Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH FILSFAT ILMU

CARA KERJA ILMU ALAM, ILMU SOSIAL-HUMANIORA, DAN ILMU


AGAMA

Makalah ini Disusun Guna Untuk Melengkapi Mata Kuliah Filsafat Ilmu

Dosen Pengampu : Putri Rizqiyah Rahmawati, M.Pd.

Disusun Oleh:

Dwi Ayu Saputri (223151077)

Isthi Itsar Mumpuni (223151081)

Maulida Rahmatia (223151096)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SAID SURAKARTA

2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT karena atas izin,
rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul "Cara
Kerja Ilmu Alam, Ilmu Sosial-Humaniora dan Ilmu Agama". Makalah ini disusun
dengan tujuan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Filsafat Ilmu pada semester
ini. Melalui makalah ini, kami berharap  agar kami serta pembaca mampu
mengetahui dan memahami materi yang telah disampaikan.

Kami mengucapkan terimakasih kepada Dosen pengampu mata kuliah


Filsafat Ilmu yaitu Ibu Putri Rizqiyah Rahmawati, M.Pd. yang telah memberikan
tugas ini sehingga kami dapat belajar dan mendapat pengetahuan mengenai “Cara
Kerja Ilmu Alam, Ilmu Sosial-Humaniora dan Ilmu Agama"

Demikian makalah ini kami buat dengan segala kelebihan dan kekurangan.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun demi perbaikan makalah ini
sangat kami harapkan. Semoga makalah ini dapat memberi manfaat dan
pengetahan bagi pembaca. Terima kasih.

Sukoharjo, 13 November 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................

DAFTAR ISI...................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................

A. Latar Belakang..........................................................................................
B. Rumusan Masalah....................................................................................
C. Tujuan penulisan .....................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................
A. CARA KERJA ILMU..............................................................................
B. CARA KERJA ILMU ALAM.................................................................
C. CARA KERJA ILMU SOSIAL-HUMANIORA...................................
D. CARA KERJA ILMU AGAMA..............................................................

BAB III PENUTUP.........................................................................................

A. KESIMPULAN.........................................................................................
B. SARAN.......................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu-ilmu sosial adalah ilmu yang mempelajari manusia dalam
hubungannya dengan manusia-manusia lainnya. Selain itu, dapat juga
diartikan sebagai ilmu yang mempelajari perilaku dan aktivitas sosial dalam
kehidupan bersama. Jadi yang dimaksud ilmu-ilmu sosial (social sciences)
adalah  kelompok disiplin ilmu yang mempelajari aktivitas manusia dalam
hubungannya dengan sesamanya. Dalam hubungan antara manusia yang satu
dengan manusia yang lain, sangat dibutuhkan ilmu sosial humaniora, karena di
dalamnya terdapat bagaimana cara berhubungan antara sesama manusia,
sehingga dengan ilmu tersebut manusia akan dapat menjalin hubungan dengan
manusia yang lainnya dengan menjalin hubungan yang baik.

Cara kerja ilmu merupakan suatu hal yang dipertimbangkan dalam


bidang keilmuan. Cara kerja ilmu sendiri tidak bisa secara individu. Dia harus
dibarengi dengan sudut pandang ilmu lain.  Dalam artian suatu serangkaian
yang saling melengkapi.

Indonesia dipandang sebagai negeri muslim terbesar di dunia


agaknya bukan semata-mata karena mayoritas penduduknya beragama Islam.
Negeri ini juga memiliki jumlah lembaga pendidikan Islam terbanyak
dibanding dengan negeri-negeri muslim manapun. Sebagai umat muslim
hendaknya mampu mengambil makna dari Islam itu sendiri, maka sangat
dibutuhkan ilmu agama sebagai landasan dalam berhubungan antara manusia
dengan tuhannya, sehingga umat muslim bukan hanya seorang yang beragama
Islam, akan tetapi lebih utama adalah pengamalan dari Islam itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, rumusan masalah yang akan di bahas adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah cara kerja ilmu alam?
2. Bagaimanakah cara kerja ilmu sosial-humaniora?
3. Bagaimanakah cara kerja ilmu agama?
C. Tujuan Penulisan
Dari masalah yang telah dirumuskan di atas, maka tujuan penulisandari
makalah ini ialah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui cara kerja ilmu alam.
2. Untuk megetahui cara kerja ilmu sosial- humaniora.
3. Untuk mengetahui cara kerja ilmu agama.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Cara Kerja Ilmu

Suatu masalah tidak dapat didekati dari satu sudut pandang saja, tetapi
harus dilihat/dipecahkan dari berbagai sudut pandang. Misalnya, masalah
bom, tidak mungkin hanya dipahami dan dipecahkan dari sisi pelaku bom,
tetapi juga dilihat dari lingkungan sosial, ekonomi, politik, budaya,
keagamaan yang di bom. Hal ini berarti suatu disiplin ilmu tidak dapat lagi
bekerja sendirian dalam memecahkan masalah, sebaliknya disiplin ilmu
membutuhkan bantuan dari disiplin- disiplin ilmu lainnya.
Permasalahannya adalah para ilmuwan dan akademisi saat ini mulai
mengkritisi adanya dikhotomi ilmu. Kritik-kritik itu mengarah pada gagasan
interkoneksi dan integrasi antar disiplin-disiplin ilmu. Di Barat mulai ada yang
menyadari perlunya meninjau ulang pengembangan ilmu yang terpisah dari
nilai-nilai agama. Agama dipandang sangat arif dalam memperlakukan alam,
sehingga perlu dijadikan sebagai dasar nilai pengembangan ilmu. Ilmu yang
meninggalkan agama dapat mengeksploitasi alam, sehingga terjadi kerusakan
ekologis.
Perkembangan ilmu selalu mengiringi tingkat kebutuhan manusia dari
yang bersifat material, teknis, kemanusiaan, kemasyarakatan, sampai yang
bersifat spiritual dan religius. Keberagaman kebutuhan hidup manusia
menyebabkan berkembangnya berbagai disiplin ilmu, yakni ilmu alam,
ilmu sosial humaniora, dan ilmu agama. Jenis ilmu alam, seperti fisika,
biologi, kimia, matematika, geologi, geografi dan lain sebagainya lahir
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisik, material, dan mekanisme
teknis dari manusia terhadap alam. Ilmu sosial humaniora seperti filsafat,
sejarah, sosiologi, antropologi dan psikologi. Ilmu sosial lahir untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar manusia yang lebih bersifat non-
material dan bermuatan nilai, baik kepribadian maupun hubungan-
hubungan social, karena menyangkut makna hidup, hubungan antar sesama
manusia. Ilmu agama berkembang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
moral dan spiritual- religius manusia.
B. Cara Kerja Ilmu Alam
Pada masa Yunani kuno, sebelum filsafat muncul sebagai tradisi
keilmuwan baru, ilmu fisika, matematika, kimia, dan astronomi telah lama
menjadi perbincangan di antara pecinta ilmu. Ilmu mempunyai manfaat
langsung bagi manusia, karena mudah diamati dan diukur, dan secara
praktis manfaatnya dapat dirasakan. Misalnya teleskop, penemuan sepeda,
pengukur suhu, telepon, stetoskop, dan lain sebagainya. Ilmu alam yang
sifatnya fisikal dan material sangat penting bagi hidup manusia, terutama
untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan material dan praktis manusia.
Berikut ialah cara kerja ilmu alam:
1. Gejala Alam Bersifat Fisik-Statis
Ilmu alam berhubungan dengan gejala-gejala alam yang
sifatnya fisik, teramati dan terukur. Gejala-gejala alam memiliki sifat
statis atau tetap dari waktu ke waktu. Makna statis karena jumlah
variabel dari gejala alam sebagai objek yang diamati juga relatif lebih
sederhana dan sedikit. Misalnya, ketika ahli ilmu alam ingin
menjelaskan suatu eksplosi kimiawi, dia hanya perlu mempelajari sifat-
sifat bahan kimiawi yang mudah meledak dan mudah diamati. Jadi
faktornya sederhana untuk dapat menjelaskan eksplosi kimiawi.
2. Objek Penelitian dapat Berulang
Sifat gejala alam adalah fisikal dan statis, berarti bahwa objek
penelitian dalam ilmu tidak mengalami perubahan atau tetap. Sifat
fisikal- statis ini menunjukkan bahwa objek penelitan dalam ilmu alam
dapat diamati secara berulang-ulang oleh peneliti atau pengamat. Saat
ini manusia dapat meneliti ulang proses penemuan gravitasi oleh Isaac
Newton ( 1643-1727 ), dengan gejala alam yang sama seperti dialami
oleh Newton. Hal ini dapat terjadi karena sifat-sifat gejala alam adalah
seragam dan dapat diamati kapanpun. Contoh, seseorang yang
mengamati benda jatuh menuju bumi, variabel-variabel yang dipakai
dalam eksperimen untuk menguji penemuan gravitasi adalah sama,
baik ketika zaman Newton (abad ke-17) maupun abad ke-21 saat ini.
3. Pengamatan Relatif Lebih Mudah & Simpel
Pengamatan dalam ilmu alam lebih mudah karena dapat
dilakukan secara langsung dan dapat diulang kapanpun. Misal, untuk
mengetahui melelehnya sebuah besi, ahli-ahli ilmu alam pada zaman
dulu mempelajari sifat-sifat dari besi yang dapat leleh oleh panas
dalam suhu panas tertentu. Para ahli ilmu alam saat ini akan melakukan
hal yang sama seperti yang telah dilakukan para ahli ilmu alam
terdahulu, yaitu dapat mengubah bentuk besi yang semula persegi
menjadi segitiga atau bulat.
Kata “mengamati” dalam ilmu alam tentu lebih luas dari
sekedar interaksi langsung dengan pancaindra manusia, yang lingkup
kemampuannya sangat terbatas. Keterbatasan ini dapat diatasi manusia
dengan menggunakan alat-alat bantu seperti mikroskop, teleskop, alat
perekam gelombang dan lain sebagainya. Bila seseorang ingin
menyatakan bahwa ia mendapatkan suatu gejala alam baru yang belum
terdaftar dalam perbendaharaan ilmu alam, maka ia perlu memberikan
informasi tentang lingkungan, peralatan serta cara pengamatan yang
digunakan, sehingga memungkinkan orang lain mengamati kembali
jika ingin mengujinya. Dalam ilmu alam, pengamatan bersifat
reproducible atau dapat diulang-ulang, tetapi hasilnya kemungkinan
akan berbeda, tergantung cara pengamatan yang dipakai.
4. Subjek (peneliti) hanya sebagai Penonton
Prinsip pengamatan/penelitian dalam ilmu alam adalah objektif,
artinya kebenarannya disimpulkan berdasarkan objek yang diamati.
Pengamat/peneliti tidak terlibat atau tidak berpengaruh terhadap objek
yang ditelitinya. Henry Margenau (1901-1997) berpandangan bahwa
prinsip objektif ini menempatkan posisi ilmuwan alam lebih sebagai
the cosmic spectator daripada the cosmic spectacle. Ilmuwan alam
adalah penonton alam, ia hanya mengamati alam dan kemudian
memperlihatkan kepada orang lain hasil pengamatannya, dimana ia
tidak melibatkan kesubjektivitasnya, tetapi sekedar menunjukkan hasil
tontonannya. Henry Margenau mengingatkan bahwa the cosmic
spectator hanyalah perwujudan dari sisi dominannya saja atas konflik
klasik hubungan antara subjek dan objek, antara the world dan its
knower, dan lebih dari itu bukan berarti tidak ada intervensi subjek
sama sekali. Sisi dominan pengamatan dalam ilmu alam adalah lebih
sebagai ‘penonton’, maka tujuan aktivitas pengamatan hanya
menjelaskan objeknya menurut penyebabnya, yang dalam istilah
Wilhelm Dilthey (1833-1911) disebut erklären. Dalam erklären ini,
pengalaman dan teori dapat dipisahkan, artinya ada suatu jarak atau
distansi antara pengamat dan yang diamati. Pengamat tidak terlibat
dalam objek yang diamati, tugasnya hanya menjelaskan hasil
pengamatannya.
5. Memiliki Daya Prediktif yang Relative Mudah Dikontrol
Ilmu alam lebih menarik diteliti bukan hanya karena gejala
alam membangun berbagai teori, tetapi karena gejala-gejala alam yang
diketahui dan dirumuskan dalam teori-teori itu dapat digunakan untuk
memprediksikan kejadian-kejadian yang dimungkinkan akan timbul
dari gejala-gejala tersebut. Misalnya dari pengalaman hidupnya,
manusia mempelajari tekstur lempengan-lempengan dalam bumi,
termasuk gerak-gerak dan karakternya serta sebab-sebab terjadinya
gerakan itu. Pengamatan tersebut dapat menjelaskan semacam
keajekan bahwa setiap sekian ratus tahun terjadi patahan-patahan dari
lempeng-lempeng bumi tersebut. Pengetahuan ini dapat dijadikan
acuan prediksi, misalnya, jika terjadi patahan lempeng bumi di dasar
lautan maka akan menimbulkan gelombang laut yang sangat besar atau
yang lebih populer dengan sebutan tsunami.
C. Cara Kerja Ilmu Sosial-Humaniora.
Perkembangan ilmu sosial humaniora tidak sepesat perkembangan
ilmu alam. Hal ini dikarenakan objek kajian ilmu sosial-humaniora tidak
sekedar sebatas fisik dan material tetapi lebih dibalik yang fisik dan materi
yang bersifat lebih kompleks. Selain itu, dibandingkan dengan ilmu alam,
nilai manfaat ilmu sosial humaniora tidak dapat langsung dirasakan karena
harus berproses dalam wacana yang panjang dan memerlukan negosiasi,
kompromi, dan konsensus. Manusia membutuhkan ilmu sosial humaniora
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang tidak fisikal-material,
melainkan bersifat abstrak dan psikologis. Misalnya, penemuan konsep
keadilan membawa manusia untuk mengatur perilaku sosialnya atas dasar
konsep tersebut. Konsep kemanusiaan membawa manusia kepada sikap
tidak diskriminatif atas orang lain meskipun berbeda suku, agama, ras,
budaya, warna kulit. Sifat objek dan cara kerja ilmu sosial-humaniora
dapat dijelaskan dalam prinsip-prinsip seperti berikut:
1. Gejala Sosial-humaniora Bersifat Non-Fisik, Hidup dan Dinamis
Gejala-gejala yang diamati dalam ilmu sosial-humaniora
bersifat hidup dan bergerak secara dinamis. Objek studi ilmu sosial-
humaniora adalah manusia, terutama pada aspek inner world-nya. Ilmu
kedokteran menelaah manusia secara fisikal atau biologis, ilmu sosial
humaniora lebih menekankan pada sisi bagian ‘dalam’ manusia atau
apa yang ada ‘dibalik’ manusia secara fisik, seperti: mental life, mind-
affected world, inner-side atau geistige welt.
2. Objek Penelitian Tidak Dapat Berulang
Gejala-gejala sosial-humaniora memiliki keunikan- keunikan
dan kemungkinan bergerak dan berubahnya sangat besar, karena
mereka tidak stagnan dan tidak statis. Masalah sosial dan kemanusiaan
sering bersifat sangat spesifik dalam konteks historis tertentu. Kejadian
sosial yang dulu pernah terjadi dapat terulang dalam masa sekarang
atau nanti, tetapi secara keseluruhan tidak akan pernah persis sama.
Misalnya, hasil penelitian perilaku kerusuhan orang-orang di Papua
tahun 2005, dibandingkan penelitian ulang perilaku kerusuhan pada
Oktober 2011. Data yang diperoleh atau gejala-gejala sosial humaniora
yang dapat ditangkap meskipun dari informan yang sama tidak akan
pernah sama, karena sikap, emosi, dan pengetahuan informan
berkembang dan mungkin berubah sama sekali dan ditambah lagi
perubahan-perubahan konteks sosial budaya politik. Gejala-gejala
sosial-humaniora cenderung tidak dapat ditelaah secara berulang-
ulang, karena gejala-gejala tersebut bergerak seiring dengan dinamika
konteks historisnya. Dalam ilmu sosial-humaniora, objek yang ditelaah
atau gejala-gejala sosial-humaniora hanya dilukiskan keunikannya atau
bersifat idiographic. Ilmu sosial humaniora hanya memahami,
memaknai dan menafsirkan gejala-gejala sosial-humaniora, bukan
menemukan dan menerangkan secara pasti. Pemahaman, pemaknaan,
dan penafsiran ini lebih besar menghasilkan kesimpulan yang berbeda,
bahkan menghasilkan kesimpulan yang bertentangan.
3. Pengamatan Relatif Lebih Sulit & Kompleks.
Ilmuwan sosial-humaniora dalam mengamati gejala- gejala
sosial-humaniora akan merasa lebih sulit dan kompleks karena sifatnya
yang bergerak dan berubah. Ilmu sosial mengamati apa yang ada
dibalik penampakan fisik manusia dan bentuk-bentuk hubungan sosial
mereka. Dalam kehidupan sehari-hari kita sering melihat seseorang
tersenyum pada orang lain, tetapi makna senyum itu dalam ilmu sosial-
humaniora dapat bermakna banyak. Pertama, mungkin ia senang pada
orang yang dilihatnya. Kedua, mungkin ia tidak suka tetapi terpaksa
tersenyum karena tidak ingin kelihatan sebagai orang yang tidak baik
di mata orang-orang di sekitarnya. Ketiga, ia tersenyum karena orang
yang dilihatnya adalah lucu dan aneh.
Deobold Van Dalen (1911-1995) menambahkan bahwa
ilmuwan alam berkaitan dengan gejala fisik yang bersifat umum, dan
pengamatannya hanya meliputi variabel dalam jumlah yang relatif
kecil, sehingga mudah diukur secara tepat dan pasti. Ilmu sosial-
humaniora mempelajari manusia baik selaku perorangan maupun
selaku anggota dari suatu kelompok sosial yang menyebabkan
situasinya bertambah rumit, sehingga variabel dalam sosial-humaniora
relatif lebih banyak dan kompleks serta kadang-kadang
membingungkan. Kuntowijoyo (1943-2005) mengatakan bahwa
manusia memiliki free will dan kesadaran, karena itulah, ia bukan
benda yang ditentukan menurut hukum- hukum yang baku
sebagaimana benda-benda mati lainnya yang tidak memiliki kesadaran
apalagi kebebasan kehendak. Benda mati dapat dikontrol dan
dikendalikan secara pasti, tetapi manusia tidak dapat dikontrol dan
dikendalikan, tetapi dapat dikendalikan orang lain dan dapat juga
mengendalikan orang lain. Determinisme dalam aspek ekonomi,
lingkungan alam, lingkungan sosial, politik dan budaya hanya berharga
sebagai dependent variable, tetapi tidak pernah menjadi independent
variable. Pengamatan dalam ilmu humaniora jauh lebih kompleks,
karena subjek dan objek penelitiannya adalah mahluk yang sama-sama
sadar, yang tidak mudah menangkap dan ditangkap seperti semudah
menangkap realitas benda mati.
4. Subjek Peneliti juga sebagai Bagian Integral dari Objek yang
Diamati.
Subjek pengamat atau peneliti dalam ilmu sosial- humaniora
jelas jauh berbeda dengan ilmu alam. Dalam ilmu alam, subjek
pengamat dapat mengambil jarak dan fokus pada objektivitas yang
diamati. Dalam ilmu sosial-humaniora karena subjek yang mengamati
dan objek yang diamati adalah manusia yang memiliki motif dan
tujuan dalam setiap tingkah lakunya, maka subjek yang mengamati
atau peneliti tidak mungkin dapat mengambil jarak dari objek yang
diamati dan menerapkan prinsip objektivistik, dan lebih condong ke
prinsip subjektivistik. Subjek yang mengamati adalah manusia yang
juga memiliki kecenderungan nilai tertentu tentang hidup maka ia
menjadi bagian integral dari objek yang diamati. Dalam mengamati
gerak-gerik planet seorang ilmuwan alam tidak perlu berpusing- pusing
memikirkan motif dan tujuan dari planet itu, ia hanya perlu
menjelaskan apa yang dilihatnya, dan proses mengamati itu dapat
diulang-ulang dengan gerak planet yang masih tetap sama.
Dalam ilmu sosial-humaniora, peneliti yang mengamati
perilaku sosial masyarakat tertentu harus ‘membongkar’ motif dan
tujuan dari perbuatan yang dilakukan mereka. Dalam ‘membongkar’
ini, peneliti tidak dapat melepaskan kecenderungan-kecenderungan
nilai individu yang sedang dipeganginya. Objek sosial-humaniora yang
sama diamati oleh beberapa pengamat dapat dipastikan tidak akan
menghasilkan kesimpulan yang tunggal, tetapi cenderung beragam
dalam interpretasi-interpretasinya. Subjek pengamat sosial-humaniora
bukanlah sekedar sebagai spektator atas suatu kejadian sosial-
humaniora, melainkan terlibat baik secara emosional maupun rasional
dan merupakan bagian integral dari objek yang diamatinya. Manusia
dapat mengamati benda-benda fisik seperti gerak-gerik angin tanpa
terlibat secara pribadi, tetapi manusia tidak mungkin mengamati
manusia lain tanpa melibatkan minatnya, nilai-nilai hidupnya,
kegemarannya, motifnya, dan tujuan pengamatannya. Minat, nilai-nilai
hidup, kegemaran, motif, dan tujuan pengamatan manusia akan
mempengaruhi pertimbangan- pertimbangan dalam mempelajari gejala
sosial-humaniora.
Dilthey mengatakan bahwa ilmu alam menggunakan Erklären
(penjelasan), sedang pengamatan dalam ilmu sosial-humaniora
memakai Verstehen (pemahaman). Verstehen atau memaknai
memegang prinsip mengungkapkan makna dan tidak sekedar
menjelaskan. Di dalamnya terkandung prinsip bahwa pengalaman dan
pemahaman teoritis tidak terpisahkan dan justru dipadukan.
Pengalaman dan struktur-struktur simbolis yang dihasilkan dalam
dunia kehidupan sosial-humaniora itu tidak tampak ‘dari luar’ seperti
data alamiah yang diobservasi oleh ilmu alam, melainkan harus dilibati
‘dari dalam’ diri subjek sosial-humaniora. Apa yang ingin diketahui
bukan hanya kausalitas, melainkan pengertian dan makna.
Verstehen mempunyai prinsip menemukan dan memahami
makna di dalamnya yang dapat dilakukan dengan menempatkannya
dalam konteks. Pemikiran orang lain dapat dipahami dengan berempati
masuk dalam personalitas dan relung-relung bagian terdalam yang
diamati, tanpa melibatkan sedikitpun bagian terdalam subjek yang
mengamati. Dalam verstehen hal tersebut belum tentu benar karena
terdorong oleh prinsip objektivistik. Dalam mengungkapkan pengertian
dan makna, tetap bahwa relung-relung bagian terdalam subjek
penelitian tetap tidak dapat sepenuhnya dilepaskan seperti yang
dipegangi dalam hermeneutika Heidegger dan Gadamer.

5. Memiliki Daya Prediktif yang Relatif Lebih Sulit dan tidak


Terkontrol.
Teori sosial-humaniora tidak mudah untuk memprediksi
kejadian sosial-humaniora berikutnya (yang akan terjadi). Hal ini
dikarenakan dalam ilmu sosial-humaniora, pola perilaku individu atau
kelompok yang sama belum tentu akan mengakibatkan kejadian yang
sama pada saat yang berbeda. Hal ini tidak berarti hasil temuan dalam
ilmu sosial tidak dapat dipakai sama sekali untuk meramalkan
kejadian-kejadian sosial lain. Hal ini akan mengakibatkan teori sosial
dapat dipakai dalam waktu dan tempat yang berlainan, tetapi tidak
sepasti dan semudah dalam ilmu alam.
D. Cara Kerja Ilmu Keagamaan dan Keislaman
Ilmu keagamaan adalah suatu disiplin ilmu yang penting dalam
kehidupan manusia. Ilmu ini berkembang sejak manusia dihadapkan pada
kekuatan-kekuatan adikodrati. Mereka membangun ritual keagamaan
sebagai symbol pemahaman tentang hidup dan realitas hubungan manusia
dengan alam dan kekuatan adikodrati. Dalam agama-agama besar dunia
seperti: Islam, Kristen, Katholik, Yahudi, Hindu, dan Budha, terdapat
pengetahuan tentang Tuhan, alam semesta, kehidupan di akherat,
hubungan sosial manusia, pengobatan, kejiwaan, lingkungan hidup, dan
lain sebagainya. Dalam pengetahuan tersebut dapat ditemukan teori-teori.
Misalnya, teori tentang hakekat manusia, teori tentang hubungan manusia,
teori tentang masyarakat yang baik, teori tentang nilai, teori tentang asal-
usul alam semesta, teori tentang konservasi lingkungan, dan lain
sebagainya. Ilmu agama memiliki ciri ilmiah, yang khas dibandingkan
ilmu alam dan sosial-humaniora. Ciri-ciri ilmu keagamaan antara lain ialah
sebagai berikut:
1. Gejala Keagamaan sebagai Ekspresi Keimanan dan
Pemahaman Teks Suci
Gejala keagamaan jelas tampak pada perilaku-perilaku
keagamaan baik individu maupun kelompok yang beragama, juga
tampak pada karya seni dan budaya. Gejala keagamaan merupakan
sesuatu yang bergerak, tidak statis, jadi lebih dekat dengan gejala
sosial-humaniora. Gejala keagamaan ini mengindikasikan suatu
dinamika keimanan sebagai hasil dari pengalaman dan pemahaman
atas teks-teks suci keagamaan yang diyakini. Hal yang tidak ada dalam
gejala sosial-humaniora adalah aspek ekspresi keimanan religius ini.
Dalam ilmu keagamaan, gejala keagamaan selalu dan pasti merupakan
ekspresi dari keimanan dan pemahaman keagamaan. Objek kajian ilmu
keagamaan adalah manusia yang beragama dan lebih fokus pada inner
world-nya, yakni aspek keimanan teologisnya. Contoh, paham
ketuhanan dan implikasi pada perilaku sosial-kemanusiaannya, dan
pemahaman keagamaan yang dibangun oleh manusia beragama. Ilmu
agama memandang manusia pada aspek religiusitasnya.
2. Objek Penelitian Unik dan Tidak Dapat Diulang
Objek penelitian keagamaan unik karena menyangkut
keyakinan beragama. Dalam ilmu keagamaan, keyakinan agama
dijadikan sumber pengamatan mengapa muncul perilaku sosial orang
yang beragama. Hal ini berarti bahwa teks-teks suci keagamaan yang
diyakini orang beragama termasuk objek penelitian ilmu keagamaan.
Objek penelitian ilmu keagamaan bersifat tidak dapat diulang-ulang,
karena kejadian keagamaan sebagaimana tercermin dalam perilaku
keagamaan orang beragama atau masyarakat beragama pada kurun
waktu dan tempat tertentu tidak mungkin dapat direkonstruksi orang
sesudahnya seperti kejadian pada masa awalnya. Pada dasarnya hal ini
seperti gejala yang ada pada ilmu sosial-humaniora.
3. Pengamatan Sulit dan Kompleks dengan Interpretasi teks-teks
Suci Keagamaan
Pengamatan dalam ilmu sosial-humaniora, sulit dan kompleks,
karena melihat dan memaknai apa yang ada di balik kegiatan dan
perilaku fisik dan empiris manusia beragama. Kegiatan dan perilaku
fisik dan empiris manusia beragama adalah bentuk ekspresif dari
keimanan mereka pada Tuhan sebagai hasil pemahaman mereka
terhadap teks-teks suci yang diyakini. Pengamatan dalam ilmu
keagamaan juga harus ‘menyelami’ dan menginterpratasikan item-item
dalam teks-teks Suci terkait dengan fenomena kegiatan dan perilaku
manusia beragama yang dapat ditangkap. Perilaku-perilaku kegamaan
ketika diamati jelas bermuatan multi-interpretasi baik terhadap gejala-
gejala yang ditangkap maupun dari segi penafsiran teks- teks sucinya.
4. Subjek Pengamat (Peneliti) sebagai Bagian Integral dari Objek
yang Diamati
Pengamat atau peneliti dalam ilmu keagamaan tidak dapat
dilepaskan dan merupakan bagian integral dari objek yang diamati,
yaitu perilaku sosial manusia beragama atau aktivitas- aktivitas
keagamaan. Dalam mengkaji teks-teks suci keagamaan atau teks-teks
keagamaan hasil interpretasi atas teks-teks suci, seorang pengamat
pasti terlibat secara emosional dan rasional dalam memahami dan
menyimpulkan makna mereka.
5. Memiliki Daya Prediktif yang Relatif Lebih Sulit dan Tak
Terkontrol
Suatu teori sebagai hasil pengamatan terhadap aktivitas-
aktivitas keagamaan tidak mudah meramal aktivitas- aktivitas
keagamaan lainnya yang akan terjadi. Hal ini karena pola-pola perilaku
keagamaan yang sama belum tentu akan mengakibatkan kejadian-
kejadian berikutnya yang sama. Dalam ilmu keagamaan, hasil temuan
dapat dipakai untuk meramalkan kejadian-kejadian yang bersifat
religius lain (sebagai akibatnya) dalam waktu dan tempat yang
berlainan, tetapi tidak sepasti dan semudah ilmu alam. Dalam ilmu
keagamaan, wajib mempertimbangkan keragaman pemahaman orang-
orang beragama terhadap ajaran agama mereka, hal ini menambah
daya prediktif ilmu agama semakin sulit untuk dipastikan.
Ilmu keislaman bersumber pada teks-teks suci, yakni al-
Qur’an, Hadis Nabi, dan sumber penalaran rasional dan pengalaman
empiris keislaman. Keterkaitan sumber-sumber studi Islam tersebut
telah melahirkan banyak disiplin ilmu dalam Islam, seperti Studi al-
Qur’an dan Studi Hadis, Tafsir al-Qur’an dan Teori Pemahaman Hadis,
fiqh dan ushul fiqh, ilmu kalam, tasawuf, ilmu ahlaq atau etika dalam
Islam, politik Islam, ekonomi Islam, sosiologi Islam, antropologi Islam
dan seterusnya mengikuti perkembangan ilmu. Prinsip kerja ilmu
keislaman mengikuti sebagaimana cara kerja ilmu keagamaan, yakni
mempertimbangkan gejala-gejala keIslaman yang tercermin dalam
karya-karya keislaman dan perilaku dan aktivitas keagamaan Islam
dari para penganutnya dengan disertai dengan penginterpretasian ayat-
ayat al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi, karena karya dan aktivitas
tersebut selalu merupakan ekspresi keberagaman Islam.
Dalam studi Islam terkandung persoalan bagaimana Islam
memahami dan memegangi realitas kehidupan dengan berbagai
ragamnya. Maksudnya hubungan antara manusia, alam dan Tuhan
melahirkan berbagai realitas yang semakin beragam, yaitu sosial,
politik, budaya, pendidikan, hukum, hak asasi manusia, ekologi,
spiritualitas, dan lain sebagainya. Persoalannya adalah bagaimana
sesungguhnya pandangan dunia Islam tentang kehidupan ini secara
umum. Jawaban persoalan di atas bukan hanya dengan fiqh saja,
dengan tafsir al-Qur’an saja, dengan tasawuf saja, dengan ilmu kalam
saja, dengan politik Islam saja, dan seterusnya, melainkan dengan
semua disiplin ilmu keislaman yang telah ada dan dimungkinkan akan
ada. Hal ini berarti bahwa harus ada interkoneksi dan interkomunikasi
antar disiplin-disiplin keilmuan Islam.
Integrasi- interkoneksi dalam studi Islam harus terjadi dari dua
sisi, yaitu sisi internal (tafsir, fiqh, tasawuf, ilmu kalam, filsafat Islam,
dan sebagainya), dan sisi eksternal (ilmu Islam dengan ilmu alam dan
ilmu sosial-humaniora). Contohnya ketika harus menjelaskan
bagaimana pandangan Islam tentang masyarakat ideal dan sehat, maka
perlu dijelaskan dari berbagai sudut pandang. Sisi normatifnya
diinterpretasikan secara multi disiplin dengan melibatkan berbagai
pendekatan baik psikologi, hukum, HAM, sosiologi, filosofis,
ekonomi, pendidikan, budaya, civic values atau nilai-nilai keadaban,
kebersamaan, ekologi, dan sebagainya. Keilmuan Islam yang
interkonektif dan interkomunikatif mengakui bahwa suatu realitas
selalu melibatkan berbagai dimensi kehidupan manusia dan secara
komprehensif tentu saja melibatkan berbagai perspektif.
Dalam keilmuan Islam yang Integrasi- interkoneksi menolak
suatu pandangan dunia hitam putih dan tidak ada wilayah “abu-abu”,
menolak dikhotomi ilmu agama dan ilmu umum, dan menolak
perlombaan antar disiplin ilmu yang memperlihatkan disiplin ilmu
mana yang lebih superior dari disiplin-disiplin ilmu lainnya. Penolakan
ini menunjukkan adanya suatu dukungan bahwa masing-masing
disiplin ilmu mempunyai suatu kelebihan dan semua disiplin ilmu
memiliki nilai kontribusi yang spesifik terhadap suatu realitas.

Rajutan Integrasi- interkoneksi dalam studi Islam terangkum dalam


istilah yang dipopulerkan Amin Abdullah dengan “jaring laba-laba
keilmuan Islam”. Penjelasan yang pertama bahwa al-Qur’an dan Hadis
adalah sumber normatif Islam. Kedua, fokusnya adalah berbagai
pendekatan dan metode. Ketiga, lahirnya ilmu tradisional Islam, seperti
tafsir, hadis, kalam, fiqh, tasawuf, lughah, tarikh, dan falsafah. Keempat,
ilmu keislaman menggunakan persfektif ilmu alam dan sosial- humaniora,
seperti sejarah, filsafat, psikologi, sosiologi, antropologi, arkeologi,
filologi dan seterusnya. Ilmu keislaman juga menginspirasi dan
memperkaya pengembangan ilmu alam dan sosial-humaniora. Integrasi-
interkoneksi antar disiplin ilmu akan mendinamisir ilmu baru.
Pengembangan keilmuan Islam Integrasi- interkoneksi tersebut harus
menyentuh ilmu alam dan sosial-humaniora, yakni isu-isu actual
dankekinian seperti pluralism agama, hukum internasional, demokrasi,
etika lingkungan, gender, hak asasi manusia, dan seterusnya.
Pengembangan studi Islam model jaring laba-laba berpijak pada tiga
hadharah, yakni hadharah al-nash, hadharah falsafah, dan hadharah
al-‘ilm. Pemaknaan interpretatif atas nash, al- Qur’an dan Hadis, tidak
meninggalkan the wholeness of reality, dan tidak mengabaikan perspektif
keilmuan dari berbagai disiplin ilmu yang berkembang dan yang
dimungkinkan akan ada. Ilmu keislaman dikembangkan dalam model
interconnected entities, yaitu saling hubungan antar ketiganya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai