Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH PRAKTEK PENYIDIKAN

TINDAN PIDANA PENGANIAYAAN

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Praktek Penyidikan

Dosen Pengampu : Dr. Drs. H. Jayadi, MH

Disusun Oleh:

Nama: Felita azzahra Hariadi

Nim: 207421003

Jurusan: Ilmu Hukum s1 semester V

PROGRAM STUDI PRAKTEK PENYIDIKAN

JURUSAN S1 ILMU HUKUM

SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM LITIGASI

2022/2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan karya ilmiah tentang "Tindak Pidana
Penganiayaanr".
Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut
memberikan kontribusi dalam penyusunan karya ilmiah ini. Tentunya, tidak akan bisa
maksimal jika tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak.Sebagai penyusun, kami
menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari penyusunan maupun tata bahasa
penyampaian dalam karya ilmiah ini. Oleh karena itu, kami dengan rendah hati menerima
saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki karya ilmiah ini.Kami
berharap semoga karya ilmiah yang kami susun ini memberikan manfaat dan juga
inspirasi untuk pembaca.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Jakarta pusat 27,oktober 2022

Felita Azzahra

DAFTAR ISI
KATAPENGANTAR.......................................................................................... i
DAFTAR ISI................…...................................................................................... ii
ABSTRAK.......................................................................................................…....1
BAB 1 .........................................................… ..................................................…..2
PENDAHULUAN ...............…………….....................................................................2
1.1. Latar Belakang.......................
………………………………….......................................2
1.2.Rumusan Masalah...................………..................................................................5
1.3TujuanPenulisan.................................................................................................5
2.4Manfaat Penelitian ............……………...................................................................5
1.5.Kerangka Teori .....................................……………..............................................5
BAB II...............................……………........................................................................7
METODE PENULISAN........................................................................................7
2.1.SumberData Penulisan .................................................……..............................7
2.2.Waktu Penulisan .............................................................................................7
2.3.Kerangka Penulisan ...........................................................……….....................7
BAB III .............................………….........................................................................9
PEMBAHASAN.............................................................................................…....9
BAB V ...............................................................…….............................................17
PENUTUP ............................................................................................................1
7
3.1.Kesimpulan ...............................…..................................................................17
3.2.Saran .............................................................................................................17
Abstract

Tindakan main hakim sendiri adalah cara yang digunakan oleh sebagian masyarakat
dalam menghajar para pelaku kejahatan, terkadang tindak pidana penganiayaan ini
menyebabkan korban jiwa. Ada terdapat beberapa konsep hukum yang dijelaskan dalam
membedakan aksi penganiayaan, kekerasan dan pembelaan. Hal ini merupakan tujuan
untuk menganalisis penyebab main hakim sendiri (Eigenrechting) dengan metode
normatif dan KUHP sebagai pendekatan masalah yang digunakan. Bahan hukum diambil
dari pendapat dan teori literatur hukum sebagai bahan sekunder, dengan menggunakan
pengumpulan bahan hukum untuk studi kajian hukum. Analisis bahan hukum dari
penelitian pustaka atau pendapat para ahli, serta di klasifikasi dalam penyusunan
sistematis. Dalam konsep pidana penganiayaan terdapat pasal dalam KUHP yang telah
mengatur dan menetapkan hukum pidananya. Pasal yang dijelaskan mulai dari pasal 351
sampai pasal 358 yang tercantum dalam bab-10 buku ke-2 tentang kejahatan. Pasal 170
lebih membahas tentang kekerasan dan 406 tentang perusakan yang dilakukan oleh suatu
kelompok, kerumunan atau massa. Kejahatan itu bukanlah suatu kejahatan apabila tidak
ada hukum yang mengaturnya. Pembelaan, itulah yang akan terjadi bila sebagian orang
telah direbut haknya, dalam upaya pembelaan (noodweer) memang mengandung usur
perlawanan dan melanggar hukum, namun dapat terbebas dari itu semua karena ada
alasan dalam usaha pembelaan itu, yang nantinya dibuktikan dalam proses persidangan.
Hakim mungkin masih dapat mempertimbangkan perbuatan pembelaan (noodweer) yang
melampaui batas (noodweer exces) hal ini diatur dalam pasal 49 KUHP. Kondisi
memaksa juga dapat membuat sesorang terlepas dari jerat hukum asalkan unsurnya
terpenuhi. Dalam kondisi memaksa (overmacht) seseorang mengalami tekanan dari luar
untuk melakukan tindak pidana yang sebenarnya tidak diinginkannnya. Hal yang di luar
kendalinya tentu tidak dapat dipidanakan, karena alasan overmacht tersebut yang
dijelaskan dalam pasal 48 KUHP. Tindakan penganiayaan dalam KUHP diartikan
tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk melukai atau menyakiti anggota tubuh
orang lain. Ada pepatah mengatakan mata dibalas mata, gigi dibalas gigi. Lex Talionis
adalah suatu asas bahwa orang yang telah melukai orang lain harus diganjar dengan luka
yang sama, atau menurut interpretasi lain korban atau tersangka harus menerima ganti
rugi yang setimpal. Terakhir sebagaimana orang bijak berkata “sebaik-baiknya hukum
yang dibuat dan diberlakukan, namun jika penegak hukumnya korup, maka sama saja
dengan hancurnya hukum itu sendiri.
BAB I

PENDAHULUAN

Dapat kita soroti bahwa dewasa ini pemberitaan di media cetak sampai dengan media
elektronik, tak henti-hentinya memperbincangkan permasalahan kejahatan karena
senantiasa melingkupi kehidupan bermasyarakat. Kejahatan dapat diartikan sebagai
sebuah tindakan yang menyimpang, di mana perbuatan tersebut dianggap bertentangan
dengan hukum yang berlaku di dalam suatu negara.1 Kejahatan ini tentunya dapat terjadi
dimanapun, kapanpun, dan terhadap siapapun, sehingga tentu dapat merugikan
masyarakat, baik dari segi kesusilaan, kesopanan, dan ketertiban.2 Salah satu kejahatan
yang kerap kali terjadi di sekitar kita ialah kejahatan dalam bentuk kekerasan yakni
penganiayaan. Tindak pidana penganiayaan ini seringkali berupa pemukulan dan
kekerasan fisik yang acap kali menyebabkan korban terluka termasuk cacat fisik seumur
hidup3 sebagaimana yang termaktub pada Pasal 90 KUHP. Menilik dari beberapa
fenomena tindak pidana penganiayaan yang terjadi di Indonesia, tak jarang dapat kita
jumpai pula oknumoknum yang dengan sengaja merencanakan penganiayaan kepada
orang lain atau yang lebih dikenal dengan istilah “penganiayaan berencana”. Adapun
beberapa faktor yang melatarbelakangi tindakan tersebut ialah seperti perasaan
dikhianati, direndahkan, perselisihan,1

1
1 Abi
Prakoso, Kriminologi dan Hukum Pidana, (Yogyakarta : Laksbang Pressindo, 2017), hal. 100.
2 Teguh Sulistia dan Aria Zurmetti, Hukum Pidana: Horizon Baru Pasca Reformasi, (Jakarta : Rajawali
Pers), 2011, hal. 53.
3Fikri, “Analisis Yuridis Terhadap Delik Penganiayaan Berencana (Studi Kasus Putusan
No.63/Pid.B/2012/PN.Dgl)”, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, Edisi 2, Vol.1, 2013, hal.2.
1.1Latar Belakang Masalah

Hukum merupakan pilar utama dalam menggerakkan sendi-sendi


kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.2 Salah satu ciri utama dari
suatu negara hukum yaitu terletak pada kecenderungannya untuk menilai
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh masyarakat atas dasar peraturan-peraturan
hukumnya. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini telah dijelaskan dalam
Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai sebuah
Negara Hukum, maka Indonesia harus menjadikan hukum sebagai sarana dalam
mewujudkan tujuan-tujuan negaranya karena ketertiban negara akan terjadi ketika
ketertiban hukum yang mampu mendorong dan merealisasikannya. Oleh karena
negara hadir untuk mewujudkan sebuah kesejahteraan dan kedamaian sosial,
maka sudah sepatutnya pula hukum hadir untuk mewujudkan sebuah
kesejahteraan dan kedamaian sosial. Kesejahteraan dan kedamaian itu sendiri
haruslah dimaknai dengan gambaran bahwa tidak adanya gangguan terhadap
ketertiban serta tidak ada batasan terhadap kebebasan yang mana hanya ada
ketentraman dan ketenangan pribadi tanpa adanya gangguan dari pihak lain.

Peraturan perundang-undangan tersebut yang mana Indonesia dalam konsep


negara hukumnya selalu mengatur setiap tindakan serta tingkah laku
masyarakatnya yang berdasarkan atas undang-undang yang berlaku untuk
menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup
agar dapat sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam Pancasila dan Undang-
undangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa setiap warga
negara berhak atas rasa aman dan bebas dari segala bentuk kejahatan.

2
Pilar;adalah Tiang Penguat (Bangunan), Pilar juga sebagai dasar (yang pokok) atau induk serta tiang penyangga.
Setiap warga negara wajib “menjunjung hukum”. Dalam kenyataannya
sehari-hari bahwa warga negara yang lalai atau sengaja tidak melaksanakan
kewajibannya sehingga dapat merugikan masyarakat, dikatakan bahwa warga
negara tersebut melanggar hukum karena kewajiban tersebut telah ditentukan
berdasarkan hukum (Marpaung, 2009:22).3
Hukum pidana merupakan salah satu sub bagian dari hukum yang juga
menghendaki perwujudan atas hal ketentraman serta ketertiban dalam
masyarakat, karena eksistensi hukum pidana dalam masyarakat tidak terlepas
dari upaya negara dalam mewujudkan ketertiban. Hal ini dijamin oleh sebuah
paradigma, dimana bahwa hukum pidana hadir dengan tujuan untuk melindungi
dan memelihara ketertiban hukum guna mempertahankan keamanan dan
ketertiban masyarakat (Marpaung, 2009:4). Akan tetapi, dalam kehidupan yang
riil dapat dipastikan bahwa akan selalu saja ditemukan adanya peristiwa-
peristiwa yang menjadi serta dalam memberi pengaruh dan penyebab
terganggunya keamanan dan ketertiban di dalam masyarakat.
Kejahatan kekerasan tidak pernah lenyap dari keberadaan manusia
sepanjang masa karena kejahatan tidak mungkin ditiadakan sama sekali selama
manusia hidup bermasyarakat. Namun hal tersebut dapat dikurangi dengan
mencegah perluasan dari tindak kejahatan, tetapi tidak menghilangkannya. Maka
tidak suatu hal yang mustahil bagi manusia untuk melakukan kesalahan-
kesalahan yang dilakukan baik itu secara sengaja maupun tidak sengaja yang
dapat merugikan orang lain dan/atau melanggar hukum, kesalahan itu dapat
berupa suatu tindak pidana (delik).

3
Proses penanganan perkara pidana penyelidikan dan penyidikan bagian pertama edisi kedua / oleh Leden Marpaung
Peraturan yang melarang seseorang untuk melakukan tindak pidana dalam
kejahatan terhadap nyawa orang lain yang termuat di dalam Undang-Undang
Dasar 1945 dalam Pasal 28 A yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak untuk
hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Bila dilihat dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang selanjutnya disingkat KUHP segera
dapat diketahui bahwa pembentuk undang-undang telah bermaksud mengatur
ketentuan-ketentuan pidana tentang kejahatan-kejahatan yang ditujukan terhadap
nyawa orang dalam Buku ke II Bab ke-XIX KUHP yang terdiri dari tiga belas
pasal, yakni dari Pasal 338 sampai dengan Pasal 350 (Lamintang, 2012:11).
Walaupun telah diatur di dalam Undang-undang maupun di dalam KUHP,
namun kasus pembunuhan masih menjadi kejahatan yang paling sering dan
marak terjadi di masyarakat. Berbagai faktor menjadi pemicunya yaitu seperti
ada yang disertai oleh tindak pidana kekerasan atau penganiayaan dalam
lingkungan keluarga ataupun rumah tangga, dalam lingkungan pertemanan,
pemerkosaan, perampokan, penipuan, atau pertengkaran dalam menjalani
hubungann kekasih yang berujung pembunuhan, serta kejahatan lainnya. Dalam
hal ini muaranya hanya satu, dimana pembunuhan sangat gampang dilakukan
dan banyak orang merasa bahwa pembunuhan adalah jalan yang paling aman
dalam menuntaskan rasa sakit hatinya.
Pembunuhan yang dilakukan oleh kekasih atau kekerasan yang dilakukan
dalam berpacaran yang menyebabkan kematian biasanya bersifat konfliktual
atau akumulatif, yang mana artinya disini bahwa pembunuhan tersebut terjadi
karena bermula dari konflik yang kecil menjadi besar yang terus menerus terjadi
secara berkepanjangan ataupun adanya orang ketiga yang menjadi
kesalahpahaman dalam hubungan berpacaran sehingga menimbulkan rasa
cemburu, marah, emosional atau timbulnya rasa sakit hati.
Delik yang digunakan dalam kasus pembunuhan adalah delik materiil dimana
suatu perbuatan itu dilakukan dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain.
Perumusannya menitikberatkan kepada akibat yang dilarang dan diancam
dengan pidana oleh undang-undang, dengan kata lain hanya disebut rumusan
dari akibat perbuatannya (Marpaung, 2009:8). Delik pembunuhan jelas
merupakan salah satu delik yang bertentangan dengan keadaan alamiah manusia,
karena sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa manusia tidak boleh
mengganggu hidup sesamanya.
Jika matinya seseorang karena penganiayaan, dirumuskan dalam Pasal
351 KUHP orang dapat mengetahui bahwa Undang-undang hanya
berbicara mengenai penganiayaan tanpa menyebutkan unsur-unsur dari
tindak pidana penganiayaan itu sendiri, kecuali hanya menjelaskan
bahwa kesengajaan merugikan kesehatan (orang lain) itu adalah sama
dengan penganiayaan. Dimana yang dimaksud dengan penganiayaan itu
adalah kesengajaan menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan luka pada
tubuh orang lain (Lamintang, 2012:132).
Untuk menyebutkan seseorang itu telah melakukan penganiayaan
terhadap orang lain, maka orang tersebut harus mempunyai opzet atau
suatu kesengajaan untuk:
a. Menimbulkan rasa sakit pada orang lain,

b. Menimbulkan luka pada tubuh orang lain atau


c. Merugikan kesehatan orang lain. Dengan kata lain, orang tersebut
harus mempunya opzet yang ditujukan pada perbuatan untuk
menimbulkan rasa sakit pada orang lain atau untuk menimbulkan
luka pada tubuh orang lain ataupun untuk merugikan kesehatan
orang lain (Lamintang, 2012:132).
Akan tetapi, jika kematian korban memang menjadi tujuan awal dari si
pelaku, maka pelakunya dapat dijerat dengan Pasal 338 KUHP
walaupun kematian tersebut diawali dengan adanya pembacokan atau
penganiayaan. Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan oleh R. Soesilo
dalam bukunya yang menyatakan bahwa luka berat atau mati disini
(Pasal 351 KUHP) harus hanya merupakan akibat yang tidak dimaksud
oleh si pembuat. Apabila luka berat itu

d.Merugikan kesehatan orang lain. Dengan kata lain, orang tersebut


harus mempunya opzet yang ditujukan pada perbuatan untuk
menimbulkan rasa sakit pada orang lain atau untuk menimbulkan luka
pada tubuh orang lain ataupun untuk merugikan kesehatan orang lain
(Lamintang, 2012:132).
Akan tetapi, jika kematian korban memang menjadi tujuan awal dari si
pelaku, maka pelakunya dapat dijerat dengan Pasal 338 KUHP walaupun
kematian tersebut diawali dengan adanya pembacokan atau penganiayaan. Hal
ini sebagaimana yang telah dijelaskan oleh R. Soesilo dalam bukunya yang
menyatakan bahwa luka berat atau mati disini (Pasal 351 KUHP) harus hanya
merupakan akibat yang tidak dimaksud oleh si pembuat. Apabila luka berat itu
dimaksud, akan dikenakan Pasal 354 KUHP (penganiayaan berat) dan apabila
penganiayaan tersebut menyebabkan matinya orang maka akan dikenakan Pasal
351 ayat (3). Sedangkan jika kematian itu dimaksudkan oleh si pelaku, maka
perbuatan tersebut masuk ke pembunuhan (Pasal 338). Hal ini juga semakin
diperkuat dengan penjelasan R. Soesilo terkait dengan Pasal 338 KUHP, yang
menyatakan bahwa kejahatan ini dinamakan makar mati atau pembunuhan.
Dimana disini diperlukan perbuatan yang mengakibatkan kematian orang lain,
sedangkan kematian itu disengaja yang mana artinya dimaksud yang termasuk
dalam niatnya (Soesilo, 1995:240).

Jadi, dari penjelasan di atas haruslah dilihat terlebih dahulu tujuan dari perbuatan
si pelaku, apakah memang si pelaku dalam menganiaya sampai menyebabkan
matinya si korban memang berniat untuk membunuh si korban atau hanya
menganiaya korban yang mana kematian korban bukan menjadi tujuan
sipelaku melainkan hanya berniat untuk membuat si korban merasakan sakit,
menyebabkan perasaan tidak enak, atau luka saja.Tindak pidana pembunuhan
pada dasarnya telah mengalami improvisasi seperti mutilasi, pembunuhan
disertai dengan perampokan atau disertai dengan kasus pemerkosaan, dan
pembunuhan yang dilakukan karena emosional. Apalagi terhadap pembunuhan
yang dilakukan karena rasa emosional yang tinggi maka akan dikaitkan dengan
pembunuhan biasa, sebagaimana dalam Pasal 338 KUHP. Dimana problem yang
memicu tindak pembunuhan yang dilakukan karena rasa emosional yang tinggi,
hal ini dapat diakibatkan oleh tingkat pendidikan, moral, emosional,
kecemburuan yang tinggi, serta akhlak dan agama yang tidak berfungsi lagi
terhadap sesama manusia.
Meskipun segala tingkah laku dan perbuatan yang telah diatur dalam setiap
undang-undang, kejahatan masih saja marak terjadi di negara ini. Salah satunya
yaitu kejahatan terhadap penganiayaan yang dilakukan secara sengaja dengan
niat yang tidak lain adalah kejahatan tindak pidana. Jenis kejahatan tersebut
dapat juga disebabkan adanya dampak negatif yang timbul dari adanya
pembangunan yang berdampak pada lahirnya kesenjangan soaial dalam
masyarakat. Hal tersebutlah yang menjadi salah satu pemicu rasa iri maupun
dengki yang mengakibatkan adanya masalah sosial seperti agresivitas di
masyarakat, serta masalah yang menjadi tugas pemerintah untuk mengatasi
masalah kesenjangan sosil yang juga memicu tindak kejahatan seperti pencurian,
perampokan, penganiayaan, hingga pembunuhan. Melihat pada kasus
penganiayaan di wilayah jakarta pusat tepatnya di c e m p a k a p u t i h ,

Terdakwa dalam kesaksiannya yang tercantum didalam Putusan perkara


Terdakwa tidak ada niat untuk menganiaya korban namun terdakwa hanya
berniat untuk memarahi korban saja tanpa membunuhnya. Tetapi majelis hakim
berpendapat bahwa dari dalam diri terdakwa terdapat kesengajaan dengan
kesadaran dan tidak dalam pengaruh hal- hal eksternal yang membuatnya berada
di luar kesadarannya yang mengakibatkan korban mengalami luka Berdasarkan
latar belakang yang telah diuraikan diatas penulis tertarik mengkaji lebih lanjut
untuk menulis dalam bentuk penelitian.
1.2 Identifikasi Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah ditulis oleh peneliti diatas, peneliti
memberikan Identifikasi masalah yang akan dijadikan bahan penelitian sebagai
berikut:
1. Di Indonesia kejahatan terhadap nyawa orang lain telah diatur di dalam
UUD 1945 dan di dalam KUHP, namun masih saja terjadi peristiwa-
peristiwa kejahatan terhadap nyawa dalam lingkungan masyarakat.

2. Berbagai faktor menjadi pemicu dalam kasus penganiayaan, begitu juga


kasus yang terjadi antara ibu ibu dengan tetangganya yang berakhir
dengan penganiayaan
3. Penyebab munculnya konflik yang terjadi antara korban dengan terdakwa
sehingga menyebabkan si korban mengalami penganiayaan
4. Pertimbangan majelis hakim dalam memutus perkara penganiayaan ini
sehingga majelis hakim yakin bahwa peristiwa ini memang dilakukan
dengan sengaja dan dengan niat oleh si pelaku.

Maksud Dan Tujuan Penulisan


untuk menyampaikan informasi seputar penelitian yang sudah dibuat oleh penulis.
Informasi-informasi yang disampaikan tentunya diharapkan dapat berguna bagi
masyarakat. Komunikasi tertulis untuk menyampaikan suatu maksud kepada
pihak yang disarankan.
1.3 Pembatasan Masalah

Pembatasan-pembatasan pada pembahasan terhadap permasalahan di atas


sangatlah diperlukan untuk mendapatkan kejelasan yang lebih terarah.
Berdasarkan hal tersebut, maka bahasannya yaitu mengenai penjatuhan sanksi
terhadap tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan hilangnya nyawa orang
lain dalam perkara
1.4 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka masalah yang dapat


diidentifikasi adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana penerapan unsur-unsur tindak pidana pembunuhan berdasarkan
Pasal 353 KUHP dalam perkara
2. Bagaimana pertimbangan Majelis Hakim dalam menjatuhkan hukuman
terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan dalam perkara?

1.5 Tujuan Penelitian

a. Tujuan Umum Untuk mengetahui bagaimana penjatuhan sanksi


terhadap tindak pidana pembunuhan.
b. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui penerapan unsur-unsur tindak pidana


penganiayaan sehingga perkara dijatuhi Pasal 353 ayat 1 dan 2
KUHP.
2. Untuk mengetahui bagaimana pertimbangan majelis hakim dalam
menjatuhkan hukuman terhadap pelaku tindak pidana
penganiayaan dalam perkara
1.6 Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi teoritis dan

konsep dasar hukum nasional dengan mengkhusus dari penjatuhan sanksi

terhadap tindak pidana pembunuhan dengan penganiayaan.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Penulis

Menambah wawasan penulis mengenai penjatuhan sanksi terhadap

tindak pidana pembunuhan untuk selanjutnya dijadikan sebagai

pegangan dalam pembelajaran.

b. Bagi Masyarakat

Menambah pemahaman serta memberikan gambaran kepada

masyarakat mengenai penjatuhan sanksi dan akibat yang ditimbulkan

terhadap tindak pidana penganiayaan agar masyarakat sadar dan

kejahatan terhadap nyawa orang lain tidak lagi marak terjadi sehingga

tidak lagi menimbulkan keresahan yang muncul dalam lingkungan

masyarakat.

c. Bagi Instansi Terkait

1) Menambah pengetahuan Hakim lain ataupun Cakim dalam

menggunakan unsur-unsur yang tepat dalam menentukan

penjatuhan pidana atas kasus terkait serta tentang cara Majelis

Hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan hukuman

terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan.

2) Sebagai bahan referensi dalam menjatuhkan pidana terhadap

kasus yang serupa.


BAB II
METODE PENULISAN

2.1 Sumber Data Penulisan

Jenis data yang dipergunakan adalah data kualitatif yakni data yang bersifat bukan
angka sedangkan sumber data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah :

1. Data Primer,yaitu data yang diperoleh melaluiwawancara dan penelitian secara


langsung dengan pihak-pihak terkait untuk memperoleh informasi guna
melengkapi data.

2. Data Sekunder,yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustaan dengan cara
membaca buku-buku ilmiah,dokumen-dokemen serta peraturan perundang-
undangan yang berhubungan denganpenelitian.Data jenis ini diperoleh melalui
perpustakan atau dokumentasi pada instansi terkait.

2.2 Waktu Penulisan


Senin 20 Oktober 2022 Sampai dengan Rabu, 27 Oktober 2022

2.3Kerangka Teori
diartikannya sebagai “suatu melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan
dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat
dipertanggungjawabkan Strafbaarfeit juga diartikan oleh pompe sebagai Suatu
pelanggaran norma (gangguan terhadap tertip hukum) yang dengan sengaja
ataupun yang tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana
penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut perlu demi terpeliharanya tata tertib
hukum. Adapun Simon merumuskan strafbaarfeit adalah Suatu tindakan
melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh seseorang dapat
dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah
dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. Pompe merumuskan
bahwa suatu strafbaarfeit itu sebenarnya adalah tidak lain daripada tindakan yang
menurut sesuatu rumusan Undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang
dapat dihukum.
Vos merumuskan bahwa suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh
peraturan perundang-undangan.6 Prof. Moeljatno, S.H, memberikan arti perbuatan
pidana mengandung pengertian bahwa kelakuan dan kejadian yang ditimbulkan
oleh kelakuan, perbuatan yang tidak dihubungkan dengan kesalahan yang
merupakan pertanggungan pidan pada orang yang melakukan perbuatan
pidananya.7 Istilah delik (delict) dalam bahasa Belanda disebut strafbaarfeit
dimana setelah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, oleh beberapa sarjana
hukum diartikan secara berlain-lainan sehingga otomatis pengertiannya berbeda. 4

4
Adami Chadawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 72.
7 Bambang Poernomo, 1994, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Yogyakarta, hal 129.
BAB III
Pembahasan

A.Pengertian Penganiayaan
Undang-Undang tidak memberikan ketentuan tentang maksud
“penganiayaan”. Dengan sengaja mengganggu kesehatan orang disamakan
dengan penganiayaan. Apabila penganiayaan itu membawa akibat matinyan orang
mkan hukumannya diperberat (Pasal 351 ayat 2 dan 3). Percobaan melakukan
penganiayaan, tidak dikenakan hukuman. Hal ini dapat dimengerti sebab, jika
tidak demikian, maka baru saja mengacungkan tangan sudah dapat dianggap
melakukan percobaan melakukan penganiayaan. Menurut Dr. Wirjono
Prodjodikoro, S.H., apabila seseorang hanya mengaku mencoba melukai biasa
orang lain dengan menembak orang lain itu, tetapi karena menembak hampir
selalu mengakibatkan luka berat atau matinya orang lain itu. Maka meskipun
hanya mengaku mencoba melakukan penganiayaan biasa tanpa ada tanda-tanda
lain si pelaku dapat saja dinyatakan melakukan percobaan penganiayaan berat,
dan karenanya dpat dikenakan hukuman.5
Demikianlah pula apabila seseorang menusuk orang lain dengan pisau tetapi
luput. Bahkan apabila seseorang hanya memukul dengan kepalan tangan tetapi
luput, jika yang memukul itu misalnya seorang juara tinju, maka dapat dinyatakan
orang itu melakukan tindak pidan mencoba menganiaya berat. Jadi dapat
dihukum.
Secara umum tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut “penganiayaan”,
mengenai arti dan makna kata penganiayaan tersebut banyak perbedaan diantara
para ahli hukum dalam memahaminya. Penganiayaan diartikan sebagai perbuatan
yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit (pijn) atas luka
(letsel) pada tubuh orang lain. (satochid kartanegara: 509). Adapula yang
memahami penganiayaan adalah “dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau
luka, kesengajaan itu harus dicantumkan dalam surat tuduhan” (Soenarto
Soerodibroto, 1994: 211), sedangkan dalam doktrin/ilmu pengetahuan hukum
pidana  penganiayaan mempunyai unsur sebagai berikut.

5
Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H.,
 Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia
, PT Eresco, Banung-Jakarta, 1969, hal. 26
a. Adanya kesengajaan.  
b. Adanya perbuatan

B.Unsur-unsur Penganiayaan
Menurut doktrin, penganiayaan mempunyai unsur-unsur sebagai
berikut:
a. Adanya kesengajaan.
Unsur kesengajaan merupakan unsur subjektif (kesalahan). Dalam tindak pidana
penganiayaan unsur kesengajaan harus diartikan sempit yaitu kesengajaan sebagai
maksud (opzet alsogmerk). Namun demikian patut menjadi catatan, bahwa
sekalipun kesengajaan dalam tindak pidana penganiayaan itu bisa ditafsirkan
kesengajaan dengan sadar akan kemungkinan tetapi penafsiran tersebut juga
terbatas pada adanya kesengajaan sebagai kemungkinan terhadap Akibat Artinya
kemungkinannya penafsiran secara luas terhadap unsur kesengajaan itu, yaitu
kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan sebagai kemungkinan, bahkan
kesengajaan sebagai kepastian, hanya dimungkinkan terhadap akibatnya.
Sementara terhadap perbuatannya sendiri haruslah merupakan tujuan pelaku.
Artinya perbuatan itu haruslah perbuatan yang benar-benar ditujukan oleh
pelakunya sebagai perbuatan yang dikehendaki atau dimaksudkannya.
b. Adanya perbuatan Unsur perbuatan merupakan unsur objektif. Perbuatan yang
dimaksud adalah aktifitas yang bersifat positif, dimana manusia
menggunakananggota tubuhnya untuk melakukan aktifitasnya sehari-hari,
sedangkan Sifat abstrak yang dimaksud adalah perbuatan yang mengandung sifat
kekerasan fisik dalam bentuk memukul, menendang, mencubit, mengiris,
membacok, dan sebagainya.6
c. Adanya akibat perbuatan (yang dituju), yakni:
1) Membuat perasaan tidak enak;
2) Rasa sakit pada tubuh, penderitaan yang tidak menampakkan
perubahan pada tubuh
3) Luka pada tubuh, menampakkan perubahan pada tubuh akibat
terjadinya penganiayaan.
4) Merusak kesehatan orang.

6
Tongat, 2003, Hukum Pidana Materiil: Tinjauan Atas TIndak Pidana Terhadap Subjek
Hukum dalam KUHP, Djambatan, Jakarta, hlm. 74
3. Jenis-jenis Tindak Penganiayaan
Kejahatan terhadap tubuh (penganiayaan) terbagi atas :
a. Penganiayaan Biasa (Pasal 351 KUHP) Penganiayaan biasa yang dapat
juga disebut dengan penganiayaan pokok atau bentuk standar terhadap
ketentuan Pasal 351 KUHP yaitu pada hakikatnya semua penganiayaan
yang bukan penganiayaan berat dan bukan penganiayaan
ringan.Mengamati Pasal 351 KUHP maka jenis
penganiayaan biasa,yakni :
1) Penganiayaan biasa yang tidak dapat menimbulkan luka berat maupun
kematian dan dihukum dengan hukuman penjara selamalamanya dua
tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus
rupiah.
2) Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat dan dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya lima tahun.
3) Penganiayaan mengakibatkan kematian dan di hukum dengan hukuman
penjara dan selama-lamanya tujuh tahun
4) Penganiayaan yang berupa sengaja merusak kesehatan Unsur-unsur
penganiayan biasa,yakni :
a) Adanya kesengajaan.
b) Adanya perbuatan
c) Adanya akibat perbuatan (yang dituju),yakni :
- Rasa sakit tubuh;dan/atau
- Luka pada tubuh
d) Akibat yang menjadi tujuan satu-satunya.
b. Penganiayaan Ringan ( Pasal 352 KUHP) Hal ini di atur dalam Pasal
352 KUHP.Menurut pasal ini,penganiayaan ringan ini ada dan diancam
dengan maksimum hukuman penjara tiga bulan atau denda tiga ratus
rupiah apabila tidak masuk dalam rumusan Pasal 353 dan Pasal 356
KUHP,dan tidak menyebabkan sakit atau halangan untuk menjalankan
jabatan atau pekerjaan.Hukuman ini bisa
ditambah dengan sepertiga bagi orang yang melakukan penganiayaan
ringan ini terhadap orang yang bekerja padanya atau yang ada di bawah
perintahnya.
Penganiayaan tersebut dalam Pasal 52 KUHP,yaitu suatu penganiayaan
yang tidak menjadikan sakit atau menjadikan terhalang untuk melakukan
jabatan atau pekerjaan shari-hari. Unsur-unsur dari penganiayaan ringan
adalah

uskan dilakukan
a) Bukan berupa penganiayaan berencana
b) Bukan penganiayaan yang dilakukan :
1) Terhadap ibu atau bapaknya yang sah,istri atau anaknya.
2) Terhadap pegawai negeri yang sedang dan/atau karena menjalankan
tugasnya yang sah.
3) Dengan memasukkan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan
untuk dimakan atau diminum.
c) Tidak menimbulkan :
1) Penyakit;
2) Halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatatn;atau
3) Pencaharian
c. Penganiayaan Berencana (Pasal 353 KUHP) Ada tiga macam
penganiayaan berencana yaitu :
1) Penganiyaan berencana yang tidak berakibat luka berat atau kematian
dan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.
2) Penganiayaan berencana yang berakibat luka berat dan dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.
3) Penganiayaan berencana yang berakibat kematian dan dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya Sembilan tahun. Unsur penganiayaan
berencana adalah direncanakan terlebih dahulu sebelum perbuatan
dilakukan.Penganiayaan dapat dikualifikasikan menjadi penganiayaan
berencana jika memenuhi syarat-syarat
1) Pengambilan keputusan untuk berbuat suatu kehendak dilakukan dalam
suasana batin yang tenang.
2) Sejak timbulnya kehendak/pengambilan putusan untuk berbuat sampai
dengan pelaksanaan perbuatan ada tenggang waktu yang cukup,sehingga
dapat digunakan olehnya untuk berpikir,antara lain :
a) Risiko apa yang ditanggung.
b) Bagaimana cara dan dengan alat apa serta bilamana saat yang tepat
untuk melaksanaknnya.
c) Bagaimana cara mengilangkan jejak.
3) Dalam melaksanakan perbuatan yang telah diputdalam suasana hati
yang tenang.
d. Penganiayaan Berat (Pasal 354 KUHP) Hal ini diatur dalam
pasal 345 KUHP :
1) Barangsiapa sengaja melukai berat orang lain,diancam karena
melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama
delapan tahun. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian,yang bersalah
diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun. Perbuatan
berat atau atau dapat disebut juga menjadikan berat pada tubuh orang
lain.Haruslah dilakukan dengan sengaja oleh orang yang menganiaya.
Unsur-unsur penganiayaan berat antara lain :
a) Kesalahannya: kesengajaan23
b) Perbuatan: melukai berat.
c) Objeknya: tubuh orang lain.
d) Akibat: luka berat.
Apabila dihubungkan dengan unsur kesengajaan maka kesengajaan ini
harus sekaligus ditujukan baik terhadap perbuatannya,Misalnya, menusuk
dengan pisau) maupun terhadap akibatnya, yakni luka berat. Istilah luka
berat menurut pasal 90 KUHP,berarti sebagai berikut :
Penyakit atau luka yang tidak dapat diharapkan akan sembuh dengan
sempurna atau yang menimbulkan bahaya maut. Menjadi senantiasa tidak
cakap mengerjakan pekerjaan jabatan atau pencaharian. Kehilangan
kemampuan memakai salah satu dari pancaindra Kekudung-kudungan
Gangguan daya berpikir selama lebih dari empat minggu. Pengguguran
kehamilan atau kematian anak yang masih ada dalam kandungan.
e. Penganiayaan Berat Berencana (Pasal 355 KUHP) Kejahatan ini
merupakan gabungan antara penganiayaan berat (Pasal 354 ayat 1 KUHP)
dan penganiayaan berencana (Pasal 353 ayat 2 KUHP).Kedua bentuk
penganiayaan ini terjadi secara serentak/bersama.Oleh karena itu,harus
terpenuhi baik unsur penganiayaan berat maupun unsur penganiayaan
berencana.Kematian dalam penganiayaan berat berencana bukanlah
menjadi tujuan.Dalam hal akibat,kesengajaan ditujukan pada akibat luka
beratnya saja dan tidk ada padakematian korban.Sebab,jika kesengajaan
terhadap matinya korban,maka disebut pembunuhan berencana. 18
f. Penganiayaan Terhadap Orang-Orang Berkualitas Tertentuatau Dengan
Cara Tertentu Memberatkan. Pidana yang ditentukan dalam Pasal 351,
353, 354 dan355 dapat ditambah dengan sepertiga :

1) Bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang


sah, istrinya atau anaknya;
2) Jika kejahatan itu dilakukan terhadap seorang pejabat ketika atau karena
menjalankan tugasnya yang sah;
3) Jika kejahatan itu dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya
bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum. Apabila
dicermati, maka Pasal 356 merupakan ketentuan yang memperberat
berbagai penganiayaan.Berdasarkan Pasal 356 KUHP ini terdapat dua hal
yang memberatkan berbagai penganiayaan yaitu:19
a) Kualitas korban
b) Cara atau modus penganiayaan
Demikian juga terhadap pegawai yang ketika atau karena melakukan
tugas-tugasnya yang sah, mereka membutuhkan perlindungan hukum yang
lebih besar agar dapat menunaikan tugas-tugas tersebut demi kepentingan
umum

1. Pembuktian dan Penerapan unsur Mens Rea pada


Perkara Penganiayaan Pasal 353 Ayat 2 KUHP
Sebelum membahas mengenai bagaimana pembuktian dan penerapan
unsur mens rea pada perkara penganiayaan Pasal 353 ayat 2 KUHP
dikaitkan dengan putusan, baiknya diketahui terlebih dahulu yang
dimaksud dengan tindak pidana penganiayaan. Di dalam rumusan KUHP
tindak pidana penganiayaan sejatinya tidak dijelaskan, sehingga untuk
menentukan batasan pengertian penganiayaan dipergunakan penafsiran
berdasarkan ilmu pengetahuan dan yurisprudensi seperti yang diutarakan
para ahli.
R. Soesilo berpendapat bahwa Undang-Undang tidak memberi ketentuan
apakah yang diartikan dengan penganiayaan (mishandeling) itu, namun
menurut yurisprudensi yang diartikan dengan
penganiayaan ialah sengaja menyebabkan perasaan tidak enak
(penderitaan), rasa sakit atau luka-luka.
Sejalan dengan hal tersebut, Lamintang memaknai penganiayaan sebagai
kesengajaan menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan luka pada tubuh orang
lain. Dari beberapa pengertian yang telah dipaparkan di atas, maka secara jelas
dapat dikatakan bahwa penganiayaan merupakan sebuah kondisi di mana saat
dilakukannya suatu perbuatan atau sedang berlangsung hingga selesainya
perbuatan itu dilakukan secara sengaja, sehingga hal tersebut merupakan
kehendak atau tujuan yang dimaksud oleh pelaku untuk membuat sakit atau luka,
perasaan tidak enak atau merusak kesehatan orang lain.7 Adapun dari pemaparan
tersebut, maka menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana menyimpulkan bahwa
ketiga unsur utama yang harus terpenuhi di dalam tindak pidana
penganiayaan ialah sebagai berikut:
1. Adanya Kesengajaan
2. Adanya Perbuatan
3. Adanya Akibat Perbuatan (yang dituju) yaitu rasa sakit atau luka pada
tubuh.
Dengan adanya unsur kesengajaan yang dinyatakan secara eksplisit di
dalam tindak pidana penganiayaan, maka sudah seharusnya Penuntut
Umum

membuktikan bahwa benar Terdakwa mengetahui dan menghendaki


yang ia lakukan melalui tindakannya. Proses pembuktian di dalam
penanganan perkara pidana, baik tindak pidana umum maupun tindak
pidana khusus sejatinya sama-sama mengacu pada hukum pembuktian
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Berdasarkan hukum pembuktian perkara pidana dalam KUHAP, maka

7
Peter Mahmud Marzui, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media Group), 2005, hal. 93. Sugiyono, Metode
Penelitian Kuantiatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung: Alfabeta), 2008, hal. 105.
Reysa Rachmat Toengkagie, “Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Penganiayaan Yang
Mengakibatkan Luka Berat dalam Pasal 351 Ayat 2 KUHP: Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Nomor : 1132/PID.B/2014/PN.JKT.PST”, (Skripsi, Universitas Trisaksi, 2016), hal. 12
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers), 2013, hal. 51.
P.A.F Lamintang, Delik-delik Khusus: Kejahatan terhadap Nyawa, Tubuh, dan Kesehatan, serta
Kejahatan yang Membahayakan bagi Nyawa, Tubuh, dan Kesehatan, hal. 111.
pihak yang wajib membuktikan tentang kesalahan terdakwa sebagaimana
termaktub pada surat dakwaan ialah Penuntut Umum. Menurut Yahya
Harahap, pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam
sidang pengadilan, pembuktian dapat diartikan sebagai ketentuan-
ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang
dibenarkan undang-undang mengenai pembuktian kesalahan oleh Penuntut
Umum kepada Terdakwa. Peranan Penuntut Umum dalam hal pembuktian
sangatlah penting karena pembuktian 8suatu perkara tidak pidana di depan
persidangan merupakan tanggung jawab Penuntut Umum, di mana dengan
adanya beban pembuktian ini menyebabkan Penuntut Umum harus selalu
berusaha menghadirkan minimum alat bukti di persidangan. Berdasarkan
Pasal 183 KUHAP termaktub ketentuan bahwa untuk dapat menyatakan
seseorang terbukti melakukan suatu tindak pidana, maka harus ada paling
sedikit 2 (dua) alat bukti ditambah dengan keyakinan Hakim, di mana hal
tersebut menjadi beban Penuntut Umum untuk dapat menghadirkan
minimum dua alat bukti tersebut di persidangan untuk memperoleh
keyakinan Hakim.9
Berbicara mengenai karakteristik dari rumusan Pasal 353 ayat 2 KUHP
ialah unsur “direncanakan terlebih dahulu” dan unsur “mengakibatkan
luka berat”, di mana menurut pendapat Lamintang menyatakan bahwa
unsur direncanakan terlebih dahulu merupakan salah satu bagian yang
menunjukkan keberadaan dari unsur mens rea. Merujuk dari pernyataan
Lamintang sejatinya memperlihatkan bahwa untuk menjerat pelaku
dengan Pasal 353 ayat 2 KUHP, maka dalam proses pembuktian Penuntut
Umum perlu memperlihatkan serta membuktikan keberadaan unsur
direncanakan terlebih dahulu dalam perkara penganiayaan berencana
mengakibatkan luka berat ini, sebagaimana diatur di dalam Pasal 353 ayat
2 KUHP.
2. Parameter Penentu Munculnya unsur Mens Rea pada Perkara
Penganiayaan Pasal 353 Ayat 2 KUHP
Sebelum menentukan parameter munculnya unsur mens rea pada perkara

8
Pertimbangan Hakim pada Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 372/Pid/2020/PN.Jkt.Utr,
hal. 214.
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan,
9
6 Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, (Jakarta : Penerbit SInar Grafika), 2000, hal. 273.
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia), 1983,
hal. 30.
penganiayaan Pasal 353 ayat 2 KUHP, maka perlu diketahui terlebih
dahulu hal-hal yang berkaitan dengan mens rea. Seperti yang telah
dipaparkan sebelumnya, secara sederhana mens rea dapat diartikan
sebagai sikap batin dari pelaku atau suatu pikiran yang salah. Takhanya
itu, mens rea sejatinya juga dapat diartikan sebagai pilihan, yaitu untuk
melakukan perilaku atau perbuatan tertentu. Esensi dari adanya mens rea
ini menandakan bahwa tindak pidana terjadi atas dasar kesadaran
seseorang terhadap apa yang ia lakukan. Dalam hal ini, mens rea baru
akan tergambar dengan jelas dari actus reus-nya, atau secara sederhana
dengan
melihat cara perbuatan (actus reus) yang dilakukan oleh pelaku, maka
akan menentukan pula bagaimana mens rea-nya10. Lebih lanjut, dikatakan
bahwa untuk menentukan unsur mens rea pada suatu tindak pidana, maka
harus dilihat bagaimana cara tindak pidana tersebut dilakukan, lalu melihat
pula pada alasan atau relevansi pelaku dalam melakukan tindak pidana
tersebut. Dengan cara seperti ini lah, mens rea dapat diketahui dengan
jelas, sehingga tergambar apakah pelaku melakukan tindak pidana dengan
sengaja atau tidak dan apakah tindak pidana tersebut dilakukan pada
tingkatan yang serius atau tidak.11

10
Agus Rusianto, Tindak Pidana & Pertanggungjawaban Pidana: Tinjauan Kritis Melalui Konsistensi antara
Asas, Teori, dan Penerapannya, (Jakarta: Kencana), 2016, hal. 137.

11
Ibid, hal. 140.
BAB V

PENUTUP

3.1Kesimpulan

Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan dalam perkara telah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dimana putusan yang dijatuhkan
berdasarkan alat bukti berupa keterangan saksi, Visum et repertum, keterangan
terdakwa,sehingga membuat terdakwa patut dijatuhi hukuman/pidana. Selain itu fakta-
fakta yang diperoleh selama persidangan dalam perkara ini. Majelis Hakim
mengemukakan hal-hal pada diri terdakwa dan atau pada perbuatan terdakwa yang dapat
dipertanggungjawabkan dan dinyatakan bersalah menurut hukum dan harus
dijatuhipidana yang setimpal dengan perbuatan terdakwa sehingga tidak ada hal-hal yang
dapat melepas terdakwa dari pertanggungjawaban pidana,baik sebagai alasan pembenar
atau alasan pemaaf,oleh karenanya Majelis Hakim berkesimpulan bahwa
perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa harus dipertanggungjawabkan kepadanya,agar
bias memberikan efek jera dan dikemudian hari tidak melakukan hal yang sama.

3.2Saran

1. Perlu dipahami dan disebarluaskan pengertian dan pemikiranpemikiran mengenai


keadilan,hak dan kewajiban,kepentingan pribadi,kepentingan umum dan pemikiran-
pemikiran lain yang positif yang berhubungan dengan penyelenggara perlindungan.

2. Kepada masyarakat perlu adanya peningkatan pemahaman dan kesadaran akan hak-hak
anak dan perlindungan . Serta pemahaman bahwa kekerasan tidak hanya berkisar pada
yang teraniaya secara fisik,akan tetapi cakupan pengertian kekerasan terhadap
penganiayaan sangat luas.

3. Bagi aparat penegak hukum,hendaknya meningkatkan perannya dalam menindak


pelaku penganiayaan terhadap anak secara tegas,sebagai terapi shock. . Bagi para Hakim
hendaknya memberikan sanksi yang tegas dan berat kepada pelaku penganiayaan serta di
sosialisasikan sebagai efek jera kepada masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai