Anda di halaman 1dari 31

TUGAS PERUNDANG – UNDANGAN DAN ETIKA PROFESI

MAKALAH YUDISIAL REVIEW PASAL 108 UU NO 36 TAHUN 2009

DOSEN :

Oleh :

KELOMPOK 3
MIKE RATNA SARI 2041012003
SUPINA DARMALA SARI 2041012013
ADZIMAH MULKIYAH 2041012023
NURUL HASSANAH ASSOFIAH 2041012033
RIFKA NAURA 2041012043
DEVINA DEWI ANDRIANI 2041012053
RAHMI NASUTION 2041012063
RAHMADILLA APRILIA 2041013003
TIOMA SOVIYANI BR. SIMARMATA 2041013013

KELAS A APOTEKER I

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan anugrah dari-
Nya kelompok kami dapat menyelesaikan makalah mengenai “Yudisial Review
Pasal 108 UU No 36 Tahun 2009” ini. Sholawat dan salam semoga senantiasa
tercurahkan kepada junjungan besar kita, Nabi Muhammad SAW yang telah
menunjukkan kepada kita semua jalan yang lurus berupa ajaran agama islam yang
sempurna dan menjadi anugrah terbesar bagi seluruh alam semesta.

Penulis sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan makalah yang


menjadi tugas Perundang – undangan dan Etika Profesi dan dengan judul
“Yudisial Review Pasal 108 UU No 36 Tahun 2009”. Disamping itu, kami
mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kami
selama pembuatan makalah ini berlangsung sehingga dapat terealisasikanlah
makalah ini.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca. Kami mengharapkan kritik dan saran terhadap
makalah ini agar kedepannya dapat kami perbaiki. Karena kami sadar, makalah
yang kami buat ini masih banyak terdapat kekurangannya.

Padang, September 2020


 

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Tujuan........................................................................................................2
1.3 Rumusan Masalah.....................................................................................2
BAB II......................................................................................................................3
ISI.............................................................................................................................3
2.1 Sejarah.........................................................................................................3
2.2 Wewenang Yudisial Review.....................................................................4
2.3 Pengajuan Permohonan Judisial Review...................................................5
2.4 Mahkamah Konstitusional (MK) sebagai Pemegang Kekuasaan
Kehakiman............................................................................................................7
BAB III..................................................................................................................11
PROSES ATAU KRONOLOGIS JUDISIAL REVIEW.......................................11
3.1 Pra- Judicial Review................................................................................11
BAB IV..................................................................................................................22
HASIL....................................................................................................................22
4.1 Putusan pertama......................................................................................22
4.2 Putusan kedua..........................................................................................23
BAB V....................................................................................................................26
KESIMPULAN DAN SARAN..............................................................................26
5.1 Kesimpulan.................................................................................................26
5.2 Saran........................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................27

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pengujian Undang-Undang merupakan suatu wewenang untuk menilai
apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan
dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan
tertentu berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu (Silalahi, 2016)

Menurut Nurul Qamar dalam Jurnal Konstitusi Vol I Kewenangan Judicial


Review Mahkamah Konstitusi (hal.2), judicial review dapat dipahami sebagai
suatu pranata hukum yang memberikan kewenangan kepada badan pelaksana
kekuasaan kehakiman yang ditunjuk oleh konstitusi (dalam hal ini Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi) untuk dapat melakukan peninjauan dan atau
pengujian kembali dengan cara melakukan interpretasi hukum dan atau
interpretasi konstitusi untuk memberikan penyelesaian yuridis (Qamar, 2012)

Judicial review merupakan mekanisme kontrol hukum oleh lembaga yudisial


terhadap peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh lembaga legislatif
maupun eksekutif. Prinsip ini merupakan implementasi dari sistem pemisahan
kekuasaan (separation of power) yang dianut oleh UUD 1945. Judicial review
juga bagian dari wujud prinsip negara hukum yang menghendaki adanya kontrol
norma hukum untuk mencegah adanya absolutisme kekuasaan. Sehingga produk
hukum yang dihasilkan oleh lembaga kekuasaan negara tidak ada penyalahgunaan
kekuasaan. Dalam konteks negara hukum, judicial review dapat pula diartikan
sebagai sarana untuk melindungi hak asasi warga negara yang dirugikan atas
berlakunya suatu peraturan perundang-undangan (Ansori, 2016)

Di Indonesia, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun


2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 12/2011”)
terdapat jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, yakni:
 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

1
 Undang-Undang (“UU”)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(“Perppu”);
 Peraturan Pemerintah (“PP”);
 Peraturan Presiden (“Perpres”);
 Peraturan Daerah Provinsi (“Perda Provinsi”); dan
 Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (“Perda Kab/Kota”).

Namun, dari keseluruhan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan


yang ada, hanya Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi,
dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang dapat dilakukan judicial review
terhadapnya.

1.2 Tujuan
1. Mengetahui dan memahami mengenai yudisial review
2. Mengetahui dan memahami proses yudisial review
3. Mengetahui dan memahami keputusan Mahkamah Konstitusi pada perkara
nomor2/PUU-VIII/2010 (Pemohon Misran)

1.3 Rumusan Masalah


1. Apa definisi dan hal-hal terkait yudisial review?
2. Bagaimana proses yudisal review?
3. Bagaimana keputusan Mahkamah Konstitusi pada perkaranomor 2/PUU
VIII/2010 (Pemohon Misran)?

2
BAB II
ISI
2.1 Sejarah

Ada dua sejarah besar dalam judicial review di dunia. Pertama adalah sejarah
judicial review dalam praktik hukum di Amerika Serikat melalui putusan Supreme
Court Amerika Serikat dalam perkara “Marbury vs. Madison” Tahun 1803.
Meskipun ketentuan judicial review tidak tercantum dalam Undang-Undang
Dasar Amerika Serikat, Supreme Court Amerika Serikat membuat sebuah putusan
yang ditulis John Marshall ketika menjabat Ketua Mahkamah Agung (Supreme
Court) Amerika Serikat yang menyatakan bahwa pengadilan berwenang
membatalkan undangundang yang bertentangan dengan konstitusi. Kedua adalah
keberadaan Mahkamah Konstitusi Austria yang diperkenalkan oleh pakar hukum
asal Austria, Hans Kelsen, yang kemudian ide tersebut diterima dalam Konstitusi
Austria Tahun 1919. Pemikiran Kelsen tersebut mendorong dibentuknya suatu
lembaga yang diberi nama Verfassungsgerichtshoft atau Mahkamah Konstitusi
(Constitutional Court). Kemudian Mahkamah Konstitusi pertama itu berdiri pada
tahun 1920 di Austria (Silalahi, 2016)

Ide pengujian peraturan perundang-undangan sendiri sebenarnya telah


muncul pada periode awal kemerdekaan Republik Indonesia. Moh. Yamin pada
waktu penyusunan UUD 1945 dalam sidang BPUPKI telah mengemukakan
pentingnya pengujian peraturan perundang-undangan. Moh. Yamin menghendaki
agar judicial review dimasukkan ke dalam UUD sebagai bagian dari wewenang
Mahkamah Agung. Namun, ide ini ditolak oleh Soepomo, yang menurutnya UUD
1945 tidak menganut trias politica, sehingga tidak tepat memunculkan pengaturan
pengujian peraturan perundang-undangan dalam UUD 1945.2 Itu sebabnya di
dalam UUD 1945 sebelum amanden tidak dinyatakan secara eksplisit kewenangan
pengujian peraturan perundang-undangan (Ansori, 2016)

Perubahan besar terjadi ketika amandemen UUD 1945 yang memberikan


kewenangan pengujian peraturan perundangundangan secara tegas kepada dua
lembaga, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Perubahan ini tentu

3
bagian dari pengaruh dinamika politik dan ketatanegaraan pada saat itu yang
dilatarbelakangi adanya reformasi, yang mengamanatkan adanya reformasi di
bidang hukum dan ketatanegaraan melalui amandemen konstitusi (Ansori, 2016).

2.2 Wewenang Yudisial Review

Berdasarkan Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”), MA berwenang, antara lain, menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-
undang. Sedangkan berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, MK berwenang,
antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.

Ketentuan-ketentuan tersebut juga kembali diatur dalam Pasal 9 UU 12/2011,


yang berbunyi:

1. Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang


Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh
Mahkamah Konstitusi; dan

2. Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang


diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh
Mahkamah Agung.

Dalam praktik, judicial review undang-undang terhadap Undang-Undang


Dasar 1945 dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Sementara itu, pengujian
peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU dilakukan oleh
Mahkamah Agung (MA).

Secara teori terkait kewenangan judicial review ini terdapat dua pandangan
yang berkembang yaitu:

1. Bahwa judicial review merupakan automatic power of the Supreme Court.


Menurut pandangan ini kekuasaan MA Amerika Serikat untuk melakukan
judicial review terhadap undang-undang ini bukanlah dalam rangka

4
mengawasi tindakan wakil-wakil rakyat dalam kongres, tetapi karena
konstitusi/UndangUndang Dasar itu merupakan hukum yang tertinggi
(Supremacy Law) dalam negara, maka segala peraturan perundang-undangan
yang lain haruslah sesuai dengan konstitusi.
2. Bahwa judicial review ini sebagai discreationary power of the Supreme
Court.
Konstitusi ini adalah serangkaian peraturan dalam negara dan yang
merupakan hasil kerja manusia. Oleh karena itu, pandangan manusia itu tidak
sempurna, pada suatu ketika apa yang dikemukakan dalam Konstitusi
menjadi tidak jelas atau samar-samar. Oleh karena itu, menjadi kewajiban
serta hak para hakim MA untuk menjelaskan serta menegakkan peraturan
yang tidak jelas tadi (Ansori, 2016).

2.3 Pengajuan Permohonan Judisial Review

Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh pemohon


atau kuasanya kepada Mahkamah Konstitusi. Permohonan harus ditandatangani
oleh pemohon atau kuasanya dalam 12 rangkap. Permohonan sekurang-kurangnya
harus memuat, nama dan alamat pemohon, uraian mengenai perihal yang menjadi
dasar permohonan dan hal-hal yang diminta untuk diputus.
Jenis permohonan pengujian:
1. Pengujian materiil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan materi
muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian UU yang dianggap bertentangan
dengan UUD 1945.
2. Pengujian formil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan proses
pembentukan UU dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pemohon dalam pengujian UU terhadap UUD 1945 adalah:
1. Perorangan warga negara Indonesia atau kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama;
2. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan

5
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam UU;
3. Badan hukum publik atau badan hukum privat, atau;
4. Lembaga negara.

