Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
dari dosen pengampu mata kuliah Ilmu Pendidikan yaitu Bambang Eko Aditia,
S.Pd, M.Pd. Selain itu, makalah ini juga memiliki tujuan untuk menambah
pengetahuan dan wawasan tentang filsafat bagi para penulis juga bagi pembaca.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat merupakan ilmu yang sudah sejak zaman dahulu, dianggap sebagai
The Mother Of Science (Induknya ilmu atau ibunya ilmu) adalah pengkajian
filsafat mempunyai karakteristik berfikir secara mendasar tentang segala sesuatu
sampai kepada akar permasalahannya sehingga di ketahui hakikat dari segala
seuatu yang dikaji.
Ada yang mengatakan bahwa antara filsafat, ilmu pengetahuan, dan agama
memiliki hubungan dan memiliki tujuan yang sama yaitu memperoleh kebenaran.
Agama dan filsafat seringkali di posisikan yang berbeda dan bahkan bertentangan
sebab Epistemologi yang merupakan suatu ilmu yang mengkaji tentang sumber
pengetahan atau asal mula metode, struktur,dan valid tidaknya suatu pengetahuan.
Oleh karena itu, filsafat ilmu mencoba mengembalikan roh dan nilai luhur
dari ilmu, agar ilmu tidak menjadi boomerang bagi kehidupan manusia. Filsafat
ilmu akan mempertegas bahwa ilmu dan teknologi adalah instrument dalam
mencapai kesejahteraan bukan tujuan.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah
2. Mengetahui apa saja relasi yang ada antara filsafat, ilmu, dan agama.
3. Mengetahui apa saja yang membedakan dan hubungan antara filsafat, ilmu dan
agama.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
menentukan hakikat dan prinsip-prinsip tentang hal yang sedang dipelajari.
Dengan demikian ilmu pengetahuan dapat dikatakan sebagai pengetahuan
yang ilmiah. Pengetahuan yang telah disusun secara sistematis untuk
memperoleh suatu kebenaran. Ilmu pengetahuanmerupakan ilmu pasti.
eksak, terorganisir, dan riil.S.Ornby mengacu pada pengetahuan sebagai
suatu susunan atau kumpulan pengetahuan yang dapat diperoleh melalui
penelitian dan analisis fakta. Poincare menegaskan bahwa ilmu berisi
kaidah-kaidah dalam arti tersembunyi. Tidak dapat diasumsikan bahwa
cara terbaik untuk mempelajari suatu keterampilan baru adalah dengan
menggunakan metode pendekatan filsafat.
3. Agama
Kata "agama" berasal dari kata "tradisi". Sebaliknya, kata lain
untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari religiodan
akar padare-ligare berarti "mengikat kembali". Maksudnya, itu adalah
bereligi. Kebenaran adalah ilmu, filsafat, dan agama bertujuan (sekurang-
kurangnya berurusan dengan satu hal yang sama). Ilmu pengetahuan
mencari kebenaran tentang alam dan manusia melalui metodenya. Filsafat
dengan wataknya memiliki kebenaran, baik tentang alam, manusia, dan
Tuhan. Agama adalah sistem yang mengatur kepercayaan serta
peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta tata kaidah yang
berhubungan dengan budaya, dan pandangan dunia yang menghubungkan
manusia dengan tatanan kehidupan.
Demikian pula dengan agama, karakteristiknya pula memberikan
jawaban atas segala persoalan yang mempertanyakan manusia tentang
alam, manusia, dan Tuhan. Terlepas dari itu, ilmu, filsafat, maupun agama
juga memiliki hubungan lain, yaitu ketiganya, yang dapat digunakan untuk
mendiagnosis dan mengobati masalah manusia. Karena setiap masalah
yang dihadapi seseorang adalah unik, setiap masalah yang dihadapi
seseorang juga unik. Ada hal-hal tertentu yang tidak bisa didamaikan
dengan agama, seperti cara kerja mesin yang bisa diajarkan melalui ilmu
pengetahuan.
3
Kepercayaan, keyakinan, dan sesuatu yang menjadi anutan kata
agama. Dalam konteks Islam, ada banyak isilah yang dijadikan sebagai
agama kata: al-Din, al-Millah, dan al-Syar'at. Dengan kata al-Huda,
Ahmad Daudy menghubungkan Makna al-Din dengan Makna al-Din
(petunjuk). Ini membuktikan bahwa agama merupakan ranah keyakinan
atau petunjuk tersendiri bagi setiap individu. Muhammad Abdullah Darraz
mendefinisikan (din) sebagai "keyakinan eksistensi (wujud) suatu dzat
atau berbagai ghaib yang maha tinggi, ia memiliki perasaan dan kehendak,
ia memiliki wewenang untuk mengurus dan mengatur urusan Ihwal
keyakinan akan memotivasi manusia untuk memuja.
4
dan perbedaan di antara keduanya. Misalnya, di kalangan ilmuwan, ada
perbedaan pandangan dalam hal sifat dan keterbatasan ilmu, begitu pula di
kalangan filsafat.
2. Hubungan Filsafat dengan Agama
Manusia bahkan Tuhan yang disembah oleh manusia memiliki
kemampuan yang sangat tinggi dalam berbagai hal yang mencakup alam.
Dalam konteks ini, ada sejumlah persoalan yang terus-menerus dikaitkan
dengan agama dan filsafat. Dalam Islam, dianggap seseorang yang mampu
dalam hal pemikiran melebihi manusia kebanyakan, dianggap sebagai Nabi.
Kemudian, adakalanya, karena kemampuan seorang Nabi, terutama dalam
mengucapkan ungkapan-ungkapan bijaksana, dikatakan sebagai filosof.
Berbeda dengan Logika Barat yang didasarkan pada nilai-nilai keagamaan,
logika yang ditemukan dalam Islam memiliki corak yang khas.
Wilayah agama, wilayah ilmu pengetahuan, dan wilayah filsafat memang
berbeda. Filsafat sendiri berusaha untuk mengungkap suatu kebenaran,
demikian dengan agama yaitu berusaha untuk mengungkapkan suatu
kebeneran sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan atau saling berkaitan.
Agama mengenai soal kepercayaan dan ilmu mengenai soal pengetahuan.
Pelita agama ada di hati pelita ilmu ada di otak. Meski areanya berbeda
sebagaimana dijelaskan di atas, ketiganya saling berkait dan berhubungan
timbal balik. Agama menetapkan tujuan, tapi ia tidak dapat mencapainya
tanpa bantuan ilmu pengetahuan dan filsafat. Ilmu yang kuat dapat
memperkuat keyakinan keagamaan. Agama senantiasa memotifasi
pengembangan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan akan membahayakan
umat manusia jika tidak dikekang dengan agama. Dari sini dapat diambil
konklusi bahwa ilmu tanpa agama buta dan agama tanpa ilmu lumpuh.
3. Relasi Manusia Dengan Tuhan
Manusia merupakan bagian filsafat yang secara total kebenarannya
sebagai makhluk sosial. Hamba ALLAH SWT yang di ciptakan dengan di
bekali akal fikiran yang tercipta dari segumpalan darah. Tuhan adalah
sesembahan manusia yang beragama dan menyakini sesuai dengan agamanya.
5
Hubungan antara Tuhan, manusia dan alam sangatlah erat. Tuhan sebagai
dzat yang menciptakan manusia. Manusia dan Alam sebagai makhluk yang
diciptakan oleh Tuhan. Jika peran Tuhan tidak ada manusia dan alam tidak
akan tercipta. Hubungan manusia dengan Tuhan disebut pengabdian (ibadah).
Pengabdian manusia bukan untuk kepentingan Allah, Allah tidak berhajat
(berkepentingan) kepada siapa pun, pengabdian itu bertujuan untuk
mengembalikan manusia kepada asal penciptanya yaitu fitrah (kesucian)nya.
Agar kehidupan manusia diridhoi oleh Allah swt.
6
kepada kaidah prinsip kehidupan biologis seperti berkembang biak.
Sebagaimana halnya dengan makhluk biologis lain, seperti binatang.
Mengenai proses dan fase perkembangan manusia sebagai makhluk biologis
b. Konsep Al-Insan Kata insan bila dilihat asal kata al-nas, berarti melihat,
mengetahui, dan minta izin.Atas dasar ini, kata tersebut mengandung
petunjuk adanya kaitan substansial antara manusia dengan kemampuan
penalarannya. Manusia dapat mengambil pelajaran dari hal-hal yang
dilihatnya, dapat mengetahui apa yang benar dan apa yang salah, serta dapat
meminta izin ketika akan menggunakan sesuatu yang bukan miliknya.
Berdasarkan pengertian ini, tampak bahwa manusia mampunyai potensi untuk
dididik. Potensi manusia menurut konsep al-Insan diarahkan pada upaya
mendorong manusia untuk berkreasi dan berinovasi. Jelas sekali bahwa dari
kreativitasnya, manusia dapat menghasilkan sejumlah kegiatan berupa
pemikiran (ilmu pengetahuan), kesenian, ataupun benda-benda ciptaan.
Kemudian melalui kemampuan berinovasi, manusia mampu merekayasa
temuan-temuan baru dalam berbagai bidang. Dengan demikian manusia dapat
menjadikan dirinya makhluk yang berbudaya dan berperadaban.
c. Konsep Al-Naas Dalam konsep an-naas pada umumnya dihubungkan
dengan fungsi manusia sebagai makhluk sosial (Jalaluddin, 2003:
24).Tentunya sebagai makhluk sosial manusia harus mengutamakan
keharmonisan bermasyarakat. Manusia harus hidup sosial artinya tidak boleh
sendiri-sendiri.Karena manusia tidak bisa hidup sendiri. Jika kita kembali ke
asal mula terjadinya manusia yang bermula dari pasangan laki-laki dan
wanita (Adam dan Hawa), dan berkembang menjadi masyarakat dengan kata
lain adanya pengakuan terhadap spesis di dunia ini, menunjukkan bahwa
manusia harus hidup bersaudara dan tidak boleh saling menjatuhkan. Secara
sederhana, inilah sebenarnya fungsi manusia dalam konsep an-naas.
d. Konsep Bani Adam Adapun kata bani adam dan zurriyat Adam, yang
berarti anak Adam atau keturunan Adam, digunakan untuk menyatakan
manusia bila dilihat dari asal keturunannya. Dalam Al-Qur’an istilah bani
adam disebutkan sebanyak 7 kali dalam 7 ayat. Penggunaan kata bani Adam
7
menunjuk pada arti manusia secara umum. Dalam hal ini setidaknya ada tiga
aspek yang dikaji, yaitu: Pertama, anjuran untuk berbudaya sesuai dengan
ketentuan Allah, di antaranya adalah dengan berpakaian guna manutup
auratnya. Kedua, mengingatkan pada keturunan Adam agar jangan terjerumus
pada bujuk rayu setan yang mengajak kepada keingkaran.Ketiga,
memanfaatkan semua yang ada di alam semesta dalam rangka ibadah dan
mentauhidkanNya. Kesemuanya itu adalah merupakan anjuran sekaligus
peringatan Allah dalam rangka memuliakan keturunan Adam dibanding
makhluk-Nya yang lain. Lebih lanjut Jalaluddin mengatakan konsep Bani
Adam dalam bentuk menyeluruh adalah mengacu kepada penghormatan
kepada nilai-nilai kemanusian
C. Fitrah Manusia
Dalam setiap diri manusia selalu ada pertanyaan yang selalu
muncul dalam dirinya yaitu “dari mana saya datang?”, “apa yang terjadi
ketika saya sudah mati?”. Pertanyaan-pertanyaan ini yang mengakibatkan
manusia selalu mencari jawabannya. Mencari jawaban dan selalu ingin tahu
merupakan fitrah manusia yaitu hal yang sudah ada dan berdasar di dalam
hidup manusia. Para ahli teologi Islam mengatakan bahwa fitrah adalah satu
hal yang dibekalkan Allah kepada setiap manusia. Karenanya, ciri-ciri sesuatu
yang bersifat fitri adalah tidak dipelajari, ada pada semua manusia, tidak
terkurung oleh batas-batas teritorial dan masa, dan tidak akan pernah hilang.
Hal-hal dasar yang mengakibatkan manusia sering mencari disebabkan
karena menurut Al-Qur’an manusia terdiri atas:
1. Ruh dan Jiwa (Al-Ruh dan Al-Nafs) Banyak ulama yang menyamakan
pengertian antara ruh dan jasad. Ruh berasal dari alam arwah dan memerintah
dan menggunakan jasad sebagai alatnya. Sedangkan jasad berasal dari alam
ciptaan, yang dijadikan dari unsur materi. Tetapi para ahli sufi membedakan
ruh dan jiwa. Ruh berasal dari tabiat Ilahi dan cenderung kembali ke asal
semula. Ia selalu dinisbahkan kepada Allah dan tetap berada dalam keadaan
suci. Karena ruh bersifat kerohanian dan selalu suci, maka setelah ditiup
8
Allah dan berada dalam jasad, ia tetap suci. Ruh di dalam diri manusia
berfungsi sebagai sumber moral yang baik dan mulia. Jika ruh merupakan
sumber akhlak yang mulia dan terpuji, maka lain halnya dengan jiwa. Jiwa
adalah sumber akhlak tercela, al-Farabi, Ibn Sina dan al-Ghazali membagi
jiwa pada: jiwa nabati (tumbuh-tumbuhan), jiwa hewani (binatang) dan jiwa
insani. Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal bagi benda alami yang organis
dari segi makan, tumbuh dan melahirkan. Adapun jiwa hewani, disamping
memiliki daya makan untuk tumbuh dan melahirkan, juga memiliki daya
untuk mengetahui hal-hal yang kecil dan daya merasa, sedangkan jiwa insani
mempunyai kelebihan dari segi daya berfikir (al-nafs-al-nathiqah). Daya jiwa
yang berfikir (al-nafs-al-nathiqah atau al-nafs-al-insaniyah). Inilah, menurut
para filsuf dan sufi, yang merupakan hakekat atau pribadi manusia. Sehingga
dengan hakekat, ia dapat mengetahui hal-hal yang umum dan yang khusus,
Dzatnya dan Penciptaannya. Karena pada diri manusia tidak hanya memiliki
jiwa insane (berpikir), tetapi juga jiwa nabati dan hewani, maka jiwa (nafs)
manusia mejadi pusat tempat tertumpuknya sifat-sifat yang tercela pada
manusia. Itulah sebabnya jiwa manusia mempunyai sifat yang beraneka
sesuai dengan keadaannya. Apabila jiwa menyerah dan patuh pada kemauan
syahwat dan memperturutkan ajakan syaithan, yang memang pada jiwa itu
sendiri ada sifat kebinatangan, maka ia disebut jiwa yang menyuruh berbuat
jahat
2. Akal Akal yang dalam bahasa Yunani disebut nous atau logos atau intelek
(intellect) dalam bahasa Inggris adalah daya berpikir yang terdapat dalam
otak, sedangkan "hati" adalah daya jiwa (nafs nathiqah). Daya jiwa berpikir
yang ada pada otak di kepala disebut akal. Sedangkan yang ada pada hati
(jantung) didada disebut rasa (dzauq). Karena itu ada dua sumber
pengetahuan, yaitu pengetahuan akal (ma'rifat aqliyah) dan pengetahuan hati
(ma'rifat qalbiyah). Kalau para filsuf mengunggulkan pengetahuan akal, para
sufi lebih mengunggulkan pengetahuan hati (rasa). Menurut para filsuf Islam,
akal yang telah mencapai tingkatan tertinggi akal perolehan (akal mustafad)
ia dapat mengetahui kebahagiaan dan berusaha memperolehnya. Akal yang
9
demikian akan menjadikan jiwanya kekal dalam kebahagiaan (Jannah).
Namun, jika akal yang telah mengenal kebahagiaan itu berpaling, berarti ia
tidak berusaha memperolehnya. Jiwa yang demikian akan kekal dalam
kesengsaraan (neraka). Adapun akal yang tidak sempurna dan tidak mengenal
kebahagiaan, maka menurut al-Farabi, jiwa yang demikian akan hancur.
Sedangkan menurut para filsuf tidak hancur. Karena kesempurnaan manusia
menurut para filsuf terletak pada kesempurnaan pengetahuan akal dalam
mengetahui dan memperoleh kebahagiaan yang tertinggi, yaitu ketika akan
sampai ketingkat akal perolehan.
3. Hati (Al-Qalb) Hati atau sukma terjemahan dari kata bahasa Arab qalb.
Sebenarnya terjemahan yang tepat dari qalb adalah jantung, bukan hati atau
sukma. Tetapi, dalam pembahasan ini kita memakai kata hati sebagaimana
yang sudah biasa. Hati adalah segumpal daging yang berbentuk bulat panjang
dan terletak didada sebelah kiri. Hati dalam pengertian ini bukanlah objek
kajian kita di sini, karena hal itu termasuk bidang kedokteran yang
cakupannya bisa lebih luas, misalnya hati binatang, bahkan bangkainya.
Adapun yang dimaksud hati di sini adalah hati dalam arti yang halus, hati-
nurani daya pikir jiwa (daya nafs nathiqah) yang ada pada hati, di rongga
dada. Dan daya berfikir itulah yang disebut dengan rasa (dzauq), yang
memperoleh sumber pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Dalam kaitan ini
Allah berfirman, "Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan
memahaminya." (QS. 7:1- 79). Dari uraian di atas, dapat kita ambil
kesimpulan sementara, bahwa menurut para filsuf dan sufi Islam, hakekat
manusia itu jiwa yang berfikir (nafs insaniyah), tetapi mereka berbeda
pendapat pada cara mencapai kesempurnaan manusia. Bagi para filsuf,
kesempurnaan manusia diperoleh melalui pengetahuan akal (ma'rifataqliyah),
sedangkan para sufi melalui pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Akal dan
hati sama-sama merupakan daya berpikir. Menurut sufi, hati yang bersifat
nurani itulah sebagai wadah atau sumber ma'rifat suatu alat untuk mengetahui
hal-hal yang Ilahi. Hal ini hanya dimungkinkan jika hati telah bersih dari
pencemaran hawa nafsu dengan menempuh fase-fase moral dengan latihan
10
jiwa, serta menggantikan moral yang tercela dengan moral yang terpuji, lewat
hidup zuhud yang penuh taqwa, wara' serta dzikir yang kontinyu, ilmu
ladunni (ilmu Allah) yang memancarkan sinarnya dalam hati, sehingga ia
dapat menjadi Sumber atau wadah ma'rifat, dan akan mencapai pengenalan
Allah Dengan demikian, poros jalan sufi ialah moralitas. Latihan-latihan
ruhaniah yang sesuai dengan tabiat terpuji adalah sebagai kesehatan hati dan
hal ini yang lebih berarti ketimbang kesehatan jasmani sebab penyakit
anggota tubuh luar hanya akan membuat hilangnya kehidupan di dunia ini
saja, sementara penyakit hati nurani akan membuat hilangnya kehidupan yang
abadi. Hati nurani ini tidak terlepas dari penyakit, yang kalau dibiarkan justru
akan membuatnya berkembang banyak dan akan berubah menjadi hati
dhulmani hati yang kotor.
Dengan relasi dapat bisa hancur dengan kita tidak menjalankan dengan
baik misalkan: kurangnya komunikasi satu sama yang lain dan hilangnya
kepercayaan, namun hubungan bisa berjalan dengan baik misalkan
kepercayaan yang di utamakan dan tidak pernah meremehkan satu dengan
yang lainnya dan saling membantu.
11
mempelajari filsafat dan agama akan sama-sama menjunjung tinggi hal yang
mereka anggap penting dalam kehidupannya.
Filsafat sendiri memiliki arti dari dua kata dalam bahasa Arab, falsafah dan
al-hikmah, didefinisikan sebagai cara berpikir tunggal yang radikal dan
menyeluruh, cara berpikir yang melibatkan menempatkan sesuatu pada
tempatnya (Jujun S. Suriasumantri, 1999: 4).
Distingsi filsafat dan agama dilihat dari pengertiannya sudah beda namun
tujuannya sama, filsafat yakni pemikiran mendalam yang menyeluruh,
sistematis (runtut), logis dan rasional namun pengertian agama yakni
pemikiran yang mengutamakan dengan syariat-syariat atau hukum Al-Qur'an
yang sudah di tetapkan.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun antara filsafat,
ilmu dan agama memiliki perbedaan, tetapi ada titik persamaannya yaitu
ketiganya mencari sebuah kebenaran dan memberikan sebuah jawaban bagi
permasalahan-permasalahan kehidupan.
B. Saran
12
DAFTAR PUSTAKA
https://www.kompasiana.com/hudhajr4957/5de60502d541df219a5c3642/hubungan-
manusia-dengan-tuhan
Ahmad Tafsir, Filsafat umum, Perguruan Tinggi, Remaja Rosda karya, bandung, 1990
http://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/114882
Zainal Arifin Abbas, perkembangan pikiran terhadap agama, Pustaka Al-Husna, Jakarta,
1984
http://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/114882
https://www.kompasiana.com/nenengbaroro/5e83144ed541df12c31c9754/perbeda
an-dan-relasi-ilmu-filsafat-agama-relasi-manusia-dengan-tuhan-ciptaan-distingsi-
dan-relasi-antara-filsafat-dan-agama
13