Anda di halaman 1dari 17

ARTIKEL

PENDEKATAN STUDI ISLAM


SEMESTER GANJIL (1)

TENTANG
(SOSIOLOGIS)

Ditulis oleh:
RAFEL SATRIA
21010049

Dosen Pengampu:
Dr. SYAFLIN HALIM, MA

PROGRAM PASCA SARJANA


UNIVERSITAS MUMAMMADIYAH SUMATERA BARAT ( UMSB )
TAHUN 1443/2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Harus diakui bahwa saat ini, ilmu-ilmu keislaman tengah mengalami krisis yang
akut. Krisis ilmu-ilmu keislaman yang tengah terjadi selama ini sesungguhnya telah
menghasilkan semacam irelevansi antara ilmu-ilmu keislaman dengan realitas
kontemporer. Ilmu-ilmu keislaman terlihat semarak dalam forum-forum kajian, bahkan
pengajian, namun ia hanya menyumbang sedikit bagi pemberdayaan masyarakat.
Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif
memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh hanya
sekedar menjadi lambang kasalehan atau berhenti sekedar disampaikan dalam khutbah,
melainkan secara konseptual menunjukkan cara-cara yang paling efektif
dalam memecahkan masalah. Tuntutan terhadap agama yang demikian itu dapat
dijawab manakala pemahaman logis normatif dilengkapi dengan pemahaman agama
yang menggunakan pendekatan lain yang secara operasional konseptual dapat
memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul. Ada banyak pendekatan yang dapat
digunakan untuk memahami agama yang meliputi pendekatan teologis normatif,
astronomis, sosiologis, psikologis, historis, kebudayaan dan pendekatan filosofis. Hal ini
perlu dilakukan karena melalui pendekatan tersebutlah kehadiran agama secara
fungsional dapat dirasakan oleh penganutnya. Sebaliknya tanpa mengetahui berbagai
pendekatan tersebut, maka tidak mustahil agama menjadi sulit dipahami oleh
masyarakat, tidak fungsional dan akhirnya masyarakat mencari pemecahan masalah
kepada selain agama, dan hal ini tidak boleh terjadi. Berkenaan dengan ini, pemakalah
akan menyajikan pembahasan mengenai pendekatan sosiologis dalam studi Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana yang dimaksud dengan sosiologi?
2. Bagaimana tokoh dan pertumbuhan sosiologi sebagai pengetahuan?
3. Bagaimana pendekatan dalam kerja ilmiah sosiologi?
4. Bagaimana pendekatan sosiologi dalam studi Islam?

5. Tujuan Penulisan

1. Menjelaskan bagaimana yang dimaksud dengan studi Islam.


2. Menjelaskan tokoh dan pertumbuhan sosiologi sebagai pengetahuan.
3. Memaparkan pendekatan dalam kerja ilmiah sosiologi.
4. Menjelaskan pendekatan sosiologi dalam studi Islam.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Sosiologi
Dalam mempelajari agama diperlukan berbagai macam pendekatan agar substansi
dari agama itu mudah dipahami. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan di sini
adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang
selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hubungan ini Jamaluddin
Rakhmat mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai
paradigma realitas agama yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan
kerangka paradigmanya. Oleh karena itu, tidak ada persoalaan apakah penelitian agama
itu, penelitian ilmu sosial, atau penelitian filosofis.
Berbagai pendekatan manusia dalam memahami agama dapat melalui pendekatan
paradigma ini. Dengan pendekatan ini semua orang dapat sampai pada agama. Di sini
dapat dilihat bahwa agama bukan hanya monopoli kalangan teolog dan normalis,
melainkan agama dapat dipahami semua orang sesuai dengan pendekatan dan
kesanggupannya. Oleh karena itu, agama hanya merupakan hidayah Allah dan
merupakan suatu kewajiban manusia sebagai fitrah yang diberikan Allah kepadanya.
Sosiologi berasal dari bahasa Latin yaitu Socius yang berarti kawan, teman
sedangkan Logos berarti ilmu pengetahuan. Ungkapan ini dipublikasikan
diungkapkan pertama kalinya dalam buku yang berjudul "Cours De Philosophie
Positive" karangan August Comte (1798-1857). Sebagai sebuah ilmu, sosiologi
merupakan pengetahuan kemasyarakatan yang tersusun dari hasil-hasil pemikiran
ilmiah dan dapat di kontrol secara kritis oleh orang lain atau umum.[1]
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat
dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya itu.
sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan
tumbuh serta berubahnya perserikatan-perserikatan hidup itu serta pula
kepercayaannya, keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup
bersama itu dalam tiap persekutuan hidup manusia. Sementara itu, Soerjono
Soekanto sebagaimana yang dikutip oleh Abuddin Nata dalam bukunya
mengartikan sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang membatasi diri
terhadap persoalan penilaian. Sosiologi tidak menetapkan ke arah mana sesuatu
seharusnya berkembang dalam arti memberi arti petunjuk-petunjuk yang
menyangkut kebijaksanaan kemasyarakatan dari proses kehidupan bersama
tersebut. Di dalam ilm ini juga dibahas tentang proses-proses sosial mengingat
bahwa pengetahuan perihal struktur masyarakat saja belum cukup untuk
memperoleh gambaran yang nyata mengenai kehidupan bersama dari manusia.[2]
Dari dua definisi tersebut terlihat bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang
menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta
berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Dengan ilmu ini suatu fenomena
sosial dapat dianalisis dengan faktor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan,
mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya proses tersebut.
Selanjutnya, sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam
memahami agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak bidang kajian agama
yang baru dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa
bantuan dari ilmu sosiologi. Dalam agama Islam dapat dijumpai peristiwa Nabi Yusuf
yang dahulu budak lalu akhirnya bisa jadi penguasa di Mesir. Mengapa dalam
melaksanakan tugasnya Nabi Musa harus oleh Nabi Harun, dan masih banyak lagi
contoh yang lain. beberapa peristiwa tersebut baru bisa djawab dan sekaligus dapat
ditemukan hikmahnya dengan bantuan ilmu sosial. Tanpa ilmu sosial peristiwa-peristiwa
tersebut sulit dijelaskan dan sulit pula dipahami maksudnya. Di sinilah letaknya
sosiologi sebagai salah satu alat dalam memahami ajaran agama. [3]
Sebuah contoh peristiwa jatuhnya Daulah Bani Umayah pada tahun 750 M dan
bangkitnya Daulah Bani Abbasiyah telah menarik perhatian banyak sejarawan Islam
klasik. Para sejarawan melihat bahwa kejadian itu unik dan menarik, karena bukan saja
merupakan pergantian dinasti tetapi lebih dari itu adalah pergantian struktur social dan
ideology. Maka, banyak sejarawan yang menilai bahwa kebangkitan Daulah Bani
Abbasiyah merupakan suatu revolusi dalam arti kata yang sebenarnya.
Richard Frye dalam sebuah artikelnya berjudul “The Abbasid Conspiracy and
Modern Revolutionary Theory” pada tahun 1952 menyatakan bahwa ciri-ciri yang
menyertai kebangkitan Daulah bani Abbasiyah ketika itu sama dengan ciri-ciri yang
menyertai revolusi di berbagai Negara di dunia modern sekarang ini. Fyre menggunakan
teori anatomi revolusi yang dikembangkan oleh Crane Brinton yang menyatakan bahwa
dari empat buah revolusi yang diamatinya, yaitu Inggris, Amerika, Perancis dan Rusia,
sedikitnya ada empat persamaan. Pertama, bahwa pada masa sebelum revolusi, ideology
yang sedang berkuasa mendapat kritik keras dari masyarakat disebabkan oleh
kekecewaan dan penderitaan masyarakat yang ditimbulkan oleh ketimpangan-
ketimpangan dari ideology yang berkuasa itu. Kedua, mekanisme pemerintahannya tidak
efisien karena kelalaiannya menyesuaikan lembaga-lembaga sosial yang ada dengan
perkembangan keadaan dan tuntutan zaman. Ketiga, terjadinya penyeberangan kaum
intelektual dari mendukung ideology yang berkuasa kepada wawasan baru yang
ditawarkan oleh si pengeritik. Brinton menamakan hal ini dengan “The dissertion of the
intellectuals”. Keempat, bahwa revolusi itu umumnya bukan hanya dipelopori dan
digerakkan oleh orang-orang lemah dan kaum bawahan, melainkan juga oleh sebagian
kau penguasa yang karena hal-hal tertentu merasa tidak puas dengan system yang ada. [4]

B. Tokoh dan Perkembangan Sosiologi Sebagai Pengetahuan


Semua bidang inetelektual dibentuk oleh setting sosialnya. Hal ini terutama
berlaku bagi sosiologi, yang tak hanya berasal dari kondisi sosialnya, tetapi juga
menjadikan lingkungan sosialnya sebagai kajian pokok. Orang yang pertama kali
menggagas sekaligus mempraktikkan sosiologi sebagai sebuah disiplin ilmu yang
mandiri adalah Ibn Khaldun.
1. Ibn Khaldun (1332 M)
Tokoh yang lahir di Tunisia, Afrika Utara, pada 27 Mei 1332 M atau 1 ramadhan
732 H ini hidup dalm situasi konflik yang begitu keras antara Muslim tradisionalis,
raionalis dan kaum sufi. Situasi tidak harmonis dalam masyarakat di sekitarnya itulah
yang mendorongnya untuk mempelajari masyarakat secara serius. Dalam kajiannya, ia
telah menghasilkan sejumlah karya sosiologi, seperti kitab al-Ibar yang berisi sejarah
umum dan universal masyarakat dan Muqaddimah (Prolegomena) yang berisi
pembahasan tentang sosiologi.[5]
Ibn Khaldun telah merumuskan tentang model suku bangsa nomaden yang keras
dan masyarakat yang halus bertipe menetap dalam suatu hubungan yang kontras. Model
Khaldun mengenai tipe-tipe sosial dan perubahan sosial diwarnai oleh warisan khusus
dari pengalaman dunia gurun pasir di Arab. Tujuannya tidak hanya untuk memberikan
suatu deskripsi historis mengenai masyarakat Arab, namun untuk mengembangkan
prinsip-prinsip umum atau hukum-hukum yang mengatur dinamika-dinamika
[6]
masyarakat dan proses-proses perubahan sosial secara keseluruhan.
Sebagian besar sosiolog memandang konstribusi Ibn Khaldun begitu kecil dalam
sosiologi. Mereka lebih mengakui Karl Marx dan august Comte sebagai orang yang
paling berjasa bagi disiplin ilmu baru ini. itulah makanya, rentetan panjang revolusi
politik yang dihantarkan oleh Revolusi Perancis 1789 dan revolu yang berlangsung
sepanjang abad ke-19 dipandang sebagai faktor yang paling besar perannya dalam
pembentukan sosiologi.[7]
2. August Comte (1798-1857)
Di tangan Comte, sosiologi sebagai sebuah disiplin ilmu menjadi semakin jelas
bentuknya. Comte mengembangkan fisika atau yang pada tahun 1839 disebutkannya
sosiologi. Penggunaan istilah fisika social jelas menunjukkan bahwa Comte berupaya
agar sosiologi meniru model “hard sciences”. Ilmu baru ini, yang menurut
pandangannya akhirnya akan menjadi ilmu dominan, adalah ilmu yang mempelajari
social statics (Statika social atau struktur social yang ada) dan social dynamics
(dinamika social atau perubahan social). Meski keduanya dimaksudkan untuk
menemukan hukum-hukum kehidupan social, ia merasa bahwa dinamika social lebih
penting ketimbang statika social. Tekanan pada perubahan sosial ini mencerminkan
perhatiannya yang sangat besar terhadap reformasi sosial. [8]
3. Karl marx (1818-1883)
Walaupun Marx bukanlah seorang sosiolog dan tak pernah manganggap dirinya
sosiolog, bahkan karyanya boleh dibilang terlalu luas untuk bisa dicakup dalam
pengertian sosiolog, namun ada satu teori sosiolog yang ditemukan dalam karyanya.
Marx menawarkan sebuah teori tentang masyarakat kapitalis berdasarkan citranya
mengenai sifat dasar manusia. Marx meyakini bahwa manusia pada dasarnya produktif,
artinya untuk bisa bertahan hidup manusia perlu bekerja di dalam dengan alam. Dengan
bekerja semacam itu manusia menghasilkan makanan, pakaian, peralatan, perumahan,
dan kebutuhan lain yang memungkinkan mereka hidup. Produktivitas mereka bersifat
alamiah, yang memungkinkan mereka mewujudkan dorongan kreatif mendasar yang
mereka miliki. Dorongan ini diwujudkan bersama-sama dengan orang lain. dengan kata
lain, manusia pada dasarnya adalah makhluk social. Mereka perlu bekerja bersama untuk
menghasilkan segala sesuatu yang mereka perlukan untuk hidup. [9]
4. Emile Durkheim (1858-1917)
Durkheim mengembangkan masalah pokok sosiologi dan kemudian diujinya
melalui studi empiris. Dalam The Rule os Sosiological Method (1859/1982) ia
menekankan bahwa tugas sosiologi adalah mempelajari fakta-fakta sosial. Ia meyakini
fakta sosial sebagai kekuatan dan struktur yang bersifat eksternal dan memaksa individu.
Studi tentang kekuatan dan struktur berskala luas ini – misalnya hukum yang
melembaga dan keyakinan moral bersama – dan pengaruhnya terhadap individu menjadi
sasaran studi banyak teoritisi di kemudian hari, termasuk Parsons. [10]
5. Max Weber (1864-1920)
Weber memandang individu sebagai memiliki makna subjektif. Dengan asumsi ini
bahwa tindakan seorang individu dapat bermakna bagi dirinya dan dapat diakui oleh
orang lain. dunia adalah dunia makna bersama, di mana seseorang terus menerus
membaca dan menyesuaikan diri dengan penafsiran-penafsirannya mengenai orang lain
dan memodifikasi tindakan-tindakannya sendiri sebagai respon atas penilaiannya
tterhadap konsekwensi-konsekwensi perbuatannya.[11]
6. Karl Mannheim (1893-1847)
Bagi Mannheim sosiologi pengetahuan adalah sebuah teori pengondisian social
atau eksistensial pengetahuan. Maksudnya, teori yang mengaitkan antara pengetahuan
dan kondisi social masyarakat. Mannheim sendiri adalah seorang ilmuwan sosial
Jerman.[12]

C. Pendekatan dalam kerja ilmiah sosiologi


1. Evolusionisme
Pendekatan ini memusatkan telaahnya pada mencari pola perubahan dan
perkembangan yang muncul dalam masyarakat yang berbeda. Titik tekan perhatiannya
pada pertanyaan “apakah ada pola umum perubahan yang bisa ditemukan dalam sebuah
masyarakat?” misalnya “apakah pengaruh proses industrialisasi terhadap keluarga di
Negara berkembang akan sama dengan yang ditemui di Barat?”; “apakah proses
pemudarnya masyarakat tradisional sama untuk setiap bangsa dan Negara. [13]
2. Interaksionalisme
Pendekatan ini memusatkan perhatiannya pada interaksi antar individu dan
kelompok. Interaksi ini terjadi bisa dengan mengunakan symbol-simbol atau isyarat.
Kemudian, diperhatikan reaksi orang terhadap makna dari symbol-simbol itu dan
dihubungan benda-benda atau kejadian-kejadian yang berlangsung. Dalam perspektif ini
sering muncul pernyataannya bahwa suatu kata, benda atau kejadian tidak bermakna
apa-apa jika orang di masyarakat ini tidak sependapat bahwa hal itu memiliki arti
khusus, misalnya “lampu merah,hjau, dan kuning lalu lintas”.[14]
3. Fungsionalisme
Dalam pendekatan ini, masyarakat dipandang sebagai satu jaringan kerja sama
kelompok yang saling membutuhkan satu sama lain dalam sebuah system yang
harmonis, misalnya fenomena saling ketergantungan antara “sekolah, anak didik dan
orang tua keluarga”, keluarga berencana dengan usaha meningkatkan kesehatan dan
kesejahteraan serta hubungan dengan mutu pendidikan” dan sebagainya. [15]
Pendekatan ini didasarkan pada dua asumsi dasar:
o Bahwa masyarakat terbentuk atas berbagai sub-struktur yang dalam fungsi-fungsi mereka
masing-masing saling bergantung, sehingga perubahan-perubahan yang terjadi dalam
fungsi satu sub-struktur dengan sendirinya akan tercermin pada perubahan-perubahan
yang terjadi dalam struktur-struktur lainnya pula. Karena itu, tugas analisis sosiologis
adalah menyelidiki mengapa suatu hal berpengaruh kepada hal lainnya, dan sampai
sejauh mana pengaruh tersebut.
o Bahwa setiap struktur berfungsi sebagai penopang aktivitas-aktivitas atau substruktur-
substruktur lainnya dalam suatu sistem sosial. Contoh-contoh sub-struktur ini dalam
masyarakat adalah keluarga, perekonomian, politik, agama, pendidikan, rekreasi, hukum
dan pranata-pranata mapan lainnya.[16]
4. Konflik
Pendekatan ini sebenarnya merupaka reaksi keras terhadap pendekatan
fungsionalisme di atas. Pendekatan konflik berpendapat, bahwa “masyarakat itu terikat
kerja sama yang erat karena kekuatan kelompok-kelompok atau kelas yang dominan”. Ia
mewariskan sebuah ketegangan yang terus menerus dalam sebuah fenomena setiap
kelompok ingin mempertahankan dominasinya.
D. Pendekatan Sosiologi dalam Studi Islam
Pentingnya pendekatan sosiologi dalam memahami agama, dapat dipahami, karena
banyak sekali ajaran agama yang bekaitan dengan masalah sosial. Besarnya perhatian
agama terhada masalah sosial ini selanjutnya mendorong kaum agama memahami ilmu-
ilmu sosial sebagai alat untuk memahami agamanya.
1. Perhatian Agama Islam Terhadap Masalah Sosial
Alasan besanya perhatian agama yang dalam hal ini adalah Islam terhadap
masalah sosial adalah:
a. Dalam al-Qur’an atau kitab-kitab hadis, proporsi terbesar kedua sumber hukum Islam
itu berkenaan dengan urusan muamalah.
b. Bahwa ditekankannya masalah muamalah (sosial) dalam Islam ialah adanya kenyataan
bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting,
maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (tentu bukan ditinggalkan),
melainkan dengan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.
c. Bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar dari
pada ibadah yang bersifat persorangan. Karena itu salah yang dilakukan secara
berjamaah dinilai lebih tinggi nilainya daripada salat yang dikerjakan sendirian
