Anda di halaman 1dari 17

i

RELASI SAINS DAN AGAMA

MAKALAH

Diajukan Untuk Mememuhi Salah Satu Tugas


Mata Kuliah Islam dan Ilmu Pengetahuan

Oleh:

Kelompok 1 :
SAHIDUL ANAM (NIM/NIRM: 1925.0059/0705.1901053)
AGUS TIO BAKTI (NIM/NIRM: 1925.0003/0705.1901.003)
ERIK PALINTINO (NIM/NIRM: 1925.0025/0705.1901013)
HERU HIDAYAT (NIM/NIRM: 1925.0020/0705.1901020)

PROGAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
BUMI SILAMPARI LUBUK LINGGAU
TAHUN AJARAN 2020 M

i
ii

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayah-
Nya kepada kita semua, terutama nikmat kesempatan dan kesehatan. Sholawat
serta salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang diutus
sebagai rahmat bagi seluruh alam, beserta keluarga dan para sahabatnya, serta
para pengikutnya yang setia sampai hari kiamat nanti. Makalah ini penulis buat
untuk menyelesaikan tugas makalah dengan judul Relasi Sains dan Agama.
Semoga makalah ini memberi banyak manfaat dan memperluas ilmu
pengetahuan kita semua. Hanya kepada Allah penulis mohon ampun dan kepada
Nabi Muhammad SAW, semoga kita diberi syafa’at di hari kiamat nanti. Amiin..

Lubuklinggau, 10 Maret 2020


Penulis

ii
iii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i

KATA PENGANTAR .................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................... iii

ABSTRAK ...................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ........................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ...................................................................... 2
C. Tujuan Masalah ......................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Sains ........................................................................ 3

B. Pengertian Agama ...................................................................... 3

C. Hubungan Sains dan Agama ...................................................... 4

D. Pandangan Islam Tehadap Sains ................................................ 8

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................ 12

B. Saran .......................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA

iii
iv

ABSTRAK

Relasi antara sains dengan agama dewasa ini harus disesuaikan serta disejajarkan
karena kehidupan sosial menjadikan dirinya memiliki kemampuan
mengaplikasikan apa yang harus dilakukan dalam setiap aspek kehidupan. Sains
dan agama ditafsirkan sebagai dua bahasa yang tidak saling berkaitan karena
fungsi masing-masing berbeda. Sains merupakan kebutuhan pokok bagi setiap
individu untuk menghadapi zaman yang erat dengan persaingan ini, tak terkecuali
kaum muslimin. Karena dengan sains, seseorang bisa dihormati dan diakui
keberadaannya oleh masyarakat. Selain itu, sains juga menjadi salah satu indikator
kemajuan suatu bangsa, karena pada dasarnya semua bidang kehidupan
memerlukan sains.

Kata Kunci: Relasi, Sains, dan Agama

iv
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sains merupakan kebutuhan pokok bagi setiap individu untuk
menghadapi zaman yang erat dengan persaingan ini, tak terkecuali kaum
muslimin. Karena dengan sains, seseorang bisa dihormati dan diakui
keberadaannya oleh masyarakat. Selain itu, sains juga menjadi salah satu
indikator kemajuan suatu bangsa, karena pada dasarnya semua bidang
kehidupan memerlukan sains.
Isu hubungan agama dan sains tidak selalu diisi dengan
pertentangan dan ketidaksesuaian Banyak kalangan yang berusaha mencari
hubungan antar keduanya. Kalangan lain beranggapan bahwa agama dan sains
tidak akan pernah dapat ditemukan, keduanya adalah entitas yang berbeda,
memiliki wilayah masing-masing yang terpisah baik segi objek formal-material
(ontologi), metode penelitian (epistemologi), serta peran yang dimainkan
(aksiologi).
Di akhir dasawarsa tahun 90-an, di Amerika Serikat dan Eropa
Barat khususnya, berkembang diskusi tentang sains (ilmu pengetahuan) dan
agama (kitab suci). Diskusi dimulai oleh Ian G. Barbour yang mengemukakan
teori “Empat Tipologi Hubungan Sains (Ilmu Pengetahuan) dan Agama (Kitab
Suci)”. Yang menjadi pemasalahannya adakah titik temu antara agama dan
sains.
2

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian sains?
2. Apa Pengertian agama?
3. Bagaimana hubungan sains dan agama?
4. Bagaimana pandangan islam terhadap sains?

C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui pengertian sains.
2. Mengetahui pengertian agama.
3. Mengetahui hubungan sains dan agama.
4. Mengetahui bagaimana pandangan islam terhadap sains.
3

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sains
Kata sains berasal dari kata science, scienta, scine yang artinya
mengetahui. Dalam kata lain, sains adalah logos, sendi, atau ilmu. “Sains dapat
diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk mencari kebanaran
berdasarkan fakta atau fenomena alam”.1
Jadi “ilmu pengetahuan (sains) adalah himpunan pengetahuan
manusia yang dikumpulkan melalui proses pengkajian dan dapat dinalar atau
dapat diterima oleh akal. Dengan kata lain, sains dapat didefinisikan sebagai
kumpulan rasionalisasi kolektif insani atau sebagai pengetahuan yang sudah
sistematis”.2
Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) dijelaskan sains
adalah pengetahuan sistematis yang diperoleh dari sesuatu observasi,
penelitian, dan uji coba yang mengarah pada penentuan sifat dasar atau prinsip
sesuatu yang sedang diselidiki, dipelajari, dan sebagainya.
Menurut Jujun S. Suriasumantri, penerjemahan kata sciene menjadi
ilmu atau ilmu pengetahuan memiliki masalah yang pokok. Selanjutnya, ia
mengusulkan kata padaan untuk ilmu adalah knowledge, “sedangkan science
adalah ilmu pengetahuan”.3

B. Pengertian Agama
Dalam masyarakat Indonesia selain kata agama, dekenal pula kata
din berasal dari Bahasa Arab dan kata religi dari Bahsa Eropa, sedangkan
agama berasal dari Bahasa Sansekerta.
Istilah agama sendiri berasal dari bahasa sanskerta. Ada pendapat
yang menyatakan bahwa kata agama tersusun dari dua kata a berarti tidak, dan
gam artinya pergi, tetap ditempat, diwarisi turun temurun. Menurut Harun

1
Eggi Sudjana, Islam Fungsional, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008),
hlm. 3-4
2
Achmad Wahyuddin dkk., pendidikan agama islam, (Surabaya: PT. Grasindo,
2009), hlm. 82
3
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar, (Jakarta: Sinar
Harapan, 1984), hlm. 291
4

Nasution, “agama memang mempunyai sifat yang demikian. Ada lagi pendapat
yang menyatakan bahwa agama berarti teks atau kitab suci. Dan agama-agama
memang mempunyai kitab-kitab suci”.4
Agama adalah ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan
(kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata
kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta
lingkungannya.
Menurut Emile Durkheim suatu sistem interpretasi terhadap dunia
yang mengartikulasikan pemahaman diri dan tempat serta tugas masyarkat
dalam alam semesta.
Menurut Insklopedi Indonesia I (Ed. Hasan shadily), istilah agama
berasal dari bahasa sangsakerta: a berarti tidak, gama berarti pergi atau jalan
dan yang a berarti bersifat atau keadaan. Jadi, agama berarti bersifat atau
keadaan tidak pergi, tetap, lestari, kekal, tidak berubah. Maka, agama adalah
pegangan atau pedoman untuk mencapai hidup kekal.
Menurut Sidi Gazalba (1991) “agama adalah kepercayaan pada
hubungan manusia dengan yang kudus, dihayati sebagai hakikat yang gaib,
hubungan yang menyatakan diri dalam bentuk serta sistem kultus dan sikap
hidup berdasarkan doktrin tertentu”.5

C. Hubungan Sains Dengan Agama


Relasi sains dan agama telah menjadi topik yang cukup hangat
dikalangan ilmuwan sejak beberapa abad yang lalu. Pada mulanya relasi sains
dan agama merupakan wacana yang kontroversial di dunia barat. Akan tetapi
kemajuan sains dan teknologi di dunia barat telah memberikan dampak yang
cukup besar bagi masyarakat muslim. Akibatya, kontroversi antara sains dan
agama juga menjadi salah satu isu yang banyak dibicarakan di kalangan sarjana
muslim. Karena, hingga kini masih kuat anggapan dalam masyarakat luas yang
mengatakan bahwa agama dan sains adalah dua entitas yang tidak bisa

4
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press,
1985), hlm. 9
5
Achmad Wahyuddin dkk., pendidikan agama islam, hlm.12
5

dipertemukan. “Keduanya mempunyai wilayah sendiri-sendiri terpisah antara


satu dengan lainnya”.6
Pertanyaan-pertanyaan yang sering dimunculkan dalam konteks
relasi ini adalah: Apakah sains telah menyebabkan agama tidak masuk akal lagi
secara intelektual? Apakah sains itu menyingkirkan adanya Tuhan yang
personal? Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan masalah sains dan agama.
Bagi agama, keberhasilan gilang-g emilang sains diberbagai aspek kehidupan
manusia, terutama sejak zaman renaisans, sekurang-kurangnya menimbulkan
tanggapan yang ambigu: harapan baru dan juga kekhawatiran baru.
Lantas bagaimana sebenarnya hubungan sains dan agama? Paling
tidak dalam sejarahnya ada empat mazhab yang diajukan:
1. Konflik, yaitu pandangan yang menganggap sains dan agama
adalah dua kutub yang bertentangan dan saling menghancurkan
satu dengan lainnya.
2. Independensi, yaitu para pemikir yang berkeyakinan bahwa
sains dan agama memiliki kemandirian masing-masing dan
terpisah dikarenakan berurusan dengan wilayah yang berbeda.
Jika beroperasi pada wilayahnya masing-masing, maka tidak
akan terjadi konflik.
3. Dialog, yang berpendapat bahwa sains dan agama adalah mitra
dalam melakukan refleksi kritis atas berbagai persoalan dengan
tetap menghormati integritas masing-masing.
4. Integrasi, yaitu pandangan yang bersikap dengan baik terhadap
sains dan agama dengan kemitraan yang lebih sistematis dan
ekstensif dalam mencari titik temu antara keduanya.7

Dari keempat model relasi sains dan agama di atas, integrasi


tampaknya model yang ideal bagi sebagian besar pemikir muslim yang
mendukung proyek islamisasi sains.
Secara historis, perbincangan tentang hubungan sains dan Islam
telah ada sejak masa klasik. Namun isu itu kembali mencuat pada zaman
modern di sekitar abad ke-19. Menurut Leif Stenberg (1996), awal dari
pembahasan hubungan sains dan Islam dimulai saat Ernest Renan (w.1892)
pada tahun 1883 di Paris menyebutkan bahwa antara Islam dan sains itu

6
M. Abdullah Amin, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Pendekatan Integratif
Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 92
7 Ian G. Barbour, ]uru Bicara Tuhan Antara Sains dan Agama, (Bandung:
Mizan, 2002), hlm. 40-42
6

bertentangan (incompatible). Pernyataan Renan ini kemudian direspon oleh


jamaluddin Al-Afghani (w.1897) dengan menunjukkan keselarasannya. Dari
sini perdebatan berlanjut sampai saat ini, dengan melahirkan tiga tanggapan
ilmuwan muslim terhadap sains modern. Yang kemudian masing-masing
pendapat ini akan menentukan bagaimana pandangan mereka pula terhadap ide
islamisasi ilmu.
Ziauddin Sardar seperti disebutkan M. Damhuri (Republika, 26
mei 2000) mencatat ketiga pandangan ini. Pertama, kelompok muslim
apologetik. Kelompok ini menganggap sains modern bersifat netral dan
universal. Mereka berusaha melegitimasi hasil-hasil penemuan sains modern
dengan mencari padanan ayat-ayatnya yang sesuai dengan teori dalam sains
tersebut. Karena sebagai apologia saja, maka pandangan kelompok ini hanya
sebagai penyembuh luka bagi umat islam secara psikologis, bahwa umat Islam
tidak ketinggalan zaman. Kedua, kelompok yang mengakui sains Barat, tetapi
berusaha mempelajari sejarah dan filsafat ilmu agar dapat menyaring elemen-
elemen yang tidak islami. Dan ketiga, kelompok yang percaya dengan adanya
sains Islam dan berusaha membangun islamisasi diseluruh elemen sains.
Ketiga kelompok ini jalan dengan idenya masing-masing dan
didukung oleh kelompoknya pula, baik dari kalangan agamawan maupun
ilmuan. Padahal, tak jarang sains dan tafsiran agama bersekutu dalam
melanggengkan keburukan. Sains telah mampu menciptakan senjata yang
digunakan untuk dan atas doktrin keberagamaan. Karenanya diperlukan
kebeningan hati dan kecerdasan nalar dalam merealisasikan agenda islamisasi
yang luar biasa dahsyatnya, dan ini bukanlah suatu khayalan dan kemustahilan.
Kemungkinan untuk terjadinya islamisasi sains ini terlihat dari beberapa
karakter yang bersinggungan antara sains dan agama seperti yang terlihat
dibawah ini :
a) Adanya karakter yang sama dalam sains dan Islam seperti koherensi,
kekomprehensipan, kemanfaatan, dan kebenaran.
b) Sains dan Islam sama-sama dibentuk dan bergantung pada paradigma dan
pada dasarnya ada kemungkinan untuk menyatukan paradigma sains dan
Islam.
7

c) Adanya kesejajaran metodologis yang signifikan antara sains dan agama


d) Adanya kesejajaran konseptual antara sains dan Islam
e) Adanya saintis yang religius dan religius yang saintis
f) Kuatnya anjuran wahyu untuk melakukan pengkajian yang menghasilkan
ilmu
g) Penafsiran sains dan agama sama-sama berasal dari pemahaman manusia
sehingga bukanlah harga mati.
Umat Islam terkadang melakukan apologetik kepura-puraan yang
mendua dengan menyatakan bahwa Islam adalah agama rasional dan
menghargai ilmu pengetahuan, namun disisi lain sangat takut atau bahkan
marah saat keyakinan agamanya (yang seringkali merupakan penafsiran
sepihak) bertentangan dengan hasil-hasil sains yang faktual. Seharusnya hal ini
tidak terjadi, sebab seperti dikatakan Muthahhari, dari satu sudut, setiap ilmu
alam merupakan cabang dari kosmologi. Tetapi, dari sudut lain dan cara
melihat sesuatu yang lebih dalam, setiap ilmu alam merupakan cabang dari
pengetahuan, pengenalan, atau pengakuan tentang Tuhan (Muthahhari,
Manusia dan Alam Semesta: 63)
Hanya saja, seperti pernah dikatakan Zainal Abidin Bagir yang
dikhawatirkan, pada saat ini, kecenderungan sains sangat mempengaruhi
agama, tetapi jarang sekali agama mempengaruhi sains. Ini berarti, ada
masalah mendasar menyangkut sains secara umum.
Dengan demikian, kita mesti menyadari, baik kalangan ilmuan
maupun agamawan bahwa, sains bukanlah alat untuk menjustifikasi kebenaran
atau kesalahan agama, tetapi lebih sebagai alat bantu yang dipertimbangkan
untuk dapat menafsirkan agama dengan benar, aktual, dan fugsional. Ini
bukanlah usaha apologetis tetapi ijtihadis.
8

D. PANDANGAN ISLAM TERHADAP SAINS


Islam memiliki kepedulian dan perhatian penuh kepada ummatnya
agar terus berproses untuk menggali potensi-potensi alam dan lingkungan
menjadi sentrum peradaban yang gemilang. Dalam konteks ini, tidak ada
pertentangan antara sains dan Islam, dimana keduanya berjalan seimbang dan
selaras untuk menciptakan khazanah keilmuan dan peradaban manusia yang
lebih baik dari sebelumnya.
Pandangan Islam terhadap sains menunjukkan bahwa Islam tidak
pernah mengekang umatnya untuk maju dan modern. Justru Islam sangat
mendukung umatnya untuk melakukan penelitian dan bereksperimen dalam hal
apapun, termasuk sains dan teknologi. Bagi Islam, sains dan teknologi adalah
termasuk ayat-ayat Allah yang perlu digali dan dicari keberadaannya. Ayat-
ayat Allah yang tersebar di alam semesta ini merupakan anugerah bagi manusia
sebagai khalifatullah di bumi untuk diolah dan dimanfaatkan dengan sebaik-
baiknya.
Pandangan Islam tentang sains dan teknologi dapat diketahui
prinsip-prinsipnya dari analisis wahyu pertama yang diterima oleh Nabi
Muhammad SAW yang berbunyi:
)٣( ‫)ا ْق َز ْأ َو َربُّكَ األ ْك َز ُم‬٢( ‫ق‬
ٍ َ‫ق اإل ًْ َساىَ ِه ْي َعل‬ َ َ‫ا ْق َز ْأ بِاس ِْن َربِّكَ الَّ ِذي خَ ل‬
َ َ‫) خَ ل‬١( ‫ق‬

)٥( ‫) َعل َّ َن اإل ًْ َساىَ َها لَ ْن ٌَ ْعلَ ْن‬٤( ‫الَّ ِذي َعلَّ َن بِ ْالقَلَ ِن‬

Artinya:“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia


Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah
yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia
mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al-Isra: 1-5).
Ayat lain yang mendukung pengembangan sains adalah firman Allah Swt.
yang berbunyi bahwa:

َ‫)الَّ ِذٌي‬١٩١( ‫ب‬ ْ ًِ‫ت ألول‬


ِ ‫األلبَا‬ ٍ ‫ار ٌََا‬ ِ َ‫الف اللٍَّ ِْل َوالٌَّه‬
ِ ِ‫اخت‬ ْ ‫ض َو‬ ِ ْ‫ت َواألر‬ ِ ‫اوا‬ ِ ‫إِ َّى فًِ خَ ْل‬
َ ‫ق ال َّس َو‬
َ‫ض َربٌََّا َها خَ لَ ْقت‬ِ ْ‫ت َواألر‬
ِ ‫اوا‬ ِ ‫َّللاَ قٍَِا ًها َوقُعُىدًا َو َعلَى ُجٌُىبِ ِه ْن َوٌَتَفَ َّكزُوىَ فًِ خَ ْل‬
َ ‫ق ال َّس َو‬ َّ َ‫ٌَ ْذ ُكزُوى‬

ِ ٌَّ‫اب ال‬
)١٩١( ‫ار‬ َ ‫اطال ُسب َْحاًَكَ فَقٌَِا َع َذ‬
ِ َ‫هَ َذا ب‬
9

Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih


bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk
atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit
dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini
dengan sia-si. Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.
QS. Ali-Imran: 190-191).
Ayat-ayat di atas adalah sebuah support yang Allah berikan kepada
hambanya untuk terus menggali dan memperhatikan apa-apa yang ada di alam
semesta ini. Sebuah anjuran yang tidak boleh kita abaikan untuk bersama-sama
melakukan penggalian keilmuan yang lebih progresif sehingga mencapai
puncak keilmuan yang dikehendaki Tuhan. Tak heran, kalau seorang ahli sains
Barat, Maurice Bucaile, setelah ia melakukan penelitian terhadap Alquran dan
Bibel dari sudut pandang sains modern, menyatakan bahwa: “Saya menyelidiki
keserasian teks al-Qur’an dengan sains modern secara objektif dan tanpa
prasangka. Mula-mula saya mengerti, dengan membaca terjemahan, bahwa
Qur’an menyebutkan bermacam-macam fenomena alamiah, tetapi dengan
membaca terjemahan itu saya hanya memperoleh pengetahuan yang ringkas.
Dengan membaca teks arab secara teliti sekali saya dapat menemukan catatan
yang membuktikan bahwa Alquran tidak mengandung sesuatu pernyataan yang
dapat dikritik dari segi pandangan ilmiah di zaman modern”.
Selain banyak memuat tentang pentingnya pengembangan sains,
Alquran juga dapat dijadikan sebagai inspirasi ilmu dan pengembangan
wawasan berpikir sehingga mampu menciptakan sesuatu yang baru dalam
kehidupan. Hanya saja, untuk menemukan hal tersebut, dibutuhkan
kemampuan untuk menggalinya secara lebih mendalam agar potensi alamiah
yang diberikan Tuhan dapat memberikan kemaslahatan sepenuhnya bagi
keselarasan alam dan manusia.
Lebih jauh Osman Bakar mengungkapkan bahwa dalam Islam,
kesadaran religius terhadap tauhid merupakan sumber dari semangat Ilmiah
dalam sluruh wilayah pengetahuan. Oleh karena itu, tradisi intelektual Islam
tidak menerima gagasan bahwa hanya ilmu alam yang ilmiah atau lebih ilmiah
10

dari ilmu-ilmu lainnya. Demikian pula, gagasan objektivitas dalam kegiatan


ilmiah menurutnya tidak dapat dipisahkan dari kesadaran religius dan spiritual.
Kendati demikian, Alquran bukanlah kitab sains dan terlebih lagi pada
pendekatan Bucaillisme melekat bahaya besar. Yaitu meletakkan sains ke
dalam bidang suci dan membuat wahyu Ilahi menjadi objek pembuktian sains
Barat. Jika suatu teori tertentu yang “dibenarkan” Alquran dan diterima luas
saat ini, kemudian satu ketika teori ini digugurkan, apakah itu berarti bahwa
Alquran itu sah hari ini dan tidak sah hari esok? Yang tepat dilakukan ilmuwan
muslim adalah memposisikan Alquran sebagai petunjuk dan motivasi untuk
menemukan dan mengembangkan sains dengan baik dan benar.
Tapi, disini, ilmu (sains) yang dipelajari haruslah bertujuan untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa, menyejahterakan umat,
mensyiarkan ajaran-ajaran agama Islam. Tidak dibenarkan, apabila
ada orang Islam yang menuntut ilmu pengetahuan hanya untuk
mengejar pangkat, mencari gelar, dan keuntungan pribadi. Selain
itu, ilmu yang telah didapat harus disebarkan (diajarkan kepada
orang lain) dan diamalkan (tingkah lakunya sesuai dengan
ilmunya).8

Memang benar peribahasa (bersusah-susah dahulu, bersenang-


senang kemudian) untuk menggapai sesuatu yang diinginkan dan diimpi-
impikan tentu tidak mudah, sehingga untuk mendapatkan ilmu pengetahuan
(sains) yang dapat mensejahterakan kehidupan dunia sekaligus mendapatkan
derajat yang tinggi di Mata Allah, seseorang harus berperang dengan hawa
nafsunya yang selalu mementingkan kehidupan duniawi. Kebanyakan
ilmuwan, bahkan ilmuwan Muslin lupa akan tujuan ukhrowinya, mereka lebih
senang menganggap bahwa sains merupakan sarana mencari penghidupan,
bukan sarana mendekatkan diri kepada Sang Maha Kuasa. Konsep sains seperti
itu lebih mirip dengan konsep sains Barat, yang tentunya salah.
Sehingga sebagai umat Muslim, kita membutuhkan sains yang
disusun dari kandungan Islam yang memiliki proses dan metodologi yang
mempu bekerjasama dengan semangat nilai-nilai Islami dan yang dilaksanakan
semata-mata untuk mendapatkan keridhaan dari Allah. Sains semacam ini akan
mampu memenuhi kebutuhan masyarakat Muslim dan bekerjasama dalam

8 Lilis Fauziyah R.A. dan Andi Setyawan, Kebenaran al-Qur’an dan Hadits,
(Solo: Tiga Serangkai, 2009), hlm. 114
11

konteks etika Islam. “Sifat dasar dan jenis sains ini harus jauh berbeda dari
sains Barat”.9
Tapi, untuk mendapatkan bentuk sains yang seperti ini, hampir
tidak mungkin, bila dilihat dari kesadaran dan pemahaman kaum Muslimin
sekarang. Bila dilihat, mereka lebih banyak meniru dan menganut pendapat-
pendapat ilmuwan Barat, yang sudah jelas-jelas salah. Ini sangat ironis, karena
Islam yang dulu pernah menguasai ilmu pengetahuan dunia, kini malah meniru
dan berkiblat kepada sains Barat, tanpa berusaha mencari kebenaran sains yang
hakiki.
Dalam memecahkan masalah ini, penulis perlu memaparkan bahwa
Islam adalah sebuah sistem agama, kebudayaan, dan peradaban secara
menyeluruh. Ia merupakan sistem holistik dan nilai-nilainya menyerap setiap
aktivitas manusia, yang tentunya sains termasuk di dalamnya. Dan bila diulas
kembali makna sains sebagai metode yang rasional dan empiris untuk
mempelajari fenomena alam, maka menggali ilmu sains dalam Islam adalah
satu-satunya cara untuk mencapai pemahaman yang lebih mendalam tentang
Sang Pencipta, dan menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat Islam. Ia
sendiri tidak akan berakhir. Oleh karena itu, sains tidak dipelajari untuk sains
itu sendiri, akan tetapi untuk mendapatkan Ridha Allah SWT. dengan mencoba
memahami ayat-ayatNya.
Dalam dunia sains, konsep sains seperti ini sering disebut sebagai
konsep sains Islam, yang notabennya adalah ilmu sains yang dalam
mempelajarinya tidak akan pernah bertentangan dengan hukum dan ajaran
Islam. Karena sains itu sendiri dijadikan sarana untuk beribadah kepadaNya,
Sang Maha Pemilik Ilmu. “Penerapan sains Islam akan menciptakan suasana
yang menggugah ingatan kita kepada Allah, mendorong perilaku yang sesuai
dengan ketentuan syariat, dan mengingatkan nilai-nilai konseptual yang ada
dalam al-Qur’an”.10

9
Nasim Butt, Sains dan Masyarakat Islam (Diterjemahkan oleh Masdar Hilmy
dari Buku Science and Muslim Society) (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), hlm. 63-64
10
Ibid,hlm. 92
12

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Relasi sains dan agama telah menjadi topik yang cukup hangat
dikalangan ilmuwan sejak beberapa abad yang lalu. Pada mulanya relasi sains
dan agama merupakan wacana yang kontroversial di dunia barat. Akan tetapi
kemajuan sains dan teknologi di dunia barat telah memberikan dampak yang
cukup besar bagi masyarakat muslim. Akibatya, kontroversi antara sains dan
agama juga menjadi salah satu isu yang banyak dibicarakan di kalangan sarjana
muslim. Karena, hingga kini masih kuat anggapan dalam masyarakat luas yang
mengatakan bahwa agama dan sains adalah dua entitas yang tidak bisa
dipertemukan. Keduanya mempunyai wilayah sendiri-sendiri terpisah antara
satu dengan lainnya.

B. Saran
Makalah ini tentunya masih banyak sekali kekurangan. Sumber
kritik dari pembacalah tentunya bisa membuat makalah ini lebih baik lagi.
Kritik yang membangun sangat kami nanti-natikan. Karena semakin banyak
ktitik dari pembaca semakin bagus pula makalah tersebut.
13

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah M. Amin. Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Pendekatan Integratif


Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006

Barbour Ian G. ]uru Bicara Tuhan Antara Sains dan Agama. Bandung: Mizan,
2002

Butt Nasim. Sains dan Masyarakat Islam. (Diterjemahkan oleh Masdar Hilmy
dari Buku Science and Muslim Society). Bandung: Pustaka Hidayah,
2001

Fauziyah R.A Lilis, dan Andi Setyawan. Kebenaran al-Qur’an dan Hadits. Solo:
Tiga Serangkai, 2009

Nasution. Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press, 1985

Sudjana,Eggi. Islam Fungsional. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008

Suriasumantri S. Jujun. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar.Jakarta: Sinar Harapan,


1984

Wahyuddin. Achmad dkk., pendidikan agama islam. Surabaya: PT. Grasindo,


2009

Anda mungkin juga menyukai