Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

Tentang
FEMALE GENITAL MUTILATION (FGM)
Di Ajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Critical Thinking

Dosen Mata kuliah:


Dr. Hj. Yati Budiarti, SST,M.Keb

Disusun oleh:
1. Aulia Rachmawardani Putri (P20614520006)
2. Beliana Annisa Hasan (P20624520008)
3. Dede Siti (P20624520010)
4. Desi Tries Aprilia (P20624520012)
5. Dini Nurfadilah (P20624520015)
6. Ishra Adhiasa Utami (P20624520024)
7. Mona Amelia (P20624520027)
8. Nurul Hanipah (P20624520030)

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN TASIKMALAYA
Jl. Babakan Siliwangi No.35 Kahuripan, Kec. Tawang ,Tasikmalaya, Jawa Barat 46115
Tlp. 0265-340186-7035678 Fax. 0265-338939
Email: Direktorat@poltekkestasikmalaya.ac.id
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ..............................................................................................................i
DAFTAR ISI ............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………………….………
1
A. Latar
Belakang..............................................................................................................1
B. Rumusan
Masalah..........................................................................................................2
C. Tujuan............................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN ……………………………………………………………….
…….3
A. Persfetik Moral tentang
FGM…......................................................................................3
B. Faktor-Faktor dalam pengambilan keputusan FGM…..
…............................................11
C. Nilai-Nilai Etik dalam Pemecahan Masalah FGM……………………………….
…...13
BAB III PENUTUP …………………………………………………………………….
…...15
A. Kesimpulan..................................................................................................................15
B.
Saran ............................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………….……
16

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga
penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya
tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat
serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad
SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-nya, baik
itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga kami mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah dengan judul “FEMALE GENITAL MUTILATION (FGM)”.
Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada dosen
Critical thinking yang telah membimbing dalam menulis makalah ini.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Tasikmalaya, 14 september 2021

Penyusun

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Salah satu bentuk tradisi yang sampai saat ini masih dilestarikan dalam masyarakat
adalah female genital mutilation (selanjutnya disebut FGM). FGM adalah segala prosedur
atau tindakan yang ditujukan untuk menghilangkan sebagian atau seluruh organ genital luar
dari wanita atas nama budaya, adat, agama atau alasan-alasan lain di luar alasan-alasan
kesehatan atau penyembuhan.1 Masih banyaknya pandangan yang hingga kini selalu saja
melekat di masyarakat dan telah menimbulkan berbagai permasalahan yang dihadapi kaum
perempuan, yaitu ketimpangan gender. Gender adalah pembagian peran antara laki–laki dan
perempuan yang dibangun dan dikonstruksikan sedemikian rupa oleh masyarakat melalui
adat, tradisi, kebiasaan pola asuh, dan pendidikan, untuk membedakan tugas dan peran sosial
perempuan dan laki–laki.2 Adanya ketimpangan gender tersebut menjadikan perempuan
beserta hak-haknya seringkali disingkirkan, diabaikan, dan tidak dianggap, bahkan seringkali
seorang wanita diperlakukan sebagai benda milik dan hampir tidak memiliki hak atas apapun,
baik harta benda, kebebasan menentukan masa depan, bahkan kontrol atas diri, seksualitas,
dan tubuhnya sendiri.
Akibatnya, maka lahirlah tindak kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat, laki-laki,
bahkan pemerintah terhadap perempuan. Salah satu diantaranya adalah kekerasan berbasis
budaya, yaitu kekerasan yang dilakukan berdasarkan atas tuntutan budaya atau tradisi
masyarakat. Tindakan tersebut menyebabkan atau mungkin menyebabkan penderitaan fisik,
psikis, seksual pada perempuan, karena di dalamnya termasuk tindakan memaksa,
mengurangi kebebasan perempuan itu sendiri. Kasus kekerasan berbasis budaya terjadi
hampir di belahan dunia manapun yang masih menjunjung tinggi tradisi budaya mereka.
Contoh kekerasan berbasis budaya yang masih saja terjadi hingga saat ini adalah tradisi
pemotongan organ genital wanita, atau yang lebih dikenal dengan nama Female Genital
Mutilation (FGM) atau yang juga sering disebut Female Genital Cutting (FGC).
Permasalahan ini bukanlah hal baru di masyarakat internasional terutama di dalam kasus
mengenai pelanggaran hak terhadap perempuan, karena yang amat tragis adalah, masih
banyaknya penduduk dunia yang menjadi korban dari FGM tersebut. Menurut catatan World
Health Organization (WHO) saja, setiap tahunnya setidaknya 2-3 juta wanita terancam kasus
FGM, dan 100-132 juta wanita telah menjadi korbannya dan rata-rata 4 gadis per menit.3
Diperkirakan bahwa lebih dari 6000 perempuan menjalani praktik FGM setiap harinya.4
Praktik FGM terjadi sedikitnya di 28 negara di Afrika, dan beberapa negara di Asia dan
Timur Tengah, termasuk Yaman dan Irak Utara, beberapa suku etnik di Amerika Tengah dan
Amerika Selatan, dan juga di Amerika Utara, Eropa, serta Australia.

1
B. Rumusan masalah
1. Apa yang di maksud dengan Perspektif moral terhadap kasus FGM
2. Faktor apa saja yang perlu di pertimbangkan dalam pengambilan keputusan FGM?
3. Nilai-nilai etik Apa saja yang perlu dipertimbangkan dalam kasus FGM ?

C. Tujuan
1. Mengetahui Perspektif moral terhadap kasus FGM
2. Mengetahui Faktor-faktor prnyebab pengambilan keputusan FGM
3. Mengetahui Nilai-nilai etik dalam kasus FGM

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. PERSPEKTIF MORAL Tentang FGM


1. Kedudukan FGM Dari Perspektif HAM
Dari perspektif hak asasi manusia, FGM dalam bentuk apapun, diakui secara
internasional sebagai pelanggaran HAM terhadap perempuan. Praktik ini
menyangkal hak perempuan dan anak perempuan atas:
a. The Right to be Free From All Forms of Gender Discrimination
Hak untuk bebas dari diskriminasi gender telah dijamin dan dinyatakan dalam
instrumen HAM Internasional. Dalam Pasal 1 CEDAW
mendefinisikaniiskriminasi perempuan berbasis gender adalah setiap pembedaan,
pengucilan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai tujuan atau
mengakibatkan berkurang dan terhapusnya hak-hak dan kebebasan-kebebasan
pokok di dalam ranah publik maupun domestik.
Praktik FGM bertujuan untuk mengontrol perempuan secara seksual dan atas
seksualitas mereka, serta mengontrol perempuan dalam kehidupan sosial, selain
itu praktik tersebut menjadikan perempuan sebagai korban dari diskriminasi
berbasis gender yang telah mengurangi hak dasar dan kebebasan mereka sebagai
manusia. Dengan demikian, FGM secara tegas dipandang sebagai praktik
berbahaya yang mengakibatkan efek negatif kepada Hak Asasi Perempuan (HAP)
dan juga regulasi-regulasi internasional mengenai HAM.
b. The Rights to Life and to Physical Integrity
Hak untuk hidup telah diatur dan dijamin dalam (Pasal 6) International
Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Secara implisit prinsip dari hak
integritas fisik memberikan kebebasan seseorang untuk memilih sendiri apa yang
akan dilakukan terhadap tubuh yang dimilikinya, dan tidak memberikan
kekuasaan kepada orang lain untuk menginvasi hak tersebut.
c. The Right To Health
Pasal 12 ICESCR memberikan hak untuk menikmati standar tertinggi untuk
kesehatan fisik dan mental. Pelaksanaan FGM menghilangkan bagian tubuh
perempuan yang dibutuhkan untuk kepuasan dan keamanan kehidupan seks
mereka, hal tersebut melanggar standar tertinggi untuk kesehatan fisik dan mental

3
yang dimiliki oleh perempuan, dan terdapatnya resiko kesehatan dari pelaksanaan
tersebut yang dilihat sebagai pelanggaran hak kesehatan.
d. Children’s Right To Special Protections
FGM dinyatakan telah melanggar hak anak karena pelaksanaan FGM biasa
dilakukan pada anak perempuan di kisaran usia 0-15 tahun dan dilakukan tanpa
persetujuan dari anak-anak perempuan tersebut.
 Praktik Female Genital Mutilation di Indonesia
Praktik FGM pada kenyataannya juga terjadi di Indonesia, walaupun dalam
taraf yang sangat ringan atau pada tingkat yang paling rendah, tidak seperti
praktik FGM di Afrika maupun negara lainnya yang cenderung merusak hampir
semua bagian genital perempuan. Masyarakat di Indonesia biasanya melakukan
praktik FGM pada usia anak 0-18 tahun, tergantung budaya setempat. Di
Indonesia hampir tidak pernah ada laporan tentang praktik sunat dengan tingkat
kebrutalan tertentu, serta meninggalkan dampak negatif yang secara medis
membahayakan kesehatan reproduksi dan seksual perempuan seperti yang terjadi
di Afrika, atau pada suku-suku tertentu di dunia. Akan tetapi, betapapun
simbolisnya, alasan di balik praktik itu ternyata sama persis dengan alasan
pemotongan kelamin yang terjadi di Afrika.
Di antaranya, alasan itu tidak lebih dari sekadar proses inisiasi menuju
kedewasaan perempuan, atau penyucian diri, atau pun alasan kontrol terhadap
dorongan seksual perempuan. Alasan-alasan kebersihan dan kesehatan pun masih
sangat perlu untuk dipertanyakan. Sebab anggapan kolektif yang menyatakan
kotoran yang menempel pada klitoris dapat membuat libido seks perempuan tak
terkendali, belum ada bukti medis yang akurat. Di masyarakat banyak terdapat
praktik sunat perempuan karena alasan tradisi budaya dan motif ekonomi. Sebab
profesi sebagai pelaksana prosedur sunat perempuan merupakan pekerjaan turun-
temurun dari seorang ibu kepada anaknya, yang menjadi penopang ekonomi
keluarga. Bila praktik sunat perempuan dihilangkan, maka otomatis pendapatan
keluarga juga akan hilang. Bagi bidan-bidan atau tenaga medis lainnya, baik di
rumah-rumah sakit atau pada praktik-praktik pribadi, tak jarang sunat perempuan
menjadi layanan satu paket dengan tindik dan melahirkan, mereka tidak mau
menghilangkan item tambahan biaya untuk tindik dan sunat tersebut, hingga tidak
sedikit keluhan orang tua yang tiba-tiba tanpa dimintai persetujuan langsung
diberitahu anak perempuannya telah disunat. Terdapat beberapa daerah di

4
Indonesia yang masih melaksanakan dan melestarikan praktik FGM, diantaranya
adalah provinsi Banten, Jawa Timur (Madura), Sumatera Barat, Sulawesi Selatan,
Gorontalo, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Timur, dan masih banyak lagi.
2. Sunat Perempuan dalam Perspektif Agama
FGA tertanam dalam banyak sistem budaya dan berhubungan dengan tradisi
sejarah, afiliasi suku, status sosial, maritabilitas dan agama, tetapi paling sering
dikaitkan dengan budaya muslim (Berg and Denison, 2013). Kritikus berpendapat
bahwa tidak ada referensi untuk prosedur mengubah alat kelamin eksternal
perempuan dalam Al-Qur'an. Dengan demikian, tidak ada dasar agama untuk
praktik tersebut. Namun, perlindungan hukum terhadap praktik keagamaan tidak
bergantung pada praktik ortodoksi atau pada konsensus dalam tradisi agama yang
menerima praktik tersebut.Sebaliknya, isi keyakinan dan praktik keagamaan
dipandu oleh teks dan tradisi interpretatif.
Jadi, banyak cendekiawan muslim mengklasifikasikan FGA sebagai Sunnah
atau praktik yang ditetapkan oleh nabi Muhammad. Meskipun tidak terdak secara
eksplisit dalam Al-Qur'an. Praktik demikian adalah agama yang berbudi luhur.
Bahkan, istilah sehari-hari untuk prosedur FGA dalam bahasa Arab mengacu pada
keadaan kemurnian ritual (Davis dalam Arora dan Jacobs, 2016). Islam
memperjelas efek negatif yang serius dari praktik FGM yaitu menyebabkan
bahaya fisik dan psikologis yang signifikan terhadap anak perempuan dan
perempuan. Melukai diri sendiri atau orang lain dalam bentuk apa pun sangat
dilarang, sehingga diperlukan tindakan untuk menghentikan tradisi yang
berbahaya ini Dengan demikian, menjadi kewajiban agama untuk mengatakan
dengan tegas bahwa praktek FGM saat ini dilarang dalam Islam (Gomaa, 2012).
FGM juga dipraktikkan di antara kelompok-kelompok Kristen. Sebagian besar
dari mereka beranggapan bahwa FGM dianggap sebagai kewajiban agama, karena
kemurnian seksual perempuan memainkan peran penting. Alasan untuk FGM
bervariasi salah satunya menciptakan adhesi yang mencegah hubungan seks pra-
nikah dengan alasan estetika. Otoritas Kristen menyatakan bahwa FGM tidak
memiliki landasan dalam teks-teks agama Kristen. Jadi, pada dasarnya FGM tidak
ditentukan oleh hukum agama (El-Damanhoury, 2012). Bahkan dalam agama
Hindu dan Budha tidak ada ritual sunat/ FGM (Hutson, 2004).
3. Sunat Perempuan dalam Perspektif Transkultural

5
Adanya pemaknaan sunat tidak terlepas dari interaksi stimulus dan respons.
Adanya stimulus yang berupa kebiasaan sunatperempuan dikalangan masyarakat
tertentu yang telah dilakukan secara turun-temuruntelah menuntun anggota-
anggotanya untuk mengambil sikap. Proses pembentukan danperubahan sikap,
serta perilaku tersebutdipengaruhi oleh beberapa faktor, baik internal maupun
eksternal.
Faktor dari dalam individu (internal) meliputi pengetahuan, kecerdasan,
persepsi, sikap, emosi dan motivasi yang berfungsi untuk mengolah rangsangan
dari luar, sedangkan factor dari luar (eksternal) meliputi lingkungan sekitar, baik
fisik maupun non fisik, seperti iklim, manusia, sosial, ekonomi dan
budaya.Sebagai tuntunan tradisi, sunat kaum perempuan dianggap perlu dan
penting dilakukan karena ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh, diantaranya
anak perempuan yang di sunat akan tumbuh menjadi anak yang cantik dan
bercahaya (pliger), terjaga perilakunya (tidak genit dan binal), dan klitorisnya
tidak akan tumbuh memanjang. Sunat perempuan sebagai suatu tradisi masyarakat
yang harus di hormati, sekalipunpada dasarnya mereka tidak setuju terhadap
praktik tersebut karena ditinjau dari sisi medis, sunat perempuan merupakan
aktivitas yang tidak dikenal dan tidak dianjurkan. Olehkarena itu, tenaga
kesehatan menolak jika dimintai bantuannya untuk mengkhitan anak perempuan
(Oktarini, 2012).
Masalah lintas budaya yang kompleks ini tidak dapat ditangani secara
memadai oleh kecaman sederhana dan dorongan apapun. Untuk mengakhiri FGA
harus datang dari dalam agama dan budaya yang mempraktekkannya.Dengan
bekerja sama dengan penuh rasa hormat, dan tidak secara independen. Kategori 1
dan 2 FGA sebagai kompromi yang menghormati budaya dan agama tetapi
memberikan perlindungan yang diperlukan terhadap pelecehan anak dan lebih
melindungi anak-anak perempuan dari bahaya jangka panjang Kategori 1 dan 2
berbeda Kategori 3 dan 4 FGA, karena tidak terkait dengan risiko medis jangka
panjang, peka budaya, tidak melakukan diskriminasi atas dasar gender dan tidak
melanggar hak asasi manusia (Arora and Jacobs, 2016).
4. Sunat Perempuan dalam Perspektif Kesehatan
Kesehatan Reproduksi FGA mempunyai risiko jangka pendek yang dapat
diprediksi yaitu perdarahan dan infeksi, sedangkan resiko jangka panjang jarang
untuk prosedur kategori 1 dan kategori 2. Kategori 3 dan 4 merupakan prosedur

6
yang berat yang memiliki risiko persalinan macet, operasi caesar, perdarahan
postpartum, risiko 80% fluktuasi, depresi, risiko 30% gangguan stres pasca-
trauma dan kematian. akibat sepsis (Arora andJacobs, 2016).
Hasil penelitian menunjukkan hubungan epidemiologi yang kuat antara
mutilasi genital perempuan/ pemotongan (FGM) dengan komplikasi kebidanan.
Namun, karena terbatasnya kualitas bukti yang tersedia, kami memiliki keyakinan
rendah bahwa perkiraan yang kami laporkan menunjukkan ukuran yang tepat dari
efek FGM pada risiko komplikasi obstetrik. Kami tidak mengidentifikasi bukti
apapun untuk manfaat dari FGM. Kesimpulannya bahwa ada bukti yang
meyakinkan bahwa FGM dikaitkan dengan peningkatan risiko komplikasi
obstetrik (Berg et al, 2014). Dampak jangka pendek sunat padaperempuan:
a. Perdarahan yang mengakibatkan shock atau kematian,
b. infeksi pada seluruh organ panggul yangmengarah pada sepsis,
c. Tetanus yang menyebabkan kematian,
d. Gangrene yang dapat menyebabkan kematian,
e. Sakit kepala yang luar biasa mengakibatkan shock,
f. Retensi urin karena pembengkakan dan sumbatan pada uretra.
Dampak jangka panjang adalah:
a. Rasa sakit berkepanjangan pada saat berhubungan seks,
b. Penis tidak dapat masuk dalam vagina sehingga memerlukan tindakan operasi,
c. Disfungsi seksual (tidak dapat mencapai orgasme pada saat berhubunganseks),
d. Disfungsi haid yang mengakibatkan hematocolpos (akumulasi darah haid
dalam vagina),hematometra (akumulasi darah haid dalamrahim),dan
hematosalpin (akumulasi darahhaid dalam saluran tuba),
e. Infeksi saluran kemih kronis,
f. Inkontinensi urine (tidak dapat menahan kencing),
g. Bisa terjadi abses, kista dermoid, dan keloid (jaringan parut mengeras)
(Oktarini, 2012).
5. Sunat Perempuan dalam Perspektif Medis
Pada dasarnya ilmu kedokteran tidak pernah mengajarkan praktek sunat untuk
perempuan. Dalam ilmu kedokteran hanya mengenal teori sunat untuk laki-laki
yang disebut teori osirkumsisip. Oleh karena itu, sampai saat ini para ahli medis
belum memiliki standar khusus mengenai cara bagaimana mempraktekkan sunat

7
untuk perempuan, sehingga muncul banyak pendapat tentang bagian mana organ
kewanitaan yang dipotong dan cara memotongnya.
Badan Kesehatan Dunia World Health Organization (WHO) dalam fact Sheet
No. 241 Juni 2000 menggolongkan sunat perempuan yang berkembang di
masyarakat dunia ke dalam enam tipe, yaitu :
a. Tipe 1 : Menghilangkan bagian permukaan, dengan atau tanpa diikuti
pengangkatan sebagian atau seluruh bagian klitoris.
b. Tipe 2 : Pengangkatan klitoris dengan pengangkatan sebagian atau seluruh
bagian labia minora.
c. Tipe 3 : Pengangkatan sebagian atau seluruh bagian dari organ genital luar
diikuti dengan menjahit atau menyempitkan lubang vagina(infibulasi).
d. Tipe 4 : Menusuk, melubangi klitoris dan atau labia, merenggangkan klitoris
dan atau labia, tindakan memelarkan dengan jalan membakar klitoris atau
jaringan di sekitarnya.
e. Tipe 5 : Merusak jaringan di sekitar lubang vagina atau memotong vagina.
f. Tipe 6 : Memasukkan bahan-bahan yang bersifat merusak atau tumbuh-
tumbuhan ke dalam vagina dengan tujuan menimbulkan pendarahan,
menyempitkan vagina, dan tindakan-tindakan lainnya yang dapat digolongkan
dalam definisi di atas.

Enam tipe sunat perempuan tersebut di atas dipandang oleh Badan Kesehatan
Dunia (WHO) sangat membahayakan kaum perempuan dan terbilang sebagai
bentuk pelanggaran HAM. Untuk itu, para ahli medis menyarankan agar praktek
sunat perempuan dilakukan dalam pengawasan ilmu kedokteran untuk
menghindari bahaya yang ditimbulkan. Menurut WHO, perempuan yang disunat
dapat merasakan dampak berkepanjangan seperti kehilangan kepekaan yang
berakibat kesakitan dalam aktivitas seksual. Dampak yang selama ini ditimbulkan
adalah infeksi vagina, disfungsi seksual, infeksi saluran kencing, sakit kronis,
kemandulan, kista kulit, kompilasi saat melahirkan bahkan kematian.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia pada 5 November 2010 mengeluarkan
peraturan Nomor: 1636/Menkes/Per/XI/2010 tentang Sunat Perempuan. Peraturan
tersebut dibuat untuk melindungi perempuan dari praktik sunat ilegal yang
membahayakan jiwa maupun sistem reproduksinya.

8
Salah satu ketentuan dalam peraturan tersebut mengatakan, osunat perempuan
hanya boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan baik dokter, bidan atau perawat yang
memiliki izin kerjap.24 Tekniknya adalah dengan otindakan menggores kulit yang
menutupi bagian depan klitoris, tanpa melukai klitorisp.
Mencermati Peraturan Menkes RI nomor 1636, menurut Marsinto W. BN.,
dokter spesialis anak dan profesor di fakultas kedokteran Universitas Airlangga
Surabaya dalam wawancara penulis ia berkomentar: Peraturan tersebut
dikeluarkan untuk mengatur standar pelayanan dan standar profesi demi menjamin
keamanan serta keselamatan perempuan yang dikhitan, namun dalam peraturan itu
belum menjelaskan lebih rinci mengenai bagaimana teknis sirkumsisi yang
dimaksud, bilamana yang diatur adalah cukup dengan menggores bagian
preputium klitoris maka sebatas manakah itu dilakukan, sementara ukuran daerah
klitoris dari setiap perempuan berbeda-bedap.
Sebagai dokter senior, Marsinto yang juga penanggung jawab RSI Siti Hajar
di Sidoarjo, menjelaskan bahwa dalam prakteknya pihak rumah sakit tidak pernah
memberikan aturan dan anjuran untuk melakukan khitan bagi bayi perempuan,
kecuali permintaan dari pihak pasien yang kemudian dipraktekkan penggoresan
dengan menggunakan kapas. Kehati-hatian ini dilakukan karena pada organ
kewanitaan itu terdapat pembulu-pembulu darah yang sangat sensitif yang
khawatir akan berdampak negatif bagi si perempuan, termasuk hilangnya
kenikmatan hubungan suami-istri dan itu termasuk memangkas hak asasi seorang
perempuan.
Peraturan sunat perempuan tersebut adalah revisi dari peraturan sebelumnya
yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen
Kesehatan RI yang telah mengeluarkan kebijakan berupa surat edaran bagi
organisasi profesi (IDI, IDAI, IBI, POGI, PPNI, dan PERINASIA) dan instansi
terkait di bawah Depkes, yaitu surat edaran Nomor HK. 00.07.1.31047a tentang
larangan medikalisasi sunat perempuan bagi petugas kesehatan. Namun surat
pelarangan tersebut ditolak oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan beberapa
ORMAS Islam yang memandang sunat perempuan itu adalah bagian dari perintah
syariat.
Menurut Dwi Murtiastutik, dokter spesialis kulit dan kelamin, menjelaskan
prinsip sunat perempuan sebenarnya sama dengan sunat laki-laki, yakni sama-
sama membuang bagian yang tidak diperlukan pada alat vital. Yang perlu

9
diperhatikan adalah anatomi dari alat vital itu sendiri. Jika khitan dilakukan pada
pria adalah dengan memotong kulit ujung penis (preputium) agar bagian glans
klitorides terlihat dan bersih, sedangkan untuk wanita hanya dilakukan dengan
sedikit menggores bagian preputium pada klitorisnya. Dwi juga menjelaskan, jika
sunat dilakukan dengan benar, perempuan akan mendapat beberapa manfaat, salah
satunya adalah organ vital menjadi lebih bersih.
Sedangkan menurut dokter spesialis kandungan RF Umi R. dan dokter Kery
Ramlan Kartosen dalam wawancara penulis. Menurut mereka selama ini dalam
dunia kedokteran khususnya spesialisasi kandungan tidak pernah mengenal
sirkumsisi untuk perempuan. Sunat perempuan tidak ada manfaatnya sama sekali
karena di area klitoris itu adalah tempat yang sangat sensitif, banyak dialiri
pembuluh darah dan urat syaraf, sehingga jika ada sentuhan atau tekanan baik
langsung atau tidak langsung akan berpengaruh kepada sensitifitas rangsangan
seksual, maka tidak perlu ada penggoresan apalagi pemotongan.
Pada intinya kalangan ahli tidak mengenal sunat untuk bayi, balita maupun
perempuan dewasa dalam bentuk apapun. Praktek sunat perempuan yang
berkembang adalah mengikuti tradisi masyarakat yang banyak diasumsikan
sebagai bagian dari perintah syariat Islam. Tindakan medis dalam melayani
permintaan masyarakat untuk sunat perempuan adalah mengikuti peraturan
Menteri Kesehatan RI nomor 1636, yaitu dengan teknik penggoresan atau hanya
dengan teknik pengusapan bagian atas klitoris dengan tujuan untuk
membersihkan. Teknik sunat secara simbolik ini dilakukan semata-mata untuk
menghindari bahaya kerusakan jaringan-jaringan pada organ vital perempuan.
Namun pasalnya, peraturan sunat perempuan Menkes Nomor 1636 tahun 2010
tersebut kemudian dicabut dengan dikeluarkannya peraturan baru Nomor 6 tahun
2014. Pencabutan ini dinyatakan pberdasarkan pada aspek budaya dan keyakinan
masyarakat Indonesia hingga saat ini masih terdapat permintaan dilakukannya
sunat perempuan yang pelaksanaannya tetap harus memperhatikan keselamatan
dan kesehatan perempuan yang disunat, serta tidak melakukan mutilasi alat
kelamin perempuan (FGM)p.32
Dengan keluarnya surat pencabutan tersebut menandakan lepas- tangannya
pemerintah RI terhadap praktek sunat perempuan yang berkembang di
masyarakat. Sebagaimana dalam surat pencabutan tersebut dinyatakan : pbahwa
sunat perempuan hingga saat ini tidak merupakan tindakan kedokteran karena

10
pelaksanaannya tidak berdasarkan indikasi medis dan belum terbukti bermanfaat
bagi kesehatanp. Dalam arti lain, pemerintah membuka peluang praktek liar sunat
perempuan di masyarakat karena sudah tidak ada lagi standar medis sebagaimana
yang terdapat dalam peraturan yang dicabut.
Bilamana pencabutan peraturan medis sunat perempuan didasarkan pada aspek
budaya bangsa, maka hal ini tidak terlepas dari pandangan keagamaan masyarakat
Indonesia khususnya umat Islam sebagai kaum mayoritas. Sebagian besar umat
Islam di Indonesia meyakini sunat perempuan adalah bagian dari perintah syariat.
Asumsi ini tertanam kuat hingga seakan- akan menjadi syarat tradisi dalam
kehidupan berbangsa dan beragama. Namun, apabila perspektif medis menyatakan
adanya dampak bahaya dan tidak ada manfaat pada segi kesehatan, maka
pertanyaan besar yang muncul adalah apakah Allah Swt. menetapkan aturan
syariat yang mengandung unsur mafsadat bagi manusia? Hal tersebut sangat
bertentangan dengan prinsip umum hukum Islam sebagaimana yang selama ini
diyakini kaum muslimin bahwa tujuan utama pensyariatan hukum Islam adalah
untuk mewujudkan kemaslahatan dan kebaikan untuk kehidupan umat manusia di
dunia dan di akhirat. Pertanyaan ini akan dibahas pada topik berikutnya mengenai
sunat perempuan dalam perspektif hukum Islam.
B. Faktor-Faktor dalam pengambilan keputusan FGM
FGM adalah Mutilasi alat kelamin perempuan (FGM) menimbulkan kerugian
ekonomi dan kemanusiaan yang melumpuhkan, menurut Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO).
“FGM bukan hanya sebuah bencana pelanggaran hak asasi manusia yang
secara signifikan merugikan kesehatan fisik dan mental jutaan anak perempuan dan
perempuan; itu juga menguras sumber daya ekonomi vital suatu negara,” kata Dr Ian
Askew, Direktur Departemen Kesehatan dan Penelitian Seksual dan Reproduksi
WHO. “Lebih banyak investasi sangat dibutuhkan untuk menghentikan FGM dan
mengakhiri penderitaan yang ditimbulkannya.”
1. Faktor
Praktik FGM tetap dilakukan karena kebutuhan untuk diterima secara sosial
dan ketakutan ditolak oleh masyarakat. Ini adalah motivasi kuat untuk
melanggengkan praktik tersebut. Di beberapa komunitas, FGM hampir dilakukan
secara universal dan tidak dipertanyakan. FGM sering dianggap sebagai bagian
penting dari membesarkan seorang gadis, dan cara untuk mempersiapkannya untuk

11
masa dewasa dan pernikahan. FGM sering dimotivasi oleh keyakinan tentang apa
yang dianggap sebagai perilaku seksual yang dapat diterima. Ini bertujuan untuk
memastikan keperawanan pranikah dan kesetiaan dalam pernikahan. FGM di
banyak komunitas diyakini dapat mengurangi libido wanita dan karenanya diyakini
membantunya melawan tindakan seksual di luar nikah. Ketika lubang vagina
tertutup atau menyempit (Tipe 3), rasa takut akan rasa sakit berhubungan intim,
dan rasa takut bahwa hal ini akan diketahui, diharapkan lebih lanjut akan mencegah
hubungan seksual di luar nikah di antara wanita dengan FGM jenis ini.
FGM dikaitkan dengan cita-cita budaya feminitas yang mencakup gagasan
bahwa anak perempuan bersih dan cantik setelah pengangkatan bagian tubuh yang
dianggap tidak bersih. Meskipun tidak ada naskah agama yang menganjurkan ini,
para praktisi sering percaya bahwa latihan tersebut memiliki dukungan agama. Para
pemimpin agama mengambil berbagai posisi sehubungan dengan FGM, beberapa
mempromosikannya, beberapa menganggapnya tidak relevan dengan agama, dan
yang lain berkontribusi pada penghapusannya. Struktur kekuasaan dan otoritas
lokal, seperti pemimpin masyarakat, pemimpin agama, penyunat, dan bahkan
beberapa tenaga medis dapat berkontribusi untuk menegakkan praktik tersebut.
Demikian juga, ketika diinformasikan, mereka dapat menjadi advokat yang efektif
untuk meninggalkan FGM
Tipe FGM:
- Tipe 1 – memotong klitoris sebagian atau seluruhnya.
- Tipe 2 – memotong klitoris dan labia kecil sebagian atau seluruhnya.
- Tipe 3 – memotong alat kelamin perempuan sebagian atau seluruhnya,
termasuk klitoris. Menjahit kedua tepi bersamaan sehingga meninggalkan
lubang kecil.
- Tipe 4 – semua tipe melukai lainnya, termasuk memotong, membakar,
menggores, menusuk, dan meregangkan genital perempuan.
FGM menyebabkan bahaya serius bagi anak perempuan dan wanita, termasuk:
 nyeri terus-menerus
 infeksi berulang yang bisa menyebabkan kemandulan
 pendarahan, kista, dan abses
 masalah buang air atau inkontinensia
 depresi, memori yang mengganggu, menyakiti diri sendiri

12
 masalah melahirkan yang bisa menyebabkan kematian

C. Nilai-Nilai Etik dalam Pemecahan Masalah FGM


1. Dari Segi Agama
- Menurut Dr. Wahbah al Zuhaili, ulama fikih kontemporer :
 Mazhab Hanafi dan Maliki, khitan laki-laki sunah muakkadah (sangat
dianjurkan), sunat perempuan disebut khifadh adalah makrumah(suatu
kehormatan), yakni menggores sedikit kulit bagian atas vaginaprempuan.
 Mazhab Syafi’I berpendapat wajib bagi laki-laki maupun perempuan
 Imam Ahmad bin Hanbali, berpendapat khitan adalah wajib bagi laki-laki dan
suatu kehormatan bagi perempuan.
- Menurut pendapat ulama:
 MUI (Majelis Ulama Indonesia)
a. Khitan bagi laki-laki dan perempuan adalah fitrah dan syiar Islam.
b. Khitan perempuan adalah kemuliaan dan pelaksanaannya merupakan
bentuk Ibadah.
 Keputusan Munas ke-27 Tarjih Muhammadiyah tahun 2010, Khitan perempuan
dalam pengertian khifadl tidak berdampak positif baik dari sisi medis,
psikologismaupun seksual tetapi lebih merupakan budaya yang berdasar pada
asumsi.
 Muktamar Nahdhatul Ulama ke 32 tahun 2010 Laki-laki lebih dianjurkan
berkhitan (sunnah), sedangkan perempuan (mubah)
 Musyawarah Ulama Pesantren yang dilaksanakan di Bogor pada bulan Mei
2018 mengeluarkan pendapat berupa risalah bogor yang berisi :
a. Sunat perempuan hukum asalnya adalah mubah, namun jika mengakibatkan
kemudhahrotan/membahayakan secara medis maka hukum-nya menjadi
haram.
b. Sosialisasi persoalan sunat perempuan perlu dilakukan dengan pendekatan
multiperspektif(keagamaan, medis, social budaya).

13
c. Mengajak ulama dan tokoh masyarakat untuk memberikan pemahaman
yang komprehensif tentang sunat perempuan sehingga dapat
menghindarkan bahaya

2. Upaya Kemenkes
1) Menambahkan informasi pada buku KIA bahwa “sunat pada anak perempuan
tidak mempunyai manfaat terhadap kesehatan bahkan dapat berisiko bagi
kesehatan reproduksi”.
2) Menyusun pedoman Bagi Tenaga Kesehatan dalam Pencegahan Praktik
Pemotongan dan Perlukaan Genitalia Perempuan (P2GP) dan lembar balik
Pencegahan Praktik Pemotongan dan Perlukaan Genitalia Perempuan (P2GP)
yang dapat digunakan nakes dalam mengedukasi masyarakat.
3) Menambahkan informasi tentang pencegahan sunat perempuan dalam modul
pelatihan Tatalaksana Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (KtPA)
3. komunikasi lewat penyuluhan
Pencegahan P2GP perlu dikomunikasikan kepada tenagaKesehatan dan
masyarakat. Dengan mengkomunikasikan P2GP kita dapat mendorong :
 Terjadi perubahan pendapat (opinion change), pengetahuan, ide, keyakinan dan
pemikiran tenaga Kesehatan dan masyarakat terhadap praktek P2GP.
 Membangun sikap positif/perubahan sikap (attitude change) terhadap
pencegahan P2GP.
 Terjadi perubahan perilaku (behavior change) terhadap praktek P2GP sehingga
tidak lagi melakukan praktek yang berbahaya.
 Terjadi perubahan kehidupan social (social change) yang tidak lagi
membahayakan perempuan dan anak perempuan.

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Female Genital Mutilation (tipe apapun) merupakan salah satu bentuk
pelanggaran HAM, khususnya HAP. Beragam regulasi internasional dan nasional
mengenai HAM telah dilanggar oleh adanya praktik FGM tersebut, dari sebelum dan
sesudah prosedur FGM, dampak dari praktik FGM, hingga sarana dan prasarana yang
digunakan dalam praktik FGM. Praktik FGM juga merupakan sebuah bentuk
kekerasan berbasis gender karena berakar pada tingkat ketidaksetaraan gender dan
ketidakseimbangan kekuasaan antara pria dan wanita yang menghambat perempuan
untuk mendapatkan penikmatan yang sama atas hak asasi manusia mereka. Praktik
FGM di Indonesia sampai saat ini juga masih dilestarikan karena masih banyaknya
masyarakat yang beranggapan dan percaya bahwa akan mitos-mitos dari pelaksanaan
FGM, seperti FGM akan mengurangi gairah atau libido perempuan, perempuan lebih
menurut, dianggap lebih suci, dan lain sebagainya, yang seharusnya pelaksanaannya
dilarang karena bersinggungan dengan permasalahan HAM.

B. Saran
Membuat peraturan yang bersifat mengikat, ditujukan khusus untuk kelompok,
seperti profesional kesehatan, perempuan itu sendiri, masyarakat adat, dengan tujuan
untuk mencegah praktik FGM, dan membuat peraturan yang memberikan jaminan
dan perlindungan hukum terhadap perempuan secara khusus terkait dengan praktik
FGM. Meningkatkan pemahaman pada kalangan tokoh agama, adat, dan penegak
hukum terhadap masalah sunat perempuan.

15
DAFTAR PUSTAKA

https://ejr.stikesmuhkudus.ac.id/index.php/jikk/article/download/916/586
https://media.neliti.com/media/publications/19517-ID-kajian-yuridis-female-genital-mutilation-
fgm-dalam-perspektif-hak-asasi-manusia.pdf
https://assets.nhs.uk/prod/documents/2905953-DH-FGM-Leaflet-Indonesian.pdf

http://www.ekosuhas.com/menghadapi-dilema-etika/
https://www.who.int/news/item/06-02-2020-female-genital-mutilation-hurts-women-and-
economies
https://rhknowledge.ui.ac.id/id/articles/detail/female-genital-mutilation-practice-the-dark-
side-of-the-global-community-1620d6

16

Anda mungkin juga menyukai