Anda di halaman 1dari 12

IMPLEMENTASIAN PENGATURAN HUKUM DAN PROSEDUR UPAYA

HUKUM PERLAWANAN (VERZET) DALAM ACARA PERDATA

DI PENGADILAN NEGERI

Disusun oleh :

Salsabila Thania Islami

NIM. 11000120140278

Dosen Pengampu

Marjo, S.H., M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMRANG

2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut Wirjono Prodjodikoro Hukum Acara Perdata adalah rangkaian
peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan
di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain
untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 1 ayat
(3) Indonesia adalah negara hukum. Hal ini di pertegas dalam Pasal 27 ayat (1)
UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa
segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan
wajib menjunjung hukum itu dengan tidak ada pengecualiannya. Oleh karena itu setiap
warga negara Indonesia mempunyai persamaan di mata hukum dan tidak membeda-
bedakan didalam menegakkan hukum.
Manusia sebagai mahkluk sosial tidak terlepas dengan interaksi dan konflik
sesama manusia lain. Konflik yang terjadi di kehidupan sehari-hari di masyarakat dapat
terjadi apabila seseorang menguasai, mengurangi, atau melanggar hak orang lain yang
berkaitan dengan mempertahankan hak yang bersangkutan. Di Indonesia hukum yang
mengatur hubungan hak dan kewajiban antara individu dengan individu, dan individu
dengan badan hukum atau bisa di sebut hukum privat iyalah hukum perdata dan hukum
acara perdata. Hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana cara mengajukan
tuntutan hak, pemeriksaan, memutusnya dan pelaksanaan dalam putusan tersebut.1
Verzet merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah
satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri.
Verzet (perlawanan) adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh tergugat ketika
dijatuhkan putusan verstek yang tidak didahului oleh upaya hukum banding penggugat,
apabila penggugat terlebih dahulu melakukan upaya hukum banding, maka tergugat
tidak boleh mengajukan verzet, namun tergugat diperbolehkan untuk mengajukan
banding.2

1
Sudikno Mertokusumo. 2002. Hukum Acara Perdata Indonesia. Liberty, Yogyakarta, hlm. 2
2
Pasal 8 UU No. 20 Th. 1947. Mukti Arto, Praktek., 251
Putusan verstek merupakan putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim tanpa
hadirnya tergugat dan tanpa alasan yang sah meskipun telah dipanggil secara resmi dan
patut. Putusan verstek ini merupakan pengecualian dari acara persidangan biasa sebagai
akibat ketidakhadiran tergugat atas alasan yang tidak sah. Putusan verstek hanya dapat
dijatuhkan dalam hal tergugat atau para tergugat tidak hadir pada hari sidang pertama.
Putusan tersebut tampak kurang adil bagi tergugat karena dijatuhkan tanpa
kehadirannya. Sementara perkara tidak mungkin digantung tanpa akhir yang pasti atau
harus segera diselesaikan. Walaupun demikian bukan berarti pintu telah tertutup bagi
tergugat. Tergugat masih memiliki jalan untuk mendapatkan pengadilan dengan cara
melakukan upaya hukum biasa yaitu perlawanan terhadap putusan verstek. Pihak yang
bersengketa akan mengajukan Gugatan ke ketua pengadilan negeri yang berwenang
menangani sengketa karena merasa haknya telah dilangara dan tidak terpenuhi oleh
pihak lain gugatan yang diajukan disebut perkara perdata (civil action, civil case),
Gugatan merupakan tuntutan hak yang mengandung sengketa, dimana sekurang-
kurangnya terdapat dua pihak, yaitu penggugat dan tergugat.3
Dalam Persidangan Perdata pihak penggugat dan pihak tergugat akan saling
membuktikan dan menyakinkan hakim bawahnya merekalah yang benar, dengan cara
memberikan alibi hukum masing-masing serta bukti dalam jalanya persidangan
sehingga Hakim akan memutuskan sengeketa tersebut berdasarkan hukum yang
berlaku dan keyakinan Hakim untuk mebuat putusan sengketa. Putusan yang di buat
oleh hakim tidaklah mutlak dan tidak mustahil pula akan menimbulkan suatu
permasalahan dalam pelaksanaan putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah proses acara dalam verstek?
2. Bagaimanakah pengaturan hukum upaya Perlawanan (Verzet) dalam ketentuan
hukum acara perdata?
3. Bagaiamana mekanisme syarat dan proses pemeriksaan verzet dalam hukum
upaya acara perdata di Pengadilan Negeri?

