Anda di halaman 1dari 15

Tidak mudah juga untuk menunjukan bagaimana contoh (Eksepsi) Surat Keberatan dalam

perkara pidana sebagai contoh dan susunan yang baik. Ketidak mudahan itu, terutama karena
sebuah eksepsi dipandang perlu atau tidak tergantung pada diri terdakwa atau penasehat
hukumnya. Apa saja yang akan akan diesekspi atau yang akan dimuat dalam eksepsi itu
tergantung penguasaan terhadap kasusnya dan pendalaman terhadap dakwaan Penuntut
Umum. Demikian pula susunannya juga tidak ada ketentuan baku, melainkan tergantung
pada pengalaman dan kecenderungan yang pada diri seorang penasehat hukum.

Eksepsi adalah salah satu tahapan dari proses beracara di pengadilan dalam perkara pidana .
KUHAP memberikan hak kepada terdakwa untuk menyampaikan keberatan yang lazim juga
disebut dengan eksepsi atas dakwaan Penuntut Umum. Bagaimana bentuk dan susunan
eksepsi itu KUHAP tidak mengaturnya. Demikian pula, apa saja yang harus dimuat dalam
eksepsi juga tidak dirinci oleh KUHAP. Artinya, bentuk dan susunan serta isi eksepsi itu
tergantung pada diri Terdakwa atau penasehat hukumnya dengan batasan utamanya eksepsi
tidaklah mengenai pokok perkara. Meskipun demikian apa-apa yang termuat dalam sebuah
eksepsi dapat ditemukan dalam berbagai literatur, akan tetapi hal-hal yang diajukan sebagai
isi eksepsi tidak selamanya semuanya bisa diterapkan ketika menyusun sebuah eksepsi atas
sebuah kasus/suatu dakwaan. Isi eksepsi memerlukan penyesuaian dengan masalah-masalah
disekitar dakwaan. Bahkan jika sebuah dakwaan telah disusun dengan sempurna oleh
Penuntut Umum, ada kalanya eksepsi tidak diperlukan. Dalam konteks inilah dituntut
kecerdasan dan penguasaan yang menyeluruh dari seorang penasehat hukum atas sebuah
perkara yang ditanganinya, sehingga pada saat mempelajari dakwaan penuntut umum ia akan
memutuskan apakah ada hal yang perlu di eksepsi atau tidak.

Baca juga: Contoh Memori Kasasi Dalam Perkara Pidana

Pada kesempatan ini kita tidak bicara aspek teori mengenai eksepsi, melainkan hanya ingin
menunjukkan sebuah contoh eksepsi dalam perkara pidana yang bagi para advokat senior dan
berpengalaman tentu contoh esksepsi ini (mungkin) di pandang sederhana. Contoh eksepsi
itu sebagai berikut:

Contoh Eksepsi Perkara Pidana Mengenai Rumusan Dakwaan Baca juga :


EKSEPSI PENASEHAT HUKUM TERDAKWA III
Perkara Pidana No: XX/Pid.B/2012/PN.XYZ

Untuk dan atas nama Terdakwa :

Nama : ROMI Pgl. ROM Bin ARIFIN;


Tempat Lahir : Denai;
Umur/Tanggal Lahir :37 Tahun/ 16 September 1970;
Jenis Kelamin : Laki-Laki ;
Kewarganegaraan : Indonesia ;
Tempat tinggal : Jl. Sudirman No. 8900 RT.01/RW.01, Kel. Baru Kecamatan Denai
Barat Kota Denai;
Agama : Islam ;
Pekerjaan : Staf Notaris/PPAT Setia,SH;
Pendidikan : D-III ;

Adalah selaku Terdakwa 3 dalam Perkara Pidana Nomor Reg. Perkara: PDM-XX/QWA.BH/
0412;

Ketua dan majelis hakim yang terhormat


Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati
Sidang yang kami mulyakan

PENDAHULUAN
Dengan hormat,

Kami yang bertanda tangan dibawah ini :


1. BOY YENDRA TAMIN, SH, MH.
2. DIDI CAHYADI NINGRAT, SH

Keduanya adalah Advokat dan Konsultan Hukum pada kantor Boy Yendra Tamin &
REKAN, beralamat di Jalan XXX Perumahan Bumi Indah -11 – Kota Denai , untuk
bertindak baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri, bertindak untuk dan atas nama
Terdakwa 3 ic. ROMI Pgl. ROMI Bin ARIFIN berdasarkan kekuatan hukum Surat Kuasa
tertanggal 09 Mei 2012, dan telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Denai di
bawah Nomor : XX/SK/PID/V/2012/PN.XYZ, mengucapkan terima kasih atas kesempatan
yang diberikan Majelis Hakim kepada kami untuk mengajukan keberatan/eksepsi terhadap
dakwaan saudara Jaksa Penuntut Umum, bertindak untuk dan atas nama kepentingan hukum
Terdakwa 3, perlu untuk menyampaikan Eksepsi atas surat Dakwaan dari Jaksa Penuntut
Umum Nomor Reg. Perkara: PDM-XX/QWA.BH/0412, tanggal 19 April 2012 dan
dibacakan pada persidangan pekara a quo.

Merupakan suatu kehormatan bagi kami yang secara bersama-sama dengan Jaksa Penuntut
Umum dalam menegakkan supremasi hukum, mendampingi Terdakwa 3 ROMI Pgl. AD
ROMI Bin ARIFIN, dimana kami dan Jaksa Penuntut Umum adalah sama-sama beranjak dari
hukum yang berlaku, namun dalam perkara ini kami berbeda pendapat dengan Jaksa Penuntut
Umum yang menyatakan Terdakwa III didakwa melakukan tindak pidana sebagaimana
dimaksud di bawah ini :

DAKWAAN
Melanggar Pasal 372 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP.

ATAU
KEDUA :
Melanggar Pasal 378 Jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP.

ATAU
KETIGA:
Melanggar Pasal 378 Jo Pasal 56 Ke-2 KUHP.

ATAU
KEEMPAT:
Melanggar Pasal 372 Jo Pasal 56 Ke-2 KUHP.

