MAKALAH
Ditujukan untuk tugas kelompok mata kuliah Al-Islam II
DOSEN PENGAMPU : DRS. EDWARDSYAH, M.M
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 2
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidaya
h-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang berjudul
“Pendekatan Sosiologi Dalam Studi Islam ,” dengan baik dan tepat pada waktu
nya.
Dalam makalah ini, kami mencoba memberikan pengetahuan kepada pembaca me
ngenai revolusi teori manajemen agar wawasan pembaca dapat bertambah . Selain
itu, penyusunan makalah ini bertujuan untuk memperoleh nilai mata kuliah “ AL
– ISLAM II” sebagai bahan penunjang pembelajaran dari Bapak Drs. Edwardsyah
,MM
Kami mengharapkan semoga makalah kami ini dapat memberi manfaat bagi semu
a pembaca untuk lebih mengetahui tentang materi yang kami jelaskan di makalah
ini. Mungkin dalam pembuatan makalah ini terdapat kesalahan yang belum kami
ketahui. Maka dari itu kami mohon saran dan kritik. Demi tercapainya makalah ya
ng sempurna.
Kelompok 2
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................................................
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................
BAB I....................................................................................................................................................
PENDAHULUAN.................................................................................................................................
1.3 TUJUAN................................................................................................................................
BAB II...................................................................................................................................................
PEMBAHASAN...................................................................................................................................
BAB III................................................................................................................................................
PENUTUP...........................................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................
3
BAB I
PENDAHULUAN
Harus diakui bahwa saat ini, ilmu-ilmu keislaman tengah mengalami krisis yang
akut. Krisis ilmu-ilmu keislaman yang tengah terjadi selama ini sesungguhnya telah
menghasilkan semacam irelevansi antara ilmu-ilmu keislaman dengan realitas
kontemporer. Ilmu-ilmu keislaman terlihat semarak dalam forum-forum kajian, bahkan
pengajian, namun ia hanya menyumbang sedikit bagi pemberdayaan masyarakat.
Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif
memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh
hanya sekedar menjadi lambang kasalehan atau berhenti sekedar disampaikan dalam
khutbah, melainkan secara konseptual menunjukkan cara-cara yang paling efektif
dalam memecahkan masalah. Tuntutan terhadap agama yang demikian itu dapat
dijawab manakala pemahaman logis normatif dilengkapi dengan pemahaman agama
yang menggunakan pendekatan lain yang secara operasional konseptual dapat
memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul. Ada banyak pendekatan yang
dapat digunakan untuk memahami agama yang meliputi pendekatan teologis
normatif, astronomis, sosiologis, psikologis, historis, kebudayaan dan pendekatan
filosofis. Hal ini perlu dilakukan karena melalui pendekatan tersebutlah kehadiran
agama secara fungsional dapat dirasakan oleh penganutnya.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana yang dimaksud dengan sosiologi?
2. Bagaimana tokoh dan pertumbuhan sosiologi sebagai pengetahuan?
3. Bagaimana pendekatan dalam kerja ilmiah sosiologi?
4. Bagaimana pendekatan sosiologi dalam studi Islam?
4
1.3 TUJUAN
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
Semua bidang inetelektual dibentuk oleh setting sosialnya. Hal ini terutama berlaku
bagi sosiologi, yang tak hanya berasal dari kondisi sosialnya, tetapi juga menjadikan ling
kungan sosialnya sebagai kajian pokok. Orang yang pertama kali menggagas sekaligus m
empraktikkan sosiologi sebagai sebuah disiplin ilmu yang mandiri adalah Ibn Khaldun.
