Anda di halaman 1dari 7

Nama : Ditya Metta Ayu Fernanda

Nim : E0018122

Kelas : Hukum Acara Perdata (E)

JAWABAN UJIAN AKHIR SEMESTER

HUKUM ACARA PERDATA

1. Jelaskan aspek historikalitas keterhubungan munculnya Hukum Acara Perdata


didalam Sistem Hukum di Indonesia !
Jawab :
Hukum acara perdata Indonesia yang berlaku saat ini berasal dari zaman
Pemerintahan Hindia Belanda yang hingga saat ini ternyata masih dipertahankan
keberadaannya. Oleh karena itu, membicarakan hukum acara perdata ini dimulai sejak
lahirnya hukum acara perdata itu sendiri. Berbicara mengenai sejarah hukum acara
perdata di Indonesia, tidak dapat terlepas dari membicarakan sejarah peradilan di
Indonesia. Walaupun ada dua peraturan hukum acara perdata untuk pengadilan negeri,
yaitu HIR untuk Jawa dan Madura serta RBg untuk luar Jawa dan Madura; isinya
sama saja sehingga secara material sudah ada keseragaman untuk peraturan hukum
acara perdata bagi semua pengadilan negeri di seluruh Indonesia. Karena itu, asas
unifikasi yang dikehendaki oleh Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Darurat 1951-1 dalam
bidang hukum acara pidana dan acara perdata sudah tercapai. Kemudian, peraturan
hukum acara perdata yang ada tersebut diperkaya dengan yurisprudensi Mahkamah
Agung Republik Indonesia. Adapun yang ditunggu selanjutnya untuk masa akan
datang adalah hukum acara perdata nasional ciptaan sendiri sebagai kodifikasi hukum
yang akan menggantikan hukum acara perdata warisan zaman Pemerintahan Hindia
Belanda dahulu yang hingga sekarang masih berlaku

2. Mengapa di dalam Hukum Acara Perdata harus mewujudkan Asas Wajib


Mendamaikan dan apa hubungannya mengapa dalam perkara Cerai dan Pembatalan
Nikah terdapat penyimpangan terhadap Asas Persidangan Terbuka Untuk Umum?
Jawab :
Asas kewajiban mendamaikan diatur dalam Pasal 65 dan Pasal 82 Undang-
Undang No. 7 Tahun 1989, Pasal 39 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 31
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Bahkan lebih sempurna dan lebih jelas
rumusan yang tercantum dalam Pasal 31 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun1975,
yang berbunyi: “(1) Hakim yang memeriksa gugatan perceraian berusaha
mendamaikan kedua belah pihak; (2) Selama perkara belum diputuskan, usaha
mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan”. Berdasarkan uraian
di atas dapat disimpulkan bahwa asas wajib mendamaikan adalah asas yang
mengharuskan hakim untuk terus mendamaikan kedua belah pihak yang sedang
bersengketa pada setiap sidang pemeriksaan selama perkara belum diputuskan.
Didalam hukum acara perdata harus mewujudkan asas wajib mendamaikan
karena asas ini merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa yang baik dengan
cara perdamaian, karena dalam hal ini tidak ada pihak yang dimenangkan ataupun
pihak yang dikalahkan, lain halnya bila suatu permasalahan yang diserahkan untuk
diadili, seadil-adilnya putusan bagaimanapun juga dalam suatu putusan selalu ada
pihak yang merasa dirugikan oleh putusan tersebut.
Pada perkara perceraian, seperti cerai gugat dan cerai talak, hakim wajib
mendamaian kedua belah pihak berperkara pada setiap kali persidang ( Pasal 56 ayat
2, 65, 82, 83 UU No 7 Tahun 1989. Dan selanjutnya jika kedua belah pihak hadir
dipersidangan dilanjutkan dengan mediasi PERMA No 1 Tahun 2008. Kedua belah
pihak bebas memilih Hakim mediator yang tersedia di Pengadilan Agama Pelaihar
tanpa dipungut biaya. Apabila terjadi perdamaian, maka perkaranya dicabut oleh
Penggugat/Pemohon dan perkara telah selesai.
Dalam perkara perdata pada umumnya setiap permulaan sidang, sebelum
pemeriksaan perkara, hakim diwajibkan mengusahakan perdamaian antara para pihak
berperkara ( Pasal 154 R.Bg), dan jika tidak damai dilanjutkan dengan mediasi.
Dalam mediasi ini para pihak boleh menggunakan hakim mediator yang tersedia di
Pengadilan Agama tanpa dipungut biaya, kecuali para pihak menggunakan mediator
dari luar yang sudah punya sertikat, maka biayanya seluruhnya ditanggung kedua
belah pihak berdasarkan kesepakatan mereka. Apabila terjadi damai, maka dibuatkan
akta perdamaian ( Acta Van Verglijk). Akta Perdamaian ini mempunyai kekuatan
hukum yang sama dengan putusan hakim,dan dapat dieksekusi, tetapi tidak dapat
dimintakan banding, kasasi dan peninjauan kembali. Apabila tidak terjadi damai
dalam mediasi, baik perkara perceraian maupun perkara perdata umum, maka proses
pemeriksaan perkara dilanjutkan.
Asas persidangan terbuka untuk umum harus dilakukan pada setiap
persidangan, kalau tidak putusannya bisa berakibat tidak sah. Kecuali apabila
ditentukan lain oleh undang-undang, atau karena alasan penting yang harus dimuat
dalam berita acara persidangan, maka sidang dilakukan dengan tertutup. Namun,
untuk sidang pemeriksaan perceraian dan pembatalan perkawinan berlaku sebagai
berikut: (1) Pada saat diusahakan perdamaian, sidang terbuka untuk umum; (2) Jika
tidak tercapai perdamaian maka sidang dilakukan dengan tertutup untuk umum; (3)
Tetapi pada saat pembacaan putusan, sidang terbuka untuk umum.

