Anda di halaman 1dari 16

1

BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kota Purwokerto adalah Ibukota Kabupaten Banyumas dan
Baturraden merupakan salah satu wilayah di Purwokerto yang lokasinya
menjadi tujuan wisata lokal maupun mancanegara. Maka tidak asing lagi di
bidang pariwisata, Baturaden memiliki aset pariwisata yang bisa
diunggulkan karena didorong oleh lokasi yang strategis dan memungkinkan
berkembangnya pusat perdagangan. Baturaden memiliki suasana dan iklim
yang berbeda dengan tempat lain dan tidak sekedar tempat wahana wisata.
Ketenaran Baturaden dengan udara yang sejuk dan masih alami
menciptakan lokasi wisata tersebut menarik untuk dikunjungi wisatawan.
Namun persoalan hukum dan sosial terjadi tatkala tidak jauh dari
lokawisata Baturraden terdapat lokasi prostitusi. Banyaknya villa dan hotel
berkelas mewah ataupun sekelas melati menyediakan layanan paket transit
yaitu kunjungan 3 jam bagi pelaku prostitusi merupakan sebuah gambaran
kehidupan malam dengan berbagai kesenangan didalamnya. 1 Lebih dari itu,
praktik prostitusi di kota kecil berhawa dingin ini kerapkali menjadi sebuah
dependensi bagi pelaku ekonomi lainnya karena saat bukan masa liburan,
wisata alam Baturraden pun sepi pengunjung. Di Purwokerto sendiri,
setidaknya ada kawasan yang cukup terkenal dengan prostitusinya, yakni
Gang Sadar. Gang Sadar adalah sebuah wilayah dalam bentuk kompleks
prostitusi yang terorganisir dan terletak di utara jantung kota Purwokerto
atau berada tepat berdampingan dengan lokawisata Baturraden.
Dalam menanggapi hal itu, Pemerintah Daerah Kabupaten
Banyumas setidaknya telah mengeluarkan Peraturan Darah (Perda) No.16
Tahun 2015 tentang Penyakit Masyarakat. Pada Perda tersebut dinyatakan
bahwa berbagai bentuk perbuatan yang berupa penyakit masyarakat
merupakan perbuatan yang meresahkan, mengganggu ketertiban umum,
keamanan, kesehatan dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat maka harus
ditanggulangi. Lalu diperjelas kembali dalam Pasal 11 Perda No. 16 Tahun

1
https://www.liputan6.com/regional/read/3232359/maju-mundur-penutupan-lokalisasi-
gang-sadar-baturraden-banyumas
2

2015 bahwa pelacuran atau prostitusi dan pengemis merupakan penyakit


masyarakat. Oleh karena itu, seharusnya upaya penanggulangan
pemberantasan prostitusi di lingkungan Kabupaten Banyumas telah
memiliki payung hukum yang jelas dan terciptanya lingkungan bebas
prostitusi, khususnya di kawasan Baturraden Purwokerto.
Namun pada saat ini, Gang sadar tetap menjadi magnet prostitusi di
Jawa Tengah dan bahkan jumlah pekerja seks komersil (PSK) di
Purwokerto menduduki posisi Keempat se-Jawa Tengah dengan jumlah 217
orang.2 Pengelolaan praktek prostitusi tersebut seakan dibiarkan
keberadaannya oleh Pemerintah Daerah. Tentu timbul pertanyaan publik
atas apa langkah yang sedang dicanangkan Pemda Banyumas dalam
menuntaskan masalah ini, karena secara prinisipil pihak Pemerintah Pusat
sendiri telah optimis menargetkan Indonesia bebas lokalisasi prostitusi
2019.3 Atas dasar itu, Pemda Banyumas harus berbenah mengenai ketegasan
dan keefektifan Perda yang telah dibuatnya. Sempat terdapat kabar akan
penutupan lokalisasi Gang Sadar sejak tiga tahun lalu dan terdapat pula
usulan dari MUI Purwokerto pada bulan Desember 2017 untuk menutup
Gang Sadar. Namun dalam tataran implementasinya, seakan masih maju-
mundur.
Berdasarkan dari data yang telah dipaparkan diatas, maka peneliti
mencoba mengkaji dan meneliti guna menelusuri faktor penyebab yang
mempengaruhi keberadaan lokasi prostitusi Gang Sadar dengan melihat ke
pada aspek kebijakan hukum pemerintah daerah. Dengan mengetahui
penyebabnya, maka akan menjawab terhadap keberadaan gang sadar selama
ini.

2
http://radarsemarang.com/2016/03/05/3-062-psk-beroperasi-di-jateng/
3
http://news.metrotvnews.com/read/2017/09/13/758074/pemerintah-optimistis-2019-
indonesia-bebas-lokalisasi-prostitusi
3

1.2 Perumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan untuk mengetahui
penyebab dari masih beroperasinya Lokalisasi Gang Sadar Baturaden, maka
perumusan masalah sebagai berikut :
1. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi keberadaan lokalisasi
prostitusi Gang Sadar ?
2. Bagaimanakah kebijakan hukum yang seharusnya diterapkan terhadap
keberadaan lokalisasi prostitusi Gang Sadar ?

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan maka tujuan
penelitian adalah sebagai berikut :
1. Mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan
lokalisasi prostitusi Gang Sadar di Baturraden, Purwokerto;
2. Mendeskripsikan kebijakan hukum pemerintah tentang lokalisasi
prostitusi di Gang Sadar Baturraden, Purwokerto; dan
3. Menjelaskan perlindungan hukum, solusi, dan inovasi terhadap
Pemerintah Daerah dalam membuat kebijakan hukum tentang
keberadaan Gang Sadar Baturraden, Purwokerto.

1.4 Kegunaan Penelitian


Berdasarkan tujuan penelitian yang telah diuraikan maka kegunaan
penelitian adalah sebagai berikut :
1.4.1. Kegunaan Teoritis
Memberikan pengetahuan dan pemahaman dalam memberikan
analisis hukum guna mengentaskan masalah penyakit masyarakat.
1.4.2. Kegunaan Praktis; dan
Memperoleh solusi dalam memecahkan masalah terutama yang
terkait dengan kebijakan prostitusi.
4

BAB 2. KERANGKA TEORITIS


Secara etimologis, kata prostitusi berasal dari bahasa latin yaitu
“pro-stituere” artinya membiarkan diri berbuat zina, melakukan
persundalan, pencabulan, dan pergendakan. Sedangkan kata ‘prostitute’
merujuk pada kata keterangan yang berarti Wanita Tuna susila4 atau bahasa
kekiniannya dikenal sebagai PSK yang merupakan akronim dari Pekerja
Seks Komersil. PSK berarti wanita/laki-laki yang memberikan jasa
pemuasan seks dengan menjual dirinya kepada tamunya dengan maksud
mendapat imbalan yang telah disepakati. Seseorang yang menjual jasa
seksual disebut WTS, yang kini kerap disebut dengan istilah Pekerja Seks
Komersial (PSK).5 Sedangkan arti Lokalisasi menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) adalah pembatasan pada suatu atau lingkungan. Dari
kedua kata-kata tersebut yaitu Lokalisasi dan PSK jika digabung menjadi
Lokalisasi PSK mempunyai arti suatu tempat untuk menaruh atau
melokalisasi para wanita pemberi jasa seks di dalamnya. 6
Kegiatan prostitusi di Kabupaten Banyumas terkhusus pada wilayah
Gang Sadar, kecamatan Baturraden tentunya dipengaruhi oleh para pelaku
bisnis ‘haram’ tersebut. Suyanto mengemukakan setidaknya ada 3(tiga)
pelaku utama yang berpengaruh terhadap praktek pelacuran yakni (1)
pengantar tamu/calo (subjek biasanya berprofesi sebagai tukang ojek di
sekitaran Gang Sadar atau warga sekitar), (2) pelacur/WTS/pramunikmat,
(3) Mucikari/bapak asuh/mami. Hal tersebut muncul jika praktek prostitusi
dilihat dari kacamata yang luas bukan dilihat hanya si perempuan saja yang
menjadi subjek yang memberikan pelayanan seksual dengan menerima
imbalan berupa uang. Lebih lanjut, Primus Lake mengelompokkan pelacur
dalam 5 (lima) kategori yakni (1) pelacur lokalisasi (2) pelacur hotel (3)
pelacur jalanan (4) pelacur panggilan (5) pelacur menggunakan rumah
penduduk. Jika diklasifikasikan, Gang Sadar merupakan gabungan antara
4
http://eprints.umm.ac.id/36236/3/jiptummpp-gdl-verayuliar-47507-3-babii.pdf
5
Drs. H. Kondar Siregar, MA, 2015, Model Pengaturan Hukum Tentang Pencegahan
Tindak Prostitusi Berbasis Masyarakat Adat Dalihan Na Tolu, Perdana Mitra Handalan, Hal
1-3
6
Azizah, Siti Nur, 2009, Upaya Masyarakat Sekitar Lokalisasidalam Mempertahankan
Keharmonisan Rumah Tangga (Study di Desa Kaliwungu Kecamatan Ngunut Kabupaten
Tulungagung). Skripsi, Fakultas Syari’ah, UIN Malang
5

kelompok pelacur hotel dan pelacur menggunakan rumah penduduk. Hal itu
dikarenakan kawasan Gang Sadar merupakan pemukiman warga yang
dijadikan “kos-kosan” khusus pelacur. kawasan Gang Sadar nyatanya tidak
bercampur atau terpisah dengan rumah penduduk ,ditambah adanya
peraturan tersendiri yang wajib ditaati seperti rumah kos (pemukiman)
hanya untuk kesepakatan tarif dan transaksi uang, sedangkan untuk eksekusi
harus diluar gang sadar atau hotel yang telah dipesan.
Namun, Kartini Kartono (1981) membagi pelacuran menjadi 2(dua)
jenis antara lain :7
1. Prostitusi atau pelacuran terdaftar
Pelakunya diawasi oleh bagian Vice Control dari kepolisian,
yang dibantu dan bekerja sama dengan jawatan sosial dan
jawatan kesehatan. Umumnya mereka(pelacur) dilokalisir
pada suatu daerah tertentu. Penghuniny secara periodik harus
memeriksakan diri pada dokter tau petugas kesehatan, dan
mendapatkan suntikan serta pengobatan sebagai tindakan
kesehatan dan keamanan umum.
2. Prostitusi atau pelacuran yang tidak terdaftar
Yakni termasuk dalam kelompok ini adalah mereka(PSK)
yang melakukan pelacuran secara gelap-gelapan(sembunyi)
dan secara liar,baik secara perorangan maupun kelompok,
perbuatannya tidak terorganisir,tempatnya pun tidak tertentu,
bisa disembarang tempat, baik mencari ”mangsa” sendiri,
maupun melalui calo-calo dan panggilan. Mereka (PSK)
tidak mencatatkan diri kepada yang berwajib. Dengan
demikian, kesehatannya sangat diragukan, karena belum
tentu mereka (pelacur) mau memeriksakan kesehatannya
kepada dokter.
Merujuk teori Kartini Kartono, jika di korelasikan dengan objek
penelitian yang sedang diteliti, maka dapat disimpulkan bahwa PSK gang
sadar termasuk kategori prostitusi atau pelacuran terdaftar dan terlokalisasi.

7
Kartini Kartono, 2005, Patologi Sosial, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Hlm. 251-252.
6

Lokalisasi yang berkaitan dengan prostitusi memiliki payung hukum


yang melarangnya dimana prostitusi merupakan kegiatan yang bertentangan
dengan nilai moral dan agama sehingga karena hal tersebut menjadi
terlarang. Berkaitan dengan prostitusi Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) mengaturnya dalam dua pasal, yaitu Pasal 296 dan Pasal 506
KUHP. Dalam KUHP disebutkan bahwa tindak pidana membuat
kesengajaan menyebabkan atau memudahkannya dilakukannya tindakan-
tindakan melanggar kesusilaan dengan orang ketiga sebagai mata
pencaharian atau sebagai kebiasaan di atur di dalam Pasal 296 KUHP yang
berbunyi : “Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan
perbuatan cabul oleh orang lain, dan menjadikan sebagai pencaharian atau
kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat
bulan atau denda paling banyak lima belas ribu rupiah”. Pasal 506 KUHP
diatur mengenai tindak pidana sebagai germo atau mucikari yang
mengambil keuntungan dari perbuatan melanggar kesusilaan yang dilakukan
oleh seorang perempuan atau laki-laki, yang berbunyi : “Barang siapa
menarik keuntungan dari perbuatan cabul seseorang wanita dan
menjadikannya sebagai pelacur, diancam dengan pidana kurungan paling
lama satu tahun”.
Salah satu fungsi dikeluarkannya kebijakan adalah sebagai “payung”
bagi operasional tugas-tugas aparatur negara8 serta menjadi pedoman dalam
upaya penyelesaian permasalahan yang timbul di masyarakat. Sebagaimana
telah diatur oleh Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam melaksanakan tugas,
wewenang, dan tanggungjawabnya serta atas kuasa peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi memiliki hak dan kewajiban untuk dapat
mengurus urusan pemerintahannya sendiri menurut asas otonomi,termasuk
dalam menetapkan kebijakan hukum. Dalam menetapkan kebijakan hukum
di dalam lingkup pemerintah daerah tentu tidak boleh ber-kontradiksi atau

8
Shinta Laila, 2008, Kebijakan Pemerintah Kabupaten Cilacap Dalam Penanggulangan
Penyakit Masyarakat, Tesis, Magister Ilmu Hukum, Purwokerto:Universitas Jenderal
Soedirman
7

bertentangan dengan peraturan peraturan perundang-undangan yang lebih


tinggi dan kepentingan masyarakat.
Sebuah dasar yang melatar belakangi pemerintah daerah di dalam
menetapkan sebuah peraturan daerah, sesungguhnya telah dicantumkan
pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi terkait tentang
larangan prostitusi, selain itu prostitusi merupakan perbuatan yang
mengancam ketertiban, keamanan, serta nilai-nilai moral yang hidup dalam
masyarakat. Maka dari itu dibentuklah Perda Banyumas No.16 Tahun 2015
tentang Penyakit masyarakat yang memuat tentang prostitusi atau pelacuran.
Dalam ketetapan kebijakan hukum dalam hal ini yaitu Perda
Banyumas terkait larangan prostitusi tentu telah mendapat kekuatan hukum
dari peraturan perundang-undangan di atasnya sehingga perda tersebut
wajib dilaksanakan secara tegas dan mengikat baik bagi aparatur penegak
hukum maupun masyarakat. Namun ternyata kekuatan di dalam hukum
tersebut tidak berdampak secara tegas dalam kenyataannya di Kabupaten
Banyumas, sehingga fungsi hukum yang bersifat preskriptif, yaitu apa yang
harus dilakukan demi terciptanya keamanan dan ketertiban umum menjadi
hilang. Maka dari itu dibutuhkan kepastian dari kebijakan hukum
pemerintah tersebut dan juga perlu adanya sanksi maupun efek jera terhadap
hal yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan hal itu sesuai
dengan penerapan asas legalitas dimana tiada suatu perbuatan dapat
dihukum,kecuali atas kekuatan UU yang telah mengaturnya.
Kepatuhan hukum akan ada apabila ada pengawasan yang ketat
terhadap pelaksanaan kaedah-kaedah hukum tertentu. Berdasarkan
pernyataan diatas dapat diyakini bahwa kepatuhan berada dalam tangan
pemerintah, jika pemerintah tegas dan melakukan pengawasan yang ketat
dalam menerapkan kebijakannya maka masyarakat akan sadar mematuhi
terhadap suatu perundang-undangan.9

9
Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, 1990, Perundang-undangan dan
Yurisprudensi, Bandung:Penerbit Alumni
8

BAB 3. METODE PENELITIAN


3.1 Metode Pendekatan
Dalam penelitian kali ini peneliti menggunakan metode kualitatif
dengan pendekatan yuridis sosiologis (empiris). Pendekatan yuridis
sosiologis (empiris) dimaksudkan untuk mengkaji penerapan hukum dan
sosial terhadap keberadaan lokalisasi prostitusi Gang Sadar sebagai law in
action. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan fenomenologi. Riset
dengan pendekatan fenomenologis berusaha untuk mengerti makna dari
berbagai peristiwa dan interaksi manusia dalam situasinya yang khusus.
Data dikumpulkan dengan menggunakan metode interaktif dan non
interaktif, yang kemudian dianalisis dengan menggunakan model analisis
interaktif. Sehingga objek telaahannya juga berkenaan dengan tuntutan
berperilaku dengan cara tertentu yang kepatuhannya tidak sepenuhnya
bergantung pada kehendak bebas yang bersangkutan,melainkan dapat
dipaksakan oleh kekuatan publik.10

3.2 Spesifikasi Penelitian


Spesifikasi yang digunakan adalah spesifikasi penelitian deskriptif
yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran atau
penjelasan secara konkrit tentang keadaan objek atau masalah yang diteliti
tanpa mengambil kesimpulan secara umum. Spesifikasi penelitian deskriptif
oleh Soerjono Soekanto11 dalam bukunya Pengantar Penelitian Hukum
dijelaskan sebagai berikut : Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian
yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin dengan
manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya, serta hanya menjelaskan
keadaan objek masalahnya tanpa bermaksud mengambil kesimpulan yang
berlaku umum.

10
Endang Sturisno, 2007, Bunga Rampai Hukum dan Globalisasi, Yogyakarta:Genta Press
11
Soerjono Soekanto, 1981, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, hlm. 10
9

3.3 Lokasi Penelitian


Lokasi dan waktu Penelitian di Desa Karangmangu, Kecamatan
Baturraden, Kabupaten Banyumas dalam jangka waktu tiga bulan.

3.4 Sumber Bahan Hukum


1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
2. UU No.10 Tahun 2012 tentang Protokol Operasional Konvensi Hak
Hak Anak mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi
Anak
3.Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
4. Peraturan Daerah Bangkabelitung Nomor 11 Tahun 1978 tentang
Pelarangan Melakukan Pelacuran Mendatangkan, Melindungi,
Menyediakan, Tempat Pelacuran dalam Daerah Kabupaten, Daerah
Tingkat II Belitung
5. Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 7 Tahun 1999 tentang
Larangan Menggunakan Bangunan atau Tempat Perbuatan Asusila,
serta Pemikatan untuk melakukan Perbuatan Asusila
6. Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang
Ketertiban Umum
7. Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 16 Tahun 2005
tentang Penyakit Masyarakat

3.5 Metode Pengumpulan Bahan Hukum


Dalam penelitian ini mengunakan data :
a.) Data primer
Data primer merupakan bahan penelitian yang berupa fakta-
fakta empiris sebagai perilaku maupun hasil perilaku. Data primer
diperoleh dengan cara meminta pendapat langsung dari informan
melalui indepth interview dan observasi.
b.) Data Sekunder
Data sekunder merupakan bahan hukum dalam penelitian
yang di ambil dari studi kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum
10

primer, bahan hukum sekunder dan bahan nonhukum. (Peter


Mahmud Marzuki, 2005). Data sekunder yaitu bahan kepustakaan
yang berupa peraturan perundang-undangan, jurnal karya ilmiah,
artikel, arsip, buku literatur, dan dokumen resmi yang berkaitan
dengan objek kajian. Dari data sekunder mencakup tiga bagian :
a. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat
autoritatif artinya memiliki sifat mutlak dan mengikat. Dalam
penelitian ini dikomparasikan beberapa Perda meliputi : Perda
Kabupaten Banyumas Nomor 16 Tahun 2005 tentang Penyakit
Masyarakat, Perda Surabaya Nomor 7 Tahun 1999 tentang
Larangan Menggunakan Bangunan atau Tempat Perbuatan
Asusila, serta Pemikatan untuk melakukan Perbuatan
Asusila,Perda Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban
Umum. Perda Bangkabelitung Nomor 11 Tahun 1978 tentang
Pelarangan Melakukan Pelacuran Mendatangkan, Melindungi,
Menyediakan, Tempat Pelacuran dalam Daerah Kabupaten,
Daerah Tingkat II Belitung.
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.
Seperti doktrin, jurnal, karya ilmiah, arsip, dan lain-lain yang
berkaitan di bidang hukum.
c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang
memberikan penjelasan terhadap sumber hukum primer dan
sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan indeks
kumulatif yang masih relevan.

3.6 Metode Pengolahan Bahan Hukum


Kegiatan yang dilakukan dengan cara data yang diperoleh di
analisis secara deskriptif kualitatif yaitu analisa terhadap data yang tidak
bisa dihitung. Bahan hukum yang diperoleh selanjutnya dilakukan
pembahasan, pemeriksaan dan pengelompokan ke dalam bagian-bagian
tertentu untuk diolah menjadi data informasi. Hasil analisa bahan hukum
11

akan diinterpretasikan menggunakan metode interpretasi (a) sistematis; (b)


gramatikal; dan (c) teleologis. 12
Pemilihan interpretasi sistematis ditujukan untuk menetukan
struktur hukum dalam penelitian ini. Interpretasi sistematis (systematische
interpretatie, dogmatische interpretatie) adalah menafsirkan dengan
memperhatikan naskah-naskah hukum lain. Jika ditafsirkan adalah pasal-
pasal suatu undang-undang, ketentuan yang sama apalagi satu asas dalam
peraturan lainnya juga harus dijadikan acuan. Dalam penafsiran ini
mencari ketentuan-ketentuan yang ada didalamnya saling berhubungan
sekaligus apakah hubungan tersebut menentukan makna selanjutnya. Akan
tetapi, dalam hubungan tatanan hukum yang tidak terkodifikasi, merujuk
pada sistem dimungkinkan sepanjang karakter sistematis dapat
diasumsikan (diandaikan).
Selanjutnya interpretasi gramatikal yaitu metode penafsiran hukum
pada makna teks yang di dalam kaidah hukum dinyatakan. Penafsiran
dengan cara demikian bertitik tolak pada makna menueut pemakaian
bahasa sehari-hari atau makan teknis-yuridis yang lazim atau dianggap
sudah baku. 13
Interpretasi gramatikal dalam penelitian ini terkait dengan makna
teks dalam tujuan pemberian izin pertambangan panas bumi sedangkan,
interpretasi teleologis(what does the articles would like to archieve) yang
merupakan yang metode penafsiran yang difokuskan pada penguraian atau
formulasi kaidah-kaidah hukum menurut tujuan dan jangkauannya.
Tekanan tafsiran pada fakta bahwa kaidah hukum terkandung
tujuan atau asas sebagai landasan dan bahwa tujuan atau asas tersebut
memengaruhi interpretasi. Dalam penafsiran demikian juga diperhitungkan
konteks kenyataan kemasyarakatan yang aktual. Menurut Hoft, penafsiran
teleologis memiliki fokus perhatian bahwa fakta pada norma hukum
mengandung tujuan untuk melindungi kepentingan tertentu sehingga

12
Jimly Asshiddiqie. 1997. Teori & Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara.
Jakarta: Ind. Hill.Co. Hal. 17-18
13
Ph. Visser’t Hoft. 2001. Penemuan Hukum (Judul Asli: Rechtvinding, Penerjemah B.
Arief Shidarta. Bandung: Laboratorium Hukum FH Universitas Parahiyangan. Hal. 25
12

ketika ketentuan tersebut diterapkan maksud tersebut harus dipenuhi,


penafsiran ini selanjutnya memperhitungkan konteks kemasyarakatan
aktual. Cara ini tidak terlalu diarahkan untuk menemukan pertautan pada
kehendak dari pembentuk undang-undang saat membentuknya dan
kemudian dituangkan dalam bentuk uraian logis dan sistematis guna
memperoleh kejelasan penyelesaian lalu ditarik kesimpulan guna
menjawab permasalah penelitian secara deduktif yaitu dari hal yang
bersifat umum menunju yang hal bersifat khusus. 14

3.7 Metode Analisis


Penelitian ini akan menggunakan model analisis interaktif sebagai
teknik analisis data. Miles and Huberman (1984)15 analisis data kualitatif
dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai
tuntas sehingga datanya jenuh. Apabila digambarkan, model analisis inter

aktif yang dimaksud sebagai berikut :

3.8 Metode Penyajian


Penyajian didalam penelitian yaitu :
1. Menghubungkan aspek hukum dan sosial terhadap fenomena prostitusi
di Gang Sadar berdasarkan kondisi sosial, pandangan pengelola,
masyarakat, perangkat Desa Karangmangu dan Pemerintah Daerah
dikaitkan dengan Peraturan Daerah Banyumas Nomor 16 Tahun 2015
tentang Penyakit Masyarakat; dan

14
B. Arief Sidharta (Penerjemah). 2009. Meuwissen tentang Pengembanan Hukum, Ilmu
Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum. Bandung. PT Rafika Aditama Hal. 56-57
15
Miles, M.B. & Huberman A.M, 1984, Analisis Data Kualitatif. Terjemahan oleh Tjetjep
Rohendi Rohidi.1992. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
13

2. Mengidentifikasi solusi atas silang sengkarut kebijakan hukum


Pemerintah Daerah terhadap keberadaan Gang Sadar.
14

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Arief Shidarta. Bandung: Laboratorium Hukum FH Universitas
Parahiyangan. Hal. 25
Azizah, Siti Nur, 2009, Upaya Masyarakat Sekitar Lokalisasi dalam
Mempertahankan Keharmonisan Rumah Tangga (Study di Desa
Kaliwungu Kecamatan Ngunut Kabupaten Tulungagung). Skripsi,
Fakultas Syari’ah, UIN Malang
Drs. H. Kondar Siregar, MA, 2015, Model Pengaturan Hukum Tentang
Pencegahan Tindak Prostitusi Berbasis Masyarakat Adat Dalihan Na
Tolu, Perdana Mitra Handalan, Hal 1-3
Endang Sturisno, 2007, Bunga Rampai Hukum dan Globalisasi,
Yogyakarta:Genta Press
Jimly Asshiddiqie. 1997. Teori & Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara.
Jakarta: Ind. Hill.Co. Hal. 17-18
Kartini Kartono, 2005, Patologi Sosial, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
Hlm. 251-252.
Miles, M.B. & Huberman A.M, 1984, Analisis Data Kualitatif. Terjemahan
oleh Tjetjep Rohendi Rohidi.1992. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia.
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1990, Perundang-undangan
dan Yurisprudensi, Bandung:Penerbit Alumni
Ph. Visser’t Hoft. 2001. Penemuan Hukum (Judul Asli: Rechtvinding,
Penerjemah B.
Shinta Laila, 2008, Kebijakan Pemerintah Kabupaten Cilacap Dalam
Penanggulangan Penyakit Masyarakat, Tesis, Magister Ilmu Hukum,
Purwokerto : Universitas Jenderal Soedirman
Soerjono Soekanto, 1981, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press,
hlm. 10
15

Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
UU No.10 Tahun 2012 tentang Protokol Operasional Konvensi Hak Hak
Anak mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi
Anak
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Daerah Bangkabelitung Nomor 11 Tahun 1978 tentang
Pelarangan Melakukan Pelacuran Mendatangkan, Melindungi,
Menyediakan, Tempat Pelacuran dalam Daerah Kabupaten, Daerah
Tingkat II Belitung
Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 7 Tahun 1999 tentang Larangan
Menggunakan Bangunan atau Tempat Perbuatan Asusila, serta
Pemikatan untuk melakukan Perbuatan Asusila
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang
Ketertiban Umum
Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 16 Tahun 2005 tentang
Penyakit Masyarakat

Sumber Lain
https://www.liputan6.com/regional/read/3232359/maju-mundur-penutupan
lokalisasi-gang-sadar-baturraden-banyumas
http://radarsemarang.com/2016/03/05/3-062-psk-beroperasi-di-jateng/
http://news.metrotvnews.com/read/2017/09/13/758074/pemerintah-
optimistis-2019-indonesia-bebas-lokalisasi-prostitusi
http://eprints.umm.ac.id/36236/3/jiptummpp-gdl-verayuliar-47507-3
babii.pdf
16

Lampiran. Lokasi Penelitian (Gang Sadar Baturraden, Purwokerto)

Anda mungkin juga menyukai