusuf yang dahulu budak lalu akhirnya bisa jadi penguasa di Mesir. Mengapa dalam
melaksanakan tugasnya Nabi Musa harus oleh Nabi Harun, dan masih banyak lagi
contoh yang lain. beberapa peristiwa tersebut baru bisa djawab dan sekaligus dapat
ditemukan hikmahnya dengan bantuan ilmu sosial. Tanpa ilmu sosial peristiwa-
peristiwa tersebut sulit dijelaskan dan sulit pula dipahami maksudnya. Di sinilah
letaknya sosiologi sebagai salah satu alat dalam memahami ajaran agama.[3]
Sebuah contoh peristiwa jatuhnya Daulah Bani Umayah pada tahun 750 M dan
bangkitnya Daulah Bani Abbasiyah telah menarik perhatian banyak sejarawan Islam
klasik. Para sejarawan melihat bahwa kejadian itu unik dan menarik, karena bukan
saja merupakan pergantian dinasti tetapi lebih dari itu adalah pergantian struktur
social dan ideology. Maka, banyak sejarawan yang menilai bahwa kebangkitan
Daulah Bani Abbasiyah merupakan suatu revolusi dalam arti kata yang sebenarnya.

Richard Frye dalam sebuah artikelnya berjudul “The Abbasid Conspiracy and
Modern Revolutionary Theory” pada tahun 1952 menyatakan bahwa ciri-ciri yang
menyertai kebangkitan Daulah bani Abbasiyah ketika itu sama dengan ciri-ciri yang
menyertai revolusi di berbagai Negara di dunia modern sekarang ini. Fyre
menggunakan teori anatomi revolusi yang dikembangkan oleh Crane Brinton yang
menyatakan bahwa dari empat buah revolusi yang diamatinya, yaitu Inggris,
Amerika, Perancis dan Rusia, sedikitnya ada empat persamaan. Pertama, bahwa pada
masa sebelum revolusi, ideology yang sedang berkuasa mendapat kritik keras dari
masyarakat disebabkan oleh kekecewaan dan penderitaan masyarakat yang
ditimbulkan oleh ketimpangan-ketimpangan dari ideology yang berkuasa itu. Kedua,
mekanisme pemerintahannya tidak efisien karena kelalaiannya menyesuaikan
lembaga-lembaga sosial yang ada dengan perkembangan keadaan dan tuntutan
zaman. Ketiga, terjadinya penyeberangan kaum intelektual dari mendukung ideology
yang berkuasa kepada wawasan baru yang ditawarkan oleh si pengeritik. Brinton
menamakan hal ini dengan “The dissertion of the intellectuals”. Keempat, bahwa
revolusi itu umumnya bukan hanya dipelopori dan digerakkan oleh orang-orang
lemah dan kaum bawahan, melainkan juga oleh sebagian kau penguasa yang karena
hal-hal tertentu merasa tidak puas dengan system yang ada.[4]

B. Tokoh dan Perkembangan Sosiologi Sebagai Pengetahuan


Semua bidang inetelektual dibentuk oleh setting sosialnya. Hal ini terutama berlaku
bagi sosiologi, yang tak hanya berasal dari kondisi sosialnya, tetapi juga menjadikan
lingkungan sosialnya sebagai kajian pokok. Orang yang pertama kali menggagas
sekaligus mempraktikkan sosiologi sebagai sebuah disiplin ilmu yang mandiri adalah
Ibn Khaldun.

1. Ibn Khaldun (1332 M)

Tokoh yang lahir di Tunisia, Afrika Utara, pada 27 Mei 1332 M atau 1 ramadhan 732
H ini hidup dalm situasi konflik yang begitu keras antara Muslim tradisionalis,
raionalis dan kaum sufi. Situasi tidak harmonis dalam masyarakat di sekitarnya itulah
yang mendorongnya untuk mempelajari masyarakat secara serius. Dalam kajiannya,
ia telah menghasilkan sejumlah karya sosiologi, seperti kitab al-Ibar yang berisi
sejarah umum dan universal masyarakat dan Muqaddimah (Prolegomena) yang berisi
pembahasan tentang sosiologi.[5]

Ibn Khaldun telah merumuskan tentang model suku bangsa nomaden yang keras dan
masyarakat yang halus bertipe menetap dalam suatu hubungan yang kontras. Model
Khaldun mengenai tipe-tipe sosial dan perubahan sosial diwarnai oleh warisan khusus
dari pengalaman dunia gurun pasir di Arab. Tujuannya tidak hanya untuk
memberikan suatu deskripsi historis mengenai masyarakat Arab, namun untuk
mengembangkan prinsip-prinsip umum atau hukum-hukum yang mengatur dinamika-
dinamika masyarakat dan proses-proses perubahan sosial secara keseluruhan.[6]

Sebagian besar sosiolog memandang konstribusi Ibn Khaldun begitu kecil dalam
sosiologi. Mereka lebih mengakui Karl Marx dan august Comte sebagai orang yang
paling berjasa bagi disiplin ilmu baru ini. itulah makanya, rentetan panjang revolusi
politik yang dihantarkan oleh Revolusi Perancis 1789 dan revolu yang berlangsung
sepanjang abad ke-19 dipandang sebagai faktor yang paling besar perannya dalam
pembentukan sosiologi.[7]

2. August Comte (1798-1857)


Di tangan Comte, sosiologi sebagai sebuah disiplin ilmu menjadi semakin jelas
bentuknya. Comte mengembangkan fisika atau yang pada tahun 1839 disebutkannya
sosiologi. Penggunaan istilah fisika social jelas menunjukkan bahwa Comte berupaya
agar sosiologi meniru model “hard sciences”. Ilmu baru ini, yang menurut
pandangannya akhirnya akan menjadi ilmu dominan, adalah ilmu yang mempelajari
social statics (Statika social atau struktur social yang ada) dan social dynamics
(dinamika social atau perubahan social). Meski keduanya dimaksudkan untuk
menemukan hukum-hukum kehidupan social, ia merasa bahwa dinamika social lebih
penting ketimbang statika social. Tekanan pada perubahan sosial ini mencerminkan
perhatiannya yang sangat besar terhadap reformasi sosial.[8]

3. Karl marx (1818-1883)

Walaupun Marx bukanlah seorang sosiolog dan tak pernah manganggap dirinya
sosiolog, bahkan karyanya boleh dibilang terlalu luas untuk bisa dicakup dalam
pengertian sosiolog, namun ada satu teori sosiolog yang ditemukan dalam karyanya.
Marx menawarkan sebuah teori tentang masyarakat kapitalis berdasarkan citranya
mengenai sifat dasar manusia. Marx meyakini bahwa manusia pada dasarnya
produktif, artinya untuk bisa bertahan hidup manusia perlu bekerja di dalam dengan
alam. Dengan bekerja semacam itu manusia menghasilkan makanan, pakaian,
peralatan, perumahan, dan kebutuhan lain yang memungkinkan mereka hidup.
Produktivitas mereka bersifat alamiah, yang memungkinkan mereka mewujudkan
dorongan kreatif mendasar yang mereka miliki. Dorongan ini diwujudkan bersama-
sama dengan orang lain. dengan kata lain, manusia pada dasarnya adalah makhluk
social. Mereka perlu bekerja bersama untuk menghasilkan segala sesuatu yang
mereka perlukan untuk hidup.[9]

