Anda di halaman 1dari 4

BAB 1

Beberapa Segi Sosiologi Agama


Drs. D. Hendropuspito, O.C

1. Pengertian Sosiologi Agama, sasaran Sosiologis


Menurut Dr. W. Goddijn, Ia berkata :
Sosiologi Agama ialah bagian dari sosiologi umum (versi barat) yang mempelajari suatu ilmu
budaya empiris, profane dan positif yang menuju kepada pengetahuan umum, yang jernih dan
pasti dari struktur, fungsi-fungsi dan perubahan-perubahan kelompok keagamaan dan gejala-
gejala kekelompokan keagamaan.

Defenisi 2. Sosiologi Agama ialah suatu cabang Sosiologi Umum yang mempelajari
masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti
demi kepentigan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya (dari
penulis).

Sasaran langsung (obyek material)


Sebab memberi penilaian atas nilai-nilai adikodrati (supra-empiris) adalah tugas khusus dari
teologi dogmatic dan teologi moral dan bukan kompetensi Sosiologi Agama. Ilmu yang
terakhir ini hanya mengkonstatasi (menyaksikan) akibat empiris kebenaran-kebenaran
“supra-empiris”, yaitu yang disebut dengan istilah masyarakat agama, dan itulah sasaran
langsung dari sosiologi agama.

Sasaran pendekatan (obyek formal)


Lebih Konkret, misalnya, seberapa jauh unsur kepercayaan mempengaruhi pembentukan
kepribadian pemeluknya ; ikut mengambil bagian dalam menciptakan jenis-jenis kebudayaan;
mewarnai dasar dan haluan negara; mempengaruhi terbentuknya partai-partai politik dan
golongan non politik. Jadi hal-hal yang disebut diatas yang berkaitan erat dengan masalah
agama, Sosiologi Agama disoroti dari sudut sosiologis.

2. Tempat dan fungsi Sosiologis Agama


Tempat sosiologi agama sudah diterangkan dalam definisi sosiologi agama sendiri. Ia
merupakan cabang dan juga bagian vertical dari sosiologi umum. Maka sosiologi agama
merupakan suatu ilmu yang menduduki tempat yang profane. Ia bukanlah ilmu yang sacral;
bukan seperti ilmu teologi, tetapi ilmu profane, yang positif dan empiris; ilmu yang dilakukan
dan dibina oleh sarjana ilmu social entah orangnya suci atau tidak suci. Karena maksud ilmu
tersebut bukan untuk membuktikan kebenaran (objektivitas) ajaran agama, melainkan untuk
mencari keterangan teknis ilmiah mengenai hal ikhwal masyarakat agama.

Fungsi Sosiologi agama


Kalau kita beralih ke masyarakat Indonesia, di mana hidup keagamaan masih memainkan
peranan yang dominan bagi kehidupan bangsa dan negara, namun sebaliknya juga sering
merupakan sumber pertentangan (konflik) yang membawa banyak keresahan; maka kita
dapat membuat suatu praduga yang kuat bahwa apabila Sosiologi Agama dapat lahir dan
dibina dengan baik oleh para pecintanya, niscaya hal itu akan memberikan sumbangan yang
sangat berharga, dan kehadirannya akan disambut dengan rasa gembira bail oleh kalangan
sarjana ilmu social maupun kalangan pemerintah.

Meskipun harapan yang ditaruh pada sosiologi agama mempunyai dasar yang obyektif
namun kiranya perlu dicantumkan suat himbauan kepada instansi yang berkepentingan agar
tidak menaruh harapan berlebihan karena alasan-alasan berikut :
A) Sosiologi Agama sebagai suatu ilmu masih merupakan ilmu yang relative sangat
muda. Berarti pengalamannya masih terbatas
B) Keterangan-keterangan ilmiah yang dihasilkan sosiologi agama tidak akan
menyelesaikan segala kesulitan secara tuntas. Segi kesulitan yang bukan sosiologis
harus dimintakan resep dari ilmu yang bersangkutan. Misalnya teknologi, ekonomi,
demografi dlsb.
C) Resep-resep (ilmiah) yang diberikan oleh sosiologi agama hendaknya tidak diharapkan
dapat membawakan hasil (kasiat) langsung.

Proses perbaikan suatu masyarakat memerlukan waktu yang cukup untuk memberikan
kesempatan kepada suatu proses yang panjang; analisis situasi, pembuatan perencanaan,
percobaan pelaksanaan, dan akhirnya keberhasilan atau sebaliknya kegagalan.

3. Lahir dan berkemangnya sosiologi agama

Pengkajian masalah agama secara ilmiah dan terbina baru mulai sekitar 1900. Mulai saat itu
hingga menjelang 1950 muncullah buku-buku sosiologi agama yang sering disebut dengan
nama Sosiologi Agama Klasik. Periode klasik ini terutama dikuasai oleh dua orang yang
terkenal yaitu Emile Durkheim dari Perancis (1858-1917) dan Max Weber dari Jerman
(1864-1920). Dua sarjana tersebut lazim dipandang sebagai pendiri Sosiologi Agama. Di
kemudian hari karangan mereka digolongkan oleh para ahli sosiologi ke dalam bagian
sosiologi umum.

Butir-butir penting.
Sesudah perang dunia II tumbuh perkembangan baru. Dalam arus sosiologi klasik itu
muncullah suatu minat yang kuat dari sebagian terbesar ahli sosiologi yang ditujukan kepada
kehidupan agama di dalam gereja. Maka lahirlah sosiologi gereja. Tujuan penelitian para
peminat semata diarahkan dala bidang kehidupan gereja dan hasilnya dimaksud untuk
kepentingan Gereja, khususnya dalam menentukan kebijaksanaan baru.

4. Jenis Sosiologi Agama

Untuk keentingan konsultasi instansi yang ingin mengambil keuntungan dari jenis
sosiologi yang sesuai dengan kebutuhan atau kebijaksanaan (policy) baiklah
ditampilkan di sini beberapa jenis aliran sosiologi Agama. Hal ini akan berguna baik
bagi instansi (kalangan) para teoritisi maupun kalangan praktisi. Yang pertama
khususnya bagi para ahli teologi yang mau bekerja sama dengan ahli sosiologi; yang
kedua bagi kalangan pemerintah dan pemimpin-pemimpin agama, yang ingin
mengatasi problem social yang ada kaitannya dengan masalah keagamaan. Sekurang-
kurangnya dikenal jenis Sosiologi Agama berikut :
- Aliran klasik.
- Aliran positivism
- Aliran teori konflik
- Aliran fungsionalisme

5. Penglihatan teori fungsionalisme atas agama

Sebagaimana telah diketahui kalangan para ahli kemasyarakatan, teori


fungsionalisme sudah mempunyai pengaruh yang ikut menentukan atas Sosiologi
Umum, tetapi juga atas Sosiologi Agama. Penelitian-penelitian yang diadakan oleh
aliran fungsionalisme menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang sangat berguna
bagi kebijaksanaan instansi-instansi keagamaan maupun pemerintah (khususnya
bagi masyarakat Barat). Para fungsionalis sanggup menjelaskan bahwa baik
masyarakat religious maupun masyarakat profane keduanya mengemban fungsi bagi
umat manusia, dan kedua belah pihak mempunyai kewajiban moril untuk menyadari
saling ketergantungannya.

Lebih lanjut teori fungsionalisme melihat agaa sebagai penyebab social (social
causation) yang dominan dalam terbentuknya lapisan (srata) social dalam tubuh
masyarakat, yang masing-masing mempunyai perasaan tersendiri yang sanggup
mengumpulkan orang-orangnya dalam suatu wadah persatuan yang amat kompak
(jika mereka menganut satu agama yang sama) tetapi perasaan religious dari agama
yang berlainan dapat (dan memang itu terjadi) memisahkan kelompok yang satu
dengan yang lain secara tajam (konflik yang bermotif keagamaan).

Di sini dapat dijelaskan bahwa teori fungsionalisme melihat agama sebagai suatu
bentuk kebudayaan yang istimewa, yang pengaruhnya meresapi tingkah laku
manusia penganutnya baik lahiriah maupun batiniah, sehingga sitem sosialnya untuk
sebagian terdiri dari kaidah-kaidah yang dibentuk oleh agama.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa seluruh penyorotan dari kaca mata
fungsionalisme atas agama dalam segala seginya hanya mau memberikan gambaran
satu ini, bahwa agama merupakan suatu kategori social. Hal ini akan diterangkan
dalam Bab IV. Memang penglihatan tersebut bukan milik eksklusif dari
fungsionalisme, melainkan dari sosiologi positif umumnya.

Kritikan :
di bab 1 ini saya belum dapat memberikan kritikan, karena saya melihat masih relevan dari
subjudul dengan judul besarnya.

Kesimpulan :
Bab 1 ini menarik perhatian dan dapat menambah wawasan tentang sosialisasi agama, di bab
1 ini kita bisa melihat pandangan si penulis tentang Pengertian, Fungsi, Jenis dlsb.

Anda mungkin juga menyukai