Majelis hakim yang terhormat


Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati

Bahwa untuk menyingkat waktu, kami mohon bahwa surat dakwaan dianggap telah dimuat
secara lengkap dalam eksepsi ini. Kita semua sependapat Sdr. Jaksa Penuntut Umum
mempunyai tugas dan wewenang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 butir 6 KUHAP,
bahwa setiap perbuatan kejahatan yang dilakukan oleh siapapun tidak boleh dibiarkan dan
haruslah dilakukan penyidikan serta pelaksanaan hukumnya tidak boleh ditawar-tawar, dalam
arti siapapun yang bersalah harus dituntut dan dihukum setimpal dengan perbuatannya,
kecuali ditentukan lain oleh undang-undang menghukum orang yang bersalah merupakan
tuntutan dari hukum, keadilan dan kebenaran itu sendiri. Sebab jika tidak dilakukan akan
timbul reaksi yang dapat mengoyahkan sendi-sendi dalam penegakan supremasi hukum.
Tetapi disamping itu, tidak seorangpun boleh memperkosa kaedah-kaedah hukum, keadilan
dan kebenaran untuk maksud-maksud tertentu dan dengan tujuan tertentu. Begitu pula dalam
perkara ini, kita semua sepakat untuk menegakkan sendi-sendi hukum dalam upaya kita
mengokohkan supremasi hukum yang telah diatur dalam kaedah-kaedah hukum di dalam
KUHAP.

Kegagalan dalam penegakan keadilan (miscarriage of Justice) adalam merupakan persoalan


universal dan actual yang dihadapi oleh hampir semua bangsa dalam menegakkan system
peradilan pidananya (Criminal Justice System). Seseorang pejabat yang mempunyai kuasa
dan wewenang yang ada padanya untuk memberikan keadilan, ternyata mengunakan kuasa
dan wewenangnya yang ada padanya justru untuk memberi ketidak adilan. Demikian
parahnya ketidakadilan tersebut, sehingga situasi hukum di Indonesia digambarkan dalam
kondisi DISPERATE, berada pada titik paling rendah (titik nadir).

Persoalan ini juga merupakan issue penting ditengah upaya memajukan dan menegakkan
hak-hak asasi manusia dan demokrasi yang merupakan pilar penting dari penegakkan
pemerintahan yang baik (good governance). Kegagalan dalam penegakkan keadilan dalam
sistem peradilan pidana diulas oleh Clive Walker ; dijelaskan suatu penghukuman yang lahir
dari ketidak jujuran atau penipuan atau tidak berdasarkan hukum dan keadilan bersifat korosif
atau klaim legitimasi Negara yang berbasis nilai-nilai sistem peradilan pidana yang
menghormati hak-hak individu. Dalam konteks ini kegagalan penegakan keadilan akan
menimbulkan bahaya bagi integritas moral proses hukum pidana. Lebih jauh lagi hal ini dapat
merusak keyakinan masyarakat akan penegakan hukum;

Bahwa dihadapan majelis Hakim yaitu sebagai “Dominus Litis” yang tidak berpihak, saat ini
ada dua pihak yang berperkara yaitu : Jaksa Penuntut Umum sebagai penuntut dan Terdakwa
3 ic. ROMI Pgl. ROMI Bin ARIFIN yang didampingi oleh Penasehat Hukumnya yang
melihat hukum tersebut dari fungsinya yang berbeda, dan selanjutnya Majelis Hakim
memandang kedua belah pihak sama tinggi dan sama rendah, Majelis hakim memeriksa dan
mengadili perkara ini tanpa mempunyai kepentingan pribadi di dalamnya ;

Dengan demikian, majelis hakim akan dapat menempatkan dirinya pada posisi yang netral
dan tetap eksis sebagai pegayom keadilan dan kebenaran dalam usaha terwujudnya kepastian
hukum (reachable to legal certainity) seperti yang didambakan oleh masyarakat secara luas
pada waktu ini;

Mengacu kepada maksud yang terkandung dalam Pasal 156 (1) KUHAP, atas nama
Terdakwa 3 ROMI Pgl. ROMI, maka kami sampaikan EKSEPSI/Keberatan atas surat
dakwaan Sdr. Jaksa Penuntut Umum dengan alasan-alasan yuridis sebagai berikut :

Bahwa pada kesempatan ini, tepat sekali kiranya Majelis Hakim menyoroti kualitas dakwaan
yang telah disampaikan oleh sdr. Jaksa Penuntut Umum, apakah tindakan hukum yang
dilakukan, rumusan delik dan penerapan ketentuan undang-undang yang dimaksud oleh
KUHP dalam perkara ini apakah sudah tepat dan benar serta apakah telah sesuai dengan
norma-norma hukum, fakta dan bukti kejadian yang sebenarnya, ataukah rumusan delik
dalam dakwaan itu hanya merupakan suatu ‘imaginer” yang sengaja dikedepankan sehingga
membentuk suatu “konstruksi hukum” yang dapat menyudutkan Terdakwa pada posisi
lemah secara yuridis ;
Jika ditinjau dari sudut pasal 143 ayat (2) KUHAP yang menuntut bahwa surat dakwaan
harus jelas, cermat, dan lengkap memuat semua unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan,
maka terlihat bahwa dakwaan sdr. Jaksa Penuntut Umum masih belum memenuhi persyaratan
yang dimaksud oleh Undang-undang tersebut baik dari segi formil maupun dari segi
materilnya. Keterangan tentang apa yang dimaksud tentang dakwaan yang jelas, cermat dan
lengkap apabila tidak dipenuhi mengakibatkan batalnya surat dakwaan tersebut karena
merugikan Terdakwa 3 dalam melakukan pembelaan.

Baca juga: Surat Dakwaan

Memperhatikan bunyi pasal 143 ayat (2) KUHAP terdapat 2 (dua) unsur yang harus dipenuhi
dalam surat dakwaan, yaitu :

Syarat Formil (Pasal 143 ayat (2) huruf a.


Maksudnya adalah suatu surat dakwaan harus memuat tanggal, ditandatangani oleh Penuntut
Umum serta memuat nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan Terdakwa.

Syarat Materil (Pasal 143 ayat (2) HURUF b.


Maksudnya adalah suatu surat dakwaan harus memuat uraian secara cermat, jelas dan
lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat
tindak pidana itu dilakukan.

Selanjutnya Pasal 143 ayat (3) huruf b KUHAP secara tegas memyebutkan bahwa tidak
dipenuhinya syarat-syarat materil ; surat dakwaan menjadi batal demi hukum atau “ null and
void” yang berarti sejak semula tidak ada tindak pidana seperti yang dilukiskan dalam surat
dakwaan itu.

Berikut ini kami kutip apa yang dimaksud dengan “cermat, jelas dan lengkap” oleh Pedoman
pembuatan Surat Dakwaan yang diterbitkan oleh Kejaksaan Agung RI halaman 12,
menyebutkan :

Yang dimaksudkan dengan cermat adalah ;

Ketelitian Jaksa Penuntut Umum dalam mempersiapkan surat dakwaan yang didasarkan
kepada undang-undang yang berlaku, serta tidak terdapat kekurangan dan atau kekeliruan
yang dapat mengkibatkan batalnya surat dakwaan atau tidak dapat dibuktikan, antara lain
misalnya :

 Apakah ada pengaduan dalam hal delik aduan ;


 Apakah penerapan hukum/ketentuan pidananya sudah tepat ;
 Apakah terdakwa dapat dipertanggung jawabkan dalam melakukan tindak pidana
tersebut
 Apakah tindak pidana tersebut belum atau sudah kadaluarsa ;
 Apakah tindak pidana yang didakwakan tidak nebis in idem ;

Yang dimaksud dengan jelas adalah :

Jaksa Penuntut Umum harus mampu merumuskan unsur-unsur dari delik yang didakwakan
sekaligus mempadukan dengan uraian perbuatan materil (fakta) yang dilakukan oleh
Terdakwa dalam surat dakwaan. Dalam hal ini harus diperhatikan jangan sekali-kali
mempadukan dalam uraian dakwaan antara delik yang satu dengan delik yang lain yang
unsur-unsurnya berbeda satu sama lain atau uraian dakwaan yang hanya menunjuk pada
uraian dakwaan sebelumnya (seperti misalnya menunjuk pada dakwaan pertama) sedangkan
unsurnya berbeda, sehingga dakwaan menjadi kabur atau tidak jelas (obscuur libel) yang
diancam dengan pembatalan.

Yang dimaksud dengan lengkap adalah :

Uraian surat dakwaan harus mencakup semua unsure-unsur yang ditentukan undang-undang
secara lengkap. Jangan sampai terjadi adanya unsure delik yang tidak dirumuskan secara
lengkap atau tidak diuraikan perbuatan materilnya secara tegas dalam dakwaan, sehingga
berakibat perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana menurut undang-undang.

Adapun keberatan/Eksepsi kami ini adalah sebagai berikut :

A. PERKARA TERDAKWA ROMI Pgl. ROMI Bin ARIFIN ADALAH MURNI


PERKARA PERDATA

1. Bahwa berdasarkan Pasal 156 ayat (1) KUHAP terhadap perkara yang bukan
kewenangan pengadilan untuk mengadili dapat diajukan sebagai bentuk
keberatan/perlawanan (verweer). Dalam perkara a quo surat dakwaan jaksa penuntut
umum terhadap Terdakwa 3 tidak memperhatikan tentang kewenangan relatif dari
pengadilan. Terhadap apa yang telah dilakukan Terdakwa adalah murni merupakan
wilayah Hukum Perdata/Akta Jual Beli antara saksi korban LISNAWATI selaku
Penjual dengan ROHANA selaku Pembeli dimana dalam pembuatan Aktanya Jual
belinya mengunakan jasa kantor Notaris/PPAT Kota Denai an. Emma Nama, SH, atas
kesepakatan para pihak artinya sesuai dengan isi Akta Jual Beli Nomor : XXX/2011,
tertanggal 21 April 2011, Pihak Pertama yaitu Lisnawati telah menjual tanah hak
miliknya seluas 944 KM2 yang berlokasi di kelurahan Kota Baru RT/08 RW.03
Kecamatan Denai Utara Kota Denai seharga Rp. 135.000.000,- (seratus tiga puluh
lima juta rupiah) kepada pihak kedua yaitu Rohana selaku Pembeli.
2. Bahwa berdasarkan dan/atau berkaitan dengan hak Kepemilikan atas tanah
sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UU No. 5 tahun 1960 tentang UU Pokok Agraria,
telah mengacu/sesuai kepada Pasal 19 peraturan Pemerintah Nomor : 10 Tahun 1961
yang telah diganti dengan PP Nomor 24/1997 yang menyatakan “setiap perjanjian
yang dimaksud memindahkan hak atas tanah, haruslah dibuktikan dengan akta” ;
3. Demikian juga dalam KUHPerdata yang antara lain menyebutkan bahwa kepemilikan
tanah atau suatu benda tak bergerak haruslah dibuktikan dengan surat sertifikat atau
akta. Dan sebaliknya apa bila ada pihak-pihak yang menyatakan sebagai pemilik hak
atas tanah, sesuai Pasal 163 HIR dan Pasal 283 Rbg dan Pasal 1865 KUHPerdata
dalam hal membuktikan adanya hak atas tanah adalah dengan memperlihatkan
sertifikat (actorie incumbit probation). Karena hak kebendaan itu mempunyai
zaaksgevolg (hak yang mengikuti kemana saja pemiliknya).

Sebagai contoh sertifikat hak milik atas nama Lisnawati yang dipinjam oleh saksi Rohana
dengan alasan untuk kepentingan bisnis, tapi oleh karena pihak Bank yang bersangkutan
tidak mau memproses jika sertifikat a quo bukan atas yang bersangkutan (saksi Rohana),
guna dijadikan jaminan kredit ke sebuah bank, kemudian dikaitkan dengan surat pernyataan
yang dibuat oleh saksi Lisnawati tertanggal 09 Juni 2011.telah membuktikan bahwa proses
berpindah tangannya sertifikat hak milik atas nama pemegang hak, saksi korban Lisnawati ke
tangan saksi Rohona dilakukan pada BPN Kota Denai murni atas kesepakatan para pihak
untuk membantu saksi Rohana dalam menjalankan bisnisnya dengan cara terlebih dahulu
melakukan transaksi jual beli atas sertifikat a quo dengan mengunakan kantor Notaris/PPAT
Kota Denai an. Emma Nama, SH, yang sebelumnya telah diurus terlebih dahulu oleh
Notaris/PPAT Susi Amir yang selanjutnya memerintahkan stafnya yaitu Terdakwa 3 untuk
membantu mengurusnya, atas kesepakatan para pihak, artinya sesuai dengan isi Akta Jual
Beli Nomor : XXX/2011, tertanggal 21 April 2011, dan selanjutnya saksi Rohana
mengajukan pinjaman/kredit ke sebuah bank senilai Rp. 100.000.000,- yang salah satunya
adalah menjaminkan sertifikat a quo beserta bangunan yang ada diatasnya kepada pihak bank
yang bersangkutan, yang selanjutnya atas pinjaman/kredit tersebut telah cair uang senilai Rp.
90.873.500,- (sembilan puluh juta delapan ratus tujuh puluh tiga ribu lima ratus rupiah)
kepada saksi Rohana, yang mana uang a quo diserahkan saksi Rohana kepada terdakwa I.
Zamzami Pgl. Zam;

