Disusun Oleh :
Kelompok 12
Gusman Tri Kuncoro (2141010162)
Hanifah Ummi Ramadhan (2141010164)
Helga Malya Razita (2141010166)
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur Kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya,
kami dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dengan yang kami harapkan. Kami
juga berterima kasih kepada Bapak Prof. Dr. H. Nasor, M.Si. selaku Dosen
Pengampu mata kuliah Metode Studi Islam kami. Makalah ini disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Metode Studi Islam. Selain itu, makalah ini juga dapat
menambah wawasan dan pengetahuan kita.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Maka
dari itu, kritik dan saran dari semua pihak yang bisa membangun selalu kami
harapkan. Kami mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pengampu dan Teman-
teman yang telah berperan serta membantu dalam penyusunan makalah ini. Semoga
Allah SWT selalu meridhai setiap kegiatan kita. Aamiin.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………. 1
1.1. Latar Belakang……………………………………………………. 1
1.2. Rumusan Masalah………………………………………………… 1
1.3. Tujuan Penulisan………………………………………………….. 1
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………….. 2
2.1. Sosiologi Agama………………..……..…………………………. 2
2.2. Psikologi Agama…………..……………………………………… 7
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………...13
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan interaksi dengan
lingkungannya. Meskipun manusia memiliki istilah lain sebagai individu namun
pada hakikatnya mereka tidak dapat terlepas dari kebutuhan atas manusia lain.
Manusia juga merupakan suatu mahluk somato-psiko-sosial dan karena itu maka
suatu pendekatan terhadap manusia harus menyangkut semua unsur somatik,
psikologik, dan sosial.
Dalam pemenuhan kebutuhan tersebut manusia tentu membutuhkan rules
atau norma-norma yang dapat memberikan batas-batas tertentu dalam rangka
mewujudkan interaksi sosial yang mana aturan tadi bersumber dari keyakinan yang
masing-masing mereka anut atau biasa disebut dengan agama. Agama merupakan
pedoman bagi setiap umatnya. Terlepas dari agama yang dianut setiap orang,
ajaran-ajaran agama pastilah mengandung perintah dan larangan untuk
mewujudkan suatu kebaikan. Agama bukan hanya mengatur hal-hal religius dan
spiritual, baik tentang bersosialisasi ataupun psikologi setiap makhluk semuanya
telah tercantum dan diatur oleh ajaran agama.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana seluk-beluk Sosiologi Agama?
2. Bagaimana seluk-beluk Psikologi Agama?
1.3. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan Sosiologi Agama.
2. Menjelaskan Psikologi Agama.
3. Memenuhi tugas Mata Kuliah Metode Studi Islam.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
identitas dan perbedaan bentuk ekspresi agama dan interelasinya dengan domain
lain tindakan individu dan sosial.
Sosiologi agama mempelajari peran agama dalam lingkup masyarakat baik itu
praktiknya, latar belakang, perkembangan serta tema universal suatu agama di
dalam masyarakat. Ibnu Khaldun percaya kesatuan masyarakat sosial dapat
ditingkatkan dengan adanya kesatuan agama. Perubahan sosial masyarakat
mengikuti hukum empiris yang ditemukan.
3
mempertahankan pendapatnya bahwa agama adalah opium masyarakat yang dapat
mengurangi atau menghilangkan frustasi kelas pekerja. Menurutnya ini terjadi
karena sikap umat beragama yang cenderung pasrah dan tunduk terhadap apapun
yang terjadi atas mereka karena mereka yakin bahwa Tuhan telah menentukan itu
dan mereka tak dapat mengontrol nasibnya sendiri dan ini merupakan hasil
penafsiran yang rendah atas agama itu sendiri oleh umat. Pendapat Marx tersebut
wajar saja ada karena pada hakikatnya ia adalah seorang atheis. Tuhan hanyalah
sebuah ide, hanya mengacaukan dan menyesatkan manusia, sehingga terkesan
memaksakan diri tidak bisa berbuat lebih untuk merubah nasib.