4. Emile Durkheim (1858-1917)

Durkheim mengembangkan masalah pokok sosiologi dan kemudian diujinya melalui


studi empiris. Dalam The Rule os Sosiological Method (1859/1982) ia menekankan
bahwa tugas sosiologi adalah mempelajari fakta-fakta sosial. Ia meyakini fakta sosial
sebagai kekuatan dan struktur yang bersifat eksternal dan memaksa individu. Studi
tentang kekuatan dan struktur berskala luas ini – misalnya hukum yang melembaga
dan keyakinan moral bersama – dan pengaruhnya terhadap individu menjadi sasaran
studi banyak teoritisi di kemudian hari, termasuk Parsons.[10]

5. Max Weber (1864-1920)

Weber memandang individu sebagai memiliki makna subjektif. Dengan asumsi ini
bahwa tindakan seorang individu dapat bermakna bagi dirinya dan dapat diakui oleh
orang lain. dunia adalah dunia makna bersama, di mana seseorang terus menerus
membaca dan menyesuaikan diri dengan penafsiran-penafsirannya mengenai orang
lain dan memodifikasi tindakan-tindakannya sendiri sebagai respon atas penilaiannya
tterhadap konsekwensi-konsekwensi perbuatannya.[11]

6. Karl Mannheim (1893-1847)

Bagi Mannheim sosiologi pengetahuan adalah sebuah teori pengondisian social atau
eksistensial pengetahuan. Maksudnya, teori yang mengaitkan antara pengetahuan dan
kondisi social masyarakat. Mannheim sendiri adalah seorang ilmuwan sosial
Jerman.[12]

C. Pendekatan dalam kerja ilmiah sosiologi

1. Evolusionisme

Pendekatan ini memusatkan telaahnya pada mencari pola perubahan dan


perkembangan yang muncul dalam masyarakat yang berbeda. Titik tekan
perhatiannya pada pertanyaan “apakah ada pola umum perubahan yang bisa
ditemukan dalam sebuah masyarakat?” misalnya “apakah pengaruh proses
industrialisasi terhadap keluarga di Negara berkembang akan sama dengan yang
ditemui di Barat?”; “apakah proses pemudarnya masyarakat tradisional sama untuk
setiap bangsa dan Negara.[13]

2. Interaksionalisme

Pendekatan ini memusatkan perhatiannya pada interaksi antar individu dan


kelompok. Interaksi ini terjadi bisa dengan mengunakan symbol-simbol atau isyarat.
Kemudian, diperhatikan reaksi orang terhadap makna dari symbol-simbol itu dan
dihubungan benda-benda atau kejadian-kejadian yang berlangsung. Dalam perspektif
ini sering muncul pernyataannya bahwa suatu kata, benda atau kejadian tidak
bermakna apa-apa jika orang di masyarakat ini tidak sependapat bahwa hal itu
memiliki arti khusus, misalnya “lampu merah,hjau, dan kuning lalu lintas”.[14]

3. Fungsionalisme

Dalam pendekatan ini, masyarakat dipandang sebagai satu jaringan kerja sama
kelompok yang saling membutuhkan satu sama lain dalam sebuah system yang
harmonis, misalnya fenomena saling ketergantungan antara “sekolah, anak didik dan
orang tua keluarga”, keluarga berencana dengan usaha meningkatkan kesehatan dan
kesejahteraan serta hubungan dengan mutu pendidikan” dan sebagainya.[15]

Pendekatan ini didasarkan pada dua asumsi dasar:

o Bahwa masyarakat terbentuk atas berbagai sub-struktur yang dalam fungsi-fungsi


mereka masing-masing saling bergantung, sehingga perubahan-perubahan yang
terjadi dalam fungsi satu sub-struktur dengan sendirinya akan tercermin pada
perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur-struktur lainnya pula. Karena itu,
tugas analisis sosiologis adalah menyelidiki mengapa suatu hal berpengaruh kepada
hal lainnya, dan sampai sejauh mana pengaruh tersebut.

o Bahwa setiap struktur berfungsi sebagai penopang aktivitas-aktivitas atau


substruktur-substruktur lainnya dalam suatu sistem sosial. Contoh-contoh sub-
struktur ini dalam masyarakat adalah keluarga, perekonomian, politik, agama,
pendidikan, rekreasi, hukum dan pranata-pranata mapan lainnya.[16]

4. Konflik

Pendekatan ini sebenarnya merupaka reaksi keras terhadap pendekatan


fungsionalisme di atas. Pendekatan konflik berpendapat, bahwa “masyarakat itu
terikat kerja sama yang erat karena kekuatan kelompok-kelompok atau kelas yang
dominan”. Ia mewariskan sebuah ketegangan yang terus menerus dalam sebuah
fenomena setiap kelompok ingin mempertahankan dominasinya.[17]

D. Pendekatan Sosiologi dalam Studi Islam

Pentingnya pendekatan sosiologi dalam memahami agama, dapat dipahami, karena


banyak sekali ajaran agama yang bekaitan dengan masalah sosial. Besarnya perhatian
agama terhada masalah sosial ini selanjutnya mendorong kaum agama memahami
ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk memahami agamanya.

1. Perhatian Agama Islam Terhadap Masalah Sosial

Alasan besanya perhatian agama yang dalam hal ini adalah Islam terhadap masalah
sosial adalah:

a. Dalam al-Qur’an atau kitab-kitab hadis, proporsi terbesar kedua sumber hukum
Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah.

b. Bahwa ditekankannya masalah muamalah (sosial) dalam Islam ialah adanya


kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah
yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (tentu bukan
ditinggalkan), melainkan dengan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.

c. Bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih


besar dari pada ibadah yang bersifat persorangan. Karena itu salah yang dilakukan
secara berjamaah dinilai lebih tinggi nilainya daripada salat yang dikerjakan sendirian
(munfarid) dengan ukuran satu berbanding dua puluh derajat.

d. Dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna
atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka kifaratnya (tebusannya) ialah
melakukan sesuatu yang berhubungan dengan msalah sosial. Bila puasa tidak mampu
dilakukan misalnya, jalan keluarnya adalah dengan membayar fidyah dalam bentuk
memberi makan bagi orang miskin.

e. Dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan
mendapat ganjaran lebih besar daripada ibadah sunnah. Dalam hubungannya dengan
ini misalnya membaca hadits yang artinya sebagai berikut.

“Orang yang bekerja keras untuk menyantuni janda dan orang miskin, adalah seperti
pejuang di jalan Allah (atau aku kira beliau berkata) dan seperti orang yang terus
menerus salat malam dan terus menerus berpuasa”. (H.R. Bukhari dan Muslim).[18]

Manusia sebagai makhluk yang mempunyai aneka ragam sebutan pada prinsipnya
adalah makhluk yang saling bergantung pada sesamanya, baik yang menyangkut
sandang, pangan, papan, keselamatan diri dan harta, harga diri, potensi untuk
berkembang maupun kasih sayang, di samping kebergantungan di bidang politik,

ekonomi, budaya, dan hukum. Kebergantungan itu menunjukkan bahwa manusia


saling membutuhkan dalam banyak aspek, guna memenuhi hasrat dan kebutuhan
hidupnya masing-masing. Kebutuhan itu satu sama lain terkadang saling bertentangan
; kalau tidak diatur dalam suatu kaidah atau norma yang jelas, itu bisa menimbulkan
kekacauan karena masing-masing berusaha sebisa mungkin memenuhi obsesi
hidupnya. Norma tersebut adalah mekanisme pengendalian social (mechanism of
social control) yang dilakukan untuk melaksanakan proses untuk mendidik,
mengajak, atau bahkan emmaksa individu atau masyarakat agar menyesuaikan diri
dengan kaidah-kaidah dan nilai-nilai kehidupan.[19]
Dengan adanya norma-norma (yang paling penting diantaranya adalah norma-norma
agama) memungkinkan disesuaikannya tingkah laku manusia dengannya. Namun
penyesuaian (terhadap norma-norma sosial) itu ternyata lebih besar kemungkinannya
apabila norma-norma itu ditunjang oleh ganjaran-ganjaran dan hukuman-hukuman
yang berat. Ganjaran-ganjaran dan hukuman-hukuman (atau sanksi-sanksi) social
tersebut, sampai taraf tertentu memang diakui dalam semua norma social, walaupun
kebanyakan orang hanya karena merasa diberi ganjaran secara psikologis, mau
menyesuaikan diri dengan nora-norma itu, atau karena pernah menerima hukuman
dalam arti informal dan sanksi hukum berupa cemoohan dari teman-teman mereka.
Akan tetapi jika norma-norma itu terdapat dalam kerangka acuan yang bersifat sacral,
maka norma-norma tersebut dikukuhkan pula dengan sanksi-sanksi yang sakral; dan
dalam hampir semua masyarakat sanksi-sanksi sakral tersebut mempunyai kekuatan
memaksa yang istimewa. Karena, tidak hanya menyangkut ganjaran-ganjaran dan
hukuman-hukuman yang bersifat duniawi dan manusiawi, tetapi juga ganjaran-
ganjaran dan hukuman-hukuman yang bersifat supra manusiawi dan ukhrawi.[20]

Melalui pendekatan sosiologis agama akan dapat dipahami dengan mudah, karena
agama itu sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial. Dalam al-Qur’an misalnya
kita jumpai ayat-ayat berkenaan dengan hubungan manusia dengan manusia lainnya,
sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya kemakmuran suatu bangsa, dan sebab-
sebab yang menyebabkan terjadinya kesengsaraan. Semua itu jelas baru dapat
dijelaskan apabila yang memahaminya mengetahui sejarah sosial pada saat ajaran
agama itu diturunkan.[21]

Elizabeth K. Nottingham dalam bukunya mengemukakan berikut adalah


kekuatan agama yang mampu membujuk orang-orang dan pihak-pihak (yang
bersangkutan) untuk mengorbankan kepentingan pribadi mereka demi terpenuhinya
kepentingan masyarakat secara keseluruhan:
Pertama, agama telah membantu mendorong terciptanya persetujuan
mengenai isi dan kewajiban-kewajiban sosial tersebut dengan memberikan nilai-nilai
yang berfungsi menyalurkan sikap-sikap para anggota masyarakat dan menetapkan isi
kewajiban-kewajiban sosial mereka. Dalam peranan ini agama telah membantu
menciptakan sistem-sistem nilai sosial yang terpadu dan utuh.[22]

Kedua, terdapat alasan-alasan yang kuat untuk mempercayai bahwa agama


juga telah memainkan peranan vital dalam memberikan kekuatan memaksa yang
mendukung dan memperkuat dan memperkuat adat-istiadat. Dalam hal ini patut
diketahui bahwa sikap mengagungkan dan rasa hormat, terutama yang berkaitan
dengan adat istiadat (moral) yang berlaku, berhubungan erat dengan perasaan-
perasaan kagum yang ditimbulkan oleh yang sakral itu sendiri.[23]

2. Aplikasi Sosiologi dalam Pengembangan Ilmu Keislaman

Bagi pengembangan ilmu-ilmu keislaman, sosiologi memiliki manfaat ganda, yakni:

a. Manfaat teoritis-epistimologi : bahwa sosiologi pengetahuan dapat membantu


para pengkaji ilmu-ilmu keislaman untuk memahami substansi ilmu dan
mengembangkan paradigma di dalamnya, sehingga ilmu bisa lebih dinamis.
Pemahaman terhadap substansi ilmu dilakukan melalui penemuan eksemplar-
eksemplar itu, dan pengidentifikasian metode-metode dalam suatu paradigm.
Semetara pengembangan paradigm dilakukan melalui penelusuran kaitan antara
paradigm dengan konteks sosio-historisnya, pencarian paradigm baru berdasarkan
analisis persoalan sosio-historis kontemporer, dan pencarian teori-teori baru dalam
paradigm baru.

b. Manfaat praktis sosiologis adalah bahwa sosiologi pengetahuan dapat


memperkaya metode penelitian ilmu-ilmu keislaman. Ilmu keislaman sudah
selayaknya dilihat dengan berbagai cara (apa saja boleh), asalkan semua cara itu
dilakukan dengan bertanggung jawab dan dapat memperluas perspektif para pengkaji.
Hanya dengan cara memperbanyak perspektif inilah akan terwujud ilmu keislaman
yang ramah terhadap segala keragaman dan problematika kehidupan. Di samping itu,
ilmu keislaman yang multiperspektif juga akan mudah diterima semua kalangan
karena dinamika dan kelenturannya yang tinggi ketika harus bersentuhan dengan
realitas masyarakat.

Misalnya, sebagai ilmu, ilmu ushul fikih bukanlah ilmu yang terbentuk dari ruang
hampa dan steril dari pengaruh lokasi sosial pada zaman tertentu. Oleh karena itu,
biarlah orang-orang terdahulu merumuskan prinsip-prinsip ilmu ushul fikih yang
sesuai pada saat itu, dan kita juga merumuskan prinsip-prinsip ilmu ushul fikih kita
sendiri sesuai dengan zaman kita. Dominasi antar generasi hanya akan menghasilkan
kejumudan dan kemandegan berpikir.

Wacana tertutupnya pintu ijtihad yang sempat terdengar, sesungguhnya tiada lain
adalah tidak dapat dilakukannya ijtihad karena paradigm lama dalam ilmu ushul fikih
telah mengalami keusangan (obsolete) dan keterjebakan ideologis, sehingga
mengalami disfungsi.[24] Inilah yang digambarkan al-Jabiri dalam kutipan berikut:

“Masalah-masalah khusus di masa lalu, meski mirip dan sejenis terbatas atau
memungkinkan untuk dibatasi; teks-teks syariat (al-Qur’an dan sunah) juga terbatas,
dan demikian pula ijtihad memahami kata-kata dan batas-batas petunjuk dari teks-
teks itu…, akhirnya mau tidak mau akan sampai pada titik di mana tak ada lagi yang
tersisa, dan kemudian akibat yang sudah pasti adalah “tertutupnya” pintu ijtihad,
bukan “ditutup” (dengan sengaja) seperti yang dikatakan orang.[25]

Sebenarnya, tak ada seorangpun dalam Islam yang memiliki kekuasaan untuk
“menutup” pintu ijtihad, baik para penguasa, para ahli fikih atau yang lain karena
dalam Islam tak ada gereja atau lembaga apapun yang mempunyai kekuasaan untuk
“menutup” atau “membuka” pintu ijtihad. Jadi, ijtihad merupakan salah satu dasar
dari pembuatan hukum Islam, dan ia adalah pengerahan upaya pemikiran dalam
rangka mengetahui hukum-hukum syariat, dan ini adalah hak bagi setiap Muslim
yang memenuhi hukum-hukum syarat-syarat keilmuan yang memungkinkannya
untuk melakukan ijtihad.

Dengan demikian, pintu ijtihad dengan sendirinya tertutup ketika di sana tidak ada
lagi tersisa ijtihad dalam kerangka peradaban di mana kaum Muslim hidup di
dalamnya. Ketika semua masalah yang dilontarkan dan yang mungkin dilontarkan di
dalam kerangka peradaban yang sama telah tuntas diliput, dan ketika pemanfaatan
segala kemungkinan yang disediakan oleh teks dalam arti hubungan kata dengan
makna telah sempurna, dan kasus-kasus terdahulu yang bisa dijadikan sandaran
analogi telah habis…, maka mau tidak mau pintu ijtihad dengan sendirinya tertutup
dan orang-orangpun berbelok kepada taqlid….”[26]

“Dari sini, Nampak jelas bahwa seruan kepada ijtihad” dan membuka pintu ijtihad,
akan tetap saja suara di udara selama upaya “membuka” nalar yang merupakan titik
utama tugas ijtihad, belum tercapai. Hal ini karena pintu ijtihad tidak pernah ditutup,
tetapi ia tertutup dengan sendirinya ketika nalar yang menjalankan ijtihad itu tertutup
di dalam kerangka peradaban dan kebudayaan yang telah berhenti bergerak dan
tumbuh. Dengan demikian, mau tidak mau diperlukan keterbukaan baru bagi nalar
Arab Islam agar ia sanggup menghadapi keterbukaan peradaban yang telah terjadi.
Tanpa hal ini, tidak akan pernah ada ijtihad pada tatanan masalah-masalah
kontemporer.”[27]

Islam telah meletakkan dasar-dasar umum cara bermasyrakat. Di dalamnya diatur


hubungan antara individu dengan individu, antara individu dengan masyarakat, anatar
satu komunitas masyarakat dengan komunitas masyarakat lainnya. Aturan itu mulai
yang sederhana sampai kepada yang sempurna, mulai dari hukum berkeluarga sampai
bernegara.

Al-Qur’an memang bukan buku sejarah yang secara sistematis membahas keadaan
masyarakat masa lampau namun sebagai bukti petunjuk yang di dalamnya di dapati
hukum-hukum perubahan masyarakat (sosial) yang berlaku sepanjang sejarah
manusia. Oleh karena itu di dalamnya terdapat ayat-ayat yang berisi perintah agar
manusia memperhatikan sejarah umat terdahulu.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

· Sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat


lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling
berkaitan. Dengan ilmu ini suatu fenomena sosial dapat dianalisis dengan faktor-
faktor yang mendorong terjadinya hubungan, mobilitas sosial serta keyakinan-
keyakinan yang mendasari terjadinya proses tersebut

· .Orang yang pertama kali menggagas sekaligus mempraktikkan sosiologi


sebagai sebuah disiplin ilmu yang mandiri adalah Ibn Khaldun kemudian dilanjtkan
oleh August Comte, Karl Marx, Emile Durkheim, Max Weber, dan Karl Mennheim.

· Pendekatan yang dilakukan dalam pendekatan studi Islam meliputi beberapa


teori, yaitu evolusionisme, interaksionalisme, fungsionalisme dan konflik.

· Kaitan antara pendeatan sosiologi dengan agama adalah: Pertama, agama telah
membantu mendorong terciptanya persetujuan mengenai isi dan kewajiban-kewajiban
sosial tersebut dengan memberikan nilai-nilai yang berfungsi menyalurkan sikap-
sikap para anggota masyarakat dan menetapkan isi kewajiban-kewajiban sosial
mereka. Dalam peranan ini agama telah membantu menciptakan sistem-sistem nilai
sosial yang terpadu dan utuh. Kedua, terdapat alasan-alasan yang kuat untuk
mempercayai bahwa agama juga telah memainkan peranan vital dalam memberikan
kekuatan memaksa yang mendukung dan memperkuat dan memperkuat adat-istiadat.
Dalam hal ini patut diketahui bahwa sikap mengagungkan dan rasa hormat, terutama
yang berkaitan dengan adat istiadat (moral) yang berlaku, berhubungan erat dengan
perasaan-perasaan kagum yang ditimbulkan oleh yang sakral itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, 2012, Jakarta: Rajawali Pers.

M. Atho Mudzhar, Pendekatakan Studi Islam dalam Teori dan Praktek,1998,


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Muhyar Fanani, Metode Studi Islam; Aplikasi Sosiologi sebagai Cara Pandang,
2008, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Abdul Latif, Pendidikan Berbasis Nilai-nilai Kemasyarakatan, 2009, Bandung:


Refika Aditama.

Zulfi Mubarak, Sosiologi Agama; Tafsir Sosial Fenomena Multi-Religius


Kontemporer, 2006, Malang: UIN Malang Press.

Atang Abd, Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, 2003 Bandung:
Remaja Rosdakarya.

Elizabeth K. Nottingham (penerjemah: Abdul Muis Naharong), Agama dan


Masyarakat; Suatu Pengantar Sosiologi Agama, 1996, Jakarta: RajaGrafindo
Persada.

Wikipedia Bahasa Indonesia, Sosiologi, (online) diakses


melalui http://id.wikipedia.org/wiki/Sosiologi, tanggal akses, 28 November 2014

Santribaralah, Sejarah Perkembangan Sosiologi Agama, (online) diakses


melalui http://santriblarah.blogspot.com/2013/04/sejarah-perkembangan-sosiologi-
agama_9077.html, tanggal akses 28 November 2014.
Sugiatmo, Pendekatan Sosiologis dalam Studi Islam, (online) diakses
melalui http://mrlungs.wordpress.com/2010/08/16/pendekatan-sosiologis/, tanggal
akses 28 November 2014.

[1] Wikipedia Bahasa Indonesia, Sosiologi, (online) diakses


melalui http://id.wikipedia.org/wiki/Sosiologi, tanggal akses, 28 November 2014.

[2] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 38-
39.

[3] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam…, hlm. 39.

[4] M. Atho Mudzhar, Pendekatakan Studi Islam dalam Teori dan Praktek,
(Yogyakarta: Pustaka Pelaja, 1998), hlm. 83.84

[5] Muhyar Fanani, Metode Studi Islam; Aplikasi Sosiologi sebagai Cara Pandang,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 20-21.

[6] Santribaralah, Sejarah Perkembangan Sosiologi Agama, (online) diakses


melalui http://santriblarah.blogspot.com/2013/04/sejarah-perkembangan-sosiologi-
agama_9077.html, tanggal akses 28 November 2014.

[7]Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… , hlm. 21-22.

[8] Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… , hlm. 22-23.

[9] Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… , hlm. 27.

[10] Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… , 25.hlm.


[11] Abdul Latif, Pendidikan Berbasis Nilai-nilai Kemasyarakatan, (Bandung:
Refika Aditama, 2009) , hlm. 46

[12] Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… ,hlm. 34.

[13] Zulfi Mubarak, Sosiologi Agama; Tafsir Sosial Fenomena Multi-Religius


Kontemporer, (Malang: UIN Malang Press, 2006), hlm. 115.

[14] Zulfi Mubarak, Sosiologi Agama…, hlm 115

[15] Zulfi Mubarak, Sosiologi Agama…, hlm. 116.

[16] Sugiatmo, Pendekatan Sosiologis dalam Studi Islam, (online) diakses


melalui http://mrlungs.wordpress.com/2010/08/16/pendekatan-sosiologis/, tanggal
akses 28 November 2014.

[17] Zulfi Mubarak, Sosiologi Agama…, hlm. 116.

[18] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam…, hlm. 40-41.

[19] Atang Abd, Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2003), hlm. 223.

[20] Elizabeth K. Nottingham (penerjemah: Abdul Muis Naharong), Agama dan


Masyarakat; Suatu Pengantar Sosiologi Agama, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
1996) , hlm. 39-40.

[21] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam…, hlm. 41-42.

[22] Elizabeth K. Nottingham (penerjemah: Abdul Muis Naharong), Agama dan


Masyaraka…, hlm, 36.

[23]Elizabeth K. Nottingham (penerjemah: Abdul Muis Naharong), Agama dan


Masyarakat…, hlm. 36.

[24] Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… , , hlm. 185.


[25] Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… , hlm. 185.

[26] Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… , hlm. 186.

[27] Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… , hlm. 186.

Anda mungkin juga menyukai