Yang dalam hal ini memilih domisili hukum di kantor Alfarouqi & Partners Law Firm.
Dengan ini memberi kuasa kepada:
Mujahid Alfarouqi, SH
Advokat, pengacara, & konsultan hukum berkantor di Alfarouqi & Partners Law Firm, yang beralamat di Jl. Saiyo
IV Kurao Pagang, yang dalam perkara ini dapat bertindak sendiri-sendiri maupun bersama-sama.
Selanjutnya disebut sebagai PENERIMA KUASA
----------------------------------------------KHUSUS---------------------------------------------
Untuk mendampingi dan membela kepentingan hukum pemberi kuasa “Marwan Ishak, SE, MM” sehubungan
dengan adanya dugaan tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 undang-undang nomor 8
tahun 2010 tentang tindak pidana pencucian uang. Baik di polresta Padang, kejaksaan negeri Padang, pengadilan
negeri klass IA Padang, maupun upaya hukum lainnya.
Untuk keperluan tersebut di atas, penerima kuasa berhak menghadap dan berbicara dihadapan kepolisian RI,
Kejaksaan RI, Pengadilan Negeri, serta pejabat-pejabat di Instansi-instansi lainnya, mengajukan surat-surat dan
permohonan-permohonan, mengajukan pembelaan dan jawaban, membalas segala perlawanan, memohon
keputusan-keputusan, menerima putusan, membuat serta mengajukan permohonan banding, kasasi, peninjauan
kembali, membuat persetujuan-persetujuan atas persetujuan pemberi kuasa. Dan pada pokoknya penerima kuasa
dapat melakukan segala perbuatan/tindakan yang diperbolehkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan
maksud pemberian kuaa ini.
Surat kuasa ini diberi hak substitusi dan hak retensi.
Demikian surat kuasa ini dibuat dengan sebenarnya untuk dapat dipergunakkan sesuai dengan maksud pemberian
kuasa ini
Kurao pagang, 17 Februari 2016
Pledoi
Kata “pledoi” berasal dari bahasa Belanda, yaitu Pleidooi yang artinya pembelaan (Subekti, kamus Hukum, 1973). pledoi merupakan
upaya terkahir dari seorang terdakwa atau pembela dalam rangka mempertahankan hak-hak dari kliennya, membela kebenaran yang diyakininya,
sesuai bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan. Upaya terakhir maksudnya, uapaya dari terdakwa/pembela dalam persidangan perkara
tersebut, sebelum dijatuhkan putusan oleh Pengadilan Negeri.[1]
Sebuah pembelaan pada dasarnya dilakukan oleh tergugat sendiri dengan menolak, menyanggah, dan melakukan perlawanan di muka
persidangan. Namun tidak jarang tergugat di pengadilan akan diwakilkan dan diurus oleh pengacara segala kepentingan tergugat di pengadilan
akan diwakilkan dan diurus oleh pengacara sebagaimana yang diperjanjikan dalam surat kuasa.[2]
pledoi merupakan sebuah instrumen yang sangat penting dari pekerjaan seorang (lawyer) dalam mendampingi seorang terdakwa dalam
persidangan. Dengan kedududkannya yang penting itu, bagaimanakah cara menyusun dan apa isi sebuah pledoi? KUHAP sendiri tidak mengatur
secara terperinci terhadap apa yang disebut dengan pembelaan (pledoi), termasuk tidak memberikan pengertian terhadap apa yang disebut
dengan pembelaan (pledoi) itu sendiri.[3]
Menyusun pembelaan perkara pidana, dalam menyusun surat pembelaan atau Pledoi kita harus melikat struktur sistematika Pledoi.
1. Bab Eksepsi;
2. Bab Pendahuluan;
3. Bab Tinjauan atas Dakwaan;
4. Bab Fakta-fakta yang Terungkap dalam Persidangan;
5. Bab Tinjauan Yuridis;
6. Bab Fakta-fakta yang Terungkap dalam Persidangan kalau Dihubung-kan dengan Dakwaan dan Tuntutan;
7. Bab Tinjauan Terhadap Tuntutan;
8. Bab Penutupan/Kesimpulan
Pledoi dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) dikenal dengan istilah
pembelaan.Tuntutan pidana dan pembelaan dirangkai dalam satu pembahasan untuk memudahkan melihat kaitan
antara kedua proses itu dalam pemeriksaan perkara. Tuntutan pidana yang diajukan penuntut umum maupun
pembelaan yang diajukan terdakwa atau penasihat hukum pada hakikatnya merupakan “dialogis jawab-menjawab
terakhir” dalam proses pemeriksaan.
Pengajuan tuntutan pidana dan pembelaan harus melalui tata cara
a. Diajukan atas permintaan hakim ketua sidang;
b. Mendahulukan pengajuan tuntutan dari pembelaan;
c. Jawab-menjawab dengan syarat terdakwa mendapat giliran terakhir;
d. Tuntutan, pembelaan, dan jawaban dibuat secara tertulis;
e. Pengecualian bagi terdakwa yang tidak pandai menulis, yakni pembelaan dan jawaban dapat disampaikan dengan
lisan di persidangan dan dicatat oleh panitera dalam berita acara sidang.
Alasan kenapa menempatkan pembelaan terdakwa setelah penuntut umum, agar terdakwa atau penasihat hukum
dapat menanggapi selengkapnya dasar-dasar dan alasan yang dikemukakan penuntut umum dalam tuntutannya.
Peninjauan Kembali
Peninjauan Kembali (PK) atau dalam Bahasa Belanda dikenal dengan istilah Herziening adalah suatu upaya hukum luar biasa dalam hukum pidana,
untuk melakukan peninjauan kembali terhadap suatu putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewjisde). Hal
ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang pada intinya
menyebutkan bahwa PK dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. PK dapat
dimintakan/diajukan kepada Mahkamah Agung (MA). PK baru bisa dimintakan/diajukan ke MA setelah semua upaya hukum biasa berupa banding
dan kasasi telah tertutup untuk dilakukan. PK dapat dimintakan/diajukan terhadap semua putusan pengadilan, baik Pengadilan Negeri (PN),
Pengadilan Tinggi (PT) maupun Mahkamah Agung (MA), dengan persyaratan bahwa putusan instansi pengadilan sebagaimana tersebut di atas telah
mempunyai kekuatan hukum tetap. Putusan PN dapat dimintakan/diajukan PK dengan syarat bahwa putusan PN tersebut telah mempunyai kekuatan
hukum tetap dan telah tertutup upaya hukum biasa untuk melakukan banding ke PT. Demikian pula putusan PT yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap dan telah tertutup upaya hukum biasa untuk melakukan kasasi ke MA. Demikian pula terhadap putusan MA dapat diajukan PK, setelah
putusan MA tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Mempunyai kekuatan hukum tetap berarti telah dibacakan putusan pengadilan (vonis)
terhadap terdakwa didepan sidang terbuka untuk umum, dan ditandai pula dengan telah diberitahukannya secara sah putusan pengadilan tersebut
kepada terdakwa, maka sejak saat itu terbuka jalan untuk meminta/mengajukan PK, baik terhadap putusan PN, PT maupun MA. PK tidak dapat
dimintakan/diajukan apabila putusan instansi pengadilan tersebut menyatakan terdakwa bebas (vrijspraak) dan lepas dari segala tuntutan
hukum (onslag rechts vervolging). Dasar pertimbangan bahwa putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum tidak dapat dimintakan/diajukan
PK adalah bahwa upaya hukum luar biasa PK adalah semata-mata untuk kepentingan terpidana untuk membela hak-haknya agar terpidana tersebut
terlepas dari kekeliruan pemidanaan yang dijatuhkan kepadanya.
Alasan atau syarat dapat diajukannya suatu PK adalah adanya keadaan/bukti baru (novum). Keadaan/bukti baru yang menjadi landasan
dimintakan/diajukannya PK tersebut adalah yang mempunyai sifat dan kualitas "menimbulkan dugaan kuat" :
1. Jika seandainya keadaan baru itu diketahui atau ditemukan dan dikemukakan pada waktu sidang berlangsung, dapat menjadi faktor dan
alasan untuk menjatuhkan putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum
2. Keadaan baru itu jika ditemukan dan diketahui pada waktu sidang berlangsung, dapat menjadi alasan dan faktor untuk menjatuhkan
putusan yang menyatakan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima
3. Dapat dijadikan alasan dan faktor untuk menjatuhkan putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
Yang berhak mengajukan PK disebutkan dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP yaitu terpidana atau ahli warisnya. Selain dari terpidana dan ahli
warisnya, maka permohonan PK harus dinyatakan tidak dapat diterima. Mengenai kedudukan prioritas (yang lebih diutamakan) dalam
meminta/mengajukan PK antara terpidana dengan ahli warisnya, undang-undang tidak menyebutkan siapa yang lebih diutamakan antara terpidana
dengan ahli warisnya dalam meminta/mengajukan PK. Walaupun terpidana masih hidup dan sedang menjalani hukuman, ahli waris dapat langsung
meminta/mengajukan PK. Hak ahli waris untuk meminta/mengajukan PK bukan merupakan "hak substitusi" yang hanya dapat diperoleh setelah
terpidana meninggal dunia. Hak ahli waris dalam meminta/mengajukan PK adalah"hak orisinal" yang diberikan undang-undang kepada ahli waris
terpidana demi untuk membela kepentingan/hak-hak terpidana sesuai prosedur hukum yang berlaku. Namun apabila yang meminta/mengajukan PK
tersebut adalah terpidana sendiri, kemudian sebelum PK tersebut diputus oleh MA, terpidana meninggal dunia , maka menurut Pasal 263 ayat (2)
KUHAP, hak untuk meneruskan permintaan/pengajuan PK tersebut "dilanjutkan" oleh ahli waris. Dalam peristiwa yang seperti tersebut inilah
kedudukan ahli waris menduduki kedudukan "hak substitusi" dari terpidana. Pasal 263 ayat (2) KUHAP ini bukan hanya berlaku pada tahap
permintaan/permohonan PK berada di MA, tetapi berlaku juga pada permintaan/permohonan PK yang masih berada pada tahap pemeriksaan sidang
PN, atau pada tahap permintaan/permohonan PK belum dikirimkan PN kepada MA. Bahwa proses hukum permintaan/permohonan PK ini dapat
dikuasakan oleh terpidana atau ahli warisnya kepada kuasa hukumnya.
Alasan pengajuan
Suatu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dapat dilakukan upaya hukum PK dengan menyertakan alasan yang jelas
Keadaan baru
Salah satu alasan yang dapat diterima untuk pengajuan PK berdasar undang-undang ialah adanya atau ditemukannya bukti baru (sering
disebut novum) yang belum pernah dihadirkan dalam persidangan. Bukti baru ini dapat berupa benda ataupun saksi yang bersifat menimbulkan
dugaan kuat. Menimbulkan dugaan kuat yang dimaksud ialah jika seandainya bukti baru tersebut ditemukan saat sidang berlangsung, maka: (1)
dapat membuat terpidana dijatuhi putusan bebas atau lepas dari seluruh tuntutan hukum, (2) dapat membuat putusan yang menyatakan tuntutan jaksa
penuntut umum tidak dapat diterima, atau (3) dapat membuat hakim menggunakan pasal yang lebih ringan dalam memutus terpidana.
Kekeliruan atau kekhilafan hakim
Sebagai seorang manusia, sangat dimungkinkan hakim dalam membuat putusan pengadilan melakukan kekeliruan. Dalam praktik peradilan, putusan
pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri) dapat dikoreksi dengan cara banding ke pengadilan tingkat dua (Pengadilan Tinggi) maupun ke
tingkat tiga (Mahkamah Agung). Koreksi terhadap putusan dalam sistem peradilan berjenjang tersebut terkadang tetap menghasilkan suatu putusan
yang keliru baik dalam hal penerapan pasal maupun pertimbangan hukum. Terhadap putusan-putusan seperti ini upaya hukum PK dapat diajukan.
Proses pengajuan PK
Permintaan
Peninjauan kembali diajukan oleh pemohon dalam hal ini terpidana atau ahli waris kepada panitera (petugas administrasi pengadilan)
Pengadilan Negeri yang memutus perkara untuk pertama kali. Permintaan pengajuan PK dilakukan secara tertulis dilengkapi dengan
alasan-alasan yang mendasari diajukannya PK. Panitera pengadilan yang menerima permintaan PK mencatat permintaan PK tersebut
dalam suatu surat keterangan yang disebut Akta Permintaan Peninjauan Kembali. Tidak ada batas waktu dalam pengajuan PK, yang lebih
diutamakan ialah terpenuhinya syarat-syarat pengajuan PK yang diatur UU dan KUHAP.[1]
Di Pengadilan Negeri
Sebelum permohonan PK diserahkan ke Mahkamah Agung, sesuai dengan KUHAP Pengadilan Negeri bertugas untuk memeriksa perkara
PK terlebih dahulu. Dalam hal ini Ketua Pengadilan Negeri berwenang untuk membentuk majelis hakim yang akan memeriksa
permohonan. Majelis hakim yang dibentuk akan melakukan pemeriksaan terhadap materi PK terdakwa maupun saksi atau barang bukti
yang diperlukan. Pemeriksaan pendahuluan di Pengadilan Negeri bersifat resmi dan terbuka untuk umum. Setelah pemeriksaan selesai,
majelis hakim akan membuat pendapat terhadap PK yang diajukan. Pendapat tersebut dituangkan dalam Berita Acara Pendapat yang turut
dilimpahkan bersama berkas PK ke Mahkamah Agung
Di Mahkamah Agung
Mahkamah Agung adalah pemegang kekuasaan kehakiman yang berwenang untuk memutus permohonan PK. Berita Acara Pendapat dari
Pengadilan Negeri yang diperoleh dari pemeriksaan pendahuluan PK tidak selalu menjadi pertimbangan hakim MA dalam memutus
perkara. Pada saat memeriksa permohonan PK, majelis hakim MA terdiri dari minimal tiga orang hakim agung. Putusan dibacakan dan
ditandatangani oleh hakim agung yang melakukan pemeriksaan permohonan PK. Putusan PK oleh Mahkamah Agung dapat berupa: (1)
permintaan dinyatakan tidak dapat diterima, (2) menolak permintaan peninjauan kembali, atau (3) menerima peninjauan kembali.[1]
Pokok Bahasan: EKSEPSI
Eksepsi adalah penolakan/keberatan yg disertai alasan-2nya bahwa srt dakwaan dibuat tidak dengan cara yang benar, dan tdkmenyangkut hal tentang
benar atau tidak benarnya tindak pidana yg didakwakan. Krn itu eksepsi bukan pembelaan Eksepsi – mendudukkan seorang PH sebagai seorang
korektor surat dakwaan
Mscam macam eksepsi
Atas dasar amar putusan (pasal 156 ay 3):
FORMAT PUTUSAN:
1. Eksepsi pengadilan tdk berwenang mengadili
2. Eksepsi dakwaan tidak dapat diterima
3. Eksepsi srt dakwaan batal/dibatalkan
Atas dasar Tujuan Eksepsi:
1. Utk menghambat /menghentikan sementara
perkara pidana: banyak jenisnya – lihat
tampilan berikutnya
2. Untuk menghentikan perkara pidana seterusnya
– lihat tampilan berikut: banyak jenis-2nya.
KERANGKA EKSEPSI al sbb:
1. Kepala: memuat judul / kepala “ EKSEPSI”
2. Pembuka: ditujukan pd majelis pemerika dll
yg sifatnya sbg pendahuluan
3. Isi Eksepsi: (a) objek keberatan (b) alasan
keberatan.
4. Penutup: (a) permintaan (b) tanggal
dibacakan eksepsi (d) nama & tanda
tangan PH
Prosedure pengajauan PK
1. Diajukan ke MA melalui kantor kepaniteraan PN
setempat, yg hrs disertai dgn memorie PK yg
memuat alasan-2 PK
2. Ketua PN menunjuk hakim yg bkn pemutus
pertama utk memeriksa ttg syarat-syarat
permohonan pk
3. Hakim menyidangkan yg dihadiri JPU dan
pemohon dan dibuatkan BAP dan BA pendapat
yg ditandatangani hakim & panitera sidang
4. Ketua PN mengirim berkas ke MA yg tindasannya
ke JPU, pemohon & ke ketua PT bila yg di PK
putusan banding. 40