Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

FILSAFAT PENDIDIKAN

RUANG LINGKUP, METODE, PEMBAGIAN FILSAFAT, DAN


PERBEDAAN FILSAFAT DENGAN ILMU DAN AGAMA

Dosen Pengampu :
Drs. Zelhendri Zen, M.Pd.

Oleh :
1. Ahmad Natafian Fauzi 18067062
2. Aisah Amini 19031058
3. Iftitahul Hayati 19031138
4. Rya Angraini Safitri 19031042
5. Widya Refmianti 19031050

MATA KULIAH UMUM


UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2022
KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati, kami panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT
yang telah melimpah curahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan
makalah Filsafat Pendidikan tentang “Ruang Lingkup, Metode, Pembagian Filsafat, dan
Perbedaan Filsafat dengan Ilmu dan Agama”.
Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan
dan tentunya sebagai salah satu cermin pemahaman kami terhadap apa yang telah kami
presentasikan,juga sebagai salah satu materi dan sumber ilmu tambahan buat pembaca agar
lebih memahami perlunya memahami ruang lingkup, metode, pembagian filsafat, dan
perbedaan filsafat dengan ilmu dan agama.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada semua anggota
kelompok yang telah membantu dan memberikan sumbangan pemikirannya hingga makalah
ini tersusun. Penulis menyadari bahwasanya dalam penulisan makalah ini masih sangat jauh
dari sempurna,oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik maupun saran dari pembaca yang
bersifat membangun.

Padang, 16 Februari 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i

DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1

A. Latar Belakang .................................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah............................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................... 3

A. Ruang Lingkup Filsafat ...................................................................................................... 3

B. Metode Mempelajari Filsafat.............................................................................................. 6

C. Pembagian Filsafat ............................................................................................................. 9

D. Perbedaan Filsafat dengan Ilmu dan Agama .................................................................... 15

BAB III PENUTUP ................................................................................................................. 18

A. Kesimpulan ....................................................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Filsafat merupakan ilmu pengetahan yang menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk
memperoleh kebenaran. Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang hakikat. Ilmu pengetahuan
tentang hakikat menanyakan tentang apa hakikat atau sari atau inti atau esensi segala sesuatu.
Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling berkaitan, baik secara subtansial maupun
historis, hal itu dikarenakan bahwa kelahiran ilmu tidak lepas dari sebuah peranan dari
filsafat dan sebaliknya perkembangan ilmulah yang memperkuat keberadaan dari filsafat itu
sendiri.
Kelahiran filsafat di Yunani mengubah pola pikir bangsa Yunani dari pandangan yang
mitos menjadi rasio. Dengan filsafat pula pola pikir yang selalu tergantung pada yang ghaib
diubah menjadi pola pikir yang tergantung pada rasio. Perubahan dari pola pikir mitos ke
rasio membawa implikasi yang tidak kecil. Alam dengan segala gejalanya yang selama itu
ditakuti sekarang didekati dan bahkan bisa dikuasai.
Perubahan yang mendasar adalah ditemukannya hukum-hukum alam dan teori-teori
ilmiah yang mejelaskan perubahan yang terjadi, baik alam semesta maupun pada manusia itu
sendiri. Filsafat ilmu merupakan cabang filsafat yang berusaha mencerminkan segala sesuatu
secara dasar dengan berbagai persoalan mengenai ilmu pengetahuan, landasan dan hubungan
dari segala segi kehidupan manusia.
Filsafat ilmu merupakan penerus dalam pengembangan filsafat pengetahuan, itu
disebabkan pengetahuan tidak lain adalah tingkatan yang paling tinggi dalam perangkat
pengetahuan manusia. Oleh karena itu mempelajari ilmu filsafat membuka candela ilmu
pengetauan untuk lebih mengerti, memahami dan dapat memanfaatkan ilmu untuk kebaikan
diri sendiri, orang lain, alam semesta terutama untuk Allah SWT. Berdasarkan hal di atas,
maka makalah ini akan menguraikan ruang lingkup filsafat, metode, pembagian filsafat, dan
perbedaan filsafat dengan ilmu dan agama.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan, penulis mengemukakan
beberapa rumusan masalahnya sebagai berikut:
1. Apa saja yang menjadi ruang lngkup filsafat pendidikan ?
2. Bagaimana metode filsafat pendidikan ?

1
3. Apa saja pembagian filsafat pendidikan ?
4. Bagaimana perbedaan filsafat dengan ilmu dan agama?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Ruang Lingkup Filsafat


Filsafat merupakan telaahan yang ingin menjawab berbagai persoalan secara
mendalam tentang hakikat sesuatu, atau dengan kata lain, filsafat adalah usaha untuk
mengetahui sesuatu. Kegiatan penelaahan, penalaran, atau argumentasi secara mendasar
tentang masalah-masalah tertentu disebut berfilsafat, dan pendalamannya ditekankan pada
bidang yang lebih diminati dari pada masalah-masalah lain.
Secara umum bidang kajian filsafat cukup luas dan meliputi berbagai jenis bidang
kajian. Dalam beberapa literatur, di antaranya menurut Jujun S. Suria-sumantri (2003:33) dan
Anna Pudjiadi (1987: 15), secara garis besar, filsafat memiliki tiga bidang kajian utama, yaitu
ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Pertama, ontologi. Ontologi berasal dari bahasa Yunani, “ontos” yang berarti “yang
ada” dan “logos” yang berarti “penyelidikan tentang”. Jadi, ontologi membicarakan asas-asas
rasional dari “yang ada”, berusaha untuk mengetahui (“penyelidikan tentang”) esensi yang
terdalam dari “yang ada”. Ontologi seringkali disebut sebagai teori hakikat yang
membicarakan pengetahuan itu sendiri. Sementara Langeveld menamai ontologi ini dengan
teori tentang keadaan. Hakikat adalah kenyataan yang sebenarnya, kebenaran sebenarnya
sesuatu, bukan keadaan sementara atau keadaan yang menipu dan bukan keadaan yang
berubah. Dengan ontologi, diharapkan terjawab pertanyaan tentang “apa”. Misalnya:
 Objek apa yang ditelaah ilmu?
 Apa wujud yang hakiki dari dari objek tersebut?
 Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan ilmu?
 Apa yang disebut kebenaran itu? Apa kriterianya?
 Teknik apa yang membantu kita mendapatkan ilmu?
Bidang kajian filsafat ontologi ini terbagi menjadi beberapa aliran, yaitu materialisme,
idealisme, dualisme, skeptisisme, dan agnotisme.
Kedua, epistemologi. Epistemologi merupakan cabang filsafat yang menye. Lidiki
asal mula, susunan, metode-metode, dan status sahnya pengetahuan. Epistemologi
membicarakan sumber-sumber pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan
tersebut. Epistemologi juga disebut sebagai teori pengetahuan, itulah sebabnya kita sering
menyebutnya dengan filsafat pengetahuan, karena ia membicarakan hal-hal yang berkenaan

