Makalah ini Disusun Guna Untuk Melengkapi Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Disusun Oleh:
2022
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT karena atas izin,
rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul "Cara
Kerja Ilmu Alam, Ilmu Sosial-Humaniora dan Ilmu Agama". Makalah ini disusun
dengan tujuan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Filsafat Ilmu pada semester
ini. Melalui makalah ini, kami berharap agar kami serta pembaca mampu
mengetahui dan memahami materi yang telah disampaikan.
Demikian makalah ini kami buat dengan segala kelebihan dan kekurangan.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun demi perbaikan makalah ini
sangat kami harapkan. Semoga makalah ini dapat memberi manfaat dan
pengetahan bagi pembaca. Terima kasih.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................
DAFTAR ISI...................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................
A. Latar Belakang..........................................................................................
B. Rumusan Masalah....................................................................................
C. Tujuan penulisan .....................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................
A. CARA KERJA ILMU..............................................................................
B. CARA KERJA ILMU ALAM.................................................................
C. CARA KERJA ILMU SOSIAL-HUMANIORA...................................
D. CARA KERJA ILMU AGAMA..............................................................
A. KESIMPULAN.........................................................................................
B. SARAN.......................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu-ilmu sosial adalah ilmu yang mempelajari manusia dalam
hubungannya dengan manusia-manusia lainnya. Selain itu, dapat juga
diartikan sebagai ilmu yang mempelajari perilaku dan aktivitas sosial dalam
kehidupan bersama. Jadi yang dimaksud ilmu-ilmu sosial (social sciences)
adalah kelompok disiplin ilmu yang mempelajari aktivitas manusia dalam
hubungannya dengan sesamanya. Dalam hubungan antara manusia yang satu
dengan manusia yang lain, sangat dibutuhkan ilmu sosial humaniora, karena di
dalamnya terdapat bagaimana cara berhubungan antara sesama manusia,
sehingga dengan ilmu tersebut manusia akan dapat menjalin hubungan dengan
manusia yang lainnya dengan menjalin hubungan yang baik.
Suatu masalah tidak dapat didekati dari satu sudut pandang saja, tetapi
harus dilihat/dipecahkan dari berbagai sudut pandang. Misalnya, masalah
bom, tidak mungkin hanya dipahami dan dipecahkan dari sisi pelaku bom,
tetapi juga dilihat dari lingkungan sosial, ekonomi, politik, budaya,
keagamaan yang di bom. Hal ini berarti suatu disiplin ilmu tidak dapat lagi
bekerja sendirian dalam memecahkan masalah, sebaliknya disiplin ilmu
membutuhkan bantuan dari disiplin- disiplin ilmu lainnya.
Permasalahannya adalah para ilmuwan dan akademisi saat ini mulai
mengkritisi adanya dikhotomi ilmu. Kritik-kritik itu mengarah pada gagasan
interkoneksi dan integrasi antar disiplin-disiplin ilmu. Di Barat mulai ada yang
menyadari perlunya meninjau ulang pengembangan ilmu yang terpisah dari
nilai-nilai agama. Agama dipandang sangat arif dalam memperlakukan alam,
sehingga perlu dijadikan sebagai dasar nilai pengembangan ilmu. Ilmu yang
meninggalkan agama dapat mengeksploitasi alam, sehingga terjadi kerusakan
ekologis.
Perkembangan ilmu selalu mengiringi tingkat kebutuhan manusia dari
yang bersifat material, teknis, kemanusiaan, kemasyarakatan, sampai yang
bersifat spiritual dan religius. Keberagaman kebutuhan hidup manusia
menyebabkan berkembangnya berbagai disiplin ilmu, yakni ilmu alam,
ilmu sosial humaniora, dan ilmu agama. Jenis ilmu alam, seperti fisika,
biologi, kimia, matematika, geologi, geografi dan lain sebagainya lahir
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisik, material, dan mekanisme
teknis dari manusia terhadap alam. Ilmu sosial humaniora seperti filsafat,
sejarah, sosiologi, antropologi dan psikologi. Ilmu sosial lahir untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar manusia yang lebih bersifat non-
material dan bermuatan nilai, baik kepribadian maupun hubungan-
hubungan social, karena menyangkut makna hidup, hubungan antar sesama
manusia. Ilmu agama berkembang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
moral dan spiritual- religius manusia.
B. Cara Kerja Ilmu Alam
Pada masa Yunani kuno, sebelum filsafat muncul sebagai tradisi
keilmuwan baru, ilmu fisika, matematika, kimia, dan astronomi telah lama
menjadi perbincangan di antara pecinta ilmu. Ilmu mempunyai manfaat
langsung bagi manusia, karena mudah diamati dan diukur, dan secara
praktis manfaatnya dapat dirasakan. Misalnya teleskop, penemuan sepeda,
pengukur suhu, telepon, stetoskop, dan lain sebagainya. Ilmu alam yang
sifatnya fisikal dan material sangat penting bagi hidup manusia, terutama
untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan material dan praktis manusia.
Berikut ialah cara kerja ilmu alam:
1. Gejala Alam Bersifat Fisik-Statis
Ilmu alam berhubungan dengan gejala-gejala alam yang
sifatnya fisik, teramati dan terukur. Gejala-gejala alam memiliki sifat
statis atau tetap dari waktu ke waktu. Makna statis karena jumlah
variabel dari gejala alam sebagai objek yang diamati juga relatif lebih
sederhana dan sedikit. Misalnya, ketika ahli ilmu alam ingin
menjelaskan suatu eksplosi kimiawi, dia hanya perlu mempelajari sifat-
sifat bahan kimiawi yang mudah meledak dan mudah diamati. Jadi
faktornya sederhana untuk dapat menjelaskan eksplosi kimiawi.
2. Objek Penelitian dapat Berulang
Sifat gejala alam adalah fisikal dan statis, berarti bahwa objek
penelitian dalam ilmu tidak mengalami perubahan atau tetap. Sifat
fisikal- statis ini menunjukkan bahwa objek penelitan dalam ilmu alam
dapat diamati secara berulang-ulang oleh peneliti atau pengamat. Saat
ini manusia dapat meneliti ulang proses penemuan gravitasi oleh Isaac
Newton ( 1643-1727 ), dengan gejala alam yang sama seperti dialami
oleh Newton. Hal ini dapat terjadi karena sifat-sifat gejala alam adalah
seragam dan dapat diamati kapanpun. Contoh, seseorang yang
mengamati benda jatuh menuju bumi, variabel-variabel yang dipakai
dalam eksperimen untuk menguji penemuan gravitasi adalah sama,
baik ketika zaman Newton (abad ke-17) maupun abad ke-21 saat ini.
3. Pengamatan Relatif Lebih Mudah & Simpel
Pengamatan dalam ilmu alam lebih mudah karena dapat
dilakukan secara langsung dan dapat diulang kapanpun. Misal, untuk
mengetahui melelehnya sebuah besi, ahli-ahli ilmu alam pada zaman
dulu mempelajari sifat-sifat dari besi yang dapat leleh oleh panas
dalam suhu panas tertentu. Para ahli ilmu alam saat ini akan melakukan
hal yang sama seperti yang telah dilakukan para ahli ilmu alam
terdahulu, yaitu dapat mengubah bentuk besi yang semula persegi
menjadi segitiga atau bulat.
Kata “mengamati” dalam ilmu alam tentu lebih luas dari
sekedar interaksi langsung dengan pancaindra manusia, yang lingkup
kemampuannya sangat terbatas. Keterbatasan ini dapat diatasi manusia
dengan menggunakan alat-alat bantu seperti mikroskop, teleskop, alat
perekam gelombang dan lain sebagainya. Bila seseorang ingin
menyatakan bahwa ia mendapatkan suatu gejala alam baru yang belum
terdaftar dalam perbendaharaan ilmu alam, maka ia perlu memberikan
informasi tentang lingkungan, peralatan serta cara pengamatan yang
digunakan, sehingga memungkinkan orang lain mengamati kembali
jika ingin mengujinya. Dalam ilmu alam, pengamatan bersifat
reproducible atau dapat diulang-ulang, tetapi hasilnya kemungkinan
akan berbeda, tergantung cara pengamatan yang dipakai.
4. Subjek (peneliti) hanya sebagai Penonton
Prinsip pengamatan/penelitian dalam ilmu alam adalah objektif,
artinya kebenarannya disimpulkan berdasarkan objek yang diamati.
Pengamat/peneliti tidak terlibat atau tidak berpengaruh terhadap objek
yang ditelitinya. Henry Margenau (1901-1997) berpandangan bahwa
prinsip objektif ini menempatkan posisi ilmuwan alam lebih sebagai
the cosmic spectator daripada the cosmic spectacle. Ilmuwan alam
adalah penonton alam, ia hanya mengamati alam dan kemudian
memperlihatkan kepada orang lain hasil pengamatannya, dimana ia
tidak melibatkan kesubjektivitasnya, tetapi sekedar menunjukkan hasil
tontonannya. Henry Margenau mengingatkan bahwa the cosmic
spectator hanyalah perwujudan dari sisi dominannya saja atas konflik
klasik hubungan antara subjek dan objek, antara the world dan its
knower, dan lebih dari itu bukan berarti tidak ada intervensi subjek
sama sekali. Sisi dominan pengamatan dalam ilmu alam adalah lebih
sebagai ‘penonton’, maka tujuan aktivitas pengamatan hanya
menjelaskan objeknya menurut penyebabnya, yang dalam istilah
Wilhelm Dilthey (1833-1911) disebut erklären. Dalam erklären ini,
pengalaman dan teori dapat dipisahkan, artinya ada suatu jarak atau
distansi antara pengamat dan yang diamati. Pengamat tidak terlibat
dalam objek yang diamati, tugasnya hanya menjelaskan hasil
pengamatannya.
5. Memiliki Daya Prediktif yang Relative Mudah Dikontrol
Ilmu alam lebih menarik diteliti bukan hanya karena gejala
alam membangun berbagai teori, tetapi karena gejala-gejala alam yang
diketahui dan dirumuskan dalam teori-teori itu dapat digunakan untuk
memprediksikan kejadian-kejadian yang dimungkinkan akan timbul
dari gejala-gejala tersebut. Misalnya dari pengalaman hidupnya,
manusia mempelajari tekstur lempengan-lempengan dalam bumi,
termasuk gerak-gerak dan karakternya serta sebab-sebab terjadinya
gerakan itu. Pengamatan tersebut dapat menjelaskan semacam
keajekan bahwa setiap sekian ratus tahun terjadi patahan-patahan dari
lempeng-lempeng bumi tersebut. Pengetahuan ini dapat dijadikan
acuan prediksi, misalnya, jika terjadi patahan lempeng bumi di dasar
lautan maka akan menimbulkan gelombang laut yang sangat besar atau
yang lebih populer dengan sebutan tsunami.
C. Cara Kerja Ilmu Sosial-Humaniora.
Perkembangan ilmu sosial humaniora tidak sepesat perkembangan
ilmu alam. Hal ini dikarenakan objek kajian ilmu sosial-humaniora tidak
sekedar sebatas fisik dan material tetapi lebih dibalik yang fisik dan materi
yang bersifat lebih kompleks. Selain itu, dibandingkan dengan ilmu alam,
nilai manfaat ilmu sosial humaniora tidak dapat langsung dirasakan karena
harus berproses dalam wacana yang panjang dan memerlukan negosiasi,
kompromi, dan konsensus. Manusia membutuhkan ilmu sosial humaniora
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang tidak fisikal-material,
melainkan bersifat abstrak dan psikologis. Misalnya, penemuan konsep
keadilan membawa manusia untuk mengatur perilaku sosialnya atas dasar
konsep tersebut. Konsep kemanusiaan membawa manusia kepada sikap
tidak diskriminatif atas orang lain meskipun berbeda suku, agama, ras,
budaya, warna kulit. Sifat objek dan cara kerja ilmu sosial-humaniora
dapat dijelaskan dalam prinsip-prinsip seperti berikut:
1. Gejala Sosial-humaniora Bersifat Non-Fisik, Hidup dan Dinamis
Gejala-gejala yang diamati dalam ilmu sosial-humaniora
bersifat hidup dan bergerak secara dinamis. Objek studi ilmu sosial-
humaniora adalah manusia, terutama pada aspek inner world-nya. Ilmu
kedokteran menelaah manusia secara fisikal atau biologis, ilmu sosial
humaniora lebih menekankan pada sisi bagian ‘dalam’ manusia atau
apa yang ada ‘dibalik’ manusia secara fisik, seperti: mental life, mind-
affected world, inner-side atau geistige welt.
2. Objek Penelitian Tidak Dapat Berulang
Gejala-gejala sosial-humaniora memiliki keunikan- keunikan
dan kemungkinan bergerak dan berubahnya sangat besar, karena
mereka tidak stagnan dan tidak statis. Masalah sosial dan kemanusiaan
sering bersifat sangat spesifik dalam konteks historis tertentu. Kejadian
sosial yang dulu pernah terjadi dapat terulang dalam masa sekarang
atau nanti, tetapi secara keseluruhan tidak akan pernah persis sama.
Misalnya, hasil penelitian perilaku kerusuhan orang-orang di Papua
tahun 2005, dibandingkan penelitian ulang perilaku kerusuhan pada
Oktober 2011. Data yang diperoleh atau gejala-gejala sosial humaniora
yang dapat ditangkap meskipun dari informan yang sama tidak akan
pernah sama, karena sikap, emosi, dan pengetahuan informan
berkembang dan mungkin berubah sama sekali dan ditambah lagi
perubahan-perubahan konteks sosial budaya politik. Gejala-gejala
sosial-humaniora cenderung tidak dapat ditelaah secara berulang-
ulang, karena gejala-gejala tersebut bergerak seiring dengan dinamika
konteks historisnya. Dalam ilmu sosial-humaniora, objek yang ditelaah
atau gejala-gejala sosial-humaniora hanya dilukiskan keunikannya atau
bersifat idiographic. Ilmu sosial humaniora hanya memahami,
memaknai dan menafsirkan gejala-gejala sosial-humaniora, bukan
menemukan dan menerangkan secara pasti. Pemahaman, pemaknaan,
dan penafsiran ini lebih besar menghasilkan kesimpulan yang berbeda,
bahkan menghasilkan kesimpulan yang bertentangan.
3. Pengamatan Relatif Lebih Sulit & Kompleks.
Ilmuwan sosial-humaniora dalam mengamati gejala- gejala
sosial-humaniora akan merasa lebih sulit dan kompleks karena sifatnya
yang bergerak dan berubah. Ilmu sosial mengamati apa yang ada
dibalik penampakan fisik manusia dan bentuk-bentuk hubungan sosial
mereka. Dalam kehidupan sehari-hari kita sering melihat seseorang
tersenyum pada orang lain, tetapi makna senyum itu dalam ilmu sosial-
humaniora dapat bermakna banyak. Pertama, mungkin ia senang pada
orang yang dilihatnya. Kedua, mungkin ia tidak suka tetapi terpaksa
tersenyum karena tidak ingin kelihatan sebagai orang yang tidak baik
di mata orang-orang di sekitarnya. Ketiga, ia tersenyum karena orang
yang dilihatnya adalah lucu dan aneh.
Deobold Van Dalen (1911-1995) menambahkan bahwa
ilmuwan alam berkaitan dengan gejala fisik yang bersifat umum, dan
pengamatannya hanya meliputi variabel dalam jumlah yang relatif
kecil, sehingga mudah diukur secara tepat dan pasti. Ilmu sosial-
humaniora mempelajari manusia baik selaku perorangan maupun
selaku anggota dari suatu kelompok sosial yang menyebabkan
situasinya bertambah rumit, sehingga variabel dalam sosial-humaniora
relatif lebih banyak dan kompleks serta kadang-kadang
membingungkan. Kuntowijoyo (1943-2005) mengatakan bahwa
manusia memiliki free will dan kesadaran, karena itulah, ia bukan
benda yang ditentukan menurut hukum- hukum yang baku
sebagaimana benda-benda mati lainnya yang tidak memiliki kesadaran
apalagi kebebasan kehendak. Benda mati dapat dikontrol dan
dikendalikan secara pasti, tetapi manusia tidak dapat dikontrol dan
dikendalikan, tetapi dapat dikendalikan orang lain dan dapat juga
mengendalikan orang lain. Determinisme dalam aspek ekonomi,
lingkungan alam, lingkungan sosial, politik dan budaya hanya berharga
sebagai dependent variable, tetapi tidak pernah menjadi independent
variable. Pengamatan dalam ilmu humaniora jauh lebih kompleks,
karena subjek dan objek penelitiannya adalah mahluk yang sama-sama
sadar, yang tidak mudah menangkap dan ditangkap seperti semudah
menangkap realitas benda mati.
4. Subjek Peneliti juga sebagai Bagian Integral dari Objek yang
Diamati.
Subjek pengamat atau peneliti dalam ilmu sosial- humaniora
jelas jauh berbeda dengan ilmu alam. Dalam ilmu alam, subjek
pengamat dapat mengambil jarak dan fokus pada objektivitas yang
diamati. Dalam ilmu sosial-humaniora karena subjek yang mengamati
dan objek yang diamati adalah manusia yang memiliki motif dan
tujuan dalam setiap tingkah lakunya, maka subjek yang mengamati
atau peneliti tidak mungkin dapat mengambil jarak dari objek yang
diamati dan menerapkan prinsip objektivistik, dan lebih condong ke
prinsip subjektivistik. Subjek yang mengamati adalah manusia yang
juga memiliki kecenderungan nilai tertentu tentang hidup maka ia
menjadi bagian integral dari objek yang diamati. Dalam mengamati
gerak-gerik planet seorang ilmuwan alam tidak perlu berpusing- pusing
memikirkan motif dan tujuan dari planet itu, ia hanya perlu
menjelaskan apa yang dilihatnya, dan proses mengamati itu dapat
diulang-ulang dengan gerak planet yang masih tetap sama.
Dalam ilmu sosial-humaniora, peneliti yang mengamati
perilaku sosial masyarakat tertentu harus ‘membongkar’ motif dan
tujuan dari perbuatan yang dilakukan mereka. Dalam ‘membongkar’
ini, peneliti tidak dapat melepaskan kecenderungan-kecenderungan
nilai individu yang sedang dipeganginya. Objek sosial-humaniora yang
sama diamati oleh beberapa pengamat dapat dipastikan tidak akan
menghasilkan kesimpulan yang tunggal, tetapi cenderung beragam
dalam interpretasi-interpretasinya. Subjek pengamat sosial-humaniora
bukanlah sekedar sebagai spektator atas suatu kejadian sosial-
humaniora, melainkan terlibat baik secara emosional maupun rasional
dan merupakan bagian integral dari objek yang diamatinya. Manusia
dapat mengamati benda-benda fisik seperti gerak-gerik angin tanpa
terlibat secara pribadi, tetapi manusia tidak mungkin mengamati
manusia lain tanpa melibatkan minatnya, nilai-nilai hidupnya,
kegemarannya, motifnya, dan tujuan pengamatannya. Minat, nilai-nilai
hidup, kegemaran, motif, dan tujuan pengamatan manusia akan
mempengaruhi pertimbangan- pertimbangan dalam mempelajari gejala
sosial-humaniora.
Dilthey mengatakan bahwa ilmu alam menggunakan Erklären
(penjelasan), sedang pengamatan dalam ilmu sosial-humaniora
memakai Verstehen (pemahaman). Verstehen atau memaknai
memegang prinsip mengungkapkan makna dan tidak sekedar
menjelaskan. Di dalamnya terkandung prinsip bahwa pengalaman dan
pemahaman teoritis tidak terpisahkan dan justru dipadukan.
Pengalaman dan struktur-struktur simbolis yang dihasilkan dalam
dunia kehidupan sosial-humaniora itu tidak tampak ‘dari luar’ seperti
data alamiah yang diobservasi oleh ilmu alam, melainkan harus dilibati
‘dari dalam’ diri subjek sosial-humaniora. Apa yang ingin diketahui
bukan hanya kausalitas, melainkan pengertian dan makna.
Verstehen mempunyai prinsip menemukan dan memahami
makna di dalamnya yang dapat dilakukan dengan menempatkannya
dalam konteks. Pemikiran orang lain dapat dipahami dengan berempati
masuk dalam personalitas dan relung-relung bagian terdalam yang
diamati, tanpa melibatkan sedikitpun bagian terdalam subjek yang
mengamati. Dalam verstehen hal tersebut belum tentu benar karena
terdorong oleh prinsip objektivistik. Dalam mengungkapkan pengertian
dan makna, tetap bahwa relung-relung bagian terdalam subjek
penelitian tetap tidak dapat sepenuhnya dilepaskan seperti yang
dipegangi dalam hermeneutika Heidegger dan Gadamer.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA