Anda di halaman 1dari 15

STUDI ALQURAN: MEMAHAMI ALQURAN

MELALUI PENDEKATAN SOSIOLOGIS

Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Persyaratan Tugas Mata Kuliah Studi Alquran

Oleh:
Dede Pradana
Ulul Azmi

Dosen Pembimbing:
Prof. Dr. Syahrin Harahap, M.A

ILMU ALQURAN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
T.A. 2022/2023
A. Pendahuluan
Alquran adalah kitab petunjuk yang di dalamnya memuat ajaran moral universal
bagi umat manusia sepanjang masa. Akan tetapi dalam kenyataannya, teks Alquran sering
kali dipahami secara parsial dan ideologis sehingga menyebabkannya seolah menjadi teks
yang mati dan tak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Kajian Alquran sebenarnya
selalu mengalami perkembangan yang dinamis seiring dengan akselerasi perkembangan
kondisi sosial budaya dan peradaban manusia. Hal ini terbukti dengan munculnya karya-
karya tafsir, mulai dari yang klasik hingga kontemporer, dengan berbagai corak, metode,
dan pendekatan yang digunakan.1
Dewasa ini, kehadiran Alquran semakin dituntut untuk ikut terlibat secara aktif di
dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Alquran tidak boleh
hanya sekadar menjadi simbol agama Islam, atau berhenti sekedar disampaikan dalam
khutbah ataupun ceramah, melainkan secara konsepsional menunjukkan cara-cara yang
paling efektif dalam memecahkan masalah. Oleh karena itu, pengkajian terhadap Alquran
tidak akan cukup dengan hanya menggunakan satu pendekatan, misalnya dengan
pendekatan normatif saja, seperti yang telah dilakukan oleh orang-orang terdahulu dengan
mengabaikan pendekatan yang lain. Karena dengan multi pendekatan, kehadiran Alquran
secara fungsional dapat dirasakan oleh penganutnya. Sebaliknya tanpa mengetahui
berbagai pendekatan, maka tidak mustahil agama menjadi sulit dipahami oleh
masyarakat, tidak fungsional dan akhirnya masyarakat mencari pemecahan masalah
kepada selain agama, dan hal itu tidak boleh terjadi. 2 Salah satunya yakni melalui
pendekatan sosiologis.
Pendekatan sosiologis digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami
Alquran. Melalui pendekatan sosiologis, Alquran dapat dipahami dengan mudah karena
Alquran itu sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial. Dalam Alquran misalnya, kita
menemukan ayat-ayat yang berkenaan dengan hubungan manusia atau “ḥablum
minannās” menunjukkan bahwa konteks sosial berperan penting didalam Alquran. Semua
itu dapat dijelaskan apabila yang memahaminya mengetahui sejarah sosial pada saat
ajaran Alquran itu diturunkan.

1 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: Lkis, 2010), hal. 1.

2 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2000), hal. 27.

1
Sosiologi, sebagai disiplin ilmu yang mempelajari interaksi manusia, sejatinya
mencakup ruang lingkup yang luas. Segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia dalam
hubungannya dengan manusia lain dipandang sebagai wilayah kepentingan analisis
sosiologi. Oleh karena itu, selain sebagai disiplin ilmu yang sangat luas, sosiologi pun
dipandang memiliki nilai strategis bagi pengembangan dan penataan kehidupan manusia.
Hal ini disebabkan karena eksistensi manusia akan lebih terlihat dalam kebersamaannya
dengan manusia lain atau lingkungannya. Kualitas manusia dan kemanusiaannya lebih
banyak diuji dalam interaksinya dengan sesama atau lingkungannya, bukan dalam
kesendiriannya.3
Dalam setiap pendekatan dapat dijumpai kemungkinan-kemungkinan metode
tertentu yang lebih kritis dan aplikatif dari pada metode lainnya. Pendekatan dan metode
yang digunakan sangat tergantung pada apa yang ingin diketahui dan jenis data yang akan
diakses. Dari berbagai pendekatan yang ada tersebut, dalam makalah ini penulis ingin
mencoba mendeskripsikan tentang bagaimana memahami Alquran melalui pendekatan
sosiologis.

