Anda di halaman 1dari 22

BERBAGAI PENDEKATAN DI DALAM

MEMAHAMI AGAMA
Ada 7 pendekatan di dalam memahami agama.

1. Pendekatan Teologis Normatif


2. Pendekatan Antropologis
3. Pendekatan Sosiologis
4. Pendekatan Filosofis
5. Pendekatan Historis
6. Pendekatan Kebudayaan
7. Pendekatan Psikologi

A. PENDEKATAN TEOLOGIS NORMATIF

Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama secara harfiah dapat diartikan
sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang
bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap
sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang lain. Karena sifat dasarnya yang
partikularistik, maka dengan mudah kita dapat menemukan teologi Kristen-katolik,
teologi Kristen protestan, dan begitu seterusnya.

Menurut pengamatan sayyed hosein nasr, dalam era kontemporer ini ada 4 prototipe
pemikiran keagamaan islam, yaitu pemikiran keagamaan fundamentalis, modernis,
mesianis, dan tradisionalis.

Dari pemikiran tersebut, dapat diketahui bahwa pendekatan teologi dalam pemahaman
keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada pada bentuk forma atau simbol-
simbol keagamaan yang masing-masing bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan
tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar sedangkan yang lainnya sebagai
salah. Aliran teologi yang seperti itu yakin dan fanatik bahwa pemahamannyalah yang
benar sedangkan paham yang lainnya dianggap salah, sehingga memandang paham
orang lain itu keliru, sesat, kafir, murtad, dan seterusnya.

Pada masa sekarang ini muncul istilah yang disebut dengan teologi masa kritis, yaitu
suatu usaha manusia untuk memahami penghayatan imannya atau penghayan agamanya,
suatu penafsiran atas sumber-sumber aslinya dan tradisinya dalam konteks permasalahan
masa kini, yaitu teologi yang bergerak antara dua kutub : teks dan situasi; masa lampau
dan masa kini. Hal yang demikian mesti ada dalam setiap agama meskipun dalam bentuk
dan fungsinya yang berbeda-beda.

Salah satu ciri dari teologi masa kini adalah sifat kritisnya. Sikap kritis ini ditujukan
pertama-tama pada agamanya sendiri (agama sebagai institusi sosial dan kemudian juga
kepada situasi yang dihadapinya). Teologi sebagai kritik agama berarti antara lain
mengungkapkan berbagai kecenderungan dalam institusi agama yang menghambat
panggilannya; menyelamatkan manusia dan kemanusiaan.

Teologi kritis bersikap kritis pula terhadap lingkungannya. Hal ini hanya dapat terjadi
kalau agama terbuka juga terhadap ilmu-ilmu sosial dan memanfaatkan ilmu tersebut
bagi pengembangan teologinya. Penggunaan ilmu-ilmu sosial dalam teologi merupakan
fenomena baru dalam teologi. Lewat ilmu-ilmu sosial itu dapat diperoleh gambaran
mengenai situasi yang ada. Melalui analisi ini dapat diketahui berbagai faktor yang
menghambat ataupun yang mendukung realisasi keadilan sosial dan emansipasi.

B. PENDEKATAN ANTROPOLOGIS

Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu
upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh
dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini agama tampak akrab dan
dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan
memberikan jawabannya. Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam
disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami
agama.

Penelitian antropologis yang induktif dan grounded, yaitu turun kelapangan tanpa
berpijak pada, atau setidak-tidaknya dengan upaya membebaskan diri dari kungkungan
teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak sebagaimana yang dilakukan
dibidang sosiologi dan lebih-lebih ekonomi yang mempergunakan model-model
matematis, banyak juga memberi sumbangan kepada penelitian historis.

Sejalan dengan pendekatan tersebut, maka dalam berbagai penelitian antropologi agama
dapat ditemukan adanya hubungan positif antara kepercayaan agama dengan kondisi
ekonomi dan politik. Golongan masyarakat yang kurang mampu dan golongan miskin
pada umumnya, lebih tertarik kepada gerakan-gerakan keagamaan yang bersifat
mesianis, yang menjanjikan perubahan tatanan sosial kemasyarakatan.sedangkan
golongan orang kaya lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang
sudah mapan secara ekonomi lantaran tatanan itu menguntungkan pihaknya.

Melalui pendekatan antropologis di atas, kita melihat bahwa agama ternyata berkolerasi
dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat. Dalam hubungan ini,
kita ingin mengubah pandangan dan sikap etos kerja seseorang, maka dapat dilakukan
dengan cara mengubah pandangan keagamaannya. Melalui pendekatan antropologis
fenomenologis ini kita juga dapat melihat hubungan antara agama dan Negara (state and
religion). Dan juga dapat ditemukan keterkaitan agama dengan psikoterapi.

Dengan demikian, pendekatan antropologi sangat dibutuhkan dalam memahami ajaran


agama, karena dalam ajaran agama tersebut terdapat uraian dan informasi yang dapat
dijelaskan lewat bantuan ilmu antropologi dengan cabang-cabangnya.

C. PENDEKATAN SOSIOLOGIS

Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan
menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya itu.
Dari definisi tersebut terlihat bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan
tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial
lainnya yang saling berkaitan.

Selanjutnya, sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami
agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak bidang kajian agama yang baru
dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dari
ilmu sosiologi. Tanpa ilmu sosial peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyatakat sulit
dijelaskan dan sulit pula untuk dipahami maksud dan tujuannya. Di sinilah letaknya
sosiologi sebagai salah satu alat dalam memahami ajaran agama.

Pentingnya pendekatan sosiologi dalam memahami agama sebagaimana disebutkan


diatas dapat dipahami, karena banyak sekali ajaran agama yang berkaitan dengan
masalah sosial.

Jalaluddin rahmat telah menunjukan betapa besarnya perhatian agama yang dalam hal ini
islam terhadap masalah sosial, dengan mengajukan lima alasan sebagai berikut.

1) Dalam al-qur‟an atau kitab-kitab hadits, proporsi terbesar kedua hukum islam itu
berkenaan dengan muamalah.

2) Bahwa ditekankannya masalah muamalah (sosial) dalam islam ialah adanya


kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan
muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (tentu
bukan ditinggalkan), melainkan tetap dikerjakan sebagaiman mestinya.

3) Bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar
daripada ibadah yang bersifat perseorangan.

4) Dalam islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau
batal karena melanggar pantangan tertentu maka kifaratnya (tebusan) ialah
melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial.

5) Dalam islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan
mendapat ganjaran lebih besar daripada ibadah sunnah.

Melalui pendekatan sosiologis agama akan dapat dipahami dengan mudah, karena agama
itu sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial.

D. PENDEKATAN FILOSOFIS

Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta kepada kebenaran,
ilmu, dan hikmah. Selain itu filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha
menautkan sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman
manusia.

Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa filsafat pada intinya berupaya menjelaskan
inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada dibalik objek formanya. Filsafat
mencari sesuatu yang mendasar, asas, dan inti yang terdapat di balik yang bersifat
lahiriah.

Berpikir secara filosofis tersebut selanjutnya dapat digunakan dalam memahami ajaran
agama, dengan maksud agar hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama dapat
dimengerti dan dipahami secara seksama. Pendekatan filosofis yang demikian itu
sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh para ahli.

Karena demikian pentingnya pendekatan filosofis ini, maka kita menjumpai bahwa
filsafat telah digunakan untuk memahami berbagai bidang lainnya selain agama. Kita
misalnya membaca adanya filsafat hukum islam, filsafat sejarah, filsafat kebudayaan,
filsafat ekonomi dan lain sebagainya.

Melalui pendekatan filosofis ini, seseorang tidak akan terjebak pada pengamalan agama
yang bersifat formalistis, yakni mengamalkan agama dengan susah payah tapi tidak
memiliki makna apa-apa, kosong tanpa arti.

Namun demikian, pendekatan filosofis ini tidak berarti menafikan atau menyepelekan
bentuk pengamalan agama yang bersifat formal. Filsafat mempelajari segi batin yang
bersifat esoterik, sedangkan bentuk (forma) memfokuskan segi lahiriah yang bersifat
eksoterik.

Tampaknya pandangan filsafat yang bercorak perenialis ini secara metodologis


memberikan harapan segar terhadap dialog antara umat beragama, sebab melalui metode
ini diharapkan tidak hanya sesama umat beragama menemukan transcendent unity of
religion, melainkan dapat mendiskusikannya secara lebih mendalam, sehingga terbuka
kebenaran yang betul-betul benar, dan tersingkirlah kesesatan yang betul-betul sesat,
meskipun tetap dalam lingkup langit kerelatifan.

E. PENDEKATAN HISTORIS

Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang didalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan
memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa
tersebut. Menurut ilmu ini, segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan
peristiwa itu terjadi, dimana, apa sebabnya, siapa yang terlibata dalam peristiwa tersebut.

Melalui pedekatan sejarah seseorang diajak menukik dari alam idealis kealam yang
bersifat empiris dan mendunia. Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam
memahami agama, karena agama itu sendiri turun dalam situasi yang kongkrit bahkan
berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan.

Kuntowijoyo telah melakukan studi yang mendalam terhadap agama yang dalam hal ini
islam, menurut pendekatan sejarah. Ketika ia mempelajari Al-qur‟an, ia menyimpulkan
bahwa pada dasarnya kandungan Al-qur‟an itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama,
berisi konsep-konsep dan bagian. Kedua, berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.
Dalam bagian pertama yang berisi konsep-konsep, kita mendapati banyak sekali istilah
Al-qur‟an yang merujuk pada pengertian-pengertian normatif yang khusus, doktrin-
doktrin etik, aturan-aturan legal, dan ajaran-ajaran keagamaan pada umumnya. Dalam
bagian ini kita mengenal banyak sekali konsep, baik yang bersifat abstrak maupun
konkret. Konsep tentang Allah, konsep tentang malaikat, tentang akhirat, tentang ma‟ruf,
munkar, dan sebagainya adalah konsep-konsep yang abstrak.

Melalui pendekatan ini seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya
berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini, maka seseorang tidak akan
memahami agama keluar dari konteks historisnya, karena pemahaman demikian itu akan
menyesatkan orang yang akan memahaminya.

F. PENDEKATAN KEBUDAYAAN

Dalam kamus umum bahasa Indonesia, kebudayaan diartikan sebagai hasil kegiatan
dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, adat istiadat,
dan berarti pula kegiatan (usaha) batin (akal dan sebagainya) untuk menciptakan
sesuatu yang termasuk hasil kebudayaan.

Dengan demikian, kebudayaan adalah hasil daya cipta manusia dengan menggunakan
dan mengerahkan segenap potensi batin yang dimilikinya. Di dalam kebudayaan
tersebut terdapat pengetahuan, keyakinan, seni, moral, adat istiadat dan sebagainya.
Kebudayaan yang demikian selanjutnya dapat pula digunakan untuk memahami agama
yang terdapat pada tataran empiris atau agama yang tampil dalam bentuk formal yang
menggejala di masyarakat.

Dengan demikian, agama menjadi membudaya atau membumi di tengah-tengah


masyarakat. Agama yang tampil dalam bentuknya yang demikian itu berkaitan dengan
kebudayaan yang berkembang di masyarakat tempat agama itu berkembang. Dengan
melalui pemahaman terhadap kebudayaan tersebut seseorang akan dapat mengamalkan
ajaran agama.

G. PENDEKATAN PSIKOLOGI

Psikologi atau ilmu jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala
prilaku yang dapat diamatinya.

Dalam ajaran agama banyak dijumpai istilah-istilah yang menggambarkan sikap batin
seseorang. Misalnya, sikap beriman dan bertakwa kepada Allah, sebagai orang yang
saleh, orang yang berbuat baik, orang yang sadik (jujur), dan sebagainya. Semua itu
adalah gejala-gejala kejiwaan yang berkaitan dengan agama.

Kita misalnya dapat mengetahui pengaruh dari shalat, puasa, jakat, haji, dan ibadah
lainnya dengan melalui ilmu jiwa. Dengan pengetahuan ini, maka dapat disusun
langkah-langkah baru yang lebih efisien lagi dalam menanamkan ajaran agama.
Dari uraian tersebut kita melihat ternyata agama dapat dipahami melalui berbagai
pendekatan. Dengan pendekatan itu semua orang akan sampai pada agama. Seorang
teolog, sosiolog, antropolog, sejarawan, ahli ilmu jiwa, dan budayawan akan sampai
kepada pemahaman agama yang benar. Disini kita melihat bahwa agama bukan hanya
monopoli kalangan teolog dan normatif belaka, melainkan agama dapat dipahami
semua orang sesuai dengan pendekatan dan kesanggupan yang dimilikinya.
CORAK PEMIKIRAN ISLAM

 LATAR BELAKANG TERBENTUKNYA ISLAM TRADISIONAL, MODERN,


DAN FUNDAMENTAL

Awal terjadinya skisme umat Islam adalah terbunuhnya Utsman bin Affan khalifah ketiga
pada hari Jum‟at tanggal 18 Dzulhijjah tahun ke 35 H (656 M) setelah rumahnya dikepung
oleh lima ratus penduduk Mesir yang dipimpin oleh Udais selama empat puluh tujuh hari.
Peristiwa itu oleh para sejarawan disebut al-fitnah al-kubra juga disebut albab al-maftuh
yang berarti terbukanya pintu perang saudara.

Sepeninggal Utsman, Ali bin Abi Thalib diangkat sebagai khalifah keempat. Diangkatnya Ali
tidak mampu meredam konflik internal umat Islam. Dengan mengatasnamakan penuntasan
pengusutan dalang di balik pembunuhan Utsman, mereka kemudian melakukan
pemberontakan-pemberontakan, diantaranya yang dilakukan Aishah, Talhah, dan Zubair
dalam perang Jamal, serta yang dilakukan Mu‟awiyah bin Abi Sufyan yang merupakan
gubernur Syiria dalam perang Shiffin.

Perang shiffin, berakhir dengan tahkim (arbitrasi, perwasitan) oleh para juru runding di
Adhruh pada bulan Januari 659 M menghasilkan beberapa kesepakatan antara lain bahwa
pembunuhan Utsman tidak dapat dibenarkan dan akan dibentuk lembaga syura untuk
pemilihan seorang khalifah yang baru.

Keputusan itu tidak tersampaikan kepada umat Islam saat itu, dan justru yang terjadi adalah
pemihakan kepada Mu‟awiyah yang mengakibatkan kekecewaan banyak pihak sehingga
umat Islam saat itu terpecah menjadi empat kelompok yaitu pertama, ahl-shura atau yang
lebih dikenal dengan Khawarij. Kelompok ini awalnya pendukung Ali, tetapi karena Ali
menerima tawaran Mu‟awiyah berdamai dengan cara tahkim maka mereka menyatakan ke
luar dan menentang Ali sekaligus Mu‟awiyah. Kedua, Syi‟ah yaitu kelompok yang setia pada
Ali dan menganggap Ali masih sebagai khalifah yang sah, bahkan kelompok ini
berkeyakinan bahwa Ali-lah yang seharusnya sejak awal menggantikan Rasul SAW ketika
wafat sebagaimana yang pernah dikatakan beliau di Ghadir Khum. Ketiga, kelompok
Mu‟awiyah yaitu mereka yang berasal dari Damaskus yang menganggap Mu‟awiyah sebagai
khalifah yang sah karena menang dalam diplomasi. Keempat, kelompok moderat atau netral
yang menarik diri dari peraturan politik dengan personifikasi Hasan al-Basri (64-728).

Sejak munculnya kelompok-kelompok tersebut sampai dengan periode kekhalifahan tinggi


(tahun 945) inilah yang melahirkan diskursus keilmuan Islam sekaligus melahirkan kelompok
atau aliran fase pertama yang mengerucut pada empat tradisi keilmuan klasik yaitu ilmu
kalam, fiqih, filsafat dan tasawuf, atau dalam terminologi Mohammad „Abid al-Jabiri disebut
sebagai formasi akal Arab yaitu al-„aql al-bayani (akal retorik) yaitu tumbuh kembangnya
ilmu-ilmu bahasa seperti nahwu, balaghah, fiqh, usul fiqh, dan ilmu kalam, al-„aql al-„irfani
(akal gnostik) yaitu tumbuh kembangnya filsafat iluminasionisme dan tasawuf, dan al-„aql al-
burhani (akal demonstratif) yaitu tumbuh kembangnya filsafat.

Gambar 1 : Polarisasi Pemikiran Islam Fase Pertama dalam perspektif al-Jabiri


Diskursus keilmuan dan muncul aliran kelompok fase kedua adalah pada periode Islam
Pertengahan Kemudian (1258-1503) dan periode Kekaisaran Mesir Serbuk (1503-1789),
yaitu diawali dengan runtuhnya kekhalifahan Bani „Abbasiyah akibat ditaklukkan oleh
kerajaan Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan pada tahun 1258 M.

