Anda di halaman 1dari 5

SURAT KUASA

Yang bertanda tangan di bawah ini,


Nama : Marwan Ishak, SE, MM
Tempat/ tanggal lahir : Solok, 12 Maret 1986
Umur : 30 tahun
Kebangsaan : Indonesia
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil
Alamat : Jl. Manggis No. II Ulak Karang utara
Selanjutnya disebut sebagai PEMBERI KUASA

Yang dalam hal ini memilih domisili hukum di kantor Alfarouqi & Partners Law Firm.
Dengan ini memberi kuasa kepada:
Mujahid Alfarouqi, SH

Advokat, pengacara, & konsultan hukum berkantor di Alfarouqi & Partners Law Firm, yang beralamat di Jl. Saiyo
IV Kurao Pagang, yang dalam perkara ini dapat bertindak sendiri-sendiri maupun bersama-sama.
Selanjutnya disebut sebagai PENERIMA KUASA

----------------------------------------------KHUSUS---------------------------------------------
Untuk mendampingi dan membela kepentingan hukum pemberi kuasa “Marwan Ishak, SE, MM” sehubungan
dengan adanya dugaan tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 undang-undang nomor 8
tahun 2010 tentang tindak pidana pencucian uang. Baik di polresta Padang, kejaksaan negeri Padang, pengadilan
negeri klass IA Padang, maupun upaya hukum lainnya.
Untuk keperluan tersebut di atas, penerima kuasa berhak menghadap dan berbicara dihadapan kepolisian RI,
Kejaksaan RI, Pengadilan Negeri, serta pejabat-pejabat di Instansi-instansi lainnya, mengajukan surat-surat dan
permohonan-permohonan, mengajukan pembelaan dan jawaban, membalas segala perlawanan, memohon
keputusan-keputusan, menerima putusan, membuat serta mengajukan permohonan banding, kasasi, peninjauan
kembali, membuat persetujuan-persetujuan atas persetujuan pemberi kuasa. Dan pada pokoknya penerima kuasa
dapat melakukan segala perbuatan/tindakan yang diperbolehkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan
maksud pemberian kuaa ini.
Surat kuasa ini diberi hak substitusi dan hak retensi.
Demikian surat kuasa ini dibuat dengan sebenarnya untuk dapat dipergunakkan sesuai dengan maksud pemberian
kuasa ini
Kurao pagang, 17 Februari 2016

Pemberi Kuasa Penerima Kuasa

Marwan Ishak, SE, MM Mujahid Alfarouqi, S H


Bentuk-Bentuk Eksepsi Pidana
Eksepsi adalah salah satu istilah yang digunakan dalam proses hukum dan peradilan yang berarti penolakan/keberatan yang disampaikan
oleh seorang terdakwa, disertai dengan alasan-alasannya bahwa dakwaan yang diberikan kepadanya dibuat tidak dengan cara yang benar dan
tidak menyangkut hal tentang benar atau tidak benarnya sebuah tindak pidana yang didakwakan
Tujuan pokok pengajuan eksepsi agar majelis hakim mengakhiri proses pemeriksaan tanpa lebih lanjut memeriksa materi pokok perkara.
Pengakhiran yang diajukan melalui eksepsi bertujuan agar pengadilan menjatuhkan putusan yang negatif, yang menyatakan gugatan tidak dapat
diterima (Niet OnvantKelijk Verklaard).
Dalam hukum acara pidana, eksepsi dapat diartikan sebagai tangkisan atau bantahan yang diajukan kepada hal-hal yang menyangkut
syarat-syarat atau formalitas surat dakwaan. Berdasarkan Pasal 156 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pengajuan
keberatan adalah hak dari terdakwa dengan memperhatikan bahwa eksepsi harus diajukan pada sidang pertama, yaitu setelah Jaksa Penuntut
Umum membacakan surat dakwaan. Eksepsi yang dapat diajukan di luar tenggang waktu tersebut adalah eksepsi mengenai kewenangan mengadili
sebagaimana disebut dalam Pasal 156 ayat (7) KUHAP.
Bentuk-bentuk eksepsi sendiri meliputi berbagai jenis yang dikenal dalam perundang-undangan ataupun dalam praktik pengadilan diantaranya
adalah:
- Eksepsi Kewenangan Mengadili. Eksepsi ini memberikan bantahan atau tangkisan perihal kewenangan mengadili dari pengadilan. Terdapat dua
jenis eksepsi ini, pertama yaitu tidak berwenang secara absolut (kompetensi absolut) yang didasarkan pada faktor perbedaan lingkungan peradilan
berdasarkan UU Kekuasaan Kehakiman. Kedua, tidak berwenang secara relatif (kompetensi relatif) yang didasarkan pada faktor daerah atau
wilayah hukum dari suatu pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama;
- Eksepsi Dakwaan Batal Demi Hukum. Dalam hal ini dakwaan tidak memenuhi syarat yang diminta dalam Pasal 142 ayat (2) KUHAP sehingga
dianggap kabur, membingungkan, sekaligus menyesatkan yang berakibat sulit bagi terdakwa untuk melakukan pembelaan diri. Ada beberapa
sebab yang menyebabkan dakwaan batal demi hukum diantaranya adalah:
1. Apabila dakwaan tidak memuat tanggal dan tanda tangan dimana berdasarkan Pasal 143 ayat (2) KUHAP meminta Jaksa Penuntut Umum untuk
membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan tanda tangan;
2. Apabila dakwaan tidak memuat secara lengkap identitas terdakwa yang terdiri dari nama lengkap, tempat lahir, tanggal lahir atau umur, jenis
kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan hal ini diatur dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP;
3. Apabila dakwaan tidak menyebut tempat dan waktu kejadian (Locus Delicti dan Tempus Delicti) dimana tindak pidana tersebut terjadi dimana
diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf (b) KUHAP;
4. Apabila dakwaan tidak disusun secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai uraian tindak pidana yang didakwakan, dalam artian semua unsur
delik dirumuskan dalam pasal pidana yang didakwakan harus cermat disebut satu persatu serta menyebut dengan cermat, lengkap, dan jelas.
- Eksepsi Kewenangan Menuntut Gugur. Dalam ini terjadi karena tindak pidana yang didakwakan telah pernah diputus dan telah mempunyai
kekuatan hukum tetap atau dalam Bahasa Latin ne bis in idem atau terjadi karena penuntutan yang diajukan telah melampau tenggang waktu atau
daluarsa (soal daluarsa dalam KUHP diatur dalam Pasal 78–82).
- Eksepsi Dakwaan Tidak Dapat Diterima. Hal ini diajukan bila tata cara pemeriksaan yang dilakukan tidak memenuhi syarat formal diantaranya
seperti:
1. Apabila tidak memenuhi ketentuan yang ditentukan dalam Pasal 56 ayat (1) yaitu tersangka atau terdakwa harus didampingi oleh penasihat
hukum apabila tindak pidana yang didakwakan ancaman pidananya pidana mati atau pidana > 15 tahun dan bagi yang tidak mampu diancam
tindak pidana > 5 tahun;
2. Apabila tindak pidana merupakan delik aduan akan tetapi dakwaan terhadap terdakwa dilakukan tanpa ada pengaduan dari korban atau
tenggang waktu pengaduan tidak dipenuhi, merujuk pada ketentuan Pasal 72–75 KUHP. Apabila ketentuan ini tidak dipenuhi maka akibatnya
dakwaan tidak dapat diterima;
3. Apabila tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa sedang dalam pemeriksaan di pengadilan negeri lain;
4. Apabila tindak pidana yang didakwakan mengandung sengketa perdata sehingga apa yang didakwakan sesungguhnya termasuk sengketa
perdata yang harus diselesaikan secara perdata;
5. Apabila bentuk dakwaan yang diajukan tidak tepat dalam hal ini berarti Jaksa Penuntut Umum keliru dalam merumuskan tindak pidana yang
dilakukan oleh terdakwa

Bentuk putusan pengadilan.


Bentuk putusan yang akan dijatuhkan pengadilan sangat tergantung dari hasil musyawarah Majelis Hakim yang berpangkal dari Surat Dakwaan
dengan segala sesuatu pembuktian yang berhasil dikemukakan di depan Pengadilan.
Untuk itu, ada beberapa jenis putusan Final yang dapat dijatuhkan oleh Pengadilan diantaranya:
1. Putusan Bebas, dalam hal ini berarti Terdakwa dinyatakan bebas dari tuntutan hukum. Berdasarkan Pasal 191 ayat (1) KUHAP putusan bebas
terjadi bila Pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang Pengadilan kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan karena tidak terbukti adanya unsur perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Terdakwa
2. Putusan Lepas, dalam hal ini berdasarkan Pasal 191 ayat (2) KUHAP Pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa
terbukti, namun perbuatan tersebut, dalam pandangan hakim, bukan merupakan suatu tindak pidana.
3. Putusan Pemidanaan, dalam hal ini berarti Terdakwa secara sah dan meyakinkan telah terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya, oleh karena itu Terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman pasal pidana yang didakwakan kepada Terdakwa

Pledoi
Kata “pledoi” berasal dari bahasa Belanda, yaitu Pleidooi yang artinya pembelaan (Subekti, kamus Hukum, 1973). pledoi merupakan
upaya terkahir dari seorang terdakwa atau pembela dalam rangka mempertahankan hak-hak dari kliennya, membela kebenaran yang diyakininya,
sesuai bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan. Upaya terakhir maksudnya, uapaya dari terdakwa/pembela dalam persidangan perkara
tersebut, sebelum dijatuhkan putusan oleh Pengadilan Negeri.[1]
Sebuah pembelaan pada dasarnya dilakukan oleh tergugat sendiri dengan menolak, menyanggah, dan melakukan perlawanan di muka
persidangan. Namun tidak jarang tergugat di pengadilan akan diwakilkan dan diurus oleh pengacara segala kepentingan tergugat di pengadilan
akan diwakilkan dan diurus oleh pengacara sebagaimana yang diperjanjikan dalam surat kuasa.[2]
pledoi merupakan sebuah instrumen yang sangat penting dari pekerjaan seorang (lawyer) dalam mendampingi seorang terdakwa dalam
persidangan. Dengan kedududkannya yang penting itu, bagaimanakah cara menyusun dan apa isi sebuah pledoi? KUHAP sendiri tidak mengatur
secara terperinci terhadap apa yang disebut dengan pembelaan (pledoi), termasuk tidak memberikan pengertian terhadap apa yang disebut
dengan pembelaan (pledoi) itu sendiri.[3]
Menyusun pembelaan perkara pidana, dalam menyusun surat pembelaan atau Pledoi kita harus melikat struktur sistematika Pledoi.
1. Bab Eksepsi;
2. Bab Pendahuluan;
3. Bab Tinjauan atas Dakwaan;
4. Bab Fakta-fakta yang Terungkap dalam Persidangan;
5. Bab Tinjauan Yuridis;
6. Bab Fakta-fakta yang Terungkap dalam Persidangan kalau Dihubung-kan dengan Dakwaan dan Tuntutan;
7. Bab Tinjauan Terhadap Tuntutan;
8. Bab Penutupan/Kesimpulan
Pledoi dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) dikenal dengan istilah
pembelaan.Tuntutan pidana dan pembelaan dirangkai dalam satu pembahasan untuk memudahkan melihat kaitan
antara kedua proses itu dalam pemeriksaan perkara. Tuntutan pidana yang diajukan penuntut umum maupun
pembelaan yang diajukan terdakwa atau penasihat hukum pada hakikatnya merupakan “dialogis jawab-menjawab
terakhir” dalam proses pemeriksaan.
Pengajuan tuntutan pidana dan pembelaan harus melalui tata cara
a. Diajukan atas permintaan hakim ketua sidang;
b. Mendahulukan pengajuan tuntutan dari pembelaan;
c. Jawab-menjawab dengan syarat terdakwa mendapat giliran terakhir;
d. Tuntutan, pembelaan, dan jawaban dibuat secara tertulis;
e. Pengecualian bagi terdakwa yang tidak pandai menulis, yakni pembelaan dan jawaban dapat disampaikan dengan
lisan di persidangan dan dicatat oleh panitera dalam berita acara sidang.
Alasan kenapa menempatkan pembelaan terdakwa setelah penuntut umum, agar terdakwa atau penasihat hukum
dapat menanggapi selengkapnya dasar-dasar dan alasan yang dikemukakan penuntut umum dalam tuntutannya.
Peninjauan Kembali
Peninjauan Kembali (PK) atau dalam Bahasa Belanda dikenal dengan istilah Herziening adalah suatu upaya hukum luar biasa dalam hukum pidana,
untuk melakukan peninjauan kembali terhadap suatu putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewjisde). Hal
ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang pada intinya
menyebutkan bahwa PK dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. PK dapat
dimintakan/diajukan kepada Mahkamah Agung (MA). PK baru bisa dimintakan/diajukan ke MA setelah semua upaya hukum biasa berupa banding
dan kasasi telah tertutup untuk dilakukan. PK dapat dimintakan/diajukan terhadap semua putusan pengadilan, baik Pengadilan Negeri (PN),
Pengadilan Tinggi (PT) maupun Mahkamah Agung (MA), dengan persyaratan bahwa putusan instansi pengadilan sebagaimana tersebut di atas telah
mempunyai kekuatan hukum tetap. Putusan PN dapat dimintakan/diajukan PK dengan syarat bahwa putusan PN tersebut telah mempunyai kekuatan
hukum tetap dan telah tertutup upaya hukum biasa untuk melakukan banding ke PT. Demikian pula putusan PT yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap dan telah tertutup upaya hukum biasa untuk melakukan kasasi ke MA. Demikian pula terhadap putusan MA dapat diajukan PK, setelah
putusan MA tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Mempunyai kekuatan hukum tetap berarti telah dibacakan putusan pengadilan (vonis)
terhadap terdakwa didepan sidang terbuka untuk umum, dan ditandai pula dengan telah diberitahukannya secara sah putusan pengadilan tersebut
kepada terdakwa, maka sejak saat itu terbuka jalan untuk meminta/mengajukan PK, baik terhadap putusan PN, PT maupun MA. PK tidak dapat
dimintakan/diajukan apabila putusan instansi pengadilan tersebut menyatakan terdakwa bebas (vrijspraak) dan lepas dari segala tuntutan
hukum (onslag rechts vervolging). Dasar pertimbangan bahwa putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum tidak dapat dimintakan/diajukan
PK adalah bahwa upaya hukum luar biasa PK adalah semata-mata untuk kepentingan terpidana untuk membela hak-haknya agar terpidana tersebut
terlepas dari kekeliruan pemidanaan yang dijatuhkan kepadanya.
Alasan atau syarat dapat diajukannya suatu PK adalah adanya keadaan/bukti baru (novum). Keadaan/bukti baru yang menjadi landasan
dimintakan/diajukannya PK tersebut adalah yang mempunyai sifat dan kualitas "menimbulkan dugaan kuat" :
1. Jika seandainya keadaan baru itu diketahui atau ditemukan dan dikemukakan pada waktu sidang berlangsung, dapat menjadi faktor dan
alasan untuk menjatuhkan putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum
2. Keadaan baru itu jika ditemukan dan diketahui pada waktu sidang berlangsung, dapat menjadi alasan dan faktor untuk menjatuhkan
putusan yang menyatakan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima
3. Dapat dijadikan alasan dan faktor untuk menjatuhkan putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
Yang berhak mengajukan PK disebutkan dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP yaitu terpidana atau ahli warisnya. Selain dari terpidana dan ahli
warisnya, maka permohonan PK harus dinyatakan tidak dapat diterima. Mengenai kedudukan prioritas (yang lebih diutamakan) dalam
meminta/mengajukan PK antara terpidana dengan ahli warisnya, undang-undang tidak menyebutkan siapa yang lebih diutamakan antara terpidana
dengan ahli warisnya dalam meminta/mengajukan PK. Walaupun terpidana masih hidup dan sedang menjalani hukuman, ahli waris dapat langsung
meminta/mengajukan PK. Hak ahli waris untuk meminta/mengajukan PK bukan merupakan "hak substitusi" yang hanya dapat diperoleh setelah
terpidana meninggal dunia. Hak ahli waris dalam meminta/mengajukan PK adalah"hak orisinal" yang diberikan undang-undang kepada ahli waris
terpidana demi untuk membela kepentingan/hak-hak terpidana sesuai prosedur hukum yang berlaku. Namun apabila yang meminta/mengajukan PK
tersebut adalah terpidana sendiri, kemudian sebelum PK tersebut diputus oleh MA, terpidana meninggal dunia , maka menurut Pasal 263 ayat (2)
KUHAP, hak untuk meneruskan permintaan/pengajuan PK tersebut  "dilanjutkan" oleh ahli waris. Dalam peristiwa yang seperti tersebut inilah
kedudukan ahli waris menduduki kedudukan "hak substitusi" dari terpidana. Pasal 263 ayat (2) KUHAP ini bukan hanya berlaku pada tahap
permintaan/permohonan PK berada di MA, tetapi berlaku juga pada permintaan/permohonan PK yang masih berada pada tahap pemeriksaan sidang
PN, atau pada tahap permintaan/permohonan PK belum dikirimkan PN kepada MA. Bahwa proses hukum permintaan/permohonan PK ini dapat
dikuasakan oleh terpidana atau ahli warisnya kepada kuasa hukumnya.

Yang dapat mengajukan PK


Pasal 263 ayat 1 KUHAP menegaskan bahwa yang berhak mengajukan PK ialah terpidana atau  ahli warisnya. Namun, dalam perkembangan praktik
peradilan saat ini terdapat tiga pihak yang dapat mengajukan PK yaitu terpidana, ahli waris, atau kuasa hukum terpidana
Terpidana atau ahli waris
Terpidana dan ahli waris memiliki kedudukan yang sama dalam mengajukan PK. Hal ini berarti bahwa sekalipun terpidana masih hidup, ahli waris
dapat langsung mengajukan PK. Apabila terpidana meninggal dunia pada saat permohonan PK diajukan maka ahli waris berperan menggantikan
posisi terpidana dalam mengajukan PK.
Kuasa hukum
Dasar hukum diperbolehkannya PK ialah aturan tambahan pedoman pelaksanaan KUHAP yang tertuang dalam bentuk Lampiran Keputusan Menteri
Kehakiman No. M. 14-PW.07.03 Tahun 1983. Aturan tersebut memperbolehkan terdakwa pada suatu kasus untuk memberi kuasa kepada kuasa
hukum (pengacara) dalam upaya mengajukan kasasi. Berdasarkan penggunaan tersebut, Mahkamah Agung secara konsisten menggunakan dasar
yang sama untuk diterapkan dalam syarat permohonan upaya hukum PK

Alasan pengajuan
Suatu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dapat dilakukan upaya hukum PK dengan menyertakan alasan yang jelas
Keadaan baru
Salah satu alasan yang dapat diterima untuk pengajuan PK berdasar undang-undang ialah adanya atau ditemukannya bukti baru (sering
disebut novum) yang belum pernah dihadirkan dalam persidangan. Bukti baru ini dapat berupa benda ataupun saksi yang bersifat menimbulkan
dugaan kuat. Menimbulkan dugaan kuat yang dimaksud ialah jika seandainya bukti baru tersebut ditemukan saat sidang berlangsung, maka: (1)
dapat membuat terpidana dijatuhi putusan bebas atau lepas dari seluruh tuntutan hukum, (2) dapat membuat putusan yang menyatakan tuntutan jaksa
penuntut umum tidak dapat diterima, atau (3) dapat membuat hakim menggunakan pasal yang lebih ringan dalam memutus terpidana.
Kekeliruan atau kekhilafan hakim
Sebagai seorang manusia, sangat dimungkinkan hakim dalam membuat putusan pengadilan melakukan kekeliruan. Dalam praktik peradilan, putusan
pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri) dapat dikoreksi dengan cara banding ke pengadilan tingkat dua (Pengadilan Tinggi) maupun ke
tingkat tiga (Mahkamah Agung). Koreksi terhadap putusan dalam sistem peradilan berjenjang tersebut terkadang tetap menghasilkan suatu putusan
yang keliru baik dalam hal penerapan pasal maupun pertimbangan hukum. Terhadap putusan-putusan seperti ini upaya hukum PK dapat diajukan.

Proses pengajuan PK
 Permintaan
 Peninjauan kembali diajukan oleh pemohon dalam hal ini terpidana atau ahli waris kepada panitera (petugas administrasi pengadilan)
Pengadilan Negeri yang memutus perkara untuk pertama kali. Permintaan pengajuan PK dilakukan secara tertulis dilengkapi dengan
alasan-alasan yang mendasari diajukannya PK. Panitera pengadilan yang menerima permintaan PK mencatat permintaan PK tersebut
dalam suatu surat keterangan yang disebut Akta Permintaan Peninjauan Kembali. Tidak ada batas waktu dalam pengajuan PK, yang lebih
diutamakan ialah terpenuhinya syarat-syarat pengajuan PK yang diatur UU dan KUHAP.[1]
 Di Pengadilan Negeri
 Sebelum permohonan PK diserahkan ke Mahkamah Agung, sesuai dengan KUHAP Pengadilan Negeri bertugas untuk memeriksa perkara
PK terlebih dahulu. Dalam hal ini Ketua Pengadilan Negeri berwenang untuk membentuk majelis hakim yang akan memeriksa
permohonan. Majelis hakim yang dibentuk akan melakukan pemeriksaan terhadap materi PK terdakwa maupun saksi atau barang bukti
yang diperlukan. Pemeriksaan pendahuluan di Pengadilan Negeri bersifat resmi dan terbuka untuk umum. Setelah pemeriksaan selesai,
majelis hakim akan membuat pendapat terhadap PK yang diajukan. Pendapat tersebut dituangkan dalam Berita Acara Pendapat yang turut
dilimpahkan bersama berkas PK ke Mahkamah Agung
 Di Mahkamah Agung
 Mahkamah Agung adalah pemegang kekuasaan kehakiman yang berwenang untuk memutus permohonan PK. Berita Acara Pendapat dari
Pengadilan Negeri yang diperoleh dari pemeriksaan pendahuluan PK tidak selalu menjadi pertimbangan hakim MA dalam memutus
perkara. Pada saat memeriksa permohonan PK, majelis hakim MA terdiri dari minimal tiga orang hakim agung. Putusan dibacakan dan
ditandatangani oleh hakim agung yang melakukan pemeriksaan permohonan PK. Putusan PK oleh Mahkamah Agung dapat berupa: (1)
permintaan dinyatakan tidak dapat diterima, (2) menolak permintaan peninjauan kembali, atau (3) menerima peninjauan kembali.[1]
Pokok Bahasan: EKSEPSI
Eksepsi adalah penolakan/keberatan yg disertai alasan-2nya bahwa srt dakwaan dibuat tidak dengan cara yang benar, dan tdkmenyangkut hal tentang
benar atau tidak benarnya tindak pidana yg didakwakan. Krn itu eksepsi bukan pembelaan Eksepsi – mendudukkan seorang PH sebagai seorang
korektor surat dakwaan
Mscam macam eksepsi
Atas dasar amar putusan (pasal 156 ay 3):

FORMAT PUTUSAN:
1. Eksepsi pengadilan tdk berwenang mengadili
2. Eksepsi dakwaan tidak dapat diterima
3. Eksepsi srt dakwaan batal/dibatalkan
Atas dasar Tujuan Eksepsi:
1. Utk menghambat /menghentikan sementara
perkara pidana: banyak jenisnya – lihat
tampilan berikutnya
2. Untuk menghentikan perkara pidana seterusnya
– lihat tampilan berikut: banyak jenis-2nya.
KERANGKA EKSEPSI al sbb:
1. Kepala: memuat judul / kepala “ EKSEPSI”
2. Pembuka: ditujukan pd majelis pemerika dll
yg sifatnya sbg pendahuluan
3. Isi Eksepsi: (a) objek keberatan (b) alasan
keberatan.
4. Penutup: (a) permintaan (b) tanggal
dibacakan eksepsi (d) nama & tanda
tangan PH

Prosedure pengajauan PK
1. Diajukan ke MA melalui kantor kepaniteraan PN
setempat, yg hrs disertai dgn memorie PK yg
memuat alasan-2 PK
2. Ketua PN menunjuk hakim yg bkn pemutus
pertama utk memeriksa ttg syarat-syarat
permohonan pk
3. Hakim menyidangkan yg dihadiri JPU dan
pemohon dan dibuatkan BAP dan BA pendapat
yg ditandatangani hakim & panitera sidang
4. Ketua PN mengirim berkas ke MA yg tindasannya
ke JPU, pemohon & ke ketua PT bila yg di PK
putusan banding. 40

UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI


 Diajukan trhdp putusan yg telah mempunyai
kekuatan hukum tetap
 Alasannya:
1. Ada keadaan baru yg menimbulkan dugaan kuat,
bahwa jika keadaan itu sdh diketahui pd waktu
sidang hasilnya akan berupa: -pembebasan,
lepas dr tt h, tutnutan JPU tdk dpt diterima, terhdp
perkara itu diterapkan ketentuan pidana lain
2. Ada pelbagai putusan terdpt pernytaan bhwa
sesuatu tlh terbukti, akan tetapi hal atau keadaan
sebagai dasar & alasan putusan yg dinyatakan
terbukti itu bertentangan satu dg yg lain
3. Dlm putusan itu secara jelas memperlihatkan

Anda mungkin juga menyukai