3. Jelaskan dengan rinci persamaan dan perbedaan kompetensi Cerai Gugat di


Pengadilan Negeri dengan Pengadilan Agama
Jawab :
Untuk bentuk pemecahan perkawinan atau perceraian gugat berdasar putusan
Pengadilan Agama sesuai dengan hukum islam. Bentuk pertama dalam pemecahan
perkawinan atau perceraian dalam bentuk talak diajukan oleh pihak suami. Sedangkan
untuk perceraian yang diajukan oleh pihak istri disebu cerai gugat. Dalam hal
perceraian memang hasil akhir dari keuanya sama yakni sama-sama perceraian,
namun dalam prosedur dan proses diantara keduanya menurut hukum islam berbeda.
Kewenangan/kompetensi relatif mengatur pembagian kekuasaan mengadili
antar badan peradilan yang sama, tergantung pada domisili atau tempat tinggal para
pihak (distributie van rechtsmacht), terutama tergugat. Pengaturan mengenai
kewenangan relatif ini diatur pada Pasal 118 HIR. Kewenangan relatif ini
menggunakan asas actor sequitor forum rei yang berarti yang berwenang adalah
Pengadilan Negeri tempat tinggal Tergugat. Terhadap kewenangan/kompetensi relatif,
jika pihak Tergugat tidak mengajukan jawaban yang berisi eksepsi mengenai
kewenangan/kompetensi relatif terhadap perkara yang sedang diadili, maka perkara
tersebut dapat dilanjutkan pemeriksaannya hingga majelis hakim menjatuhkan
putusan akhir.
Kewenangan/kompetensi absolut merupakan pemisahan kewenangan yang
menyangkut pembagian kekuasaan antara badan-badan peradilan, dilihat dari
macamnya pengadilan, menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili (attributie
van rechtsmacht). Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 18 UU No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman terdiri
dari Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha
Negara. Terhadap kewenangan absolut, walaupun Tergugat tidak mengajukan eksepsi
kewenangan absolut atas perkara yang diajukan ke suatu badan pengadilan, maka
majelis hakim tetap harus memeriksa terkait kewenangan absolutnya untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang diajukan kepadanya. Apabila
terbukti bahwa perkara tersebut bukan merupakan kewenangan absolut pengadilan
yang bersangkutan, maka majelis hakim wajib menghentikan pemeriksaan.
Pengadilan Negeri berwenang mengadili perkara perceraian bagi orang Non
Islam. Sedangkan Pengadilan Agama berwenang mengadili perkara perceraian bagi
orang Islam. Pengadilan Negeri wajib menolak gugatan cerai yang diajukan oleh
orang Islam yang menikah berdasarkan ajaran Islam dan diterbitkan Buku Nikah dari
Kantor Urasan Agama. Pengadilan Negeri memeriksa gugatan cerai dari orang yang
beragama Non Islam yang mendapatkan Akta Nikah dari Kantor Catatan Sipil.
Pengadilan Negeri tidak mengenal istilah Permohonan Talak Suami.  Suami atau Istri
yang mengajukan cerai sama-sama disebut Gugatan Cerai, sedangkan di Pengadilan
Agama dibedakan antara Suami yang mengajukan cerai disebut Permohonan Talak
dan Istri yang mengajukan Cerai disebut Gugatan Cerai. Pengadilan Negeri tidak
berhak mengelurkan Akta Cerai (Akta Cerai dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil)
sedangkan Pengadilan Agama berhak mengeluarkan Akta Cerai. 

4. Berkenaan dengan kehadiran para pihak di Peradilan Perdata setelah dilakukan


pemanggilan secara resmi dan patut, jelaskan masing-masing konsekuensi hukum
pelaksanaan persidangan ketika terdapat situasi sebagai berikut:
Jawab :
Kehadiran para pihak yang berperkara pada persidangan merupakan sesuatu
yang penting, teruama bagi pihak yang merasa haknya dirugikan. Ketidakhadiran para
pihak yang berperkara dalam persidangan yang telah dipanggil secara resmi dan patut,
dapat dianggap sebagai ketidakseriusan mereka untuk mempertahankan haknya.
Kehadiran para pihak dalam persidangan juga akan mempengaruhi agenda
persidangan selanjutnya. Jika para pihak yang dipanggil secara resmi dan patut, tetapi
tidak menghadap ke persidangan, maka para pihak tersebut akan mengalami
konsekuiensi tertentu. Bagi seorang panitera yang bertugas membuat beria acara
persidangan, juga harus memahami kehadiran para pihak dalam persidangan yang
akan diuangkan dalam berita acara persidangan.
Jika setiap agenda penyampaian hak, baik dari pengguga/pemohon atau
tergugat/termohon, apabila dia idak hadir atau tidak diwakili kuasanya, dan atau dia
hadir tetapi belum siap untuk melanjutkan perkaranya dan ia meminta didampingi
kuasanya, maka Majelis Hakim boleh memberikan kesempatan kepda
penggugat/pemohon dengan menunda persidangan untuk memanggilnya kembali
dengan agenda sidang yang menyesuaikan.
Berdasarkan skema diatas
Yang dapat dilakukan hakim terhadap kedua belah pihak :
 Penggugat yang sengaja tidak hadir dalam sidang pertama, padahal ia yang
mempunyai inisiatif mengajukan gugatan, sikap Penggugat yang demikian
dapat dinilai oleh Hakim bahwa Penggugat beritikad buruk, sedangkan
Tergugat telah hadir artinya Tergugat dapat dinilai oleh Hakim ia telah
beritikad baik untuk menyelesaikan perkaranya, maka oleh Hakim dapat
menyatakan gugatannya digugurkan dan Penggugat dihukum mebayar biaya
perkara
 Tergugat yang sengaja tidak hadir dalam sidang pertama, padahal ia telah
dipanggil secara sah dan patut, Penggugat telah mengeluarkan biaya dan hadir
di persidangan, oleh Hakim Tergugat dinilai beritikad buruk, maka oleh
Hakim dapat menyatakan gugatan Penggugat dikabulkan dengan verstek
(tanpa hadirnya Tergugat);
 Dalam sidang pertama apakah Penggugat atau Tergugat yang tidak hadir
dalam persidangan, Hakim jika perlu dapat menunda sidang dengan
memerintahkan memanggil kepada pihak yang tidak hadir, jadi jika dalam
sidang pertama Penggugat yang tidak hadir atau Tergugat yang tidak hadir
Hakim masih memberi kesempatan yang sama untuk memanggil lagi;
 Dalam sidang pertama Penggugat hadir Tergugat hadir, namun dalam sidang
berikutnya Tergugat tidak hadir, maka Hakim wajib memanggil Tergugat
untuk hadir dalam sidang berikutnya;
 Tujuan adanya pasal 126 HIR ini adalah untuk memberikan kelonggaran bagi
para pihak dan supaya Hakim tidak tergesa-gesa dalam memberikan putusan
dikarenakan adanya kemungkinan para pihak tidak datang karena ada
halangan-halangan tertentu (misalnya, salah satu pihak tersebut tidak
mengetahui adanya panggilan tersebut).
 Namun apabila setelah dua kali persidangan dan pihak Tergugat tidak hadir
juga setelah dipanggil dengan patut, maka mengacu pada peraturan
perundang-undangan yang ada, seharusnya persidangan dapat dilanjutkan.

5. Gugatan dalam Peradilan Perdata, harus mengandung waktu dan tempat pembuatan
gugatan, identitas para pihak, posita dan petitum, maupun tanda tangan penggugat.
Namun poin-poin gugatan demikian, baik yang bersangkut paut dengan pokok
gugatan maupun hal-hal di luar pokok gugatan dapat dijadikan alasan untuk
mengajukan jawaban gugatan, baik yang berwujud Tangkisan (Eksepsi-Nota
Keberatan), Konpensi (Jawaban Pokok Sengketa), maupun Rekonpensi (Gugatan
Balik). Gambarlah skematik antara Gugatan dan Jawaban Gugatan secara rinci (ragam
eksepsi, rekonpensi, alasan rekonpensi) tanpa harus menjelaskan definisi peristilahan
yang ada !
Jawab :
Tidak Langsung Mengenai Pokok EKSEPSI
Perkara

JAWABAN TERGUGAT

Langsung Mengenai Pokok Perkara PRINSIPAL/POKOK


PERKARA
(Verweer ten principale)

REFERTE,PENGAKUAN,
BANTAHAN,GABUNGAN
PENGAKUAN DAN
BANTAHAN

Anda mungkin juga menyukai