Pada masa ini dunia Islam menampilkan tiga wajah buram yaitu pertama, kehilangan
kreatifitas yang ditandai dengan maraknya tradisi sharah dan hashiyah yaitu aktifitas
menafsirkan atau menjelaskan karya-karya ulama terdahulu. Kedua, kehilangan daya kontrol
terhadap akulturasi budaya luar Islam yaitu semakin maraknya adopsi Islam terhadap budaya
lokal dan meningkatnya kebutuhan untuk melakukan ritual dan tawasul terhadap orang-orang
suci yang dianggap sebagai wali. Ketiga, menyibukkan diri membangun kesalehan teologis
dan menghindar dari dinamika kehidupan antropologis, dengan menyibukkan pada kehidupan
kelompok sufi yang membangun jaringan yang disebut dengan tarekat. Ketiga hal tersebut
mengidentifikasikan munculnya gerakan Islam Tradisional.

Kehadiran Islam tradisional direspon oleh beberapa tokoh Islam yang risih dengan perilaku
umat Islam yang dianggap semakin menjauh dari nuansa al-Qur‟an dan al-Sunnah, di
antaranya adalah Ibn Taymiyah dengan membawa jargon kembali kepada al-Qur‟an dan al-
Sunnah serta membuka kembali pintu Ijtihad, Ia ingin mengembalikan Islam sebagaimana
pada masa Nabi SAW dan al-Salaf al-Salih. Gerakan yang dilakukan oleh Ibn Taymiyah ini
diidentifikasi sebagai Islam Revivalis.

Diskursus keilmuan dan munculnya kelompok atau aliran fase ketiga adalah ketika Islam
terutama di wilayah Turki „Utsmani bersentuhan dengan Barat pada tahun 1700. Disusul
kemudian dengan kedatangan Napoleon Bonaparte ke Mesir pada tahun 1798 yang membawa
perubahan di segala bidang, di antaranya dengan membawa mesin cetak berbahasa Arab yang
merupakan rampasan dari Vatikan ke Kairo yang dijadikan sebagai alat propaganda Prancis
dengan menggunakan Bahasa Arab, dan diresmikannya academic literaire (akademi sastra)
yang dilengkapi dengan perpustakaan menjadikan orang Arab yang pada umumnya menjalani
kehidupan yang mandiri, tradisional dan konvensional serta tidak menghiraukan kemajuan
dunia luar, secara tiba-tiba tersentak dengan kedatangan bangsa Barat yang membantu
mereka terbangun dari tidur panjangnya, dan mengobarkan api intelektual yang membakar
semangat umat Islam, sehingga tahun tersebut dijadikan sebagai batasan sejarah pemikiran
Arab modern.

Persentuhan antara Islam dan Barat menimbulkan banyak persepsi di kalangan umat Islam
yang pada akhirnya melahirkan kelompok-kelompok aliran. Adonis mengidentifikasi
khususnya di wilayah Arab ada dua kecenderungan yaitu al-thabit, pemikiran yang berdasar
pada teks, dan al-mutahawwil yang dapat dimaknai dengan dua pengertian. Pertama, sebagai
pemikiran yang berdasarkan pada teks, namun melalui interpretasi yang membuat teks dapat
beradaptasi dengan realitas dan perubahan. Kedua, sebagai pemikiran yang memandang teks
tidak mengandung otoritas, dan pemikiran didasarkan pada „aql dan bukan naql.

Kelompok al-thabit berpandangan bahwa pengetahuan tekstual tidak dapat disejajarkan


dengan kriteria apapun di luar dirinya, dan tidak dapat dimajukan di luar pengetahuan
dirinya, serta bahasa Arab (sebagai bahasa al-Qur‟an) dan kreatifitasnya tidak dapat
disejajarkan dengan kriteria apapun di luar dirinya. Sedangakan kelompok al-mutahawwil
berpandangan dengan tiga prinsip yaitu kebebasan berkreasi tanpa batas, ketidakberhinggaan
pengetahuan dan ketidakberhinggaan eksplorasi, serta kelainan, perbedaan dan pluralitas.
Charles Kurzman mengidentifikasikan ke dalam tiga kelompok tradisi. Pertama, Islam Adat
(Customary Islam) yang ditandai oleh kombinasi kebiasaan-kebiasaan atau adat istiadat
kedaerahan dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan di seluruh dunia Islam. Kedua, Islam
Revivalis (Revivalist Islam) atau juga disebut Islam Fundamentalis yang mendefinisikan
dirinya berbeda dengan Islam Adat dan menyerukan keutamaan Islam pada periode paling
awal (al-salaf al-salih) untuk menegaskan ketidak-absahan praktek-praktek keagamaan masa
kini yaitu praktek-praktek yang tidak islami yang berkembang beberapa abad setelah Islam
diwahyukan, mengembalikan kemurnian Islam sebagaimana pada masa jaya, menyerang
interpretasi adat yang kurang memberi perhatian pada doktrin Islam, membersihkan pusat-
pusat strategis tradisi Islam adat. Ketiga, Islam Liberal (Liberal Islam) berpandangan
sebagaimana Islam Revivalis terhadap Islam Adat, dengan menghadirkan kembali masa lalu
untuk kepentingan modernitas.

Senada dengan Kurzman, Akbar S Ahmad mengidentifikasikan terdapat segitiga kesarjanaan


muslim yaitu Tradisionalis, Radikalis, dan Modernis. Kelompok Tradisonalis adalah mereka
yang memandang perlunya dialog antara Islam dan Barat karena di antara keduanya terdapat
universalime pesan Tuhan dan dialog antar iman. Kelompok Modernis adalah mereka yang
menganggap agama tidak lagi sebagai kekuatan atau bimbingan. Sedangkan kelompok
Radikalis adalah mereka yang sudah kehilangan kesabaran terhadap Barat dan mengajak
untuk melakukan revolusi.

Kelompok-kelompok aliran tersebut terus mengkristalisasi sehingga membentuk peta


pemikiran Islam kontemporer23 yang dapat diklasifikasikan pada tiga tipologi.

Pertama, tipologi transformatik yaitu para pemikir Arab yang secara radikal mengajukan
proses transformasi masyarakat Arab-Muslim dari budaya tradisional-patriarkal kepada
masyarakat rasional dan ilmiah. Mereka menolak cara pandang agama dengan kecenderungan
mistik dan tidak berdasarkan pada nalar praktis, serta menganggap agama dan tradisi masa
lalu sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan zaman sekarang, karenanya harus ditinggalkan.

Kedua, tipologi reformistik yaitu para pemikir Arab yang melakukan reformasi dengan
mengadakan penafsiran-penafsiran baru yang lebih hidup dan cocok dengan tuntutan zaman.
Kelompok ini mempunyai dua kecenderungan yaitu pertama, pemikir yang memakai metode
rekonstruktif yaitu melihat tradisi (turath) dengan perspektif pembangunan kembali, yang
berarti agar tradisi tetap hidup dandapat diterima, maka ia harus dibangun kembali secara
baru dengan kerangka modern dan pra-syarat rasional. Kecenderungan kedua, yang
menggunakan metode dekonstruktif yang merupakan fenomena baru pemikir Arab. Para
pemikir dekonstruktif dipengaruhi oleh sosiologi mazhab Prancis terutama gerakan Post-
strukturalis dan Post-Modernisme.

Ketiga, tipologi ideal-totalistik yaitu kelompok yang hendak menghidupkan kembali Islam
sebagai agama, budaya dan peradaban, mereka menolak unsur-unsur asing dari Barat,
menyerukan kepada keaslian Islam yang pernah dipraktekkan oleh Nabi dan para khulafa‟ al-
rasyidin, dan kembali kepada sumber asli ajaran Islam yaitu al-Qur‟an dan al-Sunnah.

Dari uraian para islamolog di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kelompok aliran dalam
Islam dapat diklasifikasikan menjadi empat, yaitu kelompok islam tradisional, modernis,
liberalis, dan fundamentalis.[1]

 ISLAM TRADISIONALIS
Pengertian Islam Tradisionalis

Kata tradisi berasal dari bahasa Inggris “tradition” yang artinya tradisi.[2] Sedangkan kata
tradisi dalam kamus bahasa Indonesia adalah segala sesuatu seperti adat, kepercayaan,
kebiasaan, dan ajaran yang turun temurun dari leluhur.[3] Dalam bahasa Arab kata tradisi
merupakan salah satu makna dari kata “sunnah” selain makna norma, aturan, dan
kebiasaan.[4] Sedangkan kata “sunnah” mempunyai arti segala yang dinukilkan dari Nabi
SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup,
baik sebelum Nabi diangkat menjadi rasul atau sesudahnya.[5]

Islam Tradisional mengandung pengertian yang luas, karena tradisi pada umumnya difahami
sebagai hasil perlembagaan praktik-praktik keagamaan yang diyakini bersumber pada
syariah, maka tradisionalisme islam diyakini oleh para pendukungnya sebagai Islam
murni.[6]

Atas dasar pengertian ini, maka kaum orientalis Barat menyebut kepada setiap orang yang
berpegang teguh kepada al-Sunnah Rasulullah SAW. Bahkan kepada mereka yang berpegang
teguh kepada al-Qur‟an sebagai kaum tradisionalis. Hal yang demikian itu mereka dasarkan
pada pandangannya, bahwa al-Qur‟an merupakan warisan ajaran dari Tuhan yang bersifat
abadi, sedangkan sunnah merupakan warisan ajaran dari Nabi Muhammad SAW.[7]

Baharuddin Ahmad (1994) mengatakan bahwa menurut masyarakat tradisional Tuhan adalah
dasar atau asas dari segala-galanya. Secara teoritis golongan tradisional atau perennial
menganggap bahwa kehadiran Tuhan itu sesuatu yang nyata, Tuhan hidup dalam segala
tradisi, mengatasi sejarah dan masa. Manusia adalah tafsiran Tuhan dalam arti Tuhanlah yang
merancang dan merencanakan kelahiran manusia dan alamnya melalui “tipe induk” atau
a’yan tsabita dalam istilah Ibnu „Arabi.[8]

Realitas langit merupakan realitas objektif dan realitas bumi merupakan realitas subjektif.
Karena itu jika berbicara mengenai tingkatan ilmu, ilmu keagamaan bagi masyarakat
tradisional merupakan ilmu tertinggi (karena paling objektif), dan ilmu teknologi adalah ilmu
terendah. Dalam pandangan tradisionalis, setiap yang modern bisa dicampuradukkan antara
satu dengan yang lain (sintesis). Bagi yang spiritual atau tradisional tidak boleh
dicampuradukkan, karena perlu diketahui mana yang lebih utama. Pencampuradukkan berarti
menyamaratakan semuanya sekaligus. Padahal dalam perspektif tradisional terdapat hierarki,
ada yang horizontal dan vertikal, ada pula yang luar dan yang dalam.[9]

Pada prinsipnya kaum tradisionalis yakin bahwa kebudayaan, pemikiran, dan kebudayaan
modern adalah buruk, karena tidak berasaskan prinsip keagamaan dan keruhanian. Dimensi
social adalah dimensi kedua, sedangkan individual adalah yang utama atau hakikat ada di
dalam diri. Manusia bersosialisasi jika ada keperluan saja. Ulama tradisionalis tidak mau
melakukan adaptasi dan kompromi termasuk menerima kemajuan IPTEK yang berasal dari
barat karena mereka berpendapat bahwa barat adalah musuh islam, maka baik politik maupun
budyanya harus ditolak. Mereka berpandangan bahwa umat islam tidak perlu mengikuti
pemikiran barat, karena islam adalah agama yang sempurna. Ulama tradisionalis lebih
cenderung kembali ke masa lalu dalam usaha mencari jawaban Islam terhadap tantangan
masa kini. Mereka yakin bentuk kehidupan umat Islam abad ketujuh sudah sempurna dan
tidak perlu diubah dan disesuaikan dengan abad baru.[10]
Dari sini terlihat bahwa filsafat tradisi atau perennialis menentang segala bentuk kemodernan
terutama dalam hal teknologi dan estetika. Hal itu dikarenakan kedua hal tersebut telah
memberikan kerusakan pada roh manusia sehingga merupakan manifestasi atau kenyataan
zaman gelap, zaman akhir, iron age, zaman tanzibah, zaman penghisaban, yaitu zaman
manusia kehilangan Tuhan dan makna.[11]

Dalam perkembangan selanjutnya, Islam tradisionalis tidak hanya ditunjukkan kepada


mereka yang berpegang teguh kepada al-Qur‟an dan al-Sunnah saja, tetapi juga kepada
produk-produk pemikiran (hasil ijtihad) para ulama yang dianggap unggul dan kokoh dalam
berbagai bidang keilmuan. Pemikiran para ulama dalam berbagai bidang yang pada
hakikatnya merupakan hasil penalaran terhadap al-Qur‟an dan al-Sunnah tersebut harus
dipegang teguh dan tidak boleh diubah. Dalam hal demikian Islam tradisionalis tidak lagi
membedakan antara ajaran yang terdapat dalam al-Qur‟an dan al-Sunnah dengan ajaran yang
merupakan hasil pemahaman terhadap keduanya.[12]

 Ciri-Ciri Islam Tradisionalis

Berikut ini adalah ciri-ciri dari Islam Tradisionalis, yaitu[13] :

1. Bersifat eksklusif (Tertutup), yaitu maksudnya Islam Tradisionalis tidak mau


menerima pemikiran, pendapat, saran yang berasal dari luar terutama dalam bidang
keagamaan.
2. TIdak dapat membedakan antara hal-hal yang bersifat ajaran dengan yang non ajaran.
Maksudnya Islam tradisionalis menganggap semua hal yang ada hubungannya dengan
agama sebagai ajaran yang harus dipertahankan.
3. Berorientasi ke belakang. Maksudnya Islam tradisionalis menilai bahwa berbagai
keputusan hukum yang diambil oleh para ulama di masa lampau merupakan contoh
ideal yang harus diikuti.
4. Cenderung tekstualis-literalis. Maksudnya Islam Tradisionalis cenderung memahami
ayat-ayat al-Qur‟an secara tekstualis tanpa melihat latar belakang serta situasi sosial
yang menyebabkan ayat-ayat al-Qur‟an tersebut diturunkan. Akibatnya jangkauan
pemakaian suatu ayat sangat terbatas pada kasus-kasus tertentu saja, tanpa mampu
menghubungkannya pada situasi lain yang memungkinkan dijangkau oleh ayat yang
dimaksud. Sedangkan dengan cirinya yang literalis, Islam tradisionalis kurang dapat
menangkap pesan atau makna yang terkandung di belakang suatu ayat. Akibatnya
mereka meniru segala macam yang dicontohkan Nabi dan ulama masa lampau, seperti
cara Nabi berpakaian berikut modelnya seperti mengenakan jubah, berjanggut,
memakai sorban, dll.
5. Cenderung kurang menghargai waktu, maksudnya Islam Tradisionalis cenderung
melakukan sesuatu tanpa memperhitungkan waktu yang dikeluarkan.
6. Cenderung tidak mempermasalahkan tradisi yang terdapat dalam agama.
7. Cenderung lebih mengutamakan perasaan daripada akal pikiran. Maksudnya mereka
cenderung melakukan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk konsumsi perasaan,
walaupun untuk itu mereka harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Dalam
kaitan ini, Islam tradisionalis banyak terlihat dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat
ritual keagamaan seperti memperbanyak dzikir, berdo‟a, mengadakan selametan
bersama, dan sebagainya tanpa diimbangi dengan usaha yang keras di bidang
keduniaan.
8. Cenderung bersifat Jabariyah dan teoritis, yaitu sikap pasrah, tunduk dan patuh pada
Tuhan diiringi dengan keyakinan bahwa segala sesuatu jika Tuhan mengizinkan akan
terjadi. Namun hal tersebut harus diimbangi dengan usaha yang berpengaruh terhadap
keputusan Tuhan.
9. Kurang menghargai ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Maksudnya Islam
tradisionalis sering melakukan pekerjaan dengan cara-cara yang mereka lakukan sejak
dahulu kala, tanpa disertai dengan upaya untuk memperbaiki cara kerja yang lebih
efisien, efektif, cepat, dan tepat.
10. Jumud dan Statis, maksudnya adalah Islam tradisionalis cenderung tidak mau
mengikuti perubahan dan mempertahankan apa-apa yang dipandangnya sudah baik
sejak dahulu, tanpa mempertanyakan secara kritis apakah apa-apa yang mereka
pertahankan itu masih cukup dan mampu bersaing dengan kekuatan lain.
o Islam Tradisional di Indonesia