B. Pembahasan
1. Pengertian Pendekatan Sosiologis
Pendekatan sosiologis terdiri dari dua suku kata yakni “pendekatan” dan
“sosiologis”. Pendekatan berasal dari akar kata “dekat” yang berarti pendek, tidak
jauh.4 setelah mendapat awalan “pe”, dan akhiran “an” menjadi pendekatan yang
berarti; (1) proses, perbuatan, cara mendekati dan; (2) usaha dalam rangka aktivitas
penelitian untuk mengadakan hubungan dengan orang yang diteliti, metode-metode
untuk mencapai pengertian tentang masalah penelitian. Yang dalam bahasa Inggris
sepadan dengan kata “approach” yang berarti pendekatan baru dalam mempelajari
masyarakat.
Sedangkan secara etimologi, kata sosiologi berasal dari bahasa latin yang
terdiri dari kata “socius” yang berarti teman, dan “logos” yang berarti berkata atau
berbicara tentang manusia yang berteman atau bermasyarakat. 5 Secara terminologi,
sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial
termasuk perubahan-perubahan sosial. Adapun objek sosiologi adalah masyarakat

3 Aam Abdussalam, “Teori Sosiologi Islam (Kajian Sosiologis terhadap Konsep-konsep Sosiologi dalam Alquran al-Karīm)” dalam Jurnal Ta’lim, Vol. 12, No. 1, 2014, hal. 25.

4 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hal. 333.

5 Abdul Syani, Sosiologi Dan Perubahan Masyarakat (Lampung: Pustaka Jaya, 1995) hal. 2.

2
yang dilihat dari sudut hubungan antara manusia dan proses yang timbul dari
hubungan manusia dalam masyarakat. Sedangkan tujuannya adalah meningkatkan
daya kemampuan manusia dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan hidupnya.6
Hasan Shadily menyatakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari
hidup bersama dalam masyarakat, dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang
mneguasai hidupnya itu. Sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud hidup
bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya perserikatan-perserikatan hidup
itu serta pula kepercayaanya, keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada cara
hidup bersama itu dalam tiap persekutuan hidup manusia.7
Soerjono Soekanto mengartikan sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan
yang membatasi diri terhadap penilaian. Sosiologi tidak menetapkan ke arah mana
sesuatu seharusnya berkembang dalam arti memberi petunjuk-petunjuk yang
menyangkut kebijaksanaan kemasyarakatan dari proses kehidupan bersama tersebut.
Di dalam ilmu ini juga dibahas tentang proses-proses sosial, mengingat bahwa
pengetahuan prihal struktur masyarakat saja belum cukup untuk memperoleh
gambaran yang nyata mengenai kehidupan bersama dari manusia.8
Pendekatan sosiologis digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam
memahami Alquran. Hal tersebut dapat dimengerti karena banyak bidang kajian
Alquran yang akan dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila
menggunakan bantuan dari ilmu sosiologi. Sosiologi dapat diartikan sebagai ilmu
yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan,
serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berhubungan. Dengan ilmu ini suatu
fenomena dapat dianalisa dengan menghadirkan factor-faktor yang mendorong
terjadinya hubungan tersebut, mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang
mendasari terjadinya proses tersebut.9
Masih banyak lagi defenisi-defenisi yang dikemukakan oleh para ahli, tapi
pada intinya dapat dipahami bahwa sosiologi merupakan suatu ilmu yang
menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta
berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Dengan ilmu ini suatu penomena

6 Khoiruddin, “Pendekatan Sosiologi Dalam Studi Islam.” dalam Tribakti: Jurnal Pemikiran Keislaman, Vol. 2, No.2, 2014, hal. 395.

7 Hassan Shadily, Sosiologi untuk masyarakat Indonesia (Jakarta: Bina Aksara, 1983), hal. 1.

8 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), hal. 21.

9 Maulana Ira, “Urgensi Pendekatan Sosiologis dalam Studi Islam”, dalam Journal of Legal and Cultural Analytics, Vol. 1. No. 2, 2022, hal. 90.

