Anda di halaman 1dari 12

ISLAM SEBAGAI SASARAN STUDI dan

PENELITIAN
METODOLOGI STUDI ISLAM

Disusun Oleh:

Kelompok 1 KPI 1A

1. Adevio Dwi Putra (21521002)

2. Hanifah Dewi Lestari (21521015)

Dosen Pengampuh: Nur Cholis, M.Ag

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI CURUP

TAHUN 2021/2022
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT. yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah –Nya kepada kita semua kita. Shalawat serta
salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW. beserta keluarga nya.
Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Islam Sebagai Sasaran
Studi dan Penelitian”.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan, memahami,


mengamalkan kepada pembaca mengenai Akhlak Mahmudah dan macam-macamnya
serta guna memenuhi tugas Metodologi Studi Islam. Dalam penyusunan makalah ini,
kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
karena pengalaman dan pengetahuan kami yang terbatas.

Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi
terciptanya makalah yang lebih baik lagi di masa yang akan datang.
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Islam sebagai sebuah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad


SAW hadir didunia menjadi jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat, sejahtera
lahir dan batin. Islam memberikan petunjuk tentang tatacara menuju jalan tersebut
dengan memahami petunjuk-petunjuk di dalam nya secara luas .

Metedologi studi islam adalah prosedur yang di tempuh dalam mempelajari


islam dengan cepat , tepat dan menyeluruh , yakni dari berbagai aspek nya dan
berbagai aliran nya. Karenanya metodologis studi islam mempunyai arti penting
dalam menempuh prosedur studi islam yang dapat mengubah pemahaman
masyarakat muslim indonesia.

B. Rumusan Masalah

1. Islam Sebagai Sasaran Ilmu, Studi Islam Sebagai Disiplin Ilmu

2. Agama sebagai Gejala Budaya dan Sosial,

3. Islam sebagai Wahyu dan Kultur Masyarakat, Studi Islam dan Sains Islam

4. Studi Islam Era Kontemporer:Barat dan Timur Tengah

C. Tujuan

1. mengetahui studi islam sebagai disiplin ilmu, agama sebagai gejala budaya dan
sosial

2. mengetahui islam sebagai wahyu dan kultur masyarakat, dan studi islam dan sains
islam.

3. Studi islam era kontemporer:Barat dan Timur Tengah


BAB II

PEMBAHASAN
A. Studi Islam sebagai Disiplin Ilmu

Menurut peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Tahun 1985, bahwa


yang termasuk disiplin ilmu keislaman adalah Al-Qur’an/Tafsir, Hadis/Ilmu Hadis,
Ilmu kalam, Filsafat, Tasawuf, Hukum islam(Fiqih) , Sejarah dan Kebudayaan Islam,
serta Pendidikan Islam.

Jauh sebelum itu, Harun Nasution mengatakan bahwa islam berlainan dengan
apa yang umum diketahui, bukan hanya mempunyai 1 atau 2 aspek, tetapi
mempunyai berbagai aspek. Islam sebenarnya mempunyai aspek teologi, aspek
ibadah, aspek moral, aspek mistisime, aspek filsafat, aspek sejarah, aspek
kebudayaan, dan sebagainya. 1

Dari uraian mengenai karakteristik ajaran islam yang secara dominan di


tandai oleh pendekatan normatif, historis dan filosofis tersebut terlihat bahwa ajaran
islam memiliki ciri-ciri yang keseluruhan amat ideal. Islam agama yang mengajarkan
perdamaian, toleransi, terbuka, kebersamaan, egaliter, kerja keras yang bermutu,
demokratis, adil, seimbang antara urusan dunia dan akhirat, berharta, memiliki
kepekaan terhadap masalah-masalah sosial kemasyarakatan, mengutamakan
pencegahan daripada penyembuhan dalam bidang kesehatan dengan cara
memperhatikan segi kebersihan badan, pakaian, makanan, tempat tinggal,
lingkungan, dan sebagainya. Islam juga telah tampil sebagai sebuah disiplin ilmu
keislaman dengan berbagai cabangnya. Karakteristik islam yang demikian ideal itu
tampak masih belum seluruhnya dijumpai dalam kenyataan umatnya. Antara ajaran
islam yang ideal dan kenyataan umatnya yang demikian itu, masih ada kesenjangan.
Hal ini memerlukan pemecahan, anatara lain dengan merumuskan kembalu metode

1
Harun Nasution, islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya jilid 1, (Jakarta :UI press, 1979),cet 1, hlm.33
dan pendekatan dalam memahami islam sebagaimana akan dijumpai pada bab
berikutnya.

B. Agama Sebagai Gejala Budaya dan Sosial

Untuk meletakan agama sebagai sasaran penelitian budaya tidaklah berarti


agama yang diteliti itu adalah hasil kreasi budaya manusia, tetapi sebagai agama
yang tetap diyakini sebagai wahyu dari Tuhan. Maka yang dimaksudkan, bahwa
pendekatan yang digunakan di situ adalah pendekatan penelitian yang lazim
digunakan dalam penelitian budaya.  Penelitian budaya adalah penelitian tentang
naskah-naskah [filologi] alat-alat ritus keagamaan, benda-benda purbakala agama
[arkeologi], sejarah agama, nilai-nilai dari mitos-mitos yang dianut para pemeluk
agama, dan sebagainya.

Ada beberapa pendekatan dalam memahami dan menafsirkan sejarah Islam

selama ini, di antaranya adalah sebagai berikut :

[1]  Idealist approach, yaitu memahami dan menafsirkan sejarah Islam dengan cara

mengindealisasikannya sedemikian rupa sehingga seolah-olah dalam sejarah itu tidak

ada cacatnya.

[2]  Reductionist approach, yaitu usaha memahami dan menafsirkan sejarah Islam dengan

mengurangi apa yang semestinya. Pendekatan ini biasanya dimiliki oleh para

orientalis dan musuh Islam.

Kedua pendekatan ini dikatakan sama-sama mempunyai kelemahan, karena

tidak onjektif. Sekarang ini perlu dikembangkan pendekatan baru yang objektif dan

mampu melihat sumber-sumber sejarah sebagaimana apa adanya, tanpa menambah

atau menguranginya. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh sejarawan muslim yang

mempunyai kepercayaan diri yang tinggi. Maka perlu dikembangkan pendekatan

seperti :
[a] regional approach,

[b] social economic approach,

[c] social history approach, dan

[d] cultural approach.

Dengan pendekatan ini, diharapkan sejarah Islam akan dapat dilihat secara

lebih komprehensif dan Islam tidak identik dengan politik atau etnik tertentu, suatu

kesalahan yang sudah lama terjadi.

3.  Agama Sebagai Sasaran Penelitian Sosial

Sasaran penelltian agama sebagai sasaran penelitian sosial, yaitu sosiologi

agama. Pada zaman dulu, sosiologi agama mempelajari hubungan timbal balik antara

agama dan masyarakat. Masyarakat mempengaruhi agama, dan agama

mempengaruhi masyarakat. Belakangan, sosiologi agama mempelajari bukan soal

hubungan timbal balik, melainkan lebih kepada pengaruh agama terhadap tingkah

laku masyarakat, yaitu bagaimana agama sebagai sistem nilai mempengaruhi tingkah

laku masyarakat dan bagaimana pengaruh masyarakat terhadap pemikiran

keagamaan.

Kaum strukturalis, termasuk di dalamnya sebagian antropologi, cenderung

meletakkan ilmu sosial lebih dekata kepada ilmu budaya. Mereka melihat, tingkah

laku sosial pada dasarnya selalu mengacu kepada aturan-aturan tingkah laku [rule of

behavior] yang berdasar atas pola ideal yang bersumber dari nilai. Karena itu, kunci

memahami masyarakat adalah memahami nilai yang ada pada masyarakat tersebut.
Kaum strukturalis, memandang begitu pentingnya nilai, sehingga mereka lupa bahwa

nilai itu sendiri merupakan “produk interaksi sosial” juga.

Muncul kaum positivis yang berpendapat bahwa memahami masyarakat

dengan memahami nilainya merupakan perbuatan yang “menduga-duga”. Mereka

juga melihat verstehen sebagai perbuatan menduga-duga yang tak berdasar secara

ilmiah.  Bagi, kaum positivis, memahami masyarakat haruslah dengan mengamati

apa yang dilihat, dapat diukur dan dapat dibuktikan sebagaimana halnya dalam ilmu

pengetahuan alam.  D.C. Marsh, dalam bukunya A Dictionary of Sociology, yang

diedit oleh G.Duncan Mitchell, menyatakan bahwa: “ilmu sosial menunjuk kepada

penerapan metode ilmiah untuk mempelajari jaringan hubungan manusia yang pelik

dan rumit, dan bentuk-bentuk organisasi yang dimaksudkan agar orang dapat hidup

bersama dalam masyarakat.[5]

Studi Islam, yakni pengkajian tentang ilmu-ilmu ke-Islam-an, sedangkan

yang dimaksud ilmu-ilmu ke-Islam-an adalah pengajian yang tidak hanya terfokus

pada aspek-aspek yang bersifat normative dan dogmatif, tepai juga pengkajian yang

menyangkut dengan aspek histories dan aspek sosiologis. Oleh karena itu, ilmu-ilmu

Islam yang meliputi aspek kepercayaan normative-dogmatif yang bersumber dari

wahyu yang kemudian diterjemahkan ke dalam aspek perilaku manusia yang lahir

oleh dorongan kepercayaan, menjadi kenyataan-kenyataan emperik.  Maka, ilmu-

ilmu kemasyarakatan yang berasal dari tradisi keilmuan Barat, tidak mungkin dapat

merangkul dalam metode pengkajian kedua aspek yang dipandang tidak dapat

dipertemukan menurut hukum-hukum logika ilmu pengetahuan dalam metode ilmiah

yang mengandalkan segi onyektivitas berdasarkan penalaran dan emperik.


Dalam ilmu-ilmu sosial obyek pengetahuan dan penelitian yang menjadi

pangkal dari pengetahuan adalah gejala-gejala masyarakat yang lebih khusus terdiri

atas kejadian-kejadian kongkret, karena kejadian-kejadian kongkret itu dilukiskan

dalam abstraksi menjadi factor sosial. Oleh karena itu, pengkajian Islam pada aspek

sosio kulturalnya, sebagai fenomena nyata dalam kehidupan manusia, inilah segi

yang dapat diteliti, dikaji sedalam-dalamnya melalui metode yang terdapat dalam

ilmu-ilmu sosial. Ilmu-ilmu pengetahuan spekulatif seperti teologi, metafisika, dan

etika, sama dengan ilmu pengetahuan aksiomatis seperti ilmu pasti, tidaklah

termasuk ilmu pengetahuan emperik, yaitu ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan.[6]

B. Agama sebagai gejala budaya dan gejala sosial

Dalam penelitian agama yang harus dipertanyakan pertama kali adalah agama

yang sedang diteliti akan dilihat dari gejala apa, menurut  perspektif mana agama

akan diteliti. Kemudian berusaha mensinkronkan antara agama dan perspektif

keilmuan tersebut.

Pada awalnya ilmu hanya ada dua: ilmu kealaman dan ilmu budaya. ilmu

kealaman mencari keteraturan-keteraturan yang terjadi pada alam. Dimana suatu

hasil penelitian dapat dites pada waktu  yang lain dengan hasil yang sama dengan

memperhatikan gejala eksak. Mencari keterulangan dari gejala-gejala, yang

kemudian diangkat menjadi teori (positifisme). Sebaliknya, ilmu budaya mempunyai

sifat tidak berulang, tetapi unik.

Sementara penelitian ilmu sosial berada diantara penelitian kealaman dan


penelitian budaya, yang mencoba memahami gejala-gejala yang tidak berulang tetapi

dengan memahami keterulangannya. Terdapat dua aliran penelitian sosial. Pertama,

aliran bahwa penelitian sosial lebih dekat pada penelitian budaya. Kedua, aliran yang

menyatakan lebih dekat pada penelitian kealaman. Dikalangan sosiologi indonesia

juga ada dua kelompok: kelompok kualitatif dan kelompok kuantitatif.

                Pertanyaanya adalah bisakah agama didekati secara kualitatif atau

kuantitatif? Jawabannya, bisa. Agama bisa didekati secara kuantitatif dan kualitatif

sekaligus, atau salah satunya, tergantung agama yang sedang ditetliti itu dilihat

sebagai gejala apa.

                Ada lima bentuk gejala yang perlu diperhatikan. Pertama, scripture dan

simbol-simbol. Kedua, para penganut agama, yakni sikap, perilaku dan penghayatan

para penganutnya. Ketiga, ritus-ritus, lembaga-lembaga dan ibadat-ibadat. Keempat,

alat-alat. Kelima, organisasi-organisasi keagamaan tempat para penganut berkumpul

dan berperan. Penelitian keagamaan dapat mengambil sasaran salah satu atau

beberapa dari bentuk gejala tersebut.

                Kita boleh mengambil tokohnya sebagai sasaran penelitian agama.

bagaimana kehidupan tokoh tersebut dan pemikirannya. Dapat pula kita meneliti

Alqur’an sebagai sumber nilai, masjid sebagai alat-alat, shalat sebagai ibadat dan

atau Syi’ah sebagi organisasi keagamaan.

Mengenai agama sebagai gejala sosial, pada dasarnya tertumpu pada konsep

sosiologi agama. Pada zaman dahulu, sosiologi agama mempelajari interaksi antara

agama dan masyarakat. Belakangan, sosiologi agama mempelajari bukan soal

hubungan timbal-balik itu, melainkan lebih pada pengaruh agama terhadap tingkah
laku masyarakat. Meski tidak dapat dipungkiri masyarakat juga mempengaruhi

pemikiran keagamaan. kitabnya boleh satu tapi interpretasi terhadap kandungan kitab

tersebut bisa jadi berbeda. Seperti lahirnya teologi Syi’ah, Khawarij, Ahli Sunnah

Wal Jama’ah sebagai produk pertikaian politik.

Letak geografis, budaya, kondisi sosial, politik dan sebagainya juga dapat

menjadi faktor perbedaan penafsiran masyarakat terhadap “kitab” atau dengan kata

lain masyarakat dapat mempengaruhi pemikiran keagamaan. Dan ini juga bisa

menjadi sasaran penelitian agama.  

1.       Islam sebagai wahyu

Islam adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagai

pedoman untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Wahyu terdiri dari dua

macam: Al-Qur’an dan hadits. Kedua wahyu ini dapat menjadi sasaran penelitian.

Dalam Al-Qur’an sendiri banyak persoalan-persoalan yang penting untuk

diteliti. Mulai dari latar belakang lahirnya suatu ayat, maksud ayat tersebut,

pemahaman terhadap ayat, cara membaca, melagukan, dan lain-lain.

Mengenai nasakh-mansukh para ulama berbeda pendapat dalam jumlah ayat

yang dimansukh. Dan perbedaan ini perlu diteliti.

Selanjutnya, menjadi penting pula menjadi sasaran penelitian adalah isi Al-

Qur’an itu sendiri. Sebab Al-Qur’an selain berbicara tentang keimanan, ibadah,

aturan-aturan, juga berbicara isyarat-isyarat ilmu pengetahuan. Dalam hal ini studi

interdisipliner menjadi keniscayaan. Maka ilmu-ilmu seperti sosiologi, botani,

matematika dan sebagainya perlu dipelajari dalam upaya memahami Al-Qur’an.


Kemudian, islam sebagai wahyu yang dicerminkan dalam hadits-hadits yang

ternyata banyak pula persoalan-persoalan yang perlu diteliti. Pengumpulan hadits,

misalnya, yang dalam sejarah pengumpulannya  mengalami peningkatan jumlah.

Mengapa bisa demikian? Ada pula hadits shahih, mutawatir, mashur dan ahad, hadits

dirayah dan riwayah.  Wilayah-wilayah inilah antara lain yang dapat dijadikan kajian

atau sasaran penelitian.

Studi interdisipliner terhadap hadistpun perlu pula dilakukan. Seperti hadist

mengenai psikologi, pendidikan, iptek dan sebagainya.  Usaha pengumpulan dan

pembandingan hadist dengan penemuan ilmu modern penting dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai