Anda di halaman 1dari 16

TUGAS MAKALAH PANCASILA

PENEGAKAN KEADILAN DALAM LINGKUP MA

OLEH :

KELOMPOK 1

Nama Anggota : 1. Ainul Hidayah (𝖤061201102)


2. Muthia Khamila Maharani (E061201117)
3. Nurhayati Syarifuddin (E061201111)
4. Riska Fadliah Angraini (E061201083)
5. Syaichul Syafiq (E061201120)

PRODI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNVERSITAS HASANUDDIN
2021

i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................................................... 2

1.3 Tujuan .......................................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 3

2.1 MAHKAMAH AGUNG ............................................................................................................. 3

2.2 KONDISI PENEGAKAN KEADILAN DALAM LINGKUP MAHKAMAH AGUNG ...... 4

2.3 FAKTOR YANG MENYEBABKAN ADANYA RASA KEADILAN DALAM LINGKUP


MAHKAMAH AGUNG ................................................................................................................... 7

BAB III PENUTUP ............................................................................................................................. 13

3.1 KESIMPULAN ................................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................................... 14

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 (adalah selanjutnya disebut UUDNRI Tahun 1945). Negara
Hukum dapat diartikan menjadi Negara yang Penyelenggaraan Kekuasaan Pemerintahannya
didasarkan pada hukum. Negara Hukum bertujuan membentuk suatu pemerintah negara
indonesia yang melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum serta kedaulatan berada di tangan rakyat.

Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Mahkamah Agung Republik Indonesia adalah lembaga tinggi negara dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman yang bebas dari
pengaruh cabang-cabang kekuasaan lainnya. Melihat produk-produk hukum dari Mahkamah
Agung (MA), harus juga melihat dari sisi Peraturan Perundang-undangan yang mengatur dan
memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung. Pada Pasal 24A Undang-Undang Dasar
RI 1945 menjelaskan bahwa Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi,
menguji Peraturan Perundang-undangan, dan mempunyai wewenang lainnya yang di berikan
oleh Undang-Undang.

Salah satu produk hukum dari Mahkamah Agung yakni Peraturan Mahkamah Agung
(PERMA), yaitu sebuah produk hukum dari Mahkamah Agung di bentuk dan berisi ketentuan
yang bersifat hukum acara.Keabsahan produk-produk Mahkamah Agung dijelaskan pada
Pasal8 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
yaitu : “Peraturan Perundang-undangansebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh
Peraturan Perundang-undanganyang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.”

Berdasarkan Pasal 32 UU No. 3 Tahun 2009, MA dapat mengatur lebih lanjut hal-hal
yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan. Sebagai perwujudan fungsi
tersebut, Mahkamah Agung telah menerbitkan PERMA pada tahun 2017 salah satunya adalah

1
PERMA No. 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan
dengan Hukum. PERMA No.3 Tahun 2017 pada intinya bertujuan untuk memastikan
penghapusan segala potensi diskriminasi terhadap perempuan yang berhadapan dengan hukum
dan juga agar Hakim memiliki acuan dalam memahami dan menerapkan kesetaraan gender dan
prinsip-prinsip non-diskriminasi dalam mengadili suatu perkara. Perlu diketahui, Indonesia
telah meratifikasikan kovenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik.

Dengan Undang-Undang No.12 tahun 2005 tentang pengesahan kovenan internasional


tentang hak-hak sipil dan politik, yang menegaskan bahwa semua orang adalah sama di
hadapan hukum dan Peraturan Perundang-undangan melarang diskriminasi serta menjamin
perlindungan yang setara bagi semua orang dari diskriminasi berdasarkan alasan apapun,
termasuk jenis kelamin atau gender dan Indonesia juga sebagai negara pihak dalam konvensi
penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, mengakui kewajiban negara
untuk memastikan bahwa perempuan memiliki akses terhadap keadilan dan bebas dari
diskriminasi dalam sistem peradilan. Lebihjauh, Mahkamah Agung berharap melalui peraturan
ini, secara bertahap praktik-praktik diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dan stereotip
gender di Pengadilan dapat berkurang, serta memastikan pelaksanaan Pengadilan (termasuk
mediasi di Pengadilan) dilakukan secara berintegritas dan peka gender.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud Mahkamah Agung ?
2. Bagaimana kondisi penegakan keadilan dalam lingkup Mahkamah Agung?
3. Apa saja faktor yang menyebabkan adanya rasa keadilan dalam llingkup Mahkamah
Agung?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui apa itu Mahkamah Agung
2. Mengetahui kondisi penegakan keadilan dalam lingkup Mahkamah Agung
3. Mengetahui faktor yang menyebabkan adanya rasa keadilan dalam llingkup Mahkamah
Agung

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 MAHKAMAH AGUNG


Mahkamah Agung adalah sebuah lembaga Negara yang berwenang mengadili pada
tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undangundang terhadap
undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
Mahkamah Agung (disingkat MA) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah
Konstitusi. Mahkamah Agung dipimpin oleh seorang ketua. Ketua Mahkamah Agung dipilih
dari dan oleh hakim agung, dan diangkat oleh Presiden. Hakim Agung dipilih dari hakim karier
dan Non karier, profesional atau akademisi. Mahkamah Agung memiliki hakim agung
sebanyak maksimal 60 orang. Hakim agung dapat berasal dari sistem karier (hakim), atau tidak
berdasarkan sistem karier dari kalangan profesi atau akademisi. Tugas Hakim Agung adalah
Mengadili dan memutus perkara pada tingkat Kasasi dan Peninjauan Kembali (PK).

Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan wewenang MA adalah:

1) Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah


Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang.

2) Mengajukan 3 orang anggota Hakim Konstitusi.

3) Memberikan pertimbangan dalam hal Presiden memberi grasi dan rehabilitasi.

Dalam konteks penegakan hukum dan keadilan di Indonesia, hakim agung memiliki
tugas mulia sebagai pengawas internal tugas hakim dalam pengadilan. Hal ini mengingat hakim
agung yang berada dalam institusi Mahkamah Agung adalah juga seorang hakim, maka
menurut undang-undang, hakim agung berhak melakukan pengawasan terhadap kinerja hakim
dalam proses pengadilan, demi hukum dan keadilan. Mengapa perlu adanya pengawasan tugas
hakim? Karena hakim sering lalai dalam menjalankan kemandirian kekuasaannya. Kelalaian
ini sering disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya adanya pihak-pihak lain di luar kekuasaan
kehakiman seperti birokrat, TNI, maupun pengadilan atasan.

Akibat dari kelalaian ini, hakim dapat saja bersikap subjektif dalam mengambil
keputusan dan unsur keberpihakan pada salah satu pihak yang berperkara pasti tak
terhindarkan. Hal ini bukan hanya sebuah hipotesa, namun merupakan fakta hukum yang

3
terjadi. Banyak warga masyarakat sudah tidak begitu percaya dengan hakim dan penegakkan
hukum yang selama ini dijalankan di pengadilan negeri.

Kebanyakan kasus-kasus hukum pada akhirnya bermuara pada pengajuan banding pada
tingkat yang lebih tinggi, sampai pada Mahkamah Agung. Hal ini terjadi sebagai akibat dari
ketidakpercayaan masyarakat atas putusan hakim. Kasus-kasus yang bisa dijadikan
pembanding dan sekedar mengingatkan kita akan masalah kekurangpercayaan masyarakat
terhadap putusan hakim di negeri ini

2.2 KONDISI PENEGAKAN KEADILAN DALAM LINGKUP MAHKAMAH AGUNG


Perjalanan sejarah tidak pernah berujung dan menghasilkan suatu kesimpulan, karena
setiap masa mempunyai tantangan sendiri-sendiri yang tidak pernah terselesaikan secara
tuntas.Selama orde baru, salah satu persoalan yang sering dikemukakan adalah tidak bebasnya
lembaga peradilan dari intervensi pemerintah dengan alasan karena pembinaan administrasi,
kepegawaian, dan finansial hakim yang masih tersentralisasi pada lembaga eksekutif. Setelah
runtuhnya orde baru tahun 1998 dan masuk era reformasi, persoalan di atas tidak kunjung
selesai.

Dalam upaya mengatasi persoalan ini, pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang


Nomor 35 Tahun 1999 yang berisi antara lain penyatuan kekuasaan kehakiman menjadi satu
atap di bawah Mahkamah Agung sehingga hakim langsung di bawah lembaga Mahkamah
Agung, yang bukan hanya dalam penanganan peradilan (teknis yudisial), melainkan juga
menyangkut organisasi, administrasi, kepegawaian, dan finansial. Penyatuan ini dimaksudkan
pada mulanya untuk merespon tuntutan reformasi di bidang peradilan dengan keinginan agar
hakim bebas dan merdeka dalam melaksanakan tugasnya.

Penegasan dari ketentuan ini, dalam realitanya belum terlaksana dengan baik, sehingga
memunculkan problematika, tidak hanya menyangkut administrasi peradilan saja, tetapi juga
menyangkut pengawasan dan evaluasi terhadap kinerja lembaga peradilan lainnya yang pada
akhirnya akan berdampak pada proses penegakan hukum yang berlaku di Indonesia.

Administrasi peradilan, terutama di tingkat Mahkamah Agung mendapat sorotan oleh


berbagai pihak, tidak hanya menyangkut proses birokratisasinya yang begitu panjang, tetapi
juga menyangkut tenggang waktu yang lama. Hal demikian menimbulkan spekulasi opini
dikalangan masyarakat tentang adanya permainan menyangkut administrasi peradilan, dan ini
bukan merupakan rahasia umum lagi. Panjangnya birokrasi yang dilalui dalam proses peradilan
dan lamanya proses peradilan membuka ruang untuk melakukan tawar-menawar antara pencari

4
keadilan yang mempunyai kemampuan, baik dari segi ekonomi maupun dari segi kekuasaan
dan tidak mustahil aktivitas ini tidak ada yang melakukannya.

Adanya birokratisasi administrasi peradilan, bisa jadi sebagai salah satu bentuk ruang
untuk ketidakadilan, hal ini disinyalemen dalam penelitian yang dilakukan oleh Takkas
Marudut, Aswanto dan Alma Manuputty bahwa perlakuan yang tidak adil mulai dari tahap
penyidikan, penuntutan sampai pada tahap peradilan, sehingga dengan demikian bertentangan
dengan ketentuan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, di mana
penekanannya mengharuskan kepada penyidik, penuntut umum serta hakim di pengadilan
untuk berlaku adil kepada tersangka atau terdakwa dengan tetap mengedepankan asas praduga
tidak bersalah dan menjamin pembelaannya sampai lembaga peradilan ataukah sidang
pengadilan dapat membuktikan kesalahannya.

Tertib administrasi dalam suatu organisasi sangat penting artinya, apalagi seperti
institusi Mahkamah Agung, administrasi yang menyangkut proses peradilan sangat memegang
peranan yang sangat urgent. Dalam menata administrasi, maka hal penting untuk diperhatikan
adalah struktur organisasi, sebab dengan struktur tersebut masingmasing yang terlibat akan
mengetahui serta memahami tugas dan kewenangannya.

Dalam menata administrasi peradilan, persoalan kemudian muncul adalah adanya tawar
menawar untuk melakukan rekayasa putusan sebelum dibacakan, sebab suatu putusan hakim
merupakan bagian dari proses administrasi. Hitam putihnya suatu putusan hakim banyak
dipengaruhi oleh proses administrasi peradilan, dan secara tidak langsung juga berpengaruh
terhadap pelaksanaan penegakan hukum dalam bidang peradilan. Keadaan ini menunjukkan
adanya semacam “plea bargaining” untuk melakukan negosiasi antara pencari keadilan dengan
pemberi putusan, yakni hakim. Motivasi dilakukannya negosiasi pada prinsipnya mengandung
dua elemen, yaitu elemen pertama, untuk menentukan besaran nilai dari rekayasa putusan yang
harus ditanggung oleh yang membutuhkan, sedangkan elemen yang kedua, adalah untuk
mempercepat proses perkara yang sedang ditangani yang berhubungan dengan pihak yang
melakukan negosiasi tersebut.

Dilihat dari segi budaya setiap aktivitas manusia selalu mengikuti dan diarahkan oleh
suatu sistem budaya dianut. Jika sistem budayanya hedonistis, maka orientasinya lebih
cenderung pada kenikmatan berupa harta benda (kekayaan) untuk kepentingan pribadi dan
kelompoknya. Dalam kondisi yang demikian sistem budaya akan menjadi dan dijadikan

5
pedoman yang memberi arah dan orientasi pada kehidupan orang dilingkungan budayanya
masing-masing.

Secara hipotetis bahwa konstruksi bobroknya administrasi peradilan pada lembaga


peradilan belum dapat dikatakan sepenuhnya sebagai bagian dari sistem budaya peradilan di
Indonesia, karena masih ada pelaksana-pelaksana dari administrasi peradilan yang mempunyai
nurani yang baik dalam menegakan hukum secara baik, benar dan berkeadilan.

Di atas telah dikemukakan bahwa proses administrasi perkara yang lama dan
birokratisasi panjang akan menimbulkan problematika tersendiri dalam proses penegakan
hukum, terutama di lembaga Mahkamah Agung. Permasalahan ini sangat kontradiksi dengan
asas peradilan cepat yang mengandung prinsip administrasi peradilan yang menghendaki
adanya proses yang cepat, biaya murah, namun dalam realitanya kehendak tersebut masih
belum terlaksana secara maksimal, karena masih terdapat penimbunan perkara dan kelambanan
proses peradilan di Mahkamah Agung.

Banyak faktor yang berafiliasi terhadap keadaan tersebut, dan menurut penulis, apabila dirunut
faktor-faktorituadalahsebagaiberikut:
a)Soal paradigma hukum yang digunakan yakni yang legalistik, formalistik;
b) Pendidikan hukum yang terkait dengan kemampuan profesional hakim dan staf administrasi
peradilan;
c) Perkembangan hukum yang menjadi subordinat dari perkembangan bisnis yang mengglobal;
d)Degradasi mental dan profesionalisme profesi hukum;
e)Mandegnya fungsi perubahan dan pemberdayaan yang dilakukan oleh paralegal;
f) Kacaunya sistem, visi dan misi reformasi hukum nasional, yang lebih mencerminkan aspirasi
dan kepentingan elit, ketimbang aspirasi dan kepentingan keadilan;
g) Budaya hukum masyarakat yang rendah yang kurang mendukung upaya bangunan negara
hukum yang demokratis.

Untuk mengatasi kendala-kendala menyangkut proses administrasi peradilan perlu


dilakukan suatu upaya yang sistematis, sustainable, komprehensif dan koordinatif dari berbagai
komponen bangsa untuk membangun suatu komitmen yang terintegrasi bahwa semua ini
adalah untuk kepentingan bangsa dan negara. Dalam meminimalisir permasalahan yang
sifatnya administrasi peradilan sudah harus dipikirkan tentang pembatasan pengajuan kasasi
dan jangka waktu pemeriksaannya dengan tujuan untuk mempercepat proses peradilan.

6
Pembatasan perkara kasasi tidak harus dimaknai sebagai pembatasan terhadap hak
untuk mendapatkan keadilan dalam penegakan hukum, tetapi juga tidak boleh menimbulkan
pembatasan perwujudan keadilan prosedural hukum dengan diabaikannya ide pembatasan
perkara kasasi. Secara komprehensif, ide pembatasan perkara kasasi juga mempunyai
konsekuensi logis terhadap kebutuhan akan reformasi struktural dalam lembaga peradilan yang
ada sekarang, sebab reformasi hukum acara yang menjadi panduan dasarnya, politik hukum
yang mendasari paradigma bangunan sistem peradilan yang akan dibentuk, kemampuan dan
potensi sumber daya manusianya harus bersinergi secara terintegrasi dengan baik dan benar.

2.3 FAKTOR YANG MENYEBABKAN ADANYA RASA KEADILAN DALAM


LINGKUP MAHKAMAH AGUNG

Sejak Tahun 2011 melalui Keputusan No. 142/KMA/SK/IX/2011 Tahun 2011, Ketua
Mahkamah Agung telah memberlakukan sebuah kebijakan pemberlakuan sistem kamar pada
Mahkamah Agung. Dengan sistem kamar ini hakim agung dikelompokan ke dalam lima kamar
yaitu perdata, pidana, agama,tata usaha negara dan militer. Hakim agung masing-masing kamar
pada dasarnya hanya mengadili perkara-perkara yang termasuk dalam lingkup kewenangan
masing-masing kamar. Hakim agung kamar perdata hanya mengadili perkara perdata saja dan
hakim agung kamar pidana hanya mengadili perkara pidana saja.Demikian pula hakim agung
kamartata usaha negara hanya mengadili perkara tata usaha negara.Pada masa lalu sebelum
sistem kamar berlaku, hakim agung lingkungan tata usaha negara juga mengadili perkara-
perkara perdata atau majelis hakim agung – lazimnya terdiri atas seorang ketua dan dua orang
anggota - yang kesemuanya berasal dari lingkungan peradilan agama dapat mengadili perkara
perdata.

Dengan system kamar, tidak lagi diperkenankan majelis hakim agung yang
kesemuanya berasal dari lingkungan peradilan agama mengadili perkara perdata, tetapi seorang
hakim agung dari lingkungan peradilan agama hanya dapat menjadi anggota majelis atau ketua
majelis untuk mengadili perkara perdata bersama-sama dengan dua hakim agung lain dalam
kamar perdata. Mengapa hakim agung dalam kamar agama masih dibolehkan mengadili
perkara perdata didasari oleh pertimbangan bahwa jumlah perkara perdata sangat besar
sedangkan jumlah hakim agung dalam kamar perdata masih belum mencukupi untuk mampu
mengadili perkara secara tepat waktu sehingga masih memerlukan bantuan tenaga dari kamar
lain, yaitu hakim agung kamar agama yang jenis perkara yang diadili masih berdekatan dengan
jenis perkara dalam kamar perdata.

7
Demikian pula, hakim agung kamar militer dapat ditugaskan untuk mengadili perkara dalam
kamar pidana karena masih terdapat kedekatan jenis perkaranya..
Penempatan hakim agung dalam sebuah kamar didasarkan pada keahlian mereka.Keahlian
antara lain dapat dilihat dari bidang studi ilmu hukum yang dikaji ketika mengambil program
S2 atau S3 atau pelatihan-pelatihan yang pernah diikuti. Penempatan hakim agung karir yang
berasal dari lingkungan peradilan umum ke dalam kamar perdata atau kamar pidana pada
dasarnya merupakan diskresi dari Ketua Mahkamah Agung Ketua Mahkamah Agung dengan
melihat rekam jejak seorang hakim agung dapat menentukan kamar yang tepat dan sesuai bagi
seorang hakim agung. Setiap kamar dipimpin oleh Ketua Kamar yang sebelum sistem kamar
diberlakukan disebut juga sebagai Ketua Muda.Meskipun kebijakan pemberlakukan sistem
kamar ini secara formal dicanangkan pada tahun 2011, implementasinya dilakukan secara
bertahap.
1. Mengapa Perlu Sistem Kamar
Salah satu kritik yang dialamatkan pada Mahkamah Agung olehpara pencari keadilan pada
umumnya dan para pemerhati peradilan pada khususnya adalah bahwa putusan-putusan majelis
hakim agung dalam perkara-perkara kasasi atau PK yang permasalahan hukumnya sejenis atau
serupa ternyata putusannya berbeda. Pada hal Mahkamah Agung adalah pemegang kekuasaan
tertinggi kehakiman yang melalui putusan-putusannya diharapkan mampu memberikan arahan
atau panduan kepada pengadilan di bawahnya dalam memutus permasalahan hukum. Namun ,
fungsi ini tidak dapat sepenuhnya dijalankan sehingga muncul ungkapan Mahkamah Agung
dengan pelbagai wajah aliran putusan dalam perkara-perkara sejenis. Permasalahan ini disadari
oleh pimpinan Mahkamah Agung sehingga upaya untuk mengatasinya menjadi salah satu
agenda dalam program pembaruan peradilan sebagaimana tercantum dalam “Cetak Biru
Pembaruan Peradilan 2010-2014.

Terjadinya perbedaan putusan untuk perkara-perkara kasasi yang permasalahan hukumnya


sejenis atau serupa dapat terjadi karena banyaknya jumlah perkara kasasi yang diajukan
kepada Mahkamah Agung sehingga perkara-perkara itu harus diadili oleh beberapa majelis
hakim agung. Tiap majelis hakim agung yang biasanya terdiri atas seorang ketua dan dua
orang anggota majelis bekerja secara terpisah atau mandiri. Berbeda dengan Mahkamah
Konstitusi yang tiap perkara diadili oleh pleno hakim konstitusi sehingga keteraturan dan
konsistensi relatif dapat dijaga. Oleh sebab itu, adalah alamiah jika antara satu majelis dengan
majelis lainnya pada Mahkamah Agung dalam mengadili perkara-perkara yang sejenis
ternyata putusannya berbeda karena praktik hukum pada dasarnya mengandalkan interpretasi

8
terhadap norma hukum dan fakta yang terungkap dalam persidangan. Selain itu, rumusan
ketentuan atau norma undang-undang yang sering ambigu sehingga menimbulkan multi
interpretasi atau adanya pertentangan antar norma, atau norma yang tidak tuntas telah
mendorong lahirnya pelbagai putusan di pelbagai tingkatan yang tidak mencerminkan
konsistensi atau keteraturan hukum yang tentunya mengecewakan para pencari keadilan.

Meskipun perbedaan putusan hakim agung dapat terjadi karena faktor alamiah interpretasi,
ketidakjelasan rumusan norma atau pertentangan antar norma dalam peraturan perundang-
undangan, kenyataan ini tidak dapat dibenarkan dari sudut ilmu hukum sebab hukum yang
mengatur masyarakat semestinya memiliki karakter yang sama dengan hukum fisika, yaitu
mengandung sebuah keteraturan atau keajegan atau kepastian. Adalah menjadi tugas hakim
untuk membuat jelas norma yang tidak jelas melalui putusan atas sebuah perkara. Hukum
fisika selalu memperlihatkan adanya keteraturan dan kepastian, misalkan air jika dipanaskan
pasti mendidih dan menguap atau air jika mencapai derajad terendah tertentu pasti membeku.

Dimana pun dan kapan pun, air akan memperlihatkan sifat-sifat seperti itu. Hukum yang
mengatur masyarakat atau perilaku subjek hukum semestinya juga memiliki sifat keteraturan,
keajegan dan kepastian itu. Misalkan, jika asas hukum mengatakan bahwa setiap pembeli
benda tidak bergerak yang beriktikad baik wajib memperoleh perlindungan hukum, walaupun
ternyata belakangan diketahui bahwa penjual bukan pihak yang berhak atas benda yang
diperjual belikan, maka semua majelis hakim dalam berbagai tingkat peradilan wajib
menerapkan asas ini dalam mengadili perkara-perkara yang salah satu atau lebih pihaknya
dianggap sebagai pembeli beriktikad baik. Adalah menjadi tugas majelis hakim agung untuk
mengoreksi atau memperbaiki putusan hakim bawahan jika ternyata putusan hakim bawahan
telah melanggar asas hukum perlindungan terhadap pembeli beriktikad baik.Sebaliknya, jika
dalam sebuah perkara pembeli beriktikad baik dilindungi tetapi dalam perkara lainnya
pembeli beriktikad baik tidak memperoleh perlindungan hukum, maka dalam situasi seperti
ini terjadi ketidakadilan dan ketidakpastian hukum, atau ketidakteraturan hukum sebaliknya
yang terjadi adalah kekacauan hukum.

Di dalam tradisi “common law” keteraturan, keajegan, keadilan dan kepastian hukum
dibangun dengan merujuk prinsip stare decisis yaitu “like cases should be decided alike”
(perkara yang sejenis atau mirip harus diputus dengan putusan yang mirip pula). Berdasarkan
prinsip stare decisis, hakim dalam mengadili sebuah perkara harus mempedomani precedent,
9
yaitu putusan hakim yang lebih tinggi yang telah membuat putusan atas kasus yang serupa
pada masa lalu. Meskipun sistem hukum Indonesia tidak menganut doktrin stare decisis
tetapi terjadinya perbedaan putusan dalam perkara-perkara yang mirip atau serupa tidak dapat
dibenarkan pula karena hal itu bertentangan dengan rasa keadilan, kepastian hukum dan
keteraturan hukum. Di dalam sistem hukum Eropa Kontinental, dikenal konsep yang disebut
“legal uniformity” (kesatuan hukum). Sistem Peradilan Indonesia yang merupakan penganut
sistem hukum Eropa Kontinental tentu harus pula membangun kesatuan hukum agar hukum
Indonesia, khususnya praktik peradilan Indonesia menghasilkan putusan yang konsisten atau
teratur sehingga rasa keadilan dan kepastian hukum dapat mewujud.

2. Rapat Pleno Kamar: Forum Menyatukan Pandangan Hukum Para Hakim Agung
Sejak pemberlakuan sistem kamar pada Mahkamah Agung, masing-masing kamar secara
periodik menyelenggarakan rapat pleno kamar.Rapat pleno kamar berfungsi sebagai forum
bagi para hakim agung untuk membahas penyelesaian permasalahan-permasalahan hukum
yang belum ada kesamaan pendapat di antara para hakim agung.Di dalam rapat pleno ini,
para hakim agung berdebat atau adu pendapat untuk mencapai kesatuan pendapat atau
pandangan hukum tentang penyelesaian sebuah permasalahan hukum.

Pada kenyataannya adalah tidak mudah bagi para hakim agung menyatukan pendapat.
Ketidakmudahan untuk mencapai kesatuan pendapat bersumber dari adanya pandangan
bahwa setiap majelis atau bahkan setiap hakim agung yang memeriksa dan memutus perkara
pada dasarnya adalah mandiri (independent). Pandangan bahwa hakim adalah mandiri
memang mengandung sebuah kebenaran dan keniscayaan, tetapi jika nilai dasar kualitas
hakim itu digunakan sebagai dasar untuk penolakan upaya mencapai suatu kesatuan pendapat
hukum, maka argumen itu dapat membahayakan upaya mewujudkan kesatuan hukum dalam
sistem peradilan Indonesia. Kemandirian hakim mesti diartikan sebagai hakim bebas dari
pengaruh lain pada waktu mengadili sebuah perkara. Sebaliknya, perdebatan dalam kamar
adalah upaya mencapai kesepakatan pendapat terhadap norma yang masih kabur, penuh multi
tafsir, terlalu umum perlu eloborasi, atau pertentangan norma dalam undang-undang.

Misalkan, kembali kepada contoh terkait asas hukum bahwa pembeli beriktikad baik harus
dilindungi, semua hakim agung atau hakim pada umumnya mengakui asas tersebut karena
sudah turun temurun dikuliahkan oleh para dosen di fakultas hukum sejak dulu, tetapi
persoalan yang muncul adalah pada detilnya, yaitu apakah kriteria pembeli beriktikad baik.

10
Oleh karena itu, dalam sebuah majelis mungkin saja terdapat kesamaan pendapat dalam hal
konsep umum tetapi berbeda pendapat dalam hal elaborasi atau detilnya. Rapat pleno kamar
diharapkan dapat menjembatani para hakim agung untuk mencapai kesamaan pendapat tidak
saja dalam hal konsep dasar tetapi juga detil atau perwujudan atau eloborasi dari konsep dasar
itu. Namun demikian, kekuatan mengikat putusan kamar terhadap setiap hakim agung adalah
bersifat moral dan tidak ada konsekuensi hukum apapun, sesuai Keputusan Ketua Mahkamah
Agung No. 142/KMA/SK/IX/2011 pada angka 8: ”Putusan Rapat Pleno Kamar sedapat-
dapatnya ditaati oleh majelis hakim.”
Ketidakmudahan lain untuk mempersamakan pendapat hakim agung bersumber pada
putusan-putusan terdahulu yang tidak dapat diakses dengan mudah melalui website
Mahkamah Agung karena tidak semua putusan-putusan terdahulu yang mengandung
pandangan hukum berbeda berbeda atas permasalahan hukum yang sama telah diungguh ke
dalam website atau tersedia dalam bentuk kopi lunak. Untuk mempersatukan pendapat di
antara para hakim agung yang sekarang tentu diperlukan untuk membaca dan memahami
“reason” dalam putusan-putusan dari majelis-majelis hakim agung terdahulu, sehingga
dengan demikian hakim agung generasi sekarang dapat mengambil sikap atau pandangan atas
pandangan yang berbeda di antara para pendahulu.

Oleh sebab itu, keberhasilan sistem kamar perlu didukung oleh manajemen peradilan berbasis
teknologi. Selain itu, teknologi informasi juga diperlukan untuk mengakses perkembangan
terbaru peraturan perundang-undangan dan ringkasan karya-karya atau pandangan hukum
para sarjana yang mungkin relevan digunakan untuk menjadi rujukan dalam putusan.
Terlepas dari adanya tantangan-tantangan untuk mencapai kesatuan pendapat para hakim
agung, sejak pemberlakuan sistem kamar, masing-masing kamar telah menghasilkan
kesepakatan tentang kaidah-kaidah hukum atas sejumlah permasalahan hukum yang telah
dipublikasikan oleh Sekretariat Kepaniteraan Mahkamah Agung, sehingga hakim bawahan
dan masyarakat pencari keadilan atau masyarakat pada umumnya dapat memahami rumusan
kaidah hukum hasil rapat kamar. Fakta ini tentunya merupakan sebuah kemajuan dalam
kaitan dengan upaya membangun sebuah kesatuan hukum (legal uniformity).
3. Rapat Pleno Antar Kamar
Tantangan bagi sistem peradilan Indonesia menghasilkan kesatuan hukum adalah juga
bersumber pada sistem peradilan Indonesia yang mengenal lebih dari satu lingkungan
peradilan. Oleh karena itu, tidak jarang permasalahan hukum yang terjadi berada pada titik
singgung kewenangan mengadili antara dua lingkungan peradilan, misalkan antara peradilan

11
umum dan peradilan agama terkait budel waris yang telah dijual atau titik singgung antara
peradilan umum dan peradilan tata usaha negara terkait sengketa kepemilikan dan keputusan
tata usaha negara tentang bukti kepemilikan. Untuk mengatasi permsalahan titik singgung
kewenangan antar dua lingkungan peradilan ini, rapat pleno kamar diadakan.
Terjadinya perbedaan putusan-putusan majelis hakim agung untuk perkara-perkara yang
mengandung permasalahan hukum sejenis atau serupa merupakan hambatan bagi
terwujudnya keadilan dan kepastian hukum.

Sistem kamar merupakan upaya untuk mengatasi hambatan itu sehingga sistem peradilan
Indonesia dapat mewujudkan kesatuan hukum. Kesatuan hukum diperlukan karena para
pencari keadilan dalam berbagai perkara akan memperoleh penyelesaian yang serupa untuk
permasalahan hukum yang serupa sehingga terdapat perlakuan sama. Agar sistem kamar
dapat memenuhi fungsinya, diperlukan pula dukungan manajemen perkara yang berbasis
teknologi guna mengakses putusan-putusan terdahulu serta perkembangan peraturan
perundang-undangan dan ringkasan karya-karya tulis para sarjana. Satuan Kerja di bawah
Mahkamah Agung, terutama Pusat Penelitian Pengembangan Badan Penelitian dan
Pengembangan, Pendidikan Pelatihan Hukum dan Peradilan perlu meneliti dan mengkaji pula
secara periodik untuk mengetahui sejauhmana kesatuan hukum telah dapat diwujudkan sejak
pemberlakuan sistem kamar.

12
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Mahkamah Agung adalah sebuah lembaga Negara yang berwenang mengadili pada tingkat
kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undangundang terhadap undang-
undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Mahkamah
Agung (disingkat MA) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah
Konstitusi. Mahkamah Agung dipimpin oleh seorang ketua. Ketua Mahkamah Agung dipilih
dari dan oleh hakim agung, dan diangkat oleh Presiden. Hakim Agung dipilih dari hakim karier
dan Non karier, profesional atau akademisi. Mahkamah Agung memiliki hakim agung
sebanyak maksimal 60 orang. Hakim agung dapat berasal dari sistem karier (hakim), atau tidak
berdasarkan sistem karier dari kalangan profesi atau akademisi. Tugas Hakim Agung adalah
Mengadili dan memutus perkara pada tingkat Kasasi dan Peninjauan Kembali (PK).

Administrasi peradilan, terutama di tingkat Mahkamah Agung mendapat sorotan oleh


berbagai pihak, tidak hanya menyangkut proses birokratisasinya yang begitu panjang, tetapi
juga menyangkut tenggang waktu yang lama. Hal demikian menimbulkan spekulasi opini
dikalangan masyarakat tentang adanya permainan menyangkut administrasi peradilan, dan ini
bukan merupakan rahasia umum lagi. Panjangnya birokrasi yang dilalui dalam proses peradilan
dan lamanya proses peradilan membuka ruang untuk melakukan tawar-menawar antara pencari
keadilan yang mempunyai kemampuan, baik dari segi ekonomi maupun dari segi kekuasaan
dan tidak mustahil aktivitas ini tidak ada yang melakukannya.

13
DAFTAR PUSTAKA
Kevin Angkouw, Jurnal Fungsi Mahkamah Agung Sebagai Pengawas Internal Tugas Hakim
Dalam Proses Peradilan

Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Universitas Muhammadiyah Malang,
Malang, 2009.

Takkas Marudut, Aswanto dan Alma Manuputty, Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM)
Terhadap Hak Tersangka Dalam Lembaga Praperadilan, Jurnal Penelitian Hukum, Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, 2013

14

Anda mungkin juga menyukai