Anda di halaman 1dari 30

TELAAH SUMBER HUKUM MATERIL DAN ASAS-ASAS

DALAM PERADILAN AGAMA DI INDONESIA

MAKALAH

Tugas ini disusun untuk memenuhi mata kuliah Hukum Acara Peradilan
Agama

Dosen pengampu : Ahmad Zainal S.H.,

Oleh :

Anggun Istiqomah 212102030037

Maria Ulfa 214102020008

Rendy Dermawan 211102020040

Anas Tohir 214102020033

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KIAI HAJI ACHMAD


SIDDIQ JEMBER FAKULTAS SYARIAH

MARET 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah Swt. yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya sehingga penulisan makalah dengan judul “Mengkaji Sumber
Hukum Materil dan Asas-asas dalam Peradilan Agama” dapat terselesaikan
dengan lancar.

Salawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada junjungan kita nabi
besar Muhammad saw. karena beliaulah yang telah membawa kita dari zaman
jahiliyah menuju ke zaman yang penuh dengan ilmiah seperti yang kita rasakan
saat ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada bapak dosen


pengampu mata kuliah Hukum Acara Peradilan Agama Ahmad Zainul S.H., yang
telah membina dan membimbing kami dalam pembuatan makalah serta penulis
juga berterima kasih kepada rekan-rekan yang sudah meluangkan waktunya untuk
ikut berpartisipasi dalam menyelesaikan makalah ini.

Penulis sadar bahwa tulisan ini masih jauh dari kata sempurna, penulis memohon
maaf apabila tulisan ini terdapat kesalahan-kesalahan akan kata-kata dan kalimat
yang kurang dimengerti. Demikian tulisan ini dibuat, terima kasih.

Jember, 3 Maret 2023

II
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR ............................................................................................ II

DAFTAR ISI ......................................................................................................... III

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

A. Latar Belakang ................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................... 3

C. Tujuan Kepenulisan ........................................................................ 3

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 4

A. Sumber Hukum Secara Umum di Peradilan Agama ....................... 4

1. Hukum Islam yang bersumber dari Al-Quran ..................................... 4

2. As-Sunnah atau al-Hadist .................................................................... 6

3. Ijtihad Ulama ....................................................................................... 7

4. Qiyas .................................................................................................... 7

B. Sumber Hukum Materil di Peradilan Agama Indonesia ................. 8

1. HIR....................................................................................................... 8

2. R. Bg .................................................................................................... 9

3. Rv ......................................................................................................... 9

4. Bw ........................................................................................................ 9

5. Intruksi Presiden Republic Indonesia No.1 tahun 1991 tentang


Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI) ............................... 10

6. Yurisprudensi ..................................................................................... 12

7. Hukum positif yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan


Peradilan Agama. ............................................................................... 13

III
C. Asas-asas dalam Peradilan Agama................................................ 14

1. Asas-asas umum kekuasaan kehakiman.............................................14

2. Asas Personalitas Keislaman. ............................................................ 16

3. Asas Presumption of Innocence ......................................................... 16

4. Peradilan Bebas Dari Campur Tangan Diluar Pihak Kekuasaan


Kehakiman. ........................................................................................ 17

5. Hakim Bersifat Menunggu................................................................. 17

6. Hakim Bersifat Pasif .......................................................................... 18

7. Persidangan Bersifat Terbuka ............................................................ 18

8. Mendengar Kedua Belah pihak.......................................................... 19

9. Putusan Harus Disertai Dengan Alasan-Alasan................................ 20

10. Beracara Dikenakan Biaya ................................................................. 21

BAB III PENUTUP .............................................................................................. 23

A. KESIMPULAN ............................................................................. 23

B. SARAN ......................................................................................... 24

C. DAFTAR PUSTAKA ................................................................... 25

IV
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peradilan agama saat ini sebelumnya telah mengalami perubahan-perubahan yang


dipengaruhi oleh beberapa aspek didalam perkembangannya, yakni pertama,
berkenaan dengan kedudukan peradilan didalam tatanan hukum secara nasional
yang mencerminkan adanya peradilan yang masuk dalam tatanan kehidupan
masyarakat. Kedua, jika dilihat dari strukturnya maka pengadilan agama memiliki
susunan hierarki dan struktur organisasi yang kompleks, termasuk mencangkup
komponen-komponen manusia didalamnya. Ketiga, adanya kekuasaan didalam
badan peradilan secara mutlak maupun relatif yang mengisyaratkan bahwa alokasi
peadilan agama masuk dalam kekuasaan kehakiman dalam empat lingkungan
peradilan. Empat, adanya hukum acara yang dijadikan landasan dalam melakukan
penerimaan, pemeriksaan, dan pemutusan perkara sehingga penerapan hukumnya
bersifat substansial dalam proses pengambilan keputusan, hal ini dilakukan agar
dapat menegakkan hukum yang bersifat adil.1

Pengkajian sumber dan asas-asas dalam peradilan agama dimaksudkan untuk


mengulik lebih dalam beberapa perubahan dan perkembangan dasar-dasar dari
berlakunya peradilan sehingga dapat kita temukan perbedaan maupun persamaan
dari tiap-tiap masa. Seperti yang dijelaskan diatas, bahwa aspek yang
memengaruhi dalam perkembangan peradilan agama di Indonesia telah dimulai
sejak zaman kemerdekaan. Tujuannya agar dapat membentuk tatanan hukum
nasional yang dapat menggantikan tatanan hukum yang diwariskan oleh Kolonial
Hindia Belanda.

Dasar yang dijadikan rujukan dalam perubahan tersebut ialah pasal 24 dan 25
Undang-Undang Dasar 1945. Sementara aspirasi masyarakat yang mendukung

1
Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, (PT Remaja
Rosdakarya bandung : 1997)

1
adanya perubahan dapat terlihat melalui kekuatan politik yang terjadi melalui
infra struktur dan supra struktur.2

Perubahan undang-undang pada badan peradilan agama telah dilakukan


setidaknya 3 kali dari tahun 1948 hingga terakhir diubahnya pada tahun 2009.
Susunan kekuasaan pun ikut terombak ketika terjadi perubahan pada Undang-
undang No. 19 tahun 1948 yang diubah kedalam Undang-undang No.19 tahun
1964 dan perubahan kembali pada Undang-undang No.14 tahun 1970. Perubahan
tersebut mengatur beberapa rumusan yang ditentukan pasal 10 yakni, kekuasaan
badan pengadilan dalam lingkungan mencangkup Peradilan Umum, Peradilan
Militer, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), Mahkamah
Agung adalah badan pengadilan tertinggi di negara, dapat meminta kansasi
kepada MA jika putusan-putusan terakhir telah diselesaikan ditingkat akhir oleh
pengadilan-pengadilan diatas, dan MA sebagai pengawas tertinggi atas perbuatan
pengadilan dibawahnya sesuai ketentuan yang ditetapkan Undang-undang.

Sebelum diberlakukannya undang-undang No.7 tahun 1989, terdapat bermacam-


macam peraturan di hukum acara yang berlaku dilingkungan peradilan agama
seperti kitab undang-undang Hindia Belanda yang terdapat didalam Stbl. 1882
No. 152, Stbl 1937 No.116, surat edaran Kepala Biro Peradilan Agama
No.B/1/737 tentang pelaksanaan peraturan pemerintah No.45 tahun 1957 dan lain-
lain sebagainya.3 Pada dasarnya didalam Hukum Islam, kegiatan yang berada
bidang peradilan agama adalah kegiatan-kegiatan muamalah dan hukumnya
fardhu kifayah bagi peradilan agama untuk melaksanakannya.

2
Ibid hal. 124
3
Sulaikin Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia,
https://books.google.co.id/books?id=AUC-
DwAAQBAJ&printsec=frontcover&dq=inauthor:%22Hj.%2BSulaikin%2BLubis,%2BS.H.,%2B
M.H.,%2Bet%2Bal.%22&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&source=gb_mobile_search&sa=X
&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false

2
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja yang mencangkup dari sumber hukum dalam Peradilan Agama?
2. Apa saja yang termasuk dalam asas-asas Peradilan Agama?
C. Tujuan Kepenulisan
1. Agar dapat dijadikan pembelajaran sehingga dapat memudahkan mahasiswa
dalam memahami dari apa saja cangkupan sumber hukum dalam Peradilan
Agama
2. Agar mahasiswa dapat memahami asas-asas dalam Peradilan Agama

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sumber Hukum Secara Umum di Peradilan Agama

Secara garis besar sumber hukum peradilan agama bersumber dari Al-quran dan
Hadist, karena peradilan agama yang di maksud ialah agama islam, agama
mayoritas penduduk di Indonesia sehingga sumber yang dipakai tentunya
menggunakan kitab suci Al-qur’an dan Hadist. Adapun jika dilihat dari
sejarahnya, secara historis dan sosiologis terdapat beberapa perubahan atau
tambahan yang tidak mengubah secara signifikan dalam hukumnya, namun hanya
sebatas acara peradilannya. Untuk memahami lebih dalam, kita uraikan terlebih
dahulu mulai dari sumber utama hingga perubahan-perubahan undang-undang
yang dipakai didalam peradilan agama.

1. Hukum Islam yang bersumber dari Al-Quran

Pada dasarnya jika merujuk pada historis dari peradilan agama ada yang
mengatakan pada saat pemerintahan Hindia Belanda yang hanya memiliki satu
Pengadilan Umum, hak-hal yang bersifat keagamaan hanya dilakukan disekitar
serambi-serambi masjid. Lalu ketika sudah mencapai puncaknya, putusan
diserahkan kepada Pengadilan Negeri. Hukum yang sebelum diserahkannya ke
pengadilan Negeri ialah hukum-hukum yang berdasar dari Al-qur’an maupun
hadis, serta beberapa dari ijtihad.

Al-Quran didalam bidang hukum memuat hukum formal dan hukum materiel
beserta ketentuan-ketentuan yang ada didalam dua hukum tersebut. Adapun
hukum formal yang bersangkutan dengan kegiatan beracara di peradilan agama
seperti surah An-Nisa ayat 11 yang membahas Waris, surah Ar-Ruum ayat 21
membahas tentang perkawinan, dan lain-lain.

a. QS. Al-faatihah 1 ayat 6 yang artinya: “Yaallah tunjukanlah kami jalan


yang benar, jalan yang ada dalam arti tersebut adalah jalan hidup
dalam bidang hukum.”

4
b. QS. An-nisaa’ 4 ayat 58 yang artinya, “Sesungguhnya Allah
menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia
hendaknya kamu menetapkannya dengan adil.”
c. QS. An-nisaa’ 4 ayat 65 yang artinya, “Maka demi tuhanmu, mereka
tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad)
sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, sehingga
kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan
yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
d. QS. An-nisaa’ 4 ayat 105 yang artinya, “Sesungguhnya kami telah
menurunkan kitab (Al-Quran) kepada mu (Muhammad) membawa
kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang
telah di ajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau menjadi
penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang yang
berhianat.”
e. QS. Ali Imran 3 ayat 104 yang artinya, “Dan hendaklah di antara kamu
ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh
(berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan mereka
itulah orang-orang yang beruntung.”
f. QS. Al-maa’idah 5 ayat 8 yang artinya, “Wahai orang-orang yang
beriman, jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika)
menjadi saksi yang adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu
kaum, mendorong kamu berlaku tidak adil.”
g. QS. Al-maa’idah 5 ayat 42 yang artinya, “Dan jika kamu memutuskan
perkara maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.
h. QS. Al-maa’idah 5 ayat 44 yang artinya, “Dan janganlah kamu jual
ayat-ayat ku dengan harga murah. Barang siapa tidak memutuskan
dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang
kafir.”

5
2. As-Sunnah atau al-Hadist
a. Dari Abi Sa’id, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Apabila keluar
tiga orang dengan maksud hendak bepergian, hendaklah salah satu
diantaranya ada yang dijadikan penanggunga jawab (amir).” (HR. Abu
Daud)
b. Dari Amr bin’Ash, r.a.,bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda:
“Apabila hakim menjatuhkan hukum dengan berijtihad dan ijtihadnya itu
benar, maka ia mendapatkan dua pahlawan dan jika dia menjatuhkan
hukum dengan berijtihad kemudian ternyata ijtihadnya itu salah, maka ia
mendapat satu pahala.” (HR.Muttafaq’).
c. Dari Ummu Salamah r.a., ia berkata, bahwasanya rasulallah SAW
bersabda: “Sesungguhnya kalian mengadukan perselisihan kepadaku
padahal mungkin sebagian kamu lebih lancar (tangkas) hujahnya atau
lebih jelas pembicaraannya dari peda yang lain, kemudian aku membeikan
keputusan kepadanya berdasarkan apa yang aku dengar dari padanya,
barang siapa yang aku beri sebagian dari hak saudaranya, maka aku
memotong baginya sepotong api neraka untuknya.” (HR. Muttafaq’alaih).
d. Dari Buraidah ia berkata, Rasulallah SAW bersabda: “Hakim itu ada tiga
macam, dua macam di antaranya akan masuk neraka dan satu macam
akam masuk surga. Hakim yang masuk surga ialah hakim yang
mengetahui ketentuan hukum (hukum yang sebenarnya) menurut hukum
Allah, ia menghukum dengan hukum daras itu. Hakim yang mengetahui
ketentuan hukum tetapi ia tidak menghukum berdasarkan ketentuan itu,
hakim ini akan masuk ke dalam neraka. Hakim yang tidak mengetahui
ketentuan hukum tetapi dengan ketidak tahuannya itu ia menghukum
manusia, hakim ini juga masuk kedalam neraka.” (HR. Ar-ba’al dan
disahkan oleh hakim).
e. Tidak boleh dengki kecuali kepada dua orang: pada seseorang yang di
anugrahi Allah harta, lalu dia curahkan harta itu sampai habis untuk

6
membela kebenaran, dan pada seorang yang di anugrahi Allah
kebijaksanaan, lalu ia memutus perkara dan beramal kebijaksanaan itu.”
3. Ijtihad Ulama

Untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang semakin modern dan semakin


kompleks hukum Islam hadir menjawab permasalahan tersebut yang terjadi
didalam masyarakat. Namun hukum Islam beragam macamnya dan butuh banyak
penafsiran untuk menjawab permasalahan-permasalahan tersebut. Dalam usaha
menggali makna dari Alquran dan Sunnah para Mujahid telah merumuskan
metodologi ijtihad. Metode ijtihad inilah yang nantinya akan menjawab
pertanyaan-pertanyaan secara modern namun tetap berdasarkan Alquran dan as-
sunnah. Metodologi ijtihad yang kita kenal ialah Ushul fiqih.4

Dalam studi hukum Islam di masyarakat terdapat kajian mengenai upaya


peningkatan fungsi hukum Islam atau fiqih dalam kehidupan masyarakat. Studi
hukum Islam yang berkembang bisa kita bidang kan dalam kategori fakultas
hukum menjadi hukum kewarisan Islam, hukum perorangan, keluarga Islam,
hukum peradilan agama, hukum zakat dan wakaf, hukum ekonomi syariah, hukum
asuransi syariah, hukum pasar modal syariah, hukum perbankan syariah, da
Hukum perjanjian Islam.

Ijtihad diartikan sebagai usaha pikiran dari seorang ahli Mujtahid untuk
menyimpulkan hukum fiqih yang berasal dari Alquran dan Sunnah maupun
penerapannya. Ijtihad terdapat dua bentuk yakni ijtihad istinbathi dan ijtihad
tatbiqi. Ijtihad istinbaqi ialah ijtihad yang menyimpulkan hukum dari sumbernya,
dengan adanya ijtihad ini seorang mujtahid mampu menarik rumusan fiqih dari
Alquran maupun hadis untuk diterapkan pada suatu masalah yang konkret.5
Adapun ijtihad tatbiqi adalah ijtihad dalam penerapan dari hukum tersebut.

4. Qiyas

4
Akhmad Khisni, “Transformasi Hukum Islam ke dalam Hukum Nasional (Studi Ijtihad Hakim
Peradilan Agama Tentang Pengembangan Hukum Kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam dan
Kontribusinya terhadap Hukum Nasional” (Disertasi, Yogyakarta, 2011), 322.
5
Ibid

7
Qiyas secara definisi ialah menetapkan hukum dari suatu peristiwa atau kejadian
yang tidak memiliki dasar nashnya membandingkan suatu kejadian atau peristiwa
lain yang sudah ditetapkan hukumnya berdasarkan nas karena adanya persamaan
illat di antara keduanya.

Proses penetapan hukum melalui qiyas ialah proses menyingkapkan dan


menjelaskan hukum pada satu kasus yang belum jelas hukumnya dari Alquran
maupun hadis. Dan cara menjelaskan hal tersebut yakni dengan dibandingkannya
illat hukum yang disebutkan dalam nas dengan illat yang sama sehingga hukum
dari kasus tersebut adalah sama dengan hukum yang telah ditentukan oleh nash.

Definisi illat menurut mayoritas ulama hanafiyah ialah suatu sifat yang fungsinya
sebagai pengenal bagi suatu hukum. Maksudnya ialah sifat pengenal dari suatu
illat adalah apabila terdapat suatu illat pada suatu lainnya sehingga hukumnya ada
dan karena keberadaannya (illat), hukum itu dikenal.6

Para ulama Ushul fiqih memberikan tanggapan yang berbeda-beda terhadap


kedudukan qiyas sebagai sumber hukum. Ada yang memperbolehkan penggunaan
dan kehujanan kias dalam masalah duniawi seperti masalah obat-obatan dan
makanan. Ada juga yang setuju terhadap penggunaan kias karena kehujahan qiyas
dilakukan Rasulullah semasa hidupnya.

B. Sumber Hukum Materil di Peradilan Agama Indonesia

1. HIR

HIR adalah singkatan dari IR (Inlandsche Reglement), yang tertuang dalam


undang undang No16 jo 57 Tahun 1848, atau dalam bahasa Belanda dituliskan
Reglement op de uit oefening van de politie, der Burgelijke rechtpleging en de
strafvordering onder de inlands en Vremde Oosterlingen nop java en Madura
(Reglemen mengenai pelaksanaan tugas kepolisian yang mengatur ketetapan

6
Arifana Nur Kholiq, “Relavansi Qiyas dalam Istinbath Hukum Kontemporer,” 174

8
untuk mengadili perkara secara perdata dan menggugat pelaku pidana terhadap
kelompok bumiputra dan Timur asing di Jawa dan Madura).

Berdasarkan judulnya, HIR dapat dibagi menjadi dua katagori yaitu acara pidana
dan juga acara perdata, yang digunakan masyarakat bumiputra dan timur asing di
Jawa dan Madura untuk melakukan perjalanan lintas batas. Bagian acara pidana
disini berasal dari pasal 1 sampai dengan 144 dan lanjut ke pasal 246 sampai
seterusnya pasal 371 di bagian acara perdata dari pasal 115 sampai ke 244.
Sementara itu sebaliknya title ke 15 yang merupakan aturan berdasarkan aturan
yang mencakup acara pidana dan perdata.

Sesuai dengan UU No. 8 tahun 1981 tentang kitab Undang Undang Hukum Acara
pidana (KUHAP), disebutkan bahwa ketentuan dalam HIR tersebut tidak berlaku
lagi.

2. R. Bg

R.Bg yang telah ditetapkan di pasal 2 ordonasi 11 Mei 1927 lembaran Negara
No. 22 tahun 1927, dan mulai berlaku pada tanggal 11 Juli tahun 1927, hal ini di
maksudkan untuk mengganti berbagai peraturan yang berupa suatu reglemen
terbesar dan hal ini hanya berlaku di suatu daerah tertentu saja yaitu seperti
regelemend bagi daerah Ambon, Aceh, Sumatra Barat, Palembang, kalimantan,
Minahasa dan lain sebagainya. R bg ini berlaku untuk luar Jawa dan Madura.

3. Rv

Peraturan Rv atau Reglement of de Rechtsvordering ialah peraturan yang


tergabung dalam lembaran Negara No. 52 /1847, mulai berlaku pada tanggal 1
Mei 1848, dan merupakan Reglement yang menentukan persyaratan untuk suatu
proses hukum yang khusus untuk sekelompok eropa dan dipersembahkan dengan
mereka untuk diakui oleh Raad Van Justice dan Residentie gerecht. Dalam
prakteknya Rv digunakan untuk masalah arbitrase.

4. Bw

9
BW atau istilah lengkapnya Burgelijke Wetbook Voor Indonesia, ialah yang
didalam bahasa Indonesia disebut KUHPerdt. yang sumber hukum acara
perdatanya (khusus buku IV) mengenai tentang pembuktian yang ditulis dalam
pasal 199-205

5. Intruksi Presiden Republik Indonesia No.1 tahun 1991 tentang


Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Presiden Indonesia dalam suatu keputusan telah mempertimbangkan bahwasannya


:

a. Pada loka karya yang terjadi pada tanggal 2 sampai dengan tanggal 6
februari tahun 1988 ulama Indonesia menerima dengan baik hati tentang
raaancangan kompilasi hukum islam yang di setujui olehnya. Diantara
ketiga buku tersebut yaitu adalah buku pertama tentang perkawinan, buku
kedua tentang perwarisan dan buku terakhir tentang perwakafan. Buku ini
sangat diterima oleh para ulama karena dapat mengatur dan
mempermudahkan hukum di Indonesia.
b. Setelah mencetuskan Kompilasi Hukum Islam, pemerintah dan juga
masyarakat menjadikan buku KHI inis ebagai pedoman yang mengatur
tentang masalah -masalah tertentu yang terjadi di masyarakat.
c. Karena itulah buku KHI ini disebarluaskan demi kenyamanan
bersama.sesuai dengan pasal 4 ayat 1 Undang-undang dasar 1945.

Setelah buku KHI ini di terima oleh masyarakat dan juga intansi pemerintah,
presiden Indonesia mengintruksikan kepada mentri agama supaya untuk menyebar
luaskan buku KHI tersebut.dan juga mengintruksikan agar dilaksakan dengan
sebaik-baiknya sesuai dengan tugas dan kewajibannya.

Pernikahan merupakan suatu adat yang turun temurun dari leluhur kita, yang
bertujuan untuk meneruskan suatu keturunan yang murni dari daging kita.
Tentunya di dalam agama islam Nabi Muhammad mengajarkan kepada kita untuk
menjalani pernikahan supaya mendapatkan keturunan. Hukum menikah di dalam

11
agama islam yaitu sunnah. Tentunya di dalam suatu pernikahan ada beberapa
syarat dan rukun yang harus di penuhi terlebih dahulu.

Dalam perkawinan tentunya kita sebagai masyarakat Indonesia tidak asing


mendengar kata tersebut karena orang yang sudah dewasa dan sudah siap dalam
hal hal tertentu. Tentunya manusia di ciptakan berpasangan, maka orang yang
sudah dewasa dan siap menjalankan kehidupan yang baru akan mencari pasangan
yang cocok dengan dirinya. Akan hal perkawinan yang terjadi di Indonesia ini
tentunya telah di atur dalam undang-undang nomer 1 tahun 1974 tentang
perkawinan,peraturan pemerintah nomer 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan
Undang-undang nomer 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan juga intruksi
presiden nomer 1 tahun 1991 tentang kompilasi hukum islam.

Tentunya inpre 1 tahun 1991 hanya di khususkan kepada umat islam karena
mayotitas agama di Indonesia itu beragama islam.KHI ini juga bersandar kepada
sunnah nabi yaitu boleh beristri lebih dari satu akan tetapi ada syarat yang harus di
tekankan terlebih dahulu.

Dengan adanya KHI ini para ulama di Indonesia menyetujui akan hal tersebut
dikarenakan hal tersebut yang ada di dalamnya tidak bertentangan di dalam agama
islam justru di sunnahkan di dalam agama islam asalkan mampu memenuhi semua
kebutuhannya.

Kedudukan KHI dalam sistem hukum yang ada di Indonesia telah di akui
keberadaannya dan di terima oleh masyarakat Indonesia,dikarenakan :

a. Kedudukan KHI diakui secara konstistusi bahkan juga di akui oleh


pancasila.
b. Legalisasi KHI telah di tidak lanjuti dan telah di terima oleh mentri agama.
c. Mengkaji dari hukum islam juga telah di sepakati oleh para ulama.

11
d. Hakim peradilann agama telah menyepakati dan KHI ini menjadi dasar
dan rujukan hukum masyarakat.7

6. Yurisprudensi

Hukum materil islam di dalam kehidupan masyarakat yang di atur dalam


peraturan dan perundang-undangan tersebut sebagai upaya untuk menhindari
suatu permasalahan yang ada di masyarakat.pada dasarnya kepastian hukum
perbedaan pendapat di peradilan agama dapat di wujudkan melalui
kebenaran.kebeneran bukan hanya terwujud karena bukti yang sah akan tetapi
dengan dasar hukum yang kuat.8

Ketentuan hukum yang benar untuk melakukan perkawinan sesuai dasar hukum
yang ada di Indonesia yaitu terdapat daklam undang – undang nomer 1 tahun 1974
dan juga peraturan pemerintah nomer 9 tahun 1975.perkawinan ini bersangkutan
dengan hukum dikarenakan banyak permasalahan di masyarakat tentang
perkawinan.perkawinan ini juga di lindungi oleh hukum yaitu pada pasal 2 ayat 1
undang-undang nomer 1 tahun 1974 yang di dalamnya berbunyi akan di sebut
perkawinan apabila melakukan perkawinan menurut kepercayaan agama dan
tradisi masing – masing. Dan juga ada pula pasal 2 yang berbunyi setiap
perkawinan di catat menurut peraturan perundang undangan yang berlaku.9

Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang fundamental yang berfungsi


untuk menegakkkan keadilan tanpa adanya pihak lain. Bagirmanan menyebutkan
beberapa tujuan dari kekuasaan kehakiman diantaranya yaitu :

a) Kekuasaan kehakiman di perlukan untuk menjaga dan menjamin


kebebesan individu.
b) Perlunya kekuasaan kehakiman yang merdeka agar pejabat pemerintah
tidak sewenang-wenang akan hal menindas.

7
Abdurrahman. (2001). Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Cet. 3. Jakarta: Akademika
Pressindo
8
Djalil, A. Basiq. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Pranada Media Group, 2006.
9
Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum. Jakarta:Departemen Agama RI, 1999.

12
c) Butuh kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menilai ke absahan
suatu peraturan supaya di tegakkan dengan baik.

Independen lembaga peradilan yakni suatu kebebasan dan kemandirian


pengadilan dalam melaksakan tugas dan fungsinya sebagai peradilan.artian bebas
yang dimaksud yaitu bebas dalam menentukan perkara yang benar. Arti dari
mandiri yaitu tidak boleh ada campur tangan dari badan lain selain lembaga
peradilan.10

Didalam perundang-undangan Indonesia lembaga peradilan mempunyai eksistensi


yang tidak terbatas dalam kebebasan dari pihak negara lain melainkan
rekomendasi dari ekstra yudisial. Landasan yuridis yang di pakai oleh peradilan
telah di atur dalam pasal 10 dan pembentukan pengadilan khusus dan mahkamah
syariah terdapat pada pasal 15 ayat 1 dan 2 dan Undang-undang nomer 48 tahun
2009 yang berbunyi :

a. Pengadilan khusus hanya dapat di bentuk dalam salah satu lingkungan


peradilan.
b. Peradilan syariah yang terdapat di aceh merupakan peradilan khusus yang
di bentuk dalam peradilan agama sepanjang kewenangannya.11

7. Hukum positif yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan Peradilan


Agama.

Peradilan Agama masuk dalam salah satu peradilan di Indonesia yang bersifat
khusus untuk menangani suatu perkara tertentu yang telah diatur dalam undang-
undang. Didalamnya terdapat kewenangan yang disebut juga dengan kekuasaan.
Tujuan dari adanya peradilan agama ialah untuk mengatur dan menegakkan
hukum yang berlaku dimasyarakat dengan mengikuti dasar Pancasila dan Undang-

10
Achmad Edi Subiyanto, Mendesain Kewenangan Kekuasaan kehakiman setelah Perubahan
UUD 1945, Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 4, Desember 2012, 665-667.
11
M. Fauzan, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di
Indonesia ( Jakarta: Prenada Media Group, 2005), 4.

13
undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang sesuai dengan pasal 2 ayat
(2) UU tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman.

C. Asas-asas dalam Peradilan Agama

Didalam peradilan agama masing-masing komponen memiliki asas-asas


tersendiri. Seperti asas umum kekuasaan kehakiman, asas badan peradilan, asas-
asas yang dikhususkan untuk hakim hingga asas dalam pemeriksaan perkara12.

Asas-asas tersebut digunakan sebagai dasar dari diberlakukannya atau


dijalankannya praktik hukum yang berlaku. Sebagai contoh, dalam peradilan
agama terdapat asas personalitas keislaman yang menjadi tujuan utama peradilan
agama dalam memberlakukan praktik ini yang tujuan atau fungsi kehakimannya
di khususkan untuk masyarakat yang beragama islam. Asas ini tidak dapat
dimiliki peradilan lain dikarenakan sudah menjadi bagian ciri khas dari peradilan
agama.

Bukan berarti bahwa asas dalam peradilan agama tidak dapat digunakan di
peradilan lain, namun untuk asas-asas khusus tidak semua peradilan dapat
menggunakannya.

Berikut adalah beberapa asas yang dipakai didalam peradilan agama

13
1. Asas-asas umum kekuasaan kehakiman

Didalam kekuasaan kehakiman terdapat asas-asas yang berlaku, yakni :

a. Asas Kekuasaan Negara yang Merdeka dengan dasar menggunakan pasal


UU No. 48 tahun 2009, maksud dari pasal ini adalah Kekuasaan
kehakiman oleh negara di bebaskan untuk menyelenggarakan peradilan

12
M. Fauzan, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Dan Mahkaman Syar’iyah Di
Indonesia,
https://books.google.co.id/books?id=qTi2DwAAQBAJ&lpg=PR1&ots=jdrSD9QDqV&dq=hukum
%20acara%20peradilan%20agama&lr&hl=id&pg=PA20#v=onepage&q=hukum%20acara%20per
adilan%20agama&f=false
13
Ibid

14
dengan tujuan agar dapat menegakkan keadilan bagi masyarakat yang
didasarkan pada pancasila guna menciptakan masyarakat yang adil dan
beradab.14
Tugas peradilan di pasal ini ditunjukkan sebagai tempat untuk mengadili
atau memutuskan perkara dengan pertimbangan hakim sebagai petinggi
pengadilan. Didalam pengadilan terdapat pengadilan umum dan khusus.
Pengadilan umum diperuntukkan bagi seluruh masyarakat secara umum,
sementara pengadilan khusus di khususkan kepada golongan tertentu
seperti pengadilan agama yang hanya berlaku dan hanya dapat mengadili
orang-orang atau golongan rakyat beragama islam.
b. Pelaku Kekuasaan Kehakiman yang terdapat dalam pasal 18 UU No. 48
tahun 2009 yakni Mahkamah Agung sebagai kekuasaan kehakiman
tertinggi yang menaungi dibawahnya peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.
c. Asas ketuhanan, tercantum dalam pasal 2 ayat (1) UU No.48 tahun 2009
dengan dinyatakan didalamnya “DEMI KEADILAN YANG
BERDASARKAN KETUHANAN YANG ESA”
d. Asas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan. Termuat didalam
pasal 2 ayat (4)UU No. 48 tahun 2009. Asas ini dikenal juga adagium
justice delayed justice denied15 yakni bahwa dalam proses peradilan
diutamakan efisien dan efektif sehingga tidak menyebabkan peradilan
lambat yang akan terganggungnya dalam memberi keadilan kepada pihak-
pihak yang bersangkutan.
e. Asas mengadili menurut hukum yang termuat dalam pasal 4 ayat (1) UU
No. 48 tahun 2009 dengan tujuan agar keadilan dapat ditegakkan tanpa
membeda-bedakan oran maupun golongan.

14
“Kekuasaan Kehakiman: Penjelasan Lengkap Tentang Pengadilan dan Peradilan,”Adam
Malik last modified August 10, 2020, https://www.situshukum.com/2020/08/kekuasaan-
kehakiman.html
15
Peradilan yang Cepat, Sederhana, dan Berbiaya Ringan,” Muhammad Yasin last modified
February, 3, 2018, https://www.hukumonline.com/berita/a/peradilan-yang-sederhana--cepat--dan-
biaya-ringan-lt5a7682eb7e074

15
Selain itu terdapat asas-asas didalam pemeriksaan perkara di Pengadilan
Agama. Asas-asas tersebut meliputi:

2. Asas Personalitas Keislaman.

Pada pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 7 tahun 1989 bahwa Peradilan Agama
di peruntukkan untuk masyarakat yang beragama islam yang menyelesaikan
permasalahan dibidang perdata, dengan cangkupan bidang perkawinan,
kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sadaqah. Pada pasal 2 dikatakan bahwa
peradilan agama adalah kekuasaan kehakiman di peruntukkan bagi rakyat pencari
keadilan dengan syarat beragama islam mengenai perdata tertentu, sehingga asas
personalita keislaman yang dimaksud ialah:16

a. Pihak-pihak yang bersangkutan harus sama-sama beragama islam


b. Perkara-perkara yang inin diadukan harus salah satu dari bidang dibawah
lingkup peradilan agama
c. Didasarkan pada hukum islam sehingga cara penyelesaiannya mengikuti
hukum islam

Lalu ketika terjadi perubahan Undang-undang menjadi UU No. 3 tahun 2006,


terjadi perubahan rumusan karena bidang-bidang dalam peradilan agama
bertambah, sehingga kata “perdata” dihapuskan. Penambahan bidang tersebut
meliputi zakat, infaq, dan ekonomi syari’ah.

3. Asas Presumption of Innocence

Atau dikenal sebagai asas praduga tak bersalah. Dihadapan hukum semua yang
berada di pengadilan tidak dapat menganggap bersalah sebelum adanya kekuatan
hukum yang tetap17. Asas ini terdapat dalam pasal 9 Undang-undang No.48 tahun
2009 yang dinyatakan bahwa seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun
diadili jika tidak sesuai undang-undang maka dapat meminta kerugian.

16
Modul Praktikum Peradilan Agama, Modul-PPL-Peradilan.pdf
17
Amelda Yunita, “Penerapan Asas Praduga Tidak Bersalah dalam Proses Peradilan Perkara
Tindak Pidana Terorisme”(Tesis, Universitas Imdonesia, 2011), 64.

16
4. Peradilan Bebas Dari Campur Tangan Diluar Pihak Kekuasaan
Kehakiman.

Asas yang kedua ini memiliki suatu kebebasan ketika melakukan suatu kekuasaan
judiciel dalam UU No.14 tahun 1970 yang kemudian direvisi menjadi UU No.4
tahun 2004 menyatakan bahwa kebebasan ini bersifat tidak mutlak yang
disebabkan oleh kewajiban dari seorang hakim ialah untuk menegakkan hukum dn
keadilan yang sesuai dengan pancasila melalui jalan mengartikan hukum, dengan
mencari dasar hukumnya, dan mengetahui asas-asas yang sudah menjadi dasarnya
dengan adanya sengketa yang terjadi. Sehingga keputusan yang diputuskan oleh
seorang hakim ialah berupa suatu keputusan yang menggambarkan rasa keadilan
bangsa dan juga rakyat Indonesia.

5. Hakim Bersifat Menunggu

Asas yang banyak di gunakan dalam hukum acara yakni hukum acara perdata,
yang mana dalam prosesnya berkarakter prakarsa untuk menyampaikan sebuah
tuntutan hak yang seluruhnya di pasrahkan terhadap yang bekeperluan. Jadi yang
menyampaikan adanya tuntutan ialah ia yang bekeperluan, sementara seorang
hakim hanya menanti akan hadirnya suatu tuntutan hak yang diajukan terhadap
hakim. Jika suatu tuntutan yang dibawa dan di sampaikan oleh pihak yang
berkepentingan terhadap hakim sudah datang, maka hakim dilarang untuk
melakukan penolakan terhadap tuntutan tersebut untuk mengecek dan mengambil
sebuah keputusan meskipun dengan dalil bahwasanya hukum belum ada atau
hukum belum pasti.

Adapun dilarangnya seorang hakim berbuat demikian yakni seorang hakim sudah
dikategorikan bahwa ia telah mengetahui akan hukum tersebut. Jika semisal
seorang hakim belum mendapatkan ketentuan acara tertulis, maka hakim tersebut
harus mencari, mempelajari dan meresapi adanya ketentukan yang memang hidup
dalam wilayah warga Indonesia.18

18
M Taufiq Makaro, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), 6.

17
6. Hakim Bersifat Pasif

Seorang hakim bersifat pasif atau tidak bisa berbuat apa-apa apabila ada suatu
permasalah yang mana permasalahan tersebut merupakan inti dari suatu
permasalahan tersebut yang sudah ditetapkan oleh para pihak yang
berkepentingan.Seorang hakim tidak diperkenankan untuk ikut berpartisipasi
dalam sebuah permasalahan yang sudah ditentukan oleh para pihak.Sebagaimana
yang telah di tentukan dalam pasal 118 ayat (1) HIR, pasal 142 ayat (1)
R.Bg.Seorang hakim ketika berada dalam posisi upaya untuk mencapai sebuah
keadilan tidak bisa menghalangi atau menghadang para pihak yang sedang
mencari suatu keadilan.melainan seorang hakim hanya bisa membantu dalam
pihak yang sedang mencari suatu keadilan.

Ketika seorang hakim sedang melakukan pemeriksaan terhadap suatu


permasalahan yang terkait dengan persoalan perdata, seorang hakim hanya bisa
bersikap untuk mengikuti para pihak. Sementara ketika seorang hakim sedang
memimpin pelaksanaan sidang seorang hakim harus bersifat sebaliknya yaitu
aktif. Aktif seorang hakim dapat berupa melakukan pertolongan terhadap para
pihak yang sedang mencari keadilan.

Dengan adanya pemaparan diatas bahwasannya hakim tidak memiliki


kewenangan ketika sedang melakukan pemeriksaan suatu permasalahan yang
bersifat pasif yang diajukan oleh para pihak, dan hakim dapat bersifat aktif pada
saat tertentu saja. Hal tersebut merupakan suatu tindakan atau sikap yang memang
harus dilakukan oleh seorang hakim, dengan demikian sifat pasif seorang hakim
berarti hanyalah suatu tindakan yang tidak menjadikan suatu masalah mejadi
panjang lebar, oleh karnanya hal itu dapat di selesaikan dengan tidak memakan
waktu yang terlalu lama.

7. Persidangan Bersifat Terbuka

18
Sebagaimana yang terdapat dalam pasal 17 dan 18 UU No.14 tahun 1970 yang
sudah dirubah menjadi pasal 19 UU No.4 tahun 200419 menyatakan bahwa dalam
persidangan yang bersifat terbuka ini siapapun boleh menghadiri sidang
pemeriksaan yang dilakukan dalam persidangan tanpa terkecuali. Hal ini
dilakukan agar pihak yang dilakukan pemeriksaan bisa mendapatkan suatu
perlindungan sebagai salah satu bentuk hak asasi kemanusiaan yang diberikan izin
oleh pihak pengadilan kepada siapapun untuk menghadiri sidang pemeriksaan
tersebut untuk menjamin adanya objektivitas peradilan yaitu dengan
mempertanggung jawabkan pemeriksaan yang adil terhadap pihak yang dilakukan
pemeriksaan, serta memihak dan memberikan suatu keputuusan yang adil
terhadap masyarakat.

8. Mendengar Kedua Belah pihak

Seorang hakim dailarang untuk berpihak kepada salah satu pihak yang berperkara
dan seorang hakim harus sama-sama mendengarkan atau memperhatikan kedua
belah pihak tanpa terkecuali dengan bersikap adil. Ketika hendak menyampaikan
pendapatnya seorang hakim harus mendengarkannya tanpa berpihak kepada salah
satu pihak dari keduanya, sebagaimana yang terdapat tercatat dalam pasal 5 ayat 1
UU No.4 tahun 2004 yang menjelaskan bahwasanya seorang hakim harus sama-
sama mendengarkan atau memperhatikan kepada kedua belah pihak yang sedang
bersengketa dan pihak yang bersengketa harus diperlakukan dengan seadil
mungkin oleh seorang hakim dalam hukum acara perdata dan juga pihak yang
bersengketa harus diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya
sendiri. Ketika seorang hakim tidak mendengarkan atau tidak memperhatikan
serta tidak diberikan waktu untuk menyampaikan pendapat para pihak, maka hal
tersebut menandakan bahwa seorang hakim sudah terpancing untuk berpihak
kepada salah satu pihak yang bersengketa. Alat bukti yang digunakan oleh kedua

19
M Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Undang-Undang
Nomor 7 tahun 1989 (Jakarta: Pustaka Kartini, 1989), 57.

19
belah pihak yang hendak di ajukan kepada seorang hakim harus akurat dengan
pasal 132a, 121 ayat 2 HIR, pasal 145 ayat 2, 157R.Bg, 47 Rv.20

9. Putusan Harus Disertai Dengan Alasan-Alasan

Sebagaimana yang telah disampaikan dalam pasal 25 UUNo.4 tahun 2004, 184
ayat 1, 319 HIR, 618 R.Bg, bahwa keputusan yang dikeluarkan oleh seorang
hakim kepada pihak yang bersengketa harus disertakan dengan alasan-alasan yang
logis dan dapat diterima oleh kedua belah pihak yang bersengketa dan juga dapat
diterima oleh masyarakat.

Alasan-alasan yang dapat diterima dengan secara logika yakni alasan yang dapat
dijadikan sebagai pegangan suatu landasan ketika seorang hakim hendak
mengadili. Alasan yang dikeluarkan oleh seorang hakim kepada pihak yang
bersengketa merupakan suatu bentuk pertanggungjawaban seorang hakim atas
diambilnya suatu keputusan yang diputuskan untuk pihak yang bersengketa.
Dengan demikian masyarakat atau pihak yang bersengketa dapat menerima
alasan-alasan tersebut yang mana alasan tersebut termasuk alasan akan munculnya
suatu keputusan dari seorang hakim.

MA mengeluarkan beberapa suatu ketentuan atau keputusan yang berlaku dalam


bidang alasan ini yang mana alasan yang dikeluarkan oleh hakim merupakan suatu
alasan yang memang harus di sertakan ketika seorang hakim mengeluarkan suatu
keputusan. Apabila seorang hakim mengeluarkan suatu keputusan yang tidak
disertakan dengan adanya alasan yang jelas atau yang tidak dapat diterima oleh
pihak yang bersengketa dan masyarakat, maka alasan tersebut merupakan alasan
kasasi dan putusan tersebut bisa dapat dibatalkan.

Alasan merupakan suatu hal yang penting dalam pengambilan suatu keputusan
yang dilakukan oleh seorang hakim kepada pihak yang bersengketa, yang mana
alasan tersebut menjadi sebuah bentuk pertanggungjawaban seorang hakaim
kepada Allah swt, pengadilan yang berada di atasnya, para pihak dan juga

20
Taufik Makaro, Poko-Pokok Hukum Acara Perdata, 12.

21
masyarakat.21 Keputusan yang dikeluarkan oleh seorang hakim harus
berlandaskan ilmu pengetahuan hukum itu sendiri. Karena ilmu hukum itu sendiri
meruapakan suatu ilmu yang dapat memberikan dukungan yang kuat terhadap
suatu alasan yang dikeluarkan oleh seorang hakim terhadap pihak yang
bersengketa dan juga masyarakat dimuka pengadilan, yang mana salah satu dasar
hukum acara peradilan itu sendiri adalah ilmu perngetahuan yang harus dikuasai
oleh seorang hakim sebelum memberikan suatu alasan atas sebuah keputusan
yang akan dikeluarkan dan harus disertai dengan adanya alasan yang logis ketika
mengeluarkan suatu kepuutusan.

10. Beracara Dikenakan Biaya

Pada dasarnya biaya dikenakan terhadap siapapun yang berperkara serta harus
membayar beberapa hal tertentu, yakni biaya kepaniteraan, panggilan materai
pemberitahuan, serta ketika ia selaku pihak yang berperkara menggunakan
seorang pengacara pun juga harus membayarnya. Sebagai bentuk pelaksanaan atas
asas hukum acara perdata yang ke-8 yakni asas beracara dikenakan biaya, yang
mana hal tersebut harus dilaksanakan atau dipenuhi oleh yang brsangkutan. Biaya
yang harus dikeluarkan telah tertera dalam pasal 4 ayat 4,2,5 ayat 4 UU No.4
tahun 2004, pasal 21 ayat 4, 182, 183 HIR, 145 ayat 4, 192-94 R.Bg.

