PROSTITUSI
KELOMPOK:
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan karunianya
sehingga kami dapat menyelesaikan Naskah Akademik mengenai Tindakan Prostitusi. Naskah
Akademik ini dibuat sebagai salah satu tugas dalam menyelesaikan Mata Kuliah Perancangan
Perundang – Undangan pada Program Studi Ilmu Hukum Universitas Airlangga.
Dokumen naskah akademik Rancangan Peraturan Daerah mengenai Tindakan Prostitusi
ini merupakan upaya untuk membuat Peraturan Daerah yang baru. Penyusunan naskah akademik
ini dimaksudkan untuk menjadi sarana mewujudkan kesejahteraan dan ketertiban bagi masyarakat
Indonesia, yang didasarkan pada hasil diskusi terhadap subtansi materi muatan yang terdapat di
berbagai peraturan perundang - undangan.
Semoga Naskah Akademik ini dapat terealisasikan dengan peraturan yang lebih lengkap
yang dapat mengatur mengenai larangan tindakan prostitusi , yang nantinya semoga akan dapat
menjadi jawaban bagi keresehan masyarakat tentang meningkatnya praktek prostitusi selama ini.
A. Latar Belakang
Prostitusi merupakan fenomena yang hingga saat ini masih menjadi masalah yang
belum terselesaikan. Prostitusi atau pelacuran termasuk salah satu masalah sosial yang
kompleks, mengingat prostitusi merupakan kebiasaan sejak lama yang sangat sulit
dihilangkan karena mayoritas kegiatan prostitusi tidak dapat lepas dari pemenuhan
kebutuhan ekonomi, sehingga saat ini masih terus ada pada masyarakat kita. Dengan
melihat faktor penyebab seseorang melakukan tindak pidana prostitusi, sebagian besar
masalahnya terletak pada faktor ekonomi dan faktor sosial, faktor ekonomi di
pengaruhi oleh penghasilan atau kebutuhan seseorang, sedangkan faktor sosial
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, suasana lingkungan maupun pendidikan
seseorang. Jadi prostitusi terjadi akibat kurangnya kesejahteraan lahir dan batin.
“Kesejahteraan lahir batin” tidak terlepas dari aspek kehidupan atau penghidupan
manusia termasuk rasa aman dan tenteram yang dapat dicapai jika kesadaran
masyarakat terhadap kewajiban penghargaan hak orang lain telah dipahami dan
dihayati sehingga penegakan hukum dan keadilan berdasarkan kebenaran yang telah
merupakan kebutuhan sesama, kebutuhan seluruh anggota masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan bagi segelintir wanita yang tidak memiliki keterampilan (Skill),
melakukan perbuatan jalan pintas dengan menjajahkan dirinya di tempat- tempat
tertentu (di luar lokalisasi WTS).
Faktor lain mengapa PSK tidak bisa atau sulit dihilangkan adalah karena factor
diskriminasi. PSK yang telah terjerumus ke dalam bidang prostitusi tidak bisa lepas
dari profesi nya, karena masyarakat masih menganggap PSK sebagai sebagai sampah
atau penyakit masyarakat juga dianggap sebagai salah satu sarana penyebar penyakit
HIV/AIDS akibat perilaku seks. Tak bisa dipungkiri walaupun kegiatan prostitusi
merupakan kegiatan yang dilarang karena bertetangan dengan moral, agama dan
budaya namun dari waktu ke waktu kegiatan prostitusi terus berkembang bahkan
semakin terorganisir dan professional. Struktur sosial dalam kenyataannya telah
membuat orang-orang tertentu di masyarakat untuk bertindak menyimpang dari pada
mematuhi norma-norma social. Oleh karena itu tiap orang memiliki kebebasan untuk
memilih pekerjaan apa yang ingin dipilih untuk dijalankan agar dapat
mempertahankan kehidupannya. Kebebasan tersebut seakan tanpa batas sehingga
kegiatan prostitusi pun dapat dipilih untuk dijadikan sebagai pekerjaan untuk dapat
mempertahankan hidup dan kehidupan seseorang.
Keluarga dan lingkungan juga turut berperan dalam pendukung tindakan prostitusi.
Hal ini dikarenakan keluarga merupakan kelompok masyarakat terkecil dan yang
paling utama dalam membentuk kepribadian anggota keluarganya. Apabila hal
tersebut tidak diterapkan dengan baik maka anak tersebut tidak mendapatkan
pendidikan moral yang cukup sehingga ia mudah terjerumus ke dalam pergaulan
bebas. Disini lingkungan juga turut memegang andil dalam pembentukan kepribadian
seseorang,
Faktor – faktor diatas didukung oleh kurang jelasnya aturan hukum yang mengatur
tentang prostitusi atau pelacuran, khususnya tentang para Pekerja Seks Komersial
(PSK), Mucikari maupun pengguna jasa PSK. Dalam KUHP Indonesia tidak diatur
dengan jelas mengenai prostitusi dan Pekerja Seks Komersial (PSK). Dan juga UU
yang mengatur tentang prostitusi di DKI Jakarta tidak mengatur secara rinci dan jelas,
hanya mengatur secara garis besar mengenai ketertiban umum, peraturan yang
dimaksud yaitu Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta nomor 8
tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Sehingga Kami bertujuan untuk membuat suatu
rancangan peraturan perundang-undangan yang mengatur secara detail dan tegas
mengenai tindakan prostitusi yang diterapkan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang, dapat diketahui hal yang hendak dikaji
dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Penanggulangan
Prostitusi adalah :
1. Kurangnya pendidikan moral dan agama yang didapatkan para pelaku prostitusi
2. Lemahnya penegakan hukum dan pengawasan bisnis prostitusi.
3. Kurangnya peran pemerintah dalam melakukan pemberdayaan dan
perlindungan kepada para pelaku prostitusi
D. Metode
Penelitian dalam penyusunan Naskah Akademik RUU tentang Penanggulangan
Prostitusi adalah penelitian hukum normatif atau yuridis-normatif, yakni penelitian
yang secara doktrinal meneliti dasar aturan dan perundang-undangan mengenai
masalah-masalah yang dihadapi dalam penerapan UU Prostitusi.
Dari perspektif penelitian diatas, penelitian ini akan menstudi beberapa aspek yang
biasa menjadi bagian dalam studi yuridis-normatif, yakni inventarisasi hukum positif,
studi asas- asas hukum, studi untuk menemukan hukum in concreto, studi atas
sistematika hukum, studi hubungan antara peraturan perundang-undangan secara
vertikal dan horisontal
Metode Yuridis-Normatif
1. Pasal 27 ayat (2), 28 D ayat (1), 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
2. Pasal 296 dan 506 KUHP
3. Pasal 1 ayat (8) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
4. Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia
5. Tahun 200
BAB II
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. Kajian Teoretis
Globalisasi yang telah terjadi sekarang mengakibatkan adanya reformasi terjadinya
pergeseran kehidupan yang cukup signifikan. Dengan berbagai faktor yang
melatarbelakangi salah satunya yang menjadi sebuah permasalahan yaitu kemiskinan.
Hal ini menyebabkan meningkatnya permasalahan social yang timbul seperti
permasalahan pelacuran atau yang lebih dikenal dengan prostitusi. Adanya prostitusi
kemudian akan berakibat pada semakin rusaknya moralitas generasi muda dan
berkurang atau hilangnya norma bangsa Indonesia yang terkenal bermartabat serta
menjunjung tinggi nilai – nilai dari Pancasila.
Ditinjau berdasar pengertian, prostitusi adalah profesi yang menjual jasa atau
dalam bentuk menyewakan tubuhnya untuk memuaskan kebutuhan seksual para
pengguna jasa / pelanggan. Di kalangan masyarakat Indonesia, pekerja seks komersial
( PSK ) dipandang negative dan sesuatu yang buruk.
Menurut teori definisi pelacuran yang dikemukakan oleh Kamus Besar
Bahasa Indonesia, para ahli maupun Peraturan Pemerintah yaitu:
1. Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia prostitusi adalah pertukaran
hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan.
Hubungan seksual yang dimaksudkan bisa berupa seks oral ataupun hubungan
seks, seseorang yang menjual jasa seksual tersebut biasanya disebut dengan
pelacur atau Pekerja Seks Komersial (PSK).
2. Menurut Commemge dalam Tjahjo Purnomo(1985:10) prostitusi atau
pelacuran adalah suatu perbuatan seorang wanita memperdagangkan atau
menjual tubuhnya, yang dilakukan untuk memperoleh bayaran dari laki-laki
yang datang kepada wanita tersebut.
3. Kartini kartono (1992:207) medefinisikan prostitusi atau pelacuran
merupakan peristiwa penjualan diri dengan jalan memperjual belikan badan,
kehormatan dan kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu seks,
dengan imbalan pembayaran.
4. Soerjono Soekanto (1990:374) mengatakan prostitusi atau pelacuran
merupakan suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri untuk
melakukan perbuatanperbuatan seksual dengan mendapatkan upah.
Dengan mengetahui berbagai faktor diatas maka kita sebagai masyarakat Indonesia
tentu harus melakukan tindakan pencegahan dan penanggulangan terhadap tindakan
prostitusi. Dalam usaha pencegahan dan penanggulangan prostitusi memang dirasa
sangat sulit karena harus melalui beberapa proses yang waktu yang sangat lama serta
biaya yang besar. Pencegahan dan penanggulangan yang dilakukan ini tidak hanya
serta merta dapat diatasi dengan upaya penegakan hukum pidana, melainkan pula
harus dilakukan dengan upaya lain diluar hukum pidana yaitu melalui kebijakan
politik, ekonomi, dan social budaya. Selain itu upaya lainnya juga dapat ditempuh
dengan menggali berbagai potensi yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Langkah –
langkah yang harus dilakukan yaitu langkah preventif dan represif.
Langkah Preventif merupakan suatu langkah pengendalian sosial yang dilakukan
untuk mencegah atau mengurangi kemungkinan terjadinya hal – hal yang
menyimpang atau hal yang tidak diinginkan di masa mendatang. Langkah pencegahan
inti dapat berupa dengan adanya penyuluhan rutin untuk masyarakat Indonesia
mengenai penanggulangan prostitusi. Penyuluhan ini diberikan khususnya pada
tempat yang menjadi lokasi pelacuran. Dapat juga dilakukan dengan memperluas
lapangan pekerjaan khususnya bagi kaum wanita serta pemberian gaji yang sesuai
guna memenuhi kebutuhan hidup sehari – hari.
Selanjutnya langkah represif merupakan suatu langkah pengendalian social yang
dilakukan setelah terjadinya suatu pelanggaran. Tindakan yang termasuk sebagai
langkah represif terhadap permasalahan prostitusi yaitu seperti pembuatan undang –
undang yang lebih rinci dan jelas mengenai aturan – aturan kepada semua pihak
tindakan prostitusi serta pemberian sanksi yang tegas bagi para pelanggar. Karena jika
dilihat peraturan yang ada saat ini mengenai prostitusi hanya mengatur mengenai para
pekerja seks dan mucikari, sedangkan untuk para pengguna jasa PSK tidak ada sanksi
yang mengatur.
Sedangkan apabila ditinjau dari tindakan perlindungan hukum, pemerintah juga
membuat kebijakan dalam rangka perlindungan hukum bagi PSK. Karena setiap
manusia mempunyai Hak Asasi yang mana hak tersebut secara kodrat melekat pada
diri mereka masing – masing, dan hak asasi manusia yang bermakna kebebasan tidak
dapat diingkari apabila diingkari maka termasuk pengingkaran terhadap harkat dan
martabat kemanusiaan. Perlindungan hukum yang dimaksudkan dalam hal ini yaitu
berupa pemberian rasa aman dan pasti atau rasa terlindungi oleh peraturan perundang-
undangan dari perbuatan yang tidak berperikemanusiaan yang telah melanggar hak
asasi manusia seorang perempuan.
Perlindungan hukum terhadap para PSK adalah upaya pemenuhan hak-hak asasi
manusia perempuan dimana salah satu aspek penting dalam penerapan tersebut yaitu
penegakan hukum. Hukum tersebut akan berjalan efektif apabila sanksi – sanksi dapat
diimplementasikan dengan tegas. Upaya-upaya yang dilakukan harus ada sosialisasi
hukum mengenai hak-hak perempuan sehingga praktek prostitusi yang diorganisir
dapat diminimalisir atau bahkan dapat dihilangkan dengan melakukan pembinaan
juga untuk tidak mencari uang dengan cara melawan hukum, karena setiap orang
mempunyai hak untuk berusaha dan mendapatkan uang dengan cara yang layak.
D. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam
Undang-Undang atau Peraturan Daerah terhadap aspek kehidupan masyarakat
dan dampaknya terhadap aspek beban keuangan negara.
Sistem yang harus diterapkan pada proses peniadaan praktek prostitusi di wilayah
DKI Jakarta ini adalah dengan pembuatan undang – undang baru mengenai prostitusi
yang diharapkan dapat memberantas penyebarluasan prostitusi di lingkungan
masyarakat dengan isi ketentuan yang lebih jelas mencakup para pihak pekerja seks
komersial, mucikari, dan juga para pengguna jasa seks serta aturan hukum atau sanksi
yang tegas berupa hukuman pidana kurungan dan denda. Di samping itu harus adanya
suatu lembaga yang mengatur dan selalu mengawasi terhadap adanya praktek
prostitusi sebagai usaha pemerintah untuk mengembalikan lingkungan yang sehat di
masyarakat serta adanya pemberian edukasi dan rehabilitasi bagi para pekerja seks,
mucikari, maupun pengguna jasa seks sehingga ke depannya akan tercipta keadilan,
perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat.
BAB III
Bab ini menguraikan sejumlah undang-undang dan peraturan yang berkaitan dengan
larangan prostitusi. Undang-undang dan peraturan yang terkait dengan prostitusi adalah
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pasal 269 KUHP dan pasal 506 KUHP. Dan
didalam Undang-undang Negara Republik Indonesia 1945 terdapat penegakan
perlindungan HAM untuk pekerja seks. Dalam bab ini selanjutnya akan dibahas juga
bagaimana pengaturan larangan prostitusi diatur dalam Undang-Undang atau peraturan
yang terkait dengan larangan prostitusi ini.
Pada undang-undang ini sudah jelas pengaturan mengenai larangan orang untuk
menjual seseorang dengan maksud mengekploitasinya itu dilarang dan akan
dikenaiketentuan pidana. Jika kegiatan pelacuran tersebut dilakukan dengan
ancamankekerasan atau peksaan terhadap seseorang untuk mau dujadikan pekerja
sekskomersial,, maka tindakan tersebut bisa dikenaka pidana berdasarkan Undang-Undang
No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana PerdaganganOrang tindakan
tersebut bisa dikategorikan sebagai eksploitasi orang, bisa dipidana paling singkat 3(tiga)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
120.000.000,00 dan paling banyak Rp 600.000.000,00.
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
A. Landasan Filosofis
Falsafah hidup merupakan suatu landasan untuk membentuk hukum suatu negara.
Sehingga penyusunan peraturan perundang – undangan pun juga harus mencerminkan
nilai dan moral yang hidup di masyarakat. Nilai moral dari suatu bangsa ada pada
pandangan hidup bangsa itu sendiri. Pancasila merupakan pandangan hidup, cita-cita
bangsa, atau falsafah negara Indonesia sehingga semua nilai yang ada di negara ini
telah tercantum di dalam Pancasila. Pembentukan Undang – undang mengenai
tindakan prostitusi pun juga harus mencerminkan filsafat bangsa itu sendiri, jangan
sampai bertentangan dengan nilai dan moral etika yang ada di negara Indonesia.
Selain itu dengan adanya undang-undang diharapkan dapat menjamin kesejahteraan
dan ketertiban masyarakat.
Tindakan prostitusi atau pelacuran merupakan sikap moral bangsa yang salah dan
telah menjadi penyakit bagi masyarakat Indonesia. Dasar berfikir para pihak prostitusi
meliputi para PSK, mucikari dan pengguna jasa seks menganggap bahwa tindakan
yang mereka lakukan merupakan kehendak & hak mereka sebagai manusia yang
memiliki kebebasan. Sehingga mereka berhak untuk memilih ideologi dirinya sendiri
tanpa berpikir bahwa tindakan yang mereka lakukan benar atau salah, layak atau tidak
layak dan lain semacamnya. Dasar pemikiran semacam itu sangat salah dan akan
mengakibatkan kesenjangan sosial di lingkungan masyarakat.
Agar terciptanya kehidupan yang tertib dan sejahtera dalam masyarakat yang
menjunjung tinggi nilai budi pekerti, maka diperlukan upaya pencegahan dan
penanggulan baik itu bersikat preventif maupun represif. Upaya represif ini dapat
diwujudkan dengan adanya peraturan perundang – undangan yang mana memiliki
kekuatan mengikat dan memaksa sehingga harus dipatuhi serta adanya sanksi atau
hukuman bagi siapapun yang melanggar.
Ketentuan yang ada pada peraturan ini juga akan lebih diarahkan supaya
terciptanya keadilan sebuah hukum bagi semua pihak, sehingga tidak akan ada yang
merasa dirugikan, terciptanya keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia di masa
yang akan datang, serta tidak akan ada diskriminasi pihak manapun. Sehingga para
pihak meliputi PSK, mucikari, dan pengguna jasa seks tetap dapat mendapatkan
penghidupan dan pekerjaan yang layak apabila mereka telah berhenti dari kebiasaan
buruknya tersebut. Karena pada dasarnya setiap manusia berhak untuk mendapatkan
penghidupan dan pekerjaan yang layak tanpa saling membedakan.
B. Landasan Sosiologis
Kehidupan sosial masyarakat yang ada merupakan cerminan dari suatu peraturan
perundang – undangan. Karena apabila tidak mencerminkan kehidupan social
masyarakat maka peraturan yang dibuat tidak akan bisa diterapkan dan tidak akan
dipatuhi. Semua peraturan yang dibuat harus sesuai dengan kondisi dan kenyataan
masyarakat agar tidak terjadi suatu perdebatan karena adanya ketidakharmonisan
antara kondisi masyarakat dengan peraturan yang dibuat.
Prostitusi bukanlah permasalahan sosial yang baru di masyarakat. Dilihat dari segi
historisnya, prostitusi telah ada dari zaman kerajaan dimana seorang raja bebas untuk
membentuk suatu hukum dan rakyat harus mentaati. Hingga saat ini para PSK
dianggap sangat buruk dan menjadi musuh masyarakat karena dianggap mengganggu
ketertiban masyarakat, melecehkan kesucian agama serta menjadi sumber penyebaran
penyakit seperti HIV/AIDS.
Dengan adanya peraturan yang sesuai dengan kondisi masyarakat, maka akan
tercipta lingkungan yang tertib dan aman sehingga kebutuhan masyarakan akan
kehidupan yang harmonis dapat tercapai serta dapat menciptakan keadilan dan
terjaminnya pelaksanaan hak-hak manusia.
C. Landasan Yuridis
Landasan Yuridis adalah landasan hukum yang menjadi dasar kewenangan
pembuatan peraturan perundang – undangan. Materi muatan dalam peraturan
perundang – undangan harus berdasar atas sinkronisasi baik itu vertical maupun
horizontal. Selain itu harus berdasar atas asas Lex Specialist Derogat legi Generali
yaitu aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum.
Bermula pada Undang – Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
Pasal 136 ayat 2 yang menyatakan bahwa :
“Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaran otonomi daerah provinsi /
kabupaten / kota dan tugas pembantuan”
Maka suatu daerah berhak untuk membentuk suatu peraturan daerah yang
bertujuan untuk mencerminkan ciri khas dari masing – masing daerah. Beberapa
peraturan perundang – undangan lainya yang menjadi landasan bagi pembentukan
peraturan daerah mengenai tindakan prostitusi ini adalah sebagai berikut :
1. Pasal 259 dan 506 Kitab Undang – undang Hukum Pidana
2. UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
3. UU Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang.
4. UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
5.1.3 Larangan
1. Setiap orang baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dilarang
melakukan kegiatan prostitusi, baik dengan pasangan sejenis dan/atau lawan
jenis.
2. Setiap orang baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dilarang
menyediakan fasilitas dan/atau orang dalam kegiatan sebagaimana dimaksud
ayat (1)
3. Setiap orang baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dilarang
menjadi pengirim, penerima, perantara, dan/atau pembeli jasa dalam
kegiatan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan (2) prostitusi.
4. Setiap orang baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dilarang
melakukan kegiatan perdagangan orang untuk tujuan seksual.
5. Setiap orang dilarang bermesraan, berpelukan dan/atau berciuman mengarah
kepada hubungan sexsual, baik ditempat umum atau ditempat-tempat yang
kelihatan oleh umum.
6.1. Kesimpulan
Peraturan DKI Jakarta yang mengatur secara rinci dan jelas sangat dibutuhkan untuk meminimalisir adanya
tindakan Prostitusi. Peningkatan praktek prostitusi yang terjadi di wilayah DKI Jakarta dikarenakan masih adanya
pihak yang belum diperhatikan oleh Pemerintah Daerah dan tidak ada aturan yang mengatur mengenai
penanggulangan prostitusi di peraturan – peraturan sebelumnya. Sehingga peran dan kedudukan dari undang –
undang ini adalah sebagai payung untuk memberikan kepastian hukum dalam penanggulangan prostitusi dan
perlindungan korban.
Di dalam peraturan ini mengatur mulai dari pelaku prostitusi, penyedia tempat sampai pada para pengguna jasa
prostitusi yang sampai sekarang belum ada yang mengatur dalam peraturan manapun
6.2. Saran
1. Setelah mempelajari dan mengkaji berbagai fakta dan data yang ada, kami
merekomendasikan perlu adanya suatu Peraturan daerah yang secara khusus, jelas,rinci
dan adil mengatur tentang kegiatan prostitusi.
2. Diperlukan suatu lembaga khusus yang berfungsi untuk mengawasi kegiatan prostitusi
agar bisa ditertibkan dan ditanggulangi.
3. Untuk sanksi bagi para pelaku prostitusi bukan hanya pemberian pidana penjara atau
denda, tetapi juga harus diberikan kegiatan rehabilitasi, dan edukasi dalam
penanggulangan masalah prostitusi.
DAFTAR PUSTAKA
Merryany, T. Bawole, Kajian hak asasi manusia terhadap pelakuan diskriminasi kepada
pekerja seks komersial, https://media.neliti.com, Jurnal: Vol. XXI no.3, April-Juni 2013.
http://eprints.ums.ac.id/51475/1/NASKAH%20PUBLIKASI.pdf