Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

AIK- STUDI INTEGRASI DAN SAINS


SEMESTER GANJIL (1)

TENTANG
(PEMURNIAN DAN PEMBAHARUAN DALAM DUNIA MUSLIM)

Di susun oleh:
RAFEL SATRIA
21010049

DOSEN PENGAMPU:
Dr. RIKI SAPUTRA, MA

PROGRAM PASCA SARJANA


UNIVERSITAS MUMAMMADIYAH SUMATERA BARAT ( UMSB )
TAHUN 1443/2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sejarah merupakan realitas masa lalu, keseluruhan fakta, dan merupakan
peristiwa yang unik dan berlaku hanya sekali dan tidak akan terulang kedua kalinya
persoalan peradaban jauh lebih penting dari aspek-aspek yang menjadi pendorong
munculnya kejayan Islam dalam sejarah terletak pada tingginya peradaban yang di
upayakan melalui ilmu pengetahuan. Adanya dukungan dari kebijakan politik dan
ekonomi dalam memberikan simulasi bagi kegiatan-kegiatan keilmuan, dapat
mendorong berkembangnya tradisi keilmuan bagi siapa saja yang menghendakinya.
Pembahasan sejarah perkembangan peradaban Islam yang sangat panjang dan
luas itu tidak bisa dilepaskan dari pembahasan sejarah perkembangan politiknya. Tidak
hanya politik yang menentukan perkembangan aspek-aspek peradaban tertentu
melainkan karena sistem politik dan pemerintah itu sendiri merupakan salah satu aspek
penting dari peradaban.

2.1. Rumusan,Tujuan, dan Manfaat


Adapun tujuan makalah ini yaitu agar dapat diketahui bagaimana kemajuan
peradaban Islam dalam berbagi bidang, sebab-sebab kemundurannya, perlunya
pemurnian dan pembaharuan, serta siapa saja yang berperan dalam pembaharuan
tersebut. Dan di antara manfaatnya yaitu kita dapat mengetahui pembaharuan Islam dan
tokoh-tokohnya.
BAB II
KEMAJUAN PERADABAN ISLAM
DAN SEBAB KEMUNDURAN
2.1. Sejarah Kemajuan Peradaban Islam
Lahirnya Islam telah merombak total seluruh aspek kehidupan bangsa Arab,
budaya, agama dan alam pikiran mereka. Dari jahiliyah, menjadi masyarakat
ilmiyah, perubahan alam pikiran bangsa Arab yang nantinya memberikan perubahan
alam pikiran dunia pada umumnya. Timbulnya revolusi dalam dunia pemikiran
berarti terjadi revolusi, sosial, politik, dan ilmu pengetahuan.
Islam telah merubah keyakinan dan pemikiran bangsa Arab secara fundamental,
perubahan ini melalui dua cara, yaitu:
1. Cara langsung: ajaran Islam yang berisi aqidah, syariah, dan akhlak telah
mewarnai perubahan, dalam bidang keyakinan, adat istiadat dan pola pikir.
2. Cara tidak langsung: secara sosial politik dengan datangnya Islam telah
menghantarkan orang-orang Arab muslim untuk menguasai dua adikuasa,
Romawi dan Persia. Dua bangsa ini telah mencapai peradaban yang tinggi dan
maju1.
Setelah Rasulullah ‫ ﷺ‬wafat, kepemimpinan (khalifah) digantikan oleh Al Khulafa
Ar-Rasyidin, Daulah Umayyah dan Abbasiyah. Islam meluas ke seluruh pelosok
dunia, meliputi benua Asia, Afrika dan Eropa (Spanyol dan daerah Itali)2
Dalam bidang peradaban dan perkembangan ilmu pengetahuan Daulah
Abbasiyah telah menjadi lambang puncak kejayaan dan keemasan Islam,
sebagaimana pendapat ahli sejarah diantaranya Jurji Zaidan dalam bukunya Tarikh
Adab Al-lughah Al-Arabiyah menyimpulkan “Masa Daulah Abbasiyah adalah
sebagai masa keemasan Islam, dimana pada waktu itu telah mencapai puncak
kemuliaan, baik bidang ekonomi, kebudayaan dan kekuasaan. Berkembang berbagai
cabang ilmu pengetahuan, dan pada waktu itu bahasa Arab sebagai bahasa politik
dan ilmu pengetahuan.”