Jika Marx cenderung mereduksi agama,maka akan berseberangan dengan
Max Weber yang lebih pro atas pengaruh agama terhadap kehidupan yang berperan
sebagai sumber semangat dan motivasi dalam memperbaiki kualitas hidup yang
dalam hal ini berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi. Weber mengidentifikasi
bahwa agama memiliki peran pemercepatan bagi perubahan sosial di satu sisi dan
menguatkan kemapanan (status quo) di sisi lain. Etika Protestan khususnya sekte
Calvinisme (yang mempunyai paham kerja keras, hemat, penuh perhitungan dan
profesionalisme) berpengaruh terhadap perkembangan kapitalisme di dunia Barat
yang dapat menghasilkan peningkatan hasil ekonomi yang pada akhirnya
meningkatkan percepatan pertumbuhan ekonomi. Penganut sekte ini percaya
bahwa dengan kerja keras, kesungguhan, disiplin dan hidup hemat dapat
menjadikannya manusia pilihan Tuhan. Dari sini kita dapat melihat bahwa agama
dapat menjadi faktor penggerak seseorang untuk melakukan tindakan ekonomi.
Durkheim juga memiliki pemahaman yang sama bahwa agama memilki peran
di kehidupan insan yang mana di sini berkaitan dengan sruktur sosial, bukan hanya
dalam bentuk kepercayaan yang diimplementasikan dengan ritual saja, tetapi juga
berfungsi meningkatkan solidaritas sosial sekaligus sumber kesatuan moral. Hal ini
dibuktikan dengan adanya karya ilmiah Durkheim yang berjudul Suicide. Di sini
Durkheim mengaitkan agama dengan perbedaan tingkat bunuh diri yang
disebabkan oleh tingkat interaksi yang rendah dan nilai-nilai kepercayaan yang
tidak dipatuhi dengan baik. Akibatnya terjadi pelemahan hubungan antara satu
dengan yang lain dan berujung pada terjadinya konflik. Tentunya hal ini berkaitan
dengan sudut pandang psikologis, Sigmund Freud menemukan agama sangat
4
berpengaruh terhadap perilaku individu. Konsep psikoanalisis yang diajukan oleh
Freud menjelaskan secara gamblang bahwa agama mempunyai pengaruh yang
sangat jelas terhadap tindakan seseorang. Agama tidak saja berada dalam ranah
pikiran akal-rasional melainkan juga dalam ranah alam bawah sadar (batin)
seseorang.
Sosiologi agama pernah mengalami penurunan terkait modernisasi dan
anggapan bahwa agama adalah sesuatu yang irasional. Seiring berkembangnya
positivisme (yang melakukan penolakan terhadap metafisika dan hal-hal yang
bersifat suprantural) sosiologi mulai meninggalkan orientasi moral dan reformis.
Penurunan perhatian terhadap sosiologi agama dimulai sekitar pada dekade 1960-
an hingga 1970-an. Masa ini berada pada tahap positivistik Comte. Tahap dimana
manusia mulai menyadari gejala alam itu terjadi karena adanya hukum-hukum
alam, bukan karena dewa-dewa atau Tuhan. Pemikiran manusia semakin rasional
dan cenderung memisahkan kehidupan agama dan kehidupan sehari-hari karena
hasrat untuk bahagia didunia lebih tinggi dari keinginan masuk surga.
Pemisahan ini terjadi karena adanya rasa kecewa atas kungkungan agama
yang menjelma menjadi kebijakan-kebijakan negara yang besifat otoriter di masa
lalu hukum-hukum agama dirasa tidak selalu cocok dikombinasikan dengan hukum
negara, terutama jika hanya dipahami sebatas pemahaman secara tekstual saja.
Namun, pada perkembangan selanjutnya mulai muncul penyesuaian-penyesuaian
antara agama dengan kehidupan bernegara baik dengan cara sekularisasi maupun
pembatasan porsi. Hal ini terjadi pada abad ke-20 yang menjadikan agama hanya
bersifat sebagai pelengkap, bukanlah menjadi hal yang diprioritaskan.
Pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, sosiologi agama kembali
mengalami kebangkitan yang ditandai dengan penolakan atas paham sekularisasi
dan menaruh perhatian besar terhadap agama lain yang mungkin selama ini kurang
mendapatkan perhatian. Juga adanya kesadaran lebih tinggi untuk mengkaji atau
membahas studi perbandingan agama untuk menghindari pemahaman atau
penafsiran etnosentris. Durkheim dalam bukunya yang berjudul The Elementary
Forms of Religious Life, ia membagi dunia ke dalam dua, sakral yang berarti suci
atau keramat, sesuatu yang berada di luar jangkauan manusia. Sesuatu yang sakral
ini disebut juga dengan Tuhan atau sesembahan. Lalu profan sebagai lawan dari
5
sakral yang berarti tidak ada sangkut pautnya dengan agama atau lebih condong
pada perihal keduniawian. Charles Kimball menjelaskan hal ini dalam bukunya
Kala Agama Jadi Bencana, bahwa agama memiliki relasi dengan keadaan, aktivitas
jiwa, cara berpikir dan perasaan suatu kelompok serta kejahatan terorganisasi.
Kimball memandang agama memiliki peran yang besar atas peristiwa-peristiwa
yang terjadi. Memang bukan agama yang menimbulkan kriminalitas semacam ini,
hanya saja kesalahan terletak pada penilaian dan pemahaman si penganut terhadap
kepercayaannya.
6
Cara manusia memahami makna agama berperan besar pada cara ia
menempatkan diri dalam masyarakat, khususnya masyarakat multikultur dengan
beragam agama. Setiap agama (atau mungkin penganut) tentu akan berlomba
menklaim bahwa ajarannyalah yang paling benar. Hal ini berkenaan dengan dengan
kekuatan legitimasinya dalam sebuah tatanan masyarakat. Kekuasaan inilah yang
biasanya dimanfaatkan untuk kepentingan kekuasaan. Melindungi kehormatan
perempuan, dalam ajaran Islam merupakan suatu kewajiban. Perempuan diletakkan
dalam posisi yang tinggi dengan memberikan simbol surga di telapak kaki ibu.
Dalam masyarakat multikultural agama menjadi salah satu faktor yang dapat
memunculkan kebudayaan baru dan terus berkembang.
7
mempelajari pertumbuhan dan perkembangan jiwa agama pada seseorang, serta
faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan tersebut.
Menurut Robert Thouless, Psikologi agama adalah cabang dari psikologi yang
bertujuan mengembangkan pemahaman terhadap perilaku keagamaan dengan
mengaplikasikan prinsip-prinsip psikologi yang dipungut dari kajian terhadap
perilaku bukan keagamaan. Menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat, selain itu psikologi
agama juga mempelajari pertumbuhan dan perkembangan jiwa agma pada
seseorang, serta faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan tersebut. Psikologi
agama merupakan cabang psikologi yang meneliti dan mempelajari tingkah laku
mannusia dalam hubungan dengan pengaruh keyakinan terhadap agama yang
dianutnya serta dalam kaitannya dengan perkembangan usia masing-masing.
8
seperti lembaga pendidikan, penyuluhan, pembinaan masyarakat, perusahaan,
rumah sakit, panti asuhan, lembaga pemasyarakatan, dakwah, dan lain-lain.
9
dan pahala yang turut memberi pengaruh terhadap sikap dan tingkah
lakunya dalam kehidupan.
5. Meneliti dan mempelajari bagaimana pengaruh penghayatan
seseorang terhadap ayat-ayat suci kelegaan batinnya. Semua itu
tercangakup dalam kesadaran beragama religious counsciousness dan
pengalaman agama religious experience
10
3. Pendidikan Masyarakat
Masyarakat merupakan lapangan pendidikan yang ketiga. Peran psikologi
agama dalam lembaga ini adalah memupuk jiwa keagamaan karena masyarakat
akan memberi dampak dalam pembentukan pertumbuhan baik fidik maupun psikis.
Yang mana pertumbuhan psikis akan berlangsung seumur hidup. Sehingga sangat
besarnya pengaruh masyarakat terhadap pertumbuhan jiwa keagamaan sebagai
bagian dari aspek kepribadian yang terintegrasi dalam pertumbuhan psikis.
11
BAB III
KESIMPULAN
12
DAFTAR PUSTAKA
13
Rahmad, Jalaludin. 1996. Psikologi Agama. (Edisi Revisi). Jakarta: Putra
Utama.
Sururin, M.Ag. 2004. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
14