DOSEN :
Oleh :
KELOMPOK 3
MIKE RATNA SARI 2041012003
SUPINA DARMALA SARI 2041012013
ADZIMAH MULKIYAH 2041012023
NURUL HASSANAH ASSOFIAH 2041012033
RIFKA NAURA 2041012043
DEVINA DEWI ANDRIANI 2041012053
RAHMI NASUTION 2041012063
RAHMADILLA APRILIA 2041013003
TIOMA SOVIYANI BR. SIMARMATA 2041013013
KELAS A APOTEKER I
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan anugrah dari-
Nya kelompok kami dapat menyelesaikan makalah mengenai “Yudisial Review
Pasal 108 UU No 36 Tahun 2009” ini. Sholawat dan salam semoga senantiasa
tercurahkan kepada junjungan besar kita, Nabi Muhammad SAW yang telah
menunjukkan kepada kita semua jalan yang lurus berupa ajaran agama islam yang
sempurna dan menjadi anugrah terbesar bagi seluruh alam semesta.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Tujuan........................................................................................................2
1.3 Rumusan Masalah.....................................................................................2
BAB II......................................................................................................................3
ISI.............................................................................................................................3
2.1 Sejarah.........................................................................................................3
2.2 Wewenang Yudisial Review.....................................................................4
2.3 Pengajuan Permohonan Judisial Review...................................................5
2.4 Mahkamah Konstitusional (MK) sebagai Pemegang Kekuasaan
Kehakiman............................................................................................................7
BAB III..................................................................................................................11
PROSES ATAU KRONOLOGIS JUDISIAL REVIEW.......................................11
3.1 Pra- Judicial Review................................................................................11
BAB IV..................................................................................................................22
HASIL....................................................................................................................22
4.1 Putusan pertama......................................................................................22
4.2 Putusan kedua..........................................................................................23
BAB V....................................................................................................................26
KESIMPULAN DAN SARAN..............................................................................26
5.1 Kesimpulan.................................................................................................26
5.2 Saran........................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................27
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Undang-Undang (“UU”)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(“Perppu”);
Peraturan Pemerintah (“PP”);
Peraturan Presiden (“Perpres”);
Peraturan Daerah Provinsi (“Perda Provinsi”); dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (“Perda Kab/Kota”).
1.2 Tujuan
1. Mengetahui dan memahami mengenai yudisial review
2. Mengetahui dan memahami proses yudisial review
3. Mengetahui dan memahami keputusan Mahkamah Konstitusi pada perkara
nomor2/PUU-VIII/2010 (Pemohon Misran)
2
BAB II
ISI
2.1 Sejarah
Ada dua sejarah besar dalam judicial review di dunia. Pertama adalah sejarah
judicial review dalam praktik hukum di Amerika Serikat melalui putusan Supreme
Court Amerika Serikat dalam perkara “Marbury vs. Madison” Tahun 1803.
Meskipun ketentuan judicial review tidak tercantum dalam Undang-Undang
Dasar Amerika Serikat, Supreme Court Amerika Serikat membuat sebuah putusan
yang ditulis John Marshall ketika menjabat Ketua Mahkamah Agung (Supreme
Court) Amerika Serikat yang menyatakan bahwa pengadilan berwenang
membatalkan undangundang yang bertentangan dengan konstitusi. Kedua adalah
keberadaan Mahkamah Konstitusi Austria yang diperkenalkan oleh pakar hukum
asal Austria, Hans Kelsen, yang kemudian ide tersebut diterima dalam Konstitusi
Austria Tahun 1919. Pemikiran Kelsen tersebut mendorong dibentuknya suatu
lembaga yang diberi nama Verfassungsgerichtshoft atau Mahkamah Konstitusi
(Constitutional Court). Kemudian Mahkamah Konstitusi pertama itu berdiri pada
tahun 1920 di Austria (Silalahi, 2016)
3
bagian dari pengaruh dinamika politik dan ketatanegaraan pada saat itu yang
dilatarbelakangi adanya reformasi, yang mengamanatkan adanya reformasi di
bidang hukum dan ketatanegaraan melalui amandemen konstitusi (Ansori, 2016).
Secara teori terkait kewenangan judicial review ini terdapat dua pandangan
yang berkembang yaitu:
4
mengawasi tindakan wakil-wakil rakyat dalam kongres, tetapi karena
konstitusi/UndangUndang Dasar itu merupakan hukum yang tertinggi
(Supremacy Law) dalam negara, maka segala peraturan perundang-undangan
yang lain haruslah sesuai dengan konstitusi.
2. Bahwa judicial review ini sebagai discreationary power of the Supreme
Court.
Konstitusi ini adalah serangkaian peraturan dalam negara dan yang
merupakan hasil kerja manusia. Oleh karena itu, pandangan manusia itu tidak
sempurna, pada suatu ketika apa yang dikemukakan dalam Konstitusi
menjadi tidak jelas atau samar-samar. Oleh karena itu, menjadi kewajiban
serta hak para hakim MA untuk menjelaskan serta menegakkan peraturan
yang tidak jelas tadi (Ansori, 2016).
5
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam UU;
3. Badan hukum publik atau badan hukum privat, atau;
4. Lembaga negara.
6
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya Akta
Pemberitahuan Kekuranglengkapan Berkas.
6. Apabila kelengkapan permohonan sebagaimana dimaksud ayat (7) tidak
dipenuhi, maka Panitera menerbitkan akta yang menyatakan bahwa
permohonan tersebut tidak diregistrasi dalam BRPK dan diberitahukan
kepada Pemohon disertai dengan pengembalian berkas permohonan.
7. Permohonan pengujian undang-undang diajukan tanpa dibebani biaya
perkara.
7
perhatian Pemerintah karena penting sebagai faktor pendukung pembangunan
nasional. Termasuk di daerah yang pembangunan kesehatannya ditangani oleh
Pemerintah Daerah yang situasi dan kondisi daerah berbeda antara satu dengan
lainnya. Para Pemohon beranggapan ketentuan Pasal 108 ayat (1) beserta
penjelasannya merugikan hak-hak konstitusional para Pemohon sebagai tenaga
kesehatan untuk memperoleh kedudukan yang sama dalam hukum, memperoleh
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil.
Menurut para Pemohon dalam kondisi tidak tersedianya tenaga
kefarmasian, maka para Pemohon dapat melakukan praktik kefarmasian secara
terbatas sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 148
Tahun 2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat (Permenkes 148
Tahun 2010), ditegaskan bahwa perawat boleh memberikan obat bebas dan obat
bebas terbatas. Namun pembatasan kewenangan ini sangat kontradiktif dengan
kewajiban Para Pemohon untuk memberikan pertolongan pertama terhadap pasien
yang dalam keadaan darurat.Selanjutnya dalam kondisi darurat, biasanya
diperlukan obat-obatan berbahaya yang termasuk dalam obat daftar G
(Gevaarlijk), misalnya antibiotika. Jika para Pemohon tidak melakukannya
pelayanan diancam dengan pidana penjara atau denda sebagaimana dimaksud
Pasal 190 ayat (1) UU Kesehatan. Untuk Perkara Nomor 12/PUU-VIII/2010
Hakim MK menetapkan agar putusan sebagai berikut :
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan Pasal 108 ayat (1) UU Kesehatan sepanjang kalimat, “... harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan” bertentangan dengan UUD
Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa tenaga kesehatan tersebut
adalah tenaga kefarmasian, dan 7 dalam hal tidak ada tenaga kefarmasian,
tenaga kesehatan tertentu dapat melakukan praktik kefarmasian secara
terbatas, antara lain, dokter dan/atau dokter gigi, bidan, dan perawat yang
melakukan tugasnya dalam keadaan darurat yang mengancam keselamatan
jiwa dan diperlukan tindakan medis segera untuk menyelamatkan pasien;
8
3. Menyatakan Pasal 108 ayat (1) UU Kesehatan sepanjang kalimat, “...harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan” adalah tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa tenaga
kesehatan tersebut adalah tenaga kefarmasian dan dalam hal tidak ada tenaga
kefarmasian, tenaga kesehatan tertentu dapat melakukan praktik kefarmasian
secara terbatas, antara lain, dokter dan/atau dokter gigi, bidan, dan perawat
yang melakukan tugasnya dalam keadaan darurat yang mengancam
keselamatan jiwa dan diperlukan tindakan medis segera untuk
menyelamatkan pasien;
4. Menyatakan Penjelasan Pasal 108 ayat (1) UU Kesehatan bertentangan
dengan UUD Tahun 1945;
5. Menyatakan Penjelasan Pasal 108 ayat (1) UU Kesehatan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
Mahkamah Konstitusi (MK) telah membenarkan sebagian tuntutan
Misran. Tuntutan Misran yang dibenarkan terdapat pada Putusan Mahkamah
Konstitusi 12/PUU-VIII/2010 Tentang Pasal 108 UndangUndang Kesehatan,
disebutkan:
“Pasal 108 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063 sepanjang kalimat,
“... harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan” bertentangan dengan
UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa tenaga kesehatan tersebut adalah
tenaga kefarmasian, dan dalam hal tidak ada ten aga kefarmasian, tenaga
kesehatan tertentu dapat melakukan praktik kefarmasian secara terbatas, antara
lain, dokter dan/atau dokter gigi, bidan, dan perawat yang melakukan tugasnya
dalam keadaan darurat yang mengancam keselamatan jiwa dan diperlukan
tindakan medis segera untuk menyelamatkan pasien.”
Keputusan MK tersebut seolah memberikan kesempatan bagi para dokter
untuk melakukan dispensing yang memiliki pengetahuan tentang obat. Namun
9
ketentuan ini sudah jelas membatasi bahwa tenaga kesehatan boleh melakukan
pelayanan obat jika tidak ada tenaga kefarmasian. Dan ketentuan lain yang sudah
ada dapat menjadi pebandingan dan sekaligus alat kontrol untuk melindungi
kepentingan masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang tidak profesional.
Peraturan yang ada tidak sepenuhnya diikuti oleh tenaga kesehatan, tenaga
Kesehatan masih banyak yang memberikan pelayanan kesehatan diluar
kewenangan profesinya salah satunya adalah memberi pelayanan obat kepada
pasien yang seharusnya merupakan kewenangan dari tenaga kefarmasian. Dokter
praktik mandiri masih ada yang melakukan dispensing, yaitu memberikan
pelayanan obat kepada pasien tanpa menggunakan tenaga kefarmasian.2
Kebiasaan ini terbawa sejak dahulu dimana dokter menyediakan dan memberikan
obat dilakukan sampai sekarang. Dokter menganggap bahwa dirinya memiliki
kewenangan untuk memberi obat, karena saat pendidikan,dibekali ilmu tentang
obat, menjadi alasan bagi dokter melakukan dispensing.
10
BAB III
Misran merupakan seorang mantri yang telah bekerja selama 20 tahun di wilayah
Kutai. Beliau berniat melakukan tugasnya untuk menolong masyarakat atau
pasiennya sesuai dengan kemampuannya, tapi dipidana karena ia memberikan obat
kepada pasien tanpa memiliki keahlian dan kewenangan. Peristiwa tersebut berawal
ketika Misran mengambil keputusan untuk memberikan obat yang terdaftar G
(Gevaarlijk/berbahaya) karena pasien harus segera mendapatkan pertolongan.
11
Pada tanggal 13 Oktober 2009, pihak kejaksaan Negeri Tenggarong di
Pengadilan Negeri Negeri Tenggarong menuntut Misra dengan tuntutan 10 bulan
penjara dan denda 5 (lima) juta rupiah.
Dalam Pasal 108 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan dinyatakan bahwa:
12
Lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 108 ayat (1) menyatakan :
“Yang dimaksud dengan “tenaga kesehatan dalam ketentuan ini adalah tenaga
kefarmasian sesuai dengan keahlian dan kewenanangannya. Dalam hal tidak ada
tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan tertentu dapat melakukan praktik kefarmasian
secara terbatas, misalnya antara lain dokter dan/atau dokter gigi, bidan dan perawat
yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Selanjutnya, dalam Pasal 190 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan menyatakan bahwa:
13
Pemberlakuan Pasal 108 ayat (1) beserta Penjelasannya juncto Pasal 190
Undang-Undang Nomor 36 tentang kesehatan tidak saja merugikan hak
konstitusional para pemohon tetapi juga berpotensi menimbulkan kerugian hak
konstitusional seluruh tenaga keperawatan yang bertugas di daerah terpencil tidak ada
dokter/tidak ada apotek/ tenaga apoteker diseluruh wilayah Republik Indonesia.
Pasal 108 ayat (1) beserta Penjelasannya juncto Pasal 190 Undang-Undang
Nomor 36 tentang kesehatan merupakan alasan pembenar bagi para pemohon dan
seluruh tenaga keperawatan di wilayah Republik Indonesia untuk melakukan
pekerjaan kefarmasian, namun kewenangan tersebut dibatasi untuk memberikan obat
bebas dan obat bebas terbatas. Padahal dalam situasi darurat dan proses rujukan tidak
bisa dilaksanakan karena terkendala faktor kondisi geografis wilayah, biaya, tenaga
jarak dan ketersediaan sarana transportasi, maka dalam rangka memenuhi hak
masyarakat untuk mendapatkan akses pelayanan kesehatan yang cepat, tepat dan
berkualitas. Para Pemohon/tenaga keperawatan dituntut untuk memberikan obat-obat
dalam daftar G (Gevaarlijk/berbahaya), misalnya antibiotika dan lain-lain.
Dalam situasi ini, para pemohon atau tenaga keperawatan mengalami dilema
dan ketidakpastian hukum. Pada satu sisi ada keterbatasan kewenangan yang
diberikan oleh hokum, dan pada saat yang sama ada keterbatasan sumber daya
manusia kesehatan atau tidak tersedianya tenaga kesehatan yang memiliki keahlian
dan kewenangan (tenaga medis dan tenaga kefarmasian) di daerah terpencil. Namun
pada sisi lain tenaga keperawatan berkewajiban untuk melakukan pelayanan
kesehatan (pelayanan medis dan kefarmasian) bagi seluruh lapisan masyarakat,
khususnya dalam kondisi darurat, bahkan jika tidak melakukannya akan diancam
dengan pidana penjara atau denda.
14
H. Edy Sukamto, H. Abdul Jalal, Hj. Emy Dasimah, dan Andi Baharuddin yang
selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara. Beberapa hal yang diungkapkan
oleh saksi adalah sebagai berikut.
1. Trisno Widodo
Secara geografis Kalimantan Timur khususnya Kabupaten Kutai Kartanagara ada
18 Kecamatan, 248 Desa, jumlah penduduk lebih kurang 600.000 orang sedangkan
tenaga dokter 75 orang. Apabila Pasal a quo melarang perawat tidak boleh
membantu masyarakat dalam hal pelayanan kesehatan sedangkan jumlah dokter
sangat sedikit maka pelayanan masyarakat tidak akan sesuai yang diharapkan;
2. H. Edy Sukamto
Saksi sepakat bahwa perawat seharusnya tidak mengerjakan selain pekerjaannya
tetapi di Kalimantan Timur melakukan pelayanan masyarakat adalah untuk
melindungi masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah hendaknya juga
memperhatikan perawat yang bekerja atas dasar regulasi yang memang masih
berlaku;
3. H. Abdul Jalal
Pasal a quo tidak dapat diterapkan secara ideal di lapangan khususnya di
Kalimantan Timur karena asisten apoteker dan apoteker tidak ada di puskesmas
induk dan pembantu;
4. Hj. Emy Dasimah
Dengan adanya perawat di Kabupaten Kutai Kartanegara dihukum, pelayanan
kesehatan di Kabupaten Kutai Kartanegara termasuk di perkotaan dan di daerah-
daerah terpencil lumpuh karena semua perawat tidak bersedia melayani pasien;
5. Andi Baharuddin
Saksi menginginkan agar perawat dapat melayani masyarakat kembali karena pada
saat ini apabila masyarakat sakit yang dipanggil ke rumah adalah mantri atau
perawat, tidak pernah dokter yang dipanggil untuk memberikan pelayanan karena
selama ini pasien yang mendatangi dokter.
15
Kemudian beberapa keterangan tertulis yang diajukan oleh Pemerintah, yang
pada pokoknya sebagai berikut:
- Bahwa Pasal 108 ayat (1) UU 36/2009 dimaksudkan untuk mempertimbangkan
secara hati-hati dan saksama akan bahaya yang dapat timbul dalam penggunaan
obat yang tidak sesuai peruntukannya karena itu adalah tepat jika obat yang
dipergunakan untuk masyarakat harus diberikan oleh orang yang mempunyai
kompetensi, keahlian, dan kewenangan untuk memberikan obat tersebut ;
a. Bahwa Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 dipertegas
lagi dalam Pasal 2 ayat (2) yang menyatakan pekerjaan kefarmasian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu adalah tenaga kefarmasian yang
terdiri dari apoteker dan tenaga teknis kefarmasian;
b. Bahwa apabila permohonan para Pemohon dikabulkan maka akan
menimbulkan: Terdapat kekosongan hukum (rechtsvacuum) dan kekacauan
tentang pengaturan praktik kefarmasian; Dapat menimbulkan peredaran,
perolehan, maupun pendistribusian obat-obatan dilakukan oleh pihak-pihak yang
tidak bertanggung jawab; Perlindungan dan pengawasan terhadap masyarakat
atas penggunaan obat-obatan menjadi tidak terjamin;
Pada judisial review, pemerintah juga mengajukan saksi-saksi bernama H.
Agus Gusmara A dan Asep Misbah Alfalah yang pada pokoknya menerangkan
sebagai berikut:
1. H. Agus Gusmara A
Dengan kondisi keterbatasan tenaga kesehatan terutama tenaga dokter dan
tenaga kefarmasian, serta mengacu kepada pertumbuhan yang ada di
Kabupaten Serang, telah dibuat suatu surat keputusan untuk tenaga kesehatan
tertentu dalam hal mana bila suatu ketika tenaga dokter sedang tidak ada atau
tidak berada di tempat, maka petugas kesehatan yang ditunjuk dalam hal ini
perawat dan bidan dapat memberikan pelayanan kesehatan atau pelayanan
16
teknis medis yang dilaksanakan di sarana kesehatan atau puskesmas dan
jejaringnya yaitu puskesmas pembantu, puskesdes, dan poliner;
2. Asep Misbah Alfalah
Di Kota Serang pada tahun 2008 ada 10 puskesmas dan 13 puskesmas
pembantu sudah diisi oleh 2 tenaga kefarmasian. Pengelolaan obat lebih baik,
lebih efesien, dan diharapkan masyarakat mendapat informasi yang lebih
jelas, karena obat itu bukan hanya komoditi yang sekedar dijual atau
digunakan;
17
Pemohon memiliki kwalifikasi sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1)
UU MK, namun tidak ada kerugian konstitusional para Pemohon atau
kerugian yang bersifat potensial akan terjadi dengan berlakunya Pasal 108
ayat (1) beserta 37 Penjelasannya dan Pasal 190 ayat (1) dan ayat (2) Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan penjelasan sebagai
berikut :
1. Bahwa para Pemohon dalam permohonan a quo tidak menjelaskan dan
menjabarkan secara konkret, spesifik (khusus) dan aktual atau
setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi kerugian konstitusional yang diderita oleh para
Pemohon selaku PNS dalam jabatannya sebagai Perawat, Kepala
Puskesmas dan Kepala TU Puskesmas sebagai akibat berlakunya Pasal
108 ayat (1) beserta penjelasannya jo Pasal 190 ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
2. Bahwa terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan tidak dapat
bekerja dengan optimal dalam memberikan pelayanan kesehatan
kepada masyarakat karena ketiadaan tenaga Doktrer dan Tenaga
Apoteker di daerahnya, DPR berpandangan hal tersebut bukanlah
persoalan Konstitusionalitas Pasal 108 ayat (1) beserta penjelasannya
jo Pasal 190 ayat (1) dan ayat (2) UndangUndang Nomor 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan. Oleh karena jika para Pemohon menyatakan
bahwa telah timbul kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya karena adanya tindakan penyelidikan, penyidikan,
penuntutan dan putusan pengadilan oleh penegak hukum sebagai
akibat menjalankan praktek kefarmasian yang dilakukan oleh para
Pemohon, DPR berpandangan hal demikian persoalan penerapan
norma Pasal a quo.
18
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, DPR berpandangan bahwa
ketentuan Pasal 108 ayat (1) dan penjelasannya Pasal 190 ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tidak menghambat
dan merugikan hak konstitusional para Pemohon sebagaimana dijamin Pasal
27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal
28H ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu tidak terdapat kerugian
konstitusional ataupun yang bersifat potensial menyebabkan kerugian
konstitusional para Pemohon. Dengan demikian para Pemohon dalam
permohonan a quo tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing)
sebagaimana disyaratkan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan Putusan Mahkamah
Konstitusi dalam Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor
011/PUU-V/2007 terdahulu.
Kemudian didapatkan keterangan dari Pihak Ikatan Dokter Indonesia,
Ikatan Apoteker Indonesia, dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia, dan
keterangan tertulis dr. drh. Mangku Sitepoe yang pada pokoknya sebagai
berikut:
1. Ikatan Dokter Indonesia
Bahwa Pasal 108 ayat (1) UU 36/2009 sudah sesuai atau tidak
bertentangan dengan UUD 1945;
19
tidak terganggu serta tenaga kesehatan yang melayaninya dapat terlindungi
oleh hukum;
2. Ikatan Apoteker Indonesia
Ikatan Apoteker Indonesia mengusulkan untuk tetap tidak merubah
atau menambah Pasal a quo; - Bahwa Pasal 108 ayat (1) UU 36/2009
merupakan jaminan bagi masyarakat luas bagi semakin berlangsungnya
kebenaran pelayanan kefarmasian berdasarkan ilmu pengetahuan dan profesi
kesehatan;
3. Persatuan Perawat Nasional Indonesia
Bahwa fakta empiris dan yuridis tentang Undang-Undang Kesehatan
merugikan perawat. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar
puskesmas induk dan hampir di seluruh puskesmas terutama di daerah-daerah
yang terpencil dipimpin seorang perawat;
3. dr.drh.Mangku Sitepoe
• Pasal 108 UU 36/2009 praktik kefarmasian dimonopoli oleh tenaga
kesehatan bidang kefarmasian yaitu apoteker dan tenaga teknis kefarmasian
dengan mengabaikan tenaga kesehatan lainnya dalam bidang obat-obatan;
• Pasal 108 ayat (1) UU 36/2009 dengan ketentuan praktik kefarmasian
identik dengan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian yang membatasi tenaga kesehatan lainnya
menimbulkan berbagai kontroversi di dalam aplikasinya dari sudut pandang
penggunaannya;
• Hak konstitusi para perawat telah dicabut oleh Pasal 108 UU 36/2009. Pasal
108 UU 36/2009 bertentangan dengan Pasal 28H UUD 1945;
20
yang lain, yaitu sepanjang mengenai kalimat “... harus dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan” dalam Pasal 108 ayat (1) UU 36/2009 adalah
inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai, tenaga kesehatan tersebut adalah
tenaga kefarmasian dan dalam hal tidak ada tenaga kefarmasian, tenaga
kesehatan tertentu dapat melakukan praktik kefarmasian secara terbatas,
antara lain, dokter dan/atau dokter gigi, bidan, dan perawat yang melakukan
tugasnya dalam keadaan darurat yang mengancam keselamatan jiwa pasien
dan diperlukannya tindakan medis segera untuk menyelamatkan pasien.
Penjelasan Pasal 108 ayat (1) UU 36/2009 yang memberikan kewenangan
sangat terbatas menimbulkan keadaan dilematis dan mengakibatkan tidak
adanya kepastian hukum yang adil sehingga bertentangan dengan Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945
21
BAB IV
HASIL
Pasal 108 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063) sepanjang kalimat, “... harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan” adalah tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa tenaga kesehatan tersebut adalah tenaga
kefarmasian.
22
keadaan darurat dan tak ada tenaga kefarmasian, profesi lain seperti
dokter, perawat, bidan dll boleh melakukan praktek kefarmasian.
• Putusan-putusan selanjutnya adalah
23
berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa,
mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk
kepentingan klien.
Pengaturan mengenai keberadaan Advokat baik sebagai individu
maupun organisasi profesi yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2003 tentang Advokat yang mengatur syarat-syarat, hak dan
kewajiban, serta pengawasan pelaksanaan profesi. Tujuan adanya Undang-
Undang tersebut di samping untuk melindungi Advokat sebagai profesi, juga
lebih utama lagi adalah untuk melindungi dari kemungkinan penyalahgunaan
Advokat. Agar dapat menjalankan tugas profesinya dengan baik demi
tegaknya hukum dan keadilan, maka setiap Advokat tentunya harus
memahami hakikat keberadaannya, tugas dan peran yang harus dijalankan,
syarat-syaratyang harus dipenuhi, serta ketentuan ketentuan hukum yang
harus dipenuhi.
Setiap Advokat harus memahami sistem hukum nasional secara
umum, khususnya Undang-Undang Advokat dan ketentuan ketentuan lain
yang terkait dengan profesi Advokat sehingga dapat bertindak secara
profesional. Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa efektif dan
berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung tiga unsur sistem hukum,
yakni struktur hukum (struktur of law), substansi hukum (substance of the
law) dan budaya hukum (legal culture). Struktur hukum menyangkut aparat
penegak hukum, substansi hukum meliputi perangkat Perundang-undangan
dan budaya hukum merupakan hukum yang hidup (living law) yang dianut
dalam suatu masyarakat. Ketiga unsur hukum itu harus berjalan bersama agar
hukum yang dibuat untuk menegakan keadilan itu dapat berjalan efektif, dan
keadilan yang dirasakan oleh masyarakat yang diatur oleh hukum itu sendiri.
Penegakan hukum yang sangat crucial yaitu substansi hukum pada
Advokat yaitu undang-undang Advokat Nomor 18 Tahun 2003, aturan-aturan
di dalam undang undang di mana seharusnya memuat lebih banyak kejelasan
24
aturan mengenai fungsi tugas dan struktur Advokat. Salah satu poin penting
pada fungsi Advokat yaitu independensi dari Advokat itu sendiri. Salah satu
poin penting dari undang-undang Nomor 18 tahun 2003 ini adalah adanya
pengakuan terhadap Advokat sebagai penegak hukum dan bahwa hanya ada
satu organisasi Advokat sebagai wadah tunggal Advokat Indonesia.
25
BAB V
5.1 Kesimpulan
1. MK tidak mengabulkan permohonan dari penggugat atau pemohon. Akan
tetapi lebih memperkuat dan memperjelas kerja dari tenaga kefarmasian yaitu
melakukan praktik kefarmasian. Akan tetapi dalam keadaan darurat dan tak
ada tenaga kefarmasian, profesi lain seperti dokter, perawat, bidan dll boleh
melakukan praktek kefarmasian.
2. MK mengadili dan menyatakan permohonan pemohon ditolak atau tidak dapat
diterima.
3. Menyatakan Permohonan para Pemohon untuk Perkara Nomor 66, 71, 79/
PUU-VIII/2010 tidak dapat diterima
5.2 Saran
1. Disarankan untuk menambah jumlah hakin di MK agar tidak terjadi
penumpukan perkara
2. Diharapkan untuk setiap tenaga kesehatan memahami tugas dan wewenang
masing-masing
26
DAFTAR PUSTAKA
Ansori, Lutfil. Politik Hukum Judicial Review Ketetapan MPR. Al-Daulah: Jurnal
Hukum Dan Perundangan Islam Volume 6, Nomor 1, April 2016; ISSN 2089-
0109
Rozi, M.M. (2015). Peranan advokat sebagai penegak hokum dalam sistem peradilan
pidana dikaji menurut undang-undang nomor 18 tahun 2003 tentang advokat.
Jurnal Mimbar, 7(1), 628-647
Frans Hendra Winarta, S.H., Advokat Indonesia Citra, Idealisme,dan
Keprihatinan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hlm.14
27
Peradi, Kitab Advokat Indonesia, Sambutan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia.
2007, Bandung : PT. Alumni, hlm. X
Abdul Halim Barkatullah.2013. Budaya Hukum Masyarakat Dalam Perspektif Sistem
Hukum.
Jurnal UKSW Banjarmasin Universitas Lambung Mangkurat. Hlm. 6
V.Sinaga, Harlen, , “Dasar-DasarProfesi Advokat”, Jakarta: Erlangga, 2011.kata
sambutan Ketua PERADI Otto Hasibuan.
28