3
dengan pengetahuan. Istilah epistemologi ini pertama kali muncul dan digunakan oleh J.F.
Ferrier pada tahun 1854 M.
Pengetahuan manusia itu ada tiga macam, yaitu pengetahuan sains, pengetahuan
filsafat, dan pengetahuan mistik. Pengetahuan ini diperoleh menusia melalui berbagai cara
dan dengan menggunakan berbagai alat. Melalui epistemologi diharapkan terjawab
pertanyaan tentang “bagaimana”. Misalnya:
 Bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan?
 Bagaimana proses yang memungkinkan digalinya pengetahuan yang berupa ilmu?
 Bagaimana prosedurnya?
 Bagaimana cara kita mengetahui bila kita mempunyai pengetahuan?
 Bagaimana cara kita membedakan antara pengetahuan dengan pendapat?
Epistemologi ini terbagi atas beberapa aliran, yaitu empirisme, rasionalisme, dan
intuisionisme.
Ketiga, aksiologi. Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai,
yang umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan. Nama lain dari bidang kajian
aksiologi ini adalah disebut dengan teori nilai. Teori nilai ini membahas mengenai kegunaan
atau manfaat pengetahuan. Untuk menggunakan kegunaan filsafat, kita dapat melihatnya dari
tiga hal:
1. filsafat sebagai kumpulan teori,
2. filsafat sebagai pandangan hidup, dan
3. filsafat sebagai metode pemecahan masalah.
Sebagai kumpulan teori, filsafat digunakan untuk memahami dan mereaksi dunia
pemikiran. Sedangkan sebagai pandangan hidup, filsafat digunakan sebagai pedoman dalam
menjalani kehidupan. Dan yang amat terpenting adalah filsafat sebagai metodologi
memecahkan masalah. Sesuai dengan sifatnya, filsafat ada untuk dalam menyelesaikan
masalah secara mendalam, artinya ia memecahkan masalah dengan cara mencari penyebab
munculnya masalah terlebih dahulu. Universal artinya melihat masalah dalam hubungan yang
seluas-luasnya, yakni memandang setiap permasalahan dari banyak sudut pandang. Dengan
demikian, kegunaan filsafat itu amat luas dan urgen sekali, di manapun dan kapan pun filsafat
diterapkan di sana pasti ada gunanya. Aksiologi ini dipergunakan untuk memberikan jawaban
atas pertanyaan “mengapa”. Misalnya:
 Mengapa pengetahuan yang berupa ilmu itu diperlukan?
 Mengapa pemanfaatan ilmu pengetahuan itu perlu memperhatikan kaidah-kaidah

4
moral?
 Dan sebagainya.
Semuanya menunjukkan bahwa aksiologi ini diperuntukkan dalam kaitannya untuk
mengkaji tentang kegunaan, alasan, dan manfaat ilmu itu sendiri. Dalam sejarah lahirnya,
aksiologi ini muncul belakangan dan menjadi perbincangan yang hangat, khususnya setelah
terjadinya perang dunia kedua di mana kemajuan ilmu dan teknologi tampak digunakan
secara kurang terkontrol. Berbeda dengan ontologi dan epistemologi sudah sejak lama
dikenal di dalam kajian filsafat sebagai kajian dasar dari cabang-cabang tradisional filsafat.
Semua pengetahuan, apakah itu ilmu, seni, atau pengetahuan apa saja pada dasarnya
mempunyai ketiga landasan ini (ontologi, epistemologi, dan aksiologi). Yang berbeda adalah
materi perwujudannya serta seberapa jauh landasan-landasan dari ketiga aspek ini
dikembangkan dan dilaksanakan.
Dari semua pengetahuan, maka ilmu merupakan pengetahuan yang aspek ontologi,
epistemologi, dan aksiologinya telah jauh lebih berkembang dibandingkan dengan
pengetahuan-pengetahuan lain dan dilaksanakan secara konsekuen dan penuh disiplin.
Terhadap setiap jenis pengetahuan dapat diajukan pertanyaan tentang:
 Apa yang dikaji oleh pengetahuan itu (ontologi)?
 Bagaimana caranya mendapatkan pengetahuan tersebut (epistemologi)?
 Serta untuk apa pengetahuan tersebut dipergunakan (aksiologi)?
Dengan mengetahui jawaban atas ketiga pertanyaan tersebut maka kita dapat
membedakan berbagai jenis pengetahuan yang terdapat di dalam khazanah kehidupan
manusia. Hal ini memungkinkan kita mengenali berbagai pengetahuan yang ada seperti ilmu,
seni, dan agama serta dapat meletakkannya pada tempatnya masingmasing yang saling
memperkaya kehidupan manusia.
Tanpa mengenal ciri-ciri setiap pengetahuan dengan benar, maka bukan saja kita tidak
dapat memanfaatkan kegunaannya secara maksimal, namun bahkan kita bisa salah
memanfaatkannya. Ilmu dapat dikacaukan dengan seni, ilmu dikonfrontasikan dengan agama,
dan seterusnya. Demikian pula di dalam ilmu pendidikan, menurut Nursid Sumaatmadja
(2002: 43) dari sudut pandang metodologis-filosofis, pendidikan sebagai suatu sosok kajian
juga ditelaah dari tiga bidang kajian tersebut, yaitu ontologi yang berkenaan dengan apa yang
ingin diketahui?”, epistemologi yang berkenaan dengan “bagaimana cara memperoleh
pengetahuan tentang kegiatan dan proses pendidikan!”, serta dari aspek aksiologisnya
berkenaan dengan “nilai-nilai apa yang dapat diungkapkan dari proses pendidikan tersebut?”

5
B. Metode Mempelajari Filsafat
Metode yang dipakai dalam ilmu filsafat ini sebenarnya sangat banyak, sebanyak para
tokoh filsafat atau filosof, yang masing-masing memiliki dan menamakan metodenya
masing-masing. Seperti yang dilakukan oleh Socrates dan Plato, maka metode yang mereka
pakai dinamai dengan metode kritis. Metode kritis adalah cara kerja atau bertindak yang
bersifat analitis. Metode ini dilakukan dengan cara melalui percakapan-percakapan (dialog).
Socrates tidak menyelidiki fakta-fakta, melainkan ia menganalisis berbagai pendapat atau
aturan-aturan yang dikemukakan orang. Setiap orang memiliki pendapat yang berbeda dan
analisis yang berlainan.
Dengan cara percakapan atau dialog tersebut, Socrates menemukan suatu cara berpikir
induksi, yaitu berdasarkan beberapa pengetahuan mengenai masalah-masalah khusus
memperoleh kesimpulan pengetahuan yang bersifat umum. Metode kritis digunakan oleh
mereka yang mempelajari filsafat tingkat intensif. Di mana para pelajar haruslah telah
memiliki bekal pengetahuan tentang filsafat secara memadai. Dalam metode ini pengajaran
filsafat dapat menggunakan metode sistematis atau historis. Langkah pertama adalah
memahami isi ajaran, kemudian para pelajar mencoba mengajukan kritiknya. Kritik itu
mungkin dalam bentuk menentang atau menolak paham atau pendapat dari para tokoh,
namun dapat juga berupa dukungan atau memperkuat terhadap ajaran atau paham filsafat
yang sedang dikajinya. Dalam mengkritik mungkin ia menggunakan pendapatnya sendiri atau
dengan menggunakan pendapat para filosof lainnya.
Metode lain, yang biasa dipakai dalam ilmu filsafat adalah metode skolastik, yang
dikembangkan oleh Aristoteles dan Thomas Aquinas. Metode skolastik ini sering disebut
dengan istilah sintetis deduktif. Metode skolastik ini banyak dipakai untuk menguraikan
metode mengajar di sekolah atau di perguruan tinggi, bukan hanya dalam bidang ilmu filsafat
saja, melainkan dalam semua ilmu, seperti ilmu hukum, ilmu pasti, kedokteran, dan lainnya.
Sebagian ahli ada yang mengelompokkan metode yang dipergunakan dalam
mempelajari filsafat ini menjadi tiga macam, yaitu metode sistematis, metode historis, dan
metode kritis. Dengan menggunakan metode sistematis, para pelajar akan menghadapi karya-
karya filsafat, misalnya mempelajari tentang teori-teori pengetahuan yang terdiri atas
beberapa cabang filsafat. Setelah itu ia mempelajari teori hakikat yang merupakan cabang
ilmu lainnya, kemudian ia akan mempelajari teori nilai atau filsafat nilai. Ketika para pelajar
membahas setiap cabang atau subcabang filsafat, maka aliran-aliran filsafat pun akan
terbahas. Maka dengan mempelajari filsafat melalui metode sistematis ini perhatiannya akan
terfokus pada isi filsafat, bukan pada tokoh ataupun pada zaman, serta periodenya.

6
Sedangkan metode historis digunakan bila para pelajar mengkaji filsafat dengan
mengikuti sejarahnya. Ini dapat dilakukan dengan cara membicarakan tokoh demi tokoh
menurut kedudukannya dalam sejarah. Sebagai contoh, jika kita ingin membicarakan tokoh
filsafat atau filosof Thales, berarti kita membicarakan riwayat hidupnya, pokok ajarannya,
baik dalam teori pengetahuan, teori hakikat, maupun dalam teori nilai. Kemudian dilanjutkan
dengan membicarakan Anaximandros, Socrates, Rousseau, Immanuel Kant dan seterusnya
sampai pada tokoh-tokoh kontemporer saat ini. Mengenalkan tokoh-tokoh filsafat ini
memang sangat perlu karena ajarannya biasanya berkaitan erat dengan lingkungan,
pendidikan, dan kepentingannya.
Cara lain untuk mempelajari filsafat dengan menggunakan metode historis ini adalah
dengan cara membagi babakan atau periode filsafat sejarah. Misalnya, mula-mula yang
dipelajari adalah filsafat kuno, kemudian filsafat pertengahan, dan selanjutnya adalah filsafat
abad modern. Variasi cara mempelajari filsafat dengan menggunakan metode historis ini
cukup banyak. Yang penting, mempelajari filsafat dengan menggunakan metode historis
berarti mempelajari filsafat secara kronologis. Dan metode ini cocok bagi para pelajar
pemula.
Selain dengan metode di atas, dalam ilmu filsafat dikenal juga metode empiris, seperti
yang dipahami oleh Thomas Hobbes, John Locke, dan David Hume. Menurut mereka hanya
pengalamanlah yang dapat menyajikan pengertian benar. Masih banyak metode-metode lain
seperti metode intuitif, metode geometris, metode transcendental, metode fenomeologis, dan
metode-metode lainnya yang semuanya lahir dikarenakan keyakinan dan pengalaman mereka
dalam memahami filsafat secara sungguh-sungguh sehingga menghasilkan bentuk metode
yang berbeda-beda tersebut.
1. Metode Intuitif
Metode yang dikembangkan oleh Bergson dan Plotinus ini sering dikatakan tidak
bertumpu pada intelek dan rasionalisasi manusia, tetapi tidak bersifat anti-intelektual.
Manusia terkadang harus mengambil jarak dan berjauhan dengan logika, serta menyerahkan
diri pada kemurnian kenyataan dan keaslian fitrah manusia. Bukan berarti pula bahwa logika
harus dibungkam dan rasio ditinggalkan. Tetapi metode ini mengajak kita berpikir dalam
semangat untuk bisa menganalisis suatu keyakinan tanpa terjerat oleh rasio dan logika. Agak
sulit untuk dibayangkan namun akan mengalir ketika dicoba dilakukan.
2. Metode Transendental
Metode ini juga sering disebut dengan metode neo-skolastik. Immanuel Kant (1724-
1804) merupakan pelopor metode ini. Pemikiran Kant merupakan titik-tolak periode baru

7
bagi filsafat Barat. Ia mendamaikan dua aliran yang berseberangan: rasionalisme dan
empirisme. Dari satu sisi, ia mempertahankan objektivitas, univesalitas dan keniscayaan
suatu pengertian. Di sisi lain, ia juga menerima pendapat bahwa pengertian berasal dari
fenomena yang tidak dapat melampaui batas-batasnya.
Kant menempatkan kebenaran bukan pada konsep tunggal, tetapi dalam pernyataan dan
kesimpulan lengkap. Ia membedakan dua jenis pengertian:
a. Pengertian analistis, yakni pengertian yang selalu bersifat apriori, misalnya dalam
ilmu pasti;
b. Pengertian sintesis, pengertian ini dibagi menjadi dua yakni: aposteriori
singular yang dasar kebenarannya pengalaman subjektif seperti ungkapan “Saya
merasa panas”, dan apriori yang merupakan pengertian universal dan
pasti seperti ungkapan “Suhu udara hari ini panasnya mencapai 34 derajat celcius”.
Intinya, metode ini menerima nilai objektif ilmu-ilmu positif, sebab terbukti telah
menghasilkan kemajuan hidup sehari-hari. Ia juga menerima nilai subjektif agama dan moral
sebab memberikan kemajuan dan kebahagiaan.
Dengan catatan syarat paling minimal yang mutlak harus dipenuhi dalam subjek supaya
objektifitasnya memungkinan. Seperti efek placebo obat yang sebetulnya tidak dapat
menyembuhkan, namun membuat seseorang percaya ia akan sembuh karena telah
meminumnya.
Di dalam pengertian dan penilaian metode ini terjadi kesatuan antara subjek dan
objek, kesatuan antara semua bentuk. Hal ini menuntut adanya kesatuan kesadaran yang
disebut “transcendental unity of apperception”.
3. Metode Fenomenologis
Fenomena yang dimaksud disini bukanlah fenomena alamiah yang dapat dicerap
dengan observasi empiris seperti fenomena alam. Fenomena disini merupakan makna aslinya
yang berasal dari bahasa Yunani: phainomai, artinya adalah “yang terlihat”. Jadi fenomena
adalah data sejauh disadari dan sejauh masuk dalam pemahaman. Metode fenomenologi
dilakukan dengan melakukan tiga reduksi (ephoc) terhadap objek, yaitu:
a. Mereduksi suatu objek formal dari berbagai hal tambahan yang tidak substansial.
b. Mereduksi objek dengan menyisihkan unsur-unsur subjektif seperti perasaan,
keinginan dan pandangan. Pencarian objek murni tersebut disebut dengan reduksi
eidetis.

8
c. Reduksi ketiga bukan lagi mengenai objek atau fenomena, tetapi merupakan wende
zum subjekt (mengarah ke subjek), dan mengenai terjadinya penampakan diri sendiri.
Dasar-dasar dalam kesadaran yang membentuk suatu subjek disisihkan.
Intinya metode ini melihat sesuatu dengan objektif tanpa melihat sisi subjektifnya
seperti kepentingan, perasaan, atau tekanan sosial. Bayangkan bagaimana rasa penasaran
seorang anak kecil yang belum mengerti apa-apa ketika menemukan hal baru. Ia akan
mengobservasinya dan melakukan apapun untuk secara tidak sadar mempelajari dan
mengenalnya, termasuk meremas dan menendang kucing liar yang ia temukan di halaman
belakang rumah. Metode
4. Metode Analitika Bahasa
Wittgenstein adalah tokoh dominan dalam metode ini. Ia mempelajari filsafat dengan
alasan yang kemungkinan sama dengan kebanyakan orang. Ia penasaran dengan filsafat yang
begitu membingungkan. Setelah melakukan penelitian, ia menemukan bahwa kebingungan
ini banyak disebabkan oleh bahasa filosofis yang rancu dan kacau.
Bagaimana seseorang bisa mengetahui benar salahnya suatu pendapat, sebelum ia
mampu memastikan bahwa bahasa yang dipakai untuk menyampaikan pertanyaan,
pernyataan dan perbincangan itu adalah benar? “Arti” bukanlah sesuatu yang berada “di
belakang” bahasa; tidak ada arti “pokok”. Arti kata tergantung dari pemakaiannya, makna
timbul dari penggunaan. Arti kata itu seluruhnya tergantung dari permainan bahasa (language
games) yang sedang dimainkan. Metode ini meneliti dan membedakan permainan-permainan
bahasa itu untuk mendapatkan keyakinan yang lebih baik. Juga menetapkan peraturan
masing-masing bahasa agar tidak terjadi kekeliruan logis dan kesalahpahaman yang
disebabkan oleh kerancuan makna kata.

C. Pembagian Filsafat
Filsafat merupakan induk dari segala ilmu pengetahuan, sehingga ilmu-ilmu yang lain
merupakan anak dari filsafat itu sendiri. Filsafat merupakan bidang studi yang memiliki
cakupan yang sangat luas, sehingga diperlukan pembagian yang lebih kecil lagi. Meskipun
demikian, dalam hal pembagian lapangan-lapangan atau cabang-cabang filsafat ini masing-
masing tokoh memiliki metode yang berbeda dalam melakukan penghimpunan terhadap
lapangan-lapangan pembicaraan kefilsafatan.
Plato, misalnya, membagi lapangan filsafat ke dalam tiga macam bidang, yaitu
dialektika, fisika, dan etika. Dialektika adalah cabang filsafat yang membicarakan persoalan
ide-ide atau pengertian umum. Adapun fisika merupakan cabang filsafat yang di dalamnya

9
mengandung atau membicarakan persoalan materi. Sedangkan etika adalah cabang filsafat
yang di dalamnya mengandung atau membicarakan persoalan baik dan buruk.
Sedangkan menurut Aristoteles, pembagian filsafat itu digolongkan ke dalam empat
cabang, yaitu logika, filsafat teoritis, filsafat praktis, dan filsafat poetika.
4. Logika adalah ilmu pendahuluan bagi filsafat, ilmu yang mendasari dalam memahami
filsafat.
5. Filsafat teoritis atau filsafat nazariah, di dalamnya tercakup ilmu-ilmu lain yang sangat
penting seperti ilmu fisika, ilmu matematika, dan ilmu metafisika. Bagi Aristoteles ilmu
metafisika inilah yang menjadi inti atau bagian yang paling utama dari filsafat.
6. Filsafat praktis atau filsafat alamiah, di dalamnya tercakup tiga macam ilmu yang tidak
kalah pentingnya, yaitu
a. ilmu etika, yang mengatur kesusilaan dan kebahagiaan dalam hidup perorangan,
b. ilmu ekonomi, yang mengatur kesusilaan dan kemakmuran dalam keluarga (rumah
tangga), dan ilmu politik, yang mengatur kesusilaan dan kemakmuran dalam Negara.
7. Filsafat poetika merupakan filsafat kesenian, yakni filsafat yang membicarakan tentang
keindahan, pengertian seni, penggolongan seni, nilai seni, aliran dalam seni, dan teori
penciptaan dalam seni.

Berbeda dengan Plato dan Aristoteles, Louis O. Kattsoff (1996: 73) menggolongkan
cabang-cabang filsafat ini secara lebih terperinci, sehingga pembagian cabang filsafat ini
dapat dikategorikan ke dalam urutan-urutan yang umum menjadi semakin menurun kepada
yang lebih khusus. Penggolongan lapangan-lapangan filsafat menurut Kattsoff ini menjadi
cabang-cabang filsafat sebagai berikut.
1. Logika, adalah ilmu yang membicarakan teknik-teknik untuk memperoleh kesimpulan
dari suatu perangkat bahan tertentu. Logika terbagi ke dalam dua cabang utama, yakni
logika deduktif dan logika induktif. Logika deduktif berusaha menemukan aturan-aturan
yang dapat dipergunakan untuk menarik kesimpulan-kesimpulan yang bersifat keharusan
dari satu premis tertentu atau lebih. Memperoleh kesimpulan yang bersifat keharusan itu
yang paling mudah ialah bila didasarkan atas susunan proposisi-proposisi tersebut.
Logika yang membicarakan susunan proposisi-proposisi dan pe-nyimpulan yang sifatnya
keharusan berdasarkan susunannya, dikenal sebagai logika deduktif atau logika formal.
Adapun logika induktif, mencoba untuk menarik kesimpulan dari susunan proposisi-
proposisi yang spesifik dengan memperhatikan sifat-sifat dari bahan yang diamati.
Logika induktif mencoba untuk bergerak dari: 1) suatu perangkat fakta yang diamati

10
secara khusus menuju kepada pernyataan yang bersifat umum mengenai semua fakta
yang bercorak demikian, atau 2) suatu perangkat akibat tertentu kepada sebab atau
sebab-sebab dari akibat akibat tersebut. Bila logika deduktif atau suatu perangkat aturan
yang dapat diterapkan hampir-hampir secara otomatis, bagi logika induktif tidak ada
aturan-aturan yang demikian, kecuali hukum-hukum probabilitas.
2. Metodologi, ialah sebagaimana yang ditunjukkan oleh pernyataan, yakni ilmu
pengetahuan atau mata pelajaran tentang metode, dan khususnya metode ilmiah. Tetapi
metodologi dapat membahas metode-metode yang lain, misalnya metode-metode yang
dipakai dalam sejarah. Metodologi membicarakan hal-hal seperti observasi, hipotesis,
hukum, teori, susunan eksperimen, dan sebagainya.
3. Metafisika, yaitu hal-hal yang terdapat sesudah fisika, hal-hal yang terdapat di balik yang
tampak. Metafisika oleh Aristoteles disebut sebagai ilmu pengetahuan mengenai yang
ada sebagai yang ada, yang dilawankan dengan yang ada sebagai yang digerakkan atau
yang ada sebagai yang dijumlahkan. Kita dapat mendefinisikan metafisika sebagai
bagian pengetahuan manusia yang berkaitan dengan pertanyaan mengenai hakikat yang
ada yang terdalam. Secara singkat, dapat dinyatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan ini
menyangkut persoalan kenyataan sebagai kenyataan, dan berasal dari perbedaan yang
cepat disadari oleh setiap orang, yakni perbedaan antara yang nampak (apperence)
dengan yang nyata (reality).
4. Ontologi dan kosmologi. Ontologi membicarakan azas-azas rasional dari yang ada,
sedangkan kosmologi membicarakan azas-azas rasional dari yang ada yang teratur.
Ontologi berusaha mengetahui esensi yang terdalam dari yang ada, sedangkan kosmologi
berusaha untuk mengetahui ketertiban serta susunannya.
5. Epistemologi, ialah cabang filsafat yang menyelidiki asal mula, susunan, metode metode
dan sahnya pengetahuan. Terdapat dua macam pertanyaan berkaitan dengan
epistemologi. Pertama, perangkat yang mengacu kepada sumber pengetahuan kita;
pertanyaan-pertanyaan ini dapat dinamakan pertanyaan-pertanyaan epistemologi
kefilsafatan, dan erat kaitannya dengan ilmu jiwa. Kedua, pertanyaan-pertanyaan yang
lain merupakan masalah-masalah semantik, yakni menyangkut hubungan antara
pengetahuan kita dengan objek pengetahuan tersebut. Secara singkat, epistemologi dapat
diartikan dengan bagaimana cara kita untuk mengetahui sesuatu.
6. Biologi kefilsafatan, membicarakan persoalan-persoalan mengenai biologi. Biologi
kefilsafatan mencoba untuk menganalisis pengertian-pengertian hakiki dalam biologi. Ia
mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai pengertian-pengertian hidup, adaptasi,

11
teologi, evolusi, dan penurunan sifat-sifat. Biologi kefilsafatan juga membicarakan
tentang tempat hidup dalam rangka sesuatu, dan arti pentingnya hidup bagi penafsiran
kita tentang alam semesta tempat kita hidup. Biologi kefilsafatan membantu untuk
bersifat kritis, bukan hanya terhadap istilah-istilah biologi, melainkan juga terhadap
metode-metode serta teori-teorinya. Gambaran yang kita buat mengenai kenyataan tidak
boleh bertentangan dengan faktafakta biologi yang sudah ditetapkan dengan baik.
7. Psikologi kefilsafatan, memberikan pertanyaan-pertanyaan psikologi yang meliputi
apakah yang dimaksud dengan jiwa, nyawa, ego, akal, perasaan, dan kehendak.
Pertanyaan tersebut dapat dijelaskan oleh psikologi sebagai ilmu, namun psikologi
kefilsafatan membantu tingkat kehakikian dari penjelasan tersebut.
8. Antropologi kefilsafatan, mengemukakan pertanyaan-pertanyaan tentang manusia. Apa
hakikat terdalam dari manusia itu? Ada pilihan penafsiran apa sajakah mengenai hakikat
manusia itu? Yang manakah yang lebih mendekati kebenaran? Antropologi kefilsafatan
juga membicarakan tentang makna sejarah manusia. Apakah sejarah manusia itu dan ke
manakah arah kecenderungannya? Apakah sejarah manusia tergantung pada apakah
manusia itu, dan apakah manusia itu dapat dipahami berdasaran sejarahnya?
9. Sosiologi kefilsafatan, mengemukakan pertanyaan-pertanyaan mengenai hakikat
masyarakat serta hakikat negara. Kita ingin mengetahui lembagalembaga yang terdapat
di dalam masyarakat, dan kita ingin menyelidiki hubungan antara manusia dengan
negaranya. Apakah makna serta bagaimanakah cara penggunaan istilah-istilah seperti
proletariat, kebebasan, massa, individu, dan sebagainya. Pada saat ini pertanyaan-
pertanyaan tersebut menjadi pertanyaan-pertanyaan yang sangat mendesak, karena
keputusan kita serta hari depan kita menanti pilihan kita mengenai ideologi politik serta
ideologi sosial.
10. Etika, adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang baik dan buruk. Cabang filsafat
yang menyajikan dan memperbincangkan tentang istilahistilah seperti baik, buruk,
kebajikan, kejahatan, dan sebagainya. Istilahistilah ini merupakan predikat-predikat
kesusilaan (etik), dan merupakan cabang filsafat yang bersangkutan dengan tanggapan-
tanggapan mengenai tingkah laku yang betul yang mempergunakan sebutan-sebutan
tersebut. Di dalam etika kita berusaha untuk menemukan fakta-fakta mengenai situasi
kesusilaan agar dapat menerapkan norma-norma terhadap faktafakta tersebut. Tetapi
yang paling benar ialah tujuan kita yang pokok di dalam etika agaknya ialah menemukan
norrma-norma untuk hidup dengan baik. Kita juga berusaha menjawab pertanyaan-

12
pertanyaan, seperti Apakah cara kita melakukan pilihan di antara hal-hal yang baik? Itu
tadi merupakan beberapa saja di antara banyak masalah yang dihadapi dalam etika.
11. Estetika, adalah cabang filsafat yang membicarakan definisi, susunan, dan peranan
keindahan, khususnya di dalam seni. Estetika menggali jawab-an dari pertanyaan-
pertanyaan: Apakah keindahan itu? Apakah hubungan antara yang indah dengan yang
benar dan yang baik? Apakah ada ukuran yang dapat dipakai untuk menanggapi suatu
karya seni dalam arti yang objektif? Apakah fungsi keindahan dalam hidup kita? Apa
seni itu sendiri? Apakah seni itu hanya sekadar reproduksi alam kodrat belaka, ataukah
suatu ungkapan perasaan seseorang, ataukah suatu penglihatan ke dalam kenyataan yang
terdalam?
12. Filsafat agama, adalah cabang filsafat yang membicarakan jenis-jenis pertanyaan berbeda
mengenai agama. Pertama-tama ia mungkin bertanya; Apakah agama itu? Apa yang
Anda maksud dengan istilah “Tuhan”? Apa bukti-bukti tentang adanya Tuhan?
Bagaimana cara kita mengetahui adanya Tuhan? Apa makna “eksistensi” bila istilah ini
dipergunakan dalam hubungannya dengan Tuhan? Filsafat agama tidak berkepentingan
mengenai apa yang orang percayai, tetapi mau tidak mau harus menaruh perhatian
kepada makna istilah-istilah yang dipergunakan, ketentuan di antara kepercayaan-
kepercayaan, bahan-bahan bukti kepercayaan, dan hubungan antara kepercayaan agama
dengan kepercayaan-kepercayaan yang lain.

Pembagian filsafat secara sistematis yang didasarkan pada sistematika yang berlaku di
dalam kurikulum akademik meliputi metafisika, epistemologi, logika, etika, dan estetika.
Dalam studi filsafat untuk memahaminya secara baik paling tidak kita dapat mempelajari
lima bidang pokok, yaitu metafisika, epistemologi, logika, etika, dan estetika.
Pertama, metafisika. Metafisika merupakan cabang filsafat yang membicarakan
tentang hal-hal yang sangat mendasar (elementer) yang berada di luar pengalaman manusia
(immediate experience). Cabang ini membicarakan segala sesuatu secara komprehensif
seperti hubungan akal dengan benda, hakikat perubahan, pengertian tentang kebebasan,
wujud Tuhan, tentang kehidupan, kematian dan lain-lain.
Filsafat metafisika ini adalah filsafat yang mengkaji tentang hal ada. Istilah metafisika
itu sendiri berasal dari akar kata ‘meta’ dan ‘fisika’. Meta berarti sesudah, selain, atau
sebaliknya. Fisika berarti nyata, atau alam. Metafisika berarti sesudah, dibalik yang nyata.
Ditinjau dari segi filsafat secara menyeluruh, metafisika adalah ilmu yang memikirkan
hakikat di balik alam nyata. Metafisika membicarakan hakikat dari segala sesuatu dari alam