1. Ibn Khaldun (1332 M)
Tokoh yang lahir di Tunisia, Afrika Utara, pada 27 Mei 1332 M atau 1 ramadhan 7
32 H ini hidup dalm situasi konflik yang begitu keras antara Muslim tradisionalis, raionali
s dan kaum sufi. Situasi tidak harmonis dalam masyarakat di sekitarnya itulah yang mend
orongnya untuk mempelajari masyarakat secara serius. Dalam kajiannya, ia telah mengha
silkan sejumlah karya sosiologi, seperti kitab al-Ibar yang berisi sejarah umum dan univer
sal masyarakat dan Muqaddimah (Prolegomena) yang berisi pembahasan tentang sosiolog
i.
2. August Comte (1798-1857)
Di tangan Comte, sosiologi sebagai sebuah disiplin ilmu menjadi semakin jelas ben
tuknya. Comte mengembangkan fisika atau yang pada tahun 1839 disebutkannya sosiolog
i. Penggunaan istilah fisika social jelas menunjukkan bahwa Comte berupaya agar sosiolo
gi meniru model “hard sciences”. Ilmu baru ini, yang menurut pandangannya akhirnya ak
an menjadi ilmu dominan, adalah ilmu yang mempelajari social statics (Statika social ata
u struktur social yang ada) dan social dynamics (dinamika social atau perubahan social).
Meski keduanya dimaksudkan untuk menemukan hukum-hukum kehidupan social, ia mer
asa bahwa dinamika social lebih penting ketimbang statika social. Tekanan pada perubah
an sosial ini mencerminkan perhatiannya yang sangat besar terhadap reformasi sosial.
3. Karl marx (1818-1883)
Walaupun Marx bukanlah seorang sosiolog dan tak pernah manganggap dirinya sos
iolog, bahkan karyanya boleh dibilang terlalu luas untuk bisa dicakup dalam pengertian s
osiolog, namun ada satu teori sosiolog yang ditemukan dalam karyanya. Marx menawark
an sebuah teori tentang masyarakat kapitalis berdasarkan citranya mengenai sifat dasar m
anusia. Marx meyakini bahwa manusia pada dasarnya produktif, artinya untuk bisa bertah
an hidup manusia perlu bekerja di dalam dengan alam. Dengan bekerja semacam itu man
usia menghasilkan makanan, pakaian, peralatan, perumahan, dan kebutuhan lain yang me
mungkinkan mereka hidup. Produktivitas mereka bersifat alamiah, yang memungkinkan
mereka mewujudkan dorongan kreatif mendasar yang mereka miliki. Dorongan ini diwuj
udkan bersama-sama dengan orang lain. dengan kata lain, manusia pada dasarnya adalah
makhluk social. Mereka perlu bekerja bersama untuk menghasilkan segala sesuatu yang
7
mereka perlukan untuk hidup.
2. Interaksionalisme
Pendekatan ini memusatkan perhatiannya pada interaksi antar individu dan kelom
pok. Interaksi ini terjadi bisa dengan mengunakan symbol-simbol atau isyarat. Kemudian,
diperhatikan reaksi orang terhadap makna dari symbol-simbol itu dan dihubungan benda-
benda atau kejadian-kejadian yang berlangsung. Dalam perspektif ini sering muncul pern
yataannya bahwa suatu kata, benda atau kejadian tidak bermakna apa-apa jika orang di m
asyarakat ini tidak sependapat bahwa hal itu memiliki arti khusus, misalnya “lampu mera
h,hjau, dan kuning lalu lintas”.
3. Fungsionalisme
Dalam pendekatan ini, masyarakat dipandang sebagai satu jaringan kerja
sama kelompok yang saling membutuhkan satu sama lain dalam sebuah system
yang harmonis, misalnya fenomena saling ketergantungan antara “sekolah, anak
didik dan orang tua keluarga”, keluarga berencana dengan usaha meningkatkan
kesehatan dan kesejahteraan serta hubungan dengan mutu pendidikan” dan
sebagainya.
Pendekatan ini didasarkan pada dua asumsi dasar:
Bahwa masyarakat terbentuk atas berbagai sub-struktur yang dalam
fungsi-fungsi mereka masing-masing saling bergantung, sehingga
8
perubahan-perubahan yang terjadi dalam fungsi satu sub-struktur dengan
sendirinya akan tercermin pada perubahan-perubahan yang terjadi dalam
struktur-struktur lainnya pula. Karena itu, tugas analisis sosiologis adalah
menyelidiki mengapa suatu hal berpengaruh kepada hal lainnya, dan
sampai sejauh mana pengaruh tersebut.
Bahwa setiap struktur berfungsi sebagai penopang aktivitas-aktivitas
atau substruktur-substruktur lainnya dalam suatu sistem sosial. Contoh-
contoh sub-struktur ini dalam masyarakat adalah keluarga, perekonomian,
politik, agama, pendidikan, rekreasi, hukum dan pranata-pranata mapan
lainnya.
4. Konflik
Pendekatan ini sebenarnya merupaka reaksi keras terhadap pendekatan
fungsionalisme di atas. Pendekatan konflik berpendapat, bahwa “masyarakat itu
terikat kerja sama yang erat karena kekuatan kelompok-kelompok atau kelas yang
dominan”. Ia mewariskan sebuah ketegangan yang terus menerus dalam sebuah
fenomena setiap kelompok ingin mempertahankan dominasinya.
9
muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (tentu
bukan ditinggalkan), melainkan dengan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.
c. Bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih
besar dari pada ibadah yang bersifat persorangan. Karena itu salah yang dilakukan
secara berjamaah dinilai lebih tinggi nilainya daripada salat yang dikerjakan
sendirian (munfarid) dengan ukuran satu berbanding dua puluh derajat.
d. Dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna
atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka kifaratnya (tebusannya)
ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan msalah sosial. Bila puasa
tidak mampu dilakukan misalnya, jalan keluarnya adalah dengan membayar
fidyah dalam bentuk memberi makan bagi orang miskin.
e. Dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan
mendapat ganjaran lebih besar daripada ibadah sunnah. Dalam hubungannya
dengan ini misalnya membaca hadits yang artinya sebagai berikut.
“Orang yang bekerja keras untuk menyantuni janda dan orang miskin, adalah
seperti pejuang di jalan Allah (atau aku kira beliau berkata) dan seperti orang yang
terus menerus salat malam dan terus menerus berpuasa”. (H.R. Bukhari dan
Muslim).
10
b. Manfaat praktis sosiologis adalah bahwa sosiologi pengetahuan dapat memperkaya m
etode penelitian ilmu-ilmu keislaman. Ilmu keislaman sudah selayaknya dilihat dengan be
rbagai cara (apa saja boleh), asalkan semua cara itu dilakukan dengan bertanggung jawab
dan dapat memperluas perspektif para pengkaji. Hanya dengan cara memperbanyak persp
ektif inilah akan terwujud ilmu keislaman yang ramah terhadap segala keragaman dan pro
blematika kehidupan. Di samping itu, ilmu keislaman yang multiperspektif juga akan mu
dah diterima semua kalangan karena dinamika dan kelenturannya yang tinggi ketika harus
bersentuhan dengan realitas masyarakat.
Misalnya, sebagai ilmu, ilmu ushul fikih bukanlah ilmu yang terbentuk dari ruang hampa
dan steril dari pengaruh lokasi sosial pada zaman tertentu. Oleh karena itu, biarlah orang-
orang terdahulu merumuskan prinsip-prinsip ilmu ushul fikih yang sesuai pada saat itu,
dan kita juga merumuskan prinsip-prinsip ilmu ushul fikih kita sendiri sesuai dengan
zaman kita. Dominasi antar generasi hanya akan menghasilkan kejumudan dan
kemandegan berpikir.
Wacana tertutupnya pintu ijtihad yang sempat terdengar, sesungguhnya tiada lain
adalah tidak dapat dilakukannya ijtihad karena paradigm lama dalam ilmu ushul
fikih telah mengalami keusangan (obsolete) dan keterjebakan ideologis, sehingga
mengalami disfungsi.[24] Inilah yang digambarkan al-Jabiri dalam kutipan
berikut:
“Masalah-masalah khusus di masa lalu, meski mirip dan sejenis terbatas atau
memungkinkan untuk dibatasi; teks-teks syariat (al-Qur’an dan sunah) juga
terbatas, dan demikian pula ijtihad memahami kata-kata dan batas-batas petunjuk
dari teks-teks itu…, akhirnya mau tidak mau akan sampai pada titik di mana tak
ada lagi yang tersisa, dan kemudian akibat yang sudah pasti adalah “tertutupnya”
pintu ijtihad, bukan “ditutup” (dengan sengaja) seperti yang dikatakan orang.[25]
Sebenarnya, tak ada seorangpun dalam Islam yang memiliki kekuasaan untuk
“menutup” pintu ijtihad, baik para penguasa, para ahli fikih atau yang lain karena
dalam Islam tak ada gereja atau lembaga apapun yang mempunyai kekuasaan
untuk “menutup” atau “membuka” pintu ijtihad. Jadi, ijtihad merupakan salah satu
dasar dari pembuatan hukum Islam, dan ia adalah pengerahan upaya pemikiran
dalam rangka mengetahui hukum-hukum syariat, dan ini adalah hak bagi setiap
11
Muslim yang memenuhi hukum-hukum syarat-syarat keilmuan yang
memungkinkannya untuk melakukan ijtihad.
Dengan demikian, pintu ijtihad dengan sendirinya tertutup ketika di sana tidak ada
lagi tersisa ijtihad dalam kerangka peradaban di mana kaum Muslim hidup di
dalamnya. Ketika semua masalah yang dilontarkan dan yang mungkin dilontarkan
di dalam kerangka peradaban yang sama telah tuntas diliput, dan ketika
pemanfaatan segala kemungkinan yang disediakan oleh teks dalam arti hubungan
kata dengan makna telah sempurna, dan kasus-kasus terdahulu yang bisa dijadikan
sandaran analogi telah habis…, maka mau tidak mau pintu ijtihad dengan
sendirinya tertutup dan orang-orangpun berbelok kepada taqlid….”[26]
“Dari sini, Nampak jelas bahwa seruan kepada ijtihad” dan membuka pintu
ijtihad, akan tetap saja suara di udara selama upaya “membuka” nalar yang
merupakan titik utama tugas ijtihad, belum tercapai. Hal ini karena pintu ijtihad
tidak pernah ditutup, tetapi ia tertutup dengan sendirinya ketika nalar yang
menjalankan ijtihad itu tertutup di dalam kerangka peradaban dan kebudayaan
yang telah berhenti bergerak dan tumbuh. Dengan demikian, mau tidak mau
diperlukan keterbukaan baru bagi nalar Arab Islam agar ia sanggup menghadapi
keterbukaan peradaban yang telah terjadi. Tanpa hal ini, tidak akan pernah ada
ijtihad pada tatanan masalah-masalah kontemporer.”[27]
Islam telah meletakkan dasar-dasar umum cara bermasyrakat. Di dalamnya
diatur hubungan antara individu dengan individu, antara individu dengan
masyarakat, anatar satu komunitas masyarakat dengan komunitas masyarakat
lainnya. Aturan itu mulai yang sederhana sampai kepada yang sempurna, mulai
dari hukum berkeluarga sampai bernegara.
Al-Qur’an memang bukan buku sejarah yang secara sistematis membahas keadaan
masyarakat masa lampau namun sebagai bukti petunjuk yang di dalamnya di
dapati hukum-hukum perubahan masyarakat (sosial) yang berlaku sepanjang
sejarah manusia.
12
BAB III
PENUTUP
13
mengagungkan dan rasa hormat, terutama yang berkaitan dengan adat istiadat
(moral) yang berlaku, berhubungan erat dengan perasaan-perasaan kagum yang
ditimbulkan oleh yang sakral itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
http://menzour.blogspot.com/2018/05/makalah-pendekatan-sosiologi-dalam.html?
m=1
14