Anda di halaman 1dari 16

BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara alamiah, manusia tumbuh dan berkembang sejak dalam kandungansampai meninggal,
mengalami proses tahap demi tahap. Demikian pulakejadian alam semesta ini diciptakan Tuhan
melalui proses setingkat demisetingkat. Pola perkembangan manusia dan kejadian alam semesta
yang berproses demikian berlangsung di atas hukum alam yang ditetapkan olehAllah sebagai
sunnatullah.Islam merupakan agama yang terakhir sebagai penutup semua agamayang telah ada,
islam merupakan agama rahmatal lil a’lamin untuk semua umat.Islam itu dibawakan oleh Nabi
Muhammad SAW yang mendapat wahyudari Allah. Untuk mengetahui islam lebih mendalam
maka muncullah ilmu yang dinamakan Studi Islam akan tetapi Studi Islam itu sendiri
merupakan bidang kajian yang cukup lama. Ia telah ada bersama dengan adanya agama islam
maka dari itu Studi Islam menimbulkan berbagai permasalahn yang umum diantaranya : apa
pengertian Studi Islam, apa ruang lingkup, atau objek Studi Islam, apa tujuan Studi Islam,
bagaimana pendekatan dan metodologi dalam Studi Islam. Seiring dinamika dan perkembangan
zaman, kesempatan untuk mempelajari Studi Islam dapat melalui segala hal, berkaitan dengan
persoalan tentang mempelajari Studi Islam, islam memberikan kesempatan secara luas kepada
manusia untuk menggunakan akal pikirannya secara maksimal untuk mempelajarinya, namun
jangan sampai penggunaannya melampaui batas dan keluar dari rambu-rambu ajaran Allah SWT.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dasar serta apa tujuan dalam metodologi studi Islam ?
2. Bagaimana urgensi dan paradigma metodologi mtudi Islam ?
3. Bagaimana pendekatan, metode dalam metodologi studi Islam ?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui urgensi dasar dan tujuan dalam metodologi studi Islam
2. Untuk mengetahui bagaimana urgensi dan paradigm metodologi sudi Islam
3. Untuk mengetahui bagaimana pendekatan metode dalam metodologi studi islam

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi dasar serta tujuan dalam Metodologi Studi Islam

Menurut bahasa (etimologi), metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu meta (sepanjang),
hodos (jalan). Jadi, metode adalah suatu ilmu tentang cara atau langkah-langkah yang di tempuh
dalam suatu disiplin tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Metode berarti ilmu cara
menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Metode juga disebut pengajaran atau penelitian.

Menurut istilah “metodologi” berasal dari bahasa yunani yakni metodhos dan logos,
methodos berarti cara, kiat dan seluk beluk yang berkaitan dengan upaya menyelesaikan sesuatu,
sementara logos berarti ilmu pengetahuan, cakrawala dan wawasan. Dengan demikian
metodologi adalah metode atau cara-cara yang berlaku dalam kajian atau penelitian.1

Metodologi adalah masalah yang sangat penting dalam sejarah pertumbuhan ilmu, metode
kognitif yang betul untuk mencari kebenaran adalah lebih penting dari filsafat, sains, atau hanya
mempunyai bakat.2 Louay safi mendefinisikan metodologi sebagai bidang penelitian ilmiah yang
berhubungan dengan pembahasan tentang metode-metode yang digunakan dalam mengkaji
fenomena alam dan manusia atau dengan kata lain metodologi adalah bidang penelitian ilmiah
yang membenarkan, mendeskripsikan dan menjelaskan aturan-aturan, prosedur-prosedur sebagai
metode ilmiah.3

Ketika metode digabungkan dengan kata logos maknanya berubah. Logos berarti “studi
tentang” atau “teori tentang”. Oleh karena itu, metodologi tidak lagi sekedar kumpulan cara yang
sudah diterima (well received) tetapi berupa berupa kajian tentang metode. Dalam metodologi
dibicarakan kajian tentang cara kerja ilmu pengetahuan. Pendek kata, bila dalam metode tidak
ada perbedaan, refleksi dan kajian atas cara kerja ilmu pengetahuan, sebaliknya dalam
metodologi terbuka luas untuk mengkaji, mendebat, dan merefleksi cara kerja suatu ilmu. Maka
dari itu, metodologi menjadi menjadi bagian dari sistematika filsafat, sedangkan metode tidak.

1
Abdul Rozak, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h.68
2
Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h.27
3
Ibid., h.68

2
3

Di kalangan para ahli masih terdapat perdebatan di sekitar permasalahan apakah studi Islam
(agama) dapat dimasukkan ke dalam bidang ilmu pengetahuan, mengingat sifat dan karakteristik
antara ilmu pengetahuan dan agama berbeda. Amin Abdullah mengatakan jika penyelenggaraan
dalam penyampaian Islamic Studies atau Dirasah Islamiyah hanya mendengarkan dakwa
keagamaan di dalam kelas, lalu apa bedanya dengan kegiatan pengajian dan dakwah yang sudah
ramai diselenggarakan di luar bangku kuliah? Meresponi sinyalemen tersebut, menurut Amin
Abdullah, pangkal tolak kesulitan pengembangan scope wilayah kajian Islamic Studies atau
Dirasah Islamiyah berakar pada kesukaran seorang agamawan untuk membedakan antara yang
normativitas dan historisitas. Pada dataran normativitas kelihatan Islam kurang pas untuk
dikatakan sebagai disiplin ilmu, sedangkan untuk dataran historisitas tampaknya tidaklah salah.

Pada dataran normativitas studi Islam agaknya masih banyak terbebani oleh misi keagamaan
yang bersifat memihak, romatis, dan apologis, sehingga kadar muatan analisis, kritis,
metodologis, historis, empiris terutama dalam menelaah teks-teks atau naskah-naskah
keagamaan produk sejarah terdahulu kurang begitu ditonjolkan, kecuali dalam lingkungan para
peneliti tertentu yang masih sangat terbatas.4

Dengan demikian secara sederhana dapat ditemukan jawabannya bahwa dilihat dari segi
normatif sebagaimana yang terdapat dalam Al Qur’an dan Hadist, maka Islam lebih merupakan
agama yang tidak dapat diberlakukan kepadanya paradigma ilmu pengetahuan, yaitu paradigma
analitis, kritis, metodologis, historis, dan empiris. Sebagai agama, Islam lebih bersifat memihak,
romantis, apologis, dan subjektif, sedangkan jika dilihat segi histori, yakni Islam dalam arti yang
dipraktikan oleh manusia serta tumbuhan dan berkembang dalam sejarah kehidupan manusia,
maka Islam dapat dikatakan sebagai sebuah disiplin ilmu, yakni Ilmu Keislaman atau Islam
Studies.

Ketika islam dilihat dari sudut normatif, Islam merupakan agama yang di dalamnya berisi
ajaran Tuhan yang berkaitan dengan urusan akidah dan muamalah. 5 Sedangkan ketika Islam

4
Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta;1996), cet.I,hlm.106
5
Cara melihat Islam sebagai sebuah norma ini misalnya dijumpai pada pemikiran Mahmdu Syaltout yang membagi
Islam pada urusan akidah dan muamalah dalam bukunya berjudul Al-Islam Aqidah we Syari’ah; dan pada Maulana
Muhammad Ali dalam bukunya berjudul Islamologi yang mengatakan bahwa Islam terdiri dari ajaran keimanan
yang merupakan pokok dan ajaran ibdah yang merupakan cabang.
4

dilihat dari sudut historis atau sebagaimana yang tampak dalam masyarakat, Islam tampil sebagai
sebuah disiplin ilmu (Islamic Stuies).

Menurut Mukti Ali bahwa: Islam terdiri dari dua elemen yaitu aqidah dan syari’ah lalu
mendekatinya dengan metode filosofis doktriner, berbeda dengan metodologi yang dipergunakan
ulama sebelumnya yang menyatakan bahwa islam terdiri dari aqidah dan muamalah, sedangkan
muamalah terbagi menjadi dua yaitu muamalah yang berhubungan dengan tuhan dan muamalah
yang berhubungan dengan manusia mendekatinya dengan metode doktriner saja.6

Dalam adagium ushuliyah dinyatakan bahwa al-umur bi maqashidiyah, bahwa setiap


tindakan dan aktifitas harus berorientasi pada tujuan atau rencana yang telah ditetapkan.
Adagium ini menunjukkan bahwa pendidikan serharusnya berorientasi pada tujuan yang ingin
dicapai, bukan semata-mata berorientasi pada sederetan materi. Sehingga tujuan study Islam
terlebih dahulu harus dirumuskan, sebelum komponen-komponen lainnya. Sesuai perkembangan
masyarakat yang semakin dinamis sebagaikonsekuensi dari kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, maka aktualisasi nilai-nilai al-Qur’an menjadi sangat penting. Karena tanpa aktualisasi
kitab suci ini, umat Islam akan menghadapi kendala dalam upaya internalisasi nilai-nilai al-
Qur’ani sebagai upaya pembentukan pribadi umat Islam yang bertaqwa, berakhlak mulia,
cerdas, maju, dan mandiri , atau disebut denganinsane kamil. Pribadi semacam inilah yang
menjadi tujuan study Islamsebagaimana dirumuskan oleh al-Ghazali.

