PENANGGULANGAN PROSTITUSI
KELOMPOK:
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA
2018
2
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................1
A. Latar Belakang ..........................................................................................................1
B. Identifikasi Masalah..................................................................................................
C. Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah Akademik.............................................
D. Metode ......................................................................................................................
3
E. Peran Serta Keluarga dan Masyarakat ………………………………………………..
F. Pencegahan dan penanggulangan …………………………………………………….
G. Perlindungan Korban …………………………………………………………………
H. Sanksi Pidana …………………………………………………………………………
I. Ketentuan Peralihan …………………………………………………………………..
J. Ketentuan penutup …………………………………………………………………….
4
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA
JAKARTA
TENTANG
PENANGGULANGAN PROSTITUSI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Prostitusi merupakan fenomena yang hingga saat ini masih menjadi masalah yang
belum terselesaikan. Prostitusi atau pelacuran termasuk salah satu masalah sosial yang
kompleks, mengingat prostitusi merupakan kebiasaan sejak lama yang sangat sulit
dihilangkan karena mayoritas kegiatan prostitusi tidak dapat lepas dari pemenuhan
kebutuhan ekonomi, sehingga saat ini masih terus ada pada masyarakat kita. Dengan
melihat faktor penyebab seseorang melakukan tindak pidana prostitusi, sebagian besar
masalahnya terletak pada faktor ekonomi dan faktor sosial, faktor ekonomi di
pengaruhi oleh penghasilan atau kebutuhan seseorang, sedangkan faktor sosial
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, suasana lingkungan maupun pendidikan
seseorang1 Jadi prostitusi terjadi akibat kurangnya kesejahteraan lahir dan batin.
“Kesejahteraan lahir batin” tidak terlepas dari aspek kehidupan atau penghidupan
manusia termasuk rasa aman dan tenteram yang dapat dicapai jika kesadaran
masyarakat terhadap kewajiban penghargaan hak orang lain telah dipahami dan
dihayati sehingga penegakan hukum dan keadilan berdasarkan kebenaran yang telah
merupakan kebutuhan sesama, kebutuhan seluruh anggota masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan bagi segelintir wanita yang tidak memiliki keterampilan (Skill) 2,
melakukan perbuatan jalan pintas dengan menjajahkan dirinya di tempat- tempat
tertentu (di luar lokalisasi WTS)3.
1
Laden Marpung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Revensinya, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, Hlm. 2.
22
Aripurnami, Pornografi dalam Perspektif Wanita Seksualitas (Jakarta: Sinar Harapan, 1997), 22- 23
33
Ibid. Hlm 25
5
Faktor lain mengapa PSK tidak bisa atau sulit dihilangkan adalah karena factor
diskriminasi. PSK yang telah terjerumus ke dalam bidang prostitusi tidak bisa lepas
dari profesi nya, karena masyarakat masih menganggap PSK sebagai sebagai sampah
atau penyakit masyarakat juga dianggap sebagai salah satu sarana penyebar penyakit
HIV/AIDS akibat perilaku seks. Tak bisa dipungkiri walaupun kegiatan prostitusi
merupakan kegiatan yang dilarang karena bertetangan dengan moral, agama dan
budaya namun dari waktu ke waktu kegiatan prostitusi terus berkembang bahkan
semakin terorganisir dan professional. Struktur sosial dalam kenyataannya telah
membuat orang-orang tertentu di masyarakat untuk bertindak menyimpang dari pada
mematuhi norma-norma social. Oleh karena itu tiap orang memiliki kebebasan untuk
memilih pekerjaan apa yang ingin dipilih untuk dijalankan agar dapat
mempertahankan kehidupannya. Kebebasan tersebut seakan tanpa batas sehingga
kegiatan prostitusi pun dapat dipilih untuk dijadikan sebagai pekerjaan untuk dapat
mempertahankan hidup dan kehidupan seseorang.
Keluarga dan lingkungan juga turut berperan dalam pendukung tindakan prostitusi.
Hal ini dikarenakan keluarga merupakan kelompok masyarakat terkecil dan yang
paling utama dalam membentuk kepribadian anggota keluarganya. Apabila hal
tersebut tidak diterapkan dengan baik maka anak tersebut tidak mendapatkan
pendidikan moral yang cukup sehingga ia mudah terjerumus ke dalam pergaulan
bebas. Disini lingkungan juga turut memegang andil dalam pembentukan kepribadian
seseorang,
Faktor – faktor diatas didukung oleh kurang jelasnya aturan hukum yang mengatur
tentang prostitusi atau pelacuran, khususnya tentang para Pekerja Seks Komersial
(PSK), Mucikari maupun pengguna jasa PSK. Dalam KUHP Indonesia tidak diatur
dengan jelas mengenai prostitusi dan Pekerja Seks Komersial (PSK). 4Dan juga UU
yang mengatur tentang prostitusi di DKI Jakarta tidak mengatur secara rinci dan jelas,
hanya mengatur secara garis besar mengenai ketertiban umum, peraturan yang
dimaksud yaitu Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta nomor 8
tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.Sehingga Kami bertujuan untuk membuat suatu
44
Moeljanto, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2008), 3
6
rancangan peraturan perundang-undangan yang mengatur secara detail dan tegas
mengenai tindakan prostitusi yang diterapkan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang, dapat diketahui hal yang hendak dikaji
dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Penanggulangan
Prostitusi adalah :
1. Kurangnya pendidikan moral dan agama yangdidapatkanpara pelaku prostitusi
2. Lemahnya penegakan hukum dan pengawasan bisnis prostitusi.
3. Kurangnya peran pemerintah dalam melakukan pemberdayaan dan
perlindungan kepada para pelaku prostitusi
D. Metode
Penelitian dalam penyusunan Naskah Akademik RUU tentang Penanggulangan
Prostitusi adalah penelitian hukum normatif atau yuridis-normatif, yakni penelitian
yang secara doktrinal meneliti dasar aturan dan perundang-undangan mengenai
masalah-masalah yang dihadapi dalam penerapan UU Prostitusi.
Dari perspektif penelitian diatas, penelitian ini akan menstudi beberapa aspek yang
biasa menjadi bagian dalam studi yuridis-normatif, yakni inventarisasi hukum positif,
studi asas- asas hukum, studi untuk menemukan hukum in concreto, studi atas
sistematika hukum, studi hubungan antara peraturan perundang-undangan secara
vertikal dan horisontal
7
Metode Yuridis-Normatif
1. Pasal 27 ayat (2), 28 D ayat (1), 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
2. Pasal 296 dan 506 KUHP
3. Pasal 1 ayat (8) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
4. Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia
5. Tahun 200
BAB II
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. Kajian Teoretis
Globalisasi yang telah terjadi sekarang mengakibatkan adanya reformasi terjadinya
pergeseran kehidupan yang cukup signifikan. Dengan berbagai faktor yang
melatarbelakangi salah satunya yang menjadi sebuah permasalahan yaitu kemiskinan.
Hal ini menyebabkan meningkatnya permasalahan social yang timbul seperti
permasalahan pelacuran atau yang lebih dikenal dengan prostitusi. Adanya prostitusi
kemudian akan berakibat pada semakin rusaknya moralitas generasi muda dan
berkurang atau hilangnya norma bangsa Indonesia yang terkenal bermartabat serta
menjunjung tinggi nilai – nilai dari Pancasila.
Ditinjau berdasar pengertian, prostitusi adalah profesi yang menjual jasa atau
dalam bentuk menyewakan tubuhnya untuk memuaskan kebutuhan seksual para
pengguna jasa / pelanggan. Di kalangan masyarakat Indonesia, pekerja seks komersial
( PSK ) dipandang negative dan sesuatu yang buruk.
Menurut teori definisi pelacuran yang dikemukakan oleh Kamus Besar
Bahasa Indonesia, para ahli maupun Peraturan Pemerintah yaitu:
1. Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia prostitusi adalah pertukaran
hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan.
Hubungan seksual yang dimaksudkan bisa berupa seks oral ataupun hubungan
seks, seseorang yang menjual jasa seksual tersebut biasanya disebut dengan
pelacur atau Pekerja Seks Komersial (PSK).
8
2. Menurut Koentjoro, PSK merupakan bagian dari kegiatan seks di luar nikah
yang ditandai oleh kepuasan dari bermacam macam orang yang melibatkan para
pria dilakukan demi uang dan dijadikan sumber pendapatan.5
3. Kartini kartono (1992:207) medefinisikan prostitusi atau pelacuran
merupakan peristiwa penjualan diri dengan jalan memperjual belikan badan,
kehormatan dan kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu seks,
dengan imbalan pembayaran.6
4. Soerjono Soekanto (1990:374) mengatakan prostitusi atau pelacuran
merupakan suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri untuk
melakukan perbuatanperbuatan seksual dengan mendapatkan upah.
55
Koentjoro, 2004, On the Spot: Tutur Dari Sarang Pelacur. Yogyakarta: Tinta, Hlm. 36
66
Heriana Eka Dewi, Memahami Perkembangan Fisik Remaja, Yogyakarta, Gosyen Publishing, 2012, hal. 81
9
1. Penggundikan yaitu pemeliharaan istri tidak resmi, istri gelap atau
perempuan piaraan. Mereka hidup sebagai suami istri, namun tanpa ikatan
perkawinan.
2. Tante girang yaitu wanita yang sudah menikah, namun tetap
melakukan hubungan seks dengan laki-laki lain, untuk mengisi waktu kosong
dan bersenang-senang dan mendapatkan pengalaman-pengalaman seks lain.
3. Gadis-gadis bar yaitu gadis-gadis yang bekerja sebagai pelayan-pelayan bar
dan sekaligus bersedia memberikan layanan seks kepada para pengunjung.
4. Gadis-gadis bebas yaitu gadis-gadis yang masih sekolah atau putus
sekolah, putus studi akademik atau fakultas, yang mempunyai pendirian yang ti
dak baik dan menyebarluaskan kebebasan seks untuk mendapatkan kepuasan
seksual.
5. Gadis-gadis panggilan adalah gadis-gadis dan wanita-wanita yang
biasa menyediakan diri untuk dipanggil dan dipekerjakan sebagai pelacur,
melalui penyaluran tertentu.
6. Gadis-gadis taxi, yaitu gadis-gadis panggilan yang ditawar-tawarkan dan
dibawa ketempat-tempat hiburan dengan taxi-taxi tersebut.
7. Hotstes atau pramuria yaitu wanita-wanita yang menyamarkan kehidupan
malam dalam nightclub. Yang pada intinya profesi hostess merupakan bentuk
pelacuran halus.
8. Promisikuitas inilah hubungan seks secara bebas dengan pria manapun juga
atau dilakukan dengan banyak laki-laki.
77
Reno Bachtiar dan Edy Purnomo, 2007, Bisnis Prostitusi, Yogyakarta: PINUS Book Publisher, Hlm. 80-83
10
dalam diri pelaku. Semakin rendah pendidikan seseorang maka semakin terbatas
pula keahlian yang dimiliki. Sehingga itulah yang menyebabkan mereka susah
untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
2. Faktor Eksternal
Faktor Eksternal dapat dikategorikan sebagai opportunity yaitu dorongan yang
berasal dari luar diri termasuk lingkungan. Faktor eksternal ini dapat berupa
desakan kebutuhan ekonomi maupun pengaruh lingkungan.
Dengan mengetahui berbagai faktor diatas maka kita sebagai masyarakat Indonesia
tentu harus melakukan tindakan pencegahan dan penanggulangan terhadap tindakan
prostitusi. Dalam usaha pencegahan dan penanggulangan prostitusi memang dirasa
sangat sulit karena harus melalui beberapa proses yang waktu yang sangat lama serta
biaya yang besar. Pencegahan dan penanggulangan yang dilakukan ini tidak hanya
serta merta dapat diatasi dengan upaya penegakan hukum pidana, melainkan pula
harus dilakukan dengan upaya lain diluar hukum pidana yaitu melalui kebijakan
politik, ekonomi, dan social budaya. Selain itu upaya lainnya juga dapat ditempuh
dengan menggali berbagai potensi yang ada dalam masyarakat itu sendiri.Langkah –
langkah yang harus dilakukan yaitu langkah preventif dan represif. 8
Langkah Preventif merupakan suatu langkah pengendalian sosial yang dilakukan
untuk mencegah atau mengurangi kemungkinan terjadinya hal – hal yang
menyimpang atau hal yang tidak diinginkan di masa mendatang. Langkah pencegahan
inti dapat berupa dengan adanya penyuluhan rutin untuk masyarakat Indonesia
mengenai penanggulangan prostitusi. Penyuluhan ini diberikan khususnya pada
tempat yang menjadi lokasi pelacuran. Dapat juga dilakukan dengan memperluas
lapangan pekerjaan khususnya bagi kaum wanita serta pemberian gaji yang sesuai
guna memenuhi kebutuhan hidup sehari – hari9
Selanjutnya langkah represif merupakan suatu langkah pengendalian social yang
dilakukan setelah terjadinya suatu pelanggaran. Tindakan yang termasuk sebagai
langkah represif terhadap permasalahan prostitusi yaitu seperti pembuatan undang –
undang yang lebih rinci dan jelas mengenai aturan – aturan kepada semua pihak
tindakan prostitusi serta pemberian sanksi yang tegas bagi para pelanggar. Karena jika
dilihat peraturan yang ada saat ini mengenai prostitusi hanya mengatur mengenai para
88
Karitni Kartono. Patologi Sosial 2. Kenakalan Remaja. Rajawali Press. Jakarta. 2010
99
Kartini Kartono, Patologi Sosial Jilid 1, Bandung, PT RajaGrafindo Persada, 1981, hlm. 267
11
pekerja seks dan mucikari, sedangkan untuk para pengguna jasa PSK tidak ada sanksi
yang mengatur.1010
Sedangkan apabila ditinjau dari tindakan perlindungan hukum, pemerintah juga
membuat kebijakan dalam rangka perlindungan hukum bagi PSK. Karena setiap
manusia mempunyai Hak Asasi yang mana hak tersebut secara kodrat melekat pada
diri mereka masing – masing, dan hak asasi manusia yang bermakna kebebasan tidak
dapat diingkari apabila diingkari maka termasuk pengingkaran terhadap harkat dan
martabat kemanusiaan. Perlindungan hukum yang dimaksudkan dalam hal ini yaitu
berupa pemberian rasa aman dan pasti atau rasa terlindungi oleh peraturan perundang-
undangan dari perbuatan yang tidak berperikemanusiaan yang telah melanggar hak
asasi manusia seorang perempuan.
Perlindungan hukum terhadap para PSK adalah upaya pemenuhan hak-hak asasi
manusia perempuan dimana salah satu aspek penting dalam penerapan tersebut yaitu
penegakan hukum. Hukum tersebut akan berjalan efektif apabila sanksi – sanksi dapat
diimplementasikan dengan tegas. Upaya-upaya yang dilakukan harus ada sosialisasi
hukum mengenai hak-hak perempuan sehingga praktek prostitusi yang diorganisir
dapat diminimalisir atau bahkan dapat dihilangkan dengan melakukan pembinaan
juga untuk tidak mencari uang dengan cara melawan hukum, karena setiap orang
mempunyai hak untuk berusaha dan mendapatkan uang dengan cara yang layak.
12
Setiap materi muatan peraturan perundang – undangan harus mencerminkan
perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat
setiap warga negara secara proporsional. Dalam hal ini berarti hak – hak
perempuan tetap harus dilindungi sekalipun ia merupakan seorang PSK.
3. Asas Ketertiban dan Kepastian Hukum
Setiap materi muatan peraturan perundang – undangan harus mencerminkan
asas ketertiban dan kepastian hukum. Dimana hukum menjadi pedoman dan
pelindung masyarakat sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat
dan tidak ada hukum yang saling bertentangan. Dengan adanya asas kepastian
hukum maka masyarakat akan merasa lebih aman dan menciptakan ketertiban
hukum.
C. Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta permasalahan
yang dihadapi masyarakat.
Pembuatan Peraturan Daerah ini dikarenakan anggapan bahwa prostitusi memiliki
banyak sekali kerugian baik bagi masyarakat maupun bagi negara. Adanya praktek
prostitusi membuat lingkungan masyarakat menjadi tidak sehat. Para pelaku prostitusi
dipandang rendah oleh masyarakat sekitar, bahkan pelaku tersebut mendapatkan
cemooh, hinaan, dan semacamnya. Pekerjaan ini juga dianggap sebagai pekerjaan
yang sangat merendahkan harkat dan martabat wanita. Tindakan prostitusi merupakan
tindakan yang sangat menyimpang dari berbagai norma baik itu norma masyarakat
maupun norma agama. Dalam praktek penyelenggaraannya tidak jarang juga prostitusi
mengakibatkan adanya pemerasan tenaga kerja yaitu para wanita yang dipaksa untuk
menjadi seorang PSK.
Prostitusi adalah masalah sosial yang tidak hanya melibatkan para pekerja seks
komersial, namun tindakan yang melibatkan banyak pihak seperti mucikari dan para
pengguna jasa yang mayoritas merupakan kaum laki-laki. 1111 Berdasar pada kondisi
yang ada saat ini ketentuan peraturan perundang – undangan yang ada di Indonesia
hanya melarang para pihak pekerja seks dan mucikari, sedangkan pengguna jasa seks
komersial sendiri sama sekali belum ada peraturan yang mengatur. Rendahnya
hukuman bagi para pihak pun juga menjadi salah satu faktor pendorong meningkatnya
Caswanto, 2016, Tindak Pidana Prostitusi yang Diusahakan dan Disediakan oleh Hotel di Indramayu dalam
1111
Perspektif Hukum Pidana Indonesia, Skripsi, Fakultas Hukum, Universitas Pasundan, Hlm. 36-3
13
prostitusi. Karena berdasarkan Pasal 296 dan 506 KUHP, hukuman maksimal bagi
pelaku mucikari hanya satu tahun empat bulan dan denda lima belas ribu.1212
Di dalam pelaksanaannya, penanggulangan prostitusi dilakukan dengan cara
menangkap kaum perempuan yang menjadi mucikari dan pekerja seks oleh para
penegak hukum, sedangkan kaum laki-laki atau para pengguna jasa seks sering luput
dari perhatian para penegak hukum. Dengan pelaksanaan peraturan seperti itu
menunjukkan adanya ketidakadilan gender dan mengakibatkan diskriminasi terhadap
kaum perempuan. Pemerintah perlu memberikan ketentuan peraturan perundang –
undangan yang jelas dan tegas, di samping itu pemerintah juga harus memberikan
solusi guna untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan social para pihak prostitusi
seperti menciptakan lapangan pekerjaan dengan cara memberikan keterampilan bagi
masyarakat tersebut. Pemerintah harus menanggulangi angka kemiskinan yang selama
ini menjadi alasan perempuan untuk berprofesi sebagai mucikari dan PSK.
Di samping itu masalah prostitusi meliputi perdagangan anak, yang dijadikan target
utama ialah anak – anak untuk memenuhi tujuan seksual. Para mucikari mengincar
dan merayu anak-anak yang memiliki permasalahan baik masalah dalam keluarga
seperti masalah ekonomi, maupun masalah pertemanan seperti pergaulan bebas, seks
bebas maupun penggunaan obat terlarang. Mayoritas anak – anak yang menjadi target
dalam perdagangan mucikari ini merupakan anak – anak dari golongan menengah ke
bawah.1313
Untuk mengurangi dan menghilangkan permasalahan prostitusi ini tentunya sangat
memerlukan peran dari keluarga dan lingkungan sekitar. Keluarga sebagai orang
terdekat dan faktor utama pemicu sikap anak seharusnya menjadi benteng untuk
memerangi kasus perdagangan manusia. Keluarga yang tidak harmonis dengan
memunculkan berbagai permasalahan yang terjadi akan membuat peran keluarga
dalam melakukan pengawasan dan control terhadap anak mulai dari lingkungan
pergaulan formal dan informal semakin menurun, serta keluarga juga kurang
mengontrol gaya hidup anak dan juga kurangnya pemberian Pendidikan informal
berupa ajaran beretika dan agama yang menjadi dasar pendidikan bagi anak.
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP Edisi Revisi 2008, Rineka Cipta, Jakarta, 2008. Hlm. 119
1212
1313
Penjelasan Undang‐Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, hal 1
14
D. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam
Undang-Undang atau Peraturan Daerah terhadap aspek kehidupan masyarakat
dan dampaknya terhadap aspek beban keuangan negara.
Sistem yang harus diterapkan pada proses peniadaan praktek prostitusi di wilayah
DKI Jakarta ini adalah dengan pembuatan undang – undang baru mengenai prostitusi
yang diharapkan dapat memberantas penyebarluasan prostitusi di lingkungan
masyarakat dengan isi ketentuan yang lebih jelas mencakup para pihak pekerja seks
komersial, mucikari, dan juga para pengguna jasa seks serta aturan hukum atau sanksi
yang tegas berupa hukuman pidana kurungan dan denda. Di samping itu harus adanya
suatu lembaga yang mengatur dan selalu mengawasi terhadap adanya praktek
prostitusi sebagai usaha pemerintah untuk mengembalikan lingkungan yang sehat di
masyarakat serta adanya pemberian edukasi dan rehabilitasi bagi para pekerja seks,
mucikari, maupun pengguna jasa seks sehingga ke depannya akan tercipta keadilan,
perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat.
15
BAB III
16
perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Dalam pasal ini sangat jelas bahwa setiap orang
harus bebas dari perlakuan diskriminatif dengan alasan apapun.1515Alasan status sosial
dalam masyarakat yang mencap para PSK sebagai sampah masyarakat ataupun penyakit
masyarakat secara langsung telah membuat para PSK tersebut mendapatkan perlakuan
diskriminatif dalam kehidupan bermasyarakat.1616PSK memiliki hak untuk bebas dari
perlakuan diskriminatif yang membuat mereka berada dikelas kedua dalam masyarakat
dan tidak dihargai keberadaannya, akibat bentuk pekerjaan yang mereka pilih. Selain itu,
konstitusi mengatur pula bahwa pihak yang mendapatkan perlakuan diskriminasi tersebut
wajib untuk mendapatkan perlindungan. Oleh sebab itu hak untuk mendapatkan
perlindungan dari tindakan diskriminatif tersebut dijamin oleh konstitusi.
Friska Adin Mareta, Upaya perlindungan hukum bagi korban tindak pidana perdagangan anak
1616
1717
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pasal 269 & Pasal 506
17
praktek prostitusi atau yang biasa disebut dengan mucikari/germo. Bagi para
pelaku prostitusidan bahkan bagi para pengguna jasa prostitusi ini tidak dengan tegas
dilarang olehKUHP.
Salah satu pihak yang membuat praktek prostitusi semakin berkembang
adalah para pengguna jasa prostitusi, karena merekalah yang memberikan keuntungan bagi
para pembuka praktek prostitusi. Jika dilihat dari unsur pasal 269 KUHP dan506 KUHP
pengguna jasa prostitusi tidak bisa dijatuhi pertanggung jawaban pidana.Dilihat dari
penjabaran diatas, KUHP belum memiliki aturan yang jelas
mengenai pidana terhadap pelaku prostitusi (PSK) ataupun bagi pengguna jasa prostitusiny
asendiri. Dibutuhkan kajian yang mendalam untuk bisa menjatuhkan pidana kepdaPSK
dan pengguna jasa prostitusi.
3.3 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sudah
daitur jelas mengenai perlindungan pelaku PSK dari diskriminasi. UU ini memberikan
jaminan bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan perlakuan yang sama. Hal tersebut
berarti bahwa setiap orang tidak boleh mengalami perlakuan diskriminasi dalam bentuk
apa pun dengan alasan apapun. Perlakuan diskriminasi merupakan suatu pelanggaran
HAM dan bertentangan dengan konsep HAM tentang persamaan dan keadilan yang
dijunjung oleh HAM yang berhak dinikmati oleh setiap orang. Oleh karenanya,
Diskriminasi merupakan perbuatan yang dilarang berdasarkan aturan hukum dan dimana
ada tindakan diskriminasi maka terdapat pelanggaran hak asasi manusia disana. Oleh
karenanya merupakan hak PSK untuk mendapat perlakuan yang sama tanpa diskriminasi
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta dilindungi oleh hukum.
Pasal 3 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM pun menjadi dasar
perlindungan hukum bagi setiap orang siapa pun itu untuk mendapatkan perlakuan dan
perlindungan yang sama didalam hukum dan tidak mendapatkan perlakuan diskriminasi.
Pasal ini menyebutkan bahwa setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat
manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup
berrnasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam semangat.1818Pasal ini pun melindungi
setiap individu yang menjadi warga Negara tanpa adanya pembedaa-bedaan.Oleh
karenanya pasal ini pun menjadi dasar hukum bagi para pekerja seks komersial untuk
mendapatkan perlindungan dari tindakan diskriminasi yang mereka hadapi.
18
3.4 Undang-undang no. 21 tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang
Pada undang-undang ini sudah jelas pengaturan mengenai larangan orang untuk
menjual seseorang dengan maksud mengekploitasinya itu dilarang danakan
dikenaiketentuan pidana. Jika kegiatan pelacuran tersebut dilakukan dengan
ancamankekerasan atau peksaan terhadap seseorang untuk mau dijadikan pekerja
sekskomersial, maka tindakan tersebut bisa dikenaka pidana berdasarkan Undang-Undang
No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana PerdaganganOrang tindakan
tersebut bisa dikategorikan sebagai eksploitasi orang, bisa dipidana paling singkat 3(tiga)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
120.000.000,00 dan paling banyak Rp 600.000.000,00.1919
BAB IV
19
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
A. Landasan Filosofis
Falsafah hidup merupakan suatu landasan untuk membentuk hukum suatu negara.
Sehingga penyusunan peraturan perundang – undangan pun juga harus mencerminkan
nilai dan moral yang hidup di masyarakat. Nilai moral dari suatu bangsa ada pada
pandangan hidup bangsa itu sendiri. Pancasila merupakan pandangan hidup, cita-cita
bangsa, atau falsafah negara Indonesia sehingga semua nilai yang ada di negara ini
telah tercantum di dalam Pancasila. Pembentukan Undang – undang mengenai
tindakan prostitusi pun juga harus mencerminkan filsafat bangsa itu sendiri, jangan
sampai bertentangan dengan nilai dan moral etika yang ada di negara Indonesia.
Selain itu dengan adanya undang-undang diharapkan dapat menjamin kesejahteraan
dan ketertiban masyarakat.
Tindakan prostitusi atau pelacuran merupakan sikap moral bangsa yang salah dan
telah menjadi penyakit bagi masyarakat Indonesia. Dasar berfikir para pihak prostitusi
meliputi para PSK, mucikari dan pengguna jasa seks menganggap bahwa tindakan
yang mereka lakukan merupakan kehendak & hak mereka sebagai manusia yang
memiliki kebebasan. Sehingga mereka berhak untuk memilih ideologi dirinya sendiri
tanpa berpikir bahwa tindakan yang mereka lakukan benar atau salah, layak atau tidak
layak dan lain semacamnya. Dasar pemikiran semacam itu sangat salah dan akan
mengakibatkan kesenjangan sosial di lingkungan masyarakat.
Agar terciptanya kehidupan yang tertib dan sejahtera dalam masyarakat yang
menjunjung tinggi nilai budi pekerti, maka diperlukan upaya pencegahan dan
penanggulan baik itu bersikat preventif maupun represif. Upaya represif ini dapat
diwujudkan dengan adanya peraturan perundang – undangan yang mana memiliki
kekuatan mengikat dan memaksa sehingga harus dipatuhi serta adanya sanksi atau
hukuman bagi siapapun yang melanggar.
Ketentuan yang ada pada peraturan ini juga akan lebih diarahkan supaya
terciptanya keadilan sebuah hukum bagi semua pihak, sehingga tidak akan ada yang
merasa dirugikan, terciptanya keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia di masa
yang akan datang, serta tidak akan ada diskriminasi pihak manapun. Sehingga para
pihak meliputi PSK, mucikari, dan pengguna jasa seks tetap dapat mendapatkan
penghidupan dan pekerjaan yang layak apabila mereka telah berhenti dari kebiasaan
20
buruknya tersebut. Karena pada dasarnya setiap manusia berhak untuk mendapatkan
penghidupan dan pekerjaan yang layak tanpa saling membedakan.
B. Landasan Sosiologis
Kehidupan sosial masyarakat yang ada merupakan cerminan dari suatu peraturan
perundang – undangan. Karena apabila tidak mencerminkan kehidupan social
masyarakat maka peraturan yang dibuat tidak akan bisa diterapkan dan tidak akan
dipatuhi. Semua peraturan yang dibuat harus sesuai dengan kondisi dan kenyataan
masyarakat agar tidak terjadi suatu perdebatan karena adanya ketidakharmonisan
antara kondisi masyarakat dengan peraturan yang dibuat.
Prostitusi bukanlah permasalahan sosial yang baru di masyarakat. Dilihat dari segi
historisnya, prostitusi telah ada dari zaman kerajaan dimana seorang raja bebas untuk
membentuk suatu hukum dan rakyat harus mentaati. Hingga saat ini para PSK
dianggap sangat buruk dan menjadi musuh masyarakat karena dianggap mengganggu
ketertiban masyarakat, melecehkan kesucian agamaserta menjadi sumber penyebaran
penyakit seperti HIV/AIDS.
Dengan adanya peraturan yang sesuai dengan kondisi masyarakat, maka akan
tercipta lingkungan yang tertib dan aman sehingga kebutuhan masyarakan akan
kehidupan yang harmonis dapat tercapai serta dapat menciptakan keadilan dan
terjaminnya pelaksanaan hak-hak manusia.
C. Landasan Yuridis
Landasan Yuridis adalah landasan hukum yang menjadi dasar kewenangan
pembuatan peraturan perundang – undangan guna menjamin kepastian hukum dan
rasa keadilan masyarakat.2020 Materi muatan dalam peraturan perundang – undangan
harus berdasar atas sinkronisasi baik itu vertical maupun horizontal. Selain itu harus
berdasar atas asas Lex Specialist Derogat legi Generali yaitu aturan hukum yang
khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum.
Bermula pada Undang – Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
Pasal 136 ayat 2 yang menyatakan bahwa :
21
“Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaran otonomi daerah provinsi /
kabupaten / kota dan tugas pembantuan”
Maka suatu daerah berhak untuk membentuk suatu peraturan daerah yang
bertujuan untuk mencerminkan ciri khas dari masing – masing daerah. Beberapa
peraturan perundang – undangan lainya yang menjadi landasan bagi pembentukan
peraturan daerah mengenai tindakan prostitusi ini adalah sebagai berikut :
1. Pasal 259 dan 506 Kitab Undang – undang Hukum Pidana
2. UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
3. UU Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang.
4. UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI
MUATAN UNDANG-UNDANG, PERATURAN DAERAH PROVINSI, ATAU
PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA
Aturan yang akan dibuat adalah Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta tentang
Penangguangan prostitusi yang ditujukan bagi masyarakat DKI Jakarta untuk
menghapuskan segala macam tindakan prostitusi yang sedang marak di DKI Jakarta
supaya dapat dilaksanakan dan dipatuhi dengan baik.
5.1 Materi Muatan Peraturan Daerah/Kota
5.1.1 Ketentuan umum
1. Prostitusi adalah penggunaan orang dalam kegiatan seksual dengan
pembayaran atau dengan imbalan dalam bentuk lain.
2. Perdagangan orang untuk tujuan seksual adalah kegiatan mencari,
mengirim, memindahkan, menampung, menerima tenaga kerja dengan
ancaman kekerasan dan/atau kekerasan, bentuk pemaksaan lainnya
dengan cara menculik, menipu, memberdaya termasuk membujuk dan
mengiming-imingi korban untuk tujuan eksploitasi seksual komersial.
3. Pelaku adalah setiap orang yang melakukan perbuatan eksploitasi,
prostitusi, kekerasan seksual dan perdagangan manusia untuk tujuan
seksual.
4. Pemerintah Daerah adalah gubernur dan perangkat Daerah Khusus
Ibukota Jakarta.
5.1.2 Asas dan tujuan
1. Asas Keadilan
Setiap materi muatan peraturan perundang – undangan harus mencerminkan
keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara, dimana selama ini dalam
semua peraturan mengenai prostitusi dalam Kitab Undang – Undang Hukum
Pidana maupun Peraturan Daerah belum adanya keadilan karena pada peraturan
tersebut hanya ada larangan dan sanksi bagi para penyedia jasa dan para PSK
23
saja, sedangkan bagi para konsumen atau pengguna jasa belum ada larangan dan
sanksi.
2. Asas Kemanusiaan
Setiap materi muatan peraturan perundang – undangan harus mencerminkan
perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat
setiap warga negara secara proporsional. Dalam hal ini berarti hak – hak
perempuan tetap harus dilindungi sekalipun ia merupakan seorang PSK.
3. Asas Ketertiban dan Kepastian Hukum
Setiap materi muatan peraturan perundang – undangan harus mencerminkan
asas ketertiban dan kepastian hukum. Dimana hukum menjadi pedoman dan
pelindung masyarakat sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat
dan tidak ada hukum yang saling bertentangan. Dengan adanya asas kepastian
hukum maka masyarakat akan merasa lebih aman dan menciptakan ketertiban
hukum.
Adapun tujuannya :
1. Memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan
perlindungan korban
2. Menyelenggarakan Rehabilitasi Sosial guna pemulihan korban prostitusi.
3. Melakukan tindakan pencegahan untuk meniadakan prostitusi.
4. Memberikan sanksi pidana kepada pelaku sesuai ketentuan yang berlaku.
5. Melaporkan kepada pihak yang berwajib apabila mengetahui adanya
tindakan prostitusi
5.1.3 Larangan
1. Setiap orang baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dilarang
melakukan kegiatan prostitusi, baik dengan pasangan sejenis dan/atau lawan
jenis.
2. Setiap orang baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dilarang
menyediakan fasilitas dan/atau orang dalam kegiatan sebagaimana dimaksud
ayat (1)
3. Setiap orang baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dilarang
menjadi pengirim, penerima, perantara, dan/atau pembeli jasa dalam
kegiatan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan (2) prostitusi.
4. Setiap orang baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dilarang
melakukan kegiatan perdagangan orang untuk tujuan seksual.
5. Setiap orang dilarang bermesraan, berpelukan dan/atau berciuman mengarah
kepada hubungan sexsual, baik ditempat umum atau ditempat-tempat yang
kelihatan oleh umum.
24
5.1.4 Peran serta keluarga dan masyarakat
Keluarga mempunyai peran serta dalam :
1. Menanamkan norma-norma yang baik dalam berkehidupan bermasyarakat;
2. Senantiasa memberi teladan yang baik kepada anak;
3. Menumbuhkan kesadaran akan pentingnya menjalankan kehidupan sesuai
dengan nilai agama dan kepercayaannya;
4. Menumbuhkan dan mengasah minat bakat anak sehingga memiliki
kebiasaan berperilaku positif dan baik;
5. Menjalankan fungsi keluarga yaitu sebagai wadah anak untuk bersosialisasi
dan berlindung dari segala bentuk kekerasan, eksploitasi dan penelantaran;
6. Melindungi dan memberikan dukungan moral untuk rehabilitasi dari korban
5.1.9 KetentuanPenutup
26
BAB VI
PENUTUP
6.1.Kesimpulan
Peraturan DKI Jakarta yang mengatur secara rinci dan jelas sangat dibutuhkan untuk meminimalisir adanya
tindakan Prostitusi. Peningkatan praktek prostitusi yang terjadi di wilayah DKI Jakarta dikarenakan masih adanya
pihak yang belum diperhatikan oleh Pemerintah Daerah dan tidak ada aturan yang mengatur mengenai
penanggulangan prostitusi di peraturan – peraturan sebelumnya. Sehingga peran dan kedudukan dari undang –
undang ini adalah sebagai payung untuk memberikan kepastian hukum dalam penanggulangan prostitusi dan
perlindungan korban.
Di dalam peraturan ini mengatur mulai dari pelaku prostitusi, penyedia tempat sampai pada para pengguna jasa
prostitusi yang sampai sekarang belum ada yang mengatur dalam peraturan manapun
6.2.Saran
1. Setelah mempelajari dan mengkaji berbagai fakta dan data yang ada,
kamimerekomendasikan perlu adanya suatu Peraturan daerah yang secara khusus,
jelas,rinci dan adil mengatur tentang kegiatan prostitusi.
2. Diperlukan suatu lembaga khusus yang berfungsi untuk mengawasi kegiatan prostitusi
agar bisa ditertibkan dan ditanggulangi.
3. Untuk sanksi bagi para pelaku prostitusi bukan hanya pemberian pidana penjaraatau
denda, tetapi juga harus diberikan kegiatan rehabilitasi, dan edukasidalam penanggulangan
masalah prostitusi.
27
DAFTAR PUSTAKA
Merryany, T. Bawole, Kajian hak asasi manusia terhadap pelakuan diskriminasi kepada
pekerja seks komersial, https://media.neliti.com, Jurnal: Vol. XXI no.3, April-Juni 2013.
http://eprints.ums.ac.id/51475/1/NASKAH%20PUBLIKASI.pdf
Lembaran daerah Kota surakarta tahun 2006 nomor 3 seri E nomor 1 Peraturan daerah
kota surakarta Nomor 3 tahun 2006 tentang penanggulangan eksploitasi seksial komersial
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan. Perlindungan T erhadap Korban Kekerasan Seksual.
Refika Adhitama. Bandung. 2001.
http://download.portalgaruda.org
28