Anda di halaman 1dari 31

30

Kepada Yang Terhormat.

Ketua dan Majelis Hakim Pemeriksa Yang Terhormat

Perkara Pidana Nomor Register PDM-169/JKTSL/11/2018

Dengan hormat,

Yang bertanda tangan tangan dibawah ini:

1. Guntur Pembayun Putro S.H., M.H.

Kesemuanya adalah advokat pada ADHIMUKTI WIDYARTO AND

PARTNERS, ADVOCATES AND LEGAL CONSULTANTS, yang

berkantor Wisma Danamon Aetna life, Lt. 18 Jl. Soedirman Kav 45-

46, Jakarta Selatan. Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus

tertanggal 1 Juni 2015, yang telah didaftarkan pada Kantor

Kepanitraan Pengadilan Negeri Sekayu, dengan Nomor Register: PDM-

169/JKTSL/11/2018 bertindak sebagai Penasihat Hukum Terdakwa

dengan identitas sebagai berikut :

Nama Lengkap : YUSNINAWATI

Tempat Lahir : Magelang

Umur/ Tanggal Lahir : 37 Tahun / 13 Desember 1969

Jenis Kelamin : Perempuan

Kebangsaan : Indonesia

Tempat Tinggal : Jl.Swadharma I DalamNo.1 Rt.05 Rw.09,

Kel.Petukangan,Kec. Pesanggrahan, Jakarta

Selatan

30
Agama : Islam

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Pendidikan :-

Pada kesempatan kali ini, kami Tim Penasihat hukum Terdakwa

akan menyampaikan Nota Keberatan atau Eksepsi terhadap Surat

Dakwaan Penuntut Umum. Adapun sistematika Nota Keberatan ini

Kami susun sebagai berikut:

I. DASAR HUKUM MENGAJUKAN NOTA KEBERATAN

II. PENDAHULUAN

III. POKOK NOTA KEBERATAN (EKSEPSI)

IV. PERMOHONAN

BAB I

Dasar hukum mengajukan nota keberatan

30
Bahwa berdasarkan dasar hukum mengenai pengajuan nota

keberatan oleh terdakwa atau penasehat hukum terhadap surat

dakwaan penutut umum di atur dalam pasal 156 ayat (1) KUHAP.

Pasal 156 ayat (1) KUHAP

“Dalam hal terdakwa atau penasehat hukum mengajukan keberatan

bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau

dakwaan tidak dapat di terima atau surat dakwaan harus di

batalkan, maka setelah di beri kesempatan kepada Penuntut Umum

untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan

keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan”.

Pasal tersebut pada pokoknya menyatakan bahwa terdakwa

atau penasehat hukum dapat mengajukan keberatan bahwa

pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan

tidak dapat di terima atau surat dakwaan harus di batalkan.

Bahwa yang dimaksud pada pokoknya dengan keberatan

mengenai pengadilan negeri tidak berwenang mengadili perkara

sendiri di klasifikasikan menjadi tidak berwenang secara absolut

(absolute competence) dan tidak berwenang secara relatif (relative

competence).

Mengenai Nota Keberatan Dakwaan dan tuntutan Penuntut

Umum tidak dapat diterima, memang tidak diatur dalam KUHAP,

namun karena adanya beberapa yurispudensi yang menyatakan

30
bahwa suatu pemeriksaan yang tidak sesuai dengan syarat

ketentuan dalam undang-undang, akan menyebabkan dakwaan dan

tuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima, maka kami akan

mengajukan materi Nota Keberatan tersebut.

Kami sebagai penegak hukum tidak akan tinggal diam apabila

ada suatu tindakan yang dilakukan oleh para penegak hukum yang

tidak sesuai dengan Hukum yang ada dan tidak memilik dasar

hukumnya. Padahal indonesia sendiri, yang berdasarkan pasal 1

ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 dinyatakan sebagai Negara Hukum sudah seharusnya

mengedepankan esensi Negara Hukum1, sebagai berikut:

a. Adanya legalitas (supremasi hukum) sebagai

standar yang harus diindahkan atau ide-ide

alternatif yang harus dipenuhi;

b. Diperulukan independent judiciary;

c. Jaminan Hak Asasi Manusia;

d. Adanya good govermance.

Berdasarkan uraian Kami di atas, maka Kami selaku

Penasehat Hukum Terdakwa juga akan mengajukan poin Nota

Keberatan selain yang diatur di dalam KUHAP, yakni Nota Keberatan

mengenai Dakwaan dan Tuntutan Penuntut Umum Tidak Dapat

Diterima.

1
Adnan Buyung Nasution,Dr.,Iur.2007. “Arus Pemikiran Konstitusionalisme (Hak Asasi
Manusia)”.Kata Hasta Pustaka, Jakarta.

30
BAB II

Pendahuluan

30
Majelis hakim Yang Terhormat,

Saudara Penuntut Umum,

Serta Hadirin Sidang yang Kami Hormati pula,

Rasa terima kasih dan hormat kami sampaikan selaku tim

Panasehat Hukum Terdakwa kepada Majelis Hakim, atas

kesempatan yang diberikan kepada kami untuk mengajukan

keberatan atas surat dakwaan yang telah kami terima dari saudara

penuntutan umum pada hari, Kamis, 12 Juli 2017. Pengadilan

adalah Segala Sumber Keadilan, ini merupakan bentuk representasi

dari lubuk hati kami yang paling dalam untuk dapat mewujudkan

tujuan hukum yaitu keadilan, karena mengingat bahwasannya kami

menemukan adanya kekurangan, keganjalan, dan kecacatan dalam

surat dakwaan.

Setelah mempelajari dan mendengar secara seksama surat

dakwaan yang telah dibacakan saudara Penuntut Umum, maka

sesuai dengan hak yang diberikan oleh ketentuan pasal 156 ayat (1)

KUHAP, sekarang adalah giliran kami, Penasehat hukum terdakwa

untuk memberikan pendapat, mengenai surat dakwaan yang telah

dibacakan oleh saudara Penuntut Umum apakah telah memenuhi

asas dan ketentuan hukum untuk mendudukan Yusninwati menjadi

terdakwa dan sekaligus menjadi dasar satu-satunya untuk

30
memeriksa dalam persidangan nanti, yakni apakah ia telah

melakukan tindak pidana seagaimana yang diuraikan dalam surat

dakwaan.

Sehingga dalam hal ini kami selaku penasihat hukum

terdakwa mengajukan keberatan ini bukan untuk memberikan suatu

penilaian pribadi mengenai kebenaran atas perkara yang

didakwakan kepada Terdakwa, melainkan untuk memperlihatkan

kepada Majelis Hakim mengenai fakta dan pendapat kami

bahwasannya didalam surat dakwaan yang dibuatkan oleh saudara

Penuntut Umum terdapat kekeliruan secara yuridis, yang merugikan

Terdakwa.

Untuk selanjutnya keberatan yang kami sampaikan ini

tentunya akan berbeda dengan pandangan Penuntut Umum yang

disampaikan melalui surat dakwaannya, namun dalam hal ini

bertujuan agar kedua belah pihak (Penuntut Umum dan Terdakwa /

Penasihat Hukumnya) dapat mengemukakan pandangannya masing-

masing sehingga dalam proses persidangan dapat dibangun suatu

konstruksi pikiran yang akan mengarah pada suatu kebenaran

formiil maupun materiil (du choc des opinions jaillit la verite),

yang merupakan salah satu tujuan dari dilaksanakannya suatu

peradilan pidana.

Dalam usaha untuk mencari keadilan bagi Terdakwa, kami

selaku penasihat hukum terdakwa mengajukan keberatan ini dengan

30
tujuan untuk meluruskan hal-hal yang kami rasa kurang tepat. Hal

tersebut sangatlah penting untuk kami lakukan demi tegaknya

hukum dalam persidangan ini, karena kami berpendapat bahwa

persidangan ini telah di langsungkan dengan mengabaikan

persyaratan formiil.

Keberatan ini kami ajukan bukan bermaksud untuk mencari-

cari kesalahan atau memojokkan posisi saudara Penuntut Umum

yang dalam menjalankan tugas dan kewajibannya telah bekerja

dengan tekun dan gigih. Kami menyadari bahwa kami berada dalam

posisi yang subjektif atau dalam kepentingan pembelaan perkara

terdakwa, tetapi melalui keberatan ini hendaknya dalam persidangan

kita sama-sama berada dalam satu pandangan objektif yang

berorientasi pada hukum dalam rangka mencari dan menemukan

kebenaran formil sebagaimana dikehendaki oleh hukum Acara

Perdata yang menyatakan bahwa ini merupakan suatu sengketa atau

/ dan dalam rangka mencari dan menemukan kebenaran materiil

sebagaimana dikehendaki oleh hukum acara pidana.

Berdasarkan surat dakwaan yang disusun oleh saudara

Penuntut Umum yang pada dasarnya mendakwa terdakwa dengan

dakwaan subsidair sebagai berikut:

- Dakwaan :

30
Primair :

 Pasal 53

Subsidair :

 Pasal 362 jo. Pasal 55 Ayat (1) Kitab Undang – Undang Hukum

Pidana

30
BAB III

POKOK NOTA KEBERATAN (EKSEPSI)

1. NOTA KEBERATAN MENGENAI PENGADILAN NEGERI

BATAM SECARA RELATIF (RELATIVE COMPETENCE) UNTUK

MENGADILI PERKARA

Setelah membaca dan mempelajari surat dakwaan

Penuntut Umum serta mencermati isi dari Berita Acara Pemeriksaan

yang dibuat oleh penyidik dari Polda Sumatera Selatan yang

mempunyai kewenangan untuk menyidik perkara ini, kami selaku

penasehat hukum terdakwa menilai bahwa Penuntut Umum terlalu

gegabah dalam menentukan Pengadilan yang berwenang mengadili

perkara yaitu dengan menyatakan Pengadilan Negeri Sekayu yang

mempunyai kewenangan secara relatif untuk mengadili perkara ini.

Penuntut Umum sepertinya tidak teliti atau mungkin tidak

mempertimbangkan pasal 84 ayat (1) KUHAP mengenai kewenangan

Relatif Pengadilan Negeri Untuk mengadili suatu perkara. Dimana

Bunyi dari Pasal 84 ayat (1) KUHAP :

Pasal 84 ayat (1) KUHAP

“ Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala perkara

mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah

hukumnya”

30
Pasal 84 ayat (1) KUHAP tersebut sesuai dengan putusan

Azenwijes Paard-Arrest, H.R. pada tanggal 6 April 1915, N.J.

1915 hal. 427, W 9764 mengenai “Teori alat yang dipergunakan”

bahwa tempat atau locus delicti terwujudnya delik ialah tempat di

mana alat (insrument) bekerja. Atau dengan kata lain, tindak pidana

dilakukan dimana alat yang dipergunakan itu menyelesaikannya.

Hoge Raad di Nederland menganut ajaran tersebut. Di Jerman, teori

alat tersebut Theorie Der Langen Hand (hr.: teori tentang panjang),

dan di Nederland disebut Der Leeer Van Het Instrument (ajaran

tentang alat).

Pengertian alat, instrument, langen Hand, dapat berupa

binatang, benda, bahkan orang yang tak mampu bertanggungjawab.

Bilamana orang melakukan satu tindakan dengan bantuan

suatu instrumen, tercakup ke dalamnya hewan bahkan manusia lain

sepanjang tidak berperan sebagai perantara yang dapat dimintakan

pertanggungjawaban tersendiri, maka tempat instrumen atau alat

tersebut bekerja, akan diperhitungkan sebagai locus delictie oleh

H.R.

Menurut keputusan Hoge Raad, maka yang menjadi locus

delictie adalah tempat di mana ada alat yang dipergunakan itu

berada. Maka yang harus menjadi atau dianggap sebagai locus

delictie adalah tempat dimana alat yang digunakan menimbulkan

akibat tindak pidana.

30
Menurut de leer van het instrument, yang harus dipandang

sebagai locus delictie adalah terutama pada tempat seorang pelaku

telah melakukan sendiri tindakannya yang terlarang oleh Undang-

Undang, tetapi untuk melakukan tindakan yang terlarang itu

pelakunya telah menggunakan alat, maka tempat alat tersebut

bekerja juga harus dipandang sebagai locus delicti dari tindak pidana

yang telah ia lakukan.

Menurut pendapat ini maka yang menjadi locus delictie ialah

tempat dimana alat yang digunakan berada yang kemudian dapat

mengakibatkan delik yang bersangkutan.

Locus delictie adalah tempat dimana alat bukti ditemukan

supaya delik dapat terjadi. Jadi, tempat dimana akibat dari

perbuatan itu tidaklah penting.

Dalam perkara in casu, berdasarkan salinan Berita Acara

Pemeriksaan Tersangka dan Saksi, yang Kami dapatkan dari

penyidik Polda Sumatera Utara, jelas terpenuhi sebagaimana yang

ditentukan dalam pasal 84 ayat (1) KUHAP, untuk lebih jelasnya

salinan Berita Acara Pemeriksaan tersebut akan kami sertakan

sebagai berikut:

Bahwa apabila dilihat dari Kompetensi Relatif suatu

Pengadilan, Alat bukti berupa kapal yang mengangkut hasil

kegiatan yang diduga pencurian minyak mentah ini dihentikan

diperiksa yaitu di perairan Tanjung Berakit, Kepulauan Bintan,

30
dimana lokasi ini berada di Kecamatan Sekupang, adalah masuk

dalam wilayah Yurisdiksi Pengadilan Negeri BATAM, sehingga

apabila pemeriksaan perkara ini dilakukan pada Pengadilan Negeri

SEKAYU, maka Pengadilan Negeri tersebut tidak berwenang untuk

memeriksa perkara ini.

Bahwa berdasarkan hal tersebut diatas dan dihubungkan

dengan pasal 84 ayat (1) KUHAP maka kami menyatakan Pengadilan

Negeri yang lebih berwenang secara relatif mengadili perkara in casu,

adalah:

PENGADILAN NEGERI BATAM

Kewenangan Pengadilan Negeri BATAM untuk mengadili

perkara Terdakwa juga di perkuat dengan adanya asas

Penyelenggara Kekuasaan Kehakiman yang termaktub dalam pasal 4

ayat (2) Undang-undang No. 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman, yang kami kutip sebagai berikut :

“pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha

mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk

tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan

berbiaya ringan”.

Berdasarkan uraian diatas, Kami selaku Penasehat Hukum

Terdakwa SINGGIH TRIWIBOWO ALIAS JURAGAN BIN MAHMUD,

memohon kepada Majelis Hakim Yang Mengadili Perkara ini, untuk

30
menyatakan bahwa PENGADILAN NEGERI SEKAYU TIDAK

BERWENANG SECARA RELATIF UNTUK MENGADILI PERKARA

INI. Oleh karena sebab itulah Klien Kami SINGGIH TRIWIBOWO

ALIAS JURAGAN BIN MAHMUD dapat bebas dari Dakwaan Jaksa

Penuntut Umum.

30
2. NOTA KEBERATAN MENGENAI DAKWAAN PENUNTUT UMUM

TIDAK DAPAT DITERIMA (NIET OVANKELIJKVERKLEERD)

karena Penyidikan Tidak Sesuai dengan KUHAP

Bahwa berdasarkan KUHAP yang merupakan kodifikasi hukum

pidana formil menyatakan bahwa di negara Indonesia memiliki

Kepentingan Hukum yang harus dijamin, yaitu Pertama

Kepentingan masyarakat, dengan tujuan untuk ketertiban hukum

(rechterde) atau ketertiban umum yang harus dijamin supaya

masyarakat dapat melangsungkan hidupnya secara aman dan

tentram. Kedua adalah Kepentingan individu, yang terdiri dari hak

asasi manusia (human rights), yang harus dijamin pula.

Bahwa hukum Acara Pidana ditujukan untuk menjamin keserasian

dan keseimbangan antara kedua kepentingan hukum tersebut. Jadi

hukum acara pidana harus dapat membatasi kekuasaan penguasa

agar tidak menjadi sewenang-wenang di satu pihak dan di lain pihak

kekuasaan penguasa merupakan jaminan bagi berlakunya hukum

sehingga hak asasi manusia terjamin.

Dalam konteks hak atas bantuan hukum, KUHAP menjamin hak

tersangka atau terdakwa untuk didampingi penasihat hukum dalam

setiap tingkat pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 69

KUHAP.

30
Pasal 69 KUHAP menyatakan

“Penasihat hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat

ditangkap atau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan

menurut tatacara yang ditentukan dalam undang – undang ini”

Pasal 70 Ayat (2) berisi: Jika terdapat bukti bahwa penasihat hukum

tersebut menyalahgunakan haknya dalam pembicaraan dengan

tersangka maka sesuai dengan tingkat pemeriksaan, penyidik,

penuntut umum atau petugas lembaga pemasyarakatan memberi

peringatan kepada penasihat hukum

Pasal 70 Ayat (3) berisi: Apabila peringatan tersebut tidak

diindahkan, maka hubungan tersebut diawasi oleh pejabat yang

tersebut pada ayat (2)

Pasal 70 Ayat (4) berisi: Apabila setelah diawasi, haknya masih

disalahgunakan, maka hubungan tersebut disaksikan oleh pejabat

tersebut pada ayat (2) dan apabila setelah itu tetap dilanggar maka

hubungan selanjutnya dilarang.

            Melihat Pasal di atas, dapat diketahui bahwa hak penasihat

hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 berhak menghubungi

dan berbicara dengan tersangka pada setiap tingkat pemeriksaan

30
dan setiap waktu untuk kepentingan pembelaan perkaranya sesuai

Pasal 70 Ayat (1)

Tapi, seperti kata pepatah, “tak ada gading yang tak retak”, begitu

juga KUHAP kita. Di satu sisi, KUHAP mewajibkan tersangka atau

terdakwa didampingi penasihat hukum. Namun, Di sisi lain, KUHAP

tidak mengatur sanksi jika hak itu tak dipenuhi oleh penyidik. Di

sini titik lemah dari KUHAP itu sendiri.

Pasal 69 KUHAP sudah menegaskan bahwa bantuan hukum itu

wajib disediakan (dengan menunjuk Penasihat Hukum) oleh pejabat

yang memeriksa di setiap tingkat pemeriksaan. Lantas, konsekuensi

hukum jika hal itu tak dilakukan oleh pejabat yang memeriksa

Jawabannya, berita acara pemeriksaan, dakwaan atau tuntutan

dari penuntut umum adalah tidak sah sehingga batal demi

hukum.

Akibat hukum itu dapat diketahui dari beberapa putusan Mahkamah

Agung (Yurisprudensi) yang menyatakan sebagai berikut:

1. Putusan Mahkamah Agung RI No 1565 K/Pid/1991

tertanggal 16 September 1993 yang pokoknya menyatakan :

“apabila syarat – syarat permintaan tidak dipenuhi seperti

halnya penyidik tidak menunjuk penasihat hukum bagi

Tersangka sejak awal penyidikan, maka tuntutan penuntut

umum dinyatakan tidak dapat diterima.”

30
2. Putusan MA NO 545 K/Pid.Sus/2011 menyatakan “Bahwa

selama pemeriksaan Terdakwa tidak didampingi oleh

Penasehat Hukum, sedangkan Berita Acara Penggeledahan dan

Pernyataan tanggal 15 Desember 2009 ternyata telah dibuat

oleh Pejabat yang tidak melakukan tindakan tersebut namun

oleh petugas yang lain; Dengan demikian Berita Acara

Pemeriksaan Terdakwa, Berita Acara Penggeledahan tidak sah

dan cacat hukum sehingga surat Dakwaan Jaksa yang dibuat

atas dasar Berita Acara tersebut menjadi tidak sah dan cacat

hukum pula”

Pasal 69 KUHAP menggariskan salah satu ketentuan dalam Pasal 70

Ayat (4) yang menyatakan Apabila setelah diawasi, haknya masih

disalahgunakan, maka hubungan tersebut disaksikan oleh pejabat

tersebut pada Ayat (2) dan apabila setelah itu tetap dilanggar maka

hubungan selanjutnya dilarang. Dan Pasal 70 Ayat (2) yang

menyatakan Jika terdapat bukti bahwa penasihat hukum tersebut

menyalahgunakan haknya dalam pembicaraan dengan tersangka

maka sesuai dengan tingkat pemeriksaan, penyidik, penuntut umum

atau petugas lembaga permasyarakatan memberi peringatan kepada

penasihat hukum inilah Batasan yang penasihat hukum juga tidak

tahu batasannya seperti apa.

Tersangka berhak didampingi pada setiap proses pemeriksaan. Pada

proses penyidikan kedudukan penasihat hukum bersifat pasif.

Artinya, penasihat hukum mengikuti jalannya pemeriksaan pada

30
tingkat penyidikan hanya sebagai penonton. Terbatas hanya melihat

serta mendengar atau within sight and within hearing. Selama

kehadirannya mengikuti jalannya pemeriksaan, penasihat hukum

tidak diperkenankan memberi nasihat.

Didampingi oleh penasihat hukum merupakan hak tersangka

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 54 KUHAP yang berbunyi:

Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak

mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat

hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat

pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam

undang-undang ini.

Kedudukan Penasihat Hukum di Tingkat Penyidikan

Peran atau kedudukan penasihat hukum dalam proses penyidikan

diatur dalam Pasal 115 KUHAP yang berbunyi:

(1)  Dalam hal penyidik sedang melakukan pemeriksaan

terhadap tersangka, penasihat hukum dapat mengikuti

jalannya pemeriksaan dengan cara melihat serta

mendengar pemeriksaan;

(2)  Dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara penasihat

hukum dapat hadir dengan cara melihat tetapi tidak dapat

mendengar pemeriksaan terhadap tersangka.

30
 

Menurut  Yahya Harahap  dalam bukunya  Pembahasan

Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan

Penuntutan (hal. 133-134), dalam praktek penegakan hukum, secara

harfiah dapat kita uraikan:

1.  Pada waktu pejabat penyidik melakukan pemeriksaan terhadap

tersangka, penyidik dapat memperbolehkan atau mengizinkan

penasihat hukum untuk mengikuti jalannya pemeriksaan.

Berarti atas persetujuan penyidik, penasihat hukum dapat hadir

dan mengikuti pemeriksaan yang sedang dilakukan penyidik.

Tetapi kalau penyidik tidak menyetujui atau tidak

memperbolehkan, penasihat hukum tidak dapat memaksakan

kehendaknya untuk mengikuti jalannya pemeriksaan.

2.    Kedudukan dan kehadiran penasihat hukum mengikuti jalannya

pemeriksaan penyidikan adalah secara pasif. Demikian makna

penjelasan Pasal 115 ayat (1) KUHAP, yakni kedudukan

penasihat hukum mengikuti jalannya pemeriksaan pada tingkat

penyidikan hanya sebagai “penonton”. Terbatas hanya melihat

serta mendengar atau within sight and within hearing. Selama

kehadirannya mengikuti jalannya pemeriksaan, tidak

diperkenankan memberi nasihat. Seolah-olah kehadirannya

berupa persiapan menyusun pembelaan atau pemberian nasihat

pada taraf pemeriksaan selanjutnya.

30
Kehadiran penasihat hukum pada setiap pemeriksaan penyidikan,

besar sekali manfaatnya. Kehadiran penasihat hukum pada setiap

pemeriksaan penyidikan paling tidak mencegah penyidik

menyemburkan luapan emosi dan membuat suasana

pemeriksaan lebih manusiawi, kecuali memang pemeriksa sendiri

lupa daratan dimabuk kecongkakan kekuasaan dan sudah

berteman dengan emosi dan telah kehilangan akal sehat.

Demikian juga dari segi psikologis, kehadiran penasihat hukum

dalam pemeriksaan mendorong tersangka lebih berani

mengemukakan kebenaran yang dimiliki dan diketahuinya.

3.   Kehadiran yang pasif dalam kedudukan boleh melihat dan

mendengar jalannya pemeriksaan bagi penasihat hukum, hanya

berlaku terhadap tersangka yang akan dituntut dalam kejahatan

tindak pidana di luar kejahatan terhadap keamanan negara. Jika

tindak pidana kejahatan yang disangkakan terhadap tersangka

kejahatan atas keamanan negara, kedudukan pasif penasihat

hukum dikurangi semakin pasif. Dalam hal ini penasihat hukum

memang masih dapat mengikuti jalannya pemeriksaan, tapi

terbatas melihat saja namun tidak boleh mendegar. Barangkali

hanya dapat melihat pemeriksaan tersangka dari dinding kaca di

dalam mana tersangka diperiksa.

Jadi pada dasarnya tersangka berhak didampingi pada setiap proses

pemeriksaan. Pada proses penyidikan, kedudukan penasihat hukum

bersifat pasif. Artinya, penasihat hukum mengikuti jalannya

30
pemeriksaan pada tingkat penyidikan hanya sebagai penonton.

Terbatas hanya melihat serta mendengar. Selama kehadirannya

mengikuti jalannya pemeriksaan, penasihat hukum tidak

diperkenankan memberi nasihat.

Kehadiran yang pasif dalam kedudukan boleh melihat dan

mendengar jalannya pemeriksaan bagi penasihat hukum, hanya

berlaku terhadap tersangka yang akan dituntut dalam kejahatan

tindak pidana di luar kejahatan terhadap keamanan negara. Jika

tindak pidana kejahatan yang disangkakan terhadap tersangka

kejahatan atas keamanan negara, kedudukan pasif penasihat

hukum dikurangi semakin pasif.

Dakwaan batal demi hukum jika tersangka atau terdakwa tidak

didampingi penasihat hukum.

            Seperti disebut di atas, KUHAP tak mengatur sanksi atau

akibat hukum jika tersangka atau terdakwa tak didampingi

penasihat hukum pada saat pemeriksaan khususnya di tingkat

penyidikan. Padahal hak didampingi Penasihat Hukum itu “WAJIB”,

artinya tak boleh tidak.

30
3. gshdhaghdgakjgfkjagkj

Putusan Mahkamah Agung No. 2437 K/Pid.Sus/2011 yang

menyebutkan bahwa:

“Walaupun tidak diberikan suatu definisi otentik dalam KUHAP

mengenai Saksi mahkota (kroongetuide), namun berdasarkan

perspektif empirik maka Saksi mahkota didefinisikan sebagai

Saksi yang berasal atau diambil dari salah seorang tersangka atau

Terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan

pidana, dan dalam hal mana kepada Saksi tersebut diberikan

mahkota. Adapun mahkota yang diberikan kepada Saksi yang

berstatus Terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan

penuntutan terhadap perkaranya atau diberikannya suatu tuntutan

yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke Pengadilan

atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan.

Pendapat Para Ahli :

Menurut M.Yahya Harahap, memberikan pengertian bahwa

saksi mahkota adalah saksi yang juga merupakan terdakwa pada

kasus yang sama dipengadilan rekannya yang merupakan sesama

terdakwa. Keterangannya digunakan sebagai alat bukti kesaksian

yang sah secara timbal balik, dimana berkas perkara harus dipisah

(di-split).

Menurut M. Sofyan Lubis dalam yurisprudensi tersebut juga

telah diberikan suatu definisi tentang saksi mahkota yaitu teman

terdakwa yang melakukan tindak pidana bersama-sama diajukan

30
sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan penuntut umum, yang

perkara diantaranya dipisah karena kurangnya alat bukti.

Menurut Prof. DR. Loebby Loqman, S.H., M.H., dijelaskan bahwa

yang dimaksud dengan Saksi mahkota adalah kesaksian sesama

Terdakwa, yang biasanya terjadi dalam peristiwa penyertaan.”

Sebagai kesimpulan, saksi mahkota adalah istilah untuk

tersangka/terdakwa yang dijadikan saksi untuk tersangka/terdakwa

lain yang bersama-sama melakukan suatu perbuatan pidana.

Walaupun tidak diatur secara tegas dalam KUHAP, tapi dalam

praktiknya memang sering dijumpai adanya saksi mahkota untuk

pembuktian pada perkara pidana.

Akan tetapi penggunaan saksi mahkota ini juga mendapat

pertentangan dari beberapa kalangan, salah satunya datang dari

mantan Hakim Agung RI, Adi Andojo Soetjipto yang dalam bukunya

“Menyongsong dan Tunaikan Tugas Negara Sampai Akhir: Sebuah

Memoar” (hal. 167) menyatakan bahwa cara pembuktian dengan

menggunakan saksi mahkota (kroongetuige) tidaklah dibenarkan dan

dilarang menurut Ilmu Pengetahuan Hukum.

Adanya penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam

perkara pidana maka tentunya akan menimbulkan berbagai

permasalahan yuridis. Munculnya alasan untuk memenuhi dan

mencapai rasa keadilan publik sebagai dasar argumentasi

diajukannya saksi mahkota bukan merupakan hal yang

30
menjustifikasi penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam

setiap pemeriksaan perkara pidana.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI No. 1174 K/Pid/

1994 tanggal 3 Mei 1995, Putusan Mahkamah Agung RI No. 381

K/Pid/ 1995 tanggal 3 Mei 1995, Putusan Mahkamah Agung RI No.

429 K/Pid/ 1995 tanggal 3 Mei 1995, Putusan Mahkamah Agung RI

No. 1590 K/Pid/ 1995 tanggal 3 Mei 1995, Putusan Mahkamah

Agung RI No. 1592 K/Pid/ 1995 tanggal 3 Mei 1995, dan Putusan

Mahkamah Agung RI No. 1706 K/Pid/ 1995 tanggal 3 Mei 1995,

secara yuridis pemecahan terdakwa sebagai saksi mahkota, terhadap

terdakwa lainnya adalah bertentangan dengan Hukum Acara Pidana

yang menjunjung tinggi HAM dan hakim seharusnya menolak

adanya saksi mahkota.

Adapun dalam perkembangannya terbaru Mahkamah Agung RI

memperbaiki kekeliruannya dengan mengeluarkan pendapat terbaru

tentang penggunaan ’saksi mahkota’ dalam suatu perkara pidana,

dalam hal mana Mahkamah Agung RI kembali menjelaskan bahwa

”penggunaan saksi mahkota adalah bertentangan dengan KUHAP

yang menjunjung tinggi HAM

Adanya penggunaan saksi mahkota yang terus berlangsung

sampai sekarang ini harus segera dihentikan. Adanya alasan klasik

yang dikemukakan Penuntut Umum, bahwa untuk memenuhi dan

mencapai rasa keadilan publik sebagai dasar argumentasi

30
diajukannya saksi mahkota bukan merupakan hal yang

menjustifikasi penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti sudah

tidak bisa ditoleransi lagi. Secara normatif penggunaan saksi

mahkota merupakan hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip

peradilan yang adil dan tidak memihak (fair trial) dan juga

merupakan pelanggaran kaidah HAM secara universal sebagaimana

yang diatur dalam KUHAP itu sendiri, khususnya hak ingkar yang

dimiliki terdakwa dan hak terdakwa untuk tidak dibebankan

kewajiban pembuktian (vide pasal 66 KUHAP), di samping itu juga

penggunaan ’saksi mahkota’ juga melanggar instrumen hak asasi

manusia secara internasional (International Covenant on Civil and

Political Right).

Dari uraian diatas, kami selaku penasihat hukum terdakwa

memohon kepada Majelis Hakim agar :

1). Penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara

pidana haruslah ditinjau kembali untuk segera diakhiri, karena

bertentangan dengan esensi Hak Asasi manusia (HAM), khususnya

hak asasi terdakwa.

2). Mendukung implimentasi prinsip-prinsip peradilan yang adil dan

tidak memihak (fair trial) dengan berupaya mencari solusi untuk

menggantikan penggunaan alat bukti ’saksi mahkota’ demi

mewujudkan proses peradilan yang sesuai dengan kaidah-kaidah

30
yang terdapat dalam KUHAP dan mewujudkan rasa keadilan

masyarakat luas (publik).

Nampaknya penuntut umum ini harus memperhatikan adagium

yang berbunyi :

“Ubi Jus, Ibi Remidium”

Yang berarti bahwa dimana ada hak disana ada kemungkinan

menuntut bilamana hak tersebut dilanggar. Dimana hak Terdakwa

dilanggar dengan tidak didampingi penasihat Hukum pada saat

proses pemeriksaan ditingkat penyidikan yang dilakukan oleh pihak

penyidik Polda Sumatera Selatan.

Maka berdasarkan uraian diatas, Kami mohon agar Majelis Hakim

yang Mulia mempertimbangkan dan mengabulkan permohonan Kami

untuk menetapkan dan memutuskan Surat Dakwaan dari saudara

Penuntut Umum BATAL DEMI HUKUM atau setidak-tidaknya

TIDAK DAPAT DITERIMA. Oleh karena dakwaan Jaksa Penuntut

Umum Batal demi hukum, maka Terdakwa dinyatakan bebas dari

Dakwaan Penuntut Umum karena terdapat kecacatan dalam

dakwaan tersebut dimana dalam proses penyidikan tidak didampingi

oleh penasehat hukum.

30
BAB IV

PERMOHONAN

Majelis hakim yang Kami Muliakan,

Perlu kami sampaikan bahwa seluruh keberatan kami di atas

semuanya adalah tentang surat dakwaan. Segala uraian kami di atas

adalah dalam rangka menguji kecermatan, kejelasan dan

kelengkapan surat dakwaan dengan sama sekali tidak membahas

“pokok perkara”. Sehingga, dengan rasa hormat dan dari lubuk hati

kami yang paling dalam untuk tegaknya keadilan serta kebenaran,

kami harap nantinya Penuntut Umum bila mengajukan pendapat

nota kebertan tidak memberikan jawaban klasik: “NOTA

KEBERATAN PENASEHAT HUKUM TELAH MENYENTUH POKOK

PERKARA”. Karena sesuai dengan pengalaman dan pengamatan

kami, jawaban mudah dan standar tersebutlah yang akan di ajukan

bila Penuntut Umum kesulitan menanggapi Nota Keberatan Kami.

Marilah kita semua sebagai penegak hukum mengupayakan

kebenaran dan keadilan. Apabila memang menurut hukum perkara

ini tidak dapat dilanjutkan, maka sudah seharusnya perkara ini

30
dinyatakan tidak dapat dilanjutkan sampai disini. Janganlah karena

suatu target tertentu atau sekedar menyelamatkan muka membuat

terdakwa, kebenaran, dan keadilan dikorbankan.

Berdasarkan pada pokok-pokok Nota Keberatan Yang Kami

uraikan di atas, maka kami selaku Penasehat Hukum Terdakwa

Singgih Triwibowo Bin Mahmud memohon kepada Majelis Hakim

untuk menjatuhkan putusan sela dengan Amar putusan yang pada

pokoknya menyatakan sebagai berikut:

1. Menerima Nota Keberatan atau Eksepsi Penasehat Hukum

terdakwa Singgih Triwibowo Bin Singgih untuk seluruhnya;

2. Menyatakan Pengadilan Negeri Sekayu tidak berwenang

mengadili secara relative untuk mengadili perkara atas nama

terdakwa Singgih Triwibowo Bin Singgih

3. Menyatakan Surat Dakwaan Penuntut Umum BATAL DEMI

HUKUM atau setidak-tidaknya TIDAK DAPAT DITERIMA;

4. Menyatakan Terdakwa Singgih Triwibowo Bin Mahmud

Bebas dari dakwaan Penuntut Umum (Vrijspraak)

5. Memerintahkan Penuntut Umum untuk segera mengeluarkan

Terdakwa dari tahanan;

6. Memulihkan hak, harkat, martabat, dan kedudukan Terdakwa

seperti semula;

7. Membebankan biaya perkara kepada negara.

30
Demikian Nota Keberatan (Eksepsi) ini Kami sampaikan,

semoga Tuhan yang Maha Esa memberikan bimbingan dan petunjuk

kepada Mejelis Hakim Yang Mulia sehingga dapat memutus perkara

ini seadil-adilnya.

Hormat Kami

Tim Penasihat Hukum Terdakwa

Fiat Jucticia Et Pereat Mundus

Jakarta, 17 Juni 2017

ADHIMUKTI WIDYARTO AND PARTNERS

Advocates And Legal Consultant

Wisma Danamon Aetna life, Lt. 18 Jl. Soedirman Kav 45-46

JAKARTA SELATAN

INDONESIA

Guntur Pembayun Putro, S.H., M.H.,

30

Anda mungkin juga menyukai