Dalam mewujudkan Islam kamil, pendidikan Islam ditujukan sebagai proses transfer
pengetahuan (transfer ofknowledge), transfer metode (transfer of methodology), dan transfer
nilai-niilai (transfer of values).Study Islam sebagai media transfer pengetahuan dapat ditinjau
dari perspektif human capital, pendidikan tidak dipandang sebagai barang konsumsi saja tetapi
juga sebagai sebuah investasi. Hasil investasi ini berupa tenaga kerja yang mempunyai
pengetahuan untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilannnya dalam proses produksi dan
pembangunan pada umumnya. Secara normative tujuan yang ingin dicapai pendidikan Islam
meliputi tiga dimensi yaitu:

1. Dimensi spiritual, yaitu iman, takwa, dan akhlak mulia (yang tercermindalam ibadah dan
muamalah). Dimensi spiritual ini tersimpul dalam satukata yaitu akhlak mulia, yang menurut M.

6
Mukti Ali. Metode memahami agama Islam, (Jakarta: bulan bintang, 1999), h.36
5

Athiyah Al-Abrasyi sebagaitujuan utama study Islam.Sementara menurut Said Aqil Husein al-
Munawar, akhlak merupakanalat control psikis dan sosial bagi individu dan masyarakat.
Tanpaakhlak, manusia akan berada dalam kumpulan binatang yang tidakmemliliki tata nilai
dalam kehidupannya. Rasulullah saw. Merupakansumber akhlak yang hendaknya diteladani oleh
orang mukmin, sepertitercermin dalam sabdanya:

“Sesungguhnya aku diutus tidak lain untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.

2. Dimensi budaya, yaitu kepribadian yang mantap dan mandiri, tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan. Dimensi ini secara universalmenitikberatkan pada
pembentukan kepribadian muslim sebagai individu yang diarahkan kepada peningkatan dan
pengembangan factor dasar(bawaan) dan factor ajar (lingkungan) dengan berpedoman kepada
nilai-nilai keislaman.7

B. Urgensi serta paradigma dalam Metodologi Studi Islam

Seiring berkembangnya zaman agama lantas tidak hanya berfungsi sebagai penegasan
terhadap doktrin semata namun agama juga harus mampu dipelajari secara akademik.
Sebagaimana yang dijelaskan Amin Abdullah bahwa fenomena keberagamaan manusia tidak
hanya dilihat dari sudut normativitas ajaran wahyu, meskipun fenomena ini sampai kapanpun
akan menjadi ciri khas daripada agama-agama yang ada. Tetapi juga harus mampu dilihat dari
sudut historisitas pemahaman dan interpretasi orang-orang atau kelompok terhadap norma-norma
ajaran agama yang dipeluknya serta model-model amalan dan praktek-praktek ajaran agama
yang dilakukan.8 Usaha mempelajari agama terutama Islam dalam keyataannya bukan hanya
dilaksanakan oleh kalangan umat Islam, melainkan juga dilaksanakan oleh orang-orang di luar
kalangan umat Islam. Studi keislaman dikalangan umat Islam sendiri tentunya sangat berbeda
tujuan dan motivasinya dengan yang dilakukan oleh orang-orang diluar kalangan umat Islam.

Dari segi tingkat kebudayaan, agama merupakan universal cultural. Salah satu prinsip teori
fungsonal menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak berfungsi akan lenyap dengan
sendirinya. Karena sejak dulu hingga sekarang, agama telah menunjukkan eksistensinya, dalam
hal ini mempunyai dan memerankan sejumlah peran dan fungsi di masyarakat. Oleh karena itu,

7
Ngainun Naim, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: Teras, 2009), h.57
8
Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h.5
6

secara umum studi Islam menjadi penting karena agama, termasuk Islam memerankan sejumlah
peran dan fungsi di masyarakat. Urgensi studi Islam dapat dipahami dan diuraikan sebagai
berikut.

1. Munculnya Perbedaan Pandangan Antara Insider dan Outsider yang Memerlukan Jalan
Tengah.9

Sebelum lebih jauh membahas problem insider dan outsider maka akan dijelaskan terlebih
dahulu mengenai pengertian insider dan outsider. Insider adalah para pengkaji agama yang
berasal dari agamanya sendiri (orang dalam). Sedangkan outsider adalah para pengkaji non
Muslim yang mempelajari Islam dan menafsirkannya dalam berbagai analisis dan pembacaan
dengan metodologi tertentu (orang luar). Problem insider dan outsider muncul pasca jatuhnya
kejayaan Islam, lalu ilmu pengetahuan pindah ke Barat. Dari sini orang-orang Barat kemudian
mulai mempelajari Islam yang pada akhirnya muncul kajian orientalisme. Pada saat itu studi
Islam di Barat didorong oleh kebutuhan akan kekuasaan koloni untuk belajar dan memahami
masyarakat yang mereka kuasai. Sehingga studi Islam di Barat juga perlu diuji. Seorang peneliti
selalu menghadapi problem serius, diantaranya teramat sulit bagi peneliti untuk melakukan studi
yang bersifat objektif mungkin, netral dan terhindar dari bias, apalagi ketika menyentuh ajaran-
ajaran normatif agama yang dianutnya. Menurut Johan Meuleman problem yang terjadi dalam
penelitian agama disebabkan oleh beberapa factor:

Pertama, setiap pemikiran manusia terikat pada bahasa atau meminjam istilah Mohammad
Arkoun, logocentrisme dengan segala peraturan dan batasannya. Namun, keterturutan
logocentrisme ini amat menojol di kalangan Muslimin. Karena itu menganggap teks-teks yang
bersifat immanent dari segi bahasa yakni berfungsi dalam batas suatu bahasa dan kondisi tertentu
dianggap sebagai transendent Ilahi. Kedua, dari sebab pertama pada akhirnya mengakibatkan
penelitian itu terpusat pada teks-teks dan mengabaikan unsur yang tidak tertulis dari agama dan
kebudayaan Islam. Ketiga, interpretasi yang terbatas dan tertutup terhadap al-Quran dan al-
Sunnah sebagai teks yang membicarakan fakta dan peraturan ( bukan makna dan nilai).
Keempat, anggapan teks-teks klasik mewakili agama dan bahkan dianggap sebagai agama itu
sendiri sehingga mengabaikan yang lainnya karena naskah tersebut dianggap asli. Kelima, sikap
9
http://fiaitha10.blogspot.co.id/2016/01/problematika-insider-dan-outsider-dalam.html
7

apologetis terhadap aliran lain (kalam, fikih, dan sebagainya), sikap ini menunjang pada
ketertutupan pemikiran agama. Keenam, sistem pendidikan yang terlalu mementingkan bahwa
terlampau besar terhadap tradisi terutama pada teks tradisional dan guru serta lebih
mementingkan hafalan daripada sikap kritis dan ilmiah.10

Mengenai posisi insider dan outsider maka yang timbul adalah pertayaan mengenai siapa
yang otentik dalam meneliti studi Islam, salah satu prespektif diantaranya menurut Muhammad
Abdul Rauf yang secara tegas menyatakan bahwa berdasarkan data sejarah, agak susah bahkan
tidak mungkin bagi seseorang yang menganut agama tertentu kemudian mencoba mengkaji
agama lain atau outsider. Karena itu patut dipertanyakan keabsahan para sarjana Barat dalam
mengkaji Islam secara objektif. Sebagaimana yang diungkapkan Wilred Cantwell Smith, ia
mengakui bahwa interpretasi umat Islam lah yang dipandang otoritatif. Ia menyatakan “apapun
yang yang saya katakana tentang Islam sebagai keyakinan yang hidup di tengah-tengah
masyarakat adalah valid sejauh umat Islam sendiri setuju dan mengamininya terhadap
pemahaman tersebut. Kajian para outsider tentang Islam harus dicek dan dikontrol oleh umat
Islam untuk menghindari peyalahgunaan kegiatan akademik untuk melawan Islam.

Akhirnya muncul tawaran mengenai solusi terhadap problem insider/outsider dalam studi
Islam ada beberapa tawaran solusi pertama dari Russelt T. McCulcheon dalam karyanya The
Insider/Outsider Problem in the Study of Religion; A Reader. Dalam karya ini disebutkan bahwa
untuk menekan terjadinya bias karena insider/outsider maka kemudian lahir satu bidang ilmu
yang dikenal dengan phenomenology,melalui ilmu ini seorang peneliti mencoba menggambarkan
(to describe), menginterpretasikan (to interprete) dan menjelaskan (to ekplan) fenomena yang
ada. ketiga hal tersebut akan berjalan dengan baik dengan syarat seorang peneliti harus mencoba
untuk memasuki dan merasakan pengalaman-pengalaman dan makna-makna yang dimiliki pihak
lain, mengakses momen-momen pribadi dari persepsi manusia yang dengan akhirnya dapat
menjebatani jarak antara subjek dan objek. Hal ini didasarkan pada satu asumsi dasar bahwa
semua manusia berbagi pengalaman-pengalaman yang sama dan karenanya seorang peneliti

10
Sayuthi Ali, Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan, Teori, dan Praktik. (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002) h.4
8

dapat menjebatani jarak anatara insider dan outsider dengan cara menjeneralisir pengalaman-
pengalaman pribadinya dan kemudian diterapkan pada pengalama-pengalaman orang lain. 11

Sementara itu Kim Knott menawarkan pendekatan rappochment dalam menuju objektivitas
metodologis studi Islam. Pendekatan rappochment merupakan upaya solutif intersubjektif guna
memosisikan penelitian pada margin of appreciation sebagai tapal batas (border line) antara
insider dan outsider. Dalam pendekatan tersebut tidak ada dituntutan untuk meleburkan diri
dalam dua pribadi yang berbeda, namun dari keduanya masih dimungkinkan untuk dicari titik
temu meski kecil. Tawaran yang Knott yang diadobsi dari Richard J. Bernstein dengan
menempatkan tiga unsur di atas dimaksudkan sebagai tautan reflektif sirkuler yang saling
mengisi, dan bukan merupakan eksistensi yang berdiri sendiri, apalagi sebagai subordinat. Spirit
yang diinginkan yaitu adanya titik temu bukan pembauran apalagi peleburan antar ajaran
agama.12

2. Umat Islam Saat ini Berada dalam Kondisi Problematik

Seperti yang kita ketahui, saat ini umat Islam berada dalam posisi yang terpinggirkan dan
lemah dalam berbagai aspek kehidupan, sementara di sisi lain dunia terus berkembang dengan
modernisasinya. Dalam kondisi tersebut, umat Islam dituntut untuk melakukan gerakan
pemikiran yang diharapkan dapat menghasilkan konsep pemikiran yang cemerlang untuk mampu
bersaing dengan perkembangan globalisasi. Di satu sisi, jika umat Islam hanya berpegang pada
ajaran-ajaran Islam hasil penafsiran ulama terdahulu yang dianggap sebagaia ajaran yang sudah
mapan, sempurna, dan paten, serta tidak ada keberanian untuk melakukan kajian ulang, berarti
umat Islam mengalami kemandegan intelektual dan akan berdampak pada masa depan yang
suram. Sementara jika mereka bersikap kritis dan berani melakukan pembaharuan rasional guna
menyesuaikan dengan tuntutan perkembangan zaman, mereka akan dituduh sebagai umat yang
tidak lagi setia dengan ajaran Islam dari pendahulunya.

Melalui pendekatan yang bersifat objektif rasional, studi Islam diharapkan mampu
memberikan alternatif pemecahan masalah atau jalan keluar dari kondisi yang problematik

11
Akh. Minhaji, Sejarah Sosial dalam Studi Islam: Teori, Metodologi, dan Implementasi (Yogyakarta: SUKA Press,
2013), h.124-125
12
M. Arfan muammar, Abdul Wahid Hasan dkk, Studi Islam Prespektif Insider/Outsider (Yogyakarta:
IRCiSoD,2012), h.128-129
9

tersebut. Studi Islam diharapkan dapat mengarah dan bertujuan untuk mengadakan usaha-usaha
pembaharuan dan pemikiran kembali ajaran-ajaran Islam, agar mampu beradaptasi dan
menjawab tantangan serta tuntutan zaman, dengan tetap berpegang teguh pada sumber dasar
ajaran Islam yaitu Al-Quran dan As-Sunnah.

3. Umat Manusia dan Peradabannya Berada dalam Suasana Problematis

Pesatnya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern telah
membuka era baru dalam perkembangan budaya dan peradaban umat manusia. Dalam suasana
seperti ini, tentunya umat manusia membutuhkan aturan, nilai, dan norma serta pegangan hidup
yang universal dan diakui atau diterima oleh semua bangsa, demi terciptanya kemakmuran dan
kesejahteraan hidup dan kehidupan umat manusia.

Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘aalamiin, tentunya mempunyai konsep atau ajaran
yang bersifat universal, yang dapat menyelamatkan umat manusia dan alam semeta dari
kehancurannya. Oleh karena itu Islam harus bisa menawarkan nilai, norma, atau aturan hidup
yang manusiawi dan universal kepada dunia, dan diharapkan mampu memberikan pemecahan
terhadap keadaan yang problematis. Disinilah urgensi studi Islam, untuk menggali kembali
ajaran-ajaran Islam yang asli dan murni, manusiawi, namun tetap relevan dengan keadaan
zaman.

Di Indonesia sendiri, dimana mayoritas penduduknya beragama Islam, terlihat bahwa agama
Islam belum sepenuhnya dipahami dan dihayati. Oleh karena itu, urgensi studi Islam di
Indonesia adalah mengubah pemahaman dan penghayatan keislaman masyarakat muslim di
Indonesia. Adapun yang perlu dirubah adalah format formalisme keagamaan Islam menjadi
format agama yang substansif. Sikap eksklusivisme diubah menjadi universlisme, yakni agama
yang tidak mengabaikan nilai-nilai spiritualitas dan humanitas, karena pada dasarnya agama
diwahyukan untuk manusia. Disamping itu, studi Islam diharapkan dapat melahirkan komunitas
yang mampu melakukan perbaikan baik secara internal maupun eksternal. Secara internal,
komunitas tersebut dapat mempertemukan dan mencari jalan keluar dari konflik internal dalam
agama Islam, seperti organisasi keagamaan yang belum final. Sedangkan secara ekternal adalah
penanganan konflik yang melibatkan Islam dengan agama atau kepercayaan lain, salah satunya
adalah kisis kerukunan anar umat beragama. Studi Islam diharapkan dapat melahirkan
10

masyarakat yang siap hidup toleran dalam wacana pluralitas agama sehingga tidak melahirkan
Muslim Ekstrem yang membalas kekerasan agama dengan kekerasan pula. Oleh karenanya,
dalam kondisi masyrakat yang mayoritas memeluk agama Islam, posisi studi Islam menjadi
sangat penting adanya.13

C. Pendekatan, metode dalam Metodologi Studi Islam

Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam kajian studi islam, yakni sebagai berikut :
1. Pendekatan Teologis-Normatif.
Pendekatan ini merupakan suatu model pendekatan yang menekan pada bentuk formal atau
simbol-simbol keagamaan yang masing-masing bentuk formal atau simbol keagamaan tersebut
mengklaim dirinya sebagai yang paling benar, sedangkan pemahaman yang lain itu salah. Yang
dimaksud normatif adalah memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan yang asli dari
Tuhan yang didalamnya belum tedapat penalaran manusia.14
Pendekatan teologi dalam memahami agama cenderung bersikap tertutup, tidak ada dialog,
parsial, saling menyalahkan, saling mengkafirkan, yang pada akhirnya terjadi pengkotak-kotakan
umat, tidak ada kerja sama dan tidak terlihat adanya kepedulian. Apabila kita hanya berpegang
pada pendekatan ini dalam memecahkan persoalan yang ada, maka nantinya akan berujung pada
penambahan masalah. Akan tetapi bukan berarti pendekatan ini mutlak salah. Sebab, disisi lain
pendekatan memberikan semacam pengaruh positif kepada orangnya berupa sikap militansi
dalam beragama. Atau dapat dikatakan sebagai orang yang memegang teguh agamanya. Namun
karena sikap yang terlalu berlebihan dalam menganggap yang lain itu salah, maka akan
berdampak sikap eksklusif-dogmatis, yakni tidak mau mengakui agama lain dan sebagainya.
Sehingga umat islam seharusnya tidak hanya membutuhkan pendekatan teologis-normatif saja
dalam memcahkan masalah yang ada. Namun diperlukan pendekatan pula pendekatan sosiologis,
filsafat, sejarah dan lain sebagainya. Agar pemahaman orang islam kepada islam itu sendiri
menjadi integral, utuh, dan komprehensif.
2. Pendekatan Sosiologis.

13
Rosihon Anwar dkk., Pengantar Studi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), h.26-33.
14
Supiana, Metodologi Studi Islam. (Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI,2009),
h.19
11

Mengkaji permasalahan dan bagaimana cara pemecahannya, maka berarti kita akan
mempelajari pula tindak-tanduk sikap manusia didalamnya yang terjadi pula pola interaksi antara
manusia satu dengan yang lainnya. Oleh sebab itu dalam hal ini diperlukan pendekatan
sosiologis. Dengan adanya pendekatan sosiologi ini nantinya akan menyoroti dari sudut posisi
manusia yang membawa kepada perilaku itu.15
Sosiologi juga menitikberatkan pada sistem sosial (masyarakat) yang kompleks dan objek
kajiannya adalah masyarakat yang bersifat empiris, teoritis, dan kumulatif. Maka wajar saja
apabila pendekatan sosiologis digunakan dalam mencoba memecahkan permasalahan yang
timbul di masyarakat.
3. Pendekatan Antropologis
Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa Antropologi merupakan suatu disiplin ilmu tentang
manusia dan kebudayaan. Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia yang diperoleh
sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan  pengalaman
dan lingkungan dan mendasari serta mendorong tingkah lakunya. Selain itu Antropologi
memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku manusia dalam tatanan nilai yang dianut dalam
kehidupan manusia.
Dalam konteks sebagai metodologi, antopologi merupakan ilmu tentang masyarakat
dengan titik tolak dari unsur-unsur tradisional, mengenai aneka warna, bahasa, dan sejarah
perkembangannya serta persebarannya, dan mengenai dasar-dasar kebudayaan manusia dalam
masyarakat. Pendekatan ini menjadi penting, dikarenakan dengan pendekatan ini kita akan
mampu mengetahui karakter dari masyarakat yang akan kita coba kaji tentang pemecahan dari
masalah yang ada.
4. Pendekatan Historis (Sejarah)
  

Sebuah studi atau penelitian sejarah, baik yang lalu maupun yang kontemporer sebenarnya
kombinasi antara analisis aktor dan peniliti, sehingga merupakan suatu realitas dari hari lampau
yang utuh. Pendekatan sejarah menitikberatkan pada kronologi pertumbuhan dan perkembangan.
Pendekatan historis menggunakan analisis atas peristiwa-peristiwa masa silam untuk

15
Matullada,Studi Islam Kontemporer dalam Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar.( Yogyakarta :
Tiara Kencana,1989), h.88
12

merumuskan prinsip-prinsip umum. Namun, sebaiknya pendekatan ini dikombinasikan dengan


pendekatan komparatif atau perbandingan.16
Dalam pendekatan ini kita nantinya akan meneliti atau melakukan penyelidikan atas suatu
masalah dengan mengaplikasikan jalan pemecahannya dari perspektif historis. Atau dengan kata
lain pendekatan sejarah akan mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efekif, menilainya
secara kritis dan mengajukan rancangan pemecahan masalah dari hasil yang dicapai dalam
bentuk tulisan.
5. Pendekatan Filosofis
Kajian filsafati merupakan suatu kajian istimewa yang berusaha untuk menjawab masalah-
masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa. Karena masalah-masalah
tersebut itu diluar diatas jangkauan ilmu pengetahuan biasa. Dengan pendekatan ini, kita
nantinya akan berusaha memahami permasalahan yang ada secara radikal dan integral serta
sistematis.
Cabang filsafati yang bisa digunakan dalam hal ini biasanya filsafat islam. Dengan alasan
filsafat ini akan menghadapkan pada universalitas ajaran Al-Qur’an dengan situasi yang bersifat
lokal dan pemikiran yang orisinil serta dengan cara itu pula mampu mengekspresikan
perkembangan dan pergumulan pemikiran keislaman. Demikian pendekatan yang dapat kita
gunakan dalam memahami kajian studi islam guna memecahkan masalah-masalah yang mungkin
muncul ditengah msyarakat.

Metode dalam Studi Islam


Sebagaimana yang telah disinggung diatas, bahwa pemilihan metode dan pendekatan yang
tepat sangatlah penting guna mampu memecahkan permasalah yang muncul. Setelah pada bagian
sebelumnya kita telah mengetahui apa saja pendekaatan yang dapt kita gunakan, maka sampailah
kita pada pembahsan tentang metodologi apa saja yang relevan untuk digunakan.
Metodologi berasal dari bahasa Yunani yaitu Method dan logos. Kata Method ini memiliki
makna cara, kiat, dan seluk-beluk yang berkaitan dengan upaya menyelesaikan permasalah yang
ada. Sedangkan logos berarti ilmu. Maka secara sederhana, bahwa Metodologi merupakan suatub

16
Soejono dan Abdurrahman, Metode Penelitian Suatu Pemikiran dan Penerapan, (Jakarta: Rineka Cipta,1999)
13

pengetahuan tentang berbagai metode yang digunakan dalam penelitian.17 Dan metode-metode
yang dimaksud dalam studi kajian islam adalah sebagai berikut :
1. Metode Filologi
Kata Filologi berasal dari bahasa Yunani, yakni Philologia yang berarti cinta kepada bahasa,
karena huruf membentuk kata, kata membentuk kalimat, dan kalimat adalah inti dari bahasa.
Filologi dipakai dalam arti pengkajian teks atau penelitian yang berdasarkan teks. Dengan kata
lain, metode ini digunakan untuk mempelajari dan meneliti naskah-naskah lama guna memahami
apa yang terjadi didalamnya sehingga diketahui latar belakang kebudayaan masyarakat yang
melahirkan naskah-naskah itu.
Metode ini digunakan jika sumber atau data berupa nasah atau manuskrip. Hal ini
dimaksudkan untuk mendeskripsikan secara cermat pemikiran-pemikiran yang terdapat dalam
naskah tersebut melalui analisis kosa kata yang digunakan, nuansa-nuansa yang ada sehingga
dapat terhindar dari kesalahpahaman pemikiran.
2. Metode Deskripstif
Metode ini memiliki arti uraian apa adanya yang berasal dari suatu tempat atau tokoh sebuah
peristiwa. Bisa juga berasal dari seorang tokoh yang menyangkut pemikirannya. Metode ini
digunakan untuk mengangkat pemikiran yang diteliti. Karena tujuannya inilah, maka yang harus
dilakukan hanya menggunakan pemikiran pengarang dengan cara menjelaskan dan
menghubungkan secara cermat data-data dalam bentuk pernyataan dan rumusan-rumusan
pendapat. Metode ini juga berusaha untuk menggambarkan objek apa adanya dan sangat berguna
untuk permasalahan tingkah laku manusia.
3. Metode Komparatif
Metode ini merupakan metode yang didalamnya adalah perbandingan antar yang satu dengan
yang lain. Penggunaan metode ini dimaksudkan untuk menemukan tipe, corak, atau kategori
suatu pemikiran kemudian memposisikannya dalam peta pemikiran secra umum. Biasanya
metode ini digunakan guna mencari antar yang baik antara objek satu dengan objek yang lainnya
dimana kedua objek ini layak untuk dibandingkan.
4. Metode Fenomenologi

17
Jujun. S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu:Sebuah Pengantar Populer. (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,1993)
14

Metode ini digunakan untuk mencari hubungan-hubungan pemikiran dengn kondisi-kondisi


sosial yang ada sebelum dan sesudah pemikiran itu muncul. Metode ini merupakan metode yang
didasari oleh filsafat fenomenologi, yaitu mengajar pada pentingnya melihat gejala yang tampak
dari sebuah entitas untuk menafsirkan alam pemikiran yang berkembang dari enitas tersebut.
Jika metode ini digunakan dalam mengkaji Islam berarti seorang peneliti memhami dan
menganaliis islam bukan atas dasar nilai-nilai yang tertuang dalam teks yang bersifat normatif.
Namunbagaimana seorang peneliti memahami dan menganalisis islam berdasarkan apa yang
dipahami dan diamalkan oleh masyarakat. Dengan begitu, Islam dipahami bukan dari sumber
ajaran atau doktrin berupa Al-Qur’an dan Sunnah. Tapi Islam dipahami dari praktek yang
ditampilkan oleh penganutnya.
Akan tetapi apabila metode ini diterapkan dalam wilayah keagamaan, terlalu menekankan
hal-hal yang abstrak sehingga kurang mempunyai kerangka etis-pragmatis, seperti teologi.
Karena itu dalam wacana studi keislaman, pendekatan ini harus dikompromikan. Sehingga
hubungan keduanya dapat diumpamakan seperti fenomenologi dan teologi. Dimana keduanya
akan saling memperkuat dan mengisi.
5. Metode Holistik
Metode holistik adalah gambaran dari beberapa metode yang dimaksudkan untuk melihat
semua aspek yang terdapat dalam suatu pemikiran. Cara berpikir deduktif digunakan untuk
membuat tipologi, perbandingan digunakan untuk melihat pengaru-pengaruh, dan hermeneutika
digunakan untuk menemukan hubungan pemikiran dengan gejala-gejala sosial yang ada.
Sehingga pemahaman tentang islam akan semakin integral dan komprehensif.18
Dengan metode holistik (menyeluruh) tentang Islam, maka islam sebagai ajaran yang
universal dapat dipahami secara utuh dan integral melalui pendekatan dan metode yang akurat.
Hal ini juga untuk menghindari dari pemahaman yang parsial(sepotong-potong), tidak utuh, tidak
sistematis, dan tidak universal.

18
Abuy Sodikin,Metodologi Studi Islam,(Bandung: Insan Mandiri,2002), H.55
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Metodologi berasal dari kata metode yang berarti cara atau proses yang digunakan untuk
memudahkan suatu pekerjaan. sedangkan studi adalah kajian yang mendalami suatu ilmu.
sehingga bisa kita simpulkan bahwa metodologi studi islam adalah cara atau proses yang
digunakan untuk memudahkan dalam pengkajian islam. karna dalam hidup tiada yang final
semuanya butuh proses untuk menggapai nya dan jika anda ingin memahami islam sepenuhnya
anda harus mengenal terlebih dahulu metode yang akan anda lalui atau gunakan untuk
mendalaminya. Secara normative tujuan yang ingin dicapai pendidikan Islam meliputi tiga
dimensi yaitu: Dimensi spiritual, yaitu iman, takwa, dan akhlak mulia (yang tercermindalam
ibadah dan muamalah), Dimensi budaya, yaitu kepribadian yang mantap dan mandiri, tanggung
jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Sedangkan, Urgensi studi Islam dapat dipahami dengan
munculnya perbedaan pandangan antara insider dan outsider yang memerlukan jalan tengah,
serta saat ini umat Islam berada di situasi problematic.

B. Saran

Alhamdulillah atas izin Allah SWT penulis dapat menyelesaikan salah satu tugas makalah ini
dengan baik. Demikianlah tugas penhyusunan makalah ini, penulis berharap makalah ini bisa
bermanfaat dan bisa difahami oleh para pembaca.

Kritik dan saran sangat penulis harapkan dari pada pembaca khususnya dari dosen mata
kuliah Fiqih Munakahat yang telah membimbing kami demi kesempurnaan makalah ini. Apabila
ada kekurangan dalam penyusunan makalah ini, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

15
16

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M.Amin, Studi Agama, Normativitas, atau Historisitas, Yogyakarta: Pustaka


Pelajar, 1996, Cet. Ke-1

Choir Tholhatul, Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer, Pustaka Pelajar,


2009.

Hakim M. Nur, Metode Studi Islam, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2004

Khoiriyah, Memahami Metodologi Studi Islam (Suatu Konsep tentang Seluk Beluk
Pemahaman Ajaran Islam Studi Islam dan Isu-isu Kontemporer dalam StudiIslam),
Yogyakarta: Teras, 2013

Ngainum Naim, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: Teras, 2009

Nata Abuddin, Studi Islam Komperhensif, Jakarta: kencana, 2011, Cet. Ke-1

Sahrodi Jamali, Metodologi Studi Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008

Anda mungkin juga menyukai