13
nyata tanpa dibatasi pada sesuatu yang dapat diserap oleh pancaindera.
Kedua, epistemologi. Epistemologi lazimnya disebut teori pengetahuan yang secara
umum membicarakan mengenai sumber-sumber, karakteristik, dan kebenaran pengetahuan.
Persoalan epistemologi berkaitan erat dengan persoalan metafisika. Bedanya, persoalan
epistemologi berpusat pada apakah yang ada, yang di dalamnya memuat masalah
pengetahuan. Masalah pengetahuan dikaji secara mendalam mulai dari sumber pengetahuan,
dari mana pengetahuan yang benar, dan bagaimana kita dapat mengetahui, apa yang menjadi
karakteristik pengetahuan, dan lain-lain.
Jadi, epitemologi adalah bagian filsafat yang membicarakan tentang terjadinya
pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat, metode, dan
kesahihan pengetahuan. Dengan mempelajari epistemologi diharapkan dapat membedakan
antara pengetahuan dan ilmu serta mengetahui kebenaran suatu ilmu itu ditinjau dari isinya.
Ketiga, logika. Logika adalah bidang pengetahuan yang mempelajari segenap asas,
aturan, dan tatacara penalaran yang betul. Lapangan dalam logika adalah asas-asas yang
menentukan pemikiran yang lurus, tepat, dan sehat. Dengan mempelajari logika diharapkan
dapat menerapkan asas bernalar sehingga dapat menarik kesimpulan dengan tepat.
Pada asalnya logika disebut oleh Aristoteles sebagai analitika, yang kemudian
dikembangkan oleh para ahli abad pertengahan disebut ‘logika tradisional’. Kemudian pada
akhir abad ke-19 logika tradisional dikembangkan menjadi ‘logika modern’.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa logika adalah ilmu pengetahuan dan kecakapan untuk
berpikir lurus (tepat). Logika juga merupakan ilmu pengetahuan yang merupakan suatu
kesatuan yang sistematis serta memberikan penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Lapangan ilmu pengetahuan ini ialah asas-asas yang menentukan pemikiran yang lurus, tepat,
dan sehat. Agar dapat berpikir lurus, tepat dan teratur, logika menyelidiki, merumuskan serta
menerapkan hukum-hukum yang harus ditepati.
Dengan menerapkan hukum-hukum pemikiran yang lurus, tepat dan sehat, kita
dimasukkan ke dalam lapangan logika, sebagai suatu kecakapan. Hal ini menyatakan bahwa
logika bukanlah teori belaka. Logika juga merupakan suatu keterampilan untuk menerapkan
hukum-hukum pemikiran dalam praktik. Inilah sebabnya mengapa logika disebut filsafat
yang praktis.
Keempat, etika. Etika atau filsafat perilaku sebagai satu cabang filsafat yang
membicarakan tindakan manusia, dengan penekanan yang baik dan yang buruk. Dengan
demikian, dalam filsafat etika terdapat dua hal pokok, yaitu yang menyangkut ‘tindakan’ dan
‘baik-buruk’.

14
Mempelajari etika bertujuan untuk mendapatkan konsep yang sama mengenai
penilaian baik dan buruk bagi semua manusia dalam ruang dan waktu tertentu. Etika biasanya
disebut ilmu pengetahuan normatif sebab etika menetapkan ukuran bagi perbuatan manusia
dengan penggunaan norma tentang baik dan buruk.
Kelima, estetika. Estetika adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang
keindahan. Objek dari estetika adalah pengalaman akan keindahan. Dengan belajar estetika
diharapkan dapat membedakan antara berbagai terori keindahan, pengertian seni,
penggolongan seni, nilai seni, aliran dalam seni, dan teori penciptaan dalam seni.

D. Perbedaan Filsafat dengan Ilmu dan Agama


1. Perbedaan Filsafat dengan Ilmu
Filsafat dan ilmu pengetahuan keduanya bersumber kepada ra’yu (akal, pikiran, budi,
rasio, nalar dan reason) manusia untuk mencari kebenaran. Sedangkan agama
mengungkapkan, menerangkan dan membenarkan suatu kebenaran adalah bersumber dari
wahyu. Filsafat berusaha mencari kebenaran dengan cara menelusuri atau menziarahi akal
budi secara radikal (berpikir sampai ke akar-akarnya), mengakar, sistematis (logis dengan
urutan dan adanya saling keterkaitan yang teratur) dan integral (universal: umum, berpikir
mengenai semuanya) serta tidak merasa terikat oleh ikatan apapun, melainkan hanya oleh
ikatan tangannya sendiri, yaitu logika. Ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan memakai
metode atau cara pengalaman (empiris), penyelidikan (riset), dan eksperimen (percobaan)
atau sangat terkait dengan tiga aspek, yaitu: aspek hipotesis, aspek teori, dan aspek dalil
hukum.
Sementara itu, perbedaan filsafat dengan ilmu lebih berkaitan dengan titik tekan, di
mana ilmu mengkaji bidang yang terbatas. Ilmu sifatnya lebih analitis dan deskriptif pada
pendekatannya, ilmu menguntungkan observasi, eksperimen dan klasifikasi data pengalaman
indra serta berusaha menemukan hukum-hukum atas gejala-gejala yang ada. Sedangkan
filsafat berusaha untuk mengkaji pengalaman secara menyeluruh sehingga lebih bersifat
inklusif dan mencakup hal-hal umum dalam bermacam-macam bidang pengalaman manusia.
Filsafat lebih bersifat sintetis dan jika analitis maka analisisnya memasuki dimensi kehidupan
secara menyeluruh dan utuh. Filsafat lebih menekankan pada pertanyaan bagaimana dan
kenapa untuk mempertanyakan masalah yang terkait antara fakta khusus dengan skema
masalah yang lebih luas, filsafat mengkaji juga tentang hubungan antara temuan-temuan ilmu
dengan klaim agama, moral serta seni (Idris & Ramly dalam Bakir, M. And Zayyadi, A.,
2018).

15
Heinrich Rombach menyebutkan satu persatu sejumlah titik perbedaan antara ilmu
dan filsafat. Pertama, dengan filsafat kita dapat menanyakan tentang sifat dan eksistensi dari
suatu ilmu dan pengetahuan, namun tidak ada suatu bidang di luar filsafat, yang kiranya bisa
mengajukan pertanyaan yang menyangkut filsafat secara keseluruhan”. Fakta ini saja, secara
fundamental sudah membedakan filsafat dari setiap ilmu pengetahuan yang lain.
Perbedaan antara (kajian) filsafat dengan ilmu pengetahuan (salah satunya) dapat kita
lihat atau terletak pada ciri berpikir (radikal dan komprehensif). Bila filsafat mengkaji tentang
manusia (disebut objek material) misalnya, maka kajian tentang manusia ini dilaksanakan
secara menyeluruh/utuh; sementara ilmu pengetahuan mengkaji manusia dari sisi atau aspek
(objek formal) tertentu-umpamanya mengkaji manusia terbatas pada aspek psikis, aspek
biologis, aspek anatomis, maupun aspek sosiologisnya semata (karena itulah ilmu
pengetahuan sangat bersifat spesialis atau mengembangkan spesialisasinya masing- masing).
Filsafat juga tidak berhenti pada taraf empirik, tapi memasuki wilayah metafisis dan normatif
(etis). Dengan bahasa yang positif, filsafat dapat juga membantu mengkoordinasikan produk
ilmu pengetahuan spesialis pada kesatuan sistem serta sebagai “moderator” yang mengatur
dialog antar bermacam-macam bidang ilmu. Walaupun demikian, harus disadari bahwa
kemampuan dan rasionalitas manusia tetap terbatas sehingga pemikiran mengenai filsafat
juga terbatas.
2. Perbedaan Antara Filsafat dengan Agama
Perbedaan antara agama dan filsafat dapat kita lihat (sekurang-kurangnya)
berdasarkan sumbernya. Jika filsafat (termasuk ilmu pengetahuan) bersumber pada
pengalaman dan rasio, maka agama sumbernya adalah iman (wahyu Tuhan). Walapun
demikian, tidak berarti bahwa kita tidak perlu memakai rasio dalam kehidupan beragama kita.
Dalam Islam, sebagai contoh dikatakan, “Agama itu adalah akal dan tidak ada agama bagi
orang yang tidak berakal”. Dalam pandangan Islam pencarian kebenaran ilmu pengetahuan
atas alam semesta (ayat-ayat Allah) sesungguhnya suatu tindakan yang sangat dianjurkan,
dan bahkan tidak dapat dilihat sebagai hal yang terpisah dari agama. Dalam kaca mata Islam,
alam diatur menurut sunnah-Allah (hukum, aturan), bila ilmu alam bertujuan menemukan
hukum alam, berarti mencoba untuk menemukan hukum Allah yang berlaku pada alam.
Dari sisi lain, Agama mempunyai unsur-unsur: kitab suci, sistem ritual, sistem sosial,
sistem, hukum “agama”, juga mempunyai unsur pengetahuan, ilmu, informasi dan jawaban-
jawaban dari kegelisahan manusia. Filsafat sebagai sebuah seni dalam bertanya, disebabkan
kekritisan dari filsafat ini, sehingga jika filsafat melahirkan pertanyaan-pertanyaan, di situ dia
membutuhkan Agama untuk memberikan jawabannya sebab ada informasi-informasi yang

16
tidak dapat diperoleh manusia kecuali dari agama.
Walaupun terdapat perbedaan antara filsafat, ilmu pengetahuan dan agama, namun
juga ada persamaan antara ketiganya. Persamaan antara filsafat, ilmu pengetahuan dan agama
adalah ketiganya sama-sama mencari kebenaran, namun mereka berangkat dari titik tolak dan
cara yang berbeda. Antara filsafat, ilmu pengetahuan dan agama disamping terdapat
persamaan, akan tetapi juga ada perbedaannya, yaitu dari aspek sumber, metode dan hasil
yang ingin dicapai.
Filsafat, ilmu, dan agama memiliki tujuan yang sama, yaitu memahami dunia, tetapi
dalam kedalaman pemahaman berbeda-beda;
a. Dalam ilmu tujuan itu hanya teori atau pengetahuan untuk pengetahuan itu sendiri,
umumnya pengetahuan itu diabadikan untuk tujuan-tujuan ekonomi praktis.
b. Dalam filsafat tujuan itu adalah cinta kepada pengetahuan yang bijaksana, dengan
hasil kedamaian dan kepuasan jiwa.
c. Dalam agama tujuan itu damai, keseimbangan, keselarasan, penyesuaian, keselamatan
(dirangkum dalam satu istilah Islam yang berarti selamat).

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ruang lingkup filsafat adalah segala sesuatu lapangan pikiran manusia yang amat
luas. Segala sesuatu yang mungkin ada dan benar, benar ada (nyata), baik material konkrit
maupuan nonmaterial abstrak (tidak terlihat). Ada begitu banyak metode untuk berfilsafat,
seperti metode kritis, skolastik, historis, sistematika, metode geometris, metode
transcendental, metode fenomeologis, dan metode-metode lainnya. Pembagian filsafat dapat
dibagi menurut para ilmuwan. Pembagian filsafat secara sistematis yang didasarkan pada
sistematika yang berlaku di dalam kurikulum akademik meliputi metafisika, epistemologi,
logika, etika, dan estetika. Keberadaan filsafat berbeda dengan ilmu dan agama. Ilmu ingin
mengetahuai sebab dan akibat dari sesuatu, sementara filsafat tidak terikat pada satu
ketentuan dan tidak mau terkurung hanya pada ruang dan waktu dalam pembahasan dan
penyelidikan tentang hakikat sesuatu yang menjadi objek dan materi bahasannya. Sedangkan
agama merupakan wujud kebenaran dan keselamatan manusia untuk hidup di dunia dan
akhir.

18
DAFTAR PUSTAKA

Armada, Riyanto. 2004. Pengantar Filsafat: Pendekatan Sistematis. UMM Press. Malang.

Bauto, L.M. 2014. Perspektif Agama dan Kebudayaan dalam Kehidupan Masyarakat
Indonesia. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, Volume 23, No. 2, Edisi Desember.
Lubis, Nur A. Fadhil. 2015. Pengantar Filsafat Umum. Perdana Publishing. Medan.
Soegiono, T.M. 2012. Filsafat Pendidikan. PT Remaja Rosdakarya. Bandung.
Sudarto. 2002. Metodologi Penelitian Filsafat. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Suriasumantri, Jujun. 2005. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar Harapan.
Jakarta.
Sutardjo A. Wiramihardja. 2006. Pengantar Filsafat. PT Refika Aditama. Bandung.
Syam, Mohammad Noor. 2006. Filsafat Ilmu. Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri
Malang. Malang.

19

Anda mungkin juga menyukai