Namun kesepakatan antara para pihak diatas (saksi Rohana, saksi korban Lisnawati, terdakwa
I. Zamzami Pgl. Zam) yang tidak berjalan sebagaimana mestinya, sehingga melahirkan
tuntutan dari saksi korban Lisnawati yang atas tindakan dan perbuatan wanprestasi serta
melawan hukum saksi Rohana dan terdakwa I. Zamzami Pgl. Zam yang selanjutnya
menyeret-nyeret terdakwa 3 dalam perkara a quo.

Bahwa oleh karena itu sesuai dengan prinsip hukum Stufen Bouw Theory dari Hans Kalsen,
dimana hukum tersebut tidak dicampur adukan dengan pidana, selaras dengan prinsip hukum
lex spscialis systematic derogate lex generalis (asas kekhususan yang sistematis). Ketentuan
pidana yang bersifat khusus adalah berlaku apabila pembentuk undang-undang memang
bermaksud untuk memperlakukan ketentuan perdata tersebut sebagai ketentuan pidana yang
bersifat khusus. Sedangkan secara yuridis baik KUHPerdata dan UU Pokok Agraria tidak ada
mengatur secara khusus apabila terjadi kekhilafan, penipuan dalam jual beli hak atas tanah
sanksi yang diberikan oleh hukum adalah membatalkan akta jual beli tersebut dengan
tuntutan ganti rugi, sebab penipuan dalam akta jual beli hak atas tanah bukan merupakan
tindakan criminal/ pidana yang mestinya diacam dengan sanksi pidana.

Apapun bentuk perselisihan dalam Akta Jual Beli apalagi ada surat kesepakatan para pihak
(saksi Rohana, saksi korban Lisnawati, terdakwa I. Zamzami Pgl. Zam) antara pihak pembeli
dan penjual tanah haruslah diselesaikan dalam hukum perdata, karena akta jual beli tersebut
telah menjadi UU bagi para pihak yang membuatnya. Dalam KUHPerdata tanah dianggap
bersengketa jika dilakukan Gugatan di pengadilan kemudian oleh hakim yang memeriksa
perkara menetapkan bahwa tanah ini disita jaminkan (CB) dan oleh majelis hakim
memerintahkan kepada BPN setempat untuk menuliskan dalam buku tanah, bahwa tanah ini
bersengketa dan tidak dapat dilakukan pemindahan hak sampai adanya keputusan yang
inkrah. Oleh karena itu dakwaan Penuntut Umum a quo haruslah tidak diterima/batal demi
hukum.

B. SURAT DAKWAAN TERHADAP TERDAKWA 3 TERDAPAT PERTENTANGAN


SATU DENGAN LAINNYA.

1. Bahwa mencermati dakwaan dan susunan dakwaan Penuntut Umum, maka Dakwaan
Penuntut Umum terhadap Terdakwa III pada pokoknya adalah sebagai berikut;;
 Didakwa melanggar Pasal 372 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
 Didakwa melanggar Pasal 372 jo Pasal 56 ke-2 KUHP
 Didakwa melanggar Pasal 378 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
 Didakwa melanggar pasal 378 jo Pasal 56 ke-2 KUHP

2. Bahwa memperhatikan dakwaan dan susunan dakwaan Penuntut umum tersebut, maka
NYATALAH dakwaan penuntut umum adalah dakwaan yang memuat pertentangan satu
dengan lainnya, merugikan kepentingan pembelaan diri Terdakwa 3 dan pertentangan iisi
perumusan perbuatan satu dengan lainnya tersebyt menimbulkan keraguan dalam diri
terdakwa 3 tentang perbuatan yang didakwakan kepadanya.

3. Bahwa hal yang kami kemukakan pada angka 1 dan 2 di atas adalah dimana Penuntut
Umum telah menerapkan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP terhadap terdakwa 3 dan juga
sekaligus menerapkan ketentuan Pasal 56 ke-2 terhadap diri Terdakwa 3. Dengan perumusan
dakwaan Penuntut Umum terhadap Terdakwa 3 tersebut, Perumusan dakwaan yang
demikian jelas FAKTA YANG TIDAK TERBANTAH DARI DAKWAAN PENUNTUT
UMUM TERHADAP TERDAKWA 3 sebagai DAKWAAN YANG MEMUAT
PERTENTANGAN SATU DENGAN YANG LAINNYA.

Terdakwa 3 didakwa “TURUT MELAKUKAN dan TURUT MEMBANTU” melakukan


tindak pidana sebagaimana dimaksud pasal 372 dan 378 KUHP. Jadi terhadap perbuatan
tindak pidana yang sama baik dalam hubungannya dengan pasal 372 KUHP maupun
terhadap Pasal 378 KUHP, Terdakwa 3 didakwa turut melakukan (medeplegen) atau turut
serta melakukan sebagaimana ketentuan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan yang sengaja
memberi kesempatan , sarana atau karangan untuk melakukan kejahatan sebagaimana
ketentuan Pasal 56 ke-2 KUHP.

Bahwa Terdapatnya perumusan dakwaan yang saling bertentangan tersebut MAKIN KUAT,
dimana pada dakwaan ke-Satu terdakwa 3 didakwa melanggar Pasal 372 jo Pasal 55 ayat (1)
ke-1 KUHP, TEAPI kemudian dalam dakwaan ke-Empat terdakwa 3 didakwa melanggar
Pasal 372 jo melaknggar pasal 56 ke -2 KUHP. Demikian pula pada dakwaan ke-Dua
terdakwa 3 didakwaa melanggar pasal 378 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, TETAPI
pada dakwaan Ke- TIGA Terdakwa didakwa melanggar pasal 378 jo Pasal 56 ke-2 KUHP.
BAHKAN Uraian-uraian perbuatan dari dakwaan Kesatu. Kedua, Ke-Tiga dan Keempat
adalah uraian yang sama persis.

Sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung R.I. No. 296 K/PID/1987 tanggal 15 Maret 1991
dimana seorang terdakwa melakukan penyertaan (deelneming) dalam hal melakukan
(plegen), turut serta melakukan (medeplegen), menyuruh melakukan (doemplegen) dan
dengan sengaja membujuk (uitlokking) sesuai ketentuan pasal 56 KUHP dicampur-adukkan
menjadi satu sehingga isinya bertentangan satu dengan lainnya yang mengakibatkan terdakwa
menjadi ragu terhadap tindak pidana mana yang didakwakan kepadanya oleh Putusan
Mahkamah Agung dinyatakan surat dakwaan batal demi hukum

Dalam kaitan uraian perumusan dakwaan Penuntut Umum di atas dan Putusan Mahkamah
Agung tersebut, maka jelas pula bahwa surat dakwaan Penuntut Umum tidak cermat, jelas
dan lengkap sebagaimana syarat materil ketentuan pasal 143 ayat (2) huruf (b) KUHAP,
maka sebagaimana ketentuan pasal 143 ayat 3) KUHAP, surat dakwaan itu diancam batal
demi hukum (nul and void) yang berarti bahwa dari semula tidak ada surat dakwaan atau
tidak ada suatu tindak pidana yang dilukiskan dalam surat dakwaan itu. Oleh sebab itu,
kiranya demi kepastian hukum dan rasa keadilan hukum bagi Terdakwa 3, maka kami mohon
kiranya kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo untuk
membatalkan demi hukum dakwaan Penuntut Umum terhadap terdakwa 3 dan membebaskan
Terdakwa 3 dari segala dakwaan Penuntut Umum.

C. PERUMUSAN SURAT DAKWAAN TERHADAP TERDAKWA ROMI Pgl. ROMI


Bin ARIFIN TIDAK SINGKRON DENGAN HASIL PEMERIKSAAN PENYIDIKAN.

Terdakwa 3 didakwa oleh Penuntut Umum secara alternative yakni melanggar Pasal 372, dan
Pasal 378 jo pasal 55 dan 56 KUHP. Dakwaan tersebut adalah merupakan dakwaan yang
tidak benar atau palsu karena dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak mengakomodir
terdapatnya fakta-fakta yuridis yang telah disampaikan oleh terdakwa 3 saat penyelidikan,
penyidikan di kepolisian, maupun pada saat proses penuntutan pada Kejaksaan Negeri Denai,
fakta-fakta ini yaitu :

1. Tidak dijadikannya surat pernyataan dari saudara saksi Lisnawati tertanggal 09 Juni
2011 yang pada intinya bahwa saksi Rohana.secara hukum telah menyatakan :
Menyerahkan sepenuhnya kepada siapun atau pihak manapun untuk menjual sebidang
tanah perumahan seluas 944 M2 dengan SHM nomor : XX/tahun 1986 yang
berlokasi di kelurahan Koto Baru Kecamatan Denai Utara Kot0 Denai.
2. Bahwa disinyalir ada konspirasi yang sangat kuat/kental antara saksi korban
Lisnawati, dengan saksi Rohana dalam usaha untuk menjerumuskan/menjebak
Terdakwa 3 dalam permasalahan hukum sekarang ini, konspirasi hal ini semakin
nyata karena tidak dijadikannya saksi Rohana sebagai terdakwa dalam perkara a quo,

Hal ini sengaja di lakukan oleh sdr. Jaksa Penuntut Umum untuk membuktikan dakwaannya,
sehingga terbukti bahwa klaim sdr. Jaksa Penuntut Umum yang menyatakan dalam surat
Dakwaanya yang menyatakan “ …., tidak membacakan atau tidak menjelaskan isi akta
tersebut sebelum saksi Lisnawati membubuhkan tanda tangannya pada akta jual beli nomor :
XXX/2011.” adalah dalil yang kosong/palsu dan tidak benar sama sekali. Karena secara
hukum semua perkejaan tersbeut telah dikerjakan oleh terdakwa 3 dan sebelumnya telah ada
kesepakatan atara para pihak tersebut untuk melakukan transaksi jual beli atas sertifkat a quo
dan saksi Lisnawati sendiri mengetahui sejak awal bahwa yang ditanda tangani dan
dibubuhkan tanda tangannya adalah akta jual beli, bukan pengurusan IMB, apalagi JPU
dalam menrumuskan surat dakwaanya hanya melulu merujuk kepada keterangan saksi yang
bersumber dari pengakuan saksi korban Lisnawati dengan mengenyampingkan fakta hukum
lainnya.

M. Yahya Harahap, SH dalam bukunya “ Pembahasan Kitab Undang-undang Hukum Acara


Pidana pada hal. 415 dengan tegas memyebutkan “ Rumusan Surat dakwaan tidak boleh
Menyimpang dari hasil penyidikan”

Artinya, uraian surat dakwaan penuntut umum tersebut tidaklah berdasarkan fakta yang
sebenarnya, kenapa hal ini dilakukan ? apakah fakta tersebut sengaja disembunyikan dan
tidak disampaikan dalam surat dakwaan, demi tercapainya tujuan atau mission penuntut
umum dengan cara mengaburkan surat dakwaan tersebut. Hal demikian jelaslah akan
menyulitkan posisi Terdakwa 3 dalam pembelaan. Oleh karena itu dakwaan Jaksa penuntut
umum adalah kabur (obscuur libele).

Berdasarkan alasan-alasan tersebut diatas dengan segala hormat dan demi tegaknya hukum
dan keadilan bagi kita semua pihak, kami mohon kepada Majelis hakim yang mulia, kiranya
perkara Terdakwa 3 ini dihentikan pemeriksaannya, apabila persidangan ini terus/tetap. Maka
mengembalikan posisi Terdakwa 3 dalam keadaan semula sangat sulit dan namanya telah
terlanjur tercemar, APALAGI TERDAKWA ADALAH SEORANG STAF NOTARIS
YANG HANYA MELAKSANAKAN PERINTAH DAN TUGAS KENOTARISAN
SESUAI DENGAN KETENTUAN YANG BERLAKU DAN TUNDUK KEPADA KODE
ETIK KENOTARIATAN YANG MEMPUNYAI MEKANISME
PERTANGGUNGAJWABAN DAN PENGAWASAN TERSENDIRI SECARA UNDANG-
UNDANG KENOTARISAN;

Bahwa Terdakwa 3 adalah seorang yang menjalankan tugas kenotarisan untuk


menyampaikan dan membacakan akta jual Beli yang dibuat Notaris Emma Nama SH atas
kuasa lisan dari Notaris Setianti, SH dan Notaris Setianti SH mendapat kuasa lisan dari
Notaris Emma Nama SH untuk membacakan akta jual beli sebagaimana dimaksud dalam
perkara a quo. Bahwa apabila terjadi kesalahan teknis pembacaan dari akata jual beli
dimaksud yang dibacakan atau disampaikan Terdakwa 3 yang mendapat perintah dan kuasa
lisan dari Notaris Setia SH yang juga mendapat kuasa lisan dari Notaris Emma Nama, SH,
maka kesalahan teknis tersebut sudah diatur sanksinya dalam UU No. 204 tentang Notaris.
Dalam hubungan ini, Penuntut Umum telah luput memperhatikan keberadaan UU Notaris
sebagai UU khusus dan kerananya Dakwaan Penuntut Umum sudah seharusnya dibatalkan
terhadap Terdakwa III.

Bahwa Penuntut Umum dalam surat dakwaannya, NYATA-NYATA “menyembunyikan”


keberadaan terdakwa 3 sebagai seorang yang sedang menjalankan tugas kenotarisan atas
kuasa lisan dari Notaris Setia SH, dan permintaan pembacaan Akta Jual Beli tersebut itu pun
atas permintaan terdakwa II dan faktanya sesuai dengan uraian Penuntut Umum sendiri, Saksi
Lisnawati (saksi Korban) membubuhkan tanda tangannya, demikian pula saksi Rohana juga
membubuhkan dan mengakui tanda tangannya pada Akta Jual Beli sebagaimana dimaksud
dalam perkara a quo. Apabila kemudian Saksi Korban Lisnawati berdalih, ia tidak tahu surat
apa yang ditanda tanganinya dan membaut alibi sebagai surat mengurus IMB tentu
sepenuhnya menjadi tanggung jawab Terdakwa II sebagai orang yang meminta pembacaan
akta dirumah saksi Lisnawati dan saksi Rohana dan sesuai dengan uraian Penuntut Umum
sendiri penanda tangan akta tersebut terlaksana dan kedua saksi bukanlah orang buta huruf.
Oleh karena pekerjaan kenotarisan yang dijalan Terdakwa III atas kuasa lisan dari Notaris
Setia SH sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku dan pekerjaan yang dijalan terdakwa 3
tunduk pada UU No. dan bukan pada ketentuan KUHP dan selaras dengan prinsip hukum lex
spscialis systematic derogate lex generalis. Dalam hal ini pekerjaan yang dijalankan
Terdakwa 3 sebagai kuasa lisan dari Notaris Setia SH belum diuji dengan ketentuan UU
Kenotarisan, dan oleh sebab itu dakwaan Penuntut Umum terdakwa 3 adalah dakwaan yang
tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap dan karenanya sudah seharusnya dibatalkan demi
hukum.

D. KESIMPULAN.

Bahwa kami sangat mengharapkan agar Majelis Hakim benar-benar mempertimbangkan


alasan dan argument hukum yang dikemukan dalam tanggapan dan keberatan ini berdasarkan
asas yang sesuai dengan hukum acara (due process) dan sesuai dengan hukum (due to the
law) sehingga dapat membenarkan dan mengabulkan kesimpulan yang kami kemukankan
dibawah ini :
1. Perbuatan yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum berada diluar jangkauan atau
berada di luar jurisdiksi KUHPidana, akan tetapi jurisdiksi KUHPerdata ;
2. Bahwa dakwaan Penuntut Umum terhadap Terdakwa 3 Mengenyampingkan UU
Tentang Kenotariatan/PPAT sebagai undang-undang yang khusus.
3. Sehubungan dengan itu, tindak pidana yang disangkakan dan didakwakan Jaksa
Penuntut Umum kepada Terdakwa 3 ROMI Pgl. Romi Bin ARIFIN tidak dapat
diproses dalam semua tingkat pemeriksaan mulai penyidikan, Penuntutan, dan
peradilan ;
4. Akibat hukum yang melekat dalam kasus ini, hak Jaksa Penuntut Umum menuntut
Terdakwa 3 ROMI Pgl. ROMI Bin ARIFIN dalam perkara ini GUGUR demi hukum ;
5. Meminta kepada Majelis Hakim untuk menjatuhkan putusan yang menyatakan gugur
hak Jaksa Penuntut Umum melakukan penuntutan dalam perkara ini atau demi hukum
peritiwa pidana yang didakwakan tidak dapat dituntut.

Sesuai dengan alasan-alasan yang dikemukan dan telah disimpulkan diatas, kami Penasehat
Hukum Terdakwa memohon kehadapan Majelis hakim yang Mulia dalam memeriksa dan
mengadili perkara ini dapat menjatuhkan putusan sela dengan amarnya sebagai berikut :

1. Menyatakan Eksepsi/Keberatan Terdakwa 3 diterima;


2. Menyatakan Pengadilan Negeri Denai tidak berwenang mengadili perkara a quo;
3. Menyatakan dakwaan jaksa penuntut umum setidak-tidaknya terhadap Terdakwa 3
batal demi hukum;
4. Atau setidak-tidaknya menyatakan dakwaan Penuntut Umum tidak diterima;
5. Membebaskan Terdakwa 3 dari segala Dakwaan;
6. Memulihkan nama baik Terdakwa 3 pada keadaan semula;
7. Membebankan biaya yang timbul dalam perkara ini kepada Negara;

Atau kami selaku Tim Penasehat Hukum mohon kepada Majelis Hakim yang terhormat untuk
dapat memeriksa, mempertimbangkan dan mengadili perkara ini menurut fakta hukum dan
keyakinan Majelis Hakim, sehingga akan diperoleh suatu kebenaran materiil dan keadilan
yang seadil-adilnya bagi Terdakwa 3.

Kota Denai, 16 Mei 2012


Hormat Kami,

BOY YENDRA TAMIN & REKAN


Advocates & Legal Consultants
Dakwaan menempati posisi penting dalam suatu pemeriksaan perkara pidana. Bahkan dalam
beberapa yurisprudensi disebutkan, bahwa dakwaan merupakan dasar pemeriksaan perkara di
persidangan. Dengan demikian, maka sebuah dakwaan harus disusun sedemikian rupa dan
sekurang-kurangnya memenuhi ketentuan Pasal 143 ayat 2 dan menjadi tanggung jawab
Penuntut Umum untuk memenuhinya. Namun dalam praktek tidak jarang ditemukan surat
dakwaan yang batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat formil maupun materil.

Terhadap surat dakwaan atau dakwaan yang tidak memenuhi syarat materil termasuk
kedalamnya mengenai rumusan dakwaan, dakwaan haruslah dirumuskan sedemikian rupa
sehingga memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan. Banyak contoh eksepsi atas
rumusan dakwaan penuntut umum yang tidak cermat, kabur atau bisa juga disebut sebagai
rumusan dakwaan yang mengandung cacat hukum, dan beresiko batal demi hukum. Ketidak
cermatan atau kekaburan rumusan dakwaan maupun dalam uraian dakwaan, tentu bukan
kewajiban hakim untuk membentulkannya, melainkan menurut Pasal KUHAP,
konsekuensinya dakwaan batal demi hukum. Berikut adalah satu contoh eksepsi atas rumusan
dakwaan penuntut umum:
Baca juga: Contoh Eksepsi Surat Keberatan Dalam Perkara Pidana

EKSEPSI PENASEHAT HUKUM TERDAKWA MASRI


Perkara Pidana Nomor:XXX/Pid.Sus-TPK/2015/PN.....

Nama : Masri
Tempat Lahir : Kota Baru
Umur/Tgl Lahir : 50 tahun/15-Maret -1966
Agama : Islam.
Kewarganegaraan : Indonesia .
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Alamat : Jln Permai Raya Kota Baru
Pendidikan : S-1

Majelis Hakim Yang Mulia


Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati.
Terlebih dahulu perkenankanlah kami Penasehat Hukum Terdakwa mengucapkan terima
kasih kepada Majelis Hakim yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk
mengajukan eksepsi terhadap surat dakwaan Penuntut Umum yang telah disampaikan dan
dibacakan dalam persidangan perkara ini.

PENDAHULUAN.

Bahwa surat dakwaan merupakan dasar pemeriksaan perkara di sidang pengadilan. Hal ini
sejalan dengan Putusan Mahkamah Agung No.47 K.Kr/1956 tanggal 23 Maret 1957
menyatakan, bahwa yang menjadi dasar pemeriksaan oleh pengadilan ialah surat dakwaaan.”
Dan berdasarkan Pasal 143 ayat (2) KUHAP surat dakwaan harus memenuhi syarat formil
dan materil dan apabila surat dakwaan tidak memenuhi syarat materil, maka surat dakwaan
yang demikian adalah batal demi hukum.
Bahwa setelah mempelajari surat dakwaan Penuntut Umum terhadap Terdakwa dalam
perkara a quo, maka sudah seharusnya surat dakwaan Penuntut Umum batal demi hukum
karena:

1. Bahwa uraian perbuatan dakwaan Subsidair, lebih susidair dan lebih-lebih subsidair
dalam surat dakwaan perkara a quo adalah sama dengan dakwaan Primair. Uraian
perbuatan dalam dakwaan Subsidair, lebih subsidair, lebih-lebih subsidair menyalin
ulang (copy paste) uraian dakwaan primair, sedangkan tindak pidana yang
didakwakan dalam masing-masing dakwaan tersebut secara prinsip berbeda satu
dengan yang lain. Atas dakwaan Penuntut Umum yang demikian, berdasarkan
yurisprudensi Mahkamah Agung RI, Putusan Nomor: 600/K/Pid/1982 menyebabkan
batalnya surat dakwaan tersebut karena obscuur libele atau kabur. Bahkan
Kejaksanaan Agung sendiri melalui surat No.B-108/E/EJP/02/2008 tanggal 4
Februari2008 juga telah mengingatkan agar Penuntut Umum dalam menguraikan
dakwaan subsidair tidak menyalin ulang (Copy Paste) uraian dakwaan Primair. Oleh
sebab itu sudah sepatutnya dakwaan Penuntut Umum batal demi hukum.
2. Bahwa selain obscuur libele, dakwaan Penuntut Umum juga tidak cermat, dimana
unsur tindak pidana yang didakwakan dalam dakwaan Lebih Subsidair dan Lebih-
lebih subsidair adalah sama, sedangkan pasal pidana yang didakwakan berbeda.
Rumusan tindak pidana dalam dakwaan Lebih-lebih Subsidair tidak sama atau
berlainan dengan unsur tindak pidana yang terdapat dalam Pasal 9 UU No 31 Tahun
1999 yang dinyatakan Penuntut Umum sebagai telah dilanggar oleh Terdakwa . Atas
fakta rumusan dakwaan Penuntut pada dakwaan Lebih Subsidair dan Lebih-lebih
Subsidair tersebut, maka jelaslah dakwaan Penuntut Umum adalah dakwaan yang
kabur dan tidak cermat, cacat hukum dan karenanya sudah seharusnya batal demi
hukum.

Bahwa dakwaan penuntut umum adalah dakwaan yang tidak cermat, kabur, tidak jelas
karena:

1. Bahwa Penunut Umum dalam rumusan dakwaannya menyatakan, bahwa Terdakwa


Masri Selaku Pengguna Anggaran (KPA) melakukan tindak pidana bersama dengan
saksi Antoni (kutipan asli rumusan dakwaan: Bahwa ia terdakwa Masri selaku Kuasa
Pengguna Anggaran (KPA) bersama dengan saksi Antoni....)
2. Bahwa berdasarkan rumusan dakwaan Penuntut Umum tersebut, maka tindak pidana
yang didakwakan Penuntut Umum adalah suatu tindak pidana yang terjadi atas
perbuatan bersama dan bukan sebagai tindakan sendiri-sendiri.
3. Bahwa dengan rumusan tindak pidana yang dinyatakan Penuntut Umum sebagai
perbuatan bersama dengan Saksi Antoni, TETAPI saksi Antoni bukanlah seorang
terdakwa yang perkaranya dilakukan penuntutan secara terpisah. Dalam hal ini,
rumusan tindak pidana yang didakwakan penuntut umum tidak ada rumusan bahwa
saksi Antoni dituntut dalam perkara atau berkas dakwaan terpisah. Oleh sebab itu
dakwaan penuntut Umum adalah dakwaan yang tidak cermat, kabur dan tidak jelas
serta cacat hukum dan telah keliru menempatkan Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dalam
dakwaannya. Logika hukumnya, adalah tidak masuk akal dan tidak logis menurut
hukum seseorang (Masri) didakwa melakukan tindak pidana bersama orang lain,
sementara orang lain (Antoni) tersebut hanya berstatus sebagai saksi. Dengan tidak
adanya pernyataan pemisahan perkara (splitsing) dalam rumusan tindak pidana yang
didakwakan, maka dakwaan penuntut umum tidak saja mengandung cacat elementer,
tetapi juga cacat yuridis dan sekaligus dakwaan yang tidak cermat, kabur dan tidak
jelas.

Bahwa rumusan dakwaan penuntut umum baik pada dakwaan Primair, subsidair, lebih
subsidair maupun lebih-lebih subsidair adalah dakwaan yang tidak cermat, kabur dan tidak
lengkap, karena dalam rumusan dakwaan Penuntut Umum menyebutkan Terdakwa
melakukan tindak pidana bersama dengan Antoni, tetapi yang dimintai pertanggungjawaban
hanya diri Terdakwa saja sementara Antoni hanya dijadikan saksi saja oleh Penuntut Umum.
Dakwaan penuntut umum yang demikian jelas merupakan dakwaan yang tidak cermat, tidak
lengkap dan merugikan kepentingan pembelaan diri Terdakwa. Karena itu sudah seharusnya
dakwaan penuntut umum batal demi hukum.

Bahwa dengan disertakannya Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dalam rumusan dakwaan Penuntut
Umum dalam perkara a quo, sementara orang lain selain Terdakwa yang dakwa bersama
terdakwa melakukan tindak pidana tentulah juga terdakwa. Dalam hubungan ini terdapat
Surat Edaran Kejaksaan Agung Republik Indonesia No. B-69/E/02/1997 perihal Hukum
Pembuktian Dalam Perkara Pidana yang antara lain menyebutkan: Bahwa Yurisprudensi
yang diikuti selama ini masih mengakui saksi Mahkota sebagai alat bukti, misalnya Putusan
Mahkamah Agung No. 1986K/Pid/1 989 tanggal 2 Maret 1990 menyatakan bahwa Jaksa
Penuntut Umum diperbolehkan oleh undang-undang mengajukan teman terdakwa yang ikut
serta melakukan perbuatan pidana tersebut sebagai saksi di persidangan, dengan syarat bahwa
saksi ini dalam kedudukannya sebagai terdakwa, tidak termasuk dalam berkas perkara yang
diberikan kesaksian. Selanjutnya Putusan Mahkamah Agung No. 2437 K/Pid.Sus/2011, yang
menyatakan: “Saksi mahkota didefinisikan sebagai Saksi yang berasal atau diambil dari salah
seorang tersangka atau Terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana,
dan dalam hal mana kepada Saksi tersebut diberikan mahkota”. Kemudian dalam
yurisprudensi Mahkamah Agung, Putusan Nomor 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990
dijelaskan, bahwa Mahkamah Agung tidak melarang apabila jaksa penuntut umum
mengajukan saksi mahkota di persidangan dengan syarat bahwa saksi ini dalam
kedudukannya sebagai terdakwa tidak termasuk dalam satu berkas perkara dengan terdakwa
yang diberikan kesaksian (Varia Peradilan, 1990: 25). Berdasarkan yurisprudensi Mahkamah
Agung tersebut, maka dalam perkara a quo, saksi Antoni tidak bersatus sebagai terdakwa
sampai perkara ini dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Pada Pengadilan Negeri Kota Baru
dan bahkan tidak mungkin dijadikan Penuntut Umum sebagai tersangka apalagi terdakwa.

Berdasarkan uraian di atas, maka sudah seharusnya menurut hukum, dakwaan Penuntut
Umum batal demi hukum.

Bahwa bila dalam rumusan tindak pidana dalam didakwakan penuntut umum disebutkan
Antoni sebagai saksi saja, sementara dalam uraian dakwaan disebutkan Antoni dengan
jabatan Bendahara Pengeluaran Pembantu dari tahun 2011 s/d 2013, dan dalam uraian
selebihnya Penuntut umum hanya menyebut Bendahara tanpa menyebutkan nama orangnya.
Uraian dakwaan yang demikian adalah uraian dakwaan yang kabur, tidak jelas, tidak cermat,
dimana antara Bendahara dengan bendahara Pengeluaran Pembantu adalah dua jabatan yang
berbeda dan dipangku oleh orang yang berbeda.
Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka tak terbantahkan bahwa dakwaan penuntut umum
adalah uraian dakwaan yang tidak cermat, samar-samar, kabur, cacat hukum dan tidak
didasarkan pada hasil penyidikan yang lengkap, sehingga merugikan kepentingan pembelaan
diri Terdakwa. Oleh karena itu sudah seharusnya dakwaan penuntut umum batal demi
hukum. .

Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan di atas, kiranya telah cukup alasan hukum bagi
Majelis Hakim Yang Mulia yang memeriksa dan mengadili perkara a quo untuk menerima
Eksepsi Terdakwa/Penasehat Hukum Terdakwa seraya memberikan Putusan Sela dengan
amarnya berbunyi sebagai berikut;

1. Menerima Eksepsi Panasehat Hukum Terdakwa seluruhnya;


2. Menyatakan Dakwaan Penuntut Umum batal demi hukum.
3. Menyatakan terdakwa bebas dari segala dakwaan Penuntut Umum dan mengeluarkan
terdakwa dari tahanan.
4. Membebankan biaya perkara kepada negara.

Demikianlah eksepsi ini kami sampaikan, atas perhatian dan pertimbangan Majelis Hakim
Yang Mulia, terlebih dahulu kami ucapkan terima kasih.

Padang, 7 Mei 2015


Hormat kami
Penasehat Hukum Terdakwa

BOY YENDRA TAMIN, SH.MH ASNIL ABDILLAH. SH

Anda mungkin juga menyukai