Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

METODE STUDI ISLAM


SOSIOLOGI & PSIKOLOGI AGAMA

Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Nasor, M.Si.

Disusun Oleh :
Kelompok 12
Gusman Tri Kuncoro (2141010162)
Hanifah Ummi Ramadhan (2141010164)
Helga Malya Razita (2141010166)

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UIN RADEN INTEN LAMPUNG
2021/2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur Kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya,
kami dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dengan yang kami harapkan. Kami
juga berterima kasih kepada Bapak Prof. Dr. H. Nasor, M.Si. selaku Dosen
Pengampu mata kuliah Metode Studi Islam kami. Makalah ini disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Metode Studi Islam. Selain itu, makalah ini juga dapat
menambah wawasan dan pengetahuan kita.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Maka
dari itu, kritik dan saran dari semua pihak yang bisa membangun selalu kami
harapkan. Kami mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pengampu dan Teman-
teman yang telah berperan serta membantu dalam penyusunan makalah ini. Semoga
Allah SWT selalu meridhai setiap kegiatan kita. Aamiin.

Bandar Lampung, 25 April 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………. 1
1.1. Latar Belakang……………………………………………………. 1
1.2. Rumusan Masalah………………………………………………… 1
1.3. Tujuan Penulisan………………………………………………….. 1

BAB II PEMBAHASAN………………………………………………….. 2
2.1. Sosiologi Agama………………..……..…………………………. 2
2.2. Psikologi Agama…………..……………………………………… 7

BAB III PENUTUP…….………………………………………………….12


Simpulan……………………………………...…………………...……..12

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………...13

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan interaksi dengan
lingkungannya. Meskipun manusia memiliki istilah lain sebagai individu namun
pada hakikatnya mereka tidak dapat terlepas dari kebutuhan atas manusia lain.
Manusia juga merupakan suatu mahluk somato-psiko-sosial dan karena itu maka
suatu pendekatan terhadap manusia harus menyangkut semua unsur somatik,
psikologik, dan sosial.
Dalam pemenuhan kebutuhan tersebut manusia tentu membutuhkan rules
atau norma-norma yang dapat memberikan batas-batas tertentu dalam rangka
mewujudkan interaksi sosial yang mana aturan tadi bersumber dari keyakinan yang
masing-masing mereka anut atau biasa disebut dengan agama. Agama merupakan
pedoman bagi setiap umatnya. Terlepas dari agama yang dianut setiap orang,
ajaran-ajaran agama pastilah mengandung perintah dan larangan untuk
mewujudkan suatu kebaikan. Agama bukan hanya mengatur hal-hal religius dan
spiritual, baik tentang bersosialisasi ataupun psikologi setiap makhluk semuanya
telah tercantum dan diatur oleh ajaran agama.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana seluk-beluk Sosiologi Agama?
2. Bagaimana seluk-beluk Psikologi Agama?
1.3. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan Sosiologi Agama.
2. Menjelaskan Psikologi Agama.
3. Memenuhi tugas Mata Kuliah Metode Studi Islam.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Sosiologi Agama


2.1.1 Pengertian Sosiologi Agama
Ditinjau dari aspek kebahasaan sosiologi terdiri dari dua kata, yakni socius dan
logos. Socius berarti masyarakat atau sosial dan logos memiliki makna ilmu. Maka,
secara sederhana dapat diperoleh suatu pengertian bahwa sosiologi adalah ilmu
yang didalamnya mempelajari serta membahas hal-hal yang berkenaan dengan
masyarakat.
Sedangkan Agama dalam Bahasa Indonesia, berasal dari Bahasa Sansekerta
yaitu “a” yang berarti tidak dan “gama” yang berarti kacau. Jadi, agama artinya
“tidak kacau”, dengan pengertian terdapat ketentraman dalam berfikir sesuai
dengan pengetahuan dan kepercayaan yang mendasari kelakuan “tidak kacau” itu.
Juga berarti sesuatu yang mengatur manusia agar tidak kacau dalam kehidupannya,
yang menyangkut hal-hal keilahian dan kekudusan.
Secara umum sosiologi agama merupakan ilmu yang mempelajari fenomena
agama menggunakan perspektif, pendekatan, kerangka penjelasan sosiologis. Studi
sosiologi agama memfokuskan pada kelompok-kelompok atau organisasi
keagamaan, perilaku individu dalam kelompok-kelompok tersebut, dan bagaimana
agama berkaitan dengan institusi sosial lain. Beberapa pernyataan yang dikaji
dalam sosiologi agama, antara lain mengapa terjadi perbedaan religiusitas antar
masyarakat yang menganut agama tertentu. Menurut Dillon, sosiologi agama
memperlakukan agama sebagai fakta sosial yang dapat diobservasi secara empiris.
Sosiologi agama menggunakan perpektif sosiologi dalam mendeskripsikan,
memahami, dan menjelaskan berbagai cara bagaimana agama berlaku di
masyarakat.
Sosiologi agama sendiri merupakan cabang dari sosiologi umum yang di
dalamnya mengkaji fenomena agama dengan menggunakan konsep dan metode
sosiologi. Sosiologi agama tidak berusaha membuktikan kebenaran keberadaan
Tuhan atau memahami kepercayaan-kepercayaan agama dan menjelaskan
bagaimana hal tersebut berhubungan dengan pandangan dunia, praktik-praktik dan

2
identitas dan perbedaan bentuk ekspresi agama dan interelasinya dengan domain
lain tindakan individu dan sosial.
Sosiologi agama mempelajari peran agama dalam lingkup masyarakat baik itu
praktiknya, latar belakang, perkembangan serta tema universal suatu agama di
dalam masyarakat. Ibnu Khaldun percaya kesatuan masyarakat sosial dapat
ditingkatkan dengan adanya kesatuan agama. Perubahan sosial masyarakat
mengikuti hukum empiris yang ditemukan.

2.1.2 Sejarah Sosiologi Agama


Sosiologi muncul dari berbagai pergerakan sosial yang terjadi. Di antaranya
terdapat peristiwa revolusi Perancis pada 1789 yang menimbulkan revolusi politik
dan revolusi industri (Inggris) yang memunculkan berbagai isu baru seperti
kapitalisme, sosialisme, gerakan feminism, urbanisasi, perubahan keagamaan serta
pertumbuhan ilmu dan sains. Fakta sosial tersebut telah membawa para intelektualis
untuk menganalisisnya hingga muncullah term sosiologi.
Kelahiran sosiologi, lazimnya dihubungkan dengan seorang ilmuan Perancis
bernama August Comte, yang telah menyusun sintesa berbagai macam aliran
pemikiran, kemudian mengusulkan untuk mendirikan ilmu tentang masyarakat
dengan dasar filsafat empiris yang kuat. Ilmu tentang masyarakat itu pada awalnya
diberi nama “social physics” (fisika sosial) oleh August Comte, kemudian
dirubahnya menjadi “sociology” karena istilah sebelumnya telah digunakan pula
oleh seorang ahli statistik sosial yang berasal dari Belgia yaitu Adophe Quetelet.
August Comte dikenal sebagai “bapak” sosiologi. Fenomena agama telah
menjadi sub bahasan baru dalam sosiologi sekitar pertengahan abad ke dan dibahas
oleh sejumlah sarjana Barat seperti Edward B. Taylor (1832- 1917), Herbert
Spencer (1920-1903). Friedrich H. Muller (1823-1917) dan Sir James G. Fraser
(1854-1941). 20 Menurut Turner, sosiolog besar mulai dari Karl Marx hingga
Niklas Luhmann menganalisis peran sentral agama dalam studi tentang
modernisasi, urbanisasi dan transformasi masyarakat industrial.
Karl Marx melalui karya-karyanya memberitahukan bahwa ia adalah seorang
teoretisi yang humanis. Hal ini dibuktikan atas keprihatinannya terhadap para buruh
masyarakat kapitalis. Dalam kaitannya dengan agama, Karl Marx terus