3
sosial dapat dianalisa dengan faktor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan,
mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya proses tersebut.
Jadi pendekatan sosiologis dipahami sebagai cara atau metode yang dilakukan
dengan mengaitkannya dengan sosiologi guna menganalisa dan mengungkap data-
data terhadap ajaran Alquran. Pendekatan sosiologi dalam memahami Alquran sangat
penting, karena banyaknya keterkaitan Alquran dengan berbagai masalah sosial.
Perhatian Alquran terhadap masalah-masalah sosial mendorong orang-orang yang
beragama untuk memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk memamahami
agamanya.
Sosiologi pertama kali digunakan oleh Auguste Comte pada tahun 1842 dalam
bukunya Positive Philosofi. Dalam literasi yang lain menyebutkan bahwa sosiologi
pertama kali dicetuskan oleh seorang filsuf asal Prancis bernama Auguste Comte
(1798-1857) didalam bukunya yang berjudul Cours de Philosophie Positive.10 akan
tetapi Ibnu Khaldun dikalangan umat Islam adalah bapak sosiologi pertama dengan
karyanya yang sangat monumental adalah muqoddimah. Meskipun Masyarakat luas,
khusunya para sosiolog atau mahasiswa yang sedang mempelajari ilmu sosiologi
tentunya yang dikenal sebagai bapak sosiologi adalah Auguste Comte. Padahal, bila
melihat sejarah 400 tahun sebelum Comte lahir, Ibnu Khaldun sudah membahas
tentang teori masyarakat, namun yang di kenal oleh masyarakat sebagai bapak
sosiologi adalah Comte, bukan Ibnu Khaldun.
Ibn Khaldun dari abad ke-14 telah memberikan kontribusi signifikan dalam
memahami masyarakat dan Sejarah. Ia telah mengenalkan ilmu ‘umran yang mana
sangat bersesuaian dengan kajian-kajian ilmu sosial kontemporer. adanya kesesuaian
secara makna antara kata ilmu ‘umran dan ilmu sosiologi, karena ‘Umran dalam
bahasa Arab artinya sama dengan sosial (ilmu tentang masyarakat). Akan tetapi dalam
ilmu umran ini, tampaknya Ibnu Khaldun dalam kajiannya terfokus kepada dua hal.
Pertama, fenomena sosial yang menjadi penyebab atau pendorong jatuh bangunnya
negara. Dan kedua, fenomena sosial yang mencakup aktifitas sosial dan intelektual
dalam peradaban dimana negara merupakan penopang bagi wujudnya aktifitas
tersebut.
Dengan kata-kata lain, ilmu ‘umran-nya Ibnu Khaldun lebih sempit jika
dibandingkan dengan ilmu sosiologi. Ini karena fokus utamanya bukan pada
fenomena sosial secara luas melainkan hanya terfokus kepada negara dan komponen-
10 Mawardi, Sosiologi Dakwah: Kajian Teori Sosiologi, Alquran dan Hadits, (Ponorogo: Uwais Inspirasi Indonesia, 2018), hal.3.

4
komponen pendukungnya secara lebih spesifik. Maka dapat dikatakan bahwa ilmu
umran oleh Ibnu Khaldun dapat disebut sebagai sosiologi sejarah.

2. Sosiologi dalam Alquran


Pendekatan sosiologi tidak secara eksplisit disebutkan dalam Alquran karena
sosiologi adalah ilmu modern yang berkembang setelah zaman Nabi Muhammad
Shallallahu'alaihi Wasallam Namun, ada prinsip-prinsip dan nilai-nilai sosial dalam
Alquran yang dapat dihubungkan dengan konsep-konsep sosiologi.
Contoh dari perspektif sosiologis dalam Alquran termasuk:
a. Keadilan Sosial: Alquran mendorong keadilan sosial dan kesetaraan di antara
umat manusia. Ini tercermin dalam ayat-ayat yang menekankan pentingnya
memberi hak-hak yang sama kepada semua orang tanpa memandang suku, ras,
atau status sosial.
b. Solidaritas Sosial: Alquran mendorong umatnya untuk bekerja sama, membantu
satu sama lain, dan membangun masyarakat yang kuat dan saling peduli.
c. Penghargaan terhadap Keadilan Ekonomi: Alquran menekankan pentingnya
menghindari eksploitasi dan menetapkan prinsip-prinsip ekonomi yang adil seperti
zakat dan sadaqah.
d. Pentingnya Tanggung Jawab Sosial: Alquran menekankan pentingnya berbagi dan
membantu orang-orang yang membutuhkan, termasuk fakir miskin, yatim piatu,
dan orang-orang yang terpinggirkan dalam masyarakat.
e. Pentingnya Keterbukaan dan Toleransi: Alquran menekankan nilai-nilai seperti
persaudaraan antara sesama manusia dan toleransi terhadap perbedaan agama dan
budaya.
Jadi, meskipun Alquran tidak secara khusus membahas sosiologi sebagai ilmu,
prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat diinterpretasikan
dan dihubungkan dengan konsep-konsep sosiologi modern. Untuk Metode pendekatan
yang digunakan oleh para mufassir kontemporer sendiri sedikit banyak berlainan
dengan yang digunakan oleh para mufassir tradisional. Jika para mufasir tradisional
umumnya cenderung melakukan penafsiran dengan memakai metode deduktif dan
tahlili (analitis) yang bersifat atomistik, maka dalam tafsir kontemporer menggunakan
berbagai metode dan pendekatan yang bersifat interdisipliner, mulai dari tematik,

5
linguistik, analisis gender, semiotik, sosio historis, antropologi, hingga hermeneutik
dan sebagainya.11
Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk memahami Alquran
dalam konteks sosial dan masyarakat. Beberapa metode yang dapat digunakan adalah:
a. Tafsir Sosial: Metode ini fokus pada analisis aspek sosial dalam teks Alquran. Ini
termasuk mempertimbangkan situasi sosial dan politik pada saat wahyu
diturunkan, serta memahami pesan-pesan Alquran dalam konteks masyarakat pada
waktu itu.
b. Analisis Sosial: Pendekatan ini melibatkan penerapan teori-teori sosiologi untuk
memahami konsep-konsep atau ajaran yang terdapat dalam Alquran. Contohnya,
menggunakan teori konflik untuk menganalisis ketegangan sosial atau teori
interaksi sosial untuk memahami hubungan antarindividu.
c. Studi Kasus Sosial: Metode ini melibatkan menganalisis kisah-kisah atau
peristiwa dalam Alquran sebagai studi kasus dalam konteks sosial. Hal ini dapat
membantu memahami bagaimana Alquran dapat diaplikasikan dalam situasi-
situasi konkret.
d. Tafsir Berbasis Masalah Sosial: Pendekatan ini mencoba mengidentifikasi isu-isu
sosial yang diangkat dalam Alquran dan membahas solusi atau ajaran Islam
terkait. Contohnya, mengkaji ayat-ayat yang membahas keadilan sosial,
kesetaraan, atau hak-hak individu.
e. Analisis Dampak Sosial: Metode ini melibatkan memeriksa bagaimana Alquran
mempengaruhi masyarakat dan perilaku sosial umat muslim.
Penting untuk diingat bahwa pendekatan sosiologi terhadap tafsir Alquran
adalah pendekatan interpretatif dan dapat bervariasi tergantung pada perspektif dan
metodologi yang digunakan oleh sarjana atau peneliti. Ini merupakan salah satu cara
untuk membawa pemahaman tentang teks suci ke dalam konteks masyarakat dan
sosial yang lebih luas.
Adapun konsep-konsep dari Alquran yang dapat dikembangkan sebagai teori
sosiologi. Salah satunya adalah konsep ta’aruf. Kaidah atau konsep ta’aruf diangkat
dari firman Allah Ta’ala yang terungkap dalam QS Al-Hujurât, 49:13.

11 Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal. 93.

6
‫ِا‬ ‫ِل‬ ‫ِا‬ ‫ٰٓي‬
‫َاُّيَه ا الَّناُس َّنا َخ َلْق ٰن ُك ْم ِّم ْن َذَك ٍر َّو ُاْنٰثى َو َجَعْلٰن ُك ْم ُش ُعْو ًبا َّو َقَبۤإِى َل َتَعاَر ُفْو اۚ َّن َاْك َر َم ُك ْم‬
‫ِا ّٰل ِل ِب‬ ‫ِع ّٰلِه‬
‫ْنَد ال َاْتٰق ىُك ْم ۗ َّن ال َه َع ْيٌم َخ ْيٌر‬
Artinya: ”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari orang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang paling bertakwa di
antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.”12

Konsep ta’aruf pada ayat ini sering diartikan atau ditafsirkan sebagai ”saling
kenal mengenal”. Makna tersebut cukup terasa jelas dan sederhana. Akan tetapi,
ketika kita ditanya apa yang dimaksud dengan “saling kenal mengenal” itu dan sejauh
mana, kita akan menyadari bahwa penafsiran yang ada belum menjelaskan konsep
ta’aruf secara menyeluruh. Maka untuk menjawab penjelasan konsep ta’aruf dapat
dipahami dengan mengembangkannya melalui pendekatan sosial sebagai berikut.
‫ٰٓي‬
a. Pertama ‫ َاُّيَه ا الَّن اُس‬Frasa ini merupakan panggilan atau seruan yang ditujukan
kepada semua umat manusia. Seruan ini berlaku untuk segenap umat manusia
tanpa kecuali, dari manusia pertama sampai manusia akhir zaman. Semua
tercakup di dalamnya. Hal ini dapat dipahami karena Alquran diturunkan untuk
menjadi bimbingan dan kebaikan bagi semesta alam.
b. ِKedua ‫ ِاَّن ا َخ َلْق ٰن ُك ْم‬Kalimat ini merupakan pernyataan yang menggunakan penguat

(inna) untuk menepis pengingkaran-pengingkaran yang dilakukan oleh manusia.


Kalimat ini menyatakan eksistensi manusia sebagai makhluk dan Rabb sebagai
Khaliq. Penegasan ini sangat penting karena hadirnya kesadaran manusia sebagai
makhluk, sekaligus pengakuan keberadaan Tuhan sebagai Khaliq, akan sangat
berpengaruh terhadap cara pandang dan penataannya terhadap diri dan segala
sesuatu di luar dirinya. Selain itu, pengakuan kemakhlukan merupakan pengakuan
hakikat eksistensi manusia yang tergantung kepada Khaliq nya. Jika makna
al-‘Alaq (QS. al-’Alaq, 96:2) dikembalikan kepada makna aslinya, hal ini
mengandung arti bahwa manusia diciptakan dari “ketergantungan”, baik
menyangkut keberadaan dirinya, pemenuhan kebutuhan, maupun pengembangan
dirinya; baik menyangkut aspek biologis, psikologis, maupun sosiologis.

12 Syāmil Quran, Alquran surah al-Hujurat/49: 13, hal. 517.

7
c. ِKetiga ‫ ِّمْن َذَك ٍر َّوُاْنٰثى‬Frasa ini ingin mengatakan bahwa seluruh manusia berasal dari

satu asal, satu jenis, dari seorang laki-laki dan seorang wanita, yaitu Adam dan
Hawa. Frasa ini menjelaskan prinsip yang penting tentang kesatuan dan kesamaan
manusia, yaitu bahwa manusia memiliki potensi dan kecenderungan yang sama
karena diciptakan dari dua unsur yang sama. Pada satu sisi, manusia diciptakan
dari unsur tanah (QS. al-Qashash, 38:71). Pada sisi lain, Allah Ta’ala meniupkan
ruh kepadanya (QS. al-Hijr, 15:29). Sebagian ulama memaknai bahwa manusia
merupakan makhluk dua dimensional, yaitu dimensi bumi dan dimensi langit.
Dimensi bumi berarti dorongan rendah yang dapat mambawa manusia pada
kehinaan. Adapun dimensi langit berarti dorongan baik yang membawanya kepada
kemuliaan dan ketinggian. Inilah yang dimaksud dengan ayat yang menyatakan
bahwa manusia merupakan satu umat (QS. al-Baqarah, 2:213).
d. Keempat ‫“ َوَجَعْلٰن ُك ْم ُش ُعْوًبا َّو َقَبۤإِى َل‬dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan

bersuku-suku”. Frasa ini menjelaskan bahwa sekalipun manusia berasal dari satu
dan memiliki potensi dasar yang sama akan berkembang dan membuahkan aneka
perbedaan, baik perbedaan yang berangkat dari hubungan darah atau keturunan
seperti perbedaan suku atau kabilah, maupun perbedaan yang berangkat dari
perbedaan geografis seperti perbedaan bangsa. Akan tetapi, perbedaan tersebut
bukan sesuatu yang permanen atau hadir sebagai tujuan, melainkan hanya sebagai
instrumen untuk mewujudkan suatu tatanan dan hubungan yang lebih indah, yaitu
ta’aruf. Perbedaan-perbedaan tersebut bukan untuk saling mengunggulkan dan
saling membanggakan di antara sesama manusia, melainkan untuk saling
mengenal dan membangun kebersamaan yang solid. Sesungguhnya, keunggulan
dan kemuliaan di antara sesama manusia hanya diukur dengan ketakwaan.
Dengan memperhatikan pikiran-pikiran yang mengantarkan konsep ta’aruf,
keberadaan ta’aruf menjadi lebih jelas dasar dan urgensinya. Pikiran-pikiran tersebut
mencakup beberapa poin penting. Pertama, manusia adalah makhluk yang memiliki
ketergantungan kepada Khaliq nya dan saling ketergantungan di antara sesamanya.
Kedua, manusia berasal dari satu asal dan memiliki potensi dasar serta kecenderungan
yang sama karena diciptakan diciptakan dari unsur yang sama (tanah dan ruh). Ketiga,
perbedaan-perbedaan yang terjadi di antara manusia, baik yang diakibatkan oleh
hubungan darah atau keturunan maupun oleh perbedaan geografis, bukan perbedaan
yang permanen, melainkan sebagai instrumen untuk menciptakan hubungan dan

8
kebersamaan yang lebih indah (ta’aruf). Dengan demikian, keberadaan konsep
ta’aruf benar-benar hadir sebagai tujuan. Dia setidaknya memiliki tiga makna pokok,
yaitu kesinambungan hubungan timbal balik antara satu pihak dengan pihak lain,
berdasar atas pengetahuan dan pemahaman yang proporsional dan benar, serta
menciptakan tatanan dan kebersamaan yang harmonis.
Konsep ta’aruf dengan demikian menghendaki pengembangan interaksi
berdasarkan atas pengetahuan dan pemahaman yang benar untuk menciptakan
kebersamaan (bermasyarakat) yang solid dan harmonis. Kebersamaan tersebut tidak
berarti meniadakan keunggulan, kelebihan, dan persaingan di dalamnya, terlebih
bahwa kebersamaan tersebut berlatar belakang dari berbagai perbedaan. Keunggulan,
kelebihan dan persaingan yang ada tetap diberi tempat untuk berkembang dengan
syarat bernaung di bawah nilai ketakwaan. Semuanya harus berkembang dan diukur
dengan ketakwaan. Dengan berdasar pada ketakwaan, persaingan, keunggulan,
kelebihan, dan bahkan kelemahan akan menjadi wahana untuk pengembangan
kebaikan sehingga mampu mengantisipasi efek-efek negatif yang timbulkannya.
Maka, hadirnya konsep ta’aruf kemudian disusul dengan kalimat, “Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling takwa”. Sesuai
dengan karakter penyajian kalimatnya, ketakwaan tersebut diharapkan menjadi
prinsip yang menyeluruh dalam pengembangan ta’aruf.