1
Lihat SEJARAH KELAHIRAN, PERKEMBANGAN, DAN MASA KEEMASAN ISLAM hal 57
2
Lihat SEJARAH KELAHIRAN, PERKEMBANGAN, DAN MASA KEEMASAN hal 60
2.1. Sebab-Sebab Kemunduran Islam
Faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran Islam, disebabkan oleh dua faktor,
yaitu: faktor intern dan ekstern.
1. Faktor Internal
• Banyak muncul sekte-sekte dalam islam yang menjadi duri dalam daging
• Banyak tertipu dan terlena dengan hidup glamor dan bermewah-mewah,
sehingga berdampak kemerosotan mental anak-anak kaum muslimin
• Munculnya fanatisme jahiliyah (asobiyah)
• Mulai melemahnya pemimpin-pemimpin kaum muslimin
• Tidak adanya kesiapan mental dalam menghadapi perubahan yang terjadi.
Ketika berada di padang pasir mereka hidup bersahaja, miskin. Setelah
pindah ke daerah dengan harta yang melimpah ruah, mereka lupa diri.
Kehidupan yang konsumtif berlebihan maka terjadilah korupsi dan
penyimpangan-penyimpangan dan menyebabkan lemahnya kekuasaan
negara
• Mengendurnya tradisi disiplin
• Melemahnya kontrol terhadap penguasa-penguasa daerah
• Hilangnya tokoh yang berwibawa dan memiliki kekuasaan
• Jauhnya hubungan penguasa dan ulama
• Seringnya terjadi konflik dalam perebutan kekuasaan
• Dekadensi moral yang melanda sebagian para pemimpin kaum muslim
• Penyelewengan dan pemberontakan
• Merosotnya ekonomi
2. Faktor Ekstrenal
• Timbulnya dinasti-dinasti kecil, baik dari kalangan Islam mapun Kristen.
Semangat juang umat Kristen memuncak, sedangkan pihak Islam
semangat juangnya melemah
• Adanya goncangan politik
• Serangan dari musuh-musuh Islam yang begitu gencar
• Munculnya negara-negara kuat di Eropa
• Munculnya ide-ide baru seperti komunisme, sekularisme, nasionalisme,
demokrasi, republik dan reformasi yang ini menimbulkan masalah baru.

BAB III
KONSEP TAJDID DALAM ISLAM
3.1. Sejarah Perkembangan Peradaban Islam
Rasulullah ‫ ﷺ‬Bersabda "Sesungguhnya Allah ta’ala mengutus Umat ini pada tiap
penghujung seratus tahun akan muncul orang yang memperbaharui Agamanya. (Sunan
Abu Daud).
Secara bahasa, kata tajdid berarti pembaruan. Ia merupakan proses menjadikan
sesuatu yang terlihat usang untuk dijadikan baru kembali. Ia merupakan upaya untuk
menghadirkan kembali sesuatu yang sebelumnya telah ada untuk diperbaiki dan
disempurnakan.
Pada konteks ini, sejarah telah mencatat bahwa pembaruan telah terjadi di dunia
Kristen dengan adanya Reformasi Gereja yang terjadi pada abad pertengahan. Sebagian
tokoh Kristen menganggap agama Kristen harus direformasi tatanannya karena telah
dianggap telah terjadi penyelewengan yang dilakukan oleh para petinggi-petinggi
Gereja. Pembaruan juga terjadi di Barat dengan adanya revolusi Perancis yang di ikuti
dengan revolusi Industri yang diawali dengan bangkitnya Bangsa Eropa dari masa
kegelapan.
Pertanyaannya adalah, apakah dalam Islam juga terdapat pembaruan atau tajdid?
Apakah tajdid dalam Islam? Sepintas pertanyaan tersebut akan mudah terjawab. Dalam
benak kita pun akan terbayang sejumlah tokoh yang dikenal sebagai tokoh pembaharu
dalam pemikiran ke Islaman. Namun alangkah baiknya bila kita definisikan dahulu apa
yang dimaksud tajdid dalam Islam, untuk kemudian dengan mudah kita akan
mengetahui mana gerakan yang layak disebut sebagai pembaharuan.
Pembaruan dalam Islam bukanlah sesuatu yang evolusioner, melainkan lebih
cenderung devolusioner, dengan artian bahwa pembaruan bukan merupakan proses
perkembangan bertahap dimana yang datang kemudian lebih baik dari sebelumnya.
Pembaruan Islam adalah proses pemurnian dimana konsep pertama atau konsep
asalnya difahami dan ditafsirkan sehingga menjadi lebih jelas bagi masyarakat pada
masanya dan lebih penting lagi penjelasan itu tidak bertentangan dengan aslinya. Di sini
bukan perubahan yang terjadi, tetapi pemberagaman makna dan penafsiran. Di samping
itu, tajdid ini bisa berarti memperbaharui ingatan orang yang telah melupakan ajaran
agama Islam yang benar, dengan memberi penjelasan dan argumentasi-argumentasi baru
sehingga meyakinkan orang yang tadinya ragu, dan meluruskan kekeliruan atau
kesalahpahaman mereka yang keliru dan salah paham.
Sebenarnya proses ini telah diramalkan sendiri oleh Nabi ‫ ﷺ‬dalam haditsnya.
Sesuai hadist diatas, bahwa hal ini mengandung peringatan bagi kaum Muslim untuk
selalu bersikap optimis dalam menghadapi hidup, karena Allah tidak akan membiarkan
kerusakan terjadi pada hamba-hambaNya. Sebaliknya Allah akan menyelamatkan
hamba-hambaNya dari kesesatan dan kebingungan dengan mengirim seorang mujaddid
yang akan menghidupkan kembali ajaran-ajaranNya.
Proses tajdid ini juga diperlukan karena pemahaman umat Islam terhadap ajaran
Islam telah semakin jauh dari bentuk dan sifat aslinya. Namun sang mujaddid akan tetap
berpegang teguh pada kebenaran mutlak yang terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
Pada pengertian ini, pembaruan Islam berbeda dengan pembaruan yang terjadi di dunia
lain yang bersifat reformasi dan revolusi. Dimana yang datang kemudian akan menjadi
evaluasi dan menghapuskan pendapat yang lama. Begitu juga pembaruan Islam
mempunyai rujukan yang jelas, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah. Sementara pembaruan
lain akan terus berproses mencari dan tidak memiliki rujukan yang mutlak dan pasti.
3.2. Ke-bid’ah-an Semarak
Tidak dipungkiri lagi Islam terjaga, namun terkadang pengamalan Islam itu
melemah dan terjadi pengurangan dan pertambahan yang dimasukkan ke dalam ajaran
yang mulia ini. Karena itu, nampak bermunculan ke-bid’ah-an dan perkara yang
menyelisihi syariat, serta hilangnya beberapa Sunnah dengan sebab itu. Karena
lemahnya pengamalan atau bahkan hilangnya pengamalan ajaran Islam pada sebagian
besar kaum muslimin, maka umat Islam membutuhkan orang yang memperbarui agama
ini dengan mengembalikannya kepada keaslian dan kemurnian ajaran suci ini. Lalu
Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Pemurah dan Penyayang memberikan
anugerah-Nya kepada umat ini dengan dimunculkannya para mujaddid yang mengikuti
jejak langkah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar menghidupkan kembali
ajaran Islam dan mematikan ke-bid’ah-an, serta mengembalikan umat ini untuk
komitmen terhadap ajaran agamanya yang benar.

3.3. Tajdid Satu Istilah Syar’i


Istilah At-Tajdid adalah istilah syar’i yang bersumber kepada hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi,

‫علهى هرأْ ِس كُ ِِّل ِمائ ه ِة ه‬


‫سنه ٍة هم ْن يُ هج ِدِّدُ له هها دِينه هها‬ ‫ث ِل هه ِذ ِه ْاْل ُ َّم ِة ه‬
ُ ‫َللا يه ْبعه‬
‫إِ َّن َّ ه‬

“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus untuk umat ini setiap


awal seratus tahun orang yang memperbarui agamanya.”3.

Istilah ini berasal dari bahasa Arab dari kata (‫ ) هجدَّده‬dan (‫) هج ِديْد‬. Kata Al-Jadid
banyak digunakan dalam Al-Quran dan As-Sunnah atau dalam penggunaan para ulama.
Bila kita melihat pengertian etimologi bahasa Arab tentang kata “At-Tajdid” dan kata
turunannya ternyata kembali kepada pengertian menghidupkan (‫)اإل ْحيهاء‬,
ِ membangkitkan
ُ ‫ )الب ْع‬dan mengembalikan (ُ ‫عادهة‬
(‫ث‬ ‫)اإل ه‬.
ِ Sehingga ada tiga unsur makna yang terkandung
dalam kata tersebut yaitu keberadaan sesuatu (‫)و ُج ْود ك ْهونِيهة‬
ُ kemudian hancur atau hilang
(‫ )بهلهى أو د ُُر ْوس‬kemudian dihidupkan dan dikembalikan (‫عادهة‬
‫)اإل ْحيهاء أو اإل ه‬
ِ .
4

Karena istilah ini bersumber kepada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam, maka hanya Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sajalah yang dapat
menentukan pengertian yang benar terhadap istilah “At-Tajdid” dan ketentuan-
ketentuannya.
Kata “At-Tajdid” dalam hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sama
dengan pengertian bahasa di atas yaitu menunjukkan pengertian kebangkitan,
menghidupkan dan mengembalikan. Hal ini dapat dilihat dalam hadits Abdullah bin
Amru bin Al-Ash radhiallahu ‘anhu yang berbunyi,

‫ي قُلُ ْو ِب ُك ْم‬ ِ ُ‫هللا أ ه ْن يُ هج ِدِّد‬


ْ ِ‫اإل ْي همانه ف‬ ‫ فهاسْأهلُ ْوا ه‬، ‫ي هج ْوفِ أ ه هح ِدكُ ْم هك هما يه ْخله ُق الث َّ ْوب‬
ْ ِ‫اإل ْي همانه لهيه ْخله ُق ف‬
ِ ‫ِإ َّن‬

3
HR. Abu Daud no. 3740 dan dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ahadits Ash-Shahihah,
no. 599
4
Mafhum Tajdid Ad-Dien, Bisthami Muhammad Sa’id, hal. 18).
“Sesungguhnya iman akan rusak di hati salah seorang kalian sebagaimana
rusaknya baju, maka mohonlah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk
mengembalikan iman dalam kalbu kalian.”

Sebuah realita kalau pengertian istilah “At-Tajdid” banyak diperselisihkan orang


dan disimpangkan dari pengertian yang benar. Berapa banyak orang mendefinisikannya
dengan beragam definisi yang menyimpang dari Islam. Padahal semua mengerti kalau
istilah ini bersumber dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga pasti
pengertian yang benar tentang istilah ini adalah yang dimaksudkan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan disampaikan kepada para Sahabat. Kemudian Sahabat
telah menyampaikannya kepada generasi setelahnya secara bersambung dan estafet,
karena orang yang berhak menjelaskan pengertian istilah syar’i ini adalah para Ulama
salaf dari kalangan Sahabat, tabiin dan tabiit tabiin serta para Imam besar yang sudah
terkenal dan masyhur serta diterima kaum Muslimin generasi demi generasi.
Berikut ini pernyataan mereka tentang pengertian istilah At-Tajdid secara global5:
1) Pengajaran agama dan menghidupkan Sunnah-Sunnah serta menolak
kedustaan atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hal ini dijelaskan Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah dalam
pengertian tajdid. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya
Allah membangkitkan untuk manusia dalam setiap seratus tahunnya orang yang
mengajarkan sunah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menolak dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kedustaan.”6.
2) Memurnikan agama, membela Aqidah yang benar dan menjelaskan
Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta membela ahlinya dan
menghancurkan ke-bid’ah-an.
Al-Munaawi rahimahullah ketika menjelaskan tentang tajdid dalam
agama menyatakan, “Maksudnya adalah menjelaskan sunnah dari bidah,
memperbanyak ilmu, membela ahli ilmu dan menghancurkan kebidahan dan
merendahkannya.”7.

5
Tajdid ad-Din, Mafhum wa Dhawaabith wa Atsaarahu hlm. 40-49
6
Lihat Taarikh al-Baghdadi, 2/62
7
Lihat Faidh Al-Qadir,2/281
Oleh karena itu, imam Ahmad bin Hambal rahimahullah menyatakan,
“Diriwayatkan dalam satu hadits bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus
setiap seratus tahun orang yang memurnikan agamanya.”8.
3) Menghidupkan semua yang telah melemah dan menghilang dari ma’alim
(syiar) agama, juga menghidupkan semua perkara Sunnah yang telah
hilang dan semua ilmu Aqidah dan ibadah yang telah samar.
Abu Sahli Ash-Shu’luuki (wafat tahun 369 H.) pernah berkata tentang
tajdid, “Allah telah mengembalikan agama ini setelah hilang mayoritasnya
dengan Ahmad bin Hambal.”9.
Demikianlah beberapa pernyataan Ulama terdahulu seputar tajdid yang
nampaknya berbeda namun memiliki satu kesamaan dalam memahami istilah
tajdid ini. Hal ini dapat diungkapkan dalam ungkapan berikut ini:
• At –Tajdid (pembaharuan agama) adalah menghidupkan kembali yang
telah hilang atau lemah dari pokok-pokok agama (Ushuluddin) dan
cabangnya, baik berupa ucapan atau perbuatan dan mengembalikanbnya
kepada keadaannya yang benar yang telah diajarkan Al-Qur`an dan As-
Sunnah serta menghilangkan semua yang berhubungan dengan agama pada
akal manusia dan amalannya berupa kebidahan dan khurafat10.
• At-Tajdid adalah mengembalikan kecemerlangan, keindahan islam dan
menghidupkan yang telah hilang dari Sunnah dan syiar-syiar-nya serta
mensucikan islam dari ke-bid’ah-an dan khurafat, juga membersihkannya dari
tambahan-tambahan manusia yang masuk padanya dan menebarkan agama ini
diantara manusia pada keadaannya yang asli, murni dan suci11.
• At-Tajdid adalah menghidupkan dan menebar syiar-syiar agama
(ma’aalimuddin) baik yang bersifat ilmiyah maupun amaliyah yang telah
dijelaskan nash-nash Al-Quran dan As-Sunnah serta pemahaman salaf12

8
Lihat Shofwat ash-Shofwah, 2/13
9
Lihat Tabyiin Kadzib al-Muftari, hal. 53
10
Lihat Tajdidud Dien Mafhumuhu wa Dhawaabituhu wa Atsaaruhu, hal. 46
11
Lihat Asbaabul Akhthaa’ fit Tafsir DR. Thaahir Mahmud Muhammad Ya’qub, 2/786
12
Lihat Mafhum Tajdidid Din, hal. 30
Dari tiga kesimpulan ini dapat diambil satu pengertian singkat untuk
istilah At-Tajdid yang dalam istilah kita adalah pembaharuan agama sebagai
upaya mengembalikan umat kepada Islam yang tegak diatas Al-Qur`an dan
Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan pemahaman
salaf umat dari kalangan para sahabat, tabi’in dan orang yang mengikuti jejak
langkah mereka dalam beragama. Wallahu a’lam.

3.4. Beberapa Tokoh-Tokoh Dalam Pembaruan Islam serta pemikirannya


Pemikiran tokoh-tokoh yang terkait dalam pembaruan agama Islam adalah
sebagai berikut:
1. Ibnu Tamiyah
Ibnu Taimiyah terlahir, dengan nama Ahmad Taqiyuddin Abu al-Abbas ibn
al-Syeikh Syihab al-Din Abi al-Mahasin Abd al-Halim ibn al-Syeikh Majd al-
Din Abi al-Barakat Abd al-Salam bin Abi Muhammad Abdullah bin Abi al-
Qasim al-Khidir bin Ali bin Abdullah, tepatnya di Harran 10 Rabiul Awal 661
H./22 Januari 1263 M. Harran adalah sebuah negeri dekat dataran Eropa, terletak
antara Dajlah (Tigris) dan Furat (Euphrat).
Di dalam metode pemikiran Ibnu Taimiyah, kita akan dihadapkan dengan
sebuah istilah 'Salafiah', dan tokoh yang paling menonjol dalam mendakwahkan
'Salafiah' dan membelanya mati-matian pada masa lampau ialah Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah beserta muridnya Imam Ibnul-Qoyyim dan yang lainnya. Mereka
inilah orang yang paling pantas mewakili gerakan 'Pembaruan Islam' pada masa
mereka. Karena pembaruan yang mereka lakukan benar-benar mencakup seluruh
disiplin ilmu Islam. Mereka telah menumpas faham 'taqlid', 'fanatisme madzhab
fiqh' dan Ilmu Kalam yang sempat mendominasi dan mengekang pemikiran
Islam selama beberapa abad. Namun, disamping kegarangan mereka dalam
membasmi 'ashobiyah madzhabiyah' ini, mereka tetap menghargai para Imam
Madzhab dan memberikan hak-hak mereka untuk dihormati. Hal itu jelas terlihat
dalam risalah "Raf'i Ma lam 'an al-A'immat al-A'lam" karya Ibnu Taimiyah.
manhaj 'nalar' dan 'mengikuti dalil', melihat setiap pendapat secara obyektif,
bukan memandang orangnya, itulah yang telah ditempuh oleh Ibnu Taimiyah.
Metodologi yang ditempuh Ibnu Taimiyah
Metodologi yang ditempuh Ibnu Taimiyah terdiri dari empat unsur, antara lain
adalah:
• Ibnu Taimiyah tidaklah menggunakan nalar sebagai sumber yang mutlak
dalam menentukan hukum.
• Ibnu Taimiyah tidaklah berpihak hanya pada satu pendapat saja, bagi Ibnu
Taimiyah tidak seorang pun memiliki kedudukan kecuali baginya bersumber dari
Al-Qur'an, As-Sunnah dan Atsar para ulama Salaf yang mengikuti Nabi ‫ﷺ‬.
tentang madzhab empat, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa jika pendapat-
pendapat ulama Salaf sesuai dengan Al-Qur'an, As-Sunah dan Atsar, mereka
perlu kita ikuti, dan begitu juga sebaliknya.
• Ibnu Taimiyah berpandangan bahwa Syari’ah itu bersumber dari Al-Qur’an,
Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬lah yang menjelaskan dan mempraktekkannya kepada umat
terlebih kepada para Sahabat pada masa Nabi ‫ﷺ‬. Sehingga bagi orang yang
mengikuti Nabi ‫ ﷺ‬lewat tafsir, penjelasan, dan penyampaian para Sahabat berarti
merekalah sejatinya orang-orang yang mengikuti syari'at Allah ta’ala dari Nabi
Muhammad ‫ﷺ‬, merekalah (para Sahabat) yang menjaga ajaran Nabi ‫ﷺ‬, karena
mereka yang langsung mendengar dan memahami Syari’at Allah langsung dari
Nabi ‫ﷺ‬. Begitupun para Tabi’in yang mendapatkan penyampaian dan
pemahaman langsung dari para sahabat. Sebagaimana Ibnu Taimiyah
menyatakan dalam kitab al-Risalah al-Wasathiyah, “Terkadang aku
menangguhkan dari apa yang ada di tahun tiga, sehingga apabila telah datang
satu pendapat dari periode ketiga yang tidak sesuai dengan di atas maka aku
mengembalikannya kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah, jika sesuai dengan apa
yang telah di bawa Nabi ‫ﷺ‬, Sahabat dan Tabi’in maka aku menetapkannya”.
Yang dimaksud dengan periode tiga itu adalah periode setelah Nabi, Sahabat dan
Tabi’in.
• Ibnu Taimiyah tidaklah orang yang fanatik terhadap pemikirannya saja, Ibnu
Taimiyah selalu melepas dirinya dari segala apa yang mengikatnya, kecuali yang
sesuai dengan Al-Qur'an, As-Sunnah dan Atsar Salaf. Ibnu Taimiyah tumbuh
pada dirinya lewat Madzhab Hambali, akan tetapi Ibnu Taimiyah dapat
mengontrol diri, sehingga Ibnu Taimiyah pun mempelajari dan memperdalam
Madzhab-Madzhab secara keseluruhan, kemudian menghubungkan semua dalam
satu sumber.
2. Muhammad bin ‘Abdul Wahhab
Muhammad bin ʿAbdul Wahhāb (1115 - 1206 H/1701 - 1793 M) adalah
seorang ahli teologi agama Islam dan seorang tokoh pemimpin gerakan
keagamaan yang pernah menjabat sebagai Mufti Daulah Su'udiyyah yang
kemudian berubah menjadi Kerajaan Arab Saudi.
Muhammad bin Abdul Wahab memulai pergerakan di kampungnya
sendiri, Uyainah. Ketika itu, Uyainah diperintah oleh seorang Amir (penguasa)
bernama Usman bin Muammar. Amir Usman menyambut baik ide dan gagasan
Syeikh Muhammad, bahkan beliau berjanji akan menolong dan mendukung
perjuangan tersebut. Suatu ketika, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab
meminta izin pada Amir Uthman untuk menghancurkan sebuah bangunan yang
dibina di atas Maqam Zaid bin al-Khattab. Zaid bin al-Khattab adalah saudara
kandung Umar bin al-Khattab, Khalifah Rasulullah yang kedua. Membuat
bangunan di atas kubur menurut pendapatnya dapat menjurus kepada
kemusyrikan. Amir menjawab "Silakan... tidak ada seorang pun yang boleh
menghalang rancangan yang mulia ini". Tetapi beliau khawatir masalah itu
kelak akan dihalang-halangi oleh penduduk yang tinggal berdekatan Maqam
tersebut. Lalu Amir menyediakan 600 orang tentara untuk tujuan tersebut
bersama-sama Syeikh Muhammad merobohkan Maqam yang dikeramatkan itu.
Sebenarnya apa yang mereka sebut sebagai Maqam Zaid bin al-Khattab
ra yang gugur sebagai Syuhada’ Yamamah ketika menumpaskan gerakan Nabi
Palsu (Musailamah al-Kazzab) di negeri Yamamah suatu waktu dulu, hanyalah
berdasarkan prasangka belaka. Karena di sana terdapat puluhan Syuhada’
(pahlawan) Yamamah yang dikebumikan tanpa jelas lagi pengenalan mereka.
Bisa saja yang mereka anggap Maqam Zaid bin al-Khattab itu adalah Maqam
orang lain. Tetapi oleh karena masyarakat setempat di situ telah terlanjur
beranggapan bahwa itulah makam beliau, mereka pun mengkramatkannya dan
membina sebuah Masjid di dekatnya. Maqam itu kemudian dihancurkan oleh
Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab atas bantuan Amir Uyainah, Uthman bin
Muammar.
Pergerakan Syeikh Muhammad tidak berhenti sampai disitu, ia kemudian
menghancurkan beberapa makam yang dipandangnya berbahaya bagi ke-
Tauhidan. Hal ini menurutnya adalah untuk mencegah agar Maqam tersebut
tidak dijadikan objek peribadatan oleh masyarakat Islam setempat. Berita tentang
pergerakan ini akhirnya tersebar luas di kalangan masyarakat Uyainah mahupun
di luar Uyainah.
Ketika pemerintah Al-Ahsa' mendapat berita bahwa Muhammad bin'Abd
al-Wahhab mendakwahkan pendapat, dan pemerintah 'Uyainah pula
menyokongnya, maka kemudian memberikan peringatan dan ancaman kepada
pemerintah 'Uyainah. Hal ini rupanya berhasil mengubah pikiran Amir Uyainah.
Ia kemudian memanggil Syeikh Muhammad untuk membicarakan tentang cara
tekanan yang diberikan oleh Amir al-Ahsa'. Amir Uyainah berada dalam posisi
serba salah saat itu, di satu sisi dia ingin mendukung perjuangan Syeikh tapi di
sisi lain ia tak berdaya menghadapi tekanan Amir Al-Ihsa. Akhirnya, setelah
terjadi perdebatan antara Syeikh dengan Amir Uyainah, di capailah suatu
keputusan bahwa Syeikh Muhammad harus meninggalkan daerah Uyainah dan
mengungsi ke daerah lain.
Dalam bukunya yang berjudul Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahab,
Da'watuhu Wasiratuhu, Syeikh Muhammad bin `Abdul `Aziz bin `Abdullah bin
Baz, beliau berkata: "Demi menghindari pertumpahan darah, dan karena tidak
ada lagi pilihan lain, di samping beberapa pertimbangan lainnya maka
terpaksalah Syeikh meninggalkan negeri Uyainah menuju negeri Dariyah
dengan menempuh perjalanan secara berjalan kaki seorang diri tanpa ditemani
oleh seorangpun. Ia meninggalkan negeri Uyainah pada waktu dini hari, dan
sampai ke negeri Dariyah pada waktu malam hari." (Ibnu Baz, Syeikh `Abdul
`Aziz bin `Abdullah, m.s 22).
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pembaruan Islam adalah proses pemurnian dimana konsep pertama atau konsep
asalnya difahami dan ditafsirkan sehingga menjadi lebih jelas bagi masyarakat pada
masanya dan lebih penting lagi penjelasan itu tidak bertentangan dengan aslinya.
Pembaruan Islam mempunyai rujukan yang jelas, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah,
sementara pembaruan lain akan terus berproses mencari dan tidak memiliki rujukan
yang mutlak dan pasti.

DAFTAR PUSTAKA

Mallat, Chibli, The Renewall of Islamic Law, Muhammad Bager as-Sadr, Najaf and
theShi’i International, (Cambridge: Cambridge University Press, 2003:4).
Deliar Noor. "Gerakan Modernis Islam di Indonesia". Jakarta. Pustaka LP3ES
Indonesia,1996,
Sukidi Mulyadi, artikel Defisit Demokrasi di Dunia Islam, dalam Islam Negara dan
CivilSociety, Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, (Jakarta:
Paramadina, 2005: 229).
Munir Subarman, “Sejarah Kelahiran, Perkembangan, Dan Masa Keemasan Islam”
Yogyakarta Deepublish, 2015

Anda mungkin juga menyukai