(munfarid) dengan ukuran satu berbanding dua puluh derajat.
d. Dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal,
karena melanggar pantangan tertentu, maka kifaratnya (tebusannya) ialah melakukan
sesuatu yang berhubungan dengan msalah sosial. Bila puasa tidak mampu dilakukan
misalnya, jalan keluarnya adalah dengan membayar fidyah dalam bentuk memberi
makan bagi orang miskin.
e. Dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat
ganjaran lebih besar daripada ibadah sunnah. Dalam hubungannya dengan ini misalnya
membaca hadits yang artinya sebagai berikut.
“Orang yang bekerja keras untuk menyantuni janda dan orang miskin, adalah seperti
pejuang di jalan Allah (atau aku kira beliau berkata) dan seperti orang yang terus
menerus salat malam dan terus menerus berpuasa”. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Manusia sebagai makhluk yang mempunyai aneka ragam sebutan pada prinsipnya
adalah makhluk yang saling bergantung pada sesamanya, baik yang menyangkut
sandang, pangan, papan, keselamatan diri dan harta, harga diri, potensi untuk
berkembang maupun kasih sayang, di samping kebergantungan di bidang politik,
ekonomi, budaya, dan hukum. Kebergantungan itu menunjukkan bahwa manusia saling
membutuhkan dalam banyak aspek, guna memenuhi hasrat dan kebutuhan hidupnya
masing-masing. Kebutuhan itu satu sama lain terkadang saling bertentangan ; kalau
tidak diatur dalam suatu kaidah atau norma yang jelas, itu bisa menimbulkan kekacauan
karena masing-masing berusaha sebisa mungkin memenuhi obsesi hidupnya. Norma
tersebut adalah mekanisme pengendalian social (mechanism of social control) yang
dilakukan untuk melaksanakan proses untuk mendidik, mengajak, atau bahkan emmaksa
individu atau masyarakat agar menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah dan nilai-nilai
kehidupan.[19]
Dengan adanya norma-norma (yang paling penting diantaranya adalah norma-
norma agama) memungkinkan disesuaikannya tingkah laku manusia dengannya. Namun
penyesuaian (terhadap norma-norma sosial) itu ternyata lebih besar kemungkinannya
apabila norma-norma itu ditunjang oleh ganjaran-ganjaran dan hukuman-hukuman yang
berat. Ganjaran-ganjaran dan hukuman-hukuman (atau sanksi-sanksi) social tersebut,
sampai taraf tertentu memang diakui dalam semua norma social, walaupun kebanyakan
orang hanya karena merasa diberi ganjaran secara psikologis, mau menyesuaikan diri
dengan nora-norma itu, atau karena pernah menerima hukuman dalam arti informal dan
sanksi hukum berupa cemoohan dari teman-teman mereka. Akan tetapi jika norma-
norma itu terdapat dalam kerangka acuan yang bersifat sacral, maka norma-norma
tersebut dikukuhkan pula dengan sanksi-sanksi yang sakral; dan dalam hampir semua
masyarakat sanksi-sanksi sakral tersebut mempunyai kekuatan memaksa yang istimewa.
Karena, tidak hanya menyangkut ganjaran-ganjaran dan hukuman-hukuman yang
bersifat duniawi dan manusiawi, tetapi juga ganjaran-ganjaran dan hukuman-hukuman
yang bersifat supra manusiawi dan ukhrawi.[20]
Melalui pendekatan sosiologis agama akan dapat dipahami dengan mudah, karena
agama itu sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial. Dalam al-Qur’an misalnya kita
jumpai ayat-ayat berkenaan dengan hubungan manusia dengan manusia lainnya, sebab-
sebab yang menyebabkan terjadinya kemakmuran suatu bangsa, dan sebab-sebab yang
menyebabkan terjadinya kesengsaraan. Semua itu jelas baru dapat dijelaskan apabila
yang memahaminya mengetahui sejarah sosial pada saat ajaran agama itu diturunkan. [21]
Elizabeth K. Nottingham dalam bukunya mengemukakan berikut adalah
kekuatan agama yang mampu membujuk orang-orang dan pihak-pihak (yang
bersangkutan) untuk mengorbankan kepentingan pribadi mereka demi terpenuhinya
kepentingan masyarakat secara keseluruhan:
Pertama, agama telah membantu mendorong terciptanya persetujuan mengenai
isi dan kewajiban-kewajiban sosial tersebut dengan memberikan nilai-nilai yang
berfungsi menyalurkan sikap-sikap para anggota masyarakat dan menetapkan isi
kewajiban-kewajiban sosial mereka. Dalam peranan ini agama telah membantu
menciptakan sistem-sistem nilai sosial yang terpadu dan utuh.[22]
Kedua, terdapat alasan-alasan yang kuat untuk mempercayai bahwa agama juga
telah memainkan peranan vital dalam memberikan kekuatan memaksa yang mendukung
dan memperkuat dan memperkuat adat-istiadat. Dalam hal ini patut diketahui bahwa
sikap mengagungkan dan rasa hormat, terutama yang berkaitan dengan adat istiadat
(moral) yang berlaku, berhubungan erat dengan perasaan-perasaan kagum yang
ditimbulkan oleh yang sakral itu sendiri.[23]
2. Aplikasi Sosiologi dalam Pengembangan Ilmu Keislaman
Bagi pengembangan ilmu-ilmu keislaman, sosiologi memiliki manfaat ganda,
yakni:
a. Manfaat teoritis-epistimologi : bahwa sosiologi pengetahuan dapat membantu para
pengkaji ilmu-ilmu keislaman untuk memahami substansi ilmu dan mengembangkan
paradigma di dalamnya, sehingga ilmu bisa lebih dinamis. Pemahaman terhadap
substansi ilmu dilakukan melalui penemuan eksemplar-eksemplar itu, dan
pengidentifikasian metode-metode dalam suatu paradigm. Semetara pengembangan
paradigm dilakukan melalui penelusuran kaitan antara paradigm dengan konteks sosio-
historisnya, pencarian paradigm baru berdasarkan analisis persoalan sosio-historis
kontemporer, dan pencarian teori-teori baru dalam paradigm baru.
b. Manfaat praktis sosiologis adalah bahwa sosiologi pengetahuan dapat memperkaya
metode penelitian ilmu-ilmu keislaman. Ilmu keislaman sudah selayaknya dilihat dengan
berbagai cara (apa saja boleh), asalkan semua cara itu dilakukan dengan bertanggung
jawab dan dapat memperluas perspektif para pengkaji. Hanya dengan cara
memperbanyak perspektif inilah akan terwujud ilmu keislaman yang ramah terhadap
segala keragaman dan problematika kehidupan. Di samping itu, ilmu keislaman yang
multiperspektif juga akan mudah diterima semua kalangan karena dinamika dan
kelenturannya yang tinggi ketika harus bersentuhan dengan realitas masyarakat.
Misalnya, sebagai ilmu, ilmu ushul fikih bukanlah ilmu yang terbentuk dari ruang
hampa dan steril dari pengaruh lokasi sosial pada zaman tertentu. Oleh karena itu,
biarlah orang-orang terdahulu merumuskan prinsip-prinsip ilmu ushul fikih yang sesuai
pada saat itu, dan kita juga merumuskan prinsip-prinsip ilmu ushul fikih kita sendiri
sesuai dengan zaman kita. Dominasi antar generasi hanya akan menghasilkan
kejumudan dan kemandegan berpikir.
Wacana tertutupnya pintu ijtihad yang sempat terdengar, sesungguhnya tiada lain
adalah tidak dapat dilakukannya ijtihad karena paradigm lama dalam ilmu ushul fikih
telah mengalami keusangan (obsolete) dan keterjebakan ideologis, sehingga mengalami
disfungsi.[24] Inilah yang digambarkan al-Jabiri dalam kutipan berikut:
“Masalah-masalah khusus di masa lalu, meski mirip dan sejenis terbatas atau
memungkinkan untuk dibatasi; teks-teks syariat (al-Qur’an dan sunah) juga terbatas, dan
demikian pula ijtihad memahami kata-kata dan batas-batas petunjuk dari teks-teks itu…,
akhirnya mau tidak mau akan sampai pada titik di mana tak ada lagi yang tersisa, dan
kemudian akibat yang sudah pasti adalah “tertutupnya” pintu ijtihad, bukan “ditutup”
(dengan sengaja) seperti yang dikatakan orang.[25]
Sebenarnya, tak ada seorangpun dalam Islam yang memiliki kekuasaan untuk
“menutup” pintu ijtihad, baik para penguasa, para ahli fikih atau yang lain karena dalam
Islam tak ada gereja atau lembaga apapun yang mempunyai kekuasaan untuk “menutup”
atau “membuka” pintu ijtihad. Jadi, ijtihad merupakan salah satu dasar dari pembuatan
hukum Islam, dan ia adalah pengerahan upaya pemikiran dalam rangka mengetahui
hukum-hukum syariat, dan ini adalah hak bagi setiap Muslim yang memenuhi hukum-
hukum syarat-syarat keilmuan yang memungkinkannya untuk melakukan ijtihad.
Dengan demikian, pintu ijtihad dengan sendirinya tertutup ketika di sana tidak ada
lagi tersisa ijtihad dalam kerangka peradaban di mana kaum Muslim hidup di dalamnya.
Ketika semua masalah yang dilontarkan dan yang mungkin dilontarkan di dalam
kerangka peradaban yang sama telah tuntas diliput, dan ketika pemanfaatan segala
kemungkinan yang disediakan oleh teks dalam arti hubungan kata dengan makna telah
sempurna, dan kasus-kasus terdahulu yang bisa dijadikan sandaran analogi telah
habis…, maka mau tidak mau pintu ijtihad dengan sendirinya tertutup dan orang-
orangpun berbelok kepada taqlid….”[26]
“Dari sini, Nampak jelas bahwa seruan kepada ijtihad” dan membuka pintu ijtihad,
akan tetap saja suara di udara selama upaya “membuka” nalar yang merupakan titik
utama tugas ijtihad, belum tercapai. Hal ini karena pintu ijtihad tidak pernah ditutup,
tetapi ia tertutup dengan sendirinya ketika nalar yang menjalankan ijtihad itu tertutup di
dalam kerangka peradaban dan kebudayaan yang telah berhenti bergerak dan tumbuh.
Dengan demikian, mau tidak mau diperlukan keterbukaan baru bagi nalar Arab Islam
agar ia sanggup menghadapi keterbukaan peradaban yang telah terjadi. Tanpa hal ini,
tidak akan pernah ada ijtihad pada tatanan masalah-masalah kontemporer.”[27]
Islam telah meletakkan dasar-dasar umum cara bermasyrakat. Di dalamnya
diatur hubungan antara individu dengan individu, antara individu dengan masyarakat,
anatar satu komunitas masyarakat dengan komunitas masyarakat lainnya. Aturan itu
mulai yang sederhana sampai kepada yang sempurna, mulai dari hukum berkeluarga
sampai bernegara.
Al-Qur’an memang bukan buku sejarah yang secara sistematis membahas keadaan
masyarakat masa lampau namun sebagai bukti petunjuk yang di dalamnya di dapati
hukum-hukum perubahan masyarakat (sosial) yang berlaku sepanjang sejarah manusia.
Oleh karena itu di dalamnya terdapat ayat-ayat yang berisi perintah agar manusia
memperhatikan sejarah umat terdahulu.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
• Sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap
dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan.
Dengan ilmu ini suatu fenomena sosial dapat dianalisis dengan faktor-faktor yang
mendorong terjadinya hubungan, mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang
mendasari terjadinya proses tersebut
• .Orang yang pertama kali menggagas sekaligus mempraktikkan sosiologi sebagai
sebuah disiplin ilmu yang mandiri adalah Ibn Khaldun kemudian dilanjtkan oleh August
Comte, Karl Marx, Emile Durkheim, Max Weber, dan Karl Mennheim.
• Pendekatan yang dilakukan dalam pendekatan studi Islam meliputi beberapa teori, yaitu
evolusionisme, interaksionalisme, fungsionalisme dan konflik.
• Kaitan antara pendeatan sosiologi dengan agama adalah: Pertama, agama telah
membantu mendorong terciptanya persetujuan mengenai isi dan kewajiban-kewajiban
sosial tersebut dengan memberikan nilai-nilai yang berfungsi menyalurkan sikap-sikap
para anggota masyarakat dan menetapkan isi kewajiban-kewajiban sosial mereka. Dalam
peranan ini agama telah membantu menciptakan sistem-sistem nilai sosial yang terpadu
dan utuh. Kedua, terdapat alasan-alasan yang kuat untuk mempercayai bahwa agama
juga telah memainkan peranan vital dalam memberikan kekuatan memaksa yang
mendukung dan memperkuat dan memperkuat adat-istiadat. Dalam hal ini patut
diketahui bahwa sikap mengagungkan dan rasa hormat, terutama yang berkaitan dengan
adat istiadat (moral) yang berlaku, berhubungan erat dengan perasaan-perasaan kagum
yang ditimbulkan oleh yang sakral itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, 2012, Jakarta: Rajawali Pers.


M. Atho Mudzhar, Pendekatakan Studi Islam dalam Teori dan Praktek,1998, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Muhyar Fanani, Metode Studi Islam; Aplikasi Sosiologi sebagai Cara Pandang, 2008,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Abdul Latif, Pendidikan Berbasis Nilai-nilai Kemasyarakatan, 2009, Bandung: Refika
Aditama.
Zulfi Mubarak, Sosiologi Agama; Tafsir Sosial Fenomena Multi-Religius Kontemporer, 2006,
Malang: UIN Malang Press.
Atang Abd, Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, 2003 Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Elizabeth K. Nottingham (penerjemah: Abdul Muis Naharong), Agama dan Masyarakat;
Suatu Pengantar Sosiologi Agama, 1996, Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Wikipedia Bahasa Indonesia, Sosiologi, (online) diakses
melalui http://id.wikipedia.org/wiki/Sosiologi, tanggal akses, 28 November 2014
Santribaralah, Sejarah Perkembangan Sosiologi Agama, (online) diakses
melalui http://santriblarah.blogspot.com/2013/04/sejarah-perkembangan-sosiologi-
agama_9077.html, tanggal akses 28 November 2014.

Sugiatmo, Pendekatan Sosiologis dalam Studi Islam, (online) diakses


melalui http://mrlungs.wordpress.com/2010/08/16/pendekatan-sosiologis/,
tanggal akses 28 November 2014.

[1]
Wikipedia Bahasa Indonesia, Sosiologi, (online) diakses
melalui http://id.wikipedia.org/wiki/Sosiologi, tanggal akses, 28 November 2014.
[2]
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm.
38-39.
[3]
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam…, hlm. 39.
[4]
M. Atho Mudzhar, Pendekatakan Studi Islam dalam Teori dan Praktek,
(Yogyakarta: Pustaka Pelaja, 1998), hlm. 83.84
[5]
Muhyar Fanani, Metode Studi Islam; Aplikasi Sosiologi sebagai Cara
Pandang, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 20-21.
[6]
Santribaralah, Sejarah Perkembangan Sosiologi Agama, (online) diakses
melalui http://santriblarah.blogspot.com/2013/04/sejarah-perkembangan-sosiologi-
agama_9077.html, tanggal akses 28 November 2014.
[7]
Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… , hlm. 21-22.
[8]
Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… , hlm. 22-23.
[9]
Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… , hlm. 27.
[10]
Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… , 25.hlm.
[11]
Abdul Latif, Pendidikan Berbasis Nilai-nilai Kemasyarakatan, (Bandung:
Refika Aditama, 2009) , hlm. 46
[12]
Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… ,hlm. 34.
[13]
Zulfi Mubarak, Sosiologi Agama; Tafsir Sosial Fenomena Multi-Religius
Kontemporer, (Malang: UIN Malang Press, 2006), hlm. 115.
[14]
Zulfi Mubarak, Sosiologi Agama…, hlm 115
[15]
Zulfi Mubarak, Sosiologi Agama…, hlm. 116.
[16]
Sugiatmo, Pendekatan Sosiologis dalam Studi Islam, (online) diakses
melalui http://mrlungs.wordpress.com/2010/08/16/pendekatan-sosiologis/,
tanggal akses 28 November 2014.
[17]
Zulfi Mubarak, Sosiologi Agama…, hlm. 116.
[18]
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam…, hlm. 40-41.
[19]
Atang Abd, Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2003), hlm. 223.
[20]
Elizabeth K. Nottingham (penerjemah: Abdul Muis Naharong), Agama dan
Masyarakat; Suatu Pengantar Sosiologi Agama, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996) ,
hlm. 39-40.
[21]
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam…, hlm. 41-42.
[22]
Elizabeth K. Nottingham (penerjemah: Abdul Muis Naharong), Agama dan
Masyaraka…, hlm, 36.
[23]
Elizabeth K. Nottingham (penerjemah: Abdul Muis Naharong), Agama dan
Masyarakat…, hlm. 36.
[24]
Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… , , hlm. 185.
[25]
Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… , hlm. 185.
[26]
Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… , hlm. 186.
[27]
Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… , hlm. 186

Anda mungkin juga menyukai