3. Memahami Alquran melalui Pendekatan Sosiologis


Terdapat signifikasi pendekatan Alquran dalam sosiologi, salah satunya adalah
dengan memahami fenomena sosial yang berkenaan dengan ibadah dan muamalah.
Pentingnya pendekatan sosiologis dalam memahami Alquran dapat dipahami karena
banyak sekali ajaran Alquran yang berkaitan dengan masalah sosial. Besarnya
perhatian Alquran terhadap masalah sosial ini, selanjutnya mendorong ilmuan
memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk memahami Alquran.
Dalam bukunya yang berjudul “Islam Alternatif”, Jalaluddin Rakhmat telah
menunjukkan betapa besarnya perhatian Aquran atau agama yang dalam hal ini adalah
agama Islam terhadap masalah sosial, dengan mengajukan lima alasan sebagai
berikut: Pertama dalam Alquran atau kitab Hadis, proporsi terbesar kedua sumber
hukum Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah. Sedangkan menurut Ayatullah
Khoemeini dalam bukunya “al-Hukumah al-Islamiyah” yang dikutip oleh Jalaluddin
Rakhmat dikemukakan bahwa perbandingan antara ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat

9
yang menyangkut kehidupan sosial adalah satu berbanding seratus. Artinya untuk satu
ayat ibadah, ada seratus ayat muamalah (masalah sosial). Kedua bahwa ditekankannya
masalah muamalah atau sosial dalam Alquran ialah adanya kenyataan bahwa bila
urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting, maka
ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (bukan ditinggalkan) melainkan tetap
dikerjakan sebagaimana mestinya. Ketiga bahwa ibadah yang mengandung segi
kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar dari ibadah yang bersifat perseorangan.
Karena itu shalat yang dilakukan secara berjamaah dinilai lebih tinggi nilainya
daripada shalat yang dikerjakan sendirian dengan ukuran satu berbanding dua puluh
tujuh derajat. Keempat dalam Alquran terdapat ketentuan bila urusan ibadah
dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka
kifaratnya ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial. Bila
puasa tidak mampu dilakukan misalnya, maka jalan keluarnya; dengan membayar
fidyah dalam bentuk memberi makan bagi orang miskin. Kelima dalam Alquran
terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran
lebih besar dari pada ibadah sunnah. 13 Demikian sebaliknya sosiologi memiliki
kontribusi dalam bidang kemasyarakatan terutama bagi orang yang berbuat amal baik
akan mendapatkan status sosial yang lebih tinggi ditengah-tengah masyarakat, secara
langsung hal ini berhubungan dengan sosiologi.
Adapun contoh pendekatan sosiologis dalam studi Alquran yang dapat kita
lihat dalam penafsiran Fazlur Rahman, yakni sebagai berikut.
a. Pendekatan Sosiologis terhadap Ayat tentang Poligami
Poligami adalah persoalan di dalam hukum keluarga. Ia disorot Fazlur
Rahman lantaran menjadi pembahasan aktual saat itu di negaranya. Dengan kata
lain, sorotan Fazlur Rahman terhadap poligami dimaksudkan untuk merespon
pandangan ulama di masa awal terbentuknya sebuah negara yang
memproklamirkan diri sebagai Negara Islam Pakistan. Ulama Pakistan secara
umum menyakini bahwa praktek beristri lebih dari satu dibolehkan dalam Islam.
Ini dijustifikasi Alquran, bahkan diberi toleransi sampai empat istri. 14 Ketetapan
hukum dan reformasi umum yang paling penting dari Alquran adalah menyangkut
masalah perempuan dan perbudakan, termasuk di dalamnya adalah masalah
poligami, di mana Alquran membatasi jumlah istri maksimal empat. Alquran juga
13 Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif: Ceramah-ceramah di Kampus, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007), hal. 48.

14 Sibawaihi, Hermeneutika Alqur’an Fazlur Rahman (Yogyakarta: Jalasutra, 2007), hal. 75.

10
menyatakan bahwa suami istri dinyatakan sebagai libās (pakaian) bagi satu sama
lain. Kepada perempuan diberikan hak-hak yang sama atas kaum laki-laki
sebagaimana hak laki-laki atas perempuan, dengan pengkecualian bahwa laki-laki
sebagai yang mencari nafkah, mempunyai kedudukan satu tingkat lebih tinggi
dibanding perempuan.15
Di dalam Alquran sebenarnya hanya ada satu ayat yang berbicara tentang
poligami, yakni, QS. an-Nisa: 3

ۚ ‫ُتْق ِس ُطْو ا ىِف اْلَيٰت ٰم ى َفاْنِكُحْو ا َم ا َطاَب َلُك ْم ِّم َن الِّنَس ۤاِء َم ْثىٰن َو ُثٰل َث َو ُر ٰبَع‬ ‫َو ِاْن ِخ ْف ُتْم َااَّل‬
‫ِدُل ا اِح ًة َا ا َلَك َا اُنُك ۗ ٰذ ِل َا ٰٓنى َااَّل ُل ۗا‬ ‫َفِاْن ِخ ْف ُتْم َااَّل‬
‫َتُعْو ْو‬ ‫َتْع ْو َفَو َد ْو َم َم ْت َمْي ْم َك ْد‬
Artinya: “Jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), nikahilah perempuan
(lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Akan tetapi, jika kamu
khawatir tidak akan mampu berlaku adil, (nikahilah) seorang saja atau
hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih
dekat untuk tidak berbuat zalim.”16

Masalah ini muncul sebenarnya berkait dengan para gadis yatim. Dalam
ayat sebelumnya QS. an-Nisā’: 2 dikatakan:
ٗ‫َو ٰاُتوا اْلَيٰت ٰم ٓى َاْم َو اُهَلْم َو اَل َتَتَبَّد ُلوا اَخْلِبْيَث ِبالَّطِّيِب ۖ َو اَل َتْأُك ُلْٓو ا َاْم َو اُهَلْم ِآٰلى َاْم َو اِلُك ْم ۗ ِاَّنه‬
‫َك اَن ُحْو ًبا َك ِبْيًر ا‬
Artinya: “Berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah dewasa) harta mereka.
Janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan janganlah
kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya (tindakan
menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar.”17
Alquran melarang keras para wali untuk memakan harta anak yatim. Tema
seperti ini sudah disampaikan Alquran sejak di Makkah (QS. al-An’ām: 152, QS.
al-Isrā’:34) dan ditegaskan lagi ketika di Madinah (QS. al-Baqarah: 220), (QS. an-
Nisā’ ayat 2, 6, 10, dan 127). Setelah penekanan tidak dibenarkannya memakan
harta para gadis yatim, Alquran kemudian membolehkan para wali untuk
mengawini mereka sampai empat orang. Tetapi menurut Rahman, ada satu prinsip
yang sering diabaikan oleh Ulama dalam hal ini.39 Yaitu QS. an-Nisā’: 129 :

15 Sibawaihi, Hermeneutika al-Qur’an Fazlur Rahman (Yogyakarta: Jalasutra, 2007), hal. 43.

16 Syāmil Quran, Alquran surah an-Nisā’/4: 3, hal. 77.

17 Syāmil Quran, Alquran surah an-Nisā’/4: 2, hal. 77.

11
‫َو َلْن َتْس َتِط ْيُعْٓو ا َاْن َتْع ِدُلْو ا َبَنْي الِّنَس ۤاِء َو َلْو َح َر ْص ُتْم َفاَل ِمَتْيُلْو ا ُك َّل اْلَم ْيِل َفَتَذ ُر ْو َه ا‬
‫َك اْلُم َعَّلَق ِةۗ َو ِاْن ُتْص ِلُحْو ا َو َتَّتُقْو ا َفِاَّن الّٰل َه َك اَن َغُفْو ًر ا َّر ِح ْيًم ا‬

Artinya: “Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(-mu)
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Oleh karena itu,
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) sehingga
kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Jika kamu mengadakan islah
(perbaikan) dan memelihara diri (dari kecurangan), sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”18