Tata cara pengajuan permohonan:


1. Permohonan diajukan kepada Mahkamah melalui Kepaniteraan.
2. Proses pemeriksaan kelengkapan administrasi permohonan bersifat
terbuka yang dapat diselenggarakan melalui forum konsultasi oleh calon
Pemohon dengan Panitera
3. Petugas Kepaniteraan wajib memeriksa kelengkapan alat bukti yang
mendukung permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
sekurang-kurangnya berupa bukti diri Pemohon sesuai dengan kualifikasi,
yaitu:
a). foto kopi identitas diri berupa KTP, bukti keberadaan masyarakat hukum
adat,
b). akta pendirian dan pengesahan badan hukum baik publik maupun privat,
c). peraturan perundang-undangan pembentukan lembaga negara yang
bersangkutan,
d). bukti surat atau tulisan yang berkaitan dengan alasan permohonan,
e). daftar calon ahli dan/atau saksi disertai pernyataan singkat tentang hal-hal
yang akan diterangkan terkait dengan alasan permohonan, serta pernyataan
bersedia menghadiri persidangan, dalam hal Pemohon bermaksud
mengajukan ahli dan/atau saksi,
f). daftar bukti-bukti lain yang dapat berupa informasi yang disimpan dalam
atau dikirim melalui media elektronik, bila dipandang perlu.
4. Apabila berkas permohonan dinilai telah lengkap, berkas permohonan
dinyatakan diterima oleh Petugas Kepaniteraan dengan memberikan Akta
Penerimaan Berkas Perkara kepada Pemohon.
5. Apabila permohonan belum lengkap, Panitera Mahkamah
memberitahukan kepada Pemohon tentang kelengkapan permohonan yang
harus dipenuhi, dan Pemohon harus sudah melengkapinya dalam waktu

6
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya Akta
Pemberitahuan Kekuranglengkapan Berkas.
6. Apabila kelengkapan permohonan sebagaimana dimaksud ayat (7) tidak
dipenuhi, maka Panitera menerbitkan akta yang menyatakan bahwa
permohonan tersebut tidak diregistrasi dalam BRPK dan diberitahukan
kepada Pemohon disertai dengan pengembalian berkas permohonan.
7. Permohonan pengujian undang-undang diajukan tanpa dibebani biaya
perkara.

2.4 Mahkamah Konstitusional (MK) sebagai Pemegang Kekuasaan


Kehakiman

Mahkamah Konstitusi (MK) masuk dalam lingkungan kekuasaan


kehakiman, yang salah satu tugas dan wewenangnya adalah menguji Undang-
Undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD Tahun 1945). Terkait
dengan kewenangan tersebut, Harjono menyebutkan bahwa menguji undang-
undang adalah wewenang utama MK.1 Adapun pengujian yang dimaksud adalah
memeriksa dan menilai suatu Undang-Undang apakah bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi derajatnya. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) menyebutkan
bahwa secara hierarkis kedudukan UUD Tahun 1945 lebih tinggi dari pada
Undang-Undang, oleh karenanya setiap ketentuan Undang-Undang tidak boleh
bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Pemeriksaan terhadap permohonan
pengujian Undang-Undang dilakukan atas dasar kerugian/pelanggaran hak
konstitusional Pemohon.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK menyebutkan
bahwa MK mempunyai kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final dan mengikat. Sehubungan dengan pengujian
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan),
kesehatan telah dipandang sebagai hak dan merupakan kebutuhan dasar setiap
orang. Oleh sebab itu bidang kesehatan merupakan salah satu aspek yang menjadi

7
perhatian Pemerintah karena penting sebagai faktor pendukung pembangunan
nasional. Termasuk di daerah yang pembangunan kesehatannya ditangani oleh
Pemerintah Daerah yang situasi dan kondisi daerah berbeda antara satu dengan
lainnya. Para Pemohon beranggapan ketentuan Pasal 108 ayat (1) beserta
penjelasannya merugikan hak-hak konstitusional para Pemohon sebagai tenaga
kesehatan untuk memperoleh kedudukan yang sama dalam hukum, memperoleh
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil.
Menurut para Pemohon dalam kondisi tidak tersedianya tenaga
kefarmasian, maka para Pemohon dapat melakukan praktik kefarmasian secara
terbatas sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 148
Tahun 2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat (Permenkes 148
Tahun 2010), ditegaskan bahwa perawat boleh memberikan obat bebas dan obat
bebas terbatas. Namun pembatasan kewenangan ini sangat kontradiktif dengan
kewajiban Para Pemohon untuk memberikan pertolongan pertama terhadap pasien
yang dalam keadaan darurat.Selanjutnya dalam kondisi darurat, biasanya
diperlukan obat-obatan berbahaya yang termasuk dalam obat daftar G
(Gevaarlijk), misalnya antibiotika. Jika para Pemohon tidak melakukannya
pelayanan diancam dengan pidana penjara atau denda sebagaimana dimaksud
Pasal 190 ayat (1) UU Kesehatan. Untuk Perkara Nomor 12/PUU-VIII/2010
Hakim MK menetapkan agar putusan sebagai berikut :
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan Pasal 108 ayat (1) UU Kesehatan sepanjang kalimat, “... harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan” bertentangan dengan UUD
Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa tenaga kesehatan tersebut
adalah tenaga kefarmasian, dan 7 dalam hal tidak ada tenaga kefarmasian,
tenaga kesehatan tertentu dapat melakukan praktik kefarmasian secara
terbatas, antara lain, dokter dan/atau dokter gigi, bidan, dan perawat yang
melakukan tugasnya dalam keadaan darurat yang mengancam keselamatan
jiwa dan diperlukan tindakan medis segera untuk menyelamatkan pasien;

8
3. Menyatakan Pasal 108 ayat (1) UU Kesehatan sepanjang kalimat, “...harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan” adalah tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa tenaga
kesehatan tersebut adalah tenaga kefarmasian dan dalam hal tidak ada tenaga
kefarmasian, tenaga kesehatan tertentu dapat melakukan praktik kefarmasian
secara terbatas, antara lain, dokter dan/atau dokter gigi, bidan, dan perawat
yang melakukan tugasnya dalam keadaan darurat yang mengancam
keselamatan jiwa dan diperlukan tindakan medis segera untuk
menyelamatkan pasien;
4. Menyatakan Penjelasan Pasal 108 ayat (1) UU Kesehatan bertentangan
dengan UUD Tahun 1945;
5. Menyatakan Penjelasan Pasal 108 ayat (1) UU Kesehatan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
Mahkamah Konstitusi (MK) telah membenarkan sebagian tuntutan
Misran. Tuntutan Misran yang dibenarkan terdapat pada Putusan Mahkamah
Konstitusi 12/PUU-VIII/2010 Tentang Pasal 108 UndangUndang Kesehatan,
disebutkan:
“Pasal 108 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063 sepanjang kalimat,
“... harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan” bertentangan dengan
UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa tenaga kesehatan tersebut adalah
tenaga kefarmasian, dan dalam hal tidak ada ten aga kefarmasian, tenaga
kesehatan tertentu dapat melakukan praktik kefarmasian secara terbatas, antara
lain, dokter dan/atau dokter gigi, bidan, dan perawat yang melakukan tugasnya
dalam keadaan darurat yang mengancam keselamatan jiwa dan diperlukan
tindakan medis segera untuk menyelamatkan pasien.”
Keputusan MK tersebut seolah memberikan kesempatan bagi para dokter
untuk melakukan dispensing yang memiliki pengetahuan tentang obat. Namun

9
ketentuan ini sudah jelas membatasi bahwa tenaga kesehatan boleh melakukan
pelayanan obat jika tidak ada tenaga kefarmasian. Dan ketentuan lain yang sudah
ada dapat menjadi pebandingan dan sekaligus alat kontrol untuk melindungi
kepentingan masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang tidak profesional.
Peraturan yang ada tidak sepenuhnya diikuti oleh tenaga kesehatan, tenaga
Kesehatan masih banyak yang memberikan pelayanan kesehatan diluar
kewenangan profesinya salah satunya adalah memberi pelayanan obat kepada
pasien yang seharusnya merupakan kewenangan dari tenaga kefarmasian. Dokter
praktik mandiri masih ada yang melakukan dispensing, yaitu memberikan
pelayanan obat kepada pasien tanpa menggunakan tenaga kefarmasian.2
Kebiasaan ini terbawa sejak dahulu dimana dokter menyediakan dan memberikan
obat dilakukan sampai sekarang. Dokter menganggap bahwa dirinya memiliki
kewenangan untuk memberi obat, karena saat pendidikan,dibekali ilmu tentang
obat, menjadi alasan bagi dokter melakukan dispensing.

10
BAB III

PROSES ATAU KRONOLOGIS JUDISIAL REVIEW

3.1 Pra- Judicial Review

Misran merupakan seorang mantri yang telah bekerja selama 20 tahun di wilayah
Kutai. Beliau berniat melakukan tugasnya untuk menolong masyarakat atau
pasiennya sesuai dengan kemampuannya, tapi dipidana karena ia memberikan obat
kepada pasien tanpa memiliki keahlian dan kewenangan. Peristiwa tersebut berawal
ketika Misran mengambil keputusan untuk memberikan obat yang terdaftar G
(Gevaarlijk/berbahaya) karena pasien harus segera mendapatkan pertolongan.

Pada tanggal 4 Maret 2009 Misran ditangkap pihak Kepolisian Republik


Indonesia Kalimantan Timur dan ditahan di rumah tahanan negara sampai 23 Maret
2009 disangka dengan tuduhan melanggar Pasal 82 ayat (1) huruf d juncto Pasal 63
ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
Pasal 82 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
Masyarakat:

“Barangsiapa yang tanpa keahliannya dan kewenangan dengan sengaja


melakukan pekerjaan kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda
paling banyak Rp 100.000.000,00., (seratus juta rupiah)”;

Selanjutnya Pasal 63 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang


Kesehatan Masyarakat:

“Pekerjaan kefarmasian dalam pengadaan, produksi, distribusi dan pelayanan


sediaan farmasi harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian
dan kewenangan itu.”

11
Pada tanggal 13 Oktober 2009, pihak kejaksaan Negeri Tenggarong di
Pengadilan Negeri Negeri Tenggarong menuntut Misra dengan tuntutan 10 bulan
penjara dan denda 5 (lima) juta rupiah.

3.2 Proses Judicial Review

Dijatuhkannya hukuman terhadap Misran mengakibatkan munculnya pro-


kontra di kalangan tenaga kesehatan sehingga misran dibantu dengan rekan sesama
perawat mengajukan sebuah judisial review terhadap UU yang dikenakan kepada
misran.

Di hari yang sama, Pemerintah Indonesia mencabut Undang-Undang Nomor


23 tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3495) dan mengganti
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;

Akan tetapi, pemberlakuan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 menurut


para Pemohon pada dasarnya hampir sama dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1992 tentang kesehatan khususnya mengenai kefarmasian tidak ada keberpihakkan
terhadap tenaga perawat yang berdinas pada daerah desa terpencil yang tidak ada
tenaga dokter/ tenaga apoteker dan sangat rentan dipersalahkan pihak aparat
kepolisian dan kejaksaan untuk dijadikan tersangka dalam pelayanan kefarmasian.

Dalam Pasal 108 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan dinyatakan bahwa:

“Praktik kefarmasian yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu


sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian obat,
pelayanan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta
pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan”.

12
Lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 108 ayat (1) menyatakan :

“Yang dimaksud dengan “tenaga kesehatan dalam ketentuan ini adalah tenaga
kefarmasian sesuai dengan keahlian dan kewenanangannya. Dalam hal tidak ada
tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan tertentu dapat melakukan praktik kefarmasian
secara terbatas, misalnya antara lain dokter dan/atau dokter gigi, bidan dan perawat
yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Selanjutnya, dalam Pasal 190 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan menyatakan bahwa:

“Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang


melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan
sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam
keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 atau Pasal 85 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling
banyak Rp. 200.000.000,00.,- (dua ratus juta rupiah)

Bahwa fakta dilapangan menunjukkan sebagian besar di Puskesmas Induk dan


hampir seluruhnya di Puskesmas Pembantu (Pusban) yang ada di Provinsi
Kalimantan Timur bahkan diseluruh wilayah Republik Indonesia dipimpin oleh
tenaga kesehatan seorang perawat yang bertugas didaerah terpencil yang berada di
perbatasan karena pemerintah belum mampu mendayagunakan / menempatkan tenaga
medis (dokter) dan kefarmasian (Apoteker/Tenaga Teknis Kefarmasian) di daerah
tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas


Indonesia dan Departemen Kesehatan Tahun 2005 di Puskesmas kota atau desa, 92%
perawat melakukan diagnosa medis dan 93% perawat membuat resep. Hasil
penelitian ini menunjukkan betapa besar peran perawat di masyarakat, namun tidak
diakui.

13
Pemberlakuan Pasal 108 ayat (1) beserta Penjelasannya juncto Pasal 190
Undang-Undang Nomor 36 tentang kesehatan tidak saja merugikan hak
konstitusional para pemohon tetapi juga berpotensi menimbulkan kerugian hak
konstitusional seluruh tenaga keperawatan yang bertugas di daerah terpencil tidak ada
dokter/tidak ada apotek/ tenaga apoteker diseluruh wilayah Republik Indonesia.

Pasal 108 ayat (1) beserta Penjelasannya juncto Pasal 190 Undang-Undang
Nomor 36 tentang kesehatan merupakan alasan pembenar bagi para pemohon dan
seluruh tenaga keperawatan di wilayah Republik Indonesia untuk melakukan
pekerjaan kefarmasian, namun kewenangan tersebut dibatasi untuk memberikan obat
bebas dan obat bebas terbatas. Padahal dalam situasi darurat dan proses rujukan tidak
bisa dilaksanakan karena terkendala faktor kondisi geografis wilayah, biaya, tenaga
jarak dan ketersediaan sarana transportasi, maka dalam rangka memenuhi hak
masyarakat untuk mendapatkan akses pelayanan kesehatan yang cepat, tepat dan
berkualitas. Para Pemohon/tenaga keperawatan dituntut untuk memberikan obat-obat
dalam daftar G (Gevaarlijk/berbahaya), misalnya antibiotika dan lain-lain.

Dalam situasi ini, para pemohon atau tenaga keperawatan mengalami dilema
dan ketidakpastian hukum. Pada satu sisi ada keterbatasan kewenangan yang
diberikan oleh hokum, dan pada saat yang sama ada keterbatasan sumber daya
manusia kesehatan atau tidak tersedianya tenaga kesehatan yang memiliki keahlian
dan kewenangan (tenaga medis dan tenaga kefarmasian) di daerah terpencil. Namun
pada sisi lain tenaga keperawatan berkewajiban untuk melakukan pelayanan
kesehatan (pelayanan medis dan kefarmasian) bagi seluruh lapisan masyarakat,
khususnya dalam kondisi darurat, bahkan jika tidak melakukannya akan diancam
dengan pidana penjara atau denda.

Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, para Pemohon


mengajukan alat bukti tertulis yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-9
dan ahli Azrul Azwar serta saksi-saksi yang masing-masing bernama Trisno Widodo,

14
H. Edy Sukamto, H. Abdul Jalal, Hj. Emy Dasimah, dan Andi Baharuddin yang
selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara. Beberapa hal yang diungkapkan
oleh saksi adalah sebagai berikut.

1. Trisno Widodo
Secara geografis Kalimantan Timur khususnya Kabupaten Kutai Kartanagara ada
18 Kecamatan, 248 Desa, jumlah penduduk lebih kurang 600.000 orang sedangkan
tenaga dokter 75 orang. Apabila Pasal a quo melarang perawat tidak boleh
membantu masyarakat dalam hal pelayanan kesehatan sedangkan jumlah dokter
sangat sedikit maka pelayanan masyarakat tidak akan sesuai yang diharapkan;
2. H. Edy Sukamto
Saksi sepakat bahwa perawat seharusnya tidak mengerjakan selain pekerjaannya
tetapi di Kalimantan Timur melakukan pelayanan masyarakat adalah untuk
melindungi masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah hendaknya juga
memperhatikan perawat yang bekerja atas dasar regulasi yang memang masih
berlaku;
3. H. Abdul Jalal
Pasal a quo tidak dapat diterapkan secara ideal di lapangan khususnya di
Kalimantan Timur karena asisten apoteker dan apoteker tidak ada di puskesmas
induk dan pembantu;
4. Hj. Emy Dasimah
Dengan adanya perawat di Kabupaten Kutai Kartanegara dihukum, pelayanan
kesehatan di Kabupaten Kutai Kartanegara termasuk di perkotaan dan di daerah-
daerah terpencil lumpuh karena semua perawat tidak bersedia melayani pasien;
5. Andi Baharuddin
Saksi menginginkan agar perawat dapat melayani masyarakat kembali karena pada
saat ini apabila masyarakat sakit yang dipanggil ke rumah adalah mantri atau
perawat, tidak pernah dokter yang dipanggil untuk memberikan pelayanan karena
selama ini pasien yang mendatangi dokter.

15
Kemudian beberapa keterangan tertulis yang diajukan oleh Pemerintah, yang
pada pokoknya sebagai berikut:
- Bahwa Pasal 108 ayat (1) UU 36/2009 dimaksudkan untuk mempertimbangkan
secara hati-hati dan saksama akan bahaya yang dapat timbul dalam penggunaan
obat yang tidak sesuai peruntukannya karena itu adalah tepat jika obat yang
dipergunakan untuk masyarakat harus diberikan oleh orang yang mempunyai
kompetensi, keahlian, dan kewenangan untuk memberikan obat tersebut ;
a. Bahwa Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 dipertegas
lagi dalam Pasal 2 ayat (2) yang menyatakan pekerjaan kefarmasian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu adalah tenaga kefarmasian yang
terdiri dari apoteker dan tenaga teknis kefarmasian;
b. Bahwa apabila permohonan para Pemohon dikabulkan maka akan
menimbulkan: Terdapat kekosongan hukum (rechtsvacuum) dan kekacauan
tentang pengaturan praktik kefarmasian; Dapat menimbulkan peredaran,
perolehan, maupun pendistribusian obat-obatan dilakukan oleh pihak-pihak yang
tidak bertanggung jawab; Perlindungan dan pengawasan terhadap masyarakat
atas penggunaan obat-obatan menjadi tidak terjamin;
Pada judisial review, pemerintah juga mengajukan saksi-saksi bernama H.
Agus Gusmara A dan Asep Misbah Alfalah yang pada pokoknya menerangkan
sebagai berikut:
1. H. Agus Gusmara A
Dengan kondisi keterbatasan tenaga kesehatan terutama tenaga dokter dan
tenaga kefarmasian, serta mengacu kepada pertumbuhan yang ada di
Kabupaten Serang, telah dibuat suatu surat keputusan untuk tenaga kesehatan
tertentu dalam hal mana bila suatu ketika tenaga dokter sedang tidak ada atau
tidak berada di tempat, maka petugas kesehatan yang ditunjuk dalam hal ini
perawat dan bidan dapat memberikan pelayanan kesehatan atau pelayanan

16
teknis medis yang dilaksanakan di sarana kesehatan atau puskesmas dan
jejaringnya yaitu puskesmas pembantu, puskesdes, dan poliner;
2. Asep Misbah Alfalah
Di Kota Serang pada tahun 2008 ada 10 puskesmas dan 13 puskesmas
pembantu sudah diisi oleh 2 tenaga kefarmasian. Pengelolaan obat lebih baik,
lebih efesien, dan diharapkan masyarakat mendapat informasi yang lebih
jelas, karena obat itu bukan hanya komoditi yang sekedar dijual atau
digunakan;

Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan


tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang-
Undang yaitu sebagai berikut:
a. Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh
Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
c. Bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat
spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. Adanya hubungan sebab-akibat (casual verband) antara kerugian
dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji;
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan
maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi
terjadi.

Apabila kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Pemohon dalam


mengajukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, maka Pemohon
tidak memiliki kualifikasi kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pihak
Pemohon. DPR RI berpendapat meskipun sebagai subjek hukum para

17
Pemohon memiliki kwalifikasi sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1)
UU MK, namun tidak ada kerugian konstitusional para Pemohon atau
kerugian yang bersifat potensial akan terjadi dengan berlakunya Pasal 108
ayat (1) beserta 37 Penjelasannya dan Pasal 190 ayat (1) dan ayat (2) Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan penjelasan sebagai
berikut :
1. Bahwa para Pemohon dalam permohonan a quo tidak menjelaskan dan
menjabarkan secara konkret, spesifik (khusus) dan aktual atau
setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi kerugian konstitusional yang diderita oleh para
Pemohon selaku PNS dalam jabatannya sebagai Perawat, Kepala
Puskesmas dan Kepala TU Puskesmas sebagai akibat berlakunya Pasal
108 ayat (1) beserta penjelasannya jo Pasal 190 ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
2. Bahwa terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan tidak dapat
bekerja dengan optimal dalam memberikan pelayanan kesehatan
kepada masyarakat karena ketiadaan tenaga Doktrer dan Tenaga
Apoteker di daerahnya, DPR berpandangan hal tersebut bukanlah
persoalan Konstitusionalitas Pasal 108 ayat (1) beserta penjelasannya
jo Pasal 190 ayat (1) dan ayat (2) UndangUndang Nomor 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan. Oleh karena jika para Pemohon menyatakan
bahwa telah timbul kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya karena adanya tindakan penyelidikan, penyidikan,
penuntutan dan putusan pengadilan oleh penegak hukum sebagai
akibat menjalankan praktek kefarmasian yang dilakukan oleh para
Pemohon, DPR berpandangan hal demikian persoalan penerapan
norma Pasal a quo.

18
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, DPR berpandangan bahwa
ketentuan Pasal 108 ayat (1) dan penjelasannya Pasal 190 ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tidak menghambat
dan merugikan hak konstitusional para Pemohon sebagaimana dijamin Pasal
27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal
28H ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu tidak terdapat kerugian
konstitusional ataupun yang bersifat potensial menyebabkan kerugian
konstitusional para Pemohon. Dengan demikian para Pemohon dalam
permohonan a quo tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing)
sebagaimana disyaratkan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan Putusan Mahkamah
Konstitusi dalam Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor
011/PUU-V/2007 terdahulu.
Kemudian didapatkan keterangan dari Pihak Ikatan Dokter Indonesia,
Ikatan Apoteker Indonesia, dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia, dan
keterangan tertulis dr. drh. Mangku Sitepoe yang pada pokoknya sebagai
berikut:
1. Ikatan Dokter Indonesia

Bahwa Pasal 108 ayat (1) UU 36/2009 sudah sesuai atau tidak
bertentangan dengan UUD 1945;

Penjelasan Pasal 108 ayat (1) UU 36/2009 maupun Peraturan


Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tidak dijelaskan jenis obat yang dimaksud
dalam Pasal tersebut, di Indonesia obat terbagi menjadi obat bebas, obat bebas
terbatas, obat keras (daftar G), obat psikotropika, dan obat narkotika. Tenaga
kesehatan seperti perawat maupun bidan mempunyai kewenangan menyimpan
obat bebas dan obat bebas terbatas;
Ikatan Dokter Indonesia mengharapkan ada perubahan pada
Penjelasan Pasal 108 ayat (1) UU 36/2009 maupun Peraturan Pemerintah
Nomor 51 Tahun 2009, sehingga pelayanan kesehatan terhadap masyarakat

19
tidak terganggu serta tenaga kesehatan yang melayaninya dapat terlindungi
oleh hukum;
2. Ikatan Apoteker Indonesia
Ikatan Apoteker Indonesia mengusulkan untuk tetap tidak merubah
atau menambah Pasal a quo; - Bahwa Pasal 108 ayat (1) UU 36/2009
merupakan jaminan bagi masyarakat luas bagi semakin berlangsungnya
kebenaran pelayanan kefarmasian berdasarkan ilmu pengetahuan dan profesi
kesehatan;
3. Persatuan Perawat Nasional Indonesia
Bahwa fakta empiris dan yuridis tentang Undang-Undang Kesehatan
merugikan perawat. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar
puskesmas induk dan hampir di seluruh puskesmas terutama di daerah-daerah
yang terpencil dipimpin seorang perawat;

3. dr.drh.Mangku Sitepoe
• Pasal 108 UU 36/2009 praktik kefarmasian dimonopoli oleh tenaga
kesehatan bidang kefarmasian yaitu apoteker dan tenaga teknis kefarmasian
dengan mengabaikan tenaga kesehatan lainnya dalam bidang obat-obatan;
• Pasal 108 ayat (1) UU 36/2009 dengan ketentuan praktik kefarmasian
identik dengan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian yang membatasi tenaga kesehatan lainnya
menimbulkan berbagai kontroversi di dalam aplikasinya dari sudut pandang
penggunaannya;
• Hak konstitusi para perawat telah dicabut oleh Pasal 108 UU 36/2009. Pasal
108 UU 36/2009 bertentangan dengan Pasal 28H UUD 1945;

Berdasarkan seluruh uraian dalam pertimbangan di atas, Mahkamah


berpendapat bahwa dalil-dalil permohonan para pemohon tidak beralasan
menurut hukum untuk sebagian dan beralasan menurut hukum untuk sebagian

20
yang lain, yaitu sepanjang mengenai kalimat “... harus dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan” dalam Pasal 108 ayat (1) UU 36/2009 adalah
inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai, tenaga kesehatan tersebut adalah
tenaga kefarmasian dan dalam hal tidak ada tenaga kefarmasian, tenaga
kesehatan tertentu dapat melakukan praktik kefarmasian secara terbatas,
antara lain, dokter dan/atau dokter gigi, bidan, dan perawat yang melakukan
tugasnya dalam keadaan darurat yang mengancam keselamatan jiwa pasien
dan diperlukannya tindakan medis segera untuk menyelamatkan pasien.
Penjelasan Pasal 108 ayat (1) UU 36/2009 yang memberikan kewenangan
sangat terbatas menimbulkan keadaan dilematis dan mengakibatkan tidak
adanya kepastian hukum yang adil sehingga bertentangan dengan Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945

Pada tanggal 19 November 2009, pihak Pengadilan Negeri


Tenggarong mengadili menjatuhkan putusan terhadap Pemohon (Misran)
Pidana Penjara selama 3 (tiga) bulan dikurangi selama terdakwa dalam
tahanan ditambah dengan denda Rp.2.000.000,00,.- (dua juta rupiah)

21
BAB IV

HASIL

4.1 Putusan pertama


Perkara nomor 12/PPU-VIII/2010

Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian. Artinya adalah


“praktek kefarmasian hanya boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan, tenaga kesehatan
yang dimaksud adalah tenaga kefarmasian (bertentangan dengan UUD 1945
sepanjang tidak dimaknai bahwa tenaga kesehatan tersebut adalah tenaga
kefarmasian), akan tetapi jika tidak ada tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan tertentu
dapat melakukan praktik kefarmasian secara terbatas, antara lain, dokter dan/atau
dokter gigi, bidan, dan perawat yang melakukan tugasnya dalam keadaan darurat
yang mengancam keselamatan jiwa dan diperlukan tindakan medis segera untuk
menyelamatkan pasien”.

Pasal 108 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063) sepanjang kalimat, “... harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan” adalah tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa tenaga kesehatan tersebut adalah tenaga
kefarmasian.

• Dari putusan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa

– MK tidak mengabulkan permohonan dari penggugat atau pemohon.


Akan tetapi lebih memperkuat dan memperjelas kerja dari tenaga
kefarmasian yaitu melakukan praktik kefarmasian. Akan tetapi dalam

22
keadaan darurat dan tak ada tenaga kefarmasian, profesi lain seperti
dokter, perawat, bidan dll boleh melakukan praktek kefarmasian.
• Putusan-putusan selanjutnya adalah

– MK mengadili dan menyatakan permohonan pemohon ditolak atau


tidak dapat diterima

4.2 Putusan kedua


Perkara Nomor 66, 71, 79/PUU-VIII/2010
Terkait dengan putusan MK terhadap pengujian UU Kesehatan, DPR
sebagai pembentuk undang-undan, bersama-sama Presiden memiliki peran
penting dalam menindaklanjuti putusan yang telah ditetapkan oleh MK.
Putusan MK bersifat final dan mengikat menjadi acuan dalam proses
pembentukan undang-undang selanjutnya. Hal tersebut sejalan dengan
ketentuan Pasal 10 huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) yang menyatakan
bahwa materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi tindak
lanjut atas putusan MK. Dalam amar putusan Mengadili, “Menyatakan
Permohonan para Pemohon sepanjang mengenai pengujian Pasal 28 ayat (1)
dan Pasal 32 ayat (4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Advokat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4288) tidak dapat
diterima.”
Advokat merupakan penegak hukum dan sebagai profesi yang bebas,
mandiri dan bertanggung jawab dalam menegakkan hukum yang dijamin oleh
undang-undang. Advokat memiliki hak, kewajiban dan tanggung jawab sesuai
dengan aturan perundang-undangan advokat. Menurut Undang-Undang
Nomor18 Tahun 2003 tentang Advokat, ditegaskan bahwa, Advokat adalah
orang yang berprofesi memberikan jasa hukum baik di dalam maupun di luar
Pengadilan. Jasa hukum yangdimaksud adalah jasa yang diberikan advokat