3
mempertahankan pendapatnya bahwa agama adalah opium masyarakat yang dapat
mengurangi atau menghilangkan frustasi kelas pekerja. Menurutnya ini terjadi
karena sikap umat beragama yang cenderung pasrah dan tunduk terhadap apapun
yang terjadi atas mereka karena mereka yakin bahwa Tuhan telah menentukan itu
dan mereka tak dapat mengontrol nasibnya sendiri dan ini merupakan hasil
penafsiran yang rendah atas agama itu sendiri oleh umat. Pendapat Marx tersebut
wajar saja ada karena pada hakikatnya ia adalah seorang atheis. Tuhan hanyalah
sebuah ide, hanya mengacaukan dan menyesatkan manusia, sehingga terkesan
memaksakan diri tidak bisa berbuat lebih untuk merubah nasib.
Jika Marx cenderung mereduksi agama,maka akan berseberangan dengan
Max Weber yang lebih pro atas pengaruh agama terhadap kehidupan yang berperan
sebagai sumber semangat dan motivasi dalam memperbaiki kualitas hidup yang
dalam hal ini berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi. Weber mengidentifikasi
bahwa agama memiliki peran pemercepatan bagi perubahan sosial di satu sisi dan
menguatkan kemapanan (status quo) di sisi lain. Etika Protestan khususnya sekte
Calvinisme (yang mempunyai paham kerja keras, hemat, penuh perhitungan dan
profesionalisme) berpengaruh terhadap perkembangan kapitalisme di dunia Barat
yang dapat menghasilkan peningkatan hasil ekonomi yang pada akhirnya
meningkatkan percepatan pertumbuhan ekonomi. Penganut sekte ini percaya
bahwa dengan kerja keras, kesungguhan, disiplin dan hidup hemat dapat
menjadikannya manusia pilihan Tuhan. Dari sini kita dapat melihat bahwa agama
dapat menjadi faktor penggerak seseorang untuk melakukan tindakan ekonomi.
Durkheim juga memiliki pemahaman yang sama bahwa agama memilki peran
di kehidupan insan yang mana di sini berkaitan dengan sruktur sosial, bukan hanya
dalam bentuk kepercayaan yang diimplementasikan dengan ritual saja, tetapi juga
berfungsi meningkatkan solidaritas sosial sekaligus sumber kesatuan moral. Hal ini
dibuktikan dengan adanya karya ilmiah Durkheim yang berjudul Suicide. Di sini
Durkheim mengaitkan agama dengan perbedaan tingkat bunuh diri yang
disebabkan oleh tingkat interaksi yang rendah dan nilai-nilai kepercayaan yang
tidak dipatuhi dengan baik. Akibatnya terjadi pelemahan hubungan antara satu
dengan yang lain dan berujung pada terjadinya konflik. Tentunya hal ini berkaitan
dengan sudut pandang psikologis, Sigmund Freud menemukan agama sangat

4
berpengaruh terhadap perilaku individu. Konsep psikoanalisis yang diajukan oleh
Freud menjelaskan secara gamblang bahwa agama mempunyai pengaruh yang
sangat jelas terhadap tindakan seseorang. Agama tidak saja berada dalam ranah
pikiran akal-rasional melainkan juga dalam ranah alam bawah sadar (batin)
seseorang.
Sosiologi agama pernah mengalami penurunan terkait modernisasi dan
anggapan bahwa agama adalah sesuatu yang irasional. Seiring berkembangnya
positivisme (yang melakukan penolakan terhadap metafisika dan hal-hal yang
bersifat suprantural) sosiologi mulai meninggalkan orientasi moral dan reformis.
Penurunan perhatian terhadap sosiologi agama dimulai sekitar pada dekade 1960-
an hingga 1970-an. Masa ini berada pada tahap positivistik Comte. Tahap dimana
manusia mulai menyadari gejala alam itu terjadi karena adanya hukum-hukum
alam, bukan karena dewa-dewa atau Tuhan. Pemikiran manusia semakin rasional
dan cenderung memisahkan kehidupan agama dan kehidupan sehari-hari karena
hasrat untuk bahagia didunia lebih tinggi dari keinginan masuk surga.
Pemisahan ini terjadi karena adanya rasa kecewa atas kungkungan agama
yang menjelma menjadi kebijakan-kebijakan negara yang besifat otoriter di masa
lalu hukum-hukum agama dirasa tidak selalu cocok dikombinasikan dengan hukum
negara, terutama jika hanya dipahami sebatas pemahaman secara tekstual saja.
Namun, pada perkembangan selanjutnya mulai muncul penyesuaian-penyesuaian
antara agama dengan kehidupan bernegara baik dengan cara sekularisasi maupun
pembatasan porsi. Hal ini terjadi pada abad ke-20 yang menjadikan agama hanya
bersifat sebagai pelengkap, bukanlah menjadi hal yang diprioritaskan.
Pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, sosiologi agama kembali
mengalami kebangkitan yang ditandai dengan penolakan atas paham sekularisasi
dan menaruh perhatian besar terhadap agama lain yang mungkin selama ini kurang
mendapatkan perhatian. Juga adanya kesadaran lebih tinggi untuk mengkaji atau
membahas studi perbandingan agama untuk menghindari pemahaman atau
penafsiran etnosentris. Durkheim dalam bukunya yang berjudul The Elementary
Forms of Religious Life, ia membagi dunia ke dalam dua, sakral yang berarti suci
atau keramat, sesuatu yang berada di luar jangkauan manusia. Sesuatu yang sakral
ini disebut juga dengan Tuhan atau sesembahan. Lalu profan sebagai lawan dari

