Anda di halaman 1dari 15

INTEGRASI ISLAM DAN SAINS

MAKALAH FALSAFAH DAN KESATUAN ILMU


Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah: Falsafah dan Kesatuan Ilmu

Disusun oleh :
Mochammad Fajrul A.R (2207026099)
Muhammad Firmansyah (2207026100)
Putri Sulistyawati (2207026101)

PROGRAM STUDI GIZI


FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah Falsafah dan Kesatuan Ilmu yang bertajuk “Integrasi Islam
dan Sains”.
Makalah ini telah disusun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi
dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu,
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami
dapat memperbaiki makalah ini.
Kami berharap semoga makalah mengenai Integrasi Islam dan Sains ini dapat
memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

Semarang, 22 September
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................3
A. LATAR BELAKANG................................................................................3
B. RUMUSAN MASALAH...........................................................................3
C. TUJUAN..................................................................................................3
D. METODE.................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................4
A. PENGERTIAN SAINS DAN AGAMA.....................................................4
B. HUBUNGAN ANTARA SAINS DAN AGAMA.......................................5
C. MODEL INTERGRAIS AGAMA DAN SAINS.........................................6
D. REINTERGASI ISLAM DAN SAINS.......................................................9
BAB III PENUTUP...................................................................................................11
A. KESIMPULAN........................................................................................11
B. SARAN...................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................13
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam sejarah sains, sebagian ilmuwan menilai bahwa sains dan agama
berbeda, hal ini dapat diartikan bahwa bidang sains mengandung data empiris yang
berfungsi untuk memastikan kebenaran sains. Sedangkan agama adalah kebalikannya,
biasanya dalam bentuk ilmu yang abstrak dan tidak pasti, hanya berdasarkan variabel
yang berupa keyakinan. Sains adalah pengetahuan yang secara holistik memiliki
kerangka material yang berbeda dengan agama tetapi keduanya saling terkait.

Integrasi merupakan suatu istilah kata yang  menggabungkan bagian yang


terpisah didalam satu kesatuan. Integrasi dapat diartikan secara komprehensif yang
bersifat mampu menangkap atau menerima dengan baik. Integrasi tidak hanya
memadukan ilmu pengetahuan dan agama tetapi juga memberikan bekal norma-
norma agama. Agama dan ilmu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Agama mengajarkan umatnya untuk senantiasa mengamati alam dan
menggunakan akal, yang mana kedua hal ini merupakan landasan untuk membangun
ilmu pengetahuan modern. Perintah mengamati berbagai fenomena alam menuntun
manusia untuk berpikir secara empiris. Dan penggunaan akal sebagai dasar dalam
berpikir secara rasional.

A. Rumusan masalah

1. Apa itu sains dan agama


2. Bagaimana hubungan antara sains dan agama
3. Bagaimana model integrasi agama dan sains
4. Bagaimana reintegrasi sains dan islam

B. Tujuan

1. Menjelaskan pengertian sains dan agama


2. Menjelaskan kajian hubungan antara sains dan agama
3. Memaparkan model integrasi agama dan sains
4. Menjelaskan reintegrasi sains dan islam

D. Metode
Metode yang digunakan dalam pembuatan makalah ini yaitu metode kajian
pustaka dan analisa referensi-referensi terkait Integrasi Sains dan agama. Hasil dari
kajian ini adalah sains dan agama merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan dan saling berhubungan satu sama lain.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Sains dan Agama

Secara bahasa, Ilmu berasal dari Bahasa arab (‫علم‬-‫يعلم‬-‫ا‬EE‫( علم‬yang berarti
mengetahui, memahami dan mengerti dengan benar-benar. Dalam Bahasa Inggris
disebut Science, dalam Bahasa Latin berasal dari kata Scientia (pengetahuan) atau
Scire (mengetahui). Sedangkan dalam Bahasa Yunani adalah Episteme (pengetahuan).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ilmu merupakan pengetahuan mengenai
suatu bidang atau objek yang tersusun secara sistematik dengan menggunakan
metode-metode tertentu yang saintifik dan dapat digunakan untuk menerangkan
gejala-gejala tertentu di bidang tersebut. Ilmu pengetahua nmerupakan pengetahuan
yang berasal dari pengamatan, studi dan pengalaman yang disusun dalam satu system
untuk menentukan hakikat dan prinsip tentang hal yang sedang dipelajari.

Ciri-ciri Sains :

1. Sistematis
Ciri sistematis dari ilmu menunjukkan bahwa ilmu merupakan berbagai
keterangan dan data yang tersusun sebagai kumpulan pengetahuan, yang
mempunyai hubungan-hubungan saling ketergantungan yang teratur.

2. Empiris

Bahwa ilmu mengandung pengetahuan yang didapat berdasarkan pengamatan


serta percobaan-percobaan secara terstruktur di dalam bentuk pengalaman-
pengalaman, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ilmu mengamati,
menganalisis, menalar, membuktikan dan menyimpulkan hal-hal empiris yang
bersifat faktual dan objek yang bisa dilihat maupun dirasakan oleh indra.

3. Obyektif

Bahwa ilmu menunjuk pada bentuk pengetahuan yang bebas dari prasangka
perorangan dan perasaan-perasaan subyektif berupa kesukaan maupun
kebencian pribadi. Obyektifitas ilmu mensyaratkan bahwa kumpulan
pengetahuan itu harus sesuai dengan obyeknya.

4. Analitis

Bahwa ilmu berusaha mencermati, mendalami dan membeda-bedakan pokok


soalnya ke dalam bagian-bagian yang terperinci untuk memahami dari
berbagai sifat, hubungan dan peranan dari bagian-bagian tersebut.
5. Verifikatif

Bahwa ilmu mengandung kebenaran-kebenaran yang terbuka untuk diperiksa


atau diuji guna dapat dinyatakan sah dan disampaikan kepada orang lain.
Pengetahuan dapat diakui kebenarannya sebagai ilmu, harus terbuka untuk
diuji atau diverifikasi dari berbagai sudut celah yang berlainan dan akhirnya
diakui benar.

Sedangkan agama merupakan keyakinan terhadap eksistensi suatu dzat atau


beberapa dzat ghaib yang maha tinggi, ia memiliki perasaan dan kehendak, ia
memiliki wewenang untuk mengurus dan mengatur urusan yang berkenaan dengan
nasib manusia. Keyakinan mengenai ihwalnya akan memotivasi manusia untuk
memuja dzat itu dengan perasaan suka maupun takut dalam bentuk ketundukan dan
pengagungan. Secara lebih ringkas agama adalah keyakinan atau keimanan mengenai
suatu dzat (Ilahiyah) yang pantas untuk menerima ketaatan dan ibadah
(persembahan).

B. Hubungan antara Sains dan Agama

Sains dan agama merupakan dua hal penting yang terdapat dalam sejarah
kehidupan umat manusia. Keduanya memiliki sejarah hubungan yang panjang.
Apabila sains dipahami dalam bentuk yang umum, yaitu sebagai pengetahuan
objektif, tersusun, dan teratur mengenai tatanan alam semesta. Perbedaan yang sangat
terlihat antara sains yang berkembang pada masa pramodern dan sains modern
terletak pada posisinya dalam hubungannya dengan agama. Dalam peradaban-
peradaban pra-modern, sains berhubungan erat dengan agama. Berbeda dengan sains
pra-modern yang berhubungan erat dengan agama, Sains modern melepaskan dari
agama. Sains modern merupakan model pengkajian terhadap alam semesta yang
dikembangkan oleh para filosof dan Ilmuwan Barat sejak abad ketujuh belas,
termasuk seluruh aplikasi praktisnya dalam wilayah teknologi. Sains modern lahir
dari gerakan renaisans. yaitui suatu gerakan yang muncul pada abad ke lima belas dan
ke enam belas. Secara harfiah, “renaissance” berarti kelahiran kembali. yang berusaha
untuk menghidupkan kembali kebudayaan klasik. Pada saat itu orang mencari jalan
baru sebagai alternatif bagi kebudayaan abad pertengahan yang sangat didominasi
oleh suasana Kristiani. Perhatian mereka mengarah kepada satu-satunya kebudayaan
lain yang masih mereka kenal, yaitu kebudayaan Yunani. Kebudayaan klasik itu
mereka apresiasi sedemikian rupa dan mereka ambil sebagai contoh ideal untuk
semua bidang tradisi.
Kajian-kajian mengenai hubungan sains dan agama sebenarnya sudah
dilakukan oleh para ahli sejak lama. Diantara banyak ahli yang melakukan kajian
mengenai hubungan sains dan agama, yang dipandang paling populer yaitu Ian G
Barbour. Barbour dalam kajiannya, When Science Meets Relegion: Enemies,
Strangers, or Partuers?, menggambarkan hubungan antara Sains dan Agama ke
dalam empat tipologi, yaitu conflict (konflik), independence (independensi), dialogue
(dialog), dan integration (integrasi). Menurut Barbour sendiri, hubungan antara sains
dan agama dianggap konflik yaitu sains dan agama saling bertentangan (conflicting)
dan dalam kasus tertentu bahkan bermusuhan . Hubungan sains dan agama disebut
independensi yaitu sains dan agama saling berjalan sendiri-sendiri dengan cara dan
tujuan masing-masing, tanpa saling mengganggu maupun memperdulikan. Hubungan
antara sains dan agama disebut dialog yaitu hubungan antara sains dan agama bersifat
saling terbuka dan saling menghormati. Sedangkan hubungan sains dan agama disebut
integrasi,yaitu hubungan antara sains dan agama bertumpu pada keyakinan bahwa
pada dasarnya kawasan telaah, rancangan penghampiran, dan tujuan keduanya adalah
sama dan satu.
Kajian ahli lainnya, John F. Haught , menggambarkan hubungan antara sains
dan agama ke dalam empat bentuk hubungan yaitu konflik, kontras, kontak, dan
konfirmasi. Penggambaran hubungan antara sains dan agama yang dibuat oleh Haught
ini sepintas mirip dengan penggambaran Ian G. Barbour, namun sebenarnya berbeda.
Jika penggambaran milik Barbour mengenai hubungan antara sains dan agama
bersifat tipologis, penggambaran hubungan yang dibuat oleh Haught lebih bersifat
sebagai approach (pendekatan). Menurut Haught, pendekatan konflik merupakan
suatu pandangan yang mengutarakan bahwa pada dasarnya sains dan agama tidak
dapat dirujukkan maupun dipadukan. Pendekatan kontras merupakan suatu pandangan
yang menyatakan bahwa tidak terdapat pertentangan yang sungguh-sungguh antara
sains dan agama, karena keduanya memberi tanggapan terhadap masalah yang sangat
berbeda. Pendekatan kontras adalah suatu pandangan yang mengutarakan perlunya
upaya dialog dan interaksi antara sains dan agama, terutama usaha untuk menemukan
cara-cara agar sains ikut mempengaruhi pemahaman religius dan teologis. Pendekatan
konfirmasi menyarankan agama dan sains agar saling mengukuhkan satu sama lain.
Artinya, agama dapat memainkan peran dalam pengembangan sains yang lebih
bermakna, dan sebaliknya, temuan-temuan sains dapat memperkaya dan memperbarui
pemahaman teologis. Haught berpandangan bahwa empat pendekatan terhadap
hubungan antara sains dan agama itu seperti ”perjalanan”. Konflik antara sains dan
agama terjadi akibat pencampuran batas-batas sains dan agama, sebab keduanya
dianggap saling bersaing dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sama,
sehingga orang harus memilih salah satunya. Oleh sebab itu, langkah pertama yang
harus dilakukan yaitu menarik garis pemisah yang jelas untuk menunjukkan kontras
antara keduanya. Langkah berikutnya, setelah perbedaan dari kedua bidang itu jelas
dapat dilakukan kontak. Langkah ini didorong oleh dorongan psikologis yang kuat
bahwa bagaimanpun bidang-bidang ilmu yang berbeda perlu dibuat harmonis. Pada
posisi tertentu, implikasi-teologis teori ilmiah dapat ditarik ke wilayah teologis, bukan
untuk “membuktikan” prinsip keagamaan, melainkan sekedar menafsirkan temuan
ilmiah dalam kerangka makna keagamaan untuk memahami teologi yang lebih baik.
Klimaksnya adalah konfirmasi, yaitu dengan upaya mengakarkan sains beserta asumsi
metafisinya yang pada pandangan dasar agama mengenai realitas, yang dalam tiga
agama monoteistik pada dasarnya berakar pada Wujud yang disebut “Tuhan”. Itulah
sebabnya asumsi metafisis sains yang disebut Haught, di antaranya, bahwa alam
sementara adalah suatu keteraturan “tertib wujud” yang rasional. Menurut Haught,
tanpa ini sains sebagai upaya pencarian intelektual tidak dapat melakukan langkah
pertamanya sekalipun. Dari dua kajian yang dilakukan oleh Barbour dan Haught
terlihat bahwa perkembangan hubungan antara sains dan agama menuju pada pola
hubungan yang bersifat integratif dalam istilah yang digunakan Barbour, dan bersifat
konfirmatif dalam istilah yang digunakan oleh Haught. Persamaan kedua kajian dari
tokoh ini memiliki kecenderungan mengarah kepada perpaduan sains dan agama,
yakni istilah integrasi menurut Ian G. Barbour dan konfirmasi menurut John Haught.
Persamaan dari kajian John F. Haught dan Ian G. Barbour yaitu kajian John F.
Haught, mendasarkan kajian nya pada pendekatan antara sains dan agama sementara
pada Kajian G. Barbour, mendasarkan kajian nya pada tipologis ( tipe atau jenis)
integrasi sains dan agama.

C. Model Integrasi Agama dan Sains

Model pertama yaitu monadik. Model ini dianut oleh kalangan fundamentalis,
religius, maupun sekuler. Kalangan religius menyatakan agama merupakan
keseluruhan yang mengandung semua cabang kebudayaan, sedangkan kalangan
sekuler menganggap agama sebagai salah satu cabang kebudayaan. Sementara itu,
dalam pandangan fundamentalisme religius, agama merupakan satu-satunya
kebenaran dan sains hanyalah salah satu cabang kebudayaan, sedangkan dalam
pandangan fundamentalisme sekuler, kebudayaanlah yang dianggap sebagai ekspresi
manusia dalam mewujudkan kehidupan yang berdasarkan sains sebagai satu-satunya
kebenaran.

Gambar Model Monadik Totalistik

Model kedua yaitu diadik. Model ini diajukan untuk melengkapi kelemahan
yang ada pada model sebelumnya yaitu monadik. Model ini memiliki beberapa
macam varian. Varian pertama dari model diadik disebut model kompartementer atau
independen, yang menyatakan bahwa sains dan agama adalah dua kebenaran yang
setara atau sama. Sains berbicara mengenai fakta alamiah, sedangkan agama berbicara
mengenai nilai ilahiah. Model ini dapat digambarkan seperti pada gambar dibawah.

Gambar Model Diadik Independen

Varian kedua dari model diadik ini disebut model diadik komplementer, yang
dapat digambarkan seperti simbol Tao dalam tradisi Cina. Dalam model ini, sains dan
agama dianggap sebagai sebuah kesatuan yang tidak terpisahkan. Model ini dapat
digambarkan seperti pada gambar dibawah.
Gambar Model Diadik Komplementer

Sementara itu, varian ketiga dapat digambarkan dengan dua buah lingkaran
sama besar yang saling berpotongan. Jika salah satu dari lingkaran tersebut
merupakan sains, dan lingkaran lainnya merupakan agama, maka dapat dikatakan
bahwa kesamaan di antara kedua lingkaran tersebut yang menjadi bahan bagi dialog
antara sains dan agama. Varian ini disebut model diadik dialogis, yang dapat dilihat
pada gambar dibawah.

Gambar Model Diadik Dialogis

Model ketiga yaitu model triadik. Model ini merupakan koreksi atas model
diadik independen. Model ini memunculkan filsafat sebagai unsur ketiga yang dapat
menjembatani antara sains dan agama. Model ini juga dapat dirubah dengan
menggantikan filsafat dengan humaniora atau ilmu-ilmu kebudayaan, sehingga
kebudayaaanlah yang menjembatani sains dan agama. Model ini dapat digambarkan
seperti pada gambar dibawah.

Gambar Model Triadik Komplementer

Model keempat, yang juga merupakan koreksi terhadap model diadik dan
triadik, disebut model tetradik. Salah satu interpretasi dari model diadik
komplementer yaitu identifikasi komplementasi “sains/agama” dengan
komplementasi “luar/dalam”, dimana pemilahan “luar/dalam” identik dengan
pemilahan “objek/subjek” dalam perspektif epistemologi. Pemilahan ini menurut
pemikir Amerika seperti Ken Wilber dianggap tidak mencukupi untuk memahami
fenomena budaya. Ia menambahkan komplementasi baru. Komplementasi baru
tersebut yaitu komplementasi postmodernis “satu/banyak”. Komplementasi itu
disebut Wilber sebagai komplementasi “individual/sosial”. Dengan adanya dua
komplementasi ini, maka realitas budaya dibagi menjadi empat kuadran seperti yang
tampak pada gambar dibawah.
Gambar Model Empat Kuadran Ken Wilber
Kuadran disebelah kiri atas menampilkan subjektivitas, yang menjadi wilayah
pembicaraan psikologi Barat dan mistisisme Timur. Kuadran sebelah kanan atas
manampilkan objektivitas yang menjadi wilayah kajian sains atau ilmu-ilmu
kealaman. Kuadran kiri bawah menampilkan intersubjektivitas yang menjadi topik
bahasan humaniora atau kebudayaan. Sementara itu, kuadran kanan bawah
menampilkan interobjektivitas yang mempelajari gabungan objek-objek yang disebut
Wilber sebagai masyarakat dan teknologi masuk didalam kuadran ini.

Kuadran Wilber di atas menginspirasikan adanya empat kuadran keilmuan,


yaitu ilmu-ilmu keagamaan (kiri atas), ilmu-ilmu kealaman (kanan atas), ilmu-ilmu
kebudayaan (kiri bawah), dan ilmu-ilmu keteknikan (kanan bawah).

Model selanjutnya yaitu model pentadik integralisme. Kategori-kategori


objektivitas, interobjektivitas, intersubjektivitas, dan subjektivitas yang dikemukakan
Wilber selaras dengan kategori materi, energi, informasi, dan nilai-nilai dalam
integralisme Islam. Hanya saja, dalam integralisme Islam dikenal kategori kelima,
yaitu kategori sumber, yakni sumber pokok dari nilai-nilai, yang bernama wahyu.
Tidak seperti kategori Wilber, kelima kategori integralisme Islam tersusun sebagai
suatu hierarki yang berjenjang dari materi ke sumber, melalui energi, informasi, dan
nilai-nilai. Hierarki kategori integralis ini tidak berbeda dengan perumusan
kontemporer bagi hierarki dasar yang secara implisit terstruktur dalam berbagai tradisi
pemikiran Islam seperti tasawuf, fiqih, kalam, dan hikmat seperti yang terangkum
dalam Tabel dibawah.

Tabel Paradigma Integralisme Islam


Hierarki pentadik menurunkan metodologi keilmuan empiris Islam. Adanya
tataran materi menunjukkan bahwa manusia tidak dapat untuk tidak menggunakan
instrumen materiil untuk meneliti alam materiil. Eksistensi tataran energi menuntut
manusia untuk menggunakan interaksi pertukaran energi secara empiris antara
instrumen dan objek ilmu, yang biasanya disebut sebagai eksperimen untuk
mendapatkan data.Data itu harus dianalisis untuk mendapatkan fakta eksperimental.
Metode eksperimen sesungguhnya memanfaatkan hukum Tuhan. Seperti teori-
teori fundamental sains dibuat berdasarkan sejumlah postulat, hukum-hukum
fundamental yang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip alam. Prinsi-prinsip alam
tersebut ditemukan secara intuitif oleh para ilmuwan. Prinsip-prinsip alam ini tersebut
manifestasi sifat-sifat Sang Maha Pencipta.
Jadi, islamisasi paradigma sains dengan model pentadik tidaklah bertentangan
dengan metode ilmiah sains modern. Jika harus dicari titik bedanya, sesungguhnya
terletak pada pengakuan atas wahyu melalui intuisi. Sains islami memasukkan intuisi
secara eksplisit di atas rasio yang pada gilirannya berada di atas empiritas. Intuisi
yang paling tinggi adalah penerimaan wahyu ilahi oleh para nabi termasuk tentunya
Nabi Muhammad Saw sebagai Nabi dan Rasul terakhir.

D. Reintegrasi Islam dan Sains

Integrasi merupakan combine (parts) into a whole, join wits other group or
race(s) yaitu menggabungkan bagian-bagian yang terpisah dalam satu kesatuan.
Dalam kata lain Integrasi berarti utuh atau menyeluruh. Integrasi bukan sekedar
menggabungkan pengetahuan sains dan agama atau memberikan bekal norma
keagamaan yang sangat dominan. Lebih dari itu, integrasi adalah upaya
mempertemukan cara pandang, cara bepikir dan cara bertindak antara sains dan Islam.
Integrasi juga memiliki pemikiran ekslusif Islam dengan pemikiran sekuler Barat,
sehingga dihasilkan pola dan paradigma keilmuan baru yang utuh dan modern.
Sains digunakan dalam bidang ilmu pengetahauan sebagai ilmu yang merujuk
kepada objek-objek yang berada di alam yang bersifat umum dan menggunakan
hukum-hukum pasti yang berlaku kapanpun dan dimanapun. Sains merupakan
merupakan kumpulan pengetahuan dan cara untuk mendapat kan dan mempergunakan
pengetahuan tersebut. Sains merupakan produk dan proses yang tidak dapat dpisahkan
“Real Science is both product and process, inseparably joint”. Ilmu sains berasal dari
ayat-ayat kauniyah yang berarti ucapan atau perkataan yang dipaparkan melalui
pembuktian, ilmu sains merespon 3 kemajuan yaitu Restorasionis berusaha mencari
pembaharuan masa lalu kemudian meletakkan kegagalan/ kemunduran orang Islam
karena penyimpangan dari jalan yang benar serta kelompok Islam menentang pondasi
dan kemunculan metode dan sains ilmiah sekuler modern. Rekontruksi danPrakmatis
merupakan berpandangan tidak sama dengan restrosinis karena posisi penganut
rekontruksionis dan pramatis mengintegrasikan kembalai ajaran-ajaran Islam tertentu
untuk memperbaiki hubungan peradaban modern dengan Islam.
Di dunia Islam, pemikiran tentang integrasi sains dan agama dapat
kelompokkan ke dalam dua arus utama. Yang pertama adalah para pemikir yang
berusaha melakukan integrasi antara sains dengan Islam dengan cara menggunakan
sains, terutama sains sosial dan humaniora yang muncul pada abad ke-19 dan
sesudahnya. Apa yang telah dilakukan Hassan Hanafi, Fazlur Rahman, Mohammed
Arkoun, dan Mohammed Abid al-Jabiri dapat disebut sebagai contoh dari
kecenderungan yang mewakili arus pemikiran ini. Inilah yang disebut oleh Amin
Abdullah dengan “Humanisasi Ilmu-ilmu Keislaman”. Humanisasi ilmu-ilmu
keislaman ini perlu dilakukan karena ilmu-ilmu keislaman selama ini dinilai terlalu
bersifat teosentris, atau menurut ungkapan Qodri Azizy, “merupakan barang langit
atau barang ‘mati’ yang tidak lagi applicable (bisa diaplikasikan) di tengah-tengah
masyarakat dan yang menggantung di awang-awang karena tidak bisa tersentuh oleh
pemikiran baru”.
Humanisasi ilmu-ilmu Keislaman dengan demikian dapat disebut sebagai
sebuah gagasan dalam strategi pengembangan ilmu-ilmu ke-Islaman yang bertujuan
agar ilmu-ilmu keIslaman dapat memberikan pemahaman terhadap Islam yang
kontekstual dengan tantangan zaman yang dihadapi dengan bantuan sains moderen
dan bahkan kontemporer, seperti sejarah, filsafat, antropologi, linguistik, yang pada
gilirannya diharapkan dapat menjawab tantangan historis, khususnya pembebasan
umat Islam dari belenggu keterbelakangan.Apa yang dilakukan dengan gagasan
Humanisasi Ilmu-ilmu Keislaman ini mungkin mirip dengan yang dilakukan oleh para
Teolog Kristen yang berusaha mengintegrasikan sains dan agama dengan cara
menggunakan sains untuk memahami agama, misalnya penggunaan Hermeneutika
digunakan untuk memahami Bible. Pemikir-pemikir Islam seperti Hassan Hanafi,
Fazlurrahman, dan Nasr Hamid Abu Zaid juga melakukan hal yang sama. Jadi fokus
dari Gagasan Humanisasi Ilmu-ilmu Keislaman ini adalah pada Ilmu-ilmu
Keislamannya,yang dipandang bersifat teosentris dan tidak “membumi”, sehingga
perlu dihumanisasi dan dibumikan, dengan bantuan ilmu-ilmu moderen-kontemporer.
Yang kedua adalah para pemikir yang berusaha melakukan integrasi antara sains
dengan Islam dengan cara memberikan visi Islam ke dalam sains modern Barat. Inilah
yang disebut dengan gagasan Islamisasi Sains, sebagaimana yang dikembangkan oleh
tokoh-tokoh seperti Seyyed Hossein Nasr, Mohammad Naquib al-Atas, dan Ismail
Raji al-Faruqi. Dua yang disebut pertama lebih dikenal sebagai tokoh yang secara
filosofis telah menunjukkan kelemahan-kelemahan ilmu pengetahuan modern, dan
mengemukakan kemungkinan ilmu pengetahuan yang Islami diwujudkan sebagai
alternatif, serta sekaligus memberikan landasan filosofisnya. Sementara al-Faruqi
dikenal secara luas sebagai tokoh yang melontarkan gagasan tentang Islamisasi Sains,
tidak saja dalam bentuk landasan filosofis melainkan juga tawaran metodologis dan
program tindakan untuk mewujudkannya.

BAB III
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA

Armahedi Mahzar. “Integrasi Sains dan Agama: Model dan Metodologi” dalam
Zainal Abidin et.al.. Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi (Bandung:
Mizan, 2005).

A. Qodry A. Azizy. “Penelitian Agama di Dunia Barat” dalam Jurnal Penelitian


Walisongo, Pusat Penelitian IAIN Walisongo, Edisi 13, 1999.

Et.al., Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi (Bandung: Penerbit Mizan,
2005).

Herdi SRS dan Ulil Abshor-Abdalla. “Meruntuhkan Hegemoni Tafsir, Menghidupkan


Kembali Teks” dalam Ulumul Qur’an, No. 3, Vol. V, Tahun 1994, 84-7.

John Naisbitt dan Patricia Aburdene. Megatrend 2000: Ten Directions for the 1990’s
(New York: William Morrow and Company, Inc., 1990) di bawah judul “Religious
Revival of the Third Millennium”, 270-97.

K. Bertens. Ringkasan Sejarah Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1991).

Kuhn, Thomas, The Structure of Scientific Revolutions. London: The University of


Chicago Press. Ltd., 1970.
Murphy, Nancey, Theology in The Age of Scientific Reasoning. Ithaca & London:
Cornell University Press, 1990.

Osman Bakar, Tauhid dan Sains: Esai-esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam
terj. Yuliani Liputo (Bandung: Pustaka Hidayah, 1991).

Syamsul Arifin, et.al.. Spiritualitas Islam dan Peradaban Masa Depan (Yogyakarta:
Sipress, 1996).

Sholihan, dkk, Nilai-nilai Keislaman dalam Pendidikan Sains dan Teknologi di


Pendidikan Tinggi Malaysia. Semarang: Laporan Penelitian Kolektif, 2013.

Symons, John (eds.), Otto Neurath and the Unityof Science. New York: Springer,
2011.

Rahman, Shahid (Eds.), The Unity of Science in the Arabic Tradition: Science, Logic,
Epistemology, and Their Interactions. New York: Springer, 2004.

Zainal Abidin Bagir. “Bagaimana ‘Mengintegrasikan’ Ilmu dan Agama” dalam Zainal
Abidin Bagir, et.al., Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi (Bandung:
Penerbit Mizan, 2005).

Anda mungkin juga menyukai