Seseorang yang bersengketa bisa dilakukan secara percuma apabila ia tidak bisa
atau tidak mampu untuk membayar biaya perkara tersebut dengan mendapatkan
rekomendasi dengan mengajukan surat tidak mampu kepada pengadilan yang di
keluarkan oleh kecamatan dari daerah para pihak yang bersengketa bahwasanya ia
benar-benar tidak mampu untum membayar biaya tersebut. Dengan adanya suatu
bukti bahwa ia dinyataikan benar-benar tidak mampu untuk melakukan
pembayaran, maka ia tidak di kategorikan seorang yang telah mengajukan
pengajuan perkara secara predio. Akan tetapi hal tersebut tidak bisa dilakukan
oleh siapapun yang termasuk dari bagian orang yang mampu melakukan

21
Martha Eri Safira, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Peraktek (Ponorogo: CV. Nata
Karya, 2019), 8.

21
pembayaran. Orang yang tebilang mampu harus tetap melakukan pembayaran
yang sebagaimana mestinya.

22
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas dapat kita tarik kesimpulan mengenai apa saja yang
termasuk dalam sumber hukum umum, sumber hukum materil, dan asas-asas yang
dipakai di Peradilan Agama. Seperti yang telah dijelaskan bahwa sumber hukum
yang dipakai oleh seluruh umat muslim di dunia ialah menggunakan Al-qur’an
dan Hadis sebagai pedoman dan rujukan utama. Sementara ada beberapa wilayah
seperti Indonesia yang menambahkan Ijtihad Ulama dan Qiyas sebagai sumber
hukum islam.

Adapun yang termasuk sumber materil dalam Peradilan Agama dari sisi historis,
filosofis dan sosilogis menggunakan beberapa hukum Hindia Belanda yakni HIR
yang berasal dari IR (Inlandsche Reglement), R.Bg (Rechtsreglement
Buitengewesten), Rv (Reglement of de Rechtsvordering), Bw (Burgerlijk
Wetboek), Intruksi Presiden Republik Indonesia No.1 tahun 1991 tentang
Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI), Yurisprudensi MA, dan Hukum
Positif yang berkaitan dengan tugas dan wewenang Peradilan Agama.

Adapun asas-asas yang dipakai pada Peradilan Agama meliputi Kekuasaan


Kehakiman yang didalamnya terdapat Asas-asas Kekuasaan Negara yang
Merdeka, pelaku Kekuasaan Kehakiman, Asas Ketuhanan, Asas Peradilan yang
cepat, Asas mengadili menurut hukum yang dimuat pada pasal 4 ayat (1) UU
No.48 tahun 2009.

Asas-asas lain yang berada dalam pemeriksaan perkara meliputi asas Personalitas
Keislaman, Asas Presumption of Innocence, Asas Peradilan bebas dari campur
tangan diluar pihak kekuasaan kehakiman, Asas Hakim bersifat menunggu, Asas
Hakim bersifat Pasif, Asas Persidangan bersifat Terbuka, Asas Mendengar kedua
belah pihak, Asas putusan harus disertai alasan-alasan, dan Asas beracara dikenai
Biaya.

23
B. SARAN

Sumber hukum dan Asas-asas dalam Peradilan Agama memiliki karakteristik


sendiri yang sangat menarik untuk kita kaji secara mendalam. Sumber-sumber dan
asas-asas yang sangat beragam tersebut tidak dapat kita kaji semua dalam satu
waktu dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan keilmuan yang penulis miliki.
Sehingga penulis berharap hadirnya makalah ini mampu membuka sedikit
pandangan pembaca dalam memahami dan menganalisis poin-poin penting yang
telah diuraikan.

24
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Akademika


Pressindo.
Achmad Edi Subiyanto, Mendesain Kewenangan Kekuasaan kehakiman setelah
Perubahan UUD 1945, Jurnal Konstitusi Volume 9, No. 4 (Desember
2012).
Adam Malik. “Kekuasaan Kehakiman: Penjelasan Lengkap Tentang Pengadilan
dan Peradilan”. Last modified August 10, 2020.
https://www.situshukum.com/2020/08/kekuasaan-kehakiman.html.
Akhmad Khisni. “Transformasi Hukum Islam ke dalam Hukum Nasional (Studi
Ijtihad Hakim Peradilan Agama Tentang Pengembangan Hukum
Kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam dan Kontribusinya terhadap
Hukum Nasional” Disertasi, Yogyakarta, 2011.
Amelda Yunita. “Penerapan Asas Praduga Tidak Bersalah dalam Proses Peradilan
Perkara Tindak Pidana Terorisme”(Tesis, Universitas Imdonesia, 2011).
Arifana Nur Kholiq. “Relavansi Qiyas dalam Istinbath Hukum Kontemporer.”
Jurnal Studi Hukum Islam 1, No.2 (Juli-Desember 2014): 172-174.
RELEVANSI QIYAS DALAM ISTINBATH HUKUM
KONTEMPORER | Kholiq | Isti`dal : Jurnal Studi Hukum Islam
(unisnu.ac.id)
Cik Hasan Bisri. Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia. PT
Remaja Rosdakarya bandung, 1997.
Departemen Agama RI. Bahan Penyuluhan Hukum. Jakarta:Departemen Agama
RI, 1999.
Djalil, A. Basiq. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Pranada Media Group,
2006.
M Taufiq Makaro, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 2004).
M Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 (Jakarta: Pustaka Kartini, 1989).

25
M. Fauzan, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah
Syar’iyah di Indonesia. Jakarta: Prenada Media Group, 2005.
Martha Eri Safira, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Peraktek (Ponorogo:
CV. Nata Karya, 2019).
Muhammad Yasin. “Peradilan yang Cepat, Sederhana, dan Berbiaya Ringan”.
Last modified February 3, 2018. https://www.hukumonline.com/berita/
a/peradilan-yang-sederhana--cepat--dan-biaya-ringan-lt5a7682eb7e074
Sulaikin Lubis. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia.
https://books.google.co.id/books?id=AUC-
DwAAQBAJ&printsec=frontcover&dq=inauthor:%22Hj.%2BSulaikin%
2BLubis,%2BS.H.,%2BM.H.,%2Bet%2Bal.%22&hl=id&newbks=1&new
bks_redir=0&source=gb_mobile_search&sa=X&redir_esc=y#v=onepa
ge&q&f=false
Taufik Makaro, Poko-Pokok Hukum Acara Perdata.

26

Anda mungkin juga menyukai