5
sakral yang berarti tidak ada sangkut pautnya dengan agama atau lebih condong
pada perihal keduniawian. Charles Kimball menjelaskan hal ini dalam bukunya
Kala Agama Jadi Bencana, bahwa agama memiliki relasi dengan keadaan, aktivitas
jiwa, cara berpikir dan perasaan suatu kelompok serta kejahatan terorganisasi.
Kimball memandang agama memiliki peran yang besar atas peristiwa-peristiwa
yang terjadi. Memang bukan agama yang menimbulkan kriminalitas semacam ini,
hanya saja kesalahan terletak pada penilaian dan pemahaman si penganut terhadap
kepercayaannya.

2.1.3 Ruang Lingkup Sosiologi Agama


Dalam pandangan sosiologi agama, agama bukanlah semata-mata hanya
membahas tentang hal-hal metafisik—Tuhan, akhirat, roh, surga, neraka— atau
hubungan antara manusia dengan Tuhannya saja (hablumminallaah), tetapi juga
menyinggung isu-isu yang terjadi di kawasan sosial masyarakat serta perannya
sebagai individu terhadap individu yang lain (hablumminannaas).
Batasan kajian sosiologi agama berputar pada fenomena-fenomena agama di
tengah masyarakat. Bagaimana pengaruh agama tersebut dalam proses
perkembangan budaya dan tatanan masyarakat sosial? Bagaimana agama dapat
mempengaruhi individu baik dari dalam maupun luar diri baik perseorangan atau
kelompok? Bagaimana pengaruh agama terhadap fenomena-fenomena baik
kegamaan maupun profan yang terjadi di tengah publik? Dan hal lainnya yang
bersinggungan dengan agama dan masyarakat umum dan perseorangan.

2.1.4 Urgensi Mempelajari Sosiologi Agama


Perbedaan nilai antar agama atau aliran dalam agama dapat menjadi faktor
yang menggoyangkan consensus jika tidak disikapi secara bijaksana. Disinilah kita
perlu mempelajari sosiologi agama, karena agama membantu kita menelaah suatu
fenomena keagamaan sebagai bagian dari relitas sosial dengan lebih interpretatif.
Cita-cita semua agama pada dasarnya satu, yakni kebahagiaan dalam situasi dan
damai. Kontestasi politik juga telah lama menggunakan metode pendekatan agama
untuk memperoleh dukungan.

6
Cara manusia memahami makna agama berperan besar pada cara ia
menempatkan diri dalam masyarakat, khususnya masyarakat multikultur dengan
beragam agama. Setiap agama (atau mungkin penganut) tentu akan berlomba
menklaim bahwa ajarannyalah yang paling benar. Hal ini berkenaan dengan dengan
kekuatan legitimasinya dalam sebuah tatanan masyarakat. Kekuasaan inilah yang
biasanya dimanfaatkan untuk kepentingan kekuasaan. Melindungi kehormatan
perempuan, dalam ajaran Islam merupakan suatu kewajiban. Perempuan diletakkan
dalam posisi yang tinggi dengan memberikan simbol surga di telapak kaki ibu.
Dalam masyarakat multikultural agama menjadi salah satu faktor yang dapat
memunculkan kebudayaan baru dan terus berkembang.

2.2. Psikologi Agama


2.2.1 Pengertian Psikologi Agama
Psikologi berasal dari perkataan yunani psyche yang artinya jiwa, dan logos
yang artinya ilmu. Jadi, secara etimologi psikologi adalah ilmu yang mempelajari
tentang jiwa, baik mengenai macam-macam gejalanya, prosesnya maupun latar
belakangnya ( ilmu jiwa ). Secara umum, psikologi diartikan ilmu yang
mempelajari tingkah laku manusia atau ilmu yang mempelajari gejala-gejala jiwa
manusia.
Sedangkan Agama seperti yang sudah dijelaskan dalam point pengertian
Sosiologi Agama berasal dari Bahasa Sansekerta yaitu “a” yang berarti tidak dan
“gama” yang berarti kacau. Jadi, agama artinya “tidak kacau”, dengan pengertian
terdapat ketentraman dalam berfikir sesuai dengan pengetahuan dan kepercayaan
yang mendasari kelakuan “tidak kacau” itu. Juga berarti sesuatu yang mengatur
manusia agar tidak kacau dalam kehidupannya, yang menyangkut hal-hal keilahian
dan kekudusan. Agama adalah masalah yang menyangkut dengan masalah yang
berhubungan dengan kehidupan batin manusia.
Berdasarkan pengertian psikologi dan agama di atas maka dapat disimpulkan
bahwa psikologi agama adalah meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada
seseorang dan mempelajari berapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam
sikap dan tingkah laku, serta keadaaan hidup pada umumnya, selain itu juga

7
mempelajari pertumbuhan dan perkembangan jiwa agama pada seseorang, serta
faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan tersebut.
Menurut Robert Thouless, Psikologi agama adalah cabang dari psikologi yang
bertujuan mengembangkan pemahaman terhadap perilaku keagamaan dengan
mengaplikasikan prinsip-prinsip psikologi yang dipungut dari kajian terhadap
perilaku bukan keagamaan. Menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat, selain itu psikologi
agama juga mempelajari pertumbuhan dan perkembangan jiwa agma pada
seseorang, serta faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan tersebut. Psikologi
agama merupakan cabang psikologi yang meneliti dan mempelajari tingkah laku
mannusia dalam hubungan dengan pengaruh keyakinan terhadap agama yang
dianutnya serta dalam kaitannya dengan perkembangan usia masing-masing.

2.2.2 Sejarah Psikologi Agama


Perhatian secara psikologis terhadap agama setua kehidupan umat manusia,
sejak kesadaran manusia tumbuh orang telah memikirkan tentang arti hidup.
Perilaku manusia yang berkaitan dengan dunia ketuhanan ternyata telah banyak
menyita perhatian para ahli dan pada abad ke-19 perhatian tersebut dilakukan secara
ilmiah lewat Psikologi Agama.
Sumber-sumber Barat mengungkapkan bahwa penelitian ilmiah modern di
lapangan Psikologi Agama dimulai sejak adanya kajian para antropolog dan
sosiolog tentang agama. Terbitnya buku The Psychology of Religion karya E.D
Starbuckth tahun 1899 menjadi tanda lahirnya Psikologi Agama. Di dunia Timur
(Islam) kajian kajian Psikologi Agama telah banyak dilakukan dan jauh sebelum
lahirnya Psikologi Agama di Barat. Seperti terbitnya karya Ibnu Tufail (1110-1185)
Hayy Ibnu Yaqzan, al Ghazali (1059-1111) dengan karya al Munqidz min al Dhalal
dan Ihya ‘Ulum al Din dll, namun belum dikembangkan ke dalam Psikologi Agama.
Di Indonesia, Psikologi Agama mulai dikenal sejak tahun 1970 an. Prof.Dr.A.
Mukti Ali dan Prof.Dr.Zakiah Dradjat yang dikenal sebagai pelopor pengembangan
Psikologi Agama di lingkungan IAIN, dan terbitnya beberapa buku Psikologi
Agama.
Perkembangan Psikologi Agama sekarang semakin pesat yang mengarah
kepada ilmu Psikologi terapan yang banyak manfaatnya dalam berbagai lembaga

8
seperti lembaga pendidikan, penyuluhan, pembinaan masyarakat, perusahaan,
rumah sakit, panti asuhan, lembaga pemasyarakatan, dakwah, dan lain-lain.

2.2.3 Ruang Lingkup Psikologi Agama


Berkaitan dengan ruang lingkup dari psikologi agama, maka ruang kajiannya
adalah mencakup kesadaran agama yang berarti bagian/ segi agama yang hadir
dalam pikiran, yang merupakan aspek mental dari aktivitas agama, dan pengalaman
agama berarti unsur perasaan dalam kesadaran beragama yakni perasaan yang
membawa kepada keyakinan yang dihasilkan oleh tindakan (amaliah) dengan kata
lain bahwa psikologi agama mempelajari kesadaran agama pada seseorang yang
pengaruhnya terlihat dalam kelakuan dan tindakan agama orang itu dalam
hidupnya.
Psikologi agama telah dimanfaatkan dalam berbagai ruang kehidupan,
misalnya dalam bidang pendidikan, perusahaan, pengobatan, penyuluhan
narapidana di LP dan pada bidang- bidang lainnya. Sebagai disiplin ilmu yang
otonom, psikologi agama memiliki ruang lingkup pembahasannya tersendiri yangg
dibedakan dari disiplin ilmu yang mempelajari maslah agama lainnya. Pernyataan
Robert Thouless, memusatkan kajiannya pada agama agama yang hidup dalam
budaya suatu kelompok / masyarakat itu sendiri. Kajiannya terpusat pada
pemahaman terhadap perilaku keagamaan dengan menggunakan psikologi.
Menurut Zakiyah Daradjat, ruang lingkup yang menjadi lapangan kajian
psikologi agama mengenai:
1. Bermacam-macam emosi yang menjalar di luar kesadaran yang ikut
serta dalam kehidupan beragama orang biasa ( umum ). Contoh :
perasaan tenang, pasrah dan menyerah.
2. Bagaimana perasaan dan pengalaman seseorang secara individual
terhadap Tuhannya. Contohnya: kelegaan batin.
3. Mempelajari, meneliti dan menganalisis pengaruh kepercayaan akan
adanya hidup sesudah mati/ akhirat pada tiap-tiap orang.
4. Meneliti dan mempelajari kesadaran dan perasaan orang terhadap
kepercayaan yang berhubungan dengan surga dan neraka serta dosa

9
dan pahala yang turut memberi pengaruh terhadap sikap dan tingkah
lakunya dalam kehidupan.
5. Meneliti dan mempelajari bagaimana pengaruh penghayatan
seseorang terhadap ayat-ayat suci kelegaan batinnya. Semua itu
tercangakup dalam kesadaran beragama religious counsciousness dan
pengalaman agama religious experience

2.2.4 Urgensi Mempelajari Psikologi Agama


Education (pendidikan) dan jiwa keagamaaan sangat terkait, karena
pendidikan tanpa agama ibaratnya bagi manusia akan pincang. Sedang jiwa
keagamaan yang tanpa melalui menegemant pendidikan yang baik, maka juga akan
percuma. Dengan kata lain, pendidikan dinilai memiliki peran penting dalam upaya
menanamkan rasa keagamaan pada seseorang.
1. Pendidikan Keluarga
Perkembangan agama menurut W.H. Clark, berjalin dengan unsur-unsur
kejiwaan sehingga sulit untuk diidentifikasikan secara jelas, karenaa masalah yang
menyangkut kejiwaan, manusia demikian rumit dan kompleksnya. Namun
demikian, melalui fungsi-fungsi jiwa yang masih sangat sederhana tersebut, agama
terjalin dan terlibat didalamnya. Melalui jalinan unsur-unsur dan tenaga kejiwaan
ini pulalah agama itu bekembang (W.H. Clark, 1964: 4).
2. Pendidikan Kelembagaan
Pendidikan agama di lembaga pendidikan bagaimanapun akan memberi
pengaruh bagi pembentukan jiwa keagamaan pada anak. Namun demikian, besar
kecilnya pengaruh tersebut sangat tergantung pada berbgai faktor yang dapat
memotivasi nak untuk memahami nilai-nilai agama. Sebab, pendidikan agama pada
hakikatnya merupakan pendidikan nilai. Oleh karena itu, pendidikan agama lebih
dititik beratkan pada bagaimana membentuk kebiasaan yang selaras dengan
tuntunan agama. Fungsi sekolah dalam kaitannya dengan pembentukan jiwa
keagamaan pada anak, antara lain sebagai pelanjut pendidikan agama di lingkungan
keluarga atau membentuk jiwa keagamaan pada diri anak yang tidak menerima
pendidikan agama dalam keluarga.

10
3. Pendidikan Masyarakat
Masyarakat merupakan lapangan pendidikan yang ketiga. Peran psikologi
agama dalam lembaga ini adalah memupuk jiwa keagamaan karena masyarakat
akan memberi dampak dalam pembentukan pertumbuhan baik fidik maupun psikis.
Yang mana pertumbuhan psikis akan berlangsung seumur hidup. Sehingga sangat
besarnya pengaruh masyarakat terhadap pertumbuhan jiwa keagamaan sebagai
bagian dari aspek kepribadian yang terintegrasi dalam pertumbuhan psikis.

11
BAB III
KESIMPULAN

Sosiologi agama merupakan ilmu yang mempelajari fenomena agama


menggunakan perspektif, pendekatan, kerangka penjelasan sosiologis. Studi
sosiologi agama memfokuskan pada kelompok-kelompok atau organisasi
keagamaan, perilaku individu dalam kelompok-kelompok tersebut, dan bagaimana
agama berkaitan dengan institusi sosial lain.
Sedangkan Psikologi agama adalah meneliti dan menelaah kehidupan
beragama pada seseorang dan mempelajari berapa besar pengaruh keyakinan
agama itu dalam sikap dan tingkah laku, serta keadaaan hidup pada umumnya,
selain itu juga mempelajari pertumbuhan dan perkembangan jiwa agama pada
seseorang, serta faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan tersebut.
Dari dua pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa antara Sosiologi dan
Psikologi Agama terdapat keterkaitan yang erat. Dalam bersosialisasi untuk
memahami suatu agama, perlu dibarengi dengan pendekatan secara psikologis.
Tujuanya ialah untuk memudahkan dalam bersosialisasi dan mengenali suatu
objek . Psikologi sangatlah memengaruhi bagaimana seseorang bersosialisasi.

12
DAFTAR PUSTAKA

Amran, A. 2015. Peranan agama dalam perubahan sosial masyarakat.


HIKMAH: Jurnal Ilmu Dakwah dan Komunikasi Islam, 2(1), 23-39

Fauzi, A. M. 2019. Sosiologi Agama. Universitas Negeri Surabaya

Firdaus. 2015. Relefansi Sosiologi Agama dalam Kemasyarakatan. Jurnal Al-


Adyan. 10(2). 166-186
Hanani, S. 2011. Menggali Interelasi Sosiologi dan Agama. Bandung:
humaniora.
Haryanto, S. 2015. Sosiologi Agama: Dari Klasik Hingga Postmodern.
Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA.
Mubaraq, Z. 2010. Sosiologi Agama. Malang: UIN-Maliki Press.
Mubit, R. 2016. Peran Agama dalam Multikulturalisme Masyarakat Indonesia.
Episteme: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman, 11(1), 163-184
Pramono, M. F. 2017. Sosiologi Agama Dalam Konteks Indonesia. Ponorogo:
UNIDA GONTOR PRESS.
Sitorus, M. 2000. Berkenalan dengan Sosiologi. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Wahyuni. 2018. Agama dan Pembentukan Struktur Sosial. Jakarta:
PRENADAMEDIA GROUP.Huda, Sokhi. 2008. Tasawuf Kultural.
Yogyakarta: LKiS.

Abu Bakar, Muhammad. 1981. Pedoman Pendidikan dan Pengajaran.


Surabaya: Usaha Nasional.

Awwad, Jaudah Muhammad. 1995. Mendidik Anak Secara Islam. Jakarta:


Gema Insani Press.

H. Jalaludin. 2007. Psikologi Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

H. Ramayulis. 2009. Psikologi Agama. Jakarta: Radar Jaya.

Quraish, Shihab. 1992. Membumikan al Qur`an. Bandung: Mizan.

Rahmad, Jalaluddin. 2003. Psikologi Agama (sebuah pengantar). Jakarta:


Mizan media buku utama.

13
Rahmad, Jalaludin. 1996. Psikologi Agama. (Edisi Revisi). Jakarta: Putra
Utama.

Sururin, M.Ag. 2004. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

14

Anda mungkin juga menyukai