( Pendekatan sosiologi )
Disusun Oleh :
Muhammad Fauzan wijaya
Muhammad fadil taufiq
Jumarni
SEMESTER VI
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM AL-FURQON MAKASS
KATA PENGANTAR
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
A. ............................................................................................. Latar
Belakang Masalah
B. ............................................................................................. Rumusan
Masalah
C. ............................................................................................. Tujuan
Penulisan Makalah
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian sosiologi
B. tokohdan perkembangan sosiologi sebagai pengetahuan
C. pendekatan dalam kerja ilmiah sosiologi
D. pendekatan sosiologi dalam studi islam
A. ............................................................................................... Kesimpula
n
B. ............................................................................................... Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Harus diakui bahwa saat ini, ilmu-ilmu keislaman tengah mengalami krisis
yang akut. Krisis ilmu-ilmu keislaman yang tengah terjadi selama ini sesungguhnya
telah menghasilkan semacam irelevansi antara ilmu-ilmu keislaman dengan realitas
kontemporer. Ilmu-ilmu keislaman terlihat semarak dalam forum-forum kajian,
bahkan pengajian, namun ia hanya menyumbang sedikit bagi pemberdayaan
masyarakat.
Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif
memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh
hanya sekedar menjadi lambang kasalehan atau berhenti sekedar disampaikan dalam
khutbah, melainkan secara konseptual menunjukkan cara-cara yang paling efektif
dalam memecahkan masalah. Tuntutan terhadap agama yang demikian itu dapat
dijawab manakala pemahaman logis normatif dilengkapi dengan pemahaman agama
yang menggunakan pendekatan lain yang secara operasional konseptual dapat
memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul. Ada banyak pendekatan yang
dapat digunakan untuk memahami agama yang meliputi pendekatan teologis
normatif, astronomis, sosiologis, psikologis, historis, kebudayaan dan pendekatan
filosofis. Hal ini perlu dilakukan karena melalui pendekatan tersebutlah kehadiran
agama secara fungsional dapat dirasakan oleh penganutnya. Sebaliknya tanpa
mengetahui berbagai pendekatan tersebut, maka tidak mustahil agama menjadi sulit
dipahami oleh masyarakat, tidak fungsional dan akhirnya masyarakat mencari
pemecahan masalah kepada selain agama, dan hal ini tidak boleh terjadi. Berkenaan
dengan ini, pemakalah akan menyajikan pembahasan mengenai pendekatan sosiologis
dalam studi Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana yang dimaksud dengan sosiologi?
2. Bagaimana tokoh dan pertumbuhan sosiologi sebagai pengetahuan?
3. Bagaimana pendekatan dalam kerja ilmiah sosiologi?
4. Bagaimana pendekatan sosiologi dalam studi Islam?
5. Tujuan Penulisan
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sosiologi
Sosiologi berasal dari bahasa Latin yaitu Socius yang berarti kawan, teman
sedangkan Logos berarti ilmu pengetahuan. Ungkapan ini dipublikasikan
diungkapkan pertama kalinya dalam buku yang berjudul "Cours De Philosophie
Positive" karangan August Comte (1798-1857). Sebagai sebuah ilmu, sosiologi
merupakan pengetahuan kemasyarakatan yang tersusun dari hasil-hasil pemikiran
ilmiah dan dapat di kontrol secara kritis oleh orang lain atau umum.[1]
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan
menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya itu. sosiologi
mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta
berubahnya perserikatan-perserikatan hidup itu serta pula kepercayaannya, keyakinan
yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama itu dalam tiap persekutuan
hidup manusia. Sementara itu, Soerjono Soekanto sebagaimana yang dikutip oleh
Abuddin Nata dalam bukunya mengartikan sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan
yang membatasi diri terhadap persoalan penilaian. Sosiologi tidak menetapkan ke
arah mana sesuatu seharusnya berkembang dalam arti memberi arti petunjuk-petunjuk
yang menyangkut kebijaksanaan kemasyarakatan dari proses kehidupan bersama
tersebut. Di dalam ilm ini juga dibahas tentang proses-proses sosial mengingat bahwa
pengetahuan perihal struktur masyarakat saja belum cukup untuk memperoleh
gambaran yang nyata mengenai kehidupan bersama dari manusia.[2]
Dari dua definisi tersebut terlihat bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang
menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta
berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Dengan ilmu ini suatu fenomena
sosial dapat dianalisis dengan faktor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan,
mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya proses tersebut.
Richard Frye dalam sebuah artikelnya berjudul “The Abbasid Conspiracy and
Modern Revolutionary Theory” pada tahun 1952 menyatakan bahwa ciri-ciri yang
menyertai kebangkitan Daulah bani Abbasiyah ketika itu sama dengan ciri-ciri yang
menyertai revolusi di berbagai Negara di dunia modern sekarang ini. Fyre
menggunakan teori anatomi revolusi yang dikembangkan oleh Crane Brinton yang
menyatakan bahwa dari empat buah revolusi yang diamatinya, yaitu Inggris,
Amerika, Perancis dan Rusia, sedikitnya ada empat persamaan. Pertama, bahwa pada
masa sebelum revolusi, ideology yang sedang berkuasa mendapat kritik keras dari
masyarakat disebabkan oleh kekecewaan dan penderitaan masyarakat yang
ditimbulkan oleh ketimpangan-ketimpangan dari ideology yang berkuasa itu. Kedua,
mekanisme pemerintahannya tidak efisien karena kelalaiannya menyesuaikan
lembaga-lembaga sosial yang ada dengan perkembangan keadaan dan tuntutan
zaman. Ketiga, terjadinya penyeberangan kaum intelektual dari mendukung ideology
yang berkuasa kepada wawasan baru yang ditawarkan oleh si pengeritik. Brinton
menamakan hal ini dengan “The dissertion of the intellectuals”. Keempat, bahwa
revolusi itu umumnya bukan hanya dipelopori dan digerakkan oleh orang-orang
lemah dan kaum bawahan, melainkan juga oleh sebagian kau penguasa yang karena
hal-hal tertentu merasa tidak puas dengan system yang ada.[4]
Tokoh yang lahir di Tunisia, Afrika Utara, pada 27 Mei 1332 M atau 1 ramadhan 732
H ini hidup dalm situasi konflik yang begitu keras antara Muslim tradisionalis,
raionalis dan kaum sufi. Situasi tidak harmonis dalam masyarakat di sekitarnya itulah
yang mendorongnya untuk mempelajari masyarakat secara serius. Dalam kajiannya,
ia telah menghasilkan sejumlah karya sosiologi, seperti kitab al-Ibar yang berisi
sejarah umum dan universal masyarakat dan Muqaddimah (Prolegomena) yang berisi
pembahasan tentang sosiologi.[5]
Ibn Khaldun telah merumuskan tentang model suku bangsa nomaden yang keras dan
masyarakat yang halus bertipe menetap dalam suatu hubungan yang kontras. Model
Khaldun mengenai tipe-tipe sosial dan perubahan sosial diwarnai oleh warisan khusus
dari pengalaman dunia gurun pasir di Arab. Tujuannya tidak hanya untuk
memberikan suatu deskripsi historis mengenai masyarakat Arab, namun untuk
mengembangkan prinsip-prinsip umum atau hukum-hukum yang mengatur dinamika-
dinamika masyarakat dan proses-proses perubahan sosial secara keseluruhan.[6]
Sebagian besar sosiolog memandang konstribusi Ibn Khaldun begitu kecil dalam
sosiologi. Mereka lebih mengakui Karl Marx dan august Comte sebagai orang yang
paling berjasa bagi disiplin ilmu baru ini. itulah makanya, rentetan panjang revolusi
politik yang dihantarkan oleh Revolusi Perancis 1789 dan revolu yang berlangsung
sepanjang abad ke-19 dipandang sebagai faktor yang paling besar perannya dalam
pembentukan sosiologi.[7]
Walaupun Marx bukanlah seorang sosiolog dan tak pernah manganggap dirinya
sosiolog, bahkan karyanya boleh dibilang terlalu luas untuk bisa dicakup dalam
pengertian sosiolog, namun ada satu teori sosiolog yang ditemukan dalam karyanya.
Marx menawarkan sebuah teori tentang masyarakat kapitalis berdasarkan citranya
mengenai sifat dasar manusia. Marx meyakini bahwa manusia pada dasarnya
produktif, artinya untuk bisa bertahan hidup manusia perlu bekerja di dalam dengan
alam. Dengan bekerja semacam itu manusia menghasilkan makanan, pakaian,
peralatan, perumahan, dan kebutuhan lain yang memungkinkan mereka hidup.
Produktivitas mereka bersifat alamiah, yang memungkinkan mereka mewujudkan
dorongan kreatif mendasar yang mereka miliki. Dorongan ini diwujudkan bersama-
sama dengan orang lain. dengan kata lain, manusia pada dasarnya adalah makhluk
social. Mereka perlu bekerja bersama untuk menghasilkan segala sesuatu yang
mereka perlukan untuk hidup.[9]
Weber memandang individu sebagai memiliki makna subjektif. Dengan asumsi ini
bahwa tindakan seorang individu dapat bermakna bagi dirinya dan dapat diakui oleh
orang lain. dunia adalah dunia makna bersama, di mana seseorang terus menerus
membaca dan menyesuaikan diri dengan penafsiran-penafsirannya mengenai orang
lain dan memodifikasi tindakan-tindakannya sendiri sebagai respon atas penilaiannya
tterhadap konsekwensi-konsekwensi perbuatannya.[11]
Bagi Mannheim sosiologi pengetahuan adalah sebuah teori pengondisian social atau
eksistensial pengetahuan. Maksudnya, teori yang mengaitkan antara pengetahuan dan
kondisi social masyarakat. Mannheim sendiri adalah seorang ilmuwan sosial
Jerman.[12]
1. Evolusionisme
2. Interaksionalisme
3. Fungsionalisme
Dalam pendekatan ini, masyarakat dipandang sebagai satu jaringan kerja sama
kelompok yang saling membutuhkan satu sama lain dalam sebuah system yang
harmonis, misalnya fenomena saling ketergantungan antara “sekolah, anak didik dan
orang tua keluarga”, keluarga berencana dengan usaha meningkatkan kesehatan dan
kesejahteraan serta hubungan dengan mutu pendidikan” dan sebagainya.[15]
4. Konflik
Alasan besanya perhatian agama yang dalam hal ini adalah Islam terhadap masalah
sosial adalah:
a. Dalam al-Qur’an atau kitab-kitab hadis, proporsi terbesar kedua sumber hukum
Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah.
d. Dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna
atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka kifaratnya (tebusannya) ialah
melakukan sesuatu yang berhubungan dengan msalah sosial. Bila puasa tidak mampu
dilakukan misalnya, jalan keluarnya adalah dengan membayar fidyah dalam bentuk
memberi makan bagi orang miskin.
e. Dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan
mendapat ganjaran lebih besar daripada ibadah sunnah. Dalam hubungannya dengan
ini misalnya membaca hadits yang artinya sebagai berikut.
“Orang yang bekerja keras untuk menyantuni janda dan orang miskin, adalah seperti
pejuang di jalan Allah (atau aku kira beliau berkata) dan seperti orang yang terus
menerus salat malam dan terus menerus berpuasa”. (H.R. Bukhari dan Muslim).[18]
Manusia sebagai makhluk yang mempunyai aneka ragam sebutan pada prinsipnya
adalah makhluk yang saling bergantung pada sesamanya, baik yang menyangkut
sandang, pangan, papan, keselamatan diri dan harta, harga diri, potensi untuk
berkembang maupun kasih sayang, di samping kebergantungan di bidang politik,
Melalui pendekatan sosiologis agama akan dapat dipahami dengan mudah, karena
agama itu sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial. Dalam al-Qur’an misalnya
kita jumpai ayat-ayat berkenaan dengan hubungan manusia dengan manusia lainnya,
sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya kemakmuran suatu bangsa, dan sebab-
sebab yang menyebabkan terjadinya kesengsaraan. Semua itu jelas baru dapat
dijelaskan apabila yang memahaminya mengetahui sejarah sosial pada saat ajaran
agama itu diturunkan.[21]
Misalnya, sebagai ilmu, ilmu ushul fikih bukanlah ilmu yang terbentuk dari ruang
hampa dan steril dari pengaruh lokasi sosial pada zaman tertentu. Oleh karena itu,
biarlah orang-orang terdahulu merumuskan prinsip-prinsip ilmu ushul fikih yang
sesuai pada saat itu, dan kita juga merumuskan prinsip-prinsip ilmu ushul fikih kita
sendiri sesuai dengan zaman kita. Dominasi antar generasi hanya akan menghasilkan
kejumudan dan kemandegan berpikir.
Wacana tertutupnya pintu ijtihad yang sempat terdengar, sesungguhnya tiada lain
adalah tidak dapat dilakukannya ijtihad karena paradigm lama dalam ilmu ushul fikih
telah mengalami keusangan (obsolete) dan keterjebakan ideologis, sehingga
mengalami disfungsi.[24] Inilah yang digambarkan al-Jabiri dalam kutipan berikut:
“Masalah-masalah khusus di masa lalu, meski mirip dan sejenis terbatas atau
memungkinkan untuk dibatasi; teks-teks syariat (al-Qur’an dan sunah) juga terbatas,
dan demikian pula ijtihad memahami kata-kata dan batas-batas petunjuk dari teks-
teks itu…, akhirnya mau tidak mau akan sampai pada titik di mana tak ada lagi yang
tersisa, dan kemudian akibat yang sudah pasti adalah “tertutupnya” pintu ijtihad,
bukan “ditutup” (dengan sengaja) seperti yang dikatakan orang.[25]
Sebenarnya, tak ada seorangpun dalam Islam yang memiliki kekuasaan untuk
“menutup” pintu ijtihad, baik para penguasa, para ahli fikih atau yang lain karena
dalam Islam tak ada gereja atau lembaga apapun yang mempunyai kekuasaan untuk
“menutup” atau “membuka” pintu ijtihad. Jadi, ijtihad merupakan salah satu dasar
dari pembuatan hukum Islam, dan ia adalah pengerahan upaya pemikiran dalam
rangka mengetahui hukum-hukum syariat, dan ini adalah hak bagi setiap Muslim
yang memenuhi hukum-hukum syarat-syarat keilmuan yang memungkinkannya
untuk melakukan ijtihad.
Dengan demikian, pintu ijtihad dengan sendirinya tertutup ketika di sana tidak ada
lagi tersisa ijtihad dalam kerangka peradaban di mana kaum Muslim hidup di
dalamnya. Ketika semua masalah yang dilontarkan dan yang mungkin dilontarkan di
dalam kerangka peradaban yang sama telah tuntas diliput, dan ketika pemanfaatan
segala kemungkinan yang disediakan oleh teks dalam arti hubungan kata dengan
makna telah sempurna, dan kasus-kasus terdahulu yang bisa dijadikan sandaran
analogi telah habis…, maka mau tidak mau pintu ijtihad dengan sendirinya tertutup
dan orang-orangpun berbelok kepada taqlid….”[26]
“Dari sini, Nampak jelas bahwa seruan kepada ijtihad” dan membuka pintu ijtihad,
akan tetap saja suara di udara selama upaya “membuka” nalar yang merupakan titik
utama tugas ijtihad, belum tercapai. Hal ini karena pintu ijtihad tidak pernah ditutup,
tetapi ia tertutup dengan sendirinya ketika nalar yang menjalankan ijtihad itu tertutup
di dalam kerangka peradaban dan kebudayaan yang telah berhenti bergerak dan
tumbuh. Dengan demikian, mau tidak mau diperlukan keterbukaan baru bagi nalar
Arab Islam agar ia sanggup menghadapi keterbukaan peradaban yang telah terjadi.
Tanpa hal ini, tidak akan pernah ada ijtihad pada tatanan masalah-masalah
kontemporer.”[27]
Al-Qur’an memang bukan buku sejarah yang secara sistematis membahas keadaan
masyarakat masa lampau namun sebagai bukti petunjuk yang di dalamnya di dapati
hukum-hukum perubahan masyarakat (sosial) yang berlaku sepanjang sejarah
manusia. Oleh karena itu di dalamnya terdapat ayat-ayat yang berisi perintah agar
manusia memperhatikan sejarah umat terdahulu.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
· Kaitan antara pendeatan sosiologi dengan agama adalah: Pertama, agama telah
membantu mendorong terciptanya persetujuan mengenai isi dan kewajiban-kewajiban
sosial tersebut dengan memberikan nilai-nilai yang berfungsi menyalurkan sikap-
sikap para anggota masyarakat dan menetapkan isi kewajiban-kewajiban sosial
mereka. Dalam peranan ini agama telah membantu menciptakan sistem-sistem nilai
sosial yang terpadu dan utuh. Kedua, terdapat alasan-alasan yang kuat untuk
mempercayai bahwa agama juga telah memainkan peranan vital dalam memberikan
kekuatan memaksa yang mendukung dan memperkuat dan memperkuat adat-istiadat.
Dalam hal ini patut diketahui bahwa sikap mengagungkan dan rasa hormat, terutama
yang berkaitan dengan adat istiadat (moral) yang berlaku, berhubungan erat dengan
perasaan-perasaan kagum yang ditimbulkan oleh yang sakral itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Muhyar Fanani, Metode Studi Islam; Aplikasi Sosiologi sebagai Cara Pandang,
2008, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Atang Abd, Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, 2003 Bandung:
Remaja Rosdakarya.
[2] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 38-
39.
[4] M. Atho Mudzhar, Pendekatakan Studi Islam dalam Teori dan Praktek,
(Yogyakarta: Pustaka Pelaja, 1998), hlm. 83.84
[5] Muhyar Fanani, Metode Studi Islam; Aplikasi Sosiologi sebagai Cara Pandang,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 20-21.
[19] Atang Abd, Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2003), hlm. 223.