3
Sri Wardah dan Bambang Sutiyoso. 2007. Hukum Acara Perdata dan Perkembangannya di Indonesia. Gama
Media, Yogyakarta, hlm. 13.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Proses Acara Verstek


Tergugat yang telah dipanggil dengan patut, a atau kuasa sahnya tidak datang
menghadap maka perkaranya kan diputus verstek, yaitu penggugat dianggap menang
dan tergugat dianggap kalah. Sebelum pengadilan memutus dengan verstek, pengadilan
dapat memanggil sekali lagi tergugat. Kalau ia atau kuasa sahnya tidak juga datang
menghada maka ia akan diputus verstek. Menurut Gatot Supramono, dalam acara
putusan yang dijatuhkan di luar hadirnya pihak tergugat (verstek) dalam Pasal 125 ayat
(I) HIR., setelah tergugat dipanggil dengan patut (selama tiga kali berturut-turut) tetapi
tidak datang menghadap ke persidangan dan tidak juga menyuruh orang lain untuk
mewakilinya, maka Hakim menjatuhkan putusan secara verstek. Dalam menjatuhkan
putusan tersebut, tidak diperlukan pembuktian, Hakim hanya diperintahkan untuk
melihat apakah gugatan penggugat melawan hak atau tidak beralasan.4
Putusan verstek tidak berarti selalu dikabulkannya gugatan penggugat. Pada
hakekatnya lembaga verstek itu untuk merealisir asas audi et alteran partem, jadi
kepentingan tergugat pun harus diperhatikan. Sehingga secara ex officio
Hakimmempelajari isi gugatan. Tetapi dalam praktek sering gugatan penggugat
dikabulkan dalam putusan verstek tapa mempelajari gugatan terlebih dahulu.5
Selanjutnya cara praktek dalam persidangannya adalah: Pengadilan Agama
membuka sidang sesuai dengan hari/ tanggal dalam surat panggilan pertama. Kepada
penggugat yang hadir diberitahukan langung kapan sidang selanjutnya akan
diangsungkan dan kepada tergugat yang tidak hadir diperintahkan untuk dipanggil lagi
yang kedua kalinya dengan surat panggilan, kemudian sidang ditutup.6 " Perkara yang
tela diputus verstek secara formal dan material sudah selesai diadili selengkapnya. Jadi
tergugat yang kalah tidak boleh mengajukan perkara tersebut kembali seperti dalam
perkara yang diputus dengan digugurkan kecuali pengajuan upaya hukum verzet, jika
masih perlu tergugat dalam hal ini dapat menggunakan upaya hukum banding.

4
Gatot Supramono, Hukum Pembuktian di Peradilan Agama (Bandung : Penerbit Alumni, 1993),
him. O
5
Sudikno Mertokusumo. Hukum Acara Perdata. blm. 85
6
Roihan A. Rasyid. Hukum Acara Peradilan Agama, hIm. 105
Perihal tentang syarat sahnya penerapan acara verstek kepada tergugat merujuk
kepada ketentuan Pasal 125 ayat (1) HIR atau Pasal 78 Rv. Berdasarkan pasal tersebut
hakim diberi wewenang menjatuhkan putusan diluar hadirnya tergugat, dengan syarat
sebagai berikut:
1. Apabila tergugat tidak hadir menghadiri sidang pemeriksaan yang
ditentukan tanpa alasan yang sah (default without reason).
2. Dalam hal seperti itu hakim menjatuhkan putusan verstek yang berisi
dictum sebagai berikut: pertama mengabulkan gugatan seluruhnya atau
sebagian, kedua menyatakan gugatan tidak dapat diterima apabila
gugatan tida mempunyai dasar hukum.

Memperhatikan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa pengertian teknis verstek


berkaitan dengan pemberian kewenangan kepada hakim untuk memeriksa dan
memutus perkara meskipun penggugat atau tergugat tidak hadir di persidangan pada
tanggal yang telah ditentukan. Dengan demikian, apa yang menjadi pertimbangan
putusan hakim tersebut diambil dan dijatuhkan tapa bantahan atau sanggahan dari pihak
yang tidak hadir.7 Hal ini dilakukan semata-mata bertujuan untuk memberikan keadilan
bagi pihak yang hadir dalam sidang agar proses beracara dapat berjalan dengan lancar
dan beban perkara salah satu pihak cepat terselesaikan.

Tentang tata cara pemanggilan yang sah dan patut yang dilakukan oleh jurusita
harus berpedoman pada Pasal 122 HIR atau Pasal 10 Rv. Pasal tersebut mengatur jarak
waktu antara pemanggilan dengan hari sidang. Dalam keadaan normal digantungkan
pada faktor jarak tempt kediaman tergugat dengan gedung pengadilan dengan jangka
waktu delapan hari untuk jarak dekat, empat belas hari jika jarakya agak jauh dan dua
puluh hari jika jaraknya jauh. Namun, apabila keadaan mendesak menurut Pasal 122
HIR jarak waktunya dapat dipersingkat tetapi tidak bole kurang dari tiga hari.

Apabila pemanggilan belum sah, kemudian tergugat tidak datang memenuhi


panggilan sidang, hakim tidak dibenarkan melakukan pemeriksaan dengan acara
verstek. Putusan verstek yang dijatuhkan dalam kasus seperti itu dianggap cacat hukum
sebagaimana ditegaskan oleh Putusan MA No. 838 K/Pdt/1975. Putusan verstek yang
dijatuhkan tersebut tidak tepat karena pemanggilan terhadap tergugat belum sempurna

7
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, hlm. 382.
berdasarkan fakta, hal ini dapat mengakibatkan putusan yang diambil tidak sah.8 Maka
dalam hal ini perlu kiranya diperhatikan hak-hak atas tergugat dalam acara verstek,
karena putusan verstek ini berkaitan dengan tahapan prosedur pemanggilan secara sah
dan patut. Terlepas dari hal tersebut di atas mengenai putusan verstek dalam suatu
perkara belum dapat dilaksanakan sebelum masa pengajuan verzet berakhir. Sehingga
ketika verzet diajukan oleh tergugat maka pengadilan agama melalui Majelis Hakimnya
menyelesaikan perkara tersebut sampai pada putusan akhir. Apabila pada putusan
terahir membatalkan putusan verstek maka dapat dimohonkan eksekusi lagi
berdasarkan putusan akhir.

B. Pengaturan Hukum Upaya Perlawanan (Verzet) Dalam Ketentuan Hukum Acara


Perdata.
Upaya hukum verzet (perlawanan) adalah upaya hukum terhadap putusan yang
dijatuhkan Pengadilan Negeri/Pengadilan Tingkat Pertama karena Tergugat tidak hadir
pada sidang pertama dan tidak mengirimkan wakilnya untuk menghadap di
persidangan, walapun sudah dipanggil dengan patut dan tanpa alasan yang sah. Lebih
lanjut dalam dalam Pasal 125 ayat (1) HIR/ Pasal 149 ayat (1) RBg menyatakan apabila
pada hari yang telah ditentukan, tergugat tidak hadir dan pula ia tidak menyuruh orang
lain untuk hadir sebagai wakilnya, padahal ia telah dipanggil dengan patut maka
gugatan itu diterima dengan putusan tak hadir (verstek), kecuali kalau ternyata bagi
pengadilan negeri bahwa guagatan tersebut melawan hukum atau tidak beralasan.
Gugatan yang dikatakan melawan hukum apabila peristiwa-peristiwa yang
menjadi dasar hukum yaitu apabila peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar gugatan
tidak membenarkan tuntutan (petitum). Gugatan yang dikatakan bertentangan dengan
hukum dapat terjadi bilamana kedudukan penggugat tidak dibenarkan mengajukan
gugatan.
Putusan yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima dimaksudkan sebagai
penolakan gugatan di luar pokok perkara. Sedangkan putusan yang menyatakan
gugatan ditolak merupakan putusan setelah mempertimbangkan mengenai pokok
perkara. Kedua macam putusan ini mempunyai perbedaan yang besar sekali dan
konsekuensi yang berlainan. Terhadap putusan tidak dapat diterima (nietonvankelijk
verklaard), penggugat masih dapat mengajukan gugatannya kembali kepada pengadilan
negeri, sedangkan terhadap putusan yang menyatakan gugatan ditolak (onzegr),

8
Ibid., him, 384-385.
penggugat tidak dapat mengajukan kembali gugatannya ke pengadilan negeri (nebis in
idem), tetapi hanya dapat mengajukan permohonan pemeriksaan tingkat banding di
Pengadilan Tinggi.
Dalam hal tergugat maupun kuasanya tidak hadir pada sidang pertama, maka
tergugat diperkenankan mengirimkan jawaban yang memuat tangkisan berupa eksepsi
yang menyatakan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya. Atas
eksepsi yang diajukan tergugat, pengadilan wajib memberi putusan atas tangkisan itu
setelah mendengar pihak penggugat. Jika tangkisan itu ditolak, maka pengadilan dapat
memutus pokok perkaranya.9
Perlawanan (verzet) merupakan hak yang diberikan oleh undang-undang
kepada Tergugat terhadap putusan yang dijatuhkan atas ketidak hadirannya (Pasal 125
ayat (3) HIR/149 ayat (3) Rbg Jo. 129 ayat (1) HIR/Pasal 153 ayat (1) RBg. ladi, verzet
(perlawanan) merupakan bantahan terhadap verstek. Tentang verzet menurut Pasal 125
ayat (3) HIR/149 ayat (3) RBg menyatakan Iika gugatan diterima, maka atas perintah
ketua diberikan putusan itu kepada pihak yang dikalahkan, serta diterangkan
kepadanya, bahwa ia berhak mengajukan perlawanan (verzet) tahadap putusan tak hadir
itu kepada pengadilan negeri itu, dalam tempo dan dengan cara seperti ditentukan dalam
Pasal 129 HIR/ Pasal 153 RBg.
Dalam hukum acara perdata dikenal pula apa yang disebut dengan istilah partij
verzet atau diartikan perlawanan oleh pihak berperkara. Partij verzet seringkali
dikaitkan dengan upaya hukum perlawanan tereksekusi terhadap sita eksekusi.
Perlawanan terhadap sita eksekusi (partij verzet) diatur dalam Pasal 207 HIR dan Pasal
225 RBg. Mengenai 13 Retnowulan Sutanto dan Iskandar Oeripkartawinata. Op. cit.
halaman.33 perlawanan tereksekusi terhadap sita eksekusi dijelaskan lebih jauh dalam
Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II yang
diterbitkan oleh Mahkamah Agung dijelaskan sebagai berikut:
1. Perlawanan tereksekusi terhadap sita eksekusi barang bergerak dan barang yang
tidak bergerak diatur dalam pasal 207 HIR atau pasal 225 Rbg.
2. Perlawanan ini pada azasnya tidak menangguhkan eksekusi. Pasal 207 (3) HIR
atau 227 RBg. Namun, eksekusi harus ditangguhkan, apabila segera nampak
bahwa perlawanan tersebut benar dan beralasan, paling tidak sampai
dijatuhkannya putusan oleh Pengadilan Negeri.

9
Ketentuan Pasal 125 ayat (2) HIR/ Pasal 149 ayat (2) RBg
3. Terhadap putusan dalam perkara ini, permohonan banding diperkenankan.

Mahkamah Agung (MA) dalam keputusannya terhadap perkara Reg. No.:1346


K/Sip/1971 tertanggal 23 Juli 1973 berpendapat bahwa Perlawanan (verzet) terhadap
conservatoir beslag bersifat insidentil, sehingga kalua diterima sebagai perlawanan atau
bantahan, seharusnya diperiksa tersendiri (insidentil) dengan menunda dahulu
pemeriksaan terhadap pokok perkara. Selanjutnya dalam perkara Reg. No.:306
K/Sip/1962 tertanggal 31 Oktober 1962 MA berpendapat meskipun mengenai
perlawanan terhadap penyitaan conservatoir tidak diatur secara khusus dalam HIR,
menurut yurisprudensi perlawanan yang diajukan oleh pihak ketiga selaku pemilik
barang yang disita dapat diterima juga dalam hal sita conservatoir ini belum disahkan.

B. Mekanisme Syarat Dan Proses Pemeriksaan Verzet Dalam Hukum Upaya Acara
Perdata Di Pengadilan Negeri
1. Syarat Acara Verzet
Menurut pasal 129 ayat (1) dan pasal 83 Rv, yang berhak mengajukan
perlawanan hanya terbatas pihak tergugat saja, sedang kepada penggugat tidak
diberi hak mengajukan perlawanan, dalam hal ini pihak tergugat tidak oleh
pihak ketiga. Perluasan atas hak yang dimiliki tergugat untuk mengajukan
perlawanan meliputi ahli warisnya apabila pada tenggang waktu pengajuan
perlawanan tergugat meninggal dunia, dan dapat diajukan kuasa. Tergugat yang
tidak hadir disebut pelawan dan penggugat yang hadir disebut terlawan. Dalam
praktik peradilan maka apabila tergugat yang diputus dengan verstek
mengajukan verzet maka kedua perkara tersebut dijadikan satu dan dalam
register diberi satu nomor perkara.
Penggugat yang diputus verstek, bisa mengajukan banding, bila ia tidak
diterima oleh karena gugatannya dinyatakan tidak dapat diterima atau ditolak.
Bila penggugat yang diputus verstek banding, maka tergugat yang tidak hadir,
tidak bisa verzet. Tenggang waktu mengajukan perlawanan (verzet) adalah 14
hari setelah diberitahukan dan diterimanya putusan verstek oleh tergugat. Jika
putusan itu tidak diberitahukan kepada tergugat sendiri, maka perlawanan masih
diterima sampai pada hari ke-8 sesudah peneguran atau dalam hal tidak hadir
sesudah dipanggil dengan patut sampai pada hari ke-14, ke-8 sesudah
dijalankan surat perintah. 10
Kemudian ketika perkara verzet disidangkan dan tergugat dikalahkan
dengan verstek lagi maka tergugat tidak dapat mengalah dengan banding.
Dalam praktik verzet ini harus diberitahukan atau dinyatakan dengan tegas dan
bila tidak maka pernyataan verzet bersangkutan dinyatakan tidak dapat
diterima.

2. Proses Pemeriksaan Verzet


Ada tiga cara dalam proses pemeriksaan verzet diantaranya yaitu:
1) Perlawanan diajukan kepada PN yang menjatuhkan putusan verstek.
Agar permintaan perlawanan memenuhi syarat formil, maka:
➢ Diajukan oleh tergugat sendiri atau kuasanya.
➢ Disampaikan kepada PN yang menjatuhkan putusan verstek
sesuai batas tenggang waktu yang ditentukan.
➢ Perlawanan diajukan kepada putusan verstek tanpa menarik
pihak lain, selain dari pada penggugat semula.
2) Perlawanan terhadap verstek, bukan perkara baru.
Perlawanan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dengan
gugatan semula maka perlawanan bukan perkara baru, akan tetapi
merupakan bantahan yang ditujukan kepada ketidakbenaran dalil
gugatan, dengan alasan putusan verstek yang dijatuhkan, keliru atau
tidak benar. Sedemikian eratnya kaitan perlawanan dengan gugatan
semula, menyebabkan komposisi pelawan sama persis dengan tergugat
asal dan terlawan adalah penggugat asal.
3) Perlawanan mengakibatkan putusan verstek mentah kemabli.
Apabila diajukan verzet terhadap putusan verstek maka dengan
sendirinya putusan verstek menjadi mentah kembali yaitu ekstensinya
dianggap tidk pernah ada sehingga putusan verstek tidak dapat
dieksekusi. Ekstensi putusan verstek bersifat relatif dan mentah selama
tenggang waktu verzet masih belum terlampaui. Secara formil putusan

10
Mertokusomo, sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberti, 1998
verstek memang ada, tetapi secara materiil, belum memiliki kekuatan
eksekutorial.
4) Pemeriksaan perlawanan.
➢ Isi verzet adalah tanggapan terhadap putusan verstek/ dalil
penggugat asal.
➢ Verzet hanya mempermasalahkan alasan ketidak hadiran
tergugat menghadiri pengadilan.
➢ Proses pemeriksaan dengan acara biasa, yang diatur dalam
dalam Pasal IR yang berbunyi:
“Surat perlawanan itu dimaksud dan diperiksa dengan cara
yang biasa, yang diatur untuk perkara perdata.”
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hukum Acara Perdata sebagai sumber hukum formal dalam mengatur tentang
perlawanan baik itu berbentuk verzet atas putusan verstek, partij verzet (perlawanan
pihak berperkara) dan derden verzet (perlawanan pihak ketiga) sebagaimana terdapat
dalam HIR dan RBg telah memberikan kepastian hukum dalam mengatur mekanisme
pengajuan dan pemeriksaan perkara perlawanan di pengadilan. Upaya hukum verzet
(perlawanan) adalah upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan Pengadilan
Negeri/Pengadilan Tingkat Pertama karena Tergugat tidak hadir pada sidang pertama
dan tidak mengirimkan wakilnya untuk menghadap di persidangan, walapun sudah
dipanggil dengan patut dan tanpa alasan yang sah. Lebih lanjut dalam dalam Pasal 125
ayat (1) HIR/ Pasal 149 ayat (1) RBg menyatakan apabila pada hari yang telah
ditentukan, tergugat tidak hadir dan pula ia tidak menyuruh orang lain untuk hadir
sebagai wakilnya, padahal ia telah dipanggil dengan patut maka gugatan itu diterima
dengan putusan tak hadir (verstek), kecuali kalau ternyata bagi pengadilan negeri
bahwa guagatan tersebut melawan hukum atau tidak beralasan.
Menurut pasal 129 ayat (1) dan pasal 83 Rv, yang berhak mengajukan
perlawanan hanya terbatas pihak tergugat saja, sedang kepada penggugat tidak diberi
hak mengajukan perlawanan, dalam hal ini pihak tergugat tidak oleh pihak ketiga.
Perluasan atas hak yang dimiliki tergugat untuk mengajukan perlawanan meliputi ahli
warisnya apabila pada tenggang waktu pengajuan perlawanan tergugat meninggal
dunia, dan dapat diajukan kuasa. Tergugat yang tidak hadir disebut pelawan dan
penggugat yang hadir disebut terlawan. Dalam praktik peradilan maka apabila tergugat
yang diputus dengan verstek mengajukan verzet maka kedua perkara tersebut dijadikan
satu dan dalam register diberi satu nomor perkara.

B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu
penulis senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan
kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan makalah berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP) Herziene Inlandsch Reglement (HIR)


Reglement Voor de Buitengewesten (RBg) Reglement op de Burgerlijke
Rechtsvordering (RV)

Sri Wardah dan Bambang Sutiyoso. 2007. Hukum Acara Perdata dan Perkembangannya di
Indonesia. Gama Media, Yogyakarta.

Sudikno Mertokusumo. 2002. Hukum Acara Perdata Indonesia. Liberty, Yogyakarta.

Mertokusomo, sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberti, 1998

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (Hasil Amandemen) Kitab Undang
Undang Hukum Perdata

Gatot Supramono, Hukum Pembuktian di Peradilan Agama (Bandung : Penerbit Alumni,


1993), him. O

Sudikno Mertokusumo. Hukum Acara Perdata. blm. 85

Roihan A. Rasyid. Hukum Acara Peradilan Agama, hIm. 105

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, hlm. 382.

Anda mungkin juga menyukai