Karenanya, “jika kamu takut akan dapat berlaku adil, maka


(kawinilah)seorang saja”. (QS. an-Nisā’ : 3) Dari ayat-ayat tersebut disiratkan
suatu makna bahwa sikap adil itu mustahil dijalankan oleh seorang laki-laki
(suami) terhadap masing-masing istrinya. Dalam kasus ini, “klausa tentang
berlaku adil harus mendapat perhatian dan niscaya punya kepentingan lebih
mendasar ketimbang klausa spesifik yang membolehkan poligami. Tuntutan untuk
berlaku adil dan wajar adalah salah satu tuntutan dasar keseluruhan ajaran
Alquran”. Jadi, pesan terdalam Alquran tidak menganjurkan poligami, Ia justru
memerintahkan sebaliknya, yakni monogami, itulah ideal moral yang hendak
dituju Alquran.
b. Pendekatan Sosiologis terhadap Ayat tentang Hukuman Potong Tangan
Ayat yang menjadi basis hukuman potong tangan bagi pencuri adalah:
‫ِك‬ ‫ّٰلِه ّٰل‬ ‫ِد‬ ‫ِر‬ ‫ِر‬
‫َوالَّس ا ُق َوالَّس ا َقُة َفاْقَطُعْٓو ا َاْي َيُه َم ا َجَزۤا َمِبا َك َس َبا َنَك ااًل ِّم َن ال َۗوال ُه َعِزْيٌز َح ْيٌم‬
‫ًۢء‬
Artinya: “Laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
sebagai balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan
dari Allah. Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”19
Dalam hukum potong tangan bagi pencuri, menurut Fazlur Rahman, ideal
moralnya adalah memotong kemampuan pencuri agar tidak mencuri lagi. Secara
sosiologis, mencuri menurut kebudayaan Arab tidak saja dianggap sebagai
kejahatan ekonomi, melainkan juga kejahatan melawan nilai-nilai dan harga diri
manusia. Namun sejalan perkembangan zaman, mencuri hanyalah kejahatan
ekonomi, tidak ada hubungannya dengan pelecehan harga diri. Karenanya, bentuk
hukumannya harus berubah. Mengamputasi segala kemungkinan yang

18 Syāmil Quran, Alquran surah an-Nisā’/4: 129, hal. 99.

19 Syāmil Quran, Alquran surah al-Māidah/5: 38, hal. 114.

12
memungkinkan ia mencuri lagi dapat dilakukan dengan berbagai cara yang lebih
manusiawi, misalnya penjara atau denda. Jadi hukum potong tangan adalah
budaya Arab, bukan hukum Islam.20

C. Kesimpulan
Pendekatan sosiologis dipahami sebagai cara atau metode yang dilakukan dengan
mengaitkannya dengan sosiologi guna menganalisa dan mengungkap data-data terhadap
ajaran Alquran. Pendekatan sosiologi dalam memahami Alquran sangat penting, karena
banyaknya keterkaitan Alquran dengan berbagai masalah sosial. Perhatian Alquran
terhadap masalah-masalah sosial mendorong orang-orang yang beragama untuk
memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk memamahami agamanya.
Adapun konsep ta’aruf menghendaki pengembangan interaksi berdasarkan atas
pengetahuan dan pemahaman yang benar untuk menciptakan kebersamaan
(bermasyarakat) yang solid dan harmonis. Kebersamaan tersebut tidak berarti meniadakan
keunggulan, kelebihan, dan persaingan di dalamnya, terlebih bahwa kebersamaan tersebut
berlatar belakang dari berbagai perbedaan. Keunggulan, kelebihan dan persaingan yang
ada tetap diberi tempat untuk berkembang dengan syarat bernaung di bawah nilai
ketakwaan.
Kemudian dalam masalah ibadah dan muamalah, ternyata Allah lebih
mementingkan kepentingan manusia (hablum minannās) daripada diri-Nya. Hal ini
membuktikan betapa besarnya kasih sayang Allah kepada hamba-Nya juga sebagai tanda
bahwa kita benar-benar membutuhkan Allah.

20 Fazlur Rahman, Cita-Cita Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hal. 3.

13
DAFTAR PUSTAKA

Abdussalam, Aam. (2014). Teori Sosiologi Islam (Kajian Sosiologis terhadap Konsep-konsep
sosiologi dalam Alquran al-Karim). Dalam Jurnal Ta’lim Vol. 12, No. 1.
Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.
Ira, Maulana. (2022). Urgensi Pendekatan Sosiologis dalam Studi Islam. Dalam Journal of
Legal and Cultural Analytics, Vol. 1, No. 2.
Khoiruddin. (2014). Pendekatan Sosiologi Dalam Studi Islam. dalam Tribakti: Jurnal
Pemikiran Keislaman, Vol. 2, No. 2.
Mawardi. (2018). Sosiologi Dakwah: Kajian Teori Sosiologi, Alquran dan Hadits. Ponorogo:
Uwais Inspirasi Indonesia.
Mustaqim, Abdul. (2008). Pergeseran Epistemologi Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nata, Abuddin. (2000). Metodologi Studi Islam, Jakarta: Rajawali Pers.
Rakhmat, Jalaluddin. (2007). Islam Alternatif: Ceramah-ceramah di Kampus. Bandung:
Mizan Pustaka.
Shadily, Hasan. (1983). Sosiologi untuk masyarakat Indonesia. Jakarta: Bina Aksara.
Sibawaihi. (2007). Hermeneutika Alquran Fazlur Rahman. Yogyakarta: Jalasutra.
Soekanto, Soerjono, (2001). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.
Syani, Abdul. (1995). Sosiologi Dan Perubahan Masyarakat. Lampung: Pustaka Jaya.

14

Anda mungkin juga menyukai