Anda di halaman 1dari 24

HUBUNGAN ILMU PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN AGAMA

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu


Dosen: Dr. Rukiyati., M.Hum.

Disusun Oleh:
1. Sirka Paryanti (20730251011)
2. Oktana Wahyu Perdana (20730251022)
3. Irvan Mahendra (20730251024)

PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2020/2021

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penyusun panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya dalam penyusunan makalah
“Hubungan Ilmu Pendidikan Kewarganegaraan dengan Agama” Tujuan
penyusunan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu.
Dalam penyusunan makalah ini, Penyusun menyampaikan terima kasih
kepada dosen pengampu Metode Penelitian Pendidikan yang membimbing
menyusun makalah ini baik moril maupun materil. Terima kasih juga kepada
teman-teman yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Penyusun sudah berusaha membuat makalah ini secara maksimal, namun
semaksimal kami dalam menyusun makalah ini pasti terdapat kekurangan. Oleh
karena itu Penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua
kalangan. Aamiin.

Yogyakarta, 23 Oktober 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i

KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................... iii

Bab I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .............................................................................. 1

C. Tujuan Penulisan ................................................................................ 1

Bab II PEMBAHASAN ................................................................................... 2

A. Definisi Ilmu ...................................................................................... 2

B. Definisi Pendidikan Kewarganegaraan .............................................. 3

C. Definisi Agama .................................................................................. 6

D. Hubungan Ilmu Pendidikan Kewarganegaraan dengan Agama ........ 9

Bab III Kesimpulan ......................................................................................... 20

A. Kesimpulan ........................................................................................ 20

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 21

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pendidikan Kewarganegaraan adalah sebuah bagian dari studi
interdisipliner dan multidisipliner bahkan trandispliner dan ilmu-ilmu sosial dan
humaniora serta nilai-nilai agama dari kebangsaan. PKn sendiri mebawa misi salah
satunya untuk memebentuk warga negara yang cerdas demokratis dan berakhlak
mulia yang konsisten terhadap cita-cita demokrasi dan memebangun karakter
bangsa. Dimensi manusia sebagai mahluk individual, mahluk sosial, mahluk religi
yang memiliki kedudukan sebagai warga negara Indonesia yang hendaknya
berkembang serta mematuhi norma-nrma dalam masyarakat dan aktualisasi dirinya
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Secara agama dalam pendidikan kewarganegaraan memiliki persamaan
yaitu dalam tujuan menanamkan nialai-nilai kehdupan bermasyarakat dan
bernegara serta budi pekerti atau akhlak yang luhur. Di dalam agama ataupun
pendidikan agama perlunya mencapai dan mengamalkan moral atau akhlak dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan demikian pkn dan agama memiliki kesamaan yang
berorientasi dalam membentuk baik peserta didik dan warganegara yang baik ,
beriman dan bertakwa terhaddap tuhan yang maha Esa sesuai dengan konstitusi dan
falsafah bangsa. Maka tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui
hubungan ilmu pkn dan agama secara ontology, epistimologi dan secara aksiologi .
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas maka dapat ditentukan rumusan
masalah yaitu:
1. Bagaimana hubungan ilmu pendidikan kewarganegaraan dengan agama?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui hubungan ilmu pendidikan kewarganegaraan dengan
ilmu agama.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Ilmu
Untuk memahami ilmu dengan baik dan menguasainya secara
mendalam guna pengembangannya, pengetahuan mengenai hakikat ilmu
merupakan keharusan mutlak. Akan tetapi hakikat ilmu dalam esensinya bukan
masalah sederhana, melainkan problem filsafat yang justru paling rumit dan
fundamental serta telah menimbulkan perbedaan konsep filosof dalam aspek
ontologi, epistimologi dan aksilogi. Bahkan kaum sofis menolak eksistensinya
sebagai kebenaran objektif. Ini terlihat sepanjang sejarah zaman Yunani kuno
hingga dewasa ini, yang masing-masing aliran mempunyai hukum atau teori
sendiri untuk melegitimasi dan menunjukkan keunggulannya di atas aliran lain
yang sering bersifat apologetik atau sugestif (Anwar, 2007: 77).
Menurut filosof kuno (dalam Anwar, 2007: 92) ilmu didefinisikan
terhasilkannya “gambar” sesuatu pada akal, sama saja apakah sesuatu itu
merupakan universal atau partikular, baik ada maupun tiada. Masih dalam buku
yang sama Razi mendefinisikan ilmu sebagai putusan akal yang pasti dan cocok
dengan realitas obyek berdasarkan suatu argumen. Sedangkan Menurut Ghazali
ilmu adalah terhasilkannya salinan objek pada mental subjek sebagaimana
realitas objek sendiri, yang dalam bahasa dinyatakan sebagai proposisi-proposisi
yang pasti dan sesuai dengan realitas objek berdasarkan metode ilmiah tertentu.
Untuk kemajuan dan kebahagiaan manusia secara pribadi.
Di zaman Plato bahkan pada masa al-Kindi batas antara filsafat dan
ilmu pengetahuan boleh disebut tidak ada. Seorang filosof pasti menguasai
semua ilmu. Tetapi perkembangan daya pikir manusia yang mengembangkan
filsafat pada tingkat praksis, berujung pada cepatnya loncatan ilmu dibandingkan
dengan loncatan filsafat. Meski ilmu lahir dari filsafat, tetapi dalam
perkembangan berikut, perkembangan ilmu pengetahuan yang didukung oleh
kecanggihan teknologi, telah mengalahkan perkembangan filsafat. Wilayah
kajian filsafat bahkan seolah menjadi sempit dibandingkan dengan masa awal

2
3

perkembangannya, dibandingkan dengan wilayah kajian ilmu. Oleh


karena itu, tidak salah jika kemudian muncul suatu anggapan bahwa untuk saat
ini, filsafat tidak lagi dibutuhkan bahkan kurang relevan dikembangkan oleh
manusia. Sebab manusia hari ini lebih membutuhkan ilmu yang sifatnya lebih
praksis dibandingkan dengan filsafat yang terkadang sulit dibumikan. (Sumarna,
2004: 36)
Ilmu telah menjadi sekelompok pengetahuan yang terorganisir dan
tersusun secara sistematis. Tugas ilmu menjadi lebih luas, yakni bagaimana ia
mempelajari gejala-gejala sosial lewat observasi dan eksperimen (Kartono
dalam Sumarna, 2004: 36). Keinginan-keinginan melakukan observasi dan
eksperimen sendiri, dapat didorong oleh keinginannya untuk membuktikan hasil
pemikiran filsafat yang cenderung spekulatif ke dalam bentuk ilmu yang praksis.
Dengan demikian, ilmu pengetahuan manusia yang telah dihasilakn oleh hasil
kerja filsafat kemudian dibukukan secara sistematis dalam bentuk ilmu yang
telah terteoritisasi (Keraf dalam Sumarna, 2004: 37). Kebenaran ilmu dibatasi
hanya pada sepanjang pengalaman dan sepanjang pemikiran, sedangkan filsafat
menghendaki pengetahuan yang komprehensif, yakni; yang luas, yang umum
dan yang universal (menyeluruh dan itu tidak diperoleh oleh ilmu (Sumarna,
2004: 37).

B. Definisi Pendidikan Kewarganegaraan


Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan menurut Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah adalah mata pelajaran yang memfokuskan
pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan
hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara yang cerdas, terampil,
dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.
Selaras dengan pengertian dari Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional maka Pendidikan kewarganegaraan diartikan sebagai penyiapan
generasi muda (peserta didik) untuk menjadi warga negara yang memiliki
4

pengetahuan, kecakapan, dan nilai-nilai yang diperlukan untuk berpartisipasi


aktif dalam masyarakatnya.
1. Berpikir secara kritis, rasional dan kreatif dalam menanggapi isu
kewarganegaraan.
2. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara
cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta anti-
korupsi.
3. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri
berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup
bersama dengan bangsa-bangsa lain.
4. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara
langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi
dan komunikasi.
Sedangkan Pendidikan Kewarganegaraan menurut Cholisin adalah
media pengajaran yang mengIndonesiakan para siswa secara sadar, cerdas, dan
penuh tanggung jawab. Karena itu, program PKn memuat konsep-konsep
umum ketatanegaraan, politik dan hukum negara, serta teori umum yang lain
yang cocok dengan target tersebut (Cholisin, 2000:18).
Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan memuat beberapa hal yang
memuat nilai-nilai karakter. Untuk mencapai tujuan tersebut Pendidikan
Kewarganegaraan memiliki komponen-komponen yaitu pengetahuan
kewarganegaraan (civic knowledge), keterampilan kewarganegaraan (civic
skill), dan karakter kewarganegaraan (civic disposition) yang masing-masing
memiliki unsur.
Menurut Budimansyah (dalam Komalasari, 2010: 264-265) bahwa
dalam paradigma baru, pendidikan kewarganegaraan merupakan salah satu
bidang kajian yang mengemban misi nasional untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa Indonesia melalui koridor “value based education” dengan kerangka
sistematik sebagai berikut:
5

1. Secara kurikuler bertujuan untuk mengembangkan potensi individu agar


menjadi warga negara Indonesia yang berakhlak mulia, cerdas, partisipatif,
dan bertanggung jawab.
2. Secara teoritik memuat dimensi-dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik
yang bersifat konfluen atau saling berpenetrasi dan terintegrasi dalam
konteks substansi ide, nilai, konsep, dan moral pancasila, kewarganegaraan
yang demokratis, dan bela negara.
3. Secara programatik menekankan pada isi yang mengusung nilai-nilai dan
pengalaman belajar dala bentuk berbagai perilaku yang perlu diwujudkan
dalam kehidupan seharihari dan merupakan tuntunan hidup bagi warga
negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara sebagai
penjabaran lebih lanjut dari ide, nilai, konsep, dan moral pancasila,
kewarganegaraan yang demokratis dan bela negara.
Ketiga kerangka sistematik pendidikan kewarganegaraan tersebut
menjelaskan bahwa pendidikan kewarganegaraan merupakan mata pelajaran
yang mengemban misi pendidikan nilai. Hal tersebut juga jelas tergambar
pada tujuan dan fungsi dari Pendidikan Kewarganegaraa. Secara umum
Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan untuk mengembangkan potensi
individu warga negara Indonesia yang memiliki wawasan, disposisi, serta
keterampilan intelektual dan sosial kewarganegaraan yang memadai, yang
memungkinkan untuk berpartisipasi secara cerdas dan bertanggung jawab
dalam berbagai dimensi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
PKn juga memiliki fungsi sebagai wahana untuk membentuk warga
negara yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang setia kepada Bangsa dan
Negara Indonesia dengan merefleksikan dirinya dalam kebiasaan berpikir dan
bertindak sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945 (Depdiknas, 2001:
5)
Menurut Soemantri (2001: 166) fungsi Pendidikan Kewarganegaraan,
yaitu: “Usaha sadar yang dilakukan secara ilmiah dan psikologis untuk
memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik agar terjadi internalisasi
6

moral Pancasila dan pengetahuan Kewarganegaraan untuk melandasi tujuan


pendidikan nasional.

C. Definisi Agama
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang
mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang
Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan
manusia serta lingkungannya.
Kata “agama” berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang berarti
“tradisi”. Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang
berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang
berarti “mengikat kembali”. Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat
dirinya kepada Tuhan.
Émile Durkheim mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem yang
terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal
yang suci. Kita sebagai umat beragama semaksimal mungkin berusaha untuk
terus meningkatkan keimanan kita melalui rutinitas beribadah, mencapai rohani
yang sempurna kesuciannya
Definisi tentang agama dipilih yang sederhana dan meliputi. Artinya
definisi ini diharapkan tidak terlalu sempit atau terlalu longgar tetapi dapat
dikenakan kepada agama-agama yang selama ini dikenal melalui penyebutan
nama-nama agama itu. Agama merupakan suatu lembaga atau institusi penting
yang mengatur kehidupan rohani manusia. Untuk itu terhadap apa yang dikenal
sebagai agama-agama itu perlu dicari titik persamaannya dan titik perbedaannya.
Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan
akan keterbatasannnya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa
diluar dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal dari sumber yang luar
biasa juga. Dan sumber yang luar biasa itu ada bermacam-macam sesuai dengan
bahasa manusianya sendiri. Misal Tuhan, Dewa, God, Syang-ti, Kami-
Sama dan lain-lain atau hanya menyebut sifat-Nya saja seperti Yang Maha
Kuasa, Ingkang Murbeng Dumadi, De Weldadige, dan lain-lain.
7

Keyakinan ini membawa manusia untuk mencari kedekatan diri


kepada Tuhan dengan cara menghambakan diri, yaitu:
a. Menerima segala kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya dan yakin
berasal dari Tuhan
b. Menaati segenap ketetapan, aturan, hukum dll yang diyakini berasal dari
Tuhan
Dengan demikian diperoleh keterangan yang jelas, bahwa agama itu
penghambaan manusia kepada Tuhannya. Dalam pengertian agama terdapat 3
unsur, ialah manusia, penghambaan dan Tuhan. Maka suatu paham atau ajaran
yang mengandung ketiga unsur pokok pengertian tersebut dapat disebut agama.
Sejarah agama hampir setua umur sejarah manusia karena hampir
setiap kelompok manusia telah memeluk agama dengan keyakinan dan
kepercayaan masing-masing. Agama memiliki andil yang besar dalam
membangun peradaban umat manusia. Kesuksesan agama dalam membentuk
suatu masyarakat menghasilkan berbagai kemajuan di berbagai bidang,
termasuk ilmu pengetahuan.
Catatan-catatan tentang agama dan pengalaman-pengalaman adalah
bukti hidup terhadap eksistensi agama yang tidak terbantahkan. Sejarah
mencatat, agama mengiringi keberhasilan suatu bangsa dalam menguasai
sebagian besar wilayah didunia. Sebut saja Islam -tanpa mendiskreditkan agama
yang lain- yang berjaya sampai tanah Andalusia. Agama islam yang sebagian
besar pemeluknya adalah bangsa arab melakukan ekspansi besar-besaran
terhadap dunia. Hasilnya, bangsa Arab dengan Islam-nya dapat menguasai
sebagian besar wilayah dunia. Selain itu, penyebaran agama islam begitu pesat
sekaligus menciptakan berbagai kemajuan di segala bidang.
Agama sebagai institusi sekaligus sebagai fasilitator yang dapat
menempatkan manusia sebagai makhluk yang bermartabat, dan menjadikannya
makhluk paling sempurna. Meski demikian, agama tidak selalu diterima di
kelompok masyarakat. Banyak sekali kelompok masyarakat yang “tidak
menerima” agama. Agama bagi mereka hanyalah suatu imajinasi karya manusia
yang tidak nyata, tidak berguna dan cenderung membatasi kebebasan manusia.
8

Para filsuf yunani, diantaranya adalah Karl Mark (1818-1883 M)


menganggap agama adalah candu bagi manusia. Dimana agama dijadikan
pelarian dari masalah sosial dan ekonomi yang tidak bisa diselesaikan. Bahkan
Nietzsche (1844-1900 M) mengatakan “Manusia unggul hanya mungkin
terwujud dengan kematian Tuhan”. Sedangkan menurut Sigmund Freud (1856-
1939 M) agama adalah suatu khayalan yang bersumber pada adanya kondisi
tertekan yang terpendam dalam pribadi manusia. Kondisi tertekan itu terjadi
karena adanya konflik antara tuntutan naluriah dan tuntutan sosial. Karena
menurutnya, keyakinan tentang Tuhan dan agama pada umumnya berakar pada
kebutuhan untuk menemukan kompromi yang menyenangkan antara tuntutan
naluriah dan tuntutan hidup yang mengancam. Agama pun dianggapnya sebagai
sesuatu yang merugikan bagi pertumbuhan manusia. Pendapat-pendapat tersebut
banyak mendapat tempat di kalangan masyarakat tertentu. Walaupun jika dilihat
lebih dalam lagi, pandangan-pandangan diatas tidak representatif dan
proporsional apabila diletakkan dalam konteks pembangunan manusia
seutuhnya. Pandangan tersebut cenderung membatasi atau bahkan menghalangi
upaya aktualisasi potensi kemanusiaan secara optimal karena hanya
menganggap agama sebagai sesuatu yang tidak lebih dari sekedar cara yang
diterima bersama untuk mengatasi ketegangan, kecemasan dan penderitan
semata.
Menurut Leight, Keller dan Calhoun, agama terdiri dari beberapa
unsur pokok:
a. Kepercayaan agama, yakni suatu prinsip yang dianggap benar tanpa ada
keraguan lagi
b. Simbol agama, yakni identitas agama yang dianut umatnya.
c. Praktik keagamaan, yakni hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan-
Nya, dan hubungan horizontal atau hubungan antarumat beragama sesuai
dengan ajaran agama
d. Pengalaman keagamaan, yakni berbagai bentuk pengalaman keagamaan yang
dialami oleh penganut-penganut secara pribadi.
e. Umat beragama, yakni penganut masing-masing agama
9

Fungsi Agama
 Agama sejak “kelahirannya” merupakan suatu yang dianggap sakral. Agama
merupakan suatu sistem yang mengatur mulai dari cara beribadah dan
menyembah Tuhan sampai mengatur pola kehidupan dengan menjanjikan
kebahagiaan baik di dunia ataupun di akhirat.
 Agama menurut D.C Mulder adalah suatu keyakinan akan adanya realitas lain
selain realitas ini. Sedangkan Whitehead mengatakan, “Dilihat dari
ajarannya, agama adalah sistem kebenaran umum yang mempunyai akibat
mengubah perangai manusia jika dipegang teguh dan dilaksanakan dengan
sukarela”.

D. Hubungan Ilmu Pendidikan Kewarganegaraan dengan Agama


1. Secara Ontologis Hubungan Ilmu Pendidikan Kewarganegaraan dengan
Agama
PKn Secara ontologikal memilki dua dimensi, yakni obyek telaah
dan obyek pengembangan (Winataputra, 2001). Obyek telaah adalah
keseluruhan aspek idiil, instrumental, dan praktis PKn yang secara internal
dan eksternal mendukung sistem kurikulum dan pembelajaran PKn di sekolah
dan di luar sekolah, serta format gerakan sosial-kultural kewarganegaraan
masyarakat. Sedangkan obyek pengembangan atau sasaran pembentukan
adalah keseluruhan ranah sosio-psikologis peserta didik yang oleh Bloom
dkk, dikategorikan ke dalam ranah kognitif, afektif, konatif, dan
psikomotorik, yang menyangkut status, hak dan kewajibannya sebagai warga
negara yang perlu dimuliakan dan dikembangkan secara programtik guna
mencapai kualitas warga negara yang “cerdas, dan baik” dalam arti religius,
demokratis dan berkeadaban dalam konteks kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Yang dimaksud dengan aspek idiil dalam objek telaah PKn adalah
landasan dan kerangka filosofis yang menjadi titik tolak dan sekaligus sebagai
muaranya pendidikan kewarganegaraan diIndonesia. Yang termasuk dalam
aspek idiil PKn adalah landasan dan tujuan pendidikan nasional, sebagaimana
10

tertuang dalam UUD 1945, UU No. 20 Thn 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Aspek instrumental dalam objek telaah PKn adalah sarana
programatik pendidikan yang sengaja dibangun dan dikembangkan untuk
menjabarkan substansi aspek-aspek idiil. Yang termasuk ke dalam aspek ini
adalah; kurikulum, bahan belajar, guru, media dan sumber belajar, alat
penilaian belajar, ruang belajar dan lingkungan. Sedangkan yang dimaksud
dengan aspek praktis dalam objek telaah PKn adalah perwujudan nyata dari
sarana programatik kependidikan yang kasat mata, yang pada hakekatnya
merupakan penerapan konsep, prinsip, prosedur, nilai, dalam pendidikan
kewarganegaraan sebagai dimensi “poietike” yang berinteraksi dengan
keyakinan, semangat, dan kemampuan para praktisi, serta konteks pendidikan
kewarganegaraan, yang diikat oleh substansi idiil sebagai dimensi “pronesis”
yakni truth and justice. Termasuk juga dalam aspek praktis ini adalah
interaksi belajar di kelas dan atau di luar kelas, dan pergaulan sosial-budaya
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang memberi
dampak edukatif kewarganegaraan.
Pengembangan ketiga aspek tersebut dalam pendidikan
kewarganegaraan dimaksudkan menghasilkan peserta didik yang memiliki
budi pekerti dan selalu berpikir kritis dalam menanggapi isu
kewarganegaraan serta selalu berpartisipasi aktif dan bertanggung jawab serta
bertindak secara cerdas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara sehingga akan menciptakan karakter masyarakat Indonesia yang
baik dan aktif dalam kehidupan antar bangsa dan Negara.
Sebagian ahli memiliki kemampuan yang sangat tinggi dalam
memikirkan berbagai hal yang mencakup alam, manusia bahkan Tuhan yang
disembah oleh manusia. Dalam konteks ini, terdapat hal-hal tertentu yang
cenderung memiliki kesamaan antara agama dan filsafat. Tidak
mengherankan dalam khazanah Islam, dianggap seseorang yang mampu
dalam hal pemikiran melebihi manusia kebanyakan, dianggap sebagai Nabi.
Lalu, sebagian yang lain, karena kemampuan seorang Nabi terutama dalam
mengucapkan ungkapan-ungkapan bijaksana adakalanya juga dikatakan
11

sebagai filosof. Untuk itu, Logika yang ada dalam Islam memiliki corak
tersendiri dibandingkan logika Barat yang bebas nilai-nilai keagamaan.
Filsafat, sebagai sebuah metode berpikir yang sistematis merupakan
salah satu pendekatan tersendiri dalam memahami kebenaran. Dalam konteks
keagamaan, pemikiran tentang berbagai hal dan urusan. Karenanya dalam
filsafat juga dibicarakan bagaimana keberadaan Tuhan, dan juga persoalan
kenabian, kedudukan dan fungsi akal dan wahyu, penciptaan manusia serta
ibadah yang dilakukan oleh manusia. Secara lebih jelas, hal ini dapat dilihat
pada uraian tentang objek filsafat, yaitu antara lain sebagai berikut:
 Dari apakah benda-benda dapat berubah menjadi lainnya, seperti
perubahan oksigen dan hidrogen menjadi air?
 Apakah zaman itu yang menjadi ukuran gerakan dan ukuran wujud seua
perkara?
 Apakah bedanya makhluk hidup dengan makhluk yang tidak hidup?
 Apakah ciri-ciri khas makhluk hidup itu?
 Apa jiwa itu, jiwa itu ada, apakah jiwa manusia itu abadi atau musnah?
 Dan masih ada pertanyaan-pertanyaan yang lain.
Pengungkapan pertanyaan-pertanyaan di atas, dalam Islam
merupakan sesuatu yang dapat menjadikan pemikir tersebut menjadi yakin
akan keberadaan Tuhan. Dan semakin berkeinginan untuk menjadikan
hidupnya lebih bermakna. Filsafat memasuki lapangan-lapangan ilmu
keislaman dan mempengaruhi pembatasan-pembatasannya. Penyelidikan
terhadap keilmuan meliputi kegiatan filsafat dalam dunia Islam. Dengan
demikian filsafat Islam secara khusus memisahkan diri sebagai ilmu yang
mandiri. Walaupun hasil juga ditemukan keidentikan dengan pemandangan
orang Yunani (Aristoteles) dalam masalah teori tentang pembagian filsafat
oleh filosof-filosof Islam.
Para ulama Islam memikirkan sesuatu dengan jalan filsafat. Ada
yang lebih berani dan lebih bebas daripada pemikiran-pemikiran mereka yang
biasa dikenal dengan nama filosuf-filosuf Islam. Di mana perlu diketahui
12

bahwa pembahasan ilmu Kalam dan Tasawuf banyak terdapat pikiran dan
teori-teori yang tidak kalah teliti daripada filosuf-filosuf Islam.
Anatara filsafat ilmu PKn dan agama, hubungan nya sangat erat,
sebagai contoh Pancasila sebagai dasar filsafat negara Republik Indonesia
memiliki susunan lima sila yang merupakan suatu persatuan dan kesatuan
serta mempunyai sifat dasar kesatuan yang mutlak, yang berupa sifat kodrat
monodualis yaitu sebagai makhluk individu sekaligus juga sebagai makhluk
sosial, serta kedudukannya sebagai makhluk pribadi yang berdiri sendiri dan
sekaligus juga sebagai makhluk Tuhan. Konsekuensi pancasila dijadikan
dasar negara Indonesia adalah segala aspek dalam penyelenggaraan negara
diliputi oleh nilai-nilai pancasila yang merupakan kodrat manusia yang
monodualis tersebut.
Secara ontologinya kajian pancasila sebagai filsafat dimaksudkan
sebagai upaya untuk mengetahui hakikat dasar sila-sila pancasila. Menurut
Notonagoro, hakikat dasar antologi pancasila adalah manusia, karena
manusia ini yang merupakan subjek hukum pokok sila-sila pancasila.
Sila Pertama dari Pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa", yang
berarti bangsa Indonesia percaya adanya Tuhan Yang Maha Esa,
Mengandung arti juga, seluruh alam ciptaan-Nya ini adalah penuh dengan
keanekaragaman, melainkan merupakan satu kesatuan, terdapat hubungan
satu sama lainnya mewujudkan satu kesatuan Jadi Persatuan dalam
keragaman; Keragaman dalam persatuan dan sila ini menyinari keempat sila
lainnya dari Pancasila, oleh itu secara semiotika hukum Pancasila
disimbolkan dengan dua perisai besar yang berisi simbolisasi sila ke
II,III,IV,dan V dan perisai kecil berisi simbolisasi sila ke I, maka perisai kecil
ditengah merupakan inti bagi perisai besar Pancasila, artinya jika sila ke 1
hancur, maka akan berdampak besar terhadap perisai besar yang berisi prinsip
ke Indonesiaan, oleh karena itu disimbolkan dengan warna merah putih.
Indonesia yang mewujudkan sifat-sifat Tuhan atau dalam tataran
Islam mewujudkan As Ma'ul Husna dan salah satunya adalah Yang Maha
Adil. Jadi Persatuan dalam keragaman; Keragaman dalam persatuan, artinya
13

walaupun manusia berbeda agamanya, kebudayaannya dan adat istiadatnya,


maka sifat-sifat Tuhan yang hendak diwujudkan adalah bersifat universal
(Logosentrime) yaitu: sifat-sifat Tuhan Yang Maha Esa, dan menjadi tugas
manusialah mewujudkan sifat-sifat Tuhan Yang Maha Esa itu dalam
kehidupan antar manusia Indonesia, seperti kasih sayang, keadilan,
kebenaran. Agama selain memiliki hubungan horizontal dengan filsafat dan
ilmu PKN, agama juga memiliki hubungan vertikal antara manusia itu sendiri
dengan Tuhan, sebagai pedoman hidup dalam menghadapi kehidupan
sehari"nya.

2. Secara Epistimologis Hubungan Ilmu Pendidikan Kewarganegaraan dengan


Agama
Aspek epistemologi pendidikan kewarganegaraan berkaitan erat
dengan aspek ontologi pendidikan kewarganegaraan, karena memang proses
epistemologis, yang pada dasarnya berwujud dalam berbagai bentuk kegiatan
sistematis dalam upaya membangun pengetahuan bidang kajian ilmiah
pendidikan kewarganegaraan sudah seharusnya terkait pada obyek telaah dan
obyek pengembangannya. Kegiatan epistemologis pendidikan
kewarganegaraan mencakup metodologi penelitian dan metodologi
pengembangan. Metodologi penelitian digunakan untuk mendapatkan
pengetahuan baru melalui:
1. metode penelitian kuantitatif yang menonjolkan proses pengukuran dan
generalisasi untuk mendukung proses konseptualisasi.
2. metode penelitian kualitatif yang menonjolkan pemahaman holistik
terhadap fenomena alamiah untuk membangun suatu teori.
Sedangkan, metodologi pengembangan digunakan untuk
mendapatkan paradigma pedagogis dan rekayasa kurikuler yang relevan guna
mengembangkan aspek-aspek sosial-psikologis peserta didik, dengan cara
mengorganisasikan berbagai unsur instrumental dan kontekstual pendidikan.
Secara historis-epistemologis Amerika Serikat (USA) dapat dicatat
sebagai negara perintis kegiatan akademis dan kurikuler dalam
14

pengembangan konsep dan paradigma “civics”. Pelajaran civics mulai di


perkenalkan pada tahun 1970 dalam rangka meng-amerika-kan bangsa
Amerika (nation building), sebab bangsa amerika terdiri dari berbagai macam
suku, bangsa, ras, maupun etnik. Usaha ini dinamakan dengan “theory of
americanzation”. Kemudian pada tahun 1880-an mulai diperkenalkan
pelajaran civics disekolah yang berisikan materi tentang
pemerintahan. Seorang ahli bernama Chresore (1886), pada waktu itu
mengartikan “civics” sebagai “the science of citizenship” atau ilmu
kewarganegaraan, yang isinya mempelajari hubungan antar individu dan
antar individu dengan negara. Selanjutnya pada tahun 1900-an berkembang
mata pelajaran civics yang diisi dengan materi mengenai stuktur
pemerintahan negara bagian dan federasi.
Winataputra mengatakan bahwa selain istilah “civics”, pada tahun
1900-an mulai diperkenalkan istilah “citizenship education” dan ”civic
education”. Istilah-istilah “civics”dan “civic education”, lebih cenderung
digunakan dalam makna yang serupa untuk mata pelajaran di sekolah yang
merupakan suatu lembaga pendidikan formal yang memiliki tujuan utama
untuk mengembangkan siswa sebagai warga negara yang cerdas dan baik.
Sedangkan istilah “Citizenship education” lebih cenderung digunakan dalam
visi yang lebih luas secara informal dan nonformal mulai dari lingkungan
keluarga, organisasi sosial kemasyarakatan sampai pada lingkungan tempat
bekerja, dimana untuk menunjukkan “instruktusional effects” dan“nurturant
effects” dari keseluruhan proses pendidikan terhadap pembentukan karakter
individu sebagai warganegara yang cerdas dan baik, yang dimaksud untuk
membantu perserta didik menjadi warga negara yang aktif, berwawasan luas
dan bertanggung jawab.
Dilihat visi lain perkembangan citizenship education dan civic
education, dalam kenyataannya secara historis-epistemologis tidak bisa
dipisahkan dari perkembangan pemikiran tentang social studies/social
studies education, seperti dapat dilihat di USA. Mengenai saling keterkaitan
antara citizenship education dan civic education dan social studie, pada
15

dasarnya ada dua pandangan utama. Pandangan pertama melihat citizenship


education dancivic education sebagai bagian dari social studies, dan
pandangan kedua melihat citizenship education dan civic education sebagai
esensi atau inti dari social studies. Sementara itu secara epistemologis,
sesungguhnya “Social studies” juga memiliki hubungan erat dengan “social
sciences”, karena itu kedudukannya dan keterkaitannya juga harus dipahami
dengan jelas.
Epistemologis pendidikan kewarganegaraan adalah domain
pendidikan nilai dan karakter. Jadi episistemologis pendidikan
kewarganegaraan adalah proses, cara, perbuatan yang dilakukan agar
pendidikan nilai dan karakter lebih mendapat perhatian yang serius dalam
proses pembelajaran supaya nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang tercermin
dalam Pancasila menjadi sesuatu yang penting dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Selanjutnya Winataputra (2016, 22-23)
menyatakan pula bahwa secara historisepistemologis, perkembangan
Pendidikan Kewarganegaraan (civic/citizenship education) tidak terlepas dari
situasi politik atau demokrasi di banyak negara, education, in, and for
democracy. Oleh karena itu pendidikan termasuk didalamnya Pendidikan
Kewarganegaraan merupakan psikopedagogis, sosio-kultural, dan
peningkatan kualitas peradaban kemanusiaan.
Penulis berpendapat bahwa dalam mata pelajaran Kewarganegaraan
seorang siswa bukan saja menerima pelajaran berupa pengetahuan, tetapi
pada diri siswa juga harus berkembang sikap, keterampilan dan nilai-nilai.
Sesuai dengan Depdiknas yang menyatakan bahwa tujuan PKn untuk setiap
jenjang pendidikan yaitu mengembangkan kecerdasan warga negara yang
diwujudkan melalui pemahaman, keterampilan sosial dan intelektuan, serta
berprestasi dalam memecahkan masalah di lingkungannya. Untuk mencapai
tujuan Pendidikan Kewarganegaraan tersebut, maka guru berupaya melalui
kualitas pembelajaran yang dikelolanya, upaya ini bisa dicapai jika siswa mau
belajar. Dalam belajar inilah guru berusaha mengarahkan dan membentuk
16

sikap serta perilaku siswa sebagai mana yang dikehendaki dalam


pembelajaran PKn.
Kesimpulannya secara epistemologis, Pancasila pada mulanya adalah
harmonisasi dari paham Barat modern sekuler, paham kebangsaan, Islam dan
pelbagai jenis pengetahuan lainnya yang melalui proses perdebatan panjang
hingga mencapai titik temu. Kebenaran yang dikandung Pancasila adalah
kebenaran konsensus. Watak konsensus berkonsekuensi pada fleksibilitas
peninjauan atas konsensus, meskipun jika berubah dalam bentuk yuridis akan
memiliki kekuatan mengikat. Pancasila yang mengandung kebenaran
konsensus adalah sistem terbuka yang dapat ditafsir dalam perbagai arti,
dinilai kelemahan dan kelebihannya dan dikontekstualisasikan dengan
semangat perubahan. Pengetahuan yang bersifat kefilsafatan mengenai
Pancasila memiliki kesesuaian dengan proses tercapainya kesiapan pribadi.
Dengan adanya pengetahuan yang bersifat kefilsafatan mengenai hakikat
Pancasila, itu berarti adanya dasar yang kuat dan kekal untuk
terbentuknya way of life negara, bangsa dan warga negara (Edwin dkk.,
2006:165). Nilai-nilai Pancasila yang terdiri dari lima sila itu memiliki
banyak sumber pengetahuan yang sudah seharusnya mampu
diimplementasikan dalam kehidupan manusia, dan dijadikan petunjuk dalam
berperilaku. Pengetahuan yang terkandung di dalam Pancasila sesungguhnya
sudah cukup untuk mengatasi persoalan kebangsaan dan membawa
kemajuan jika ia diterapkan secara genuine di dalam menjalankan semua
aktivitas, tugas negara maupun tugas akademik.
Jadi intinya adalah bahwa hubungan ilmu pendidikan
kewarganegaraan dengan agama adalah bahwa dalam pendidikan
kewarnegaraan yang disebut pendidikan interdisipliner dimana didalam
pendidikan kewarganegaraan terdapat unsure-unsur terkandung dalam
agama. Begitu sebaliknya dengan agama juga ada nilai-nilai dan unsure-unsur
yang terkandung dalam pendidikan kewarganegaraan. Jadi hubungannya
sangat erat.
17

3. Secara Aksiologis Hubungan Ilmu Pendidikan Kewarganegaraan dengan


Agama
Dilihat dari sisi aliran filsafat hubungan antara ilmu pendidikan
kewarganegaraan dan agama adalah aliran filsafat perenialisme. Aliran
perenialisme berpandangan bahwa persoalan nilai adalah persoalan spiritual,
sebab hakikat manusia adalah jiwanya. Sedangkan perbuatannya merupakan
pancaran isi jiwa yang berasal dari dan dipimpin oleh tuhan.
Dalam tingkah laku manusia sebagai objek telah memiliki potensi
kebaikan sesuai dengan kodratnya dan ada manusia yang berperilaku
cenderung kearah yang tidak baik. Masalah nilai merupakan hal yang utama
dalam perenialisme karena berdasarkan pada asas supranatural yang
menerima universal yang abadi khususnya tingkah laku manusia. Hakikat
manusia yang peryama adalah jiwa oleh karena itu hakikat manuisa
menentukan perbuatan-perbuatannya.
Secara alamiah manusia condong kepada kebaikan. Manusia sebagai
subjek dalam bertingkah laku telah memiliki potensi kebaikan sesuai dengan
kodratnya. Tindakan yang baik adalah sesuai dengan sifat rasional atau
pikiran manusia. Kodrat wujud manusia adalah cerminan dari jiwa dan
pemikiran yang disebut dengan kekuatan potensial yang membimbing
tindakan manusia menuju atau menjauhi tuhan.
Dalam bidang pendidikan perenialisme dipengaruhi oleh tokoh-tokoh
seperti Plato, Aristoteles, dan Tomas Aquinas. Menurut plato manuisa secara
kodrat memiliki tiga potensi yaitu napsu, kemauan, dan pikiran. Pendidikan
hendaknya berorientasi pada tiga potensi tersebut seperti napsu, kemauan,
dan pikiran supaya kebutuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakat
terpenuhi.
Perenialisme menjelaskan bahwa pendidikan harus disesuaikan
dengan keadaan manusia yang mempunyai napsu, kemauan, dan pikiran
sebagai mana kodrat manusia. Dalam pendidikan kewarganegaraan tujuan
18

utamanya adalah membentuk warga negaranya menjadi manusia yang


berkarakter bagus, memiliki pengetahuan yang luas, dan memiliki
keterampilan yang baik. Sama halnya dengan agama di mana agama
mengajarkan kepada manusia untuk selalu berperilaku baik dan mencari
kebenaran hakiki yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa.
Secara alamiah manusia cenderung untuk selalu berbuat baik, seperti
yang di sampaikan oleh Plato manuisa secara kodrat memiliki tiga potensi
yaitu napsu, kemauan, dan pikiran ketiga potensi tersebut adalah potensi
manusia untuk berbuat baik. Semua potensi tersebut adalah potensi yang
diberikan tuhan kepada hambanya. Potensi tersebut dimiliki oleh setiap
manusia.
Selaras dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Pendidikan
kewarganegaraan digunakan sebagai penyiapan generasi muda (peserta didik)
untuk menjadi warga negara yang memiliki pengetahuan, kecakapan, dan nilai-
nilai yang diperlukan untuk berpartisipasi aktif dalam masyarakatnya.
1. Berpikir secara kritis, rasional dan kreatif dalam menanggapi isu
kewarganegaraan.
2. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara
cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta anti-
korupsi.
3. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri
berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup
bersama dengan bangsa-bangsa lain.
4. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara
langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi
dan komunikasi.
Seperti kodrat manusia yang condong berbuat baik pendidikan
kewarganegaraan digunakan sebagai alat untuk memperkuat manusia berbuat
baik dan berpikir rasional. Pendidikan Kewarganegaraan juga mengajarkan
tiga aspek yaitu civic knowladge, civic skill, dan civic disposition. Di mana tiga
aspek tersebut adalah untuk membentuk manusia menjadi lebih baik.
19

Sama halnya dengan agama di mana agama mengajarkan manusia


untuk patuh dan tunduk kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kepatuhan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa adalah salah satu cara untuk membuat manusia menjadi
lebih baik, karena apa yang diajarkan agama adalah semuanya perbuatan baik.
Dengan agama sebagai institusi sekaligus sebagai fasilitator yang
dapat menempatkan manusia sebagai makhluk yang bermartabat, dan
menjadikannya makhluk paling sempurna. Jadi secara aksiologis hubungan
antara Pendidikan Kewarganegaraan dengan Agama adalah sama-sama
mengajarkan kebaikan dan untuk menicptakan manusia yang berkarakter baik,
berpengetahuan baik, dan bersikap baik. Pendidikan Kewarganegaraan di
Indonesia khususnya sulit dipisahkan dengan agama karena dalam Pedndidikan
Kewarganegaraan di Indonesia menganut Pendidikan Pancasila yang
digabungkan dengan Pendidikan Kewarganegaraan di mana dalam Pancasila
terdapat sila kesatu yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam sila
tersebut jelas tertera bahwa dalam menjalankan aspek khidupan bernegara
harus berlandaskan pada Tuhan Yang Maha Esa di mana Ketuhanan Yang
Maha Esa tersebut diperoleh pada ajaran agama.
BAB III
KESIMPULAN

Hubungan antara Pendidikan Kewarganegaraan dengan Agama secara


ontologi adalah hubungan nya sangat erat, sebagai contoh Pancasila sebagai dasar
filsafat negara Republik Indonesia memiliki susunan lima sila yang merupakan
suatu persatuan dan kesatuan serta mempunyai sifat dasar kesatuan yang mutlak,
yang berupa sifat kodrat monodualis yaitu sebagai makhluk individu sekaligus juga
sebagai makhluk sosial, serta kedudukannya sebagai makhluk pribadi yang berdiri
sendiri dan sekaligus juga sebagai makhluk Tuhan.. Sedangkan secara epistimologi
hubungan antara Pendidikan Kewarganegaraan dengan Agama adalah bahwa dalam
pendidikan kewarnegaraan yang disebut pendidikan interdisipliner dimana didalam
pendidikan kewarganegaraan terdapat unsure-unsur terkandung dalam agama.
Begitu sebaliknya dengan agama juga ada nilai-nilai dan unsure-unsur yang
terkandung dalam pendidikan kewarganegaraan. Secara aksiologi hubungan
Pendidikan Kewarganegaraan dan Agama adalah hubungan antara Pendidikan
Kewarganegaraan dengan Agama adalah sama-sama mengajarkan kebaikan dan
untuk menicptakan manusia yang berkarakter baik, berpengetahuan baik, dan
bersikap baik. Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia khususnya sulit
dipisahkan dengan agama karena dalam Pedndidikan Kewarganegaraan di
Indonesia menganut Pendidikan Pancasila yang digabungkan dengan Pendidikan
Kewarganegaraan di mana dalam Pancasila terdapat sila kesatu yang berbunyi
Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam sila tersebut jelas tertera bahwa dalam
menjalankan aspek khidupan bernegara harus berlandaskan pada Tuhan Yang Maha
Esa di mana Ketuhanan Yang Maha Esa tersebut diperoleh pada ajaran agama.

20
DAFTAR PUSTAKA

Cholisin. (2000). Ilmu Kewarganegaraan. Yogyakarta: Laboratorium Pendidikan


Kewarganegaraan UNY.

Depdiknas .2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta ;Balai Pustaka.

Egi Nurkholis dan Bali Widodo.2019.Revitalisasi Epistemologis Pendidikan


Kewarganegaraan: Upaya Meminimalisir Bencana Sosial.Jurnal Artefak
(6):2.Hal: 49-58

Fischer-Schreiber, Ingrid, et al. The Encyclopedia of Eastern Philosophy &


Religion: Buddhism, Hinduism, Taoism, Zen. Shambhala: Boston (English:
pub. 1994; orig. German: 1986); pg. 50

Komalasari, K. 2010. Pembelajaran kontekstual konsep dan aplikasi. Bandung: PT


Refika Aditama.

Septian Aji Permana. 2017. Filsafat Pendidikan Pengantar Filsafat Pendidikan IPS
Kontemporer. Yogyakarta: Cognitora.

Soemantri, N. 2001. Menggagas Pembaruan IPS. Bandung: PT. Remaja


Rosdakarya.

Syahrul Kirom. 2011.Filsafat Ilmu Dan Arah Pengembangan Pancasila:


Relevansinya Dalam Mengatasi Persoalan Kebangsaan.Jurnal Filsafat (21):
2

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006


Tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah

21

Anda mungkin juga menyukai