Pada beberapa gerakan Islam tradisional pengaruh kebudayaan lokal cukup kuat dalam
implementasi ritual keagamaan, bahkan secara kultural dapat dikatakan bersifat sinkretik. Hal
ini membuat tradisi pada wilayah tertentu melebur dengan praktik keagamaan masyarakat di
daerah tersebut. Gerakan Islam di Indonesia yang pernah berada atau masih bertahan pada
jalur tradisional diantaranya adalah Nahdhatul Ulama, tarikat Qadiriyah Naqsyabandiyah, dan
gerakan Jama‟ah Tabligh. Beberapa dari gerakan ini telah mengalami banyak perkembangan
dan memiliki kecenderungan modernitas dalam aktivitasnya.[14]

 Nahdhatul Ulama

Berdirinya Nahdhatul Ulama (NU) dipandang sebagai pelembagaan tradisi keagamaan yang
sudah mengakar di wilayah Jawa. Kultur masyarakat Jawa sebagai tempat kelahiran NU
memberikan banyak pengaruh pada karakteristik gerakan dakwah NU selanjutnya. Peleburan
antara tradisi lokal dengan praktik keagamaan adalah salah satu karakteristik yang menjadi
ciri khas masyarakat NU. Sejak awal berdirinya NU dipandang sebagai organisasi para ulama
tua di daerah pedesaan yang secara agama bersifat kultural, secara intelektual sederhana,
secara kultural bersifat sinkretik, dan secara politik bersifat oportunis. Namun anggapan ini
berkembang sebelum tahun 1970-an. Perkembangan NU pada tahun 1970-an mulai
menunjukkan bahwa NU telah menjadi sebuah organisasi yang progresif. Hal ini ditunjukkan
melalui dinamika NU pada masa orde baru yang sudah dapat bereaksi terhadap kebijakan
pemerintah pada masa itu. Hal ini menunjukkan bahwa NU mengalami perubahan pada
orientasinya.

Pada masa pembentukan awal NU adalah sebuah organisasi sosial keagamaan yang
mengumpulkan ulama dari berbagai daerah untuk melawan kolonialisme, namun pada
perjalanannya NU pun memasuki ranah politik dan bergabung dengan Masyumi hingga
selanjutnya berdiri sendiri sebagai partai politik.

NU lahir dari kultur masyarakat penganut Ahlussunnah wal Jama’ah, upaya untuk
melembagakan kulturnya didorong oleh situasi kolonialisme yang melahirkan gerakan sosial-
politik. Pelembagaan kultur NU juga menjadi salah satu upaya untuk pembelaan kalangan
Islam tradisional di Jawa terhadap arus pembaruan yang mulai masuk ke Indonesia.

Sejak awal terbentuknya NU merupakan penganut Ahlussunnah wal Jama’ah Sebuah paham
keagamaan di kalangan NU yang bersumber pada kitab al-Quran dan al-Sunnah. Secara
harfiah Ahlussunnah wal Jama’ah berarti penganut sunnah Nabi Muhammad dan sahabat-
sahabatnya. Secara ringkas berarti segolongan pengikut jejak Nabi Muhammad yang di dalam
melaksanakan ajaran-ajarannya berjalan di atas garis yang dipraktikkan oleh sahabat Nabi.
K.H. Bisri Mustofa, seorang ulama asal Rembang, mengartikan Ahlussunnah wal Jama’ah
sebagai faham yang berpegang teguh kepada tradisi. Aspek yang mencerminkan hal tersebut
terdapat dalam bidang hukum-hukum Islam karena Ahlussunnah wal jama’ah menganut salah
satu ajaran dari empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi‟i, dan Hambali). Dalam praktik
keagamaan, para kiai merupakan penganut kuat madzhab Syafi‟i, sedangkan dalam hal
tauhid, menganut ajaran-ajaran Imam Abu Hasan al-Asy‟ari dan Imam Abu Mansur al-
Maturidi. Aspek lainnya yang juga mencirikan paham Ahlussunnah wal Jama’ah adalah
dalam bidang tasawuf yang menganut dasar-dasar Imam Abu Qosim al-Junaidi.

Operasionalisasi ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah seperti inilah yang membedakannya


dengan kalangan pembaru yang juga mengatakan dirinya sebagai penganut Ahlussunnah wal
Jama’ah, namun hanya berpegang pada al-Quran dan Sunnah. Ajaran Ahlussunnah wal
Jama’ah yang dianut oleh NU berbeda dengan yang dianut oleh umat Islam lain, hal ini
karena ajaran yang diterapkan dan dipraktikkan oleh kiai NU disesuaikan dengan kondisi
masyarakat Indonesia. Faham Ahlusunnah wal Jama’ah yang dipegang oleh para kiai
mempunyai arti yang lebih sempit dari pengertian faham yang mengikuti tradisi Nabi
Muhammad dan Ijma‟ para sahabat. Pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah di sini mencirikan
konsep dari Islam tradisi. Ajaran agama berakulturasi dengan kehidupan kultural dan sosial
masyarakat Indonesia.

Aspek tradisi pada keagamaan yang dipegang oleh NU akhirnya melahirkan sikap-sikap yang
menjadi ciri khas normatif organisasi NU. Sikap-sikap tersebut diantaranya adalah sikap
tengah yang berintikan tentang prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil
dan lurus di tengah kehidupan bersama, sikap toleran terhadap perbedaan, terutama hal-hal
yang bersifat cabang dari sebuah pemahaman, serta dalam soal kemasyarakatan dan
kebudayaan. Sikap seimbang dalam berkhidmat kepada Tuhan, manusia, lingkungan
hidupnya, serta menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini, dan masa mendatang, sikap
selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang baik, berguna dan bermanfaat
bagi kehidupan bersama, serta menolak dan mencegah semua hal yang menjerumuskan dan
merendahkan nilai-nilai kehidupan.

Dalam memandang dunia, NU menjadikan tasawuf sebagai salah satu ajaran yang bersatu
dengan konsep keagamaannya. Tasawuf adalah pedoman bagi adanya perilaku berahlak.
Bentuk perilaku ini adalah tarekat, yang didalamnya terdapat dzikir berulang-ulang. NU
menjadikan tasawuf sebagai bagian dari ibadah, dan ibadah dipandang sebagai hal yang akan
membawa seseorang menuju perjalanan akhirat. Karena itu seluruh kehidupan di dunia ini
penuh dengan peribadatan. Meskipun demikian, faham keagamaan NU adalah sebuah nilai
yang dinamis, tidak berhenti pada penyerahan diri kepada Tuhan, dan bukan faham
keagamaan yang tidak menghiraukan kehidupan dunia. Namun sebaliknya, kehidupan dunia
disubordinasikan dalam rangkuman nilai Ilahiah sebagai sumber nilai tertinggi.

Pada persoalan-persoalan hukum, NU merupakan pengikut madzhab Imam Syafi‟i yang


dikenal sebagai “jalan tengah” dari dua Imam sebelumnya yakni Imam Hanafi dan Imam
Maliki. Imam Hanafi adalah Imam yang terkenal dengan rasionalitasnya dalam menetapkan
hukum-hukum, sedangkan Imam Maliki dikenal dengan tradisionalisnya. Penerimaan
madzhab bagi NU tidaklah mutlak, melainkan melewati diskusi panjang yang pada akhirnya
menghasilkan konsensus.

Kedudukan ulama pada NU sangatlah penting, penghormatan yang tinggi terhadap ulama
merupakan refleksi dari tradisi berfikir yang menggunakan madzhab. Hal ini tidak terlepas
dari sosok ulama itu sendiri, fungsi, dan tugasnya. Memiliki pengalaman atas ilmu yang
diemban adalah salah satu hal yang membuat seseorang dikatakan sebagai ulama. Selain
sebagai pengemban ilmu yang bermanfaat, seorang ulama haruslah sekaligus menjadi
pelaksana dari ilmunya dan melakukan penyiaran terhadap ilmu yang diemban. Seorang
ulama haruslah senantiasa mempunyai komitmen terhadap tugas menyiarkan dan
memasyarakatkan ilmunya guna memberikan informasi, bimbingan dan tuntunan kepada
masyarakatnya. Seorang ulama juga harus tunduk sepenuhnya kepada Al-Quran dan memiliki
kesadaran terhadap kepastian terjadinya janji dan ketentuan Tuhan. Hal kutural lain yang
harus dimiliki oleh seorang ulama adalah sikap rendah hati.

Untuk memperoleh gelar ulama memerlukan pengakuan dari masyarakat atas kepribadian
seseorang secara utuh. Pada struktur sosial masyarakat pedesaan yang memiliki ulama, maka
ulama tersebut memiliki posisi elite atau lebih tepatnya sebagai elite tradisional. Seorang
ulama memiliki otoritas yang tinggi, hal ini tidak hanya ditentukan oleh ilmu yang
dimilikinya melainkan juga atas dasar keturunan dan kemampuan seseorang dalam
menguasai sumber-sumber nilai dan pengetahuan yang menjadi dasar bagi bangunan dan
kebudayaan masyarakat tersebut. Ada tiga sumber otoritas yang dimiliki ulama di pedesaan,
ia adalah keturunan atau keluarga dekat dari ulama sebelumnya. Kedua adalah kedalaman
ilmu serta perilakunya, dan yang ketiga ia adalah ”tuan tanah”. Lewat tiga sumber otoritas
yang dimiliki ini ulama menjadi tempat bergantung masyarakat disekitarnya untuk
mendapatkan jalan keluar bagi berbagai persoalan.

Beberapa aspek pada NU yang telah dijelaskan diatas seperti madzhab, tasawuf, dan
kedudukan ulama merupakan hal-hal yang menggambarkan ciri tradisional. Akulturasi antara
kebudayaan lokal dengan aktivitas keagamaan juga menjadi indikasi yang mencirikan NU
sebagai sebuah gerakan Islam tradisional. Kondisi ini tidaklah statis, pada perjalanannya NU
berdinamisasi dengan dunia Islam kontemporer. Progresivitas NU mulai terlihat pada tahun
1970-an, terutama setelah deklarasi “kembali ke khittah 1926”. Pemaparan mengenai NU
pada masa awal pembentukan ini bermaksud memberikan gambaran mengenai aspek
tradisional yang muncul di tubuh NU sebagai salah satu gerakan Islam di Indonesia.[15]

 ISLAM MODERNIS

 Pengertian Islam Modernis

Kata moderins yang berada di belakang kata Islam, berasal dari bahasa Inggris “modernistic”
yang berarti model baru.[16] Selanjutnya dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata
modern diartikan sebagai yang terbaru atau mutakhir.[17]

Selanjutnya kata modern erat pula kaitannya dengan kata “modernisasi” yang berarti
pembaharuan atau tajdid dalam bahasa arab. Dalam masyarakat barat, modernisasi
mengandung arti pikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat
istiadat, instituisi-instituisi lama, dan sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang
ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Kata tersebut
selanjutnya masuk ke dalam literature Islam. Dalam hubungan ini modernisasi mengalami
perbedaan dengan modernisasi yang terjadi di Barat.

Dalam Islam, modernisasi berarti upaya yang sungguh-sungguh untuk melakukan re-
interpretasi terhadap pemahaman, pemikiran dan pendapat tentang masalah ke-Islaman yang
dilakukan oleh pemikiran terdahulu untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman. Dengan
demikian yang diperbaharui adalah hasil pemikiran atau pendapat, dan bukan memperbaharui
atau mengubah apa yang terdapat dalam al-Qur‟an maupun al-Hadits, tetapi merubah atau
memperbaharui hasil pemahaman terhadap al-Qur‟an dan al-Hadits.[18]

Islam modernis sendiri adalah paham ke-Islaman yang didukung oleh sikap yang rasional,
ilmiah serta sejalan dengan hukum-hukum Tuhan baik yang terdapat dalam al-Quran maupun
alam raya. Islam modernis memiliki pemikiran yang dinamis, progressif dan mengalami
penyesuaian dengan ilmu pengetahuan.

Islam modernis timbul di periode sejarah Islam yang disebut modern dan mempunyai tujuan
untuk membawa umat Islam kepada kemajuan. Gerakan Islam modernis timbul dalam rangka
menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan
oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Dengan jalan demikian pemimpin-pemimpin Islam modern
mengharapkan akan dapat melepaskan umat Islam dari suasana kemunduran untuk
selanjutnya dibawa kepada kemajuan.

Gerakan Islam modernis juga timbul sebagai respon terhadap berbagai keterbelakangan yang
dialami oleh umat Islam, seperti keterbelakangan dalam bidang ekonomi, pendidikan, ilmu
pengetahuan, kebudayaan, politik dan lain sebagainya. Keadaan ini dianggap tidak sejalan
dengan Islam sebagaimana terdapat dalam al-Quran dan Sunnah. Dalam kedua sumber
ajaran tersebut, Islam digambarkan sebagai agama yang membawa kepada kemajuan dalam
segala bidang untuk menciptakan kemaslahatan bagi manusia.

Beberapa hal yang menyebabkan kemunduran umat Islam diantaranya karena meninggalkan
ajaran Islam yang sebenarnya dan mengikuti ajaran yang datang dari luar Islam serta
perpecahan umat Islam itu sendiri. Melalui kesadaran inilah akhirnya muncul berbagai
gagasan yang bertujuan membawa masyarakat Islam pada kondisi yang lebih dinamis dan
keluar dari lingkaran statis yang dianggap menjadi penyebab kemunduran Islam.

Salah satu bentuk pergerakan yang tumbuh dari proses modernisasi adalah konsep mengenai
”sosialisme Islam” dan kemudian ”Marxisme Islam.” Kelompok yang mengikuti pergerakan
ini dipengaruhi oleh Soviet dan dunia sosialis yang pada saat itu pro-Arab dalam sengketa
Arab-Israel. Penerimaan slogan ”Sosialisme Islam” merupakan pengaruh konsep keadilan
sosial dari sosialisme dan karena keinginan kelompok ini untuk menyebarluaskan keadilan
dalam masyarakat. Pandangan ideologis ini didukung oleh negara dan digunakan oleh
kekuatan politis yang ada, yang bersimpati kepada Soviet. Sosialisme Islam di Wilayah Arab
Timur telah menggantikan Sosialisme Arab, khususnya di negara Syiria dan Irak.

Kemunculan Marxisme Islam dikaitkan dengan kelompok-kelompok ekstrem tertentu di


Timur Tengah yang menggunakan ideologi politik Marxis beserta sarana pencapaiannya.
Marxisme Islam diartikan sebagai kekuatan politik revolusioner, dalam pengertian bahwa
revolusi dipahami dalam konteks Marxis dan aliran pasca-Marxis dalam sejarah Eropa.
Pergerakan ini banyak mendapat dukungan dari Negara Ketiga macam sebab yang membawa
kemunduran umat Islam tersebut dikemukakan oleh Jamaludin al-Afghani yang dikutip
Harun Nasution, Eropa. Pemaparan di atas menggambarkan bagaimana Islam modern dapat
muncul dan berkembang di Dunia Islam. Beberapa pemikiran Islam modern tersebut ada
yang sampai ke Indonesia dan menjadi cikal bakal organisasi Islam modern di Indonesia.

 Ciri-Ciri Islam Modernis


kelompok Islam Modernis yaitu kelompok Islam mutahawwil yang berpandangan bahwa
interpretasi teks harus beradaptasi dengan realitas (menurut istilah Adonis), kelompok liberal-
modernis (menurut istilah Charles Kurzmen) atau kelompok Islam reformistik (menurut
istilah Issa J. Boullata).[19]

Ciri-ciri kelompok aliran ini yatiu[20] :

1. Menggunakan teks dengan interpretasi yang membuat teks dapat beradaptasi dengan
realitas dan perubahan.
2. Menghadirkan kembali masa lalu untuk kepentingan modernitas.
3. Membangun tradisi secara baru dengan kerangka modern dan pra-syarat rasional.
o Islam Modernis di Indonesia

Gerakan Islam modern di Indonesia muncul pada awal abad kedua puluh. Pada tahun 1906
kelompok muda di wilayah Sumatera Barat yang dipelopori oleh Haji Abdul Karim
Amrullah, Haji Abdullah Ahmad, dan Syaikh Daud Rasyidi melakukan protes terhadap
struktur kekuasaan adat yang tidak memberikan ruang bagi mereka untuk bergerak.
Kelompok yang terdiri dari ulama dan cendekiawan ini bermaksud untuk merubah beberapa
hal pada ketentuan adat yang tidak sesuai dengan syariat Islam yang mereka pahami.
Minangkabau adalah daerah yang mempunyai peranan penting dalam penyebaran cita-cita
pembaruan ke daerah-daerah lain. Di daerah inilah pertama kali muncul tanda-tanda
pembaruan.

Pada masa awal modernisasi Islam di Indonesia muncul beberapa pergerakan di Indonesia
yang membawa sifatnya sendiri-sendiri. Pada saat itu terdapat partai yang pro golongan
kebangsaan seperti Persatuan Muslim Indonesia, serta terdapat juga organisasi yang bersifat
toleran seperti Muhammadiyah. Berbeda dengan kelompok tradisi pada saat itu, golongan
pembaru beranggapan bahwa pembaruan Islam ialah penemuan kembali ajaran atau prinsip
dasar yang berlaku abadi, yang dapat mengatasi ruang dan waktu. Golongan pembaru
berusaha untuk mengembalikan ajaran dasar dengan menghilangkan segala macam tambahan
yang datang kemudian dalam agama.

