Anda di halaman 1dari 17

“PAPER TENTANG PERADILAN AGAMA”

Mata Kuliah : Hukum Acara Peradilan Agama


Dosen Pengampu :Lismanida, SH., MH

Disusun Oleh :
Nama : Felita Azzahra H
NIM : 207421003
Kelas : S1 Smt3
Jurusan : Ilmu Hukum

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM “LITIGASI”
2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Sistem hukum merupakan seperangkat aturan yang tersusun secara teratur serta berasal dari
berbagai pandangan, asas, teori para pakar. Sementara peradilan merupakan segala sesuatu ya
ng berhubungan dengan perkara hukum.sistem Hukum dan Peradilan saling berhubungan sat
u sama lain,Peradilan Agama adalah salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman
untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkar
a tertentu antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hiba
h, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari'ah

BAB II
PEMBAHASAN

A.Pengertian Hukum Acara Peradilan Agama

Menurut Wirjono Prodjodikoro, beliau mengistilahkan hukum acara perdata merupakan rang
kaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan d
imuka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk m
elaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata. Sedangkan R Subekti, berpenda
pat bahwa hukum acara itu mengabdi kepada hukum materiil, maka dengan sendirinya setiap
perkembangan dalam hukum materiil itu sebaik selalu diikuti dengan sesuai hukum acaranya.
MH Tirtaamidjaya mengatakan bahwa hukum acara perdata ialah akibat yang timbul dar
i hukum perdata materiil. Sementara soepomo berpendapat bahwa tugas hakim di peradilan d
alam kasus perdata ialah mempertahankan tata hukum perdata, menetapkan apa yang ditentuk
an oleh hukum dalam suatu perkara. Sudikno Mertokusumo menuliskan bahwa hukum acara
perdata ialah peratiuran hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya huku
m perdata materiil dengan perantaraan hakim atau peraturan hukum yang menentukan bagai
mana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil.dan pelaksanaannya daripada p
utusannya.
Karena itu sesuai dengan pasal 54 UU No. 7 tahun 1989 Jo UU Nomor 3 tahun 2006 din
yatakan bahwa “hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Aga
ma adalah hukum acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan U
mum kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini”. Adpun perkara-perk
ara dalam bidang perkawinan berlaku hukum acara khusus dan selebihnya berlaku hukum aca
ra perdata pada umumnya. Hukum acara ini meliputi kewenangan relatif pengadilan agama, p
emanggilan, pemeriksaan, pembuktian dan biaya perkara serta pelaksanaan putusan.
2 Sehingga dapat disimpilkan bahwa hukum acara Peradilan Agama adalah peraturan hukum
yang mengatur bagaimana cara mentaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan haki
m atau bagaimana bertindak di muka pengadilan agama dan bagaimana cara hakim bertindak
agar hukum itu berjalan sebagaimana mestinya. Karena itu hakim harus menguasai hukum ac
ara (hukum formal) disamping hukum materiil. Menerapkan hukum materiil secara benarben
ar tentu menghasilkan putusan yang adil dan benar

a. Aturan Hukum
Sesuai dengan pendapat Rochmat Sumitro di atas bahwa elemen pertama Peradilan ad
alah adanya aturan hukum yang abstrak, yang mengikat umum dan dapat diterapkan pada sua
tu persoalan. Mengapa aturan hukum itu termasuk komponen dalam sistem Peradilan Agama
karena Indonesia adalah negara hukum dan Peradilan Agama adalah salah satu lingkungan pe
radilan dalam sistem peradilan di negara Indonesia. Sementra itu salah satu ciri dari sebuah n
egara hukum adalah negara harus menjadikan hukum sebagai panglima.
Aturan hukum yang ada di Peradilan Agama dari segi fungsinya terdiri dari hukum m
ateriil dan hukum formil. Hukum formil adalah hukum yang mengatur bagaimana cara melak
sanakan dan mempertahankan hukum materiil atau sering disebut hukum acara. Mengenai hu
kum formil yang berlaku di Pengadilan Agama disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 7 1
989 berdasarkan berikut:
Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama ad
alah hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umu
m, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut maka hukum acara yang berlaku di Pengadilan
Agama sama dengan hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri yakni HIR/RBg. Berlak
unya HIR/RBg tersebut tidak untuk semua perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Ag
ama, tetapi hanya berlaku atas perkara yang hukum acaranya belum diatur oleh Undang-Unda
ng Nomor 7 Tahun 1989. Terhadap perkara yang sudah diatur oleh Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 maka aturan hukum acara yang terdapat dalam HIR/RBg tidak berlaku di lingku
ngan

Peradilan Agama. Adapun perkara yang hukum acaranya sudah diatur oleh undang-un
dang nomor 7 Tahun 1989 adalah dalam perkara perceraian dengan alasan syiqaq dan alasan
zina.
Mengenai tata cara pemeriksaan perkara perceraian atas dasar alasan syiqaq diatur dal
am Pasal 76 ayat (1). Dalam pasal tersebut disebutkan:“ syiqaq adalah perselisihan yang taja
m dan terus menerus antara suami istri”. Penyelesaian perkara syiqaq merupakan pemeriksaa
n secara khusus (lex specialis) dan agak menyimpang dari asas-asas umum hukum acara.
Kekhususan dari perkara syiqaq dapat dilihat dari fungsi keluarga dalam pemeriksaan
perkara tersebut. Dalam pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun l989 disebutkan:
apabila perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk mendapatkan putusan
perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-or
ang yang dekat dengan suami isteri.

Dari bunyi pasal tersebut, hakim yang memeriksa perkara syiqaq diharuskan untuk me
ndengar dan memeriksa keluarga dekat dengan suami isteri. Jika ternyata keluarga yang dekat
tidak ada atau jauh dan sulit untuk dihadirkan ke dalam persidangan, maka hakim dapat mem
erintahkan kepada para pihak yang berperkara untuk menghadirkan orang yang dekat dengan
suami atau istri. Pemeriksaan keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami isteri dala
m perkara perceraian dengan alasan syiqaq adalah imperatif, oleh karena itu pemeriksaan kep
ada keluarga wajib dilaksanakan oleh hakim sebelum menjatuhkan putusan.
Kedudukan keluarga atau orang-orang dekat dalam perkara syiqaq adalah saksi, buka
n sebagai orang yang hanya sekadar memberikan keterangan saja atau orang yang diminta ole
h hakim dalam rangka upaya perdamaian para pihak yang berperkara dalam perkara gugat cer
ai biasa. Oleh karena kedudukan keluarga atau orang-orang dekat dengan suami istri itu sebag
ai saksi, maka hakim harus mendudukan mereka secara formal dan materiil sesuai dengan Pas
al 145 dan 146 HIR. Jadi sebelum mereka memberi keterangan di muka persidangan harus di
sumpah terlebih dahulu. Keluarga sebagai saksi hanya berlaku dalam perkara perceraian yang
didasarkan alasan perselisihan dan pertengkaran terus menerus dan ada unsur dharar, serta pe
cahnya tali perkawinan (syiqaq).
Kekhususan perkara syiqaq yang kedua adalah adanya keharusan mengangkat hakam.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 76 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, yang berb
unyi:
Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara s
uami istri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak atau ora
ng lain untuk menjadi hakam

Tentang kapan sebaiknya para hakam itu diperiksa, hal ini kembali pada pasal 76 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa para haka
m itu harus diperiksa setelah tahap pembuktian. Dengan demikian hasil pemeriksaan pembukt
ian dapat diinformasikan secara lengkap kepada hakim yang ditunjuk, terutama tentang sifat
dari perselisihan dan persengketaan yang terjadi di antara suami istri tersebut. Informasi terse
but dapat dipergunakan oleh hakam dalam usaha mendamaikan para pihak dan mengakhiri se
ngketa.
Perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama yang telah diatur oleh Undang-
Undang Nomor 7 tahun 1989, selain syiqaq juga perkara cerai dengan alasan zina.Pengaturan
tentang cerai dengan alasan zina terdapat pada Pasal 87 ayat (1). Pasal 87 Undang-Undang ter
sebut berbunyi:
Apabila permohonan atau gugatan cerai diajukan atas alasan salah satu pihak melak
ukan zina, sedangkan pemohon atau penggugat tidak dapat melengkapi bukti-bukti dan term
ohon atau tergugat menyanggah alasan tersebut, dan Hakim berpendapat bahwa permohona
n atau gugatan itu bukan tiada bukti sama sekali serta upaya peneguhan alat bukti tidak mun
gkin lagi diperoleh baik dari pemohon atau penggugat maupun dari termohon atau tergugat,
maka Hakim karena jabatannya dapat menyuruh pemohon atau penggugat untuk bersumpah.
Selanjutnya pada Pasal 88 disebutkan:
Apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) dilakukan oleh
suami, maka penyelesaiannya dapat dilaksanakan dengan cara li’an.(2) apabila sumpah seb
agaimana yang dimaksud dalam pasal 87 ayat (1) dilakukan oleh istri maka penyelesaiannya
dilaksanakan dengan hukum acara yang berlaku

Dalam perkara dengan alasan zina telah diatur tentang bagaimana cara membuktikann
ya. Sistem pembuktian dalam pemeriksaan cerai karena alasan zina adalah sistem pembuktian
yang diatur dalam AlQuran surat An-Nur ayat 4, 6 dan 7 yakni harus ada empat orang saksi y
ang melihat perbuatan tersebut. Apabila suami tidak dapat menghadirkan empat orang saksi
maka ia dianggap dalam keadan qazaf dan hakim secara ex officio dapat memerintahkan sua
mi untuk mengucapkan li’an. Lian menurut para ahli Fiqih adalah tuduhan suami kepada istri
bahwa istri telah berbuat zina dan anak yang lahir darinya adalah bukan anak suami. Tuduhan
tersebut dilakukan dengan cara bersumpah. Hal ini ditegaskan oleh Joseph Schacht sebagai b
erikut:
The husband affirms under oath that the wife has commited unchastity or that the chil
d born of her is not his, and she, if the occasion arises, affirms under oath the contrary, these
affirmations are made in stringent forms of a magical character

Problem hukum acara Peradilan Agama adalah belum dimilikinya hukum acara tersen
diri. Selama ini hukum acara yang digunakan adalah hukum acara yang berlaku di Peradilan
Umum, padahal jenis perkara yang menjadi kewenangan Peradilan Agama tidak sedikit yang
bersifat spesifik yang penyelesaiannya tidak mungkin dengan menggunakan hukum acara di
Peradilan Umum.
Kemudian di samping terdapat hukum formil yang berlaku di Pengadilan Agama terd
apat juga hukum materiil.Sumber hukum dari hukum materiil Pengadilan Agama adalah bers
umber dari hukum Islam. Hukum materiil yang bersumber dari hukum Islam ini ada yang sud
ah menjadi hukum tertulis dan ada yang belum. Adapun hukum materiil yang sudah menjadi
hukum tertulis terdiri dari :
1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 Tenta
ng Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk,
2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1975 Tentang Perkawinan
3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974,
4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan yang telah diubah dengan Unda
ng-Undang Nomor 10 Tahun 1998,
5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia,
6) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat,
7) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf,
8) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara,
9) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah,
10) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,
11) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga,
12) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik
13) Peraturan Bank Indonesia yang berkaitan dengan ekonomi syariah,
14) Yursiprudensi
15) Qanun Aceh

Adapun yang belum menjadi hukum tertulis adalah:


1) Kompilasi Hukum Islam,
2) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah,
3) Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

Jenis hukum materiil yang paling banyak digunakan oleh hakim sebagai dasar pertimb
angan putusan di Peradilan Agama adalah Kompilasi Hukum Islam. Tetapi Kompilasi Huku
m Islam tersebut meskipun sudah ditulis tetapi belum merupakan hukum tertulis karena Kom
pilasi Hukum Islam tidak ditetapkan oleh Negara.Peradilan Agama adalah Peradilan Negara,
seharusnya hukum materiil yang digunakan adalah hukum yang dibentuk oleh Negara. Hal te
rsebut merupakan salah satu problem hukum materiil di Peradilan Agama.

B.Azaz-azaz Hukum Acara di Peradilan Agama

Untuk menerapkan hukum acara dengan baik maka perlu diketahui asas-asasnya. Asas-asas h
ukum peradilan agama ialah sebagai berikut:
1. Asas Personalitas KeIslaman Asas pertama yakni asas Personalitas KeIslaman yang tunduk
dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan lingkungan Peradilan Agama, hanya mereka y
ang mengaku dirinya pemeluk agama IslamPenganut agama lain diluar Islam atau yang non I
slam, tidak tunduk dan dapat dipaksakan tunduk kepada kekuasaan lingkungan peradilan aga
ma. Asas Personalitas ke Islaman diatur dalam pasal 2, penjelasan umum angka 2 alinea ketig
a dan pasal 49 ayat 1.
Dari penggarisan yang dirumuskan dalam ketiga ketentuan tersebut, dapat dilihat asas per
sonalitas ke Islaman sekaligus dikaitkan berbarengan dengan perkara perdata “bidang tertent
u” sepanjang mengenai sengketa perkara yang menjadi yurisdiksi lingkungan peradilan agam
a. Kalau begitu ketundukan personalitas muslim kepada lingkungan Peradilan Agama, “buka
n” ketundukan yang bersifat umum meliputi semua bidang hukum perdata.
Ketundukan bidang personalitas muslim kepadanya, hanya bersifat khusus sepanjang bid
ang hukum perdata tertentu. Untuk lebih jelas, mari kita rangkai ketentuan pasal 2 dengan ru
musan Penjelasan Umum angka 2 alinea ketiga. Pasal 2 berbunyi “Peradilan Agama merupak
an salah satu kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam menge
nai perdata tertentu...”. kemudian Penjelasan Umum dimaksud sekaligus mengulang dan men
erangkan apa-apa yang termasuk kedalam bidang perdata tertentu yang berbunyi “ Pengadila
n Agama merupakan pengadilan tingkat pertama untuk memeriksa, memutus, dan menyelesai
kan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan, kewarisa
n, wasiat, hibah, waqaf dan shadaqah yang berdasarkan hukum Islam”. Dan apa yang tercantu
m dalam Penjelasan Umum tersebut sama dengan apa yang dirumuskan dalam pasal 49 ayat 1.
Jika ketentuan pasal 2 dan penjelasan umum angka 2 alinea ke tiga serta pasal 49 ayat 1 diur
aikan, dalam asas personalitas ke Islaman yang melekat membarengi asas dimaksud:
• Pihak-pihak yang bersengketa harus sama-sama pemeluk agama Islam,
• Perkara perdata yang disengketakan harus mengenai perkara-perkara di bidang perkawi
nan, kewarisan, wasiat, hibah, waqaf dan shadaqah, dan
• Hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut berdasarkan hukum Isla
m, oleh karena itu acara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam. Analisa di atas memperi
ngatkan, asas personalitas keIslaman harus meliputi para pihak yang bersengketa. Kedua bela
h pihak harus sama-sama beragama Islam. Jika salah satu pihak tidak beragama Islam, sengke
tanya tidak ditundukan ke Pengadilan Agama. Dalam hal yang seperti ini, sengketa tunduk ke
pada kewenangan Peradilan Umum. Begitu pula landasan hubungan hukumnya, harus berdas
arkan hukum Islam.
Jika hubungan hukum tidak berdasarkan hukum Is- lam, maka sengketa mengadili wewen
ang Peradilan Umum, misalnya hubungan hukum ikatan perkawinan antar suami isteri adalah
hukum barat. Sekalipun suami isteri beragama Islam, asas personalitas keIslaman mereka diti
adakan oleh landasan hukum yang mendasari terjadinya perkawinan. Oleh karena sengketa pe
rkawinan yang terjadi antara mereka tindak tunduk menjadi kewenangan Pengadilan Negeri.
Hal ini sesuai dengan surat dari Mahkamah Agung tanggal 31 Agustus 1983 yang diajukan ke
pada ketua Pengadilan Tinggi Ujung Pandang.
Isi pokoknya menegaskan bahwa yang dipergunakan sebagai ukuran menentukan berwen
ang tidaknya Pengadilan Agama adalah hukum yang berlaku waktu pernikahan dilangsungka
n. Berarti orang yang melangsungkan pernikahan secara Islam, perkaranya tetap wewenang P
engadilan Agama sekalipun salah satu pihak tidak beragama Islam lagi. Jadi penerapan asas p
ersonalitas ke Islaman merupakan kesatuan hubungan yang tidak terpisahkan dengan dasar hu
bungan hukum. Kesempurnaan dan kemutlakan asas personalitas keIslaman harus didukung o
leh hubungan hukum berdasarkan hukum Islam, barulah sengketanya “mutlak” atau “absolut”
tunduk menjadi kewenangan Peradilan Agama, serta hukum yang mesti diterapkan menyeles
aikan perkara, harus berdasarkan hukum Islam.
Bagaimana meletakan patokan asas personalitas keIslaman? Letak patokan asas personali
tas KeIslaman berdasarkan patokan umum dan patokan saat terjadi hubungan. Maksud patoka
n menentukan keIslaman seeorang didasarkan pada faktor “formil” tanpa mempersoalkan kua
litas ke Islaman yang bersangkutan. Jika seseorang mengaku beragama Islam pada dirinya su
dah melekat asas personalitas keIslaman. Faktanya dapat ditemukan di KTP, sensus kependu
dukan, SIM dan surat keterangan lain.
Bisa juga dari kesaksian, sedang mengenai patokan asas personalitas ke Islaman berdasar
“saat terjadi” hubungan hukum, ditentukan oleh2 syarat:” Pertama : pada saat terjadi hubunga
n hukum kedua pihak sama-sama beragama Islam. Kedua : hubungan ikatan hukum yang mer
eka lakukan berdasarkan hukum Islam. Apabila kedua syarat tersebut terpenuhi, maka kedua
be;lah pihak telah melekat asas Personalitas keIslaman, dan sengketa yang terjadi diantara me
reka tunduk menjadi kewenangan Peradilan Agama.
Tidak menjadi soal apakah dibelakang hari atau pada saat terjadi sengketa, salah seorang
diantara mereka telah bertukar agama dari agama Islam ke agama lain. Misalnya pada saat pe
rkawinan dilangsungkan berdasar hukum Islam. Kemudian terjadi sengketa perceraian. Dala
m kasus ini telah terpenuhi asas personalitas ke Islaman. Peralihan agama dari agama suami i
steri, tidak dapat menggugurkan asas personalitas ke Islaman yang melekat pada perkawinan
tersebut.

2.Peradilan bebas dari campur tangan pihak-pihak diluar kekuasaan kehakiman.


Kebebasan dalam melaksanakan wewenang judiciel menurut UU No. 14 tahun 1970 yang diu
bah menjadi UU No. 4 tahun 2004 tidak mutlak sifatnya, karena tugas daripada hakim adalah
untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila dengan jalan menafsirkan huk
um dan mencari dasar hukum serta asas-asas yang menjadi landasannya, melalui perkara-perk
ara yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan ba
ngsa dan rakyat Indonesia.
2. Hakim bersifat Menunggu Asas daripada hukum acara pada umumnya, termasuk hukum ac
ara perdata, ialah bahwa pelaksanaannya yaitu bersifat inisiatif untuk mengajukan tuntutan ha
k diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan. Jadi apakah akan ada proses atau tida
k, apakah suatu perkara atau tuntutan hak itu akan diajukan atau tidak, sepenuhnya diserahka
n kepada pihak yang berkepentingan. Kalau tidak ada tuntutan hak atau penuntutan, maka ada
hakim
Jadi tuntutan hak yang mengajukan adalah pihak yang berkepentingan, sedang hakim bersik
ap menunggu datangnya tuntutan hak diajukan kepadanya. Hanya yang menyelenggarakan pr
osesnya adalah negara. Namun demikian, apabila sudah datang perkara kepadanya, maka hak
im tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadilinya sekalipun dengan dalil bahwa hu
kum tidak ada atau hukum belum jelas. Larangan bahwa seorang hakim tidak boleh menolakn
ya karena hakim dianggap tahu akan hukumnya (Ius Curia Novit).
Dan kalau sekiranya seorang hakim tidak menemukan hukum secara tertulis ia wajib meng
gali, memahami dan menghayati hukum yang sudah hidup dalam masyarakat.
3. Hakim bersifat Pasif Ruang lingkup pokok sengketa ditentukan oleh para pihak buk
an oleh hakim.
Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 118 ayat (1) HIR, pasal 142 ayat (1) R.Bg. Hakim han
ya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan u
ntuk dapat tercapainya peradilan. Sebaliknya hakim harus aktif dalam memimpin jalannya pe
sidangan, membantu kedua pihak dalam menemukan kebenaran, tetapi dalam memeriksa per
kara perdata hakim harus bersifat tut wuri. Hakim terikat pada peristiwa yang diajukan oleh p
ara pihak. Para pihak dapat secara bebas mengakhiri sendiri sengketa yang telah diajukannya
ke muka pengadilan, sedang hakim tidak dapat menghalang-halanginya. Hal ini dapat berupa
perdamaian atau pencabutan gugatan. Sesuai dengan pasal 130 HIR, 154 R.Bg.
Apakah yang bersangkutan akan mengajukan banding ataupun tidak itupun bukan kepenting
an daripada hakim (pasal 6 UU 20 tahun 1947). Jadi pengertian pasif disinilah adalah hakim t
idak memperluas pokok sengketa. Akan tetapi itu semuanya tidak berarti bahwa hakim sama
sekali tidak aktif. Selaku pimpinan sidang hakim harus aktif memimpin pemeriksaan perkara
dan tidak merupakan pegawai atau sekedar alat dari pada para pihak, dan harus berusaha seke
ras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapianya peradilan
. Hakim berhak untuk memberi nasehat kepada kedua belah pihak serta menunjukan upaya h
ukum dan memberi keterangan kepada mereka. Karenanya dikatakan bahwa sitem HIR adala
h aktif, berbeda dengan sistim Rv yang pada pokoknya mengandung prinsip “hakim pasif”. H
akim sebagai tempat pelarian terakhir bagi para pencari keadi- lan dianggap bijaksana dan tah
u akan hukum, bahkan menjadi tempat bertanya segala macam soal bagi masyarakat. Dari dir
i hakim diharapkan tegaknya keadilan karena ia orang yang tinggi pengetahuan dan martabat
nya serta berwibawa.
4. Sifatnya terbukanya persidangan

Sidang pemeriksaan dipengadilan pada asasnya adalah terbuka untuk umum, yang berarti ba
hwa setiap orang diperbolehkan hadir dan mendengarkan pemeriksaan persidangan. Tujuan d
aripada asas ini tidak lain untuk memberi perlindungan hak-hak asasi manusia da- lam bidang
peradilan serta untuk lebih menjamin obyektifitas peradi- lan dengan mempertanggungjawab
kan pemeriksaan yang fair, memi- hak serta putusan yang adil kepada masyarakat, seperti ter
cantum dalam pasal 17 dan 18 UU No. 14 tahun 1970 diubah dalam pasal 19 UU No. 4 tahun
2004.8 Apabila putusan dinyatakan dalam sidang yang tidak dinyatakan terbuka untuk umum
berarti putusan itu tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum serta mengakibatkan batal
nya putusan itu menurut hukum.
Di dalam praktek meskipun hakim tidak menyatakan persidangan terbuka untuk umum, teta
pi kalau didalam berita acara dicatat bahwa persidangan dinyatakan terbuka untuk umum, ma
ka putusan yang dujatuhkan tetap sah. Secara formil asas ini tujuan asas ini sebagai sosial kon
trol. Asas terbukanya persidangan tidak mempuyai arti bagi acara yang berlangsung secara te
rtulis. Kecuali apabila ditentukan lain oleh undang-undang atau apabila berdasarkan alasan-al
asan yang penting yang dimuat didalam berita acara yang diperintahkan oleh hakim, maka pe
rsidangan dilakukan dengan pintu tertutup, dalam pemeriksaan perkara perceraian atau perzin
ahan sering dinyatakan terbuka untuk umum terlebih dahulusebelum dinyatakan tertutup.
5. Mendengar Kedua Belah Pihak Didalam hukum acara perdata

kedua belah pihak harus diperlakukan sama, hakim tidak boleh memihak dan harus menden
gar kedua belah pihak. Bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedka
an orang, seperti yang dimuat dalam pasal 5 ayat 1 UU No. 4 tahun 2004, mengandung arti ba
hwa didalam hukum acara perdata yang berperkara harus sama-sama diperhatikan, berhak ata
s perlakuan yang sama dan adil serta masing-masing harus diberi kesempatan untuk memberi
pendapatnya, bahwa kedua belah pihak harus didengar lebih dikenal dengan asas “audi et elte
ran partem”.
Hal ini berarti hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai benar,
bila pihak lawan tidak didengar atau tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatn
ya. Hal itu berarti juga pengajuan alat bukti harus dilakukan dimuka sidang yang dihadiri ole
h kedua belah pihak sesuai dengan pasal 132a, 121 ayat 2 HIR, pasal 145 ayat 2, 157 Rbg, 47
Rv.9
6. Putusan Harus Disertai Alasan-alasan
Semua putusan pengadilan harus disertai alasan-alasan putusan yang dijadikan dasar untuk m
egadili. Hal ini sesuai dengan pasal 25 UU No. 4 tahun 2004, 184 ayat 1, 319 HIR, 618 Rbg.
Alasan-alasan atau argumentasi itu dimaksudkan sebagai pertanggungjawaban hakim terhada
p masyarakat, sehingga mempunyai nilai obyektif. Karena adanya alasan-alasan itu putusan
mempunyai wibawa bukan karena hakim tertentu yang menjatuhkannya. Betapa pentingnya a
lasan-alasan sebagai dasar putusan dapat kita lihat dari beberapa putusan MA, yang menetapk
an bahwa putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup pertimbangan merupakan alasan unt
uk kasasi dan harus dibatalkan.
Untuk lebih mempertanggungjawabkan putusan sering dicari dukungan dari yurisprudensi d
an ilmu pengetahuan. Mencari dukungan pada yurisprudensi tidak berarti bahwa hakim terika
t pada atau harus mengikuti putusan yang mengenai perkara yang sejenis yang pernah dijatuh
kan oleh MA, PT atau yang telah pernah diputuskan sendiri sajaWalaupun kita pada asasnya t
idak menguasai azaz “the binding force of precedent”, namun memang janggal kiranya kalau
hakim memutuskan bertentangan dengan putusannya sendiri atau dengan putusan pengadilan
atasannya mengenai perkara yang sejenis, karena menunjukan tidak adanya kepastian hukum.
Tetapi sebaliknya hakim harus mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat.
Ia harus berani kalau seketika harus meninggalkan yurisprudensi yang ada, kalau sekiranya
sudah usang dan tidak sesuai lagi dengan zaman atau keadaan masyarakat. Sebagai contoh kl
asik dapat disebutkan putusan HR tanggal 31 Januari 1919 tentang perbuatan melawan huku
m yang meninggalkan pendapat HR sebelumnya. Sekalipun kita tidak menganut the binding f
orce of precedent, tetapi pada kenyataannya sekarang tidak sedikit hakim yang terikat atau be
rkiblat pada putusan pengadilan tinggi atau Mahkamah Agung mengenai perkara yang sejenis.

Ilmu pengetahuan hukum merupakan sumber pula untuk mendapatkan guna mempertangg
ungjawabkan putusan hakim didalam pertimbangannya. Kewibawaan ilmu pengetahuan kare
na didukung oleh para pengikutnya serta sikap obyektif dari ilmu pengetahuan itu sendiri me
nyebabkan putusan hakim bernilai obyektif pula.
Betapa pentingnya ilmu pengetahuan bagi hakim, dikatakan oleh Scholten bahwa dengan
mengikuti ilmu pengetahuan ini maka hakim dapat memberikan tempat bagi putusannya didal
am sistem hukum. Tanpa itu putusan akan mengambang terlalu subyektif dan tidak meyakink
an meskipun dapat dilaksanakan. Ilmu pengetahuan sebagai sumber pula dari hukum acara pe
rdata.
7. Beracara Dikenakan Biaya Untuk berperkara pada asasnya dikenakan biaya

(pasal 4 ayat 4,2,5 ayat 4 UU No. 4 tahun 2004, pasal 21 ayat 4, 182, 183 HIR, 145 ayat 4, 1
92-94 Rbg.)10 Biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan dan biaya untuk panggilan, pem
beritahuan para pihak serta biaya materei. Disamping itu apabila diminta bantuan seorang pen
gacara maka harus pula dikeluarkan biaya.
Bagi mereka yang tidak mampu membayar biaya perkara, dapat mengajukan perkara secara c
uma-cuma dengan mendapatkan izin untuk dibebaskan dari pembayaran biaya perkara, denga
n mengajuka surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh kepala polisi. dalam praktek sur
at keterangan itu cukup dibuat oleh camat yang membawahi daerah tempat yang berkepenting
an tinggal. Permohonan perkara secara prodeo akan ditolak oleh Pengadilan apabila penggug
at ternyata bukan orang yang tidak mampu.

8. Tidak Harus Mewakili HIR tidak mewajibkan para pihak mewakili kepada orang lai
n,
sehingga pemeriksaan persidangan terjadi secara langsung terhadap para pihak yang langsun
g berkepentingan. Akan tetapi para pihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasanya kalau dik
ehendakinya. Dengan demikian hakim tetap wajib memeriksa sengketa yang diajukan kepada
nya, meskipun para pihak tidak mewakilkan kepada seorang kuasa. Wewenang untuk mengaj
ukan gugatan dengan lisan tidak berlaku bagi kuasa.
Dengan memeriksa para pihak yang berkepentingan secara langsung hakim dapat mengetah
ui lebih jelas persoalannya
Karena para pihak yang berkepentinganlah yang mengetahui seluk beluk peristiwanya. Kal
u para pihak menguasakan kepada seorang kuasa tidak jarang pemegang kuasa kurang menda
lami peristiwa yang menjadi sengketa secara terperinci, sehingga ia sering hanya siap dengan
surat jawaban saja, tetapi kalau ada pertanyaan dari hakim yang memeriksanya, ia masih haru
s berkonsultasi lagi dengan pihak yang diwakilinya.
Lagi pula berperkara dipengadilan secara langsung tanpa perantara seorang kuasa akan jau
h lebih ringan biayanya daripada kalau menggunakan seorang kuasa. Karena masih harus me
ngeluarkan hononarium untuknya. Sebaliknya adanya seorang wakil mempunyai manfaat jug
a bagi orang yang belum pernah berhubungan dengan pengadilan dan harus berperkara biasan
ya gugup menghadapi hakim, maka seorang pembantu atau wakil sangat bermanfaat.
Terutama seorang wakil yang tahu akan hukumnya dan mempunyai itiqad baik merupakan
bantuan yang tidak kecil bagi hakim dalam memeriksa suatu perkara karena memberi sumban
gan pikiran dalam memecahkan persoalan-persoalan hukumKarena tahu akan hukumnya mak
a wakil ini hanya akan mengemukakan peristiwa-peristiwa yang relevan saja bagi hukum, hal
ini akan memperlancar jalannya peradilan. Bagi para pihak yang buta hukum sama sekali, seh
ingga menjadi sasaran penipuan atau perlakuan yang sewenang-wenang atau tidak layak, seor
ang wakil yang tahu hukum dapat mencegah perlakuan yang tidak fair tersebut.
Walaupun HIR menentukan bahwa para pihak dapat dibantu atau diwakili akan tetapi tida
k ada ketentuan bahwa seorang pembantu atau wakil harus seorang ahli atau sarjana hukum.
Dapatlah digam- barkan bahwa jalannya peradilan tidak akan selancar bila diwakili oleh seor
ang kuasa yang sarjana hukum. Didalam praktek sebagian besar daripada kuasa yang mewaki
li para pihak adalah sarjana hukum.

9. Asas Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan

Yang dimaksud sederhana adalah acara yang jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit.
Makin sedikit dan sederhana formalitasformalitas yang diwajibkan atau diperlukan dalam ber
acara dimuka pengadilan makin baik. Terlalu banyak formalitas yang sukar dipahami atau per
aturan-peraturan tidak jelas sehingga menimbulkan timbulnya berbagai penafsiran. Kurang m
enjamin adanya kepastian hukum dan menyebabkan ketegangan atau ketakutan untuk beracar
a di muka pengadilan kata cepat menunjuk pada jalannya peradilan.
Terlalu banyak formalitas merupakan hambatan bagi jalannya pengadilan. Dalam hal ini buka
n hanya jalannya peradilan dalam pemeriksaan di muka sidang saja tetapi juga penyelesaian p
ada berita acara pemeriksaan dipersidangan sampai pada penandatanganan putusan oleh haki
m dan pelaksanaannya.
Tidak jarang suatu perkara tertunda-tunda sampai bertahun-tahu karena saksi tidak datang a
tau para pihak bergantian tidak datang atau minta mundur, bahkan perkaranya sampai dilanjut
kan oleh para ahli warisnya. Maka cepatnya jalannya peradilan akan meningkatkan kewibawa
an pengadilan dan menambah kepercayaan masyarakat kepada pengadilan. Biaya ringan yang
terpikul oleh rakyat sudah semestinya terimplementasi karena biaya perkara yang tinggi men
yebabkan pihak yang berkepentingan enggan mengajukan tuntutan hak kepada pengadilan

b. Aparat Hukum Peradilan Agama


Menurut Jimly Asshiddiqie, dalam lingkungan internal organisasi pengadilan ada tiga
jabatan yang bersifat fungsional yakni, hakim, panitera dan pegawai administrasi lainnya.Unt
uk lingkungan Peradilan Agama aparat peradilannya terdiri dari pejabat fungsional dan pejab
at struktural. Aparat peradilan agama yang terkait langsung dengan bidang yudisial adalah ha
nya para pejabat fungsional yakni hakim, panitera dan juru sita. Oleh karenanya yang akan pe
nulis bahas dalam tulisan ini hanya ketiga pejabat tersebut.

(1) Hakim
Hakim menurut ketentuan pasal 19 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang di
atur dalam undang-undang. Istilah pejabat disini dipakai untuk menegaskan status hukum hak
im sebagai pejabat negara. Oleh karenanya tidak boleh diberlakukan seperti pegawai negeri p
ada umumnya. Dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 disebutkan : Hakim ad
alah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman. Oleh karena itu wajar apabila u
ndang-undang menentukan syarat, pengangkatan, pemberhentian serta sumpah yang sesuai de
ngan jabatan tersebut.
Mengenai persyaratan yang harus dipenuhi agar seseorang dapat menjadi hakim di Pe
ngadilan Agama diatur dalam Pasal 13 UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989. Ketetntuan per
syaratan tersebut sama dengan persyaratan menjadi hakim di Peradilan Umum maupun Perad
ilan Tata Usaha Negara. Hanya terdapat variasi kecil dibidang disiplin kesarjanaan. Pada ling
kungan Peradilan Umum dan Tata Usaha Nagara, disyaratkan sarjana hukum atau sarjana yan
g memiliki keahlian di bidang tata usaha Negara. Sedang syarat kesarjanaan di Pengadilan Ag
ama adalah sarjana syari’ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam. Syarat yang p
aling berbeda dengan hakim di lingkungan peradilan lain adalah adanya syarat bagi hakim Pe
radilan Agama harus beragama Islam. Pada peradilan lain, agama tidak dijadikan sebagai syar
at.
Tentang syarat beragama Islam bagi hakim Pengadilan Agama, ada yang beranggapan
sebagai syarat yang mengandung cacat diskriminasi. Sebab dengan syarat tersebut, hukum tel
ah menutup pintu bagi yang non Islam untuk menjadi hakim di lingkungan Peradilan Agama.
Padahal lingkungan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan Pasal 13 Undang-Undang No
mor 48 Tahun 2009, termasuk Peradilan Negara. Dengan demikian Peradilan Agama adalah
milik semua bangsa tanpa kecuali. Wajar dan semestinya terbuka untuk setiap warga negara.
Dari satu segi pandangan tersebut memang benar, akan tetapi ditinjau dari sudut pendekatan
“kekhususan” yang didasarkan pada undang-undang, Peradilan Agama memiliki ciri khusus y
ang sangat erat dengan hal-hal sebagai berikut: Pertama faktor personalitas keIslaman, kedu
a faktor hukum yang diterapkan, yakni khusus hukum Islam
Berdasarkan kedua faktor tersebut maka wajar jika orang yang akan menegakkan huk
um dalam Peradilan Agama disyaratkan beragama Islam. Kemudian dari segi etika, rasanya j
anggal jika hukum yang akan diterapkan adalah hukum Islam dan hukum tersebut akan diberl
akukan bagi yang beragama Islam, sedang Hakim yang menerapkan hukum itu tidak beragam
a Islam.
Syarat-syarat selengkapnya untuk menjadi hakim Pengadilan Agama adalah sebagai b
erikut:
(1) warga negara Indonesia, (2) beragama Islam, (3) bertakwa kepada Than Yang Ma
ha Esa, (4) setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Ta
hun 1945, (5) sarjana syari’ah, sarjana hukum Islam atau sarjana hukum yang menguasai huk
um Islam, (6) lulus pendidikan hakim, (7) mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalank
an tugas dan kewajiban, (8) berwibawa , jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela, (9) berusia
paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun, dan paling tinggi 45 (empat puluh lima) tahun, dan
(10) tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pe
ngadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Selain syarat keIslaman, tidak ada perbedaan dengan persyaratan hakim pada umumn
ya, terutama di lingkungan Peradilan Umum dan Tata Usaha Negara. Semua syarat yang dite
ntukan dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, merupakan syarat yang bersi
fat kumulatif. Semua harus terpenuhi, tidak boleh kurang. Satu saja syarat tidak terpenuhi ma
ka pengangkatan hakim menjadi batal.

Selanjutnya mengenai pengangkatan hakim. Pengangkatan yang dimaksud dengan pe


ngangkatan dalam tulisan ini adalah berhubungan dengan instansi yang berwenang menetapk
an pengangkatan hakim di lingkungan Peradilan Agama. Mengenai hal tersebut diatur dalam
Pasal 15 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 yang isinya sama dengan ketentuan Pasal 1
5 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum dan Undang-Undang No
mor 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dengan demikian maka pengangk
atan hakim di Peradilan Agama sama persis dengan pengangkatan hakim di lingkungan Perad
ilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara. Hal ini merupakan salah satu isyarat tentang ke
samaan derajat antara semua lingkungan peradilan sebagai peradilan negara.
Menurut Pasal 15 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 yang berwenang mengangk
at hakim di Lingkungan Peradilan Agama adalah Presiden selaku kepala Negara atas usulan
Mahkamah Agung. Pengangkatan oleh Presiden dalam kualitas kedudukan selaku Kepala Ne
gara.
Dari prosedur tersebut, maka terlihat bahwa yang berwenang mengangkat hakim meli
batkan dua unsur aparat negara. Hal ini memperlihatkan betapa terhormatnya kedudukan jaba
tan hakim. Sudah selayaknya para hakim menjunjung tinggi kehormatan dan kepercayaan ters
ebut.

Berikutnya mengenai pemberhentian hakim. Mengenai pemberhentian hakim, sama pr


osedurnya dengan pengangkatan hakim. Pemberhentian hakim dilakukan oleh Presiden selak
u Kepala Negara atas usul Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial melalui Ketua Mahka
mah Agung.
Undang-undang mengenal dua macam jenis pemberhentian, yakni pemberhentian den
gan hormat dan pemberhentian dengan tidak hormat. Setiap jenis pemberhentian didasarkan p
ada alasan-alasan tertentu
a) Pemberhentian dengan hormat. Pemberhentian dengan hormat diatur dalam Pasal 1
8 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009. Alasan pemberhentian hakim dari jabatannya deng
an hormat adalah: (1) atas permintaan sendiri secara tertulis; (2) sakit jasmani atau rohani sec
ara terus menerus ; (3) telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun bagi hakim tingkat pertama
dan 67 (enam puluh tujuh) tahun bagi hakim Pengadilan Tinggi Agama; (4) ternyata tidak cak
ap dalam menjalankan tugas.
b) Pemberhentian tidak dengan hormat. Alasan pemberhentian tidak dengan hormat di
atur dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009. Alasan tersebut adalah: (1) dipid
ana penjara karena bersalah melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap: (2) melakukan perbuatan tercela; (3) melalaikan kewajib
an dalam menjalankan tugas pekerjaannya terus menerus selama 3 (tiga) bulan; (4) melanggar
sumpah atau janji jabatan; (5) melanggar larangan sebagaimana dimaksud Pasal 17; dan atau
(6) melanggar kode etik dan Pedoman Perilaku Hakim

(2) Panitera Panitera


adalah pegawai negeri sipil yang menyandang jabatan fungsional sebagai administratu
r perkara yang bekerja berdasarkan sumpah jabatan untuk menjaga kerahasiaan setiap perkara.
a) Fungsi Panitera
Pada prinsipnya manajemen peradilan di Indonesia dipimpin oleh seorang panitera. Ol
eh karena itu seorang panitera harus mampu menjalankan fungsi manajerial dan fungsi operat
if. Fungsi manajerial mengatur semua kegiatan dan keikutsertaan karyawan dalam kegiatan or
ganisasi. Sedangkan fungsi operatif menentukan jumlah dan mutu tenaga kerja sesuai dengan
kebutuhan untuk mencapai tujuan organisasi.
Fungsi Panitera pada dasarnya mencakup lima hal :
(1) Menyusun kegiatan administrasi perkara serta melaksanakan kordinasi dan sinkronisasi ya
ng berkaitan dengan persidangan.
(2) Mengurus daftar perkara, administrasi perkara, administrasi keuangan perkara dan admini
strasi pelaksanaan putusan perkara perdata.
(3) Menyusun statistik perkara, dokumentasi perkara, laporan perkara dan yurisprudensi
(4) Lain-lain berdasarkan peraturan perundang-undangan

b) Tugas Panitera
Tugas Panitera sesuai dengan ketentuan Pasal 98 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2
009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama, adalah sebagai berikut:
(1) melaksanakan penetapan atau putusan Pengadilan,
(2) membuat daftar semua perkara yang diterima di kepaniteraan,
(3) membuat salinan atau turunan penetapan atau putusan Pengadilan menurut ketentuan pera
turan perundang-undangan yang berlaku. Tugas lain seorang panitera adalah membantu haki
m dengan menghadiri dan mencatat jalannya sidang Pengadilan
Berdasarkan uraian tersebut maka tugas Panitera secara lebih rinci adalah sebagai beri
kut:
1) Tugas Panitera Bidang Persidangan:
Tugas dalam sidang, Panitera bertugas mengikuti dan mencatat jalannya persidangan.
Panitera yang berhalangan untuk mengikuti persidangan dapat diganti oleh seorang Panitera
Pengganti. Sebagai pejabat yang mengikuti dan mencatat jalannya persidangan Panitera Peng
ganti tidak berada di lini komando Panitera, akan tetapi akan melaksanakan perintah Hakim/
Majelis Hakim yang bersidang.
Adapun tugas-tugas panitera di bidang persidangan meliputi hal hal sebagai berikut :
(a) Membantu hakim dengan menghadiri dan mencatat jalannya sidang pengadilan.
(b) Menyusun berita acara persidangan.
(c) Memberitahukan putusan verstek dan putusan di luar hadir.
(d) Melegalisir surat-surat yang akan dijadikan bukti dalam persidangan.
(e) Mengirimkan berkas perkara yang dimohonkan banding, kasasi dan peninjauan kembali.

2) Tugas Panitera Bidang Eksekusi


Sebagai pejabat yang melaksanakan eksekusi perkara perdata, Panitera hanya mempu
nyai hubungan dengan Ketua Pengadilan untuk melaksanakan perintah yang diwujudkan dala
m bentuk penetapan Ketua Pengadilan, dan dalam hal Panitera berhalangan maka akan digant
i oleh Juru Sita. Dalam hal ini Panitera bertanggung jawab kepada Ketua Pengadilan.
Tugas Panitera dalam bidang eksekusi diatur dalam Pasal 98 Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989. Untuk melaksanakan putusan pengadilan/eksekusi Panitera harus memperhati
kan asas asas eksekusi

(3) Juru Sita


Pada setiap Pengadilan Agama ditetapkan adanya juru sita dan juru sita pengganti .Tu
gas Juru Sita sebagaimana diatur dalam Pasal 103 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 ad
alah sebagai berikut : (1) melaksanakan semua perintah yang diberikan oleh Ketua Sidang,
(2) menyampaikan pengumuman, teguran, dan pemberitahuan putusan Pengadilan berdasarka
n ketentuan undang-undang, (3) melakukan penyitaan atas perintah Ketua Pengadilan, (4) me
mbuat berita acara, yang salinan resminya diserahkan kepada pihak-pihak yang berkepenting
an

Juru sita berwenang untuk melakukan tugasnya di daerah hukum Pengadilan Agama dimana J
uru Sita tersebut bertugas. Hal tersebut diatur dalam Pasal 103 ayat 2 Undang-Undang Nomor
7 tahun 1989. Dengan demikian ketika Juru Sita harus memanggil orang yang berada di wilay
ah luar Pengadilan Agama dimana dia bertugas, maka ia harus minta bantuan ke juru sita Pen
gadilan Agama wilayah lain.Prosedur yang seperti ini akan memakan waktu yang cukup lama
sehingga akan menghambat penyelesaian perkara
Juru Sita/Juru sita pengganti dalam kontek kelembagaan bertanggung jawab kepada K
etua Pengadilan Agama, sedangkan secara administratif Juru Sita/Juru Sita Pengganti bertang
gung jawab kepada Panitera. Hal tersebut diatur dalam Pasal 8 Keputusan Ketua Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor: KMA/055/SK/X/1996 yang menentukan sebagai berikut:
(1) Dalam hal ditunjuk melakukan eksekusi,Juru Sita atau Juru Sita Pengganti bertanggung ja
wab kepada Ketua Pengadilan.
(2) Dalam hal melaksanakan perintah pemanggilan/penyampaian pengumuman, teguran, prot
es-protes dan pemberitahuan, Juru sita atau Juru sita Pengganti bertanggung jawab kepada Ke
tua Pengadilan/Ketua Sidang
(3) Dalam hal melakukan sita, Juru Sita atau Juru Sita Pengganti bertanggung jawab kepada
Ketua Pengadilan/Ketua Sidang.

BAB III
PENUTUP
a.kesimpulan
1. Peradilan Agama memiliki beberapa komponen yakni: pertama aturan hukum yang ter
diri dari hukum materiil dan hukum formil, kedua aparat peradilan terdiri dari Hakim,
Panitera dan Juru Sita
2. Masing-masing komponen tersebut memiliki fungsi dan tugas sendiri-sendiri. Tetapi
meskipun memiliki tugas sendiri-sendiri antara komponen yang satu dengan lainnya s
aling tergantung dan bekerja sama untuk mencapai satu tujuan yakni terciptanya huku
m dan keadilan.
b.saran
Perlu dibentuk hukum formil/acara khusus Peradilan Agama karena ada beberapa hukum mat
eriil Peradilan agama memiliki spesifikasi sendiri yang berbeda dengan hukum materiil yang
menjadi kewenangang Peradilan Umum.Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum materiil yan
g digunakan di pengadilan Agama supaya segera dijadikan hukum tertulis di Indonesia. Untu
k mencapai keadilan hakim dalam menjalankan tugasnya tidak cukup berfikir normatif tetapi
pada kondisi tertentu perlu berfikir secara filosofis.

Daftar Pustaka
Amirin, Tatang M. Pokok-Pokok Teori Sistem. Jakarta: Rajawali Pers, 1996.
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika,2004.
_______________. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta:
Bhuana Ilmu Populer, 2007.
Attamimi, A. Hamid S. “Kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional.” dalam Dimensi Hukum Islam Sistem Hukum Nasional. Ed. Amrullah
Ahmad. Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Azizy, Qodri. Eklektisisme Hukum Nasional Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum
Umum. Yogyakarta: Gama Media, 2002.
Direktorat Jenderal Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia. Pedoman
Pembinaan Peradilan Agama. Jakarta: Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2007.
Fajar, Mukthi. Tipe Negara Hukum.Malang: Bayumedia Publishing, 2003.
Fuadi, Munir. Teori Negara Hukum Modern (Rechttstaat). Bandung: PT Refika
Aditama, 2009.
Harahap, Yahya.Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama.Jakarta: Sinar

Anda mungkin juga menyukai