23
berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa,
mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk
kepentingan klien.
Pengaturan mengenai keberadaan Advokat baik sebagai individu
maupun organisasi profesi yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2003 tentang Advokat yang mengatur syarat-syarat, hak dan
kewajiban, serta pengawasan pelaksanaan profesi. Tujuan adanya Undang-
Undang tersebut di samping untuk melindungi Advokat sebagai profesi, juga
lebih utama lagi adalah untuk melindungi dari kemungkinan penyalahgunaan
Advokat. Agar dapat menjalankan tugas profesinya dengan baik demi
tegaknya hukum dan keadilan, maka setiap Advokat tentunya harus
memahami hakikat keberadaannya, tugas dan peran yang harus dijalankan,
syarat-syaratyang harus dipenuhi, serta ketentuan ketentuan hukum yang
harus dipenuhi.
Setiap Advokat harus memahami sistem hukum nasional secara
umum, khususnya Undang-Undang Advokat dan ketentuan ketentuan lain
yang terkait dengan profesi Advokat sehingga dapat bertindak secara
profesional. Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa efektif dan
berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung tiga unsur sistem hukum,
yakni struktur hukum (struktur of law), substansi hukum (substance of the
law) dan budaya hukum (legal culture). Struktur hukum menyangkut aparat
penegak hukum, substansi hukum meliputi perangkat Perundang-undangan
dan budaya hukum merupakan hukum yang hidup (living law) yang dianut
dalam suatu masyarakat. Ketiga unsur hukum itu harus berjalan bersama agar
hukum yang dibuat untuk menegakan keadilan itu dapat berjalan efektif, dan
keadilan yang dirasakan oleh masyarakat yang diatur oleh hukum itu sendiri.
Penegakan hukum yang sangat crucial yaitu substansi hukum pada
Advokat yaitu undang-undang Advokat Nomor 18 Tahun 2003, aturan-aturan
di dalam undang undang di mana seharusnya memuat lebih banyak kejelasan

24
aturan mengenai fungsi tugas dan struktur Advokat. Salah satu poin penting
pada fungsi Advokat yaitu independensi dari Advokat itu sendiri. Salah satu
poin penting dari undang-undang Nomor 18 tahun 2003 ini adalah adanya
pengakuan terhadap Advokat sebagai penegak hukum dan bahwa hanya ada
satu organisasi Advokat sebagai wadah tunggal Advokat Indonesia.

25
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
1. MK tidak mengabulkan permohonan dari penggugat atau pemohon. Akan
tetapi lebih memperkuat dan memperjelas kerja dari tenaga kefarmasian yaitu
melakukan praktik kefarmasian. Akan tetapi dalam keadaan darurat dan tak
ada tenaga kefarmasian, profesi lain seperti dokter, perawat, bidan dll boleh
melakukan praktek kefarmasian.
2. MK mengadili dan menyatakan permohonan pemohon ditolak atau tidak dapat
diterima.
3. Menyatakan Permohonan para Pemohon untuk Perkara Nomor 66, 71, 79/
PUU-VIII/2010 tidak dapat diterima

5.2 Saran
1. Disarankan untuk menambah jumlah hakin di MK agar tidak terjadi
penumpukan perkara
2. Diharapkan untuk setiap tenaga kesehatan memahami tugas dan wewenang
masing-masing

26
DAFTAR PUSTAKA

Silalahi, Doni. Kewenangan Yudisial Review Mahkamah Agung terhadap Peraturan


Perundang-undangan di Bawah Undang-undang. Jurnal Nestor Magister
Hukum. 2016

Ansori, Lutfil. Politik Hukum Judicial Review Ketetapan MPR. Al-Daulah: Jurnal
Hukum Dan Perundangan Islam Volume 6, Nomor 1, April 2016; ISSN 2089-
0109

Qamar, Nurul, Kewenangan Judicial Review Mahkamah Konstitusi, Jurnal


Konstitusi, Vol. I, No. 1, November 2012.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-


Undangan.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Risalah Sidang Perkara Nomor 12/puu-


viii/2010
Perkara Nomor 66, 71, 79/puu-viii/2010, Perkara Nomor 30/puu-ix/2011.
Jakarta : Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Rozi, M.M. (2015). Peranan advokat sebagai penegak hokum dalam sistem peradilan
pidana dikaji menurut undang-undang nomor 18 tahun 2003 tentang advokat.
Jurnal Mimbar, 7(1), 628-647
Frans Hendra Winarta, S.H., Advokat Indonesia Citra, Idealisme,dan
Keprihatinan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hlm.14

27
Peradi, Kitab Advokat Indonesia, Sambutan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia.
2007, Bandung : PT. Alumni, hlm. X
Abdul Halim Barkatullah.2013. Budaya Hukum Masyarakat Dalam Perspektif Sistem
Hukum.
Jurnal UKSW Banjarmasin Universitas Lambung Mangkurat. Hlm. 6
V.Sinaga, Harlen, , “Dasar-DasarProfesi Advokat”, Jakarta: Erlangga, 2011.kata
sambutan Ketua PERADI Otto Hasibuan.

28

Anda mungkin juga menyukai