Sejak kemunculan kelompok ini, pembicaraan mengenai Islam tidak hanya di pesantren,
langgar, dan masjid, melainkan dibawa ke tengah-tengah masyarakat secara terbuka melalui
surat kabar, majalah, serta tabligh di gedung-gedung besar. Islam pun mulai masuk ke
pelajaran di sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah Belanda. Melalui organisasi kalangan
modern ini Islam menjadi kekuatan sosial yang terorganisir dan bergerak pada tingkat
nasional. Beberapa organisasi Islam Modern di Indonesia yang masih bertahan hingga saat ini
yakni, Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis).

 Muhammadiyah

Salah satu organisasi sosial Islam yang terpenting di Indonesia sebelum Perang Dunia II
adalah Muhammadiyah. Organisasi ini didirikan oleh Kiyai Haji Ahmad Dahlan atas saran
yang diajukan oleh murid-muridnya dan beberapa orang anggota Budi Utomo.

Pada awal pembentukannya, organisasi ini bertujuan untuk mendirikan lembaga pendidikan
yang bersifat permanen dan mengembalikan ajaran Islam kepada kemurniannya serta
membuang kebiasaan-kebiasaan yang tidak perlu. Ahmad Dahlan melihat beberapa hal
dalam masyarakat yang beragam belum sejalan dengan Islam yang bersifat egaliter. Karena
hal inilah ia beranggapan bahwa dakwah dalam masyarakat perlu ditingkatkan. Apa yang
dilakukan oleh Muhammadiyah ini sejalan dengan Q.S Ali Imran ayat 104 yang artinya :

”Adakanlah diantara kamu satu golongan umat yang mengajak berbuat baik dan menyuruh
berbuat ma‟ruf, serta mencegah berbuat munkar. Mereka itulah yang akan beroleh
kemenangan.”

Gagasan Ahmad Dahlan pada saat pembentukan Muhammadiyah memiliki ciri yang khas,
yakni kaidah-kaidahnya yang mengikuti organisasi modern. Kegiatan Muhammadiyah tidak
semata tumbuh dari buah pemikiran pemimpinnya saja. Pengaruh-pengaruh luar juga masuk
dalam struktur Muhammadiyah seperti pembentukan Kepanduan yang disebut dengan Hizbul
Wathan dan Aisiah. Pengaruh luar yang masuk ke pulau Jawa dianggap sebagai tantangan
sekaligus contoh bagi pemimpin-pemimpin Muslim tersebut. Pada saat itu banyak misionaris
kristen yang memasuki wilayah Jawa, kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para misionaris
inilah yang banyak dicontoh oeh Muhammadiyah. Perawatan fakir miskin dan bantuan
kepada orang-orang yang membutuhkan serta pengumpulan zakat dilakukan sebagai sebuah
inovasi dari sebuah organisasi. Demikian pula dengan pembangunan klinik kesehatan.

Bagian lain dari Muhammadiyah adalah Majelis Tarjih. Majelis ini didirikan atas keputusan
kongres Muhammadiyah di Pekalongan pada tahun 1927. Fungsi dari majelis ini adalah
mengeluarkan fatwa atau memastikan hukum tentang masalah-masalah tertentu yang menjadi
polemik masyarakat Muslim.

Masalah-masalah tersebut tidak semata-mata dalam bidang agama, namun juga ada berbagai
masalah dalam arti luas. Karena setiap pendapat dari sebuah permasalahan harus dilandaskan
atas syari’ah, seperti masalah sistem bank, pakaian, dan sebagainya. Dalam mengadakan
kegiatan-kegiatan pada masa awal pembentukannya Muhammadiyah masih memilik ruang
gerak yang terbatas. Namun setelah tahun 1917 Muhammadiyah mulai mengalalami
perluasan wilayah ke seluruh wilayah Jawa.

Sebagai organisasi yang mengusung pembaruan dalam Islam, Muhammadiyah adalah salah
satu gerakan Islam modern yang berkembang hingga saat ini. Dalam perjalanannya,
Muhammadiyah memperluas geraknya dalam bidang politik, namun tetap memegang prinsip
gerakannya yang berada pada jalur mengupayakan kesejahteraan masyarakat Islam.
Muhammadiyah adalah salah satu contoh gerakan modern yang membuka dirinya terhadap
perubahan dan berdinamisasi dengan kondisi masyarakat Islam sejak ide awal
pembentukannya.

Muhammadiyah adalah salah satu gerakan Islam modernis yang mengusung pembaruan dan
peningkatan kesejateraan umat Islam melalui pendidikan dan kesehatan. Muhammadiyah
menginginkan agar umat Islam kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah secara murni tanpa
terkontaminasi hal-hal yang bersifat tradisi yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Hingga saat ini Muhammadiyah tetap bergerak dan merupakan salah satu organisasi dengan
jama‟ah yang tersebar luas di seluruh Indonesia. Muhammadiyah adalah salah satu contoh
gerakan Islam modern yang mengusung pembaruan dan berusaha menghilangkan nilai-nilai
tradisi dalam agama. Hingga saat ini Muhammadiyah menjadi salah satu organisasi massa
Islam terbesar di Indonesia terbesar bersama NU.[21]

 ISLAM FUNDAMENTALIS
Pengertian Islam Fundamentalis

Kata “fundamentalis” berasal dari bahasa Inggris yang berarti pokok, asas, fundamental.[22]
Sedangkan kata pokok atau asas dalam bahasa Indonesia berarti dasar, alas, pondamen, atau
sesuatu yang menjadi pokok dasar atas tumpuan berfikir (berpendapat) dan sebagainya serta
cita-cita yang menjadi dasar.[23]

Jika pengertian kebebasan dari dua kata tersebut disatukan, yakni Islam Fundamentalis, maka
pengertiannya adalah Islam yang dalam pemahaman dan praktiknya bertumpu kepada hal-hal
yang asasi. Dengan demikian secara harfiah semua orang Islam yang percaya kepada Rukun
Iman yang enam dan menjalankan Rukun Islam yang lima dapat disebut sebagai Islam
Fundamentalis, karena apa yang disebut ajaran fundamental dalam Islam tercakup dalam
Rukun Iman dan Rukun Islam itu.[24]

Fundamentalisme Islam dalam pengertian dasarnya adalah sikap dan pandangan yang
berpegang teguh kepada hal-hal yang dasar dan pokok dalam Islam dengan tidak
mempertentangkannya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.[25]

 Ciri-Ciri Islam Fundamentalis

Kelompok Islam Fundamentalis yaitu kelompok Islam al-thabit (menurut istilah Adonis),
kelompok Islam Revivalis (menurut istilah Charles Kurzmen dan Akbar S. Akhmad), atau
kelompok Islam Ideal-Totalistik (menurut istilah Issa J. Boullata).[26]

Ciri-ciri kelompok aliran ini yaitu[27] :

1. Tekstual,
2. Menyerukan keutamaan Islam pada periode Nabi dan al-Khulafa. al-Rashidin (al-
Salaf al-Salih),
3. Kembali ke sumber pokok Islam (al-Qur‟an dan al-Sunnah),
4. Menolak unsur-unsur asing dari Barat.

Islam Fundamentalis di Indonesia

Munculnya gerakan keagamaan yang berkarakter fundamentalis merupakan fenomena


penting yang turut mewarnai citra Islam kontemporer di Indonesia. Istilah Islam
fundamentalis sebagai sebuah kesatuan dari berbagai fenomena sosial keagamaan dari
kelompok-kelompok muslim yang sedemikian kompleks.22 Hal ini disebabkan definisi yang
dibuat tidak sepenuhnya mampu mendeskripsikan fenomena beragam atas gerakan-gerakan
keagamaan yang muncul di Indonesia. Selain itu, dalam beberapa literatur, istilah yang
digunakan untuk menggambarkan fenomena kontemporer “fundamentalisme Islam” tidaklah
seragam. Istilah Islam fundamentalis seringkali dipakai secara overlapping dengan istilah
Islam radikal atau Islam revivalis.

Berdasarkan karakteristik-karakteristik yang menjadi platform gerakan fundamentalis di


Indonesia, terdapat beberapa kelompok yang diasumsikan sebagai kelompok Islam
fundamentalis. Di antaranya adalah Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI), Forum Komunikasi Ahlussunnah Wal Jamaah (FKAWJ), Majelis Mujahidin Indonesia
(MMI), dan Laskar Jihad. Pertanyaan yang mengemuka kemudian adalah: Apa warna
ideologi yang khas dari sebuah gerakan Islam fundamentalis?

Secara umum, meminjam terminologi Shireen T Hunter dapat diidentifikasi landasan


ideologis yang dijumpai dalam gerakan-gerakan tersebut.

Pertama, konsep Din wa Daulah (agama dan negara). Dalam konsep ini, Islam dipahami
sebagai sistem hidup total, yang secara universal dapat diterapkan pada semua keadaan,
waktu dan tempat. Pemisahan antara agama (din) dan Negara (daulah) tidak dapat diterima
oleh kelompok fundamentalis sehingga agama dan negara dipahami secara integralistik.

Kedua, mereka ingin kembali kepada al-Qur‟an dan Sunah. Dalam konsepsi ini, umat Islam
diperintahkan untuk kembali kepada akar-akar Islam awal dan praktik Nabi SAW yang
puritan dalam mencari keaslian (otentisitas) dan pembaruan. Jika umat Islam tidak kembali
ke ‟jalan yang benar‟ dari para pendahulu mereka, maka mereka niscaya tidak akan selamat.
Mereka kembali kepada a l-Qur‟an dan Sunah dipahami secara skriptual dan totalistik.

Ketiga, puritanisme dan keadilan sosial. Nilai-nilai dan budaya Barat ditolak karena dianggap
sebagai sesuatu yang asing bagi Islam. Oleh karena itu, media massa diupayakan untuk
menyebarkan nilai-nilai dan praktik Islam yang otentik ketimbang menyebarkan pengaruh-
pengaruh budaya asing yang sekuler. Pemahaman ini menyaratkan adanya penegakan
keadilan sosial ekonomi sehingga doktrin tentang zakat sangat ditekankan. Karena dalam
hubungannya dengan kebijakan negara, maka dianggap dapat memajukan kesejahteraan
sosial dan mampu memperbaiki kesenjangan kelas di kalangan umat.

Keempat, berpegang teguh pada kedaulatan syariat Islam. Tujuan utama umat Islam adalah
menegakkan kedaulatan Tuhan di muka bumi ini. Tujuan ini bisa dicapai dengan membangun
tatanan Islam (Nizham al-Islam) yang memosisikan syariat sebagai Undang-Undang tertinggi.
Dari pemahaman ini, maka agenda formalisasi syariat Islam menjadi entry point bagi
terbentuknya negara Islam sehingga syariat Islam benar-benar dapat diperlakukan dalam
hukum positif, baik hokum perdata seperti perkawinan, perceraian, waris, maupun hukum
jinayatseperti potong tangan dan lain sebagainya.

Kelima, menempatkan jihad sebagai instrumen gerakan. Umat Islam diperintahkan untuk
membangun masyarakat ideal sebagaimana telah digariskan dan sesuai dengan syariat Islam.
Oleh sebab itu, diperlukan adanya upaya untuk menghancurkan kehidupan jahiliyah dan
menaklukkan kekuasan-kekuasaan duniawi melalui jihad atau perang suci. Jihad tidak
dilakukan dalam pengertian defensif semata, tapi memuat tujuan jihad untuk menaklukkan
semua hambatan penyiaran Islam ke seluruh dunia, yang meliputi negara, sistem sosial dan
tradisi-tradisi asing.

Keenam, perlawanan terhadap Barat yang hegemonik dan menentang keterlibatan mendalam
dari pihak Barat untuk urusan dalam negara Islam, seperti yang terjadi di Irak, Libya, Bosnia,
Afghanistan dan Palestina. Mereka merasa harus mendeklarasikan perlawanannya terhadap
Barat karena umat Islam sudah diperlakukan dengan tidak adil, baik secara politik, ekonomi,
maupun budaya. Dominasi Barat atas negara Islam tidak dalam kapasitas saling bekerjasama
melainkan memojokkan dan memusuhi. Pada gilirannya, ketidakadilan Barat dilawan dengan
aksi-aksi kekerasan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Ideologi-ideologi inilah yang
menyatukan gerakan-gerakan Islam di berbagai negara termasuk Indonesia.
Adapun yang membedakan di antara mereka terletak pada bentuk artikulasi gerakan. Dalam
hal ini, mereka sangat tergantung pada problem yang dihadapi di negara masing-masing. Di
Indonesia misalnya, antara Hizbut Tahrir Indonesia, Majelis Mujahidin Indonesia dan Front
Pembela Islam (FPI) memiliki kesamaan ideologi, namun cara menerjemahkan ideologi dan
praktik gerakannya satu sama lain memiliki perbedaan.

Dari paparan di atas, menjadi penting untuk dikembangkannya ideologi agama yang bercorak
inklusif, yang tidak saja memberi penyadaran kepada umat Islam bahwa Islam tidak
mengajarkan kekerasan, tetapi juga mengajarkan perdamaian di muka bumi ini. Ideologi
agama yang bersifat inklusif jelas memfasilitasi perbedaan dan keanekaragaman perbedaan
pemahaman keagamaan, baik internal, maupun eksternal. Pemahaman ini dapat memengaruhi
gerakan-gerakan Islam untuk tidak lagi dituding sebagai pelaku terjadinya aksi kekerasan
atau terorisme.[28]

(1)Khoirul Huda, Ebook Islamica, 2009 vol. 3 Hal. 20-25

[2] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta : Gramedia, 1979,
cet.VII, Hal. 599

[3] W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1991,
cet.XII, Hal. 1088

[4] Munir Baalbaki, Rohi Baalbaki, Kamus Al-Maurid Arab-Inggris-Indonesia, Surabaya :


Halim Jaya, 2006, Hal..483

[5] Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag., Ulumul Hadis, Bandung : Pustaka Setia, 2013, cet.III
Hal. 19

[6] Mambaul Ngadimah, Ebook Potret Keberagaman Islam Indonesia, Ponorogo, 2008, Hal.
270

[7] DR. H. Abuddin Nata, M.A., Peta Keberagaman Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta :
Raja Grafindo Persada, 2001, Hal. 141

[8] Mambaul Ngadimah, Ebook Potret Keberagaman Islam Indonesia, Ponorogo, 2008, Hal.
270

[9] Mambaul Ngadimah, Ebook Potret Keberagaman Islam Indonesia, Ponorogo, 2008, Hal.
270

[10] Mambaul Ngadimah, Ebook Potret Keberagaman Islam Indonesia, Ponorogo, 2008,
Hal. 270

[11] Mambaul Ngadimah, Ebook Potret Keberagaman Islam Indonesia, Ponorogo, 2008,
Hal..270

[12] DR. H. Abuddin Nata, M.A., Peta Keberagaman Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta :
Raja Grafindo Persada, 2001, Hal. 141-142
[13] DR. H. Abuddin Nata, M.A., Peta Keberagaman Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta :
Raja Grafindo Persada, 2001, Hal. 142-145

[14] Intan Dwi Kemala, Gerakan Islam Literatur, Jakarta : FIB UI, 2008, Hal.39-40

[15] Intan Dwi Kemala, Gerakan Islam Literatur, Jakarta : FIB UI, 2008, Hal.40-46

[16] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta : Gramedia,
1979, cet.VII, hal. 384.

[17] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1991,
cet. XII, hal. 653.

[18] Abuddin Nata, Peta Keberagaman Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2001, hal.154-155

[19] Khoirul Huda, Ebook Islamica, 2009 vol. 3 Hal. 25

[20] Khoirul Huda, Ebook Islamica, 2009 vol. 3 Hal. 26

[21] Intan Dwi Kemala, Gerakan Islam Literatur, Jakarta : FIB UI, 2008, Hal. 60-64

[22] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta : Gramedia,
1979, cet.VII, hal. 260.

[23] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka,
1991), cet. XII, hal. 61.

[24] Abuddin Nata, Peta Keberagaman Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2001, hal.11

[25] Abuddin Nata, Peta Keberagaman Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2001, hal.16

[26] Khoirul Huda, Ebook Islamica, 2009 vol. 3 Hal. 27

[27] Khoirul Huda, Ebook Islamica, 2009 vol. 3 Hal. 27

[28] Dwi Ratnasari, Komunika : Jurnal Dakwah dan Komnikasi, Purwokerto : STAIN
Purwokerto, 2010, Hal. 6